Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

GOVERNANCE DAN PENDEKATAN INSTITUSIONAL


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : GCG
Dosen Pengampu : R. Ery Wibowo A.S, SE.,M.Si.,Ak,CA

Oleh :
Putri Adelia E2B019052
Revi Nuraya E2B019076
Lintang Suci Sabiela E2B019091

KELAS AKUNTANSI 2
PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Governance dan Pendekatan Institusional ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Bapak R. Ery Wibowo A.S, SE.,M.Si.,Ak,CA pada mata kuliah GCG. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak R. Ery Wibowo A.S,


SE.,M.Si.,Ak,CA selaku Dosen GCG yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 12 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................5
1.3 Tujuan........................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
2.1 Governance dan Pendekatan Institusional......................................................6
2.1.1 Governance dan Sudut Pandang Institusional.........................................6
2.1.2 Governance dan Peranan Institusi............................................................7
2.1.3 Penerapan Governance pada Institusi Bank Indonesia............................9
2.1.4 Governance di Bank Indonesia..............................................................10
2.1.5 Bank Indonesia; Governance dan Manajemen Kinerja.........................12
BAB III..................................................................................................................16
PENUTUP..............................................................................................................16
3.1 Kesimpulan...................................................................................................16
3.2 Saran.............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Paradigma good governance muncul sekitar tahun 1990 atau akhir 1980-
an. Paradigma tersebut muncul karena adanya anggapan dari Bank Dunia
bahwa apapun dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara
berkembang, pasti habis tanpa bekas dan tidak dapat membawa negara-negara
tersebut ke keadaan yang lebih baik. Good governance di Indonesia muncul di
era reformasi. Hal tersebut muncul karena tuntutan terhadap keadaan
pemerintah pada era Orde Baru dengan berbagai permasalahan yang terutama
meliputi pemusatan kekuasaan pada presiden, baik akibat konstitusi (UUD
1945) maupun tidak berfungsi dengan baik lembaga tertinggi dan tinggi
negara lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam
memberikan control social. Namun hingga saat ini good governance belum
mampu berjalan dengan baik. Masih banyak yang belum paham apa yang
dimaksud dengan good governance.
Pada era Reformasi ini, pemerintah (Legislatif dan Eksekutif) telah
menghasilkan tiga produk perundang-undangan yang mengubah wajah sistem
pemerintahan di Indonesia. Implikasi dari Undang-Undang ini terhadap
pembangunan daerah adalah terjadinya pergeseran kewenangan dalam
kebijakan perencanaan dan pembangunan daerah. Melalui desentralisasi
kebijakan,daerah mempunyai kewenangan dalam menetapkan kebijakan
dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah. Sedangkan
kewenangan pemerintah pusat dalam pelaksanaan pembangunan hanya
meliputi kebijakan tentang perencanaan pembangunan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana fokus pembahasan governance dengan pendekatan
institusional?
1.2.2 Bagaimana penjabaran dari konsep a good institution jika dikaitkan
dengan institusi Bank Indonesia?[
1.2.3 Bagaimana peran serta dampak dari Sistem Perencanaan, Anggaran, dan
Manajemen Kinerja (SPAMK) pada institusi Bank Indonesia?
1.2.4 Bagaimana mekanisme open system pada BI dalam aktivitas
organisasinya?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mendeskripsi fokus pembahasan governance dengan pendekatan
institusional.
1.3.2 Mendeskripsi konsep a good institution jika dikaitkan dengan institusi
Bank Indonesia.
1.3.3 Bagaimana peran serta dampak dari Sistem Perencanaan, Anggaran, dan
Manajemen Kinerja (SPAMK) pada institusi Bank Indonesia.
1.3.4 Mendeskripsi mekanisme open system pada BI dalam aktivitas
organisasinya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Governance dan Pendekatan Institusional

2.1.1 Governance dan Sudut Pandang Institusional


Salah satu pendekatan terbaru dalam memahami penerapan
governance dalam organisasi sebagai suatu institusi adalah menggunakan
pendekatan institusional (institutional approach). Pendekatan institusional
dimaksud merupakan New Institutional Economics (NIE) analysis yang
telah terbukti bermanfaat positif dalam memfasilitasi pelaksanaan
penelitian social yang bersifat lintas negara (cross-national social science
research) (Milhaupt dan West, 2004, p. 14). Pendekatan NIE
menggunakan organisasi sebagai dasar unit analisis dalam ‘meneliti
bagaimana berbagai institusi dibentuk, berinteraksi dan berjalan’ dan
didasarkan pada premis tersebut dengan konsep bahwa “keberadaan
institusi secara formal maupun informal merupakan batasan dari perilaku
manusia” (p.14). Dengan demikian, keberadaan hokum (law) dianggap
sebagai suatu institusi, ketika hokum akan berinteraksi dengan institusi
lain yang kurang formal, seperti, mekanisme pasar, code of best practices,
norma social, dan kepercayaan yang tumbuh di masyarakat (shared
beliefs) tentang bagaimana segala sesuatu menyangkut kehidupan ini
berjalan. Dengan dasar demikian maka pendekatan secara institusi ini akan
bermanfaat dalam melakukan perbandingan praktik governance
antarnegara.

Focus pembahasan governance menggunakan pendekatan


institusional tentunya menjadi terfokus pada aturan formal (law and
regulations) serta aturan informal (norms, practices and shared beliefs).
Interaksi antara kedua aturan tersebut akan menentukan dan memberi
warna dan praktik CG, regulasi keuangan serta mekanisme pasar. Dalam
kaitan ini pola interaksi dan perkembangan antara kedua aturan perlu
mendapat perhatian, karena mempunyai karakteristik dan pola
perkembangan yang relative berbeda. Menurut Milhaupt dan West (2004),
aturan formal mengalami perubahan secara cepat dan tidak terduga
(furious) yang akan diwujudkan dalam bentuk aturan hokum yang baru
(new laws), struktur regulasi baru (new regulatory structures) dan berbagai
tambahan atau amandemen terhadap aturan perundang-undangan yang
telah ada. Sementara aturan yang bersifat informal juga mengalami
perubahan, namun bersifat lebih lambat dan cenderung incremental bila
dibandingkan dengan aturan formal, seperti sulitnya perubahan pola piker
(mind-sets) serta norma yang berlaku.

Peranan aturan informal (informal rules) sering diabaikan di dalam


implementasi governance , karena penekanan yang diberikan di dalam
praktik dan penilaian (assessment) terhadap implementasi governance
cenderung menggunakan aturan formal yang memang tertulis dan baku.
Namun demikian, Milhaupt dan West (2004) berpendapat bahwa norma
merupakan aturan informal yang sangat penting di dalam membatasi
perilaku manusia, sehingga pada beberapa kasus menjadi lebih penting dan
efektif dibandingkan dengan keberadaan aturan formal berupa hokum dan
perundang-undangan. Namun demikian, kepatuhan terhadap norma
(norms) tersebut lebih banyak ditemukan pada kelompok kecil
masyarakat, serta dapat mengalami perubahan seiring dengan berjalannya
waktu. Kondisi demikian berpengaruh terhadap efektivitas implementasi
aturan formal, jika tidak didukung oleh seperangkat norma yang sesuai
yang ada di masyarakat.

2.1.2 Governance dan Peranan Institusi


World Bank mengeluarkan pernyataan berkaitan dengan
pentingnya penguatan atas peran negara melalui pengembangan kebijakan
komunitas (the development policy community) yang dinyatakan dalam
dictum ; institutions matter (World Bank, 1997). Dalam kaitan ini
Fukuyuma (2004, p. 28) menyatakan bahwa penguatan fungsi negara
diantaranya dinyatakan dalam berbagai bentuk penamaan yang beragam
seperti ‘governance’, ‘state capacity’, atau ‘institutional quality’ di dalam
kerangka pembangunan ekonomi suatu negara. Berdasarkan sudut
pandang ini, Fukuyama (2004) berpendapat bahwa good governance dan
demokrasi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Jika didefinisikan
lebih lanjut, hal ini berarti bahwa a good state institution bercirikan
lembaga yang mampu melayani kebutuhan pelanggannya yang terdiri dari
warga negara berdasarkan pada prinsip transparansi dengan cara yang
paling efisien.

Dalam menjelaskan konsep tersebut, berikut digunakan contoh


aplikasi pada institute Bank Indonesia (lihat Pohan dkk, 2008). Konsep a
good state institution jika dikaitkan dengan institusi Bank Indonesia
(selanjutnya disingkat BI) berhubungan dengan peranan lembaga
dimaksud dalam penetapan kebijakan moneter di Indonesia, sesuai dengan
peranan bank sentral. Menurut Fukuyama (2004) sebuah bank sentral
harus dibangun dan diposisikan dengan cara sedemikian rupa sehingga
tidak dipengaruhi oleh tekanan ‘demokratis’ politik jangka pendek.
Konsepsi demikian sejalan dengan prinsip independensi sebagai pilar
penyangga untuk ditetapkannya governance pada bank sentral baik dan
sehat. Dalam kaitan ini, Fukuyama (2004) kembali mengingatkan bahwa
demokrasi sebagai nilai yang dapat diterima secara umum (legitimating
value) mempunyai peranan yang bersifat fungsional di dalam kerangka
governance secara umum.

Konsepsi tersebut menegaskan bahwa hal paling utama di dalam


menjamin terlaksananya good governance untuk bank sentral (dalam hal
ini Bank Indonesia) adalah memenuhi pemenuhan aspek independensi di
dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Amtenbrink (2004,
p.3) menegaskan bahwa independensi sebuah bank sentral harus tergambar
dalam struktur institusi dimaksud dalam hubungannya dengan struktur
organisasi pemerintahan. Secara substantive, kerangka ini diperlulan
dengan tujuan menjamin terlaksananya kebijakan moneter yang efektif
(the purpose of ensuring the effectiveconduct of monetary policy). Dalam
kaitan ini, berbagai studi yang berhubungan dengan aspek ekonomi dan
legal tentang peranan bank sentral secara institusional, lebih terarah pada
kajian terhadap hubungan bank sentral dengan pihak eksekutif maupun
legislative di dalam suatu negara (lihat Amtenbrink, 2004). Dengan
terjaminnya independensi BI sebagai bank sentral diharapkan aspek
akuntabilitias atas kinerja BI sebagai sebuah institusi dapat dievaluasi
secara lebih objektif.

2.1.3 Penerapan Governance pada Institusi Bank Indonesia


Sebagai suatu organisasi, dalam menjalankan fungsi dan tanggung
jawab untuk mencapai tujuannya, BI telah menerapkan konsep
perencanaan strategis melalui model SPAMK. Operasional dan
implementasi konsep ini dilakukan melalui perangkat Balanced Scorecard
(BSC) yang dirancang sesuai dengan karakteristik organisasi BI.
Keberadaan Sistem Perencanaan, Anggaran dan Manajemen Kinerja
(SPAMK) di dalam sistem organisasi BI secara keseluruhan akan
memberikan dampak optimal jika sistem dimaksud kompatibel dan sesuai
dengan perangkat sistem lainnya yang terdapat di dalam organisasi BI.

SPAMK merupakan bagian dari reformasi organisasi BI melalui


program transformasi melalui inisiasi kelembagaan pada tahun 2001.
Sebagai suatu sistem yang teintegrasi, SPAMK diharapkan dapat
mendukung tercapainya aspek transparansi dan akuntabilitas melalui
penguatan kerangka governance di institusi BI (lihat Simanjuntak, 2004,
p.12). Secara umum terdapat paling tidak empat manfaat yang diharapkan
dapat dicapai melalui proses dimaksud; (a) to enhance stakeholder’s
orientation, (b) to increase transparency and accountability toward better
governance,(c) to create strategy focused organization, dan (d) to build
performance based culture (Simanjuntak, 2004).

Untuk mencapai tujuan strategis yang telah ditetapkan, Bank


Indonesia telah menyususn strategy map yang merupakan derivasi dari
visi, misi dan nilai-nilai organisasi mencakup delapan strategic objectives.
Dari kerangka strategy map tersebut tergambar bahwa upaya untuk
meningkatkan efektivitas implementasi governance pada Bank Indonesia
merupakan isu sentral yang menjadi dasar bagi terlaksananya
implementasi strategi yang telah disusun secara menyeluruh. Kondisi
demikian mengusyaratkan bahwa sebagai bagian dari isu strategis yang
telah berkembang secara global, governance telah diadopsi dalam
kerangka strategis BI dan diwujudkan dalam bentuk ‘semangat’ dan ‘jiwa’
(the soul) yang terkandung di dalam strategic objectives Bank Indonesia.

2.1.4 Governance di Bank Indonesia


Suatu institusi yang sukses adalah organisasi yang mampu
mengadopsi style untuk mendorong terjadinya dialog melalui cara
komunikasi yang terbuka (open communications) sserta proses
pembelajaran (learning process) pada setiap elemen subsistem
berdasasrkan model governance yang dianut oleh organisasi dimaksud
(Shaw, 2003). Cara berdialog dengan komunikasi terbuka melalui
management style merupakan bagian karakteristik tingkah laku
(behavioral characteristics) dari suatu kerangka governance. Berdasarkan
sudut pandang demikian, governance model dalam suatu organisasi akan
berfungsi sebagai suatu kerangka (framework) dan proses tetapi tidak
mempunyai kemampuan operasional tanpa didukung oleh keberadaan
sistem governance (governance system) yang sehat.

Perangkat sistem governance yang didukung oleh struktur dan


mekanisme governance, mensyaratkan keterlibatan aktif dari para pelaku
(individu) dalam sebuah organisasi melalui perangkat organisasi,
khususnya board dengan fungsi supervise serta top-management team
yang menjalankan fungsi strategis-operasional. Secara bersama-sama
dengan subsistem lainnya di dalam organisasi, perangkat ini akan
berinteraksi secara dinamis dan berkelanjutan di dalam model governance.
Dalam kaitan ini, sistem governance akan berfungsi secara simultan
dengan governance model yang bertujuan agar organisasi dapat beroperasi
secara lebih optimal di dalam mencapai tujuannya. Dalam kaitan ini, Shaw
(2003) berpendapat bahwa sistem governance akan mendefinsikan
bagaimana sumber daya manusia di dalam organisasi dapat bekerja sama
untuk mengantisipasi, memahami, serta mengambil tindakan yang
berhubungan dengan konsekuensi pilihan serta keputusan yang dipilih.

Berdasarkan pemahaman bahwa governance model merupakan


kerangka dan alat serta metode di dalam mencapai tujuannya, secara
organisasi model governance yang dimiki oleh BI telah diatur oleh
undang-undang (UU Nomor 23 Tahun 1999; UU Nomor 3 Tahun 2004).
Menurut undang-undang dimaksud, struktur organisasi BI terdiri dari
dewan gubernur (board of governors) yang diusulkan dan diangkat oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (BI, 2004, p.3).
Dengan demikian peranan dewan gubernur di dalam hal ini adalah sebagai
tim manajemen puncak (top management team) yang akan melaksanakan
aktivitas BI di dalam mencapai tujuan yang di tetapkan. Dalam
melaksanakan tugasnya, Dewan Gubernur dibantu oleh perangkat
organisasi lainnya, bertanggung jawab di dalam menyususn dan
menetapkan sasaran strategis organisasi sejalan dengan visi dan misi BI.
Penjelasan tersebut mempertegas bahwa model governance yang dimiliki
BI dibentuk dan ditentukan berdasarkan undang-undang tentang
keberadaan BI sebagai institusi public.

Konsekuensi dari penerapan governance di dalam suatu organisasi


adalah diadopsinya mekanisme open system di dalam penyelenggaraan
aktivitas organisasi sebagai konsekuensi dari organisasi sebagai ‘
organisme’. Dengan pola demikian, organisasi harus senantiasa mampu
beradaptasi dengan perubahan lingkungannya agar dapat bertahan hidup,
dalam kaitan ini, BI telah memosisikan diri sebagai organisasi dengan ciri
open system. Hal ini tergambar melalui pilihan strategic objectives,
organisasi BI yang berkaitan dengan tujuannya untuk menjaga stabilitas
nilai rupiah (UU Nomor 23 Tahun 1999). Berdasarkan konsepsi open
system, melalui kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungannya dalam kerangka model governance yang ada,
diharapkan tujuan BI dapat dicapai secara lebih optimal.

2.1.5 Bank Indonesia; Governance dan Manajemen Kinerja


Menurut Walsh, Luis, dan Lok (2004) keberadaan SPAMK di
dalam organisasi BI merupakan bagian dari reformasi sistem perencanaan,
penganggaran, dan manajemen kinerja. Walsh dan kawan-kawan (2004)
mengklaim bahwa reformasi dimaksud mendapat dukungan penuh dari
Gubenur BI sebagai bagian dari manajemen puncak organisasi pada medio
Juli 2002. Pernyataan ini merupakan penegasan perlunya dukungan
organisasi komitmen manajemen puncak di dalam melakukan perubahan
atau reformasi organisasi. Secara lebih spesifik, Gubernur BI menyatakan
bahwa SPAMK merupakan upaya untuk menjadikan BI sebagai institusi
yang mempunyai kinerja baik (sound) dan akuntabel di dalam kerangka
untuk mencapai good governance. Penyataan ini memberikan indikasi
bahwa SPAMK merupakan bagian dari upaya BI menegakkan sound
governance di dalam organisasi Bank Sentral tersebut.

Peningkatan transparansi dan akuntabilitas organisasi BI dalam


upaya untuk mencapai governance yang lebih baik merupakan satu tema
pokok di dalam agenda reformasi SPAMK (lihat Simanjuntak, 2004).
Dalam kaitan ini, peningkatan kinerja organisasi mutlak diperlukan dengan
dukungan sepenuhnya dari sistem informasi pelaporan kinerja yang akurat
dan tepat waktu. Berdasarkan konsepsi ini, BI melakukan reformasi di
dalam sistem perencanaan, penganggaran dan pengukuran kinerja
organisasi yang diharapkan mampu untuk mengakomodasi kebutuhan
strategis organisasi. Untuk itu, BI mengadopsi model Balanced Scorecard
(BSC) sebagai sistem manajemen untuk menjalankan SPAMK secara
terintegrasi (Walsh, Luis, dan LOK, 2004). Bagian berikut akan membahas
setiap elemen prespektif BSC yang digunakan BI dari sudut pandang
governance.

Secara umum perdebatan terkini tentang isu governance, terutama


yang berkaitan dengan isu korporasi atau corporate governance, adalah
terdapatnya dua paradigma yang berlawanan antara shareholding dan
stakeholding. Perbedaan mendasar atas dua perspektif tersebut disebabkan
dari sudut pandang tujuan keberadaan sari suatu organisasi serta struktur
governance yang dianut dalam mencapai tujuan dimaksud. Perspektif
shareholding dianggap sebagai pandangan tradisional dengan
mengasumsikan organisasi sebagai instrument legal pemilik dalam
memaksimalkan keuntungan melalui pencapaian tujuan organisasi.
Sementara perspektif shareholding, yang berkembang pesat pada paruh
akhir abad ke-20, memandang organisasi merupakan sebagai jaringan
relasional antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) secara
lebih luas.

Jika dihubungkan dengan organisasi BI, terutama dalam kaitannya


sebagai bagian daari sistem NKRI, organisasi ini menganut pola
stakeholding-governance. Hal ini sejalan dengan tujuan keveradaan BI
sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang serta konsepsi lingkup
tugas dan tanggung jawab BI di dalam NKRI. Secara eksplisit hal ini telah
dinyatakan di dalam manfaat pertama dengan diadopsinya SPAMK (i.e to
enhance stakeholder’s orientation) sebagai paradigma terpenting dari
keberadaan BI sebagai bank sentral dan isntitusi public. Misalnya, di
dalam strategy map BI tahun 2005-2008, sebagai bagian dari outcomes
kepada pihak external stakeholders yang tergambar melalui strategic
objectives yang pertama (i.e maintaining monetary stability). Secara tegas
pentingnya keberadaan BI di dalam sistem NKRI terlihat melalui
penempatan external stakeholders sebagai salah satu perspektif
pengukuran kinerja yang diadopsi BI melalui BSC.

Perspektif internal financial berkaitan dan mengacu kepada


kemampuan internal BI di dalam mengelola sumberdaya organisasi,
terutama sumber daya keuangan. Dari sudut pandang governance, setiap
pilihan keputusan tang berhubungan dengan alokasi sumber daya yang
dimiliki organisasi secara dominan akan menentukan outcomes, baik
berupa risk ataupun rewards, dari sebuah organisasi (lihat Shaw, 2003).
Untuk itu kemampuan dalam mengimplementasikan sound governance
practices dari perspektif ini akan sangat menentukan keandalan BI
mengelola sumber daya keuangan secara transparan dan akuntabel di
dalam kerangka CG untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi.

Perspektif business process yang diadopsi di dapam BSC-BI


menunjukkan proses di dalam organisasi BI yang berhubungan dengan
ruang lingkup tugas BI (Pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 1999). Pelaksanaan
proses ini di dalam kerangka governance model berhubungan dengan
proses strategis di dalam organisasi. Secara konsepsional, proses strategis
harus mampu dijabarkan ke dalam empat level governance di dalam
organisasi (Shaw, 2003, pp. 82-84). Level pertama berhubungan dengan
strategi execution melalui outcomes with the future. Pada level kedua,
berhubungan dengan strategy execution melalui outcomes that are, or
should be, knowable, sementara pada level ketiga dalam bentuk
operasional strategi (operations) yang merupakan outcomes associated
with the present. Pada level terakhir atau keempat proses strategis dapam
kerangka governance berhubungan dengan organization, process, and
information.

Keempat tingkatan (level) didalam strategic process dari sebuah


institusi yang berorientasi well-governed organization, harus terlaksana
secara sistematik dalam kerangka sistem governance yang dimiliki. Dalam
kaitan ini, setiap tingkatan qoan berfungsi sebagai interrelated subsystem
dalam upaya untuk mengidentifikasi berbagai konsekuensi yang
ditimbulkan akibat dari berbagai keputusan strategis yang diambil pada
setiap tingkatan subsystem. Mekanisme pengendalian strategis (strategic
control) di dalam kerangka governance dilakukan sesuai dengan struktur
(governance structure) yang dianut oleh organisasi. Implementasinya di
dalam organisasi BI, misalnya, adalah melalui berjalannya mekanisme
pengendalian untuk setiap level organisasi; badan supervisi, dewan
gubernur, direktorat, dan setingkatnya, sehingga elemen atau unit
organisasi yang berada di bawahnya. Secara umum konsepsi dasar
berjalannya strategic control di dalam kerangka governance berpedoman
pada aspek pengendalian melalui prinsip, ‘who control whom within the
organization’.

Perspektif-people and change management berhubungan dengan


kerangka pertumbuhan dan pembelajaran organisasi (learning and growth
perspektives). Dari sudut pandang governance, hal ini berkaitan dengan
aspek longterm thinking sebagai salah satu behavioral characteristik ddari
sistem governance. Perspektf ini berhubungan dengan tiga perspektif
lainnya, terutama di dalam kaitannya dengan upaya untuk peningkatan
governance, transparansi dan akuntablitas untuk jangka panjang yang
terindentifikasi pada tiga perspektif lainnya. lebih jauh, perspektif ini
berkaitan dengan fenomena ‘bertumbuh’ (growth) dan bertahan (survival)
yang harus diakomodasi di dalam kerangka strategis organisasi. Menurut
Shaw (2003), kesuksesan pencapaian indikator perspektif ini di setiap
organisasi sangat ditentukan oleh kompatibilitas antara sistem dan model
governance yang dianut oleh organisasi secara menyeluruh. Sebagai faktor
pendukung, komunikasi internal maupun dengan pihak eksternal
organisasi diperlukan untuk memperoleh masukan dengan tujuan
perbaikan organisasi dalam jangka panjang.

Perspektif terakhir (people and change management) yang


diadopsi BI, sebagai label dari learning and growth perspective di dalam
model generik Kaplan dan Norton, merupakan esensi utama yang
membedakan konsep BSC dengan alat ukur kinerja lainnya. Dalam kaitan
ini perubahan yang diharapkan memberikan dampak posisitf di dalam
governance organisasi BI jangka panjang adalah terjadinya pola pikir
untuk mengarahkan BI sebagai organisasi pembelajaran (learning
organization). Sesuai dengan konsepsi dinamis governance dalam
kerangka open system, hal ini mengisyaratkan perlunya perubahan dan
peningkatan (improvements) di dalam governance organisasi secara
kebersinambungan berdasarkan feedback dan implementasi stategi yang
telah dilaksanakan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Focus pembahasan governance menggunakan pendekatan institusional
tentunya menjadi terfokus pada aturan formal (law and regulations)
serta aturan informal (norms, practices and shared beliefs). Interaksi
antara kedua aturan tersebut akan menentukan dan memberi warna
dan praktik CG, regulasi keuangan serta mekanisme pasar.
 Konsep a good state institution jika dikaitkan dengan institusi Bank
Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berhubungan dengan peranan
lembaga dimaksud dalam penetapan kebijakan moneter di Indonesia,
sesuai dengan peranan bank sentral.
 Keberadaan Sistem Perencanaan, Anggaran dan Manajemen Kinerja
(SPAMK) di dalam sistem organisasi BI secara keseluruhan akan
memberikan dampak optimal jika sistem dimaksud kompatibel dan
sesuai dengan perangkat sistem lainnya yang terdapat di dalam
organisasi BI.
 Sesuai dengan konsepsi dinamis governance dalam kerangka open
system, hal ini mengisyaratkan perlunya perubahan dan peningkatan
(improvements) di dalam governance organisasi secara
kebersinambungan berdasarkan feedback dan implementasi stategi
yang telah dilaksanakan.

3.2 Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, semoga dapat bermanfaat
bagi pembaca. Apabila terdapat kritik dan saran yang ingin disampaikan,
silakan sampaikan pada kami (Lukviarman, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Lukviarman, N. (2016). Corporate Governance (R. N. Hamidawati (ed.)). PT.
ERA ADICITRA INTERMEDIA.

Anda mungkin juga menyukai