INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PENJAMINAN
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .
-2-
dan
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
7. Perusahaan . . .
-3-
18. Sertifikat . . .
-4-
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP USAHA PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Asas dan Tujuan
Pasal 2
b. kepastian . . .
-5-
b. kepastian hukum;
c. keterbukaan;
d. akuntabilitas;
e. profesionalisme;
f. efisiensi berkeadilan;
g. edukasi; dan
h. pelindungan konsumen.
Pasal 3
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 4
b. penjaminan . . .
-6-
Pasal 5 . . .
-7-
Pasal 5
Pasal 6
BAB III
BADAN HUKUM DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Badan Hukum
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9 . . .
-8-
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Bagian . . .
-9-
Bagian Kedua
Permodalan
Pasal 12
BAB IV
KEPEMILIKAN DAN KEPENGURUSAN
Bagian Kesatu
Kepemilikan
Pasal 13
(3) Pemilik . . .
- 10 -
Pasal 14
Bagian Kedua
Kepengurusan
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17 . . .
- 11 -
Pasal 17
BAB V
IZIN USAHA
Bagian Kesatu
Izin Usaha Penjaminan, Penjaminan Ulang, dan Unit Usaha Syariah
Paragraf 1
Izin Usaha Penjaminan dan Penjaminan Ulang
Pasal 18
e. data . . .
- 12 -
Pasal 19
(3) Apabila . . .
- 13 -
Paragraf 2
Unit Usaha Syariah
Pasal 20
Pasal 21
(3) Apabila . . .
- 14 -
Pasal 22
(1) Perusahaan Penjaminan dapat menghentikan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan terlebih
dahulu mengajukan permohonan pencabutan izin UUS
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghentian kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Izin Usaha Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah
Pasal 23
l. konfirmasi . . .
- 15 -
Pasal 24
BAB VI
KANTOR CABANG
PasaI 25
(2) Untuk . . .
- 16 -
BAB VII
TATA KELOLA, PENGAWASAN, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Tata Kelola
Pasal 26
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 27
b. melakukan . . .
- 17 -
Bagian Ketiga
Pelaporan
Pasal 28
(3) Ketentuan . . .
- 18 -
BAB VIII
PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, PEMISAHAN,
DAN KEPAILITAN
Bagian Kesatu
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan
Pasal 29
(8) Lembaga . . .
- 19 -
Pasal 30
Bagian Kedua
Kepailitan
Pasal 31
BAB IX
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 32
c. tidak . . .
- 20 -
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36 . . .
- 21 -
Pasal 36
Pasal 37
BAB X
PENYELENGGARAAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Mekanisme Penjaminan dan Penjaminan Syariah
Pasal 38
(2) Penjamin . . .
- 22 -
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Bagian . . .
- 23 -
Bagian Kedua
Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah
Pasal 42
Bagian Ketiga
Imbal Jasa
Pasal 43
(5) Ketentuan . . .
- 24 -
Bagian Keempat
Klaim, Pembayaran Klaim, dan Peralihan Hak Tagih
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47 . . .
- 25 -
Pasal 47
Pasal 48
Bagian Kelima
Retensi Sendiri
Pasal 49
Bagian . . .
- 26 -
Bagian Keenam
Kapasitas Penjaminan
Pasal 50
BAB XI
ASOSIASI LEMBAGA PENJAMIN, LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN, DAN
PROFESI PENYEDIA JASA BAGI LEMBAGA PENJAMIN
Bagian Kesatu
Asosiasi Lembaga Penjamin
Pasal 51
Bagian Kedua
Lembaga Penunjang Penjaminan
Pasal 52
b. agen . . .
- 27 -
b. agen penjamin;
c. broker; dan
d. lembaga penunjang penjaminan lain yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib terdaftar terlebih dahulu di Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Lembaga Penjamin wajib menggunakan lembaga
penunjang penjaminan yang telah terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan.
(5) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilarang menggelapkan IJP, IJK, IJPU, dan/atau
IJKU.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penunjang
penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Profesi Penyedia Jasa Bagi Lembaga Penjamin
Pasal 53
BAB XII . . .
- 28 -
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 54
Pasal 55
BAB XIII . . .
- 29 -
BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 56
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 57
Pasal 58 . . .
- 30 -
Pasal 58
Pasal 59
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Pasal 61
Pasal 62 . . .
- 31 -
Pasal 62
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Pasal 64
Pasal 65
Agar . . .
- 32 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2016
ttd
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Januari 2016
ttd
YASONNA H. LAOLY
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pembiayaan Ekspor Nasional adalah fasilitas yang
diberikan kepada badan usaha termasuk perorangan
dalam rangka mendorong ekspor nasional.
2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perbankan.
3. Lembaga Keuangan adalah lembaga keuangan non-bank
yang salah satu kegiatannya memberikan pembiayaan
kepada Eksportir.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean Indonesia dan/atau jasa dari wilayah Negara
Republik Indonesia.
5. Eksportir adalah badan usaha, baik berbentuk badan
hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, termasuk
perorangan yang melakukan kegiatan Ekspor.
6. Pemerintah adalah Pemerintah Negara Republik Indonesia.
7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
8. Pembiayaan adalah kredit dan/atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah yang disediakan oleh Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia.
9. Kredit adalah fasilitas pinjaman, baik berbentuk tunai
maupun non-tunai, yang mewajibkan pihak peminjam
melunasi seluruh kewajibannya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga maupun imbalan jasa.
10. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah fasilitas
pembiayaan, baik berbentuk tunai maupun non-tunai,
yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan fasilitas pembiayaan setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
11. Prinsip Syariah adalah pokok-pokok aturan berdasarkan
hukum Islam yang dijadikan landasan dalam pembuatan
perjanjian antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
dan pihak lain dalam menjalankan kegiatan Pembiayaan
Ekspor Nasional.
12. Penjaminan . . .
-3-
12. Penjaminan adalah pemberian fasilitas jaminan untuk
menanggung pembayaran kewajiban keuangan pihak
terjamin dalam hal pihak terjamin tidak dapat memenuhi
kewajiban perikatan kepada kreditornya.
13. Asuransi adalah pemberian fasilitas berupa ganti rugi atas
kerugian yang timbul sebagai akibat dari suatu peristiwa
yang tidak pasti.
BAB II
PEMBIAYAAN EKSPOR NASIONAL
Bagian Kesatu
Asas, Tujuan, dan Kebijakan Dasar
Pasal 2
Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional berdasarkan
atas asas:
a. kepentingan nasional;
b. kepastian hukum;
c. keterbukaan;
d. akuntabilitas;
e. profesionalisme;
f. efisiensi berkeadilan; dan
g. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 3
Pembiayaan Ekspor Nasional bertujuan untuk menunjang
kebijakan Pemerintah dalam rangka mendorong program
ekspor nasional.
Pasal 4
Pemerintah menetapkan kebijakan dasar Pembiayaan Ekspor
Nasional untuk:
a. mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi
peningkatan ekspor nasional;
b. mempercepat peningkatan ekspor nasional;
c. membantu peningkatan kemampuan produksi nasional
yang berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan untuk
ekspor; dan
d. mendorong . . .
-4-
d. mendorong pengembangan usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi untuk mengembangkan produk yang
berorientasi ekspor.
Bagian Kedua
Bentuk Pembiayaan Ekspor Nasional
Pasal 5
(1) Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 diberikan dalam bentuk:
a. Pembiayaan;
b. Penjaminan; dan/atau
c. Asuransi.
(2) Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilaksanakan berdasarkan Prinsip
Syariah.
(3) Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diberikan kepada badan usaha baik badan
usaha yang berbentuk badan hukum maupun tidak
berbentuk badan hukum termasuk perorangan.
(4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
berdomisili di dalam atau di luar wilayah Negara Republik
Indonesia.
Pasal 6
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a diberikan dalam bentuk pembiayaan modal kerja
dan/atau investasi.
Pasal 7
Bentuk Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf b meliputi:
a. Penjaminan bagi Eksportir Indonesia atas pembayaran
yang diterima dari pembeli barang dan/atau jasa di luar
negeri;
b. Penjaminan bagi importir barang dan jasa Indonesia di
luar negeri atas pembayaran yang telah diberikan atau
akan diberikan kepada Eksportir Indonesia untuk
pembiayaan kontrak Ekspor atas penjualan barang
dan/atau jasa atau pemenuhan pekerjaan atau jasa yang
dilakukan oleh suatu perusahaan Indonesia;
c. Penjaminan . . .
-5-
c. Penjaminan bagi Bank yang menjadi mitra penyediaan
pembiayaan transaksi Ekspor yang telah diberikan kepada
Eksportir Indonesia; dan/atau
d. Penjaminan dalam rangka tender terkait dengan
pelaksanaan proyek yang seluruhnya atau sebagian
merupakan kegiatan yang menunjang Ekspor.
Pasal 8
Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
c dapat diberikan dalam bentuk:
a. Asuransi atas risiko kegagalan Ekspor;
b. Asuransi atas risiko kegagalan bayar;
c. Asuransi atas investasi yang dilakukan oleh perusahaan
Indonesia di luar negeri; dan/atau
d. Asuransi atas risiko politik di suatu negara yang menjadi
tujuan ekspor.
Pasal 9
Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dilakukan oleh lembaga keuangan yang didirikan
khusus untuk itu.
BAB III
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
Bagian Kesatu
Pembentukan, Status, dan Tempat Kedudukan
Pasal 10
(1) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Pembiayaan Ekspor
Nasional, berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya
disingkat LPEI sebagai lembaga keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
(2) LPEI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan
hukum menurut Undang-Undang ini.
(3) LPEI adalah lembaga yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat transparan, akuntabel, dan
independen.
(4) LPEI bertanggung jawab kepada Menteri.
Pasal 11 . . .
-6-
Pasal 11
(1) LPEI berkedudukan dan berkantor pusat di Ibukota
Negara Republik Indonesia.
(2) LPEI dapat mempunyai kantor di dalam dan di luar
wilayah Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Fungsi, Tugas, dan Wewenang
Pasal 12
LPEI berfungsi mendukung program ekspor nasional melalui
Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1).
Pasal 13
(1) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, LPEI mempunyai tugas:
a. memberi bantuan yang diperlukan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dalam
rangka Ekspor, dalam bentuk Pembiayaan,
Penjaminan, dan Asuransi guna pengembangan dalam
rangka menghasilkan barang dan jasa dan/atau
usaha lain yang menunjang Ekspor;
b. menyediakan pembiayaan bagi transaksi atau proyek
yang dikategorikan tidak dapat dibiayai oleh
perbankan, tetapi mempunyai prospek untuk
peningkatan ekspor nasional; dan
c. membantu mengatasi hambatan yang dihadapi oleh
Bank atau Lembaga Keuangan dalam penyediaan
pembiayaan bagi Eksportir yang secara komersial
cukup potensial dan/atau penting dalam
perkembangan ekonomi Indonesia.
(2) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), LPEI dapat melakukan:
a. bimbingan dan jasa konsultasi kepada Bank,
Lembaga Keuangan, Eksportir, produsen barang
ekspor, khususnya usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi; dan
b. melakukan kegiatan lain yang menunjang tugas dan
wewenang LPEI sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
Pasal 14 . . .
-7-
Pasal 14
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, LPEI berwenang:
a. menetapkan skema Pembiayaan Ekspor Nasional;
b. melakukan restrukturisasi Pembiayaan Ekspor
Nasional;
c. melakukan reasuransi terhadap asuransi yang
dilaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
dan
d. melakukan penyertaan modal.
(2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d hanya dapat dilakukan pada badan hukum atau
badan lainnya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas
LPEI dengan persetujuan Menteri.
Pasal 15
LPEI dapat memberikan fasilitas Asuransi kepada Eksportir
dalam hal lembaga asuransi ekspor tidak dapat memenuhi
permintaan fasilitas asuransi bagi Eksportir atau dalam
rangka memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan oleh
pembeli di luar negeri.
Pasal 16
Dalam melakukan kegiatannya, LPEI turut serta dalam sistem
pembayaran nasional dan internasional.
Pasal 17
(1) Dalam menjalankan tugasnya, LPEI wajib menerapkan
prinsip tata kelola perusahaan yang baik, prinsip
penerapan manajemen risiko, dan prinsip mengenal
nasabah.
(2) Penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup prinsip
keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab,
kemandirian, dan kewajaran.
(3) Penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup pemenuhan
kecukupan modal minimum, pengawasan aktif, dan
pemenuhan disiplin pasar terhadap risiko yang melekat.
(4) Penerapan . . .
-8-
(4) Penerapan prinsip mengenal nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup
kebijakan dan prosedur identifikasi nasabah, pemantauan
rekening nasabah, pemantauan transaksi nasabah, serta
manajemen risiko.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan
pelaksanaan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penugasan Khusus
Pasal 18
(1) LPEI dapat melaksanakan penugasan khusus dari
Pemerintah untuk mendukung program Ekspor nasional
atas biaya Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal yang terkait
dengan penugasan khusus pelaksanaan program Ekspor
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Permodalan LPEI
Pasal 19
(1) Modal awal LPEI ditetapkan paling sedikit
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah).
(2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas
saham.
(3) Dalam hal modal LPEI menjadi berkurang dari
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah),
Pemerintah menutup kekurangan tersebut dari dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan
mekanisme yang berlaku.
(4) Penambahan modal LPEI untuk menutup kekurangan
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) LPEI dapat membentuk cadangan umum dan cadangan
tujuan.
(2) Dalam . . .
-9-
(2) Dalam hal akumulasi cadangan umum dan cadangan
tujuan telah melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari
modal awal LPEI, kelebihannya sebesar 75% (tujuh puluh
lima persen) digunakan untuk kapitalisasi modal dan 25%
(dua puluh lima persen) sebagai Penerimaan Negara
Bukan Pajak.
(3) Kapitalisasi modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dalam Keputusan Menteri.
Pasal 21
(1) Surplus yang diperoleh LPEI dalam kurun waktu 1 (satu)
tahun kegiatan digunakan untuk:
a. cadangan umum;
b. cadangan tujuan;
c. jasa produksi dan tantiem; dan
d. bagian laba Pemerintah.
(2) Persentase alokasi surplus ditetapkan:
a. cadangan umum dan cadangan tujuan sebesar 90%
(sembilan puluh persen) dari surplus; dan
b. jasa produksi dan tantiem serta bagian laba
Pemerintah sebesar 10% (sepuluh persen) dari surplus.
(3) Besarnya persentase untuk cadangan umum, cadangan
tujuan, jasa produksi dan tantiem, serta bagian laba
Pemerintah ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Kelima
Sumber dan Penempatan Dana
Pasal 22
(1) Untuk membiayai kegiatannya, LPEI dapat memperoleh
dana dari:
a. penerbitan surat berharga;
b. pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan/atau
jangka panjang yang bersumber dari:
1. pemerintah asing;
2. lembaga multilateral;
3. bank serta lembaga keuangan dan pembiayaan,
baik dari dalam maupun luar negeri;
4. Pemerintah; dan/atau
c. hibah.
(2) Selain . . .
- 10 -
(2) Selain memperoleh dana dari sumber-sumber
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPEI dapat
membiayai kegiatannya dengan sumber pendanaan dari
penempatan dana oleh Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman atau hibah
kepada LPEI sesuai dengan yang tercantum atau
ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
pinjaman atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) LPEI dapat menempatkan dana yang belum dipergunakan
untuk membiayai kegiatannya dalam bentuk pembelian
surat berharga dan/atau penempatan di lembaga
keuangan dalam negeri maupun luar negeri.
(2) Penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
antara lain dalam bentuk:
a. surat berharga yang diterbitkan Pemerintah;
b. Sertifikat Bank Indonesia;
c. surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah
negara donor;
d. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
keuangan multilateral;
e. simpanan dalam bentuk rupiah atau valuta asing pada
Bank Indonesia; dan/atau
f. simpanan pada bank dalam negeri dan/atau bank luar
negeri.
(3) Penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan dengan mempertimbangkan faktor
likuiditas dan risiko.
BAB IV
ORGANISASI
Bagian Kesatu
Organ LPEI
Pasal 25
(1) Dewan Direktur merupakan organ tunggal LPEI.
(2) Anggota . . .
- 11 -
(2) Anggota Dewan Direktur berjumlah paling banyak 10
(sepuluh) orang, yang terdiri atas:
a. 3 (tiga) orang pejabat yang berasal dari instansi atau
lembaga yang membidangi fiskal, 1 (satu) orang pejabat
yang berasal dari instansi atau lembaga yang
membidangi perdagangan, 1 (satu) orang pejabat yang
berasal dari instansi atau lembaga yang membidangi
perindustrian, dan 1 (satu) orang pejabat yang berasal
dari instansi atau lembaga yang membidangi
pertanian.
b. paling banyak 3 (tiga) orang yang berasal dari luar
LPEI dan 1 (satu) orang dari dalam LPEI.
(3) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
atas usul instansi atau lembaga yang bersangkutan.
(4) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(5) Salah seorang dari anggota Dewan Direktur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Menteri
sebagai Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur
Eksekutif.
(6) Ketua Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) tidak mempunyai hak suara dalam rapat Dewan
Direktur.
(7) Direktur Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
melakukan tugas secara penuh waktu dan dilarang
merangkap jabatan eksekutif di tempat lain.
(8) Anggota Dewan Direktur diangkat untuk masa jabatan 5
(lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 26
(1) Dewan Direktur bertugas merumuskan dan menetapkan
kebijakan serta melakukan pengawasan terhadap
kegiatan operasional LPEI.
(2) Pembagian tugas dan tata cara pelaksanaan tugas
anggota Dewan Direktur ditetapkan oleh Dewan Direktur.
(3) Gaji, penghasilan, dan tunjangan lainnya Dewan Direktur
dan Direktur Pelaksana ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 27 . . .
- 12 -
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi Dewan Direktur, paling sedikit
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. mampu melakukan perbuatan hukum;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. memiliki integritas, kepemimpinan, perilaku yang baik,
serta dedikasi yang tinggi;
e. tidak termasuk daftar tidak lulus, baik yang disusun oleh
otoritas perbankan maupun otoritas pasar modal dan
lembaga keuangan;
f. tidak pernah melakukan tindak pidana di bidang
perbankan dan perekonomian;
g. memiliki keahlian dan pengalaman di salah satu bidang
yang menjadi ruang lingkup kegiatan LPEI; dan
h. tidak pernah dinyatakan pailit.
Pasal 28
(1) Anggota Dewan Direktur dapat diberhentikan oleh Menteri
apabila:
a. berhalangan tetap;
b. masa jabatannya berakhir;
c. mengundurkan diri;
d. kinerja anggota Dewan Direktur tidak memenuhi
kriteria kinerja yang ditetapkan oleh Menteri;
e. memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua atau besan dengan anggota Dewan Direktur
yang lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan
diri;
f. melakukan kejahatan korporasi, tindak pidana
korupsi, tindak pidana lainnya, atau pelanggaran
moral; dan/atau
g. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf f, dan huruf h.
(2) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) huruf a diberhentikan dari jabatannya
karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
tidak lagi menjadi pejabat di instansi atau lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a.
3. Anggota . . .
- 13 -
(3) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) sebelum diberhentikan karena alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dalam
waktu 14 (empat belas) hari diberi kesempatan untuk
melakukan pembelaan diri kepada Menteri.
(4) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(5) Pemberhentian anggota Dewan Direktur dan
pengangkatan anggota yang baru harus dilakukan
sehingga jumlah anggota Dewan Direktur paling sedikit 4
(empat) orang.
(6) Dalam hal anggota Dewan Direktur diberhentikan,
anggota Dewan Direktur penggantinya ditetapkan dalam
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal
pemberhentian.
(7) Masa jabatan anggota Dewan Direktur yang diangkat
untuk menggantikan anggota yang diberhentikan bukan
karena berakhirnya masa jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b adalah sisa masa jabatan anggota
Dewan Direktur yang digantikannya.
Pasal 29
(1) Kegiatan operasional LPEI dilakukan oleh Direktur
Eksekutif.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Direktur Eksekutif
dibantu oleh paling banyak 5 (lima) orang Direktur
Pelaksana.
(3) Direktur Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling banyak 4 (empat) orang berasal dari dalam LPEI.
(4) Direktur Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Direktur atas
usul Direktur Eksekutif.
Pasal 30
(1) Direktur Eksekutif mewakili LPEI, baik di dalam maupun
di luar pengadilan;
(2) Kewenangan . . .
- 14 -
(2) Kewenangan Direktur Eksekutif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada 2 (dua) orang
Direktur Pelaksana.
Bagian Kedua
Kepegawaian
Pasal 31
(1) Direktur Eksekutif menetapkan sistem kepegawaian,
penggajian, penghargaan, program pensiun, dan
tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi
pegawai LPEI.
(2) Direktur Eksekutif mengangkat dan memberhentikan
pegawai LPEI.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Direktur
Eksekutif.
Bagian Ketiga
Penghapusbukuan dan Penghapustagihan Piutang
serta Penghapusbukuan Aktiva Tetap
Pasal 32
(1) Kewenangan penghapusbukuan piutang LPEI
dilaksanakan oleh Direktur Eksekutif, Dewan Direktur,
atau Menteri dengan ketentuan sebagai berikut:
a. piutang sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) oleh Direktur Eksekutif dengan
persetujuan Dewan Direktur;
b. piutang lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) oleh Dewan Direktur dengan
persetujuan Menteri; dan
c. piutang lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) oleh Menteri.
(2) Piutang yang dapat dihapusbukukan adalah piutang
macet yang walaupun telah dilakukan upaya
restrukturisasi, tetap tidak tertagih dan tidak disebabkan
oleh adanya kesalahan dalam penyalurannya.
(3) LPEI wajib terus melakukan upaya penagihan atas
piutang yang telah dihapusbukukan sebelum piutang
tersebut dihapus tagih.
Pasal 33 . . .
- 15 -
Pasal 33
(1) Dalam hal upaya penagihan atas piutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) telah dilakukan lebih
dari 10 (sepuluh) tahun, tetapi tetap tidak tertagih dan
perkiraan biaya tagih lebih besar dibandingkan dengan
hasil tagih, piutang tersebut dapat dihapustagihkan.
(2) Kewenangan penghapustagihan piutang LPEI
dilaksanakan oleh Direktur Eksekutif setelah memperoleh
persetujuan dari Dewan Direktur.
Pasal 34
(1) Aktiva tetap yang dapat dihapusbukukan adalah aktiva
yang telah habis umur ekonomisnya atau mengalami
keusangan karena kemajuan teknologi.
(2) Kewenangan penghapusbukuan aktiva tetap dilaksanakan
oleh Direktur Eksekutif setelah memperoleh persetujuan
dari Dewan Direktur.
Pasal 35
Tata cara penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 33
ayat (1) serta tata cara penghapusbukuan aktiva tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) ditetapkan
dalam Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan
Pasal 36
Tahun Buku dan Tahun Anggaran LPEI dimulai dari 1
Januari sampai dengan 31 Desember.
Pasal 37
(1) Direktur Eksekutif menyiapkan Rencana Jangka Panjang
sebagai rencana strategis yang memuat sasaran yang
hendak dicapai oleh LPEI dalam periode 5 (lima) tahunan.
(2) Direktur Eksekutif menyusun Rencana Kerja dan
Anggaran Tahunan sebagai penjabaran tahunan dari
Rencana Jangka Panjang.
(3) Tata cara penyusunan, penyampaian, dan pengubahan
Rencana Jangka Panjang serta Rencana Kerja dan
Anggaran Tahunan ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kelima . . .
- 16 -
Bagian Kelima
Pelaporan dan Akuntabilitas
Pasal 38
(1) LPEI wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan
yang telah diaudit kepada Menteri paling lambat tanggal
30 April tahun berikutnya.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diaudit oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh
Direktur Eksekutif dengan persetujuan Dewan Direktur.
(3) LPEI wajib mengumumkan laporan keuangan yang telah
diaudit melalui media massa elektronik dan paling sedikit
2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas
secara nasional, paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.
Bagian Keenam
Pembubaran
Pasal 39
LPEI hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 40
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap LPEI dilakukan
oleh Menteri.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan LPEI
ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
BAB VI
BANTUAN HUKUM
Pasal 41
LPEI memberikan bantuan hukum kepada anggota Dewan
Direktur, Direktur Eksekutif, Direktur Pelaksana, pegawai,
mantan Dewan Direktur, mantan Direktur Eksekutif, mantan
Direktur Pelaksana, dan mantan pegawai atas tuntutan
pidana dan/atau gugatan yang dapat menimbulkan kewajiban
dan/atau akibat hukum, sepanjang keputusan dan/atau
kebijakan yang diambil dilakukan dengan iktikad baik dan
sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
BAB VII . . .
- 17 -
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 42
(1) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, Direktur
Pelaksana, dan pegawai yang melanggar ketentuan Pasal
17 ayat (1), Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat
(3), dan Pasal 40 dikenai sanksi administratif berupa
teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 43
(1) Pegawai LPEI yang dengan sengaja melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan Pasal 13 ayat (1), Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 22, Pasal 24
ayat (1), dan/atau Pasal 32 yang mengakibatkan kerugian
bagi LPEI dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, atau
Direktur Pelaksana yang dengan sengaja melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 22,
Pasal 24 ayat (1), dan/atau Pasal 32 yang mengakibatkan
kerugian bagi LPEI dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
BAB IX . . .
- 18 -
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank Ekspor Indonesia
tetap melaksanakan kegiatan operasional sampai dengan
beroperasinya LPEI.
b. Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Bank Ekspor Indonesia ditugasi untuk
mempersiapkan operasional LPEI dan melakukan
sosialisasi.
c. Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Bank Ekspor Indonesia ditugasi untuk
menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan audit
atas laporan keuangan penutup Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Bank Ekspor Indonesia.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Untuk pertama kali, anggota Dewan Direktur diangkat untuk
masa jabatan sebagai berikut:
a. anggota Dewan Direktur yang merupakan Ketua Dewan
Direktur merangkap Direktur Eksekutif diangkat untuk
masa jabatan 5 (lima) tahun;
b. 3 (tiga) orang anggota Dewan Direktur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a diangkat untuk
masa jabatan 4 (empat) tahun;
c. 3 (tiga) orang anggota Dewan Direktur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a diangkat untuk
masa jabatan 3 (tiga) tahun;
d. paling banyak 3 (tiga) orang anggota Dewan Direktur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b
yang berasal dari luar LPEI yang bukan merupakan
Ketua Dewan Direktur diangkat untuk masa jabatan 4
(empat) tahun; dan
e. 1 (satu) orang . . .
- 19 -
Pasal 46
Dalam menjalankan kegiatannya, baik dalam melakukan
Pembiayaan, Penjaminan, maupun Asuransi, LPEI tunduk
pada Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 47
LPEI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dapat
menggunakan nama Indonesia Eximbank.
Pasal 48
(1) Paling lama 9 (sembilan) bulan sejak Undang-Undang ini
diundangkan:
a. LPEI mulai beroperasi;
b. anggota Dewan Direktur telah diangkat; dan
c. peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini
telah ditetapkan.
(2) Dengan beroperasinya LPEI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank Ekspor
Indonesia dinyatakan bubar dan semua aktiva dan
pasiva serta hak dan kewajiban hukum Perusahaan
Perseroan (Persero) PT Bank Ekspor Indonesia menjadi
aktiva dan pasiva serta hak dan kewajiban hukum
LPEI; dan
b. semua pegawai Perusahaan Perseroan (Persero) PT
Bank Ekspor Indonesia menjadi pegawai LPEI.
Pasal 49
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 20 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009
ttd
ANDI MATTALATTA
TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN
4. Undang-Undang ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
5. Sewa ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
BAB II
Pasal 2
a. Perusahaan Pembiayaan;
Pasal 3 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
Pasal 3
b. Anjak Piutang;
d. Pembiayaan Konsumen.
Pasal 4
Pasal 5
a. Pemberian ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
BAB III …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
BAB III
PEMBATASAN
Pasal 9
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan.
Pasal 10
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 11
BAB V ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 12
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Pasal 14 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
Pasal 14
Ditetapkan di Jakarta
ttd.
2. Kitab ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
8. Peraturan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Pasal I
“Pasal 1
1. Dihapus.
3. Bank ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
12. Pemodal adalah orang atau badan pemegang Efek Beragun Aset.
- 5 -
17. Surat Utang adalah bukti utang yang dikeluarkan oleh Penerbit
yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk memperoleh
pembayaran sebagai Pemodal.
“Pasal 4
- 6 -
(2) Efek Beragun Aset dapat berbentuk Surat Utang atau Surat
Partisipasi.
3. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) diubah serta ayat (3)
dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 6 menjadi berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 6
(1) Dalam hal Efek Beragun Aset berbentuk Surat Utang, SPV
membeli kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan
menerbitkan Surat Utang.
(3) Dihapus.”
4. Diantara ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
“Pasal 6A
“Pasal 8
“Pasal 9A
8. Ketentuan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
“Pasal 10
(2) Dalam hal arus kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencukupi, pembayaran kekurangannya bersumber dari
Pendukung Kredit.
“Pasal 12
- 9 -
11. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu
Pasal 12A, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 12A
“Pasal 14
“Pasal 18
- 10 -
“Pasal 19
15. Ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah serta ayat
(2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 20 menjadi berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 20
Pasal II ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
Pasal II
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2008
ttd
TENTANG
LEMBAGA PENJAMINAN
3. Undang ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG LEMBAGA PENJAMINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Penjaminan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
10. Prinsip Syariah adalah prinsip yang didasarkan atas ajaran atau
hukum Islam.
- 4 -
BAB II
KEGIATAN USAHA
Pasal 2
BAB III
Pasal 3
a. Perusahaan Umum;
b. Perusahaan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
c. Perusahaan Daerah;
e. Koperasi.
d. Pemerintah Daerah.
c. Pemerintah Daerah.
Pasal 4
- 6 -
Pasal 5
BAB IV
KELEMBAGAAN
Pasal 6
- 7 -
BAB V
PEMBATASAN
Pasal 7
- 8 -
BAB VI
Pasal 8
Pasal 9
BAB VII …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
Pasal 11
BAB VIII …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 12
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2008
ttd
MEMUTUSKAN:
-1-
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
-2-
9. Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah
badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara "Finance Lease"
maupun "Operating Lease" untuk digunakan oleh Penyewa
Guna Usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala.
10. Perusahaan Perdagangan Surat Berharga (Securities
Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha
pembiayaan dalam bentuk perdagangan surat berharga;
11. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company)
adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu Perusahaan
yang menerima bantuan pembiayaan (investee Company)
untuk jangka waktu tertentu;.
12. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernya-
taan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah
uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat
tersebut atau kepada penggantinya.
BAB II
BIDANG USAHA DAN
PENDIRIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN
Pasal 2
(1) Lembaga pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi
antara lain bidang usaha :
a. Sewa Guna Usaha;
b. Modal Ventura;
c. Perdagangan Surat Berharga;
d. Anjak Piutang;
e. Usaha Kartu Kredit;
f. Pembiayaan Konsumen.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan dan tata cara
pendirian perusahaan, serta kegiatan dalam bidang-bidang
usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
-3-
Pasal 3
BAB III
PEMBATASAN
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c dilarang menarik dana secara
langsung dari masyarakat dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan;
d. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note).
-4-
(2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c dapat menerbitkan Surat Sanggup
Bayar hanya sebagai jaminan atas hutang kepada Bank
yang menjadi krediturnya.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 6
Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas usaha Per-
usahaan Pembiayaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Dengan ditetapkannnya Keputusan Presiden ini, Bank, Lembaga
Keuangan Bukan Bank, dan Perusahaan Pembiayaan yang telah
memperoleh izin usaha dari Menteri atau telah melaksanakan
kegiatan usaha pembiayaan tetap dapat melanjutkan
kegiatannya dengan mengadakan penyesuaian terhadap
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Dengan ditetapkannya Keputusan presiden ini, segala peraturan
mengenai Sawa Guna Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 9
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-5-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 1988
-6-
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.786, 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN. Fidusia. Perusahaan
Pembiayaan. Kendaraan Bermotor. Pendaftaran.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.786 2
www.djpp.depkumham.go.id
3 2012, No.786
Pasal 4
Penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor oleh
Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan
telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen
kendaraan bermotor.
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan
Menteri ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari kalender.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah
memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi
peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak
memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diberikan secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan, yang
berlaku selama jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat
sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/ atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi
peringatan dan/ atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku
hingga hari kerja pertama berikutnya.
(7) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan
telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.786 4
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Agustus 2012
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Agustus 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
www.djpp.depkumham.go.id
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.1308, 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN. Pembiayaan.
Konsumen. Kendaraan Bermotor. Uang Muka.
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1308 2
MEMUTUSKAN:
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/ PMK.010/ 2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha pembiayaan
konsumen dan pembiayaan konsumen berdasarkan prinsip syariah
untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan ketentuan uang muka
(down payment ) kepada konsumen sebagai berikut:
www.djpp.depkumham.go.id
3 2012, No.1308
www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1308 4
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
www.djpp.depkumham.go.id
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA
KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
TENTANG
MEMUTUSKAN:
-2-
Pasal I
Pasal 10
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang Dewan Pengawas Syariah
yang terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan
b. 1 (satu) orang anggota.
Pasal 10A
-3-
Pasal II
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2012
ttd
NGALIM SAWEGA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL
NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
(1) Perusahaan pembiayaan wajib menyusun pedoman
pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah sesuai
dengan petunjuk penyusunan sebagaimana dimaksud dalam
lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini.
(2) Perusahaan pembiayaan wajib menyampaikan pedoman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Biro
Pembiayaan dan Penjaminan.
Pasal 2
(1) Perusahaan pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha
wajib menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip
mengenal nasabah yang telah disesuaikan berdasarkan
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja sejak ditetapkannya Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini.
(2) Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan melakukan
penilaian atas pedoman yang disampaikan oleh perusahaan
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berdasarkan penilaian Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan belum sesuai dengan petunjuk penyusunan
pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah,
perusahaan pembiayaan wajib melakukan perbaikan terhadap
pedoman dimaksud.
(4) Jangka waktu penyampaian perbaikan pedoman sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak diterima pemberitahuan dari Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro
Pembiayaan dan Penjaminan mengenai hasil penilaian
pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah.
(5) Dalam hal Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan tidak
menyampaikan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal penerimaan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip
mengenal nasabah, perusahaan pembiayaan dapat menerapkan
pedoman dimaksud.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
Pasal 3
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q.
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan berwenang untuk
meminta perusahaan pembiayaan melakukan perbaikan atas
pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah,
apabila di kemudian hari diketahui bahwa pedoman pelaksanaan
penerapan prinsip mengenal nasabah dimaksud tidak sesuai
dengan petunjuk penyusunan pedoman pelaksanaan penerapan
prinsip mengenal nasabah.
Pasal 4
Dengan ditetapkannya Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini, Keputusan Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan Nomor 2833/LK/2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pada Lembaga
Keuangan Non Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2011
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
LAMPIRAN
TENTANG
PETUNJUK PENYUSUNAN
PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 9 Februari 2010, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Salah satu tujuan
ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan tersebut sebagai upaya untuk
menciptakan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang sehat yang mengacu
kepada praktik-praktik terbaik yang berlaku secara internasional (international best
practices) serta terlindungi dari kemungkinan disalahgunakan untuk Pencucian
Uang, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku
kejahatan.
Peraturan Menteri Keuangan tersebut mewajibkan setiap LKNB untuk menyusun
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN). Yang
dimaksud dengan LKNB adalah Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, dan
Lembaga Pembiayaan. Sedangkan Lembaga Pembiayaan terdiri dari Perusahaan
Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur. Perusahaan Pembiayaan sebagai salah satu Lembaga Pembiayaan,
juga diwajibkan menyusun P4MN, agar mempunyai acuan baku dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
P4MN Perusahaan Pembiayaan wajib menjabarkan paling kurang hal-hal sebagai
berikut:
1. Penanggung Jawab Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
2. Kebijakan dan Prosedur Penerimaan Nasabah.
3. Kebijakan dan Prosedur dalam Mengidentifikasi dan Memverifikasi Nasabah.
4. Kebijakan dan Prosedur Pemantauan Rekening dan Pelaksanaan Transaksi
Nasabah.
5. Kebijakan dan Prosedur Manajemen Risiko yang Berkaitan dengan Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah.
1. Maksud
Penyusunan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini dimaksudkan sebagai petunjuk kepada Perusahaan Pembiayaan
dalam menyusun P4MN.
2. Tujuan
Penyusunan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini bertujuan agar Perusahaan Pembiayaan mempunyai pedoman
yang baku untuk dapat mengenali profil nasabahnya sehingga pada gilirannya
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-2-
dapat mengidentifikasi adanya transaksi yang tidak wajar yang dapat menjadi
Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicious Transactions) dan Transaksi
Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai (Cash Transactions). Berdasarkan hasil
identifikasi tersebut, Perusahaan Pembiayaan menyampaikan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan/Suspicious Transactions Report (laporan
TKM) dan/atau laporan Transaksi Keuangan Tunai/Cash Transactions Report
(laporan TKT) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK).
C. Ketentuan Umum
Dalam petunjuk penyusunan P4MN ini, yang dimaksud dengan:
1. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Perusahaan Pembiayaan,
termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. klien atau penjual piutang pada kegiatan anjak piutang;
b. lessee atau penyewa guna usaha pada kegiatan leasing atau sewa guna
usaha;
c. konsumen pada kegiatan pembiayaan konsumen; dan
d. pemegang kartu kredit pada usaha kartu kredit.
2. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
3. Transaksi Keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima
penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah
uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
4. Transaksi Keuangan Mencurigakan yang selanjutnya disingkat TKM adalah:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan Nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari pelaporan yang wajib dilakukan oleh Perusahaan
Pembiayaan;
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana; atau
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh
Perusahaan Pembiayaan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana.
5. Transaksi Keuangan Tunai yang selanjutnya disingkat TKT adalah Transaksi
Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang
logam dilakukan melalui Perusahaan Pembiayaan.
6. Beneficial Owner yang selanjutnya disingkat BO adalah setiap orang atau badan
hukum yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi Nasabah, yang
memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan
pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-3-
Contoh:
a. BO perorangan:
Seorang ibu rumah tangga mengajukan permohonan pembiayaan alat-alat
rumah tangga. Sumber dana ibu tersebut adalah dari suami pemohon yang
bersangkutan. Jadi yang menjadi BO-nya adalah suami pemohon tersebut.
b. BO badan hukum (perusahaan, yayasan, atau perkumpulan):
Calon Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan sewa guna usaha
sebuah mesin untuk perusahaan tempat calon Nasabah tersebut bekerja.
Sumber dana pembayaran sewa berasal dari perusahaan yang
bersangkutan. Jadi perlu ditelaah yang menjadi BO-nya adalah pemilik
atau Pemegang Saham Pengendali perusahaan tersebut.
7. Customer Due Diligence yang selanjutnya disingkat CDD adalah proses
identifikasi calon Nasabah dan verifikasi atas dokumen pendukung calon
Nasabah.
8. Rekening adalah rincian catatan yang lengkap mengenai Nasabah termasuk
tetapi tidak terbatas pada identitas, transaksi, atau perikatan antara
Perusahaan Pembiayaan dan Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-4-
BAB II
PENANGGUNG JAWAB PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
2. Unit kerja khusus atau anggota direksi diangkat oleh rapat umum pemegang
saham sedangkan pejabat setingkat di bawah direksi diangkat oleh direktur
utama/direksi.
5. Penanggung jawab penerapan PMN dapat menugaskan satu atau beberapa orang
staf yang ditugaskan untuk itu, disamping tugas-tugas rutinnya sesuai dengan
struktur organisasi.
BAB III
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENERIMAAN NASABAH
e) Informasi penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama calon
Nasabah paling kurang sebagai berikut:
(1) nama, alamat tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan nomor
telepon;
(2) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada);
(3) tempat dan tanggal lahir;
(4) kewarganegaraan; dan
(5) spesimen tanda tangan.
c. Dokumen
Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai dokumen
yang perlu dibuat dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah, yang
paling kurang terdiri dari:
1) Surat keputusan direksi kepada bagian/pejabat/pegawai yang dapat
menerima atau menolak calon Nasabah.
2) Formulir standar permohonan pembiayaan.
Dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah harus dinyatakan
adanya kewajiban untuk menggunakan formulir standar yang ditetapkan
bagi perikatan baru dengan Nasabah lama dan/atau Nasabah baru.
3) Dokumen-dokumen pendukung.
Dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah harus dinyatakan
adanya kewajiban Perusahaan Pembiayaan untuk mengupayakan yang
terbaik dalam memperoleh dokumen-dokumen pendukung dari calon
Nasabah.
a) Dokumen-dokumen pendukung untuk calon Nasabah perorangan
paling kurang terdiri dari:
(1) identitas calon Nasabah yang memuat:
(a) nama, alamat tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor untuk
WNI atau Paspor/KIMS/KITAS/KITAP untuk WNA;
(b) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada);
(c) tempat dan tanggal lahir;
(d) kewarganegaraan;
(2) keterangan mengenai pekerjaan;
(3) spesimen tanda tangan;
(4) keterangan mengenai sumber dana;
(5) rata-rata penghasilan;
(6) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada;
(7) NPWP, apabila sudah mempunyai; dan
(8) dokumen lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan
mengetahui profil calon Nasabah.
b) Dokumen-dokumen pendukung untuk calon Nasabah yang berbentuk
perusahaan paling kurang terdiri dari:
(1) dokumen mengenai perusahaan:
(a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon
perusahaan;
(b) akta pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang
bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir;
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 10 -
(c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang;
(d) surat keterangan domisili, contoh dari RT/RW setempat;
(e) laporan keuangan terkini;
(f) tanda daftar perusahaan (TDP); dan
(g) nomor pokok wajib pajak (NPWP).
(2) nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Perusahaan
Pembiayaan;
(3) dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan;
(4) keterangan mengenai sumber dana bagi calon Nasabah; dan
(5) dokumen lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan
mengetahui profil calon Nasabah.
c) Apabila calon Nasabah mewakili BO perorangan, identitas dan/atau
informasi yang harus dilengkapi mengenai BO antara lain:
(1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3) huruf a);
(2) pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber
dana dari BO; dan
(3) hubungan hukum antara calon Nasabah dengan BO dalam bentuk
surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya.
d) Apabila calon Nasabah mewakili BO badan hukum, identitas dan/atau
informasi yang harus dilengkapi mengenai BO antara lain:
(1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3) huruf b);
(2) pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber
dana dari BO; dan
(3) hubungan hukum antara calon Nasabah dengan BO dalam bentuk
surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 11 -
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR IDENTIFIKASI DAN VERIFIKASI
NASABAH DAN/ATAU BENEFICIAL OWNER (BO)
2) Kriteria dari TKM dan/atau transaksi yang tidak wajar terkait permohonan
pembiayaan.
TKM dan/atau transaksi yang tidak wajar terkait permohonan
pembiayaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a) transaksi yang tidak biasa dalam jumlah besar;
b) transaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan
ekonomi yang jelas;
c) transaksi yang diduga akan digunakan untuk melakukan perbuatan
melanggar hukum; dan
d) transaksi yang tidak sesuai dengan pola aktivitas Rekening.
3) Kriteria TKT yang wajib dilaporkan kepada PPATK sesuai undang-undang
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,
yaitu TKT dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, baik yang
dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam
1 (satu) hari kerja.
4) Kebijakan khusus untuk calon Nasabah dan/atau BO yang diklasifikasikan
mempunyai tingkat risiko tinggi terhadap tindak pidana Pencucian Uang
dan/atau calon Nasabah yang berasal dari negara-negara yang tidak
menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).
5) Pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab melakukan identifikasi
dan/atau verifikasi transaksi calon Nasabah dan/atau BO, yang ditunjuk
oleh direksi.
6) Pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab menetapkan calon Nasabah
dan/atau BO termasuk klasifikasi risiko tinggi dan/atau transaksi yang
tidak wajar, yang ditunjuk oleh direksi dan bukan merupakan pejabat atau
pegawai yang telah ditunjuk untuk bertanggung jawab melakukan
identifikasi dan/atau verifikasi calon Nasabah dan/atau BO.
7) Kriteria perikatan dengan calon Nasabah dan/atau BO yang
diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi dan wajib memperoleh
persetujuan dari direksi.
8) Kebijakan untuk menolak perikatan atau transaksi dengan calon Nasabah
dan/atau BO, apabila perikatan atau transaksi tersebut meragukan
Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Pembiayaan tidak dapat
meyakini kebenaran/keabsahan dokumen atau bukti atas identitas
dan/atau informasi lain mengenai BO.
BAB V
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PEMANTAUAN REKENING
DAN PELAKSANAAN TRANSAKSI NASABAH
BAB VI
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO
YANG BERKAITAN DENGAN PENERAPAN PMN
BAB VII
PROSEDUR KHUSUS
BAB VIII
PENUTUP
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
TENTANG
MEMUTUSKAN:
-2-
Pasal I
Pasal 10
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang Dewan Pengawas Syariah
yang terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan
b. 1 (satu) orang anggota.
Pasal 10A
-3-
Pasal II
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2012
ttd
NGALIM SAWEGA
PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 3 /POJK.05/2017
TENTANG
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA
PENJAMIN.
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban
finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan.
4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan,
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan
-3-
BAB II
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Pasal 2
Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik meliputi:
a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan
mengenai Lembaga Penjamin, yang mudah diakses
oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan di bidang penjaminan serta
standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha
yang sehat;
b. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan
pertanggungjawaban organ Lembaga Penjamin
sehingga kinerja penyelenggaraan usaha Lembaga
Penjamin dapat berjalan secara transparan, wajar,
efektif, dan efisien;
c. tanggung jawab, yaitu kesesuaian pengelolaan
Lembaga Penjamin dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan dan nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha yang sehat;
d. independensi, yaitu keadaan Lembaga Penjamin yang
dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas
dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau
tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penjaminan dan nilai etika serta standar,
prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang
sehat; dan
e. keadilan, yaitu kesetaraan dan keseimbangan di dalam
memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang
timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan, dan nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha yang sehat.
-7-
Pasal 3
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik bertujuan
untuk:
a. mengoptimalkan nilai Lembaga Penjamin bagi
Pemangku Kepentingan;
b. meningkatkan pengelolaan Lembaga Penjamin secara
profesional, efektif, dan efisien;
c. meningkatkan kepatuhan organ Lembaga Penjamin
dan jajaran dibawahnya agar dalam membuat
keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada
etika yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, dan kesadaran atas tanggung
jawab sosial Lembaga Penjamin terhadap Pemangku
Kepentingan maupun kelestarian lingkungan;
d. mewujudkan Lembaga Penjamin yang lebih sehat,
dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan
e. meningkatkan kontribusi Lembaga Penjamin dalam
perekonomian nasional.
Pasal 4
(1) Lembaga Penjamin wajib melaksanakan prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, dalam setiap kegiatan usahanya pada
seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
(2) Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit
memuat:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS;
b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang
menjalankan fungsi pengendalian internal
Lembaga Penjamin;
c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan
auditor eksternal;
-8-
BAB III
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
Pasal 5
(1) RUPS Lembaga Penjamin wajib diselenggarakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar Lembaga Penjamin yang transparan
dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus berupaya
menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak,
khususnya kepentingan Terjamin, Penerima Jaminan
dan kepentingan pemegang saham minoritas.
(3) Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalah
RUPS yang paling sedikit memuat waktu, agenda,
peserta, pendapat yang berkembang dalam RUPS, dan
keputusan RUPS.
BAB IV
PEMEGANG SAHAM
Pasal 6
Pemegang saham Lembaga Penjamin melalui RUPS harus
memastikan Lembaga Penjamin dijalankan berdasarkan
penyelenggaraan usaha yang sehat.
Pasal 7
(1) Pemegang saham Lembaga Penjamin dilarang
mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin
yang menjadi tanggung jawab Direksi sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar Lembaga Penjamin dan
-9-
BAB V
DIREKSI
Pasal 8
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 2
(dua) orang anggota Direksi.
(2) Paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari
jumlah anggota Direksi Lembaga Penjamin memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan
risiko sesuai dengan bidang usaha Lembaga
Penjamin.
Pasal 9
(1) Seluruh anggota Direksi Lembaga Penjamin yang
seluruh pemegang sahamnya:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. badan hukum Indonesia, yang dimiliki secara
langsung maupun tidak langsung oleh warga
negara Indonesia,
wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Lembaga Penjamin yang didalamnya terdapat
kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak
langsung wajib memiliki paling sedikit 50% (lima
puluh per seratus) anggota Direksi yang merupakan
warga negara Indonesia.
(3) Anggota Direksi Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib berdomisili
di wilayah negara Republik Indonesia.
- 10 -
Pasal 10
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki anggota Direksi
yang membawahkan fungsi kepatuhan.
(2) Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dirangkap oleh anggota Direksi yang membawahkan
fungsi pemasaran, fungsi bisnis dan operasional, dan
fungsi keuangan, kecuali direktur utama.
Pasal 11
Direksi Lembaga Penjamin wajib memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan
profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan Lembaga
Penjamin, Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan;
c. mendahulukan kepentingan Lembaga Penjamin,
Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan, daripada
kepentingan pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan Lembaga
Penjamin, Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan; dan
e. mampu menghindarkan penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Lembaga Penjamin.
- 11 -
Pasal 12
Direksi Lembaga Penjamin wajib:
a. menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat,
dan cepat serta dapat bertindak secara independen,
tidak mempunyai kepentingan yang dapat
mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan
tugas secara mandiri dan kritis;
b. mematuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan, anggaran dasar, dan peraturan internal
lain dari Lembaga Penjamin dalam melaksanakan
tugasnya;
c. mengelola Lembaga Penjamin sesuai dengan
kewenangan dan tanggung jawabnya;
d. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya
kepada RUPS;
e. memastikan agar Lembaga Penjamin memperhatikan
kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan
Terjamin dan/atau Penerima Jaminan;
f. memastikan agar informasi mengenai Lembaga
Penjamin diberikan kepada Dewan Komisaris dan
DPS secara tepat waktu dan lengkap; dan
g. membantu memenuhi kebutuhan DPS dalam
menggunakan anggota komite, karyawan Lembaga
Penjamin, dan tenaga ahli profesional yang struktur
organisasinya berada dibawah Direksi.
Pasal 13
(1) Direksi Lembaga Penjamin wajib membentuk komite
investasi.
(2) Anggota komite investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. anggota Direksi yang membawahkan fungsi
pengelolaan investasi; dan
b. tenaga ahli penjaminan.
(3) Komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas membantu Direksi dalam merumuskan
- 12 -
Pasal 14
(1) Anggota Direksi Lembaga Penjamin dilarang
merangkap jabatan pada Lembaga Penjamin atau
badan usaha lain.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila anggota Direksi
merangkap:
a. sebagai Dewan Komisaris pada Lembaga Penjamin
dengan lingkup wilayah operasional yang lebih
kecil dari lingkup wilayah operasional tempat
Direksi yang bersangkutan menjabat;
b. sebagai pengawas pada anak perusahaan yang
dikendalikan; dan/atau
c. sebagai pengurus asosiasi atau lembaga
pendidikan,
sepanjang perangkapan jabatan tersebut tidak
mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan
pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai anggota
Direksi Lembaga Penjamin.
Pasal 15
(1) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Direksi yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Direksi yang berasal dari mantan pegawai atau pejabat
Otoritas Jasa Keuangan apabila yang bersangkutan
berhenti bekerja dari Otoritas Jasa Keuangan kurang
dari 1 (satu) tahun.
- 13 -
Pasal 16
Anggota Direksi Lembaga Penjamin dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas
yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan
d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait
dengan kegiatan operasional Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain
yang telah ditetapkan dalam RUPS.
Pasal 17
(1) Direksi Lembaga Penjamin wajib menyelenggarakan
rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan.
(2) Direksi Lembaga Penjamin wajib menghadiri rapat
Direksi paling sedikit 50% (lima puluh per seratus)
dari jumlah rapat Direksi dalam periode 1 (satu)
tahun.
(3) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan
didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan
secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai
alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions)
tersebut.
- 14 -
BAB VI
DEWAN KOMISARIS
Pasal 18
Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 2 (dua)
orang anggota Dewan Komisaris.
Pasal 19
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 1
(satu) orang anggota Dewan Komisaris yang
berdomisili di Indonesia.
(2) Bagi anggota Dewan Komisaris berkewarganegaraan
asing yang berdomisili di wilayah negara Republik
Indonesia wajib memiliki:
a. surat izin menetap; dan
b. surat izin bekerja,
dari instansi yang berwenang.
(3) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota
Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga
Penjamin atau badan usaha lain.
(4) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila:
a. anggota Dewan Komisaris yang bukan
merupakan Komisaris Independen menjalankan
tugas fungsional dari pemegang saham Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum pada
kelompok usahanya; dan/atau
- 15 -
Pasal 20
(1) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang berasal dari pegawai atau
pejabat aktif Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang berasal dari mantan pegawai
atau pejabat Otoritas Jasa Keuangan apabila yang
bersangkutan berhenti bekerja dari Otoritas Jasa
Keuangan kurang dari 6 (enam) bulan.
Pasal 21
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib:
a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat kepada Direksi;
b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan
kepentingan semua pihak;
c. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang
merupakan bagian dari laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik;
d. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik;
e. memberikan persetujuan dalam hal DPS memerlukan
bantuan anggota komite yang struktur organisasinya
berada dibawah Dewan Komisaris; dan
f. memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti
temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja
audit internal Lembaga Penjamin, auditor eksternal,
hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
hasil pengawasan otoritas lain.
- 16 -
Pasal 22
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud
menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat
untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak
lain yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan Lembaga Penjamin tempat anggota
Dewan Komisaris dimaksud menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan
fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan
RUPS; dan
d. mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin
yang menjadi tanggung jawab Direksi.
Pasal 23
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin berhak
memperoleh informasi dari Direksi mengenai Lembaga
Penjamin secara lengkap dan tepat waktu.
Pasal 24
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki Komisaris
Independen dalam hal:
a. memiliki wilayah operasional nasional atau
provinsi; atau
b. terdapat kepemilikan asing.
(2) Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib:
a. berkewarganegaraan Indonesia; dan
b. berdomisili di Indonesia.
- 17 -
Pasal 25
Komisaris Independen Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau
pemegang saham Lembaga Penjamin, dalam Lembaga
Penjamin yang sama;
b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1
(satu) tingkat di bawah Direksi pada Lembaga
Penjamin yang sama atau badan usaha lain yang
memiliki hubungan Afiliasi dengan Lembaga Penjamin
tersebut dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir;
c. memahami peraturan perundang-undangan di bidang
Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang,
dan/atau Penjaminan Ulang Syariah dan peraturan
perundang-undangan lain yang relevan; dan
d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi
keuangan Lembaga Penjamin tempat Komisaris
Independen dimaksud menjabat.
Pasal 26
Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan
fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan
Terjamin, Penerima Jaminan, dan Pemangku Kepentingan
lainnya.
Pasal 27
(1) Komisaris Independen wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kalender sejak ditemukannya:
a. pelanggaran ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang penjaminan; dan/atau
b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Lembaga
Penjamin.
- 18 -
Pasal 28
Lembaga Penjamin dilarang memberhentikan Komisaris
Independen karena tindakan Komisaris Independen dalam
melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (1).
Pasal 29
(1) Lembaga Penjamin wajib membentuk komite audit
dalam hal:
a. memiliki wilayah operasional nasional atau
provinsi; atau
b. terdapat kepemilikan asing.
(2) Salah seorang anggota komite audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Komisaris Independen
yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua komite.
(3) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas membantu Dewan Komisaris dalam
memantau dan memastikan efektivitas sistem
pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor
internal dan auditor eksternal dengan melakukan
pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan
pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan
pengendalian internal termasuk proses pelaporan
keuangan.
(4) Selain komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Dewan Komisaris Lembaga Penjamin dapat
membentuk komite lain guna menunjang pelaksanaan
tugas Dewan Komisaris.
Pasal 30
Lembaga Penjamin dengan lingkup kabupaten wajib
memiliki fungsi yang membantu Dewan Komisaris dalam
- 19 -
Pasal 31
(1) Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib
menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
(2) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib
menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit 75%
(tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah rapat
Dewan Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun.
(3) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat
Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan
Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat
(dissenting opinions) tersebut.
(5) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin yang
hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan
Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat
Dewan Komisaris.
(6) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah
diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing
anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
Pasal 32
Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib menjamin
pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta
dapat bertindak secara independen dalam melaksanakan
tugas.
- 20 -
BAB VII
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Pasal 33
(1) Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS wajib memiliki DPS.
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat
oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia dan dituangkan dalam akta
notaris.
Pasal 34
(1) DPS paling sedikit mempunyai tugas dan wewenang
untuk memberikan nasihat dan saran kepada Direksi,
mengawasi aspek syariah kegiatan operasional
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS dan sebagai wakil
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS pada Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dimuat dalam anggaran dasar
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS.
Pasal 35
(1) Anggota DPS dilarang melakukan rangkap jabatan
sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris pada Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan
Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS yang
sama.
- 21 -
Pasal 36
Anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan
profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah, UUS, dan/atau Pemangku Kepentingan
lainnya;
c. mendahulukan kepentingan Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, UUS,
dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya daripada
kepentingan pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, UUS, dan/atau Pemangku
Kepentingan lainnya; dan
e. mampu menghindarkan penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS.
Pasal 37
DPS Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan
yang memiliki UUS wajib menjamin pengambilan
keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat
bertindak secara independen, tidak mempunyai
kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya
untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif.
- 22 -
Pasal 38
(1) DPS wajib melaksanakan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat serta saran kepada Direksi agar
kegiatan Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau
Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS sesuai
dengan Prinsip Syariah.
(2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat serta saran yang dilakukan DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. kegiatan Penjaminan Syariah dan Penjaminan
Ulang Syariah;
b. akad Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang
Syariah yang dipasarkan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan UUS; dan
c. praktik pemasaran Penjaminan Syariah dan
Penjaminan Ulang Syariah yang dilakukan oleh
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS.
(3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat serta saran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), DPS dapat dibantu oleh anggota komite
dan/atau pegawai yang struktur organisasinya berada
di bawah Dewan Komisaris dan/atau Direksi.
Pasal 39
Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi
mengenai Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS secara lengkap dan
tepat waktu.
Pasal 40
(1) DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS secara
berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu)
tahun.
- 23 -
Pasal 41
Anggota DPS dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah, dan UUS tempat anggota DPS dimaksud
menjabat;
b. memanfaatkan jabatan pada Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan
UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota
DPS dimaksud menjabat; dan
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota
DPS dimaksud menjabat, selain remunerasi dan
fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan
keputusan RUPS.
- 24 -
Pasal 42
(1) Dalam hal DPS menilai terdapat kebijakan atau
tindakan anggota Direksi yang terkait dengan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) yang
tidak sesuai dengan Prinsip Syariah, DPS wajib
meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas
kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Dalam hal Direksi menolak hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS wajib
melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada
Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
penjelasan anggota Direksi diterima oleh DPS.
(3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS meminta
Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap
kebijakan atau tindakan anggota Direksi tersebut agar
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan
terhadap kebijakan atau tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), DPS wajib segera melaporkan
secara lengkap dan komprehensif kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada Direksi
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui
anggota Direksi tidak melakukan upaya perbaikan
dimaksud.
BAB VIII
TRANSPARANSI KEPEMILIKAN SAHAM
Pasal 43
Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota
DPS Lembaga Penjamin wajib mengungkapkan mengenai:
a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima per
seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin tempat
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan
- 25 -
BAB IX
AUDITOR EKSTERNAL
Pasal 44
(1) Auditor eksternal Lembaga Penjamin wajib ditunjuk
oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang diajukan
oleh Dewan Komisaris berdasarkan usulan komite
audit.
(2) Auditor eksternal Lembaga Penjamin dengan lingkup
usaha kabupaten wajib ditunjuk oleh RUPS dari
calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan
Komisaris.
(3) Auditor eksternal Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disertai:
a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium
atau imbal jasa yang diusulkan untuk auditor
eksternal tersebut; dan
b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani
oleh auditor eksternal, untuk bebas dari
pengaruh Direksi, anggota Dewan Komisaris,
- 26 -
BAB X
PRAKTIK DAN KEBIJAKAN REMUNERASI
Pasal 45
(1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan kebijakan
remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, DPS, dan pegawai yang mendorong
perilaku berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent
behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka
panjang Lembaga Penjamin dan perlakuan adil
terhadap Terjamin, Penjamin, Penerima Jaminan
dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya.
(2) Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan paling sedikit:
a. kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
Lembaga Penjamin sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. prestasi kerja individual;
c. kewajaran dengan Lembaga Penjamin dan/atau
level jabatan yang setara (peer group); dan
d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka
panjang Lembaga Penjamin.
- 27 -
BAB XI
TATA KELOLA PENJAMINAN, PENJAMINAN SYARIAH,
PENJAMINAN ULANG, DAN PENJAMINAN ULANG SYARIAH
Pasal 46
(1) Lembaga Penjamin wajib menyusun kebijakan dan
rencana Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan
Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah yang
dituangkan dalam rencana bisnis tahunan Lembaga
Penjamin.
(2) Kebijakan dan rencana Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. ditetapkan oleh Direksi; dan
b. disosialisasikan kepada manajemen dan pegawai
di unit kerja terkait.
Pasal 47
Direksi wajib mengambil keputusan Penjaminan,
Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan
Ulang Syariah secara profesional dan mengoptimalkan nilai
tambah kekayaan Lembaga Penjamin dengan tetap
memperhatikan perlindungan terhadap Penerima Jaminan,
Terjamin, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya.
Pasal 48
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki satuan kerja atau
pegawai yang bertanggung jawab:
a. menyelenggarakan fungsi pemasaran, analisis
penjaminan, klaim dan subrogasi, serta
penanganan pengaduan Terjamin;
b. menyusun dan menerapkan standar dan
prosedur operasional Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan/atau
Penjaminan Ulang Syariah; dan
c. menyusun dan menerapkan sistem dan prosedur
pengendalian internal untuk memastikan bahwa
- 28 -
BAB XII
TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 49
(1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan tata kelola
teknologi informasi yang efektif.
(2) Tata kelola teknologi informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. struktur organisasi sistem informasi;
b. pedoman penggunaan sistem informasi yang
dilengkapi dengan instruksi atau perintah kerja
untuk setiap fungsi (standard operating
prosedure); dan
c. pedoman manajemen pengamanan data dan
insiden (disaster recovery plan).
BAB XIII
MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 50
(1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan manajemen
risiko dengan mengidentifikasi, menilai, dan
memantau risiko usaha secara efektif.
- 29 -
Pasal 51
(1) Direksi Lembaga Penjamin wajib menetapkan
pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk
memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan
usaha dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi
bisnis serta anggaran dasar dan aturan internal lain
Lembaga Penjamin, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencakup hal-hal sebagai
berikut:
a. lingkungan pengendalian internal dalam
Lembaga Penjamin yang disiplin dan terstruktur;
b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu
suatu proses untuk mengindentifikasi,
menganalisis, menilai, dan mengelola risiko
usaha;
c. aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang
dilakukan dalam suatu proses pengendalian
terhadap kegiatan Lembaga Penjamin pada setiap
tingkat dan unit dalam struktur organisasi
Lembaga Penjamin, paling sedikit mengenai
kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi,
penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas
dan keamanan terhadap aset Lembaga Penjamin;
d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu
proses penyajian laporan mengenai kegiatan
operasional, finansial, dan ketaatan atas
peraturan perundang-undangan dibidang usaha
Penjaminan, Penjamin Syariah, Penjamin Ulang,
dan Penjaminan Ulang Syariah;
- 30 -
BAB XIV
RENCANA BISNIS TAHUNAN
Pasal 52
(1) Lembaga Penjamin wajib menyusun rencana bisnis
tahunan.
(2) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling sedikit meliputi:
a. ringkasan eksekutif;
b. kebijakan dan strategi manajemen;
c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan;
d. penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik;
e. kinerja keuangan Lembaga Penjamin periode
sebelumnya;
f. proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang
digunakan;
g. proyeksi rasio-rasio dan tingkat kesehatan
keuangan;
h. rencana pengembangan dan pemasaran
Penjaminan atau Penjaminan Syariah;
i. rencana pengembangan dan/atau perubahan
jaringan kantor;
j. rencana permodalan;
k. rencana pendanaan;
- 31 -
BAB XV
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 53
(1) Lembaga Penjamin wajib memberikan informasi
kepada Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap, tepat
waktu, dan dengan cara yang efisien.
(2) Lembaga Penjamin wajib memiliki sistem pelaporan
keuangan yang handal dan terpercaya untuk
keperluan pengawasan dan Pemangku Kepentingan
lain.
Pasal 54
(1) Lembaga Penjamin wajib mengungkapkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan mengenai hal-hal penting,
paling sedikit meliputi:
a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor
eksternal;
b. transaksi material dengan pihak terkait;
c. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung
dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan
d. informasi material lain mengenai Lembaga
Penjamin.
- 32 -
BAB XVI
ETIKA BISNIS
Pasal 55
(1) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan
Lembaga Penjamin dilarang menawarkan atau
memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak
langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi
penjaminan, dengan melanggar ketentuan perundang-
undangan.
(2) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan
Lembaga Penjamin dilarang menerima sesuatu untuk
kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan
perundang-undangan, baik langsung maupun tidak
langsung, yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan yang terkait dengan transaksi Penjaminan,
Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan
Penjaminan Ulang Syariah.
Pasal 56
Lembaga Penjamin wajib membuat pedoman tentang
perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha, sebagai
panduan bagi organ perusahaan dan seluruh karyawan
Lembaga Penjamin.
BAB XVII
PELAPORAN
Pasal 57
(1) Lembaga Penjamin wajib melakukan penilaian secara
mandiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik secara berkala.
- 33 -
Pasal 58
(1) Lembaga Penjamin wajib menyusun laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada
setiap akhir tahun buku.
(2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling
sedikit memuat:
a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang Baik yang paling sedikit meliputi
pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan
prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. penilaian secara mandiri (self assessment) atas
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57; dan
c. rencana tindak (action plan) yang meliputi
tindakan korektif (corrective action) yang
diperlukan dan waktu penyelesaian serta
kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila
masih terdapat kekurangan dalam penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
(3) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.
(4) Apabila tanggal 30 April sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) adalah hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
setelah tanggal 30 April dimaksud.
- 34 -
BAB XVIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 59
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1),
Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4),
Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat
(1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 18,
Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 32, Pasal
33 ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37,
Pasal 38 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (4), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), Pasal
46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50
ayat (1), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), ayat
(3), dan ayat (4), Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), Pasal
55, Pasal 56, Pasal 57 ayat (1), dan Pasal 58 ayat
(1), ayat (3), dan ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
- 35 -
b. denda administratif;
c. pembekuan kegiatan usaha; atau
d. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh
Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin
paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan
masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua)
bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mencabut sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan
usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara
tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada
Lembaga Penjamin yang bersangkutan dan
pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama
6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan
kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi
peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha
berlaku sampai hari kerja pertama berikutnya.
(7) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjamin telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
- 36 -
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Bagi Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 18, Pasal 24 ayat (1),
dan Pasal 29 ayat (1) dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun
sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai Tata Kelola Perusahaan yang
Baik bagi Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
- 37 -
Pasal 62
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
ttd
YASONNA H. LAOLY
ttd
Yuliana
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban
finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
-3-
BAB II
KEGIATAN USAHA
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Usaha Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Syariah
Pasal 2
(1) Usaha Penjaminan meliputi:
a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang
diberikan oleh Lembaga Keuangan;
b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh
koperasi simpan pinjam atau koperasi yang
mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada
anggotanya; dan
c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program
kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha
milik negara dalam rangka program kemitraan
dan bina lingkungan.
(2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan:
a. penjaminan atas surat utang;
b. penjaminan pembelian barang secara angsuran;
c. penjaminan transaksi dagang;
d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa
(surety bond);
e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
g. penjaminan letter of credit;
h. penjaminan kepabeanan (customs bond);
i. penjaminan cukai;
j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait
dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan
k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
-8-
Pasal 3
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf j, wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format 1 dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan melampirkan dokumen yang berisi uraian
paling sedikit mengenai produk, manfaat, mekanisme
Klaim, serta hak dan kewajiban para pihak.
(2) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat
pencatatan pelaporan kegiatan usaha paling lama 20
(dua puluh) hari kerja setelah laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan tidak
menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan
usaha, Lembaga Penjamin dapat melaksanakan
kegiatan usaha tersebut.
-9-
Bagian Kedua
Kegiatan Usaha Lainnya bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah
Pasal 4
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf k,
wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah harus mengajukan
permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan format 2 dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dengan melampirkan dokumen yang
berisi uraian paling sedikit mengenai:
a. kegiatan usaha yang akan dilaksanakan;
b. analisis prospek usaha; dan
c. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan
digunakan untuk operasional.
(4) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan
atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap.
- 10 -
BAB III
PENYELENGGARAAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Mekanisme Penjaminan dan Penjaminan Syariah
Pasal 5
(1) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah
melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu Penerima Jaminan,
Terjamin, dan Penjamin.
(2) Penjamin memiliki hak tagih atas pemenuhan
kewajiban finansial Terjamin apabila Penjamin telah
menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak
finansial Penerima Jaminan jika Terjamin gagal
memenuhi kewajibannya.
(3) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dituangkan dalam Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah.
Bagian Kedua
Sertifikat Penjaminan dan Sertifikat Kafalah
Pasal 6
(1) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) harus
memuat paling sedikit ketentuan mengenai:
a. nama dan alamat Lembaga Penjamin, Penerima
Jaminan, dan Terjamin;
b. uraian manfaat Penjaminan;
c. jenis Penjaminan;
d. nilai Penjaminan;
e. nilai IJP atau IJK; dan
f. jangka waktu penjaminan.
- 12 -
Pasal 7
(1) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dapat
diterbitkan dalam bentuk hardcopy atau
digital/elektronik.
(2) Dalam hal Lembaga Penjamin akan melaksanakan
kegiatan usaha dengan menerbitkan Sertifikat
Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dalam bentuk
digital atau elektronik, Lembaga Penjamin wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. contoh format Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah;
- 13 -
Bagian Ketiga
Penjaminan Langsung dan Penjaminan Tidak Langsung
Pasal 8
(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dilakukan
dengan cara:
a. penjaminan langsung; atau
b. penjaminan tidak langsung.
(2) Penjaminan langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan paling
sedikit sebagai berikut:
a. terdapat permohonan Penjaminan atau
Penjaminan Syariah dari calon Terjamin kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah;
b. terdapat konfirmasi kepada Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
dari calon Penerima Jaminan atas permintaan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah;
c. telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin
yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah;
d. telah dilakukan pembayaran IJP atau IJK kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah; dan
e. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah.
(3) Penjaminan tidak langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan
paling sedikit sebagai berikut:
- 14 -
Pasal 9
(1) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf c harus memuat paling sedikit:
- 15 -
Pasal 10
(1) Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang,
dan Penjaminan Ulang Syariah bersifat mengikat dan
tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
(2) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dibatalkan
dan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), apabila:
a. Penerima Jaminan dan/atau Terjamin terbukti
memberikan informasi, data, atau dokumen palsu;
b. Penerima Jaminan dan/atau Terjamin terbukti
menyembunyikan informasi, data atau dokumen
yang tidak sesuai dengan ketentuan Penjaminan
atau Penjaminan Syariah; dan/atau
c. terbukti adanya itikad buruk dari Penerima
Jaminan dan/atau Terjamin.
(3) Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah
dapat dibatalkan dalam hal terjadi pembatalan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah yang
disebabkan terpenuhinya ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Bagian Keempat
Penjaminan Bersama
Pasal 11
(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dilakukan
dalam bentuk penjaminan bersama.
(2) Penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan bentuk kegiatan Penjaminan atau
Penjaminan Syariah yang dilakukan oleh 2 (dua) atau
lebih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah untuk melakukan kegiatan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah atas kewajiban
finansial Terjamin.
- 17 -
Pasal 12
(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan kerja sama
pemasaran dengan Lembaga Keuangan.
(2) Kerja sama pemasaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan ruang
lingkup kegiatan usaha Lembaga Penjamin dan
Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Lembaga Penjamin yang akan melakukan kegiatan
kerja sama pemasaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan format 4 dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
melampirkan dokumen:
a. uraian mengenai mekanisme kerja sama
pemasaran yang akan dilaksanakan;
b. uraian mengenai calon Penerima Jaminan,
Lembaga Penjamin, dan Lembaga Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta ruang
lingkup tanggung jawab masing-masing pihak;
c. analisis prospek usaha; dan
d. rancangan perjanjian kerja sama pemasaran.
(4) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat pencatatan
pelaporan kegiatan kerja sama pemasaran paling lama
20 (dua puluh) hari kerja setelah laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara
lengkap.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan tidak
menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan
kerja sama pemasaran, Lembaga Penjamin dapat
melaksanakan kegiatan kerja sama pemasaran
tersebut.
- 20 -
Bagian Kelima
Akad Penjaminan Syariah
Pasal 13
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan UUS wajib menerapkan prinsip dasar
sebagai berikut:
a. dipenuhinya prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya
(amanah), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan
(maslahah), dan keuniversalan (syumul); dan
b. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti
riba, maisir, gharar, zalim, risywah, maksiat, dan objek
haram.
Pasal 14
Perjanjian Penjaminan Syariah dan perjanjian Penjaminan
Ulang Syariah wajib menggunakan akad kafalah bil ujrah.
Pasal 15
Perusahaan Penjaminan dapat menyelenggarakan sebagian
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan
membentuk UUS.
Bagian Keenam
Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah
Pasal 16
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah wajib melakukan mitigasi risiko dengan
menjaminulangkan penjaminannya.
(2) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan untuk memenuhi kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah dalam hal:
a. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah telah memenuhi
kewajibannya kepada Penerima Jaminan; atau
- 21 -
BAB IV
IMBAL JASA
Pasal 17
(1) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya,
Perusahaan Penjaminan menerima IJP.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS menerima IJK.
(3) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya,
Perusahaan Penjaminan Ulang menerima IJPU.
(4) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah menerima IJKU.
Pasal 18
(1) Besarnya tarif IJP, IJK, IJPU, dan IJKU ditetapkan
dengan pertimbangan paling sedikit:
a. risiko yang dijamin, yang paling sedikit dihitung
berdasarkan:
1. rasio Klaim;
2. jenis Kredit atau Pembiayaan;
3. cakupan penjaminan; dan
4. jangka waktu penjaminan;
b. biaya administrasi umum, operasional, dan
pemasaran; dan
c. keuntungan.
- 22 -
Pasal 19
Total pendapatan yang diperoleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
dari seluruh kegiatan usaha lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf k dilarang
melebihi total pendapatan yang diperoleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dari
seluruh kegiatan usaha penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf j.
Pasal 20
(1) Lembaga Penjamin hanya dapat memberikan biaya
akuisisi yang berhubungan dengan perolehan bisnis.
(2) Lembaga Penjamin dilarang memberikan biaya
akuisisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari nilai IJP,
IJK, IJPU, atau IJKU yang diterima.
BAB V
CADANGAN, KLAIM, PEMBAYARAN KLAIM, DAN
PERALIHAN HAK TAGIH
Bagian Kesatu
Cadangan
Pasal 21
Lembaga Penjamin wajib memiliki cadangan Klaim dan
cadangan umum.
- 23 -
Pasal 22
(1) Lembaga Penjamin wajib membentuk cadangan Klaim
paling sedikit:
a. 0,01% (nol koma nol satu per seratus) dari nilai
Penjaminan yang ditanggung sendiri; atau
b. penjumlahan dari 100% (seratus per seratus) dari
nilai Penjaminan yang ditanggung sendiri pada
saat Klaim dilaporkan, dengan Klaim yang sudah
terjadi tetapi belum dilaporkan (incurred but not
reported),
mana yang lebih banyak.
(2) Klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan
(incurred but not reported) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan rata-rata
Klaim ditanggung sendiri yang telah dibayarkan pada
3 (tiga) bulan terakhir.
Pasal 23
(1) Lembaga Penjamin wajib menyisihkan cadangan
umum paling sedikit 25% (dua puluh lima per
seratus) dari laba bersih atau selisih hasil usaha
pada tiap akhir periode laporan tahunan.
(2) Dalam hal akumulasi cadangan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah mencapai 50% (lima
puluh per seratus) dari modal disetor, kebijakan
untuk menyisihkan cadangan umum dapat
mengikuti kebijakan rapat umum pemegang saham
atau yang setara.
(3) Cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dipergunakan untuk menutup
kerugian.
Bagian Kedua
Klaim
Pasal 24
(1) Pengajuan Klaim oleh Penerima Jaminan kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
- 24 -
Bagian Ketiga
Pembayaran Klaim
Pasal 25
(1) Lembaga Penjamin dilarang melakukan tindakan
yang dapat memperlambat penyelesaian atau
pembayaran Klaim atau tidak melakukan tindakan
yang seharusnya dilakukan yang dapat
mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau
kelambatan pembayaran Klaim.
(2) Lembaga Penjamin wajib memberikan persetujuan
atau penolakan atas permohonan pembayaran
Klaim paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
diterimanya secara lengkap permohonan
pembayaran Klaim atau sesuai jangka waktu yang
tercantum dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat
Kafalah, atau perjanjian kerja sama, mana yang
lebih singkat.
(3) Lembaga Penjamin wajib membayar Klaim dalam
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja
sejak adanya persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) atau sesuai jangka waktu yang
tercantum dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat
Kafalah, atau perjanjian kerja sama, mana yang
lebih singkat.
- 25 -
Bagian Keempat
Peralihan Hak Tagih
Pasal 26
(1) Sejak Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah, hak tagih
Penerima Jaminan kepada Terjamin beralih menjadi
hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah dapat melepaskan hak tagih
atas Penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah untuk
tujuan selain Usaha Produktif.
(3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah dapat membuat perjanjian dengan Penerima
Jaminan agar Penerima Jaminan melakukan upaya
penagihan atas hak tagih Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk dan atas nama
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah.
- 26 -
BAB VI
RETENSI SENDIRI
Pasal 27
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah wajib memiliki retensi sendiri
untuk setiap penjaminan.
(2) Retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian
(risk and loss profile) yang dibuat oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
secara tertib, teratur, relevan, dan akurat.
(3) Ketentuan retensi sendiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. ketentuan retensi sendiri minimum; dan
b. ketentuan retensi sendiri maksimum.
(4) Ketentuan retensi sendiri minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah sebagai
berikut:
a. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah sampai dengan kurang dari
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah),
wajib ditahan sendiri paling sedikit 75% (tujuh
puluh lima per seratus) dari nilai Penjaminan
atau Penjaminan Syariah dimaksud;
b. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah dari Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) sampai dengan kurang
dari Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah), wajib ditahan sendiri
- 27 -
BAB VII
KAPASITAS PENJAMINAN DAN NILAI PENJAMINAN
BAGI USAHA PRODUKTIF
Pasal 28
(1) Lembaga Penjamin wajib mengoptimalkan kapasitas
penjaminan.
(2) Kapasitas penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diukur dengan Gearing Ratio.
(3) Lembaga Penjamin wajib menjaga Gearing Ratio
untuk penjaminan bagi Usaha Produktif paling tinggi
20 (dua puluh) kali.
(4) Lembaga Penjamin wajib menjaga total Gearing Ratio
paling tinggi 40 (empat puluh) kali.
Pasal 29
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah wajib memiliki nilai penjaminan bagi Usaha
Produktif paling sedikit 25% (dua puluh lima per
seratus) dari total nilai penjaminan.
(2) Nilai penjaminan bagi Usaha Produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
mendapatkan izin usaha.
BAB VIII
LARANGAN
Pasal 30
(1) Lembaga Penjamin dilarang:
a. memberikan pinjaman; atau
b. menerima pinjaman.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka
melakukan restrukturisasi penjaminan bagi usaha
mikro, kecil, dan menengah, serta koperasi.
- 29 -
BAB IX
EKUITAS
Pasal 31
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah lingkup kabupaten/kota wajib
memiliki Ekuitas paling sedikit Rp25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah) dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin
usaha.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah lingkup provinsi wajib memiliki
Ekuitas paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha.
(3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah lingkup nasional wajib memiliki
Ekuitas paling sedikit Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah) dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun setelah memperoleh izin usaha.
(4) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah wajib memiliki Ekuitas
paling sedikit Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun setelah memperoleh izin usaha.
Pasal 32
(1) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup
kabupaten/kota wajib memiliki Ekuitas paling
sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
setelah memperoleh izin usaha.
- 30 -
BAB X
INVESTASI LEMBAGA PENJAMIN
Bagian Kesatu
Jenis Investasi
Pasal 33
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Ulang wajib menempatkan investasi pada jenis
investasi sebagai berikut:
a. deposito pada bank;
b. surat berharga negara;
c. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
d. obligasi korporasi;
e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia;
f. efek beragun aset;
g. reksa dana;
h. medium term notes;
i. repurchase agreement;
j. dana investasi real estat berbentuk kontrak
investasi kolektif;
k. tanah dan bangunan; dan/atau
l. penyertaan langsung pada perusahaan di sektor
jasa keuangan di Indonesia.
(2) Jenis investasi yang dapat ditempatkan Perusahaan
Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang
- 31 -
Pasal 34
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan UUS wajib menempatkan investasi
pada jenis investasi sebagai berikut:
a. deposito pada bank umum syariah, unit usaha syariah
pada bank umum, dan bank pembiayaan rakyat
syariah;
b. surat berharga syariah negara;
c. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
d. sukuk korporasi;
e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia dan
masuk dalam daftar efek syariah yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
f. efek beragun aset syariah;
g. reksa dana syariah;
h. medium term notes syariah;
i. repurchase agreement syariah;
j. dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak
investasi kolektif; dan/atau
k. penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa
keuangan syariah di Indonesia.
Pasal 35
(1) Investasi dalam bentuk obligasi korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf
d dan sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf d wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. tercatat di bursa efek di Indonesia; dan
b. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang telah
mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan.
- 32 -
Pasal 36
Dalam hal perusahaan penerbit jenis investasi berupa
obligasi korporasi dan/atau medium term notes merupakan
lembaga jasa keuangan non-bank, ketentuan untuk
memiliki peringkat investment grade dari perusahaan
pemeringkat efek yang telah mendapat izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c dapat
dikecualikan sepanjang:
- 35 -
Bagian Kedua
Batasan Investasi
Pasal 37
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Ulang yang akan menempatkan investasi pada jenis
investasi berupa tanah dan bangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf k wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki lingkup wilayah operasional secara
nasional; dan
b. memiliki manajemen risiko yang memadai.
(2) Lembaga Penjamin yang akan menempatkan investasi
pada jenis investasi berupa medium term notes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf h
dan medium term notes syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf h, repurchase agreement
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf i
dan repurchase agreement syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf i, dana investasi real
estat berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j, dan dana
investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi
kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf j
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki lingkup wilayah operasional secara
nasional;
b. memiliki jumlah aset paling sedikit
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan
c. memiliki manajemen risiko yang memadai.
- 36 -
Pasal 38
(1) Investasi dalam bentuk deposito pada bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a
dan deposito pada bank umum syariah, unit usaha
syariah pada bank umum, dan bank pembiayaan rakyat
syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pada setiap bank umum atau bank umum syariah
dilarang melebihi 30% (tiga puluh per seratus) dari
jumlah investasi; dan
b. pada setiap bank perkreditan rakyat atau bank
pembiayaan rakyat syariah dilarang melebihi 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah investasi.
(2) Ketentuan batasan investasi dalam bentuk deposito
pada bank dan deposito pada bank umum syariah, unit
usaha syariah pada bank umum, dan bank pembiayaan
rakyat syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Lembaga Penjamin yang
mendapatkan penugasan dari pemerintah yang
dibuktikan dengan adanya bukti penugasan.
(3) Lembaga Penjamin yang mendapatkan penugasan dari
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
menempatkan investasi dalam bentuk deposito pada
bank, wajib ditempatkan pada deposito bank umum,
unit usaha syariah pada bank umum, bank umum
syariah, bank perkreditan rakyat, dan/atau bank
pembiayaan rakyat syariah yang dimiliki oleh
pemerintah dengan memperhatikan tingkat kesehatan
bank dimaksud.
(4) Investasi dalam bentuk obligasi korporasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf d dan/atau
sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Pasal 34 huruf d dilarang melebihi 10% (sepuluh per
seratus) untuk setiap penerbit dan seluruhnya dilarang
melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah
investasi.
- 37 -
Pasal 39
(1) Jumlah seluruh penempatan Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Ulang pada instrumen
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
- 39 -
Pasal 40
(1) Jumlah seluruh investasi Lembaga Penjamin yang
ditempatkan pada pihak yang terafiliasi tidak termasuk
penyertaan langsung, dilarang melebihi 10% (sepuluh
per seratus) dari jumlah investasi.
(2) Pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pihak yang memiliki hubungan dengan satu
atau lebih pihak lain, sedemikian rupa sehingga salah
satu pihak dapat mempengaruhi pengelolaan atau
kebijakan dari pihak yang lain atau sebaliknya.
(3) Hubungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan atau
kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
bentuk:
a. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur
atau pejabat setingkat di bawah direktur atau
komisaris, yang juga menjabat sebagai direktur
atau pejabat setingkat di bawah direktur atau
komisaris pada pihak lain;
b. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur,
komisaris, atau pemegang saham pengendali, yang
memiliki hubungan keluarga karena perkawinan
atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal yang menjabat sebagai
direktur, komisaris, atau pemegang saham
pengendali pada pihak lain;
c. salah satu pihak memiliki paling sedikit 25% (dua
puluh lima per seratus) saham pihak lain;
- 40 -
Pasal 41
(1) Kesesuaian dengan batasan investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 40
ditentukan pada saat dilakukan penempatan investasi.
(2) Direksi harus memastikan batasan investasi pada
saat melakukan penempatan investasi telah sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 sampai dengan Pasal 40.
BAB XI
KESEHATAN KEUANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 42
(1) Lembaga Penjamin wajib menjaga kondisi kesehatan
keuangannya.
(2) Pengukuran kesehatan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rasio likuiditas;
b. Gearing Ratio;
c. rentabilitas; dan
d. penilaian sendiri (self assessment) tata kelola
perusahaan yang baik bagi Lembaga Penjamin.
- 41 -
Bagian Kedua
Rasio Likuiditas dan Rentabilitas
Pasal 43
(1) Lembaga Penjamin wajib menjaga tingkat likuiditasnya.
(2) Lembaga Penjamin wajib menjaga rasio likuiditas paling
rendah 120% (seratus dua puluh per seratus).
(3) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dihitung dengan menggunakan current ratio yaitu
perbandingan antara aset lancar dengan utang lancar.
(4) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2) huruf c merupakan kemampuan Lembaga
Penjamin dalam menghasilkan laba.
(5) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) meliputi penilaian terhadap
kinerja aset dan efisiensi operasional.
BAB XII
PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 44
(1) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan kegiatannya
memanfaatkan teknologi informasi.
(2) Lembaga Penjamin wajib memiliki manajemen risiko
yang memadai terhadap pemanfaatan teknologi
informasi yang paling sedikit mencakup:
a. kecukupan kebijakan dan prosedur penggunaan
teknologi informasi;
- 42 -
Pasal 45
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki situs web.
(2) Situs web sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a. izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan atau
otoritas lain sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan;
b. struktur organisasi dan nama pejabat Lembaga
Penjamin paling sedikit Dewan Komisaris, dewan
pengawas syariah (jika ada), Direksi, dan pejabat
satu tingkat di bawah Direksi;
c. alamat, jaringan kantor cabang, alamat surat
elektronik, nomor telepon kantor, dan nama
pejabat kantor cabang;
d. ringkasan informasi produk dari seluruh produk
yang dipasarkan;
e. prosedur dan cara bertransaksi;
f. informasi tata cara pelayanan dan penyelesaian
pengaduan;
g. daftar agen penjamin yang aktif;
h. penerapan tata kelola perusahaan yang termuat
dalam laporan tahunan;
i. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit;
j. informasi mengenai UUS dan Usaha Penjaminan
Syariah bagi Perusahaan Penjaminan yang
menjalankan usaha Penjaminan Syariah dan/atau
memiliki UUS; dan
k. informasi lainnya baik yang telah diwajibkan oleh
peraturan lainnya maupun kebutuhan dari
Lembaga Penjamin.
- 43 -
Pasal 46
(1) Lembaga Penjamin yang memiliki pusat data (data
center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery
center) wajib menempatkan pusat data (data center) dan
pusat pemulihan bencana (disaster recovery center)
tersebut di wilayah Indonesia untuk kepentingan
penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan
kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
(2) Lembaga Penjamin yang memiliki pusat pemulihan
bencana (disaster recovery center) wajib menempatkan
pusat pemulihan bencana (disaster recovery center)
tersebut pada lokasi yang terpisah dari kantor pusat.
(3) Ketentuan mengenai pusat data (data center) dan pusat
pemulihan bencana (disaster recovery center) di wilayah
Indonesia mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penyelenggara sistem
dan transaksi elektronik.
BAB XIII
LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Pemeringkat Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi
Pasal 47
(1) Lembaga Penjamin dapat menggunakan jasa dari
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dalam menjalankan usahanya.
(2) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi yang digunakan, wajib telah terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
- 44 -
Pasal 48
(1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh pemeringkat
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi terdiri dari:
a. menghimpun data usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi dan data lainnya; dan
b. mengolah data usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dan data lainnya untuk menghasilkan
informasi pemeringkatan (rating).
(2) Data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta
data lainnya yang dihimpun dan diolah oleh
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat digunakan untuk menghasilkan informasi
pemeringkatan (rating).
(3) Informasi pemeringkatan (rating) yang dihasilkan oleh
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
baik yang bersifat individual maupun agregat, paling
sedikit memuat:
a. kelayakan usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi untuk memperoleh penyediaan dana;
b. rekam jejak reputasi usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi dalam memenuhi
kewajiban penyediaan dana;
c. pemeringkatan untuk menilai kemampuan usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi untuk
memenuhi kewajiban penyediaan dana;
d. karakter usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi; dan
e. informasi lainnya yang dapat digunakan untuk
menilai kemampuan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi.
- 45 -
Pasal 49
(1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi wajib:
a. menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan
kerahasiaan data;
b. memiliki sistem yang andal;
c. memiliki kebijakan dan prosedur operasional yang
dituangkan dalam pedoman tertulis; dan
d. memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh
setiap pihak yang menggunakan informasi
pemeringkatan (rating).
(2) Kebijakan dan prosedur operasional kegiatan
pemeringkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit meliputi:
a. langkah-langkah kegiatan pengamanan data;
b. level akses;
c. prosedur pengubahan data;
d. pengamanan informasi;
e. business continuity plan;
f. end-user computing;
g. disaster recovery plan;
h. pemantauan terhadap operasional termasuk audit
trail;
i. prosedur pemberian informasi pemeringkatan
(rating); dan
j. prosedur penanganan dan penyelesaian
pengaduan.
Pasal 50
(1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
dapat menghimpun dan mengolah data usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi, dan data lainnya.
(2) Dalam rangka memperluas dan memperkaya cakupan
data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, dan
data lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
- 46 -
Pasal 51
(1) Pengelolaan data usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dan data lainnya oleh pemeringkat usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi mencakup
kegiatan penghimpunan, pengolahan, dan
pendistribusian data.
(2) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemeringkat usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi wajib berpedoman pada
ketentuan dan peraturan perundang-undangan
mengenai penyelenggara sistem informasi dan
transaksi elektronik.
Pasal 52
(1) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1), pemeringkat usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi wajib melakukan
langkah-langkah pengamanan untuk menjaga akurasi,
keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data.
(2) Dalam rangka menjaga akurasi, keterkinian,
keamanan, dan kerahasiaan data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemeringkat usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi wajib menempatkan
server dan database di dalam wilayah Republik
Indonesia.
- 47 -
Pasal 53
(1) Pihak yang dapat memperoleh informasi pemeringkatan
(rating) adalah:
a. lembaga jasa keuangan yang menjadi anggota dari
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi;
b. kementerian dan lembaga negara lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2)
huruf a yang menjadi sumber data pemeringkat
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang
bersangkutan;
c. pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi lain;
d. usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi atas
informasi pemeringkat (rating) yang bersangkutan;
dan/atau
e. pihak lain.
(2) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi wajib mengadministrasikan seluruh
permintaan terhadap informasi pemeringkatan (rating)
dari pihak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dapat mengenakan biaya terhadap pemberian
informasi pemeringkatan (rating) kepada pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 54
(1) Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Otoritas Jasa
Keuangan dapat meminta data yang dikelola oleh
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi secara langsung.
- 48 -
Bagian Kedua
Agen Penjamin
Pasal 55
(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Lembaga
Penjamin dapat menggunakan jasa agen penjamin.
(2) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan orang perseorangan atau badan usaha yang
melakukan pemasaran kegiatan usaha penjaminan
untuk dan atas nama Lembaga Penjamin.
(3) Agen penjamin dilarang menggelapkan IJP, IJK, IJPU,
dan/atau IJKU.
(4) Lembaga Penjamin wajib memiliki perjanjian keagenan
dengan agen penjamin yang melakukan pemasaran
untuk dan atas nama Lembaga Penjamin.
(5) Semua tindakan agen penjamin yang berkaitan dengan
transaksi Penjaminan menjadi tanggung jawab
Lembaga Penjamin yang diageni.
Bagian Ketiga
Broker
Pasal 56
(1) Broker merupakan pihak yang memberikan jasa
konsultasi dan/atau keperantaraan dalam pemberian
penjaminan serta penanganan penyelesaian klaimnya
dengan bertindak untuk dan atas nama Terjamin.
- 49 -
Pasal 57
(1) Broker Penjaminan atau broker Penjaminan Syariah
dapat menerima pembayaran IJP atau IJK dari
Terjamin.
(2) Broker Penjaminan Ulang atau broker Penjaminan
Ulang Syariah dapat menerima pembayaran IJPU atau
IJKU dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah.
(3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah menerbitkan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah setelah menerima pembayaran IJP
atau IJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari
broker Penjaminan atau broker Penjaminan Syariah.
BAB XIV
PELAPORAN
Pasal 58
(1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan
bulanan secara lengkap kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan
penyampaian laporan bulanan diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai laporan bulanan
industri keuangan non bank.
- 50 -
Pasal 59
(1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik secara lengkap kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku
berakhir.
(2) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah berdasarkan tahun takwim.
(3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1):
a. disusun dalam mata uang Rupiah; dan
b. disampaikan secara tertulis kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan alamat sebagaimana tertera
pada laman resmi Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Apabila batas akhir penyampaian laporan jatuh pada
hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah
hari kerja pertama berikutnya.
(5) Dalam hal Lembaga Penjamin memperoleh izin usaha
kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim
berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku pada tahun takwim berikutnya.
Pasal 60
Selain laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59, Lembaga Penjamin wajib menyampaikan
laporan sewaktu-waktu bila diperlukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 61
(1) Lembaga Penjamin wajib mengumumkan neraca dan
perhitungan laba rugi singkat paling lambat 4 (empat)
bulan setelah tahun buku berakhir, paling sedikit pada
1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki
peredaran luas di lingkup wilayah operasional Lembaga
Penjamin.
- 51 -
BAB XV
PEDOMAN AKUNTANSI LEMBAGA PENJAMIN
Pasal 62
(1) Lembaga Penjamin wajib melakukan pencatatan atas
kegiatan usahanya berdasarkan pernyataan standar
akuntansi keuangan yang relevan bagi Lembaga
Penjamin dan pedoman akuntansi Lembaga Penjamin
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai pedoman akuntansi Lembaga
Penjamin Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XVI
PENEGAKAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan
Pasal 63
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4
ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 ayat (3), Pasal 25
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat
(1) dan ayat (3), dan/atau Pasal 55 ayat (4) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diberikan surat
pemberitahuan.
- 52 -
Bagian Kedua
Rencana Pemenuhan
Pasal 64
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6), Pasal
12 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 19, Pasal 21, Pasal
22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), ayat (3),
dan ayat (4), Pasal 29, Pasal 31, Pasal 42 ayat (1),
Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 46 ayat
(1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
wajib menyampaikan rencana pemenuhan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) bulan
sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran.
(2) Lembaga Penjamin yang mempunyai UUS yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (6), Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (1),
Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1),
Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal
29, Pasal 32, Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (1) dan
ayat (2), dan/atau Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib
menyampaikan rencana pemenuhan paling lama 1
(satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya
pelanggaran.
- 53 -
BAB XVII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 65
(1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (3) Lembaga Penjamin tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (1) dan/atau ayat (2) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, Lembaga Penjamin dikenai sanksi
administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin
UUS.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi
tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatalan persetujuan; dan/atau
- 55 -
Pasal 66
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat
- 57 -
Pasal 67
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 11
ayat (4), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 20 ayat (2), Pasal 25
ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38 ayat (1), ayat (3), ayat (4),
- 60 -
ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10),
ayat (11), ayat (12), dan ayat (14), Pasal 39, Pasal 40
ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60,
Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 62 ayat
(1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai
sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13, Pasal
14, Pasal 20 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30 ayat (1),
Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (1),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat
(9), ayat (10), ayat (12), dan ayat (14), Pasal 39, Pasal 40
ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60, dan/atau Pasal 62
ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai
sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin UUS.
(3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2)
namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang
berakhir dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan/atau ayat (2) huruf a, dapat
diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2
(dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat
- 61 -
Pasal 68
(1) Lembaga Penjamin yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dikenai sanksi administratif tambahan berupa denda
administratif.
(2) Besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan; dan
b. paling banyak Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam
puluh juta rupiah) untuk laporan keuangan
tahunan yang terlambat disampaikan.
Pasal 69
(1) Lembaga penunjang penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 49 ayat (1), Pasal 51 ayat (2),
Pasal 52, Pasal 53 ayat (2), Pasal 54 ayat (2), dan/atau
Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan
- 63 -
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 70
(1) Bagi Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin
usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan dan telah melaksanakan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf j dikecualikan dari ketentuan
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
- 65 -
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha
Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 72
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
- 67 -
Pasal 73
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 7
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN
EKSPOR INDONESIA.
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang
selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia.
2. Pemerintah adalah pemerintah negara Republik
Indonesia.
3. Pembiayaan adalah kredit dan/atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah yang disediakan oleh
LPEI.
4. Penjaminan adalah pemberian fasilitas jaminan
untuk menanggung pembayaran kewajiban keuangan
pihak terjamin dalam hal pihak terjamin tidak dapat
memenuhi kewajiban perikatan kepada krediturnya.
5. Asuransi adalah pemberian fasilitas berupa ganti rugi
atas kerugian yang timbul sebagai akibat dari suatu
peristiwa yang tidak pasti.
6. Prinsip Syariah adalah pokok-pokok aturan
berdasarkan hukum Islam yang dijadikan landasan
dalam pembuatan perjanjian antara LPEI dan pihak
lain dalam menjalankan kegiatan pembiayaan ekspor
nasional.
7. Transaksi Derivatif adalah suatu kontrak atau
perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan
turunan dari nilai dari instrumen yang mendasari,
seperti suku bunga, nilai tukar komoditi, ekuitas dan
indeks baik yang diikuti pergerakan atau tanpa
pergerakan dana/instrumen, yang dilakukan dalam
rangka lindung nilai (hedging).
-3-
BAB II
KEGIATAN USAHA
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha LPEI meliputi:
a. Pembiayaan;
b. Penjaminan;
c. Asuransi; dan
d. jasa konsultasi.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, dan huruf c dapat dilakukan
berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Pembiayaan bagi hasil dengan akad mudharabah,
akad musyarakah, atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. Pembiayaan dengan akad murabahah, akad
salam, akad istishna’, atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. Pembiayaan dengan akad qardh atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. Pembiayaan penyewaan dengan akad ijarah, akad
ijarah muntahiyah bit tamlik, atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. penerimaan kuasa dalam rangka pengambilalihan
hutang piutang atau kegiatan lain dengan akad
hawalah, akad wakalah, atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
dan/atau
f. Penjaminan dengan akad kafalah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
(4) Dalam melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah, LPEI wajib:
a. membuka unit kerja khusus;
b. mengalokasikan modal tersendiri;
c. melakukan pembukuan secara terpisah;
-6-
Pasal 3
LPEI wajib menerapkan prinsip tata kelola perusahaan
yang baik, penerapan manajemen risiko, dan prinsip
mengenal nasabah dalam setiap kegiatannya.
BAB III
SUMBER PENDANAAN
Pasal 4
(1) Untuk membiayai kegiatannya, LPEI dapat
memperoleh dana dari:
a. penerbitan surat berharga;
b. pinjaman jangka pendek, jangka menengah,
dan/atau jangka panjang yang bersumber dari:
1. pemerintah asing;
2. lembaga multilateral;
3. bank serta lembaga keuangan dan
pembiayaan, baik dari dalam maupun luar
negeri; dan/atau
4. Pemerintah; dan/atau
c. hibah.
(2) Selain memperoleh dana dari sumber sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), LPEI dapat membiayai
kegiatannya dengan sumber pendanaan dari
penempatan dana oleh Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dapat diperoleh berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Akad yang digunakan dalam pendanaan berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa akad mudharabah, akad mudharabah
musytarakah, akad ijarah, akad murabahah, akad
-7-
Pasal 6
(1) LPEI wajib memenuhi ketentuan gearing ratio paling
tinggi 20 (dua puluh) kali.
(2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman
yang diterima dan surat berharga yang diterbitkan
terhadap Ekuitas.
BAB IV
TRANSAKSI DERIVATIF
Pasal 7
(1) LPEI wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
mengelola tagihan dan/atau kewajiban yang timbul
dari Transaksi Derivatif.
(2) Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang dilakukan kecuali dalam rangka lindung
nilai (hedging).
Pasal 8
(1) BMTD untuk setiap pihak lawan ditetapkan sebesar
10% (sepuluh persen) dari Ekuitas.
(2) BMTD dihitung berdasarkan risiko Transaksi Derivatif
yang terdiri dari Tagihan Derivatif ditambah potential
future credit exposure.
BAB V
KUALITAS AKTIVA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) LPEI wajib menilai, memantau, dan mengambil
-8-
Bagian Kedua
Aktiva Produktif
Paragraf 1
Umum
Pasal 10
(1) LPEI wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap:
a. 1 (satu) peminjam dengan beberapa rekening
yang berbeda; dan/atau
b. 1 (satu) peminjam yang dibiayai oleh beberapa
kreditur untuk membiayai proyek yang sama.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Aktiva
Produktif, kualitas Aktiva Produktif yang digunakan
adalah yang paling rendah.
(3) LPEI dapat menetapkan kualitas Aktiva Produktif yang
berbeda, dalam hal:
a. penetapan kualitas Aktiva Produktif
menggunakan faktor risiko negara (country risk)
Republik Indonesia;
b. penetapan kualitas Aktiva Produktif yang paling
rendah telah dihapus buku;
c. Pembiayaan sampai dengan jumlah
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
dan/atau
d. peminjam memiliki beberapa proyek yang berbeda
dengan pemisahan arus kas (cash flow) yang
tegas dari masing-masing proyek.
(4) LPEI wajib melakukan penyesuaian kualitas Aktiva
Produktif paling sedikit setiap 3 (tiga) bulan, yaitu
untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan
Desember.
-9-
Pasal 11
(1) LPEI wajib menetapkan kriteria peminjam yang wajib
menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit
kantor akuntan publik termasuk aturan mengenai
batas waktu penyampaian laporan keuangan tersebut.
(2) LPEI wajib mencantumkan kewajiban peminjam untuk
menyampaikan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam perjanjian antara LPEI
dan peminjam.
(3) Kualitas Aktiva Produktif dari peminjam yang tidak
menyampaikan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan
dinilai paling tinggi kurang lancar.
Paragraf 2
Pembiayaan
Pasal 12
(1) Kualitas Pembiayaan ditetapkan berdasarkan faktor
penilaian:
a. prospek usaha;
b. kinerja (performance) peminjam; dan/atau
c. kemampuan membayar.
(2) Penilaian terhadap prospek usaha meliputi komponen:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi peminjam dalam
persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga
kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan peminjam dalam rangka
memelihara lingkungan hidup.
(3) Penilaian terhadap kinerja (performance) peminjam
meliputi komponen:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
- 10 -
Pasal 13
(1) Penilaian faktor kemampuan membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf a untuk
Pembiayaan dengan akad mudharabah dan akad
musyarakah mengacu pada ketepatan pembayaran
angsuran pokok dan/atau pencapaian rasio antara
Realisasi Pendapatan (RP) dengan Proyeksi
Pendapatan (PP).
(2) Penghitungan RP dan PP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung berdasarkan rata-rata akumulasi
selama periode Pembiayaan berdasarkan analisis
kelayakan usaha dan arus kas masuk nasabah.
(3) LPEI dapat mengubah PP berdasarkan kesepakatan
dengan nasabah apabila terdapat perubahan atas
- 11 -
Paragraf 3
Pembiayaan Bermasalah
Pasal 14
(1) Kualitas Pembiayaan yang dikategorikan sebagai
Pembiayaan bermasalah (non performing financing)
terdiri atas Pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet.
(2) LPEI dilarang memiliki Pembiayaan dengan kategori
kualitas Pembiayaan bermasalah (non performing
financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
dikurangi cadangan penyisihan penghapusan
Pembiayaan, lebih dari 5% (lima persen) dari total
Pembiayaan.
Paragraf 4
Surat Berharga
Pasal 15
(1) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat
berharga, termasuk surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah, yang diterbitkan oleh:
a. Pemerintah;
b. Bank Indonesia;
c. pemerintah negara donor; atau
d. lembaga keuangan multilateral;
ditetapkan lancar.
(2) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat
berharga selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan
memiliki kualitas lancar sepanjang memenuhi
- 12 -
persyaratan:
a. aktif diperdagangkan di bursa efek;
b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
c. kupon, imbalan, atau kewajiban lain yang sejenis
dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat,
sesuai perjanjian; dan
d. belum jatuh tempo.
(3) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat
berharga, termasuk surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah, yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
huruf a dan/atau huruf b atau surat berharga yang
diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan:
a. lancar, apabila:
1. termasuk dalam kategori yang layak untuk
investasi (investment grade);
2. kupon atau kewajiban lain yang sejenis
dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat,
sesuai perjanjian; dan
3. belum jatuh tempo;
b. kurang lancar, apabila:
1. termasuk dalam kategori yang layak untuk
investasi (investment grade);
2. terdapat penundaan pembayaran kupon atau
kewajiban lain yang sejenis, bagi
hasil/marjin/fee; dan
3. belum jatuh tempo,
atau
1. memiliki peringkat paling sedikit 1 (satu)
tingkat di bawah kategori yang layak untuk
investasi (investment grade);
2. tidak terdapat penundaan pembayaran
kupon atau kewajiban lain yang sejenis; dan
3. belum jatuh tempo; atau
c. macet, apabila surat berharga tidak memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
b.
- 13 -
Paragraf 5
Penempatan Dalam Bentuk Simpanan
Pasal 16
(1) Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan Rupiah
atau valuta asing pada Bank Indonesia ditetapkan
lancar.
(2) Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan pada
bank dalam dan/atau luar negeri ditetapkan:
a. lancar, apabila:
1. bank penerima penempatan memiliki rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) paling sedikit sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
2. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/atau bunga;
b. kurang lancar, apabila:
1. bank penerima penempatan memiliki rasio
KPMM paling sedikit sama dengan ketentuan
yang berlaku; dan
2. terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/atau bunga sampai dengan 5 (lima) hari
kerja;
c. macet, apabila:
1. bank penerima penempatan memiliki rasio
KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku;
2. bank penerima penempatan telah ditetapkan
dan diumumkan sebagai bank dengan status
dalam pengawasan khusus (special
surveillance) atau bank telah dikenakan
sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3. bank penerima penempatan ditetapkan
sebagai bank dalam likuidasi; dan/atau
4. terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/atau bunga lebih dari 5 (lima) hari
kerja.
- 14 -
Pasal 17
(1) Penempatan dalam bentuk simpanan dengan Prinsip
Syariah terdiri dari:
a. surat berharga pasar uang syariah; dan
b. penempatan dalam bentuk lain.
(2) Kualitas penempatan surat berharga pasar uang
syariah ditetapkan:
a. lancar, apabila memenuhi persyaratan:
1. terdapat informasi tentang surat berharga
tersebut secara transparan;
2. telah diterima imbalan dalam jumlah dan
waktu yang tepat, sesuai akad; dan
3. belum jatuh tempo;
b. macet, apabila tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(3) Kualitas penempatan dalam bentuk lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan:
a. lancar, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki
rasio KPMM paling kurang sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
2. memenuhi persyaratan:
a) tidak terdapat tunggakan pembayaran
pokok untuk akad qardh;
b) dapat ditarik setiap saat untuk giro
berdasarkan akad wadiah; atau
c) tidak terdapat tunggakan pembayaran
nominal investasi dan/atau bagi hasil
deposito berdasarkan akad mudharabah
atau akad murabahah;
b. kurang lancar, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki
rasio KPMM paling sedikit sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
2. memenuhi persyaratan:
- 15 -
Paragraf 6
Tagihan Akseptasi dan Tagihan Derivatif
Pasal 18
Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan kualitas penempatan dalam bentuk
simpanan di bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (2), apabila pihak yang wajib melunasi tagihan
adalah bank; atau
b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, apabila pihak yang wajib
melunasi tagihan adalah peminjam.
Pasal 19
Kualitas Tagihan Derivatif dalam rangka melakukan
lindung nilai (hedging) ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas penempatan dalam
bentuk simpanan di bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2), apabila pihak lawan
transaksi (counterparty) adalah bank; atau
b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, apabila pihak lawan
transaksi (counterparty) adalah bukan bank.
Paragraf 7
Penyertaan Modal
Pasal 20
(1) Kualitas penyertaan modal yang dinilai berdasarkan
metode biaya (cost method) ditetapkan:
a. lancar, apabila penerima penyertaan modal
(investee) memperoleh laba dan tidak
mengalami kerugian kumulatif;
b. kurang lancar, apabila penerima penyertaan
modal (investee) mengalami kerugian kumulatif
sampai dengan 25% (dua puluh lima persen)
- 17 -
Paragraf 8
Penyertaan Modal Sementara
Pasal 21
Kualitas penyertaan modal sementara ditetapkan:
a. lancar, apabila belum melampaui jangka waktu 1
(satu) tahun;
b. kurang lancar, apabila telah melampaui jangka
waktu 1 (satu) tahun namun belum melampaui
jangka waktu 3 (tiga) tahun;
c. diragukan, apabila telah melampaui jangka waktu
3 (tiga) tahun namun belum melampaui jangka
waktu 5 (lima) tahun; atau
d. macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5
(lima) tahun atau belum ditarik kembali meskipun
perusahaan peminjam telah memiliki laba
kumulatif.
- 18 -
Paragraf 9
Transaksi Rekening Administratif
Pasal 22
Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan
berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas penempatan dalam
bentuk simpanan di bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2), apabila pihak lawan transaksi
(counterparty) adalah bank;
b. ketentuan penetapan kualitas Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, apabila pihak
lawan transaksi (counterparty) adalah peminjam.
Paragraf 10
Aktiva Produktif yang Dijamin dengan Agunan Tunai
Pasal 23
(1) Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan tunai
ditetapkan memiliki kualitas lancar.
(2) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. deposito di bank, setoran jaminan, dan/atau
emas;
b. SBI, SBI syariah, surat utang negara, sukuk,
dan/atau surat berharga lainnya yang
diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank
Indonesia;
c. jaminan Pemerintah dan/atau pemerintah asing
yang termasuk dalam kategori yang layak
untuk investasi (investment grade); dan/atau
d. standby letter of credit sesuai dengan Uniform
Customs and Practice for Documentary Credits
(UCP) atau International Standby Practices (ISP)
yang diterbitkan oleh bank berperingkat sampai
dengan 200 Banker’s Almanac atau Export
Credit Agency (ECA) yang termasuk dalam
- 19 -
Pasal 24
LPEI harus mengajukan klaim pencairan agunan tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 paling lama 5
(lima) hari kerja setelah peminjam wanprestasi (event of
default) berdasarkan penetapan LPEI.
Paragraf 11
Pembiayaan dan Penempatan Dana
kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dan Daerah Tertentu
Pasal 25
(1) LPEI wajib memiliki nilai Pembiayaan baru kepada
debitur usaha mikro, kecil, dan menengah paling
- 20 -
Pasal 26
Penetapan kualitas hanya didasarkan atas ketepatan
pembayaran pokok dan/atau bunga untuk:
a. Pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah; dan
b. Pembiayaan dan penempatan dana kepada peminjam
dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah
tertentu yang ditetapkan oleh OJK.
Paragraf 12
Rasio Pembiayaan Terhadap Total Aset
Pasal 27
LPEI wajib memiliki rasio piutang Pembiayaan terhadap
total aset (financing to asset ratio) paling rendah sebesar
75% (tujuh puluh lima persen).
Bagian Ketiga
Aktiva Non Produktif
Paragraf 1
Umum
Pasal 28
Aktiva Non Produktif meliputi AYDA, Rekening Antar
Kantor, dan Suspense Account.
- 21 -
Paragraf 2
AYDA
Pasal 29
(1) LPEI harus melakukan upaya penyelesaian terhadap
AYDA.
(2) LPEI harus mendokumentasikan upaya penyelesaian
AYDA.
(3) Pada saat pengambilalihan agunan, LPEI harus
melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk
menetapkan net realizable value.
(4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan oleh penilai eksternal.
(5) Penilai eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
adalah penilai yang memenuhi syarat:
a. tidak merupakan pihak terkait dengan peminjam
LPEI;
b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode
etik profesi dan ketentuan yang ditetapkan oleh
institusi yang berwenang;
c. menggunakan metode penilaian berdasarkan
standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh
institusi yang berwenang;
d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang
untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan
e. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui
oleh institusi yang berwenang.
Pasal 30
(1) Kualitas AYDA yang dilakukan upaya penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
ditetapkan:
a. lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1
(satu) tahun;
b. kurang lancar, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1
(satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. diragukan, apabila AYDA dimiliki lebih dari 3
- 22 -
Paragraf 3
Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
Pasal 31
(1) LPEI harus melakukan upaya penyelesaian Rekening
Antar Kantor dan Suspense Account.
(2) Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
ditetapkan:
a. lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan
Suspense Account tercatat dalam pembukuan
LPEI sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari;
atau
b. macet, apabila Rekening Antar Kantor dan
Suspense Account tercatat dalam pembukuan
LPEI lebih dari 90 (sembilan puluh) hari.
Bagian Keempat
Penyisihan Penghapusan Aktiva
Paragraf 1
Umum
Pasal 32
(1) LPEI wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif
dan Aktiva Non Produktif.
(2) PPA terdiri dari:
a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk
Aktiva Produktif; dan
b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif.
- 23 -
Paragraf 2
Persyaratan Agunan dan Perhitungan Agunan
sebagai Faktor Pengurang PPA
Pasal 33
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang
dalam pembentukan PPA ditetapkan:
a. surat berharga dan saham yang aktif diperdagangkan
di bursa efek atau termasuk dalam kategori yang layak
untuk investasi (investment grade) yang ditetapkan
oleh lembaga pemeringkat dan diikat secara gadai;
b. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara
fidusia;
c. resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi
gudang;
d. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
dan diikat dengan hak tanggungan;
e. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas
20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan
hipotek; dan/atau
f. tanah, rumah tinggal, dan gedung yang diikat dengan
hak tanggungan.
Pasal 34
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
kecuali huruf a harus:
a. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah;
b. diikat sesuai dengan peraturan perundang-
- 25 -
Pasal 35
(1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai
pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan:
a. surat berharga dan saham yang aktif
diperdagangkan di bursa efek atau termasuk
dalam kategori yang layak untuk investasi
(investment grade), ditetapkan paling tinggi
sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai yang
tercatat di bursa efek pada akhir bulan;
b. tanah, gedung, rumah tinggal, mesin yang
dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah,
pesawat udara, kapal laut, kendaraan bermotor,
persediaan, dan resi gudang, ditetapkan paling
tinggi sebesar:
1. 70% (tujuh puluh persen) dari penilaian,
apabila penilaian dilakukan dalam 18
(delapan belas) bulan terakhir;
2. 50% (lima puluh persen) dari penilaian,
apabila penilaian yang dilakukan telah
- 26 -
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 36
LPEI wajib menyampaikan laporan kualitas aktiva sesuai
dengan Peraturan OJK mengenai laporan bulanan lembaga
jasa keuangan non-bank.
BAB VI
CADANGAN KERUGIAN PENURUNAN NILAI
PIUTANG PEMBIAYAAN
Pasal 37
(1) LPEI wajib membentuk cadangan kerugian penurunan
nilai piutang Pembiayaan sesuai standar akuntansi
keuangan yang berlaku.
(2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai
piutang Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dalam rangka penyusunan laporan
keuangan.
- 27 -
BAB VII
BMPP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
(1) Dalam memberikan Pembiayaan dan penempatan
dana, LPEI wajib memperhatikan BMPP.
(2) LPEI dilarang membuat suatu perikatan atau
perjanjian atau menetapkan persyaratan yang
mewajibkan LPEI untuk memberikan Pembiayaan
yang akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran
BMPP.
(3) BMPP unit kerja syariah mengacu kepada BMPP LPEI.
Bagian Kedua
BMPP Kepada Pihak Terkait
Pasal 39
LPEI wajib memenuhi BMPP kepada pihak terkait paling
tinggi 10% (sepuluh persen) dari Ekuitas.
Pasal 40
(1) LPEI dilarang memberikan perlakuan yang berbeda
dalam penanaman dana kepada pihak terkait.
(2) Penanaman dana kepada pihak tidak terkait, untuk
keuntungan pihak terkait, digolongkan sebagai
penanaman dana kepada pihak terkait.
Pasal 41
Pihak terkait meliputi:
a. anggota dewan direktur dan direktur pelaksana LPEI;
b. perusahaan/badan dimana LPEI bertindak sebagai
pengendali;
c. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal
- 28 -
Bagian Ketiga
BMPP Kepada Pihak Tidak Terkait
Pasal 42
(1) LPEI wajib memenuhi BMPP kepada 1 (satu) peminjam
paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas.
(2) LPEI wajib memenuhi BMPP kepada kelompok
peminjam paling tinggi 25% (dua puluh lima persen)
dari Ekuitas.
Bagian Keempat
Perhitungan BMPP
Paragraf 1
Pembiayaan
Pasal 43
(1) BMPP untuk Pembiayaan dihitung berdasarkan baki
debet.
(2) Peminjam untuk pengambilalihan tagihan dalam
rangka anjak piutang atau pembelian pembiayaan
dengan persyaratan tanpa janji untuk membeli
kembali (without recourse) adalah pihak yang
berkewajiban untuk melunasi piutang.
(3) Peminjam untuk pengambilalihan dalam rangka anjak
piutang atau pembelian pembiayaan dengan
persyaratan janji untuk membeli kembali ( with
recourse) adalah pihak yang menjual
tagihan/pembiayaan.
(4) Baki debet untuk pengambilalihan dalam rangka
anjak piutang atau pembelian pembiayaan dihitung
berdasarkan harga beli.
- 29 -
Paragraf 2
Surat Berharga
Pasal 44
BMPP untuk penempatan dalam bentuk surat berharga
dihitung berdasarkan harga beli.
Paragraf 3
Tagihan Akseptasi
Pasal 45
BMPP untuk Tagihan Akseptasi dihitung sebesar nilai wesel
yang diaksep.
Paragraf 4
Transaksi Rekening Administratif
Pasal 46
(1) Transaksi Rekening Administratif berupa jaminan
(guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit
(SBLC), atau instrumen serupa lainnya ditetapkan
sebagai Pembiayaan kepada pemohon (applicant).
(2) BMPP untuk Transaksi Rekening Administratif
dihitung sebesar nilai yang telah diterbitkan
(outstanding).
(3) Jaminan untuk peminjam dan/atau kelompok
peminjam yang diterima LPEI dari bank dan/atau
pihak lain tidak diperhitungkan sebagai pengurang
Pembiayaan.
Bagian Kelima
Pelampauan BMPP
Pasal 47
(1) Pelampauan BMPP dapat disebabkan oleh hal-hal:
a. penurunan Ekuitas;
b. perubahan nilai tukar;
- 30 -
Pasal 48
Ketentuan mengenai pelampauan BMPP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 berlaku pula bagi BMTD.
Bagian Keenam
Pengecualian BMPP
Pasal 49
(1) Ketentuan BMPP tidak berlaku untuk:
a. Pembiayaan yang dilakukan setelah
memperoleh persetujuan OJK;
b. pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh
Pemerintah, SBI, surat berharga yang
diterbitkan oleh pemerintah negara donor,
dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh
lembaga keuangan multilateral;
c. Pembiayaan yang dijamin oleh Pemerintah
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku;
d. Pembiayaan yang dijamin dengan:
1. agunan dalam bentuk agunan tunai
berupa giro, deposito, tabungan, setoran
jaminan, dan/atau emas; atau
2. agunan berupa surat berharga yang
diterbitkan oleh Pemerintah, Bank
Indonesia, pemerintah negara donor, atau
lembaga keuangan multilateral;
- 31 -
Pasal 50
Pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka
dikecualikan dari perhitungan BMPP sepanjang memenuhi
persyaratan:
a. wesel ekspor berjangka yang diterbitkan atas dasar
Usance Letter of Credit sesuai dengan Uniform Customs
and Practice for Documentary Credits (UCP) yang
berlaku dan diterbitkan atau dikonfirmasi oleh bank
berperingkat sampai dengan 200 dalam Banker’s
Almanac; dan
b. telah diaksep oleh bank.
Pasal 51
Pengecualian dari perhitungan BMPP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf d angka 2 dan
huruf e ditetapkan paling tinggi:
a. 90% (sembilan puluh persen) dari Ekuitas untuk
Pembiayaan kepada pihak terkait;
b. 80% (delapan puluh persen) dari Ekuitas untuk
Pembiayaan kepada peminjam yang merupakan pihak
tidak terkait; dan
c. 75% (tujuh puluh lima persen) dari Ekuitas untuk
Pembiayaan kepada kelompok peminjam yang
merupakan pihak tidak terkait.
Pasal 52
(1) Penyertaan modal sementara untuk mengatasi
kegagalan Pembiayaan dikecualikan dari perhitungan
BMPP.
(2) Dalam hal terdapat Pembiayaan baru yang diberikan
kepada perusahaan dimana LPEI melakukan
penyertaan modal sementara, Pembiayaan baru
tersebut diperhitungkan dalam BMPP.
Pasal 53
Pemberian Pembiayaan dengan pola kemitraan inti-plasma
dimana perusahaan inti menjamin Pembiayaan yang
- 33 -
Pasal 54
(1) LPEI wajib memenuhi BMPP kepada 1 (satu) Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) paling tinggi 25% (dua puluh lima
persen) dari Ekuitas.
(2) BUMN dan BUMD tidak diperlakukan sebagai
kelompok peminjam.
(3) BMPP bagi BUMN yang berbentuk holding dan
termasuk anak usaha BUMN tidak diperlakukan
sebagai kelompok peminjam.
Bagian Ketujuh
Pelaporan
Pasal 55
LPEI wajib menyampaikan laporan BMPP secara bulanan
dengan benar dan lengkap kepada OJK paling lama tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya.
Pasal 56
Ketentuan mengenai pelaporan BMPP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 berlaku pula bagi BMTD.
- 34 -
BAB VIII
POSISI DEVISA NETO
Pasal 57
(1) LPEI wajib mengelola dan memelihara posisi devisa
neto secara keseluruhan paling tinggi 20% (dua puluh
persen) dari Ekuitas.
(2) Posisi devisa neto secara keseluruhan adalah angka
yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut
untuk jumlah dari:
a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca
untuk setiap valuta asing; ditambah dengan
b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang
merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam
rekening administratif untuk setiap valuta asing,
yang semuanya dinyatakan dalam Rupiah.
Pasal 58
(1) Perhitungan posisi devisa neto dilakukan pada setiap
akhir hari dengan menggunakan kurs reuters jam
16.00 WIB pada hari yang bersangkutan.
(2) Dalam hal kurs reuters untuk valuta asing tertentu
tidak tersedia, LPEI hanya dapat menggunakan closing
rate pada waktu yang sama dengan kurs reuters.
Pasal 59
Posisi devisa neto dihitung secara gabungan yaitu
mencakup seluruh kantor cabang LPEI di dalam maupun
di luar negeri.
Pasal 60
(1) LPEI harus menyusun laporan posisi devisa neto
pada akhir hari kerja setiap bulan.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran atau pelampauan
posisi devisa neto, LPEI wajib menyampaikan laporan
kepada OJK paling lama 3 (tiga) hari kerja
berikutnya.
- 35 -
BAB IX
ASURANSI DAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Retensi Sendiri
Pasal 61
(1) Dalam melakukan aktivitas Asuransi dan Penjaminan,
LPEI harus memiliki retensi sendiri untuk setiap
penutupan Asuransi dan Penjaminan.
(2) LPEI wajib memenuhi retensi sendiri untuk setiap
penutupan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari Ekuitas
untuk setiap:
a. investor untuk Asuransi atas investasi yang
dilakukan di luar negeri; atau
b. lawan transaksi (counterparty) dari pihak
tertanggung.
(3) LPEI wajib memenuhi retensi sendiri untuk setiap
penutupan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari
Ekuitas untuk setiap terjamin.
(4) Jumlah retensi sendiri untuk seluruh penutupan
Asuransi dan Penjaminan LPEI ditetapkan paling
tinggi sebesar 2 (dua) kali Ekuitas.
Pasal 62
(1) Batas maksimum retensi sendiri penutupan Asuransi
dan Penjaminan untuk setiap investor atau setiap
lawan transaksi (counterparty) dari pihak tertanggung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2)
dan/atau setiap terjamin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (3) wajib mengikuti ketentuan:
- 36 -
Bagian Kedua
Cadangan Teknis
Pasal 63
(1) LPEI wajib membentuk cadangan yang terdiri dari:
a. cadangan atas premi Asuransi dan fee Penjaminan
yang belum merupakan pendapatan; dan
- 37 -
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Kegiatan Asuransi dan Penjaminan
Pasal 64
(1) Dalam melaksanakan kegiatan Asuransi dan
Penjaminan, LPEI harus memiliki:
a. kebijakan, manual, dan standard operating
procedures (SOP) untuk setiap produk Asuransi
dan Penjaminan; dan
b. sistem informasi akuntansi untuk kegiatan
Asuransi dan Penjaminan.
- 38 -
BAB X
PELAPORAN
Pasal 65
(1) LPEI menyampaikan kepada OJK:
a. laporan bulanan;
b. laporan kegiatan usaha semesteran;
c. laporan keuangan tahunan yang diaudit oleh
kantor akuntan publik; dan
d. hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kegiatan
usaha atau keadaan keuangan LPEI.
(2) Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dalam
Peraturan OJK mengenai laporan bulanan lembaga
jasa keuangan non-bank.
(3) Laporan kegiatan usaha semesteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan
paling lama 1 (satu) bulan setelah periode semester
berakhir.
(4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c wajib disampaikan paling lama 4
(empat) bulan sejak tahun buku berakhir.
(5) Hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d wajib disampaikan paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak hal-hal lain tersebut ditemukan.
(6) Unit kerja syariah wajib menyampaikan laporan
- 39 -
Pasal 66
(1) Dalam rangka meningkatkan transparansi, LPEI wajib
membuat laporan tahunan.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dibuat untuk 1 (satu) tahun buku dan disajikan
paling kurang dengan perbandingan 1 (satu) tahun
buku sebelumnya.
Pasal 67
(1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 ayat (1) wajib disampaikan kepada OJK paling lama
5 (lima) bulan setelah tahun buku berakhir.
(2) LPEI harus menginformasikan laporan tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada situs web
LPEI paling lama dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga disampaikan kepada pemangku kepentingan.
Pasal 68
(1) LPEI wajib mengumumkan laporan keuangan yang
telah diaudit dan informasi keuangan lain melalui
media massa elektronik dan paling sedikit 2 (dua)
media massa cetak yang memiliki peredaran luas
secara nasional, paling lama tanggal 30 April tahun
berikutnya.
(2) Bukti pengumuman laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib disampaikan kepada
OJK paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal
publikasi.
- 40 -
BAB XI
PEMERIKSAAN
Pasal 69
(1) OJK melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
LPEI.
(2) Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK melakukan pemeriksaan.
Pasal 70
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (2) dilakukan:
a. secara berkala paling sedikit sekali dalam 3 (tiga)
tahun; dan/atau
b. setiap waktu bila diperlukan.
(2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a bersifat lengkap yang meliputi
kebenaran aspek substansi laporan periodik dan
kepatuhan terhadap ketentuan undang-undang yang
mengatur tentang LPEI beserta peraturan
pelaksanaannya.
(3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan apabila:
a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik,
patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan
LPEI menyimpang dari ketentuan undang-undang
yang mengatur tentang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya serta peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku; dan/atau
b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang
didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh
OJK, patut diduga bahwa penyelenggaraan
kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan
undang-undang yang mengatur tentang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya serta peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku.
- 41 -
BAB XII
RENCANA PEMENUHAN
Pasal 71
(1) Dalam hal LPEI tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal
14 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 39,
Pasal 42, Pasal 54 ayat (1), Pasal 61 ayat (2) dan
ayat (3), dan Pasal 62 ayat (1) wajib menyampaikan
rencana pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan
sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran oleh
OJK.
(2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memuat rencana yang akan
dilakukan oleh LPEI untuk memenuhi ketentuan
yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang
dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak
keberatan dari OJK.
(4) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak
cukup untuk mengatasi permasalahan, LPEI wajib
melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan
tersebut.
(5) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana pemenuhan yang disampaikan oleh LPEI
dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang
dihadapi oleh LPEI paling lama 14 (empat belas)
hari terhitung sejak diterimanya rencana pemenuhan
secara lengkap.
(6) LPEI wajib melaksanakan rencana pemenuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 42 -
BAB XIII
SANKSI
Pasal 72
(1) Direktur eksekutif yang menyebabkan LPEI tidak dapat
memenuhi ketentuan:
a. Pasal 55 setelah tanggal 15 (lima belas) sampai
dengan akhir bulan berikutnya;
b. Pasal 60 ayat (3);
c. Pasal 65 ayat (3) setelah 1 (satu) bulan sampai
dengan akhir bulan kedua setelah periode
semester berakhir;
d. Pasal 65 ayat (4) setelah 4 (empat) bulan sampai
dengan akhir bulan kelima setelah tahun buku
berakhir;
e. Pasal 67 ayat (1) setelah 5 (lima) bulan sampai
dengan akhir bulan keenam setelah tahun buku
berakhir;
f. Pasal 68 ayat (1) setelah tanggal 30 April sampai
dengan akhir bulan kelima setelah tahun buku
berakhir,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan.
(2) Anggota dewan direktur, direktur eksekutif, dan
direktur pelaksana yang menyebabkan LPEI tidak
dapat memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (4), Pasal 3,
Pasal 7, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (4),
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 37
ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 40 ayat (1),
Pasal 57 ayat (1), Pasal 60 ayat (2), Pasal 63 ayat (1),
Pasal 66, Pasal 68 ayat (2), Pasal 71 ayat (1), ayat (4),
dan ayat (6) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan
dalam bentuk:
a. surat peringatan kesatu, dengan jangka waktu 1
(satu) bulan;
- 43 -
Pasal 73
(1) Pegawai LPEI yang menyebabkan LPEI tidak dapat
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 7,
Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 11
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 37 ayat (1),
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 57
ayat (1), Pasal 60 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 66,
- 44 -
Pasal 68 ayat (2), Pasal 71 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6)
Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran lisan atau teguran tertulis.
(2) Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
peringatan lisan yang bersifat pembinaan.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk:
a. surat peringatan kesatu, dengan jangka waktu 1
(satu) bulan;
b. surat peringatan kedua, dengan jangka waktu 1
(satu) bulan; dan
c. surat peringatan ketiga, dengan jangka waktu 1
(satu) bulan.
(4) Dalam hal jangka waktu surat peringatan ketiga
berakhir dan pegawai yang bersangkutan belum
memenuhi ketentuan sebagai dimaksud pada ayat (1),
OJK menginformasikan kepada Pemerintah mengenai
pengenaan sanksi peringatan dimaksud.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 74
Apabila tidak diatur lain, maka ketentuan dalam Peraturan
OJK ini berlaku juga untuk seluruh kegiatan usaha atau
transaksi berdasarkan Prinsip Syariah.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 75
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai pembinaan dan pengawasan LPEI tunduk pada
Peraturan OJK ini.
- 45 -
Pasal 76
Peraturan OJK ini berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
ttd
YASONNA H. LAOLY
ttd
Sudarmaji
SURAT EDARAN OTORITAS JASA
KEUANGAN
Yth.
1. Direksi Perusahaan Penjaminan;
2. Direksi Perusahaan Penjaminan Syariah;
3. Direksi Perusahaan Penjaminan Ulang;
4. Direksi Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah; dan
5. Direksi Perusahaan Penjaminan yang Memiliki Unit Usaha Syariah,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18 /SEOJK.05/2018
TENTANG
KESEHATAN KEUANGAN LEMBAGA PENJAMIN
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas
pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada
Penerima Jaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
3. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas
pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan
-2-
V. RENTABILITAS
1. Penilaian terhadap komponen Rentabilitas sebagaimana dimaksud
dalam romawi II angka 2 huruf c dan romawi II angka 3 huruf b
dilakukan terhadap rasio sebagai berikut:
a. Rasio return on asset
Rasio return on asset merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur kemampuan Lembaga Penjamin dalam
menghasilkan laba dari aset yang digunakan untuk
mendukung operasional dan permodalan Lembaga Penjamin
atau UUS.
b. Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional
Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat
efisiensi dan kemampuan Lembaga Penjamin dalam
melaksanakan kegiatan operasionalnya.
c. Rasio klaim terhadap Imbal Jasa
Rasio klaim terhadap Imbal Jasa merupakan rasio yang
-5-
lembaga penjamin.
sebagai berikut:
Kriteria
No Rasio Rentabilitas Nilai
Nilai
1. Rasio return on asset 1,88% 3
2. Rasio beban operasional 76,92% 1
terhadap pendapatan
operasional
3. Rasio klaim terhadap 80% 3
pendapatan Imbal Jasa
c. Penetapan pada kriteria nilai hasil penilaian Otoritas Jasa
Keuangan terhadap penerapan tata kelola perusahaan yang
baik bagi UUS:
1) Penetapan pada kriteria nilai hasil penilaian Otoritas Jasa
Keuangan terhadap penerapan tata kelola perusahaan
yang baik bagi UUS ditetapkan berdasarkan ketentuan
sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
sangat baik.
b) Nilai 2 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
baik.
c) Nilai 3 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
cukup baik.
d) Nilai 4 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
kurang baik.
e) Nilai 5 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
tidak baik.
- 24 -
X. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Desember 2018
ttd
RISWINANDI
ttd
Yuliana