Anda di halaman 1dari 312

UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2016

TENTANG

PENJAMINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar


atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
b. bahwa untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara
harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha,
khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta
koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses
permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga
keuangan dan di luar lembaga keuangan karena
terbatasnya jaminan;
c. bahwa untuk memudahkan akses permodalan,
dibutuhkan dukungan penjaminan dari lembaga
penjamin;
d. bahwa untuk mendorong industri penjaminan yang
diselenggarakan secara efisien, berkesinambungan, dan
berperan penting dalam pembangunan nasional, perlu
melakukan pengaturan terhadap industri penjaminan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu
membentuk Undang-Undang tentang Penjaminan;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan . . .
-2-

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENJAMINAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:


1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin
kepada Penerima Jaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan
oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan Prinsip
Syariah.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan.
5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS.
6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan,
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan.

7. Perusahaan . . .
-3-

7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang


bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan.
8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan Syariah.
9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
melakukan Penjaminan Ulang.
10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah.
11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan.
12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar
lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
atau kontrak jasa kepada Terjamin.
13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah,
atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar
lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.
14. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam, yang dibuat oleh bank
atau koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
15. Pembiayaan adalah penyediaan fasilitas finansial atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan, yang dibuat
oleh lembaga pembiayaan dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu.
16. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
17. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS,
adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan
Prinsip Syariah.

18. Sertifikat . . .
-4-

18. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan


Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan kepada
Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin.
19. Sertifikat Kafalah adalah bukti persetujuan Penjaminan
Syariah dari Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS
kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial
Terjamin.
20. Imbal Jasa Penjaminan, yang selanjutnya disingkat IJP,
adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan
Penjaminan dari Terjamin dalam rangka kegiatan
Penjaminan.
21. Imbal Jasa Kafalah, yang selanjutnya disingkat IJK,
adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS dari Terjamin dalam rangka
kegiatan Penjaminan Syariah.
22. Imbal Jasa Penjaminan Ulang, yang selanjutnya disingkat
IJPU, adalah sejumlah uang yang diterima oleh
Perusahaan Penjaminan Ulang dari Perusahaan
Penjaminan dalam rangka kegiatan Penjaminan Ulang.
23. Imbal Jasa Kafalah Ulang, yang selanjutnya disingkat
IJKU, adalah sejumlah uang yang diterima oleh
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dari Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS dalam rangka kegiatan
Penjaminan Ulang Syariah.
24. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga pengatur dan
pengawas sektor keuangan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
25. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang
tidak berbentuk badan hukum.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP USAHA PENJAMINAN

Bagian Kesatu
Asas dan Tujuan

Pasal 2

Penyelenggaraan usaha penjaminan berdasarkan asas:


a. kepentingan nasional;

b. kepastian . . .
-5-

b. kepastian hukum;
c. keterbukaan;
d. akuntabilitas;
e. profesionalisme;
f. efisiensi berkeadilan;
g. edukasi; dan
h. pelindungan konsumen.

Pasal 3

Usaha penjaminan bertujuan untuk:


a. menunjang kebijakan pemerintah, terutama dalam
rangka mendorong kemandirian usaha dan
pemberdayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro,
kecil, dan menengah serta koperasi dalam perekonomian
nasional;
b. meningkatkan akses bagi dunia usaha, khususnya usaha
mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dan usaha
prospektif lainnya kepada sumber pembiayaan;
c. mendorong pertumbuhan pembiayaan dan terciptanya
iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan sektor
ekonomi strategis;
d. meningkatkan kemampuan produksi nasional yang
berdaya saing tinggi dan yang memiliki keunggulan untuk
ekspor;
e. mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; dan
f. meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup

Pasal 4

(1) Usaha Penjaminan meliputi:


a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh
lembaga keuangan;

b. penjaminan . . .
-6-

b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi


simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit
usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program
kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik
negara dalam rangka program kemitraan dan bina
lingkungan.
(2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan:
a. penjaminan atas surat utang;
b. penjaminan pembelian barang secara angsuran;
c. penjaminan transaksi dagang;
d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety
bond);
e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
g. penjaminan letter of credit;
h. penjaminan kepabeanan (customs bond);
i. penjaminan cukai;
j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan
kegiatan usaha Penjaminan; dan
k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan
dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan
Syariah harus berdasarkan Prinsip Syariah.
(4) Dalam melakukan usaha Penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan
Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah harus
memprioritaskan penjaminan untuk mendukung usaha
mikro, kecil, dan menengah serta koperasi.
(5) Untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah
serta koperasi, dan/atau program pemerintah,
pemerintah dapat menunjuk atau menugaskan Lembaga
Penjamin milik pemerintah.

Pasal 5 . . .
-7-

Pasal 5

(1) Usaha Penjaminan Ulang hanya dapat menjamin


kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan.
(2) Usaha Penjaminan Ulang Syariah hanya dapat menjamin
kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan Syariah dan
UUS.
(3) Dalam hal Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah belum
terbentuk, Perusahaan Penjaminan Ulang dapat
menjamin Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS.

Pasal 6

(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan investasi dalam


mengelola dana yang dimiliki.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan ketentuan investasi
bagi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB III
BADAN HUKUM DAN PERMODALAN

Bagian Kesatu
Badan Hukum

Pasal 7

Badan hukum Lembaga Penjamin berbentuk:


a. perusahaan umum;
b. perseroan terbatas; atau
c. koperasi.

Pasal 8

Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan


umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya
dapat dimiliki oleh pemerintah pusat sesuai dengan undang-
undang yang mengatur mengenai badan usaha milik negara.

Pasal 9 . . .
-8-

Pasal 9

(1) Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum


perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung
sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia;
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a
bersama-sama dengan warga negara asing atau badan
hukum asing;
c. pemerintah pusat; dan/atau
d. pemerintah daerah.
(2) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin berbentuk
badan hukum perseroan terbatas, baik secara langsung
maupun tidak langsung paling banyak sebesar 30% (tiga
puluh per seratus) dari modal disetor.
(3) Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disetor dalam bentuk uang
yang ditempatkan di rekening bank dalam negeri atas
nama Lembaga Penjamin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (2),
dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.

Pasal 10

Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat
dimiliki oleh anggota koperasi sesuai dengan undang-undang
yang mengatur mengenai perkoperasian.

Pasal 11

Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum koperasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c yang
melakukan kegiatan penjaminan tidak dapat bertindak
sebagai Penerima Jaminan dan/atau Terjamin.

Bagian . . .
-9-

Bagian Kedua
Permodalan

Pasal 12

(1) Modal disetor atau modal koperasi serta jumlah modal


masing-masing pada Lembaga Penjamin ditetapkan
sesuai dengan lingkup wilayah operasional.
(2) Lingkup wilayah operasional Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas wilayah
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai modal disetor atau
modal koperasi serta lingkup wilayah operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB IV
KEPEMILIKAN DAN KEPENGURUSAN

Bagian Kesatu
Kepemilikan

Pasal 13

(1) Dalam hal pemegang saham berbentuk badan hukum


Indonesia, jumlah penyertaan modal pada Lembaga
Penjamin ditetapkan paling banyak sebesar:
a. ekuitas badan hukum yang bersangkutan apabila
tidak terdapat penyertaan lain; atau
b. ekuitas badan hukum yang bersangkutan dikurangi
jumlah penyertaan lain yang telah dilakukan apabila
terdapat penyertaan lain.
(2) Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan, dan laba
ditahan jika badan hukum pemilik berbentuk
perseroan terbatas dan perusahaan umum; atau
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib,
hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa
hasil usaha jika badan hukum pemilik berbentuk
koperasi.

(3) Pemilik . . .
- 10 -

(3) Pemilik Lembaga Penjamin wajib menjaga kecukupan


modal Lembaga Penjamin sesuai dengan kebutuhan
kapasitas penjaminan.

Pasal 14

(1) Setiap Orang hanya dapat menjadi pemegang saham


pengendali pada 1 (satu) Perusahaan Penjaminan, 1 (satu)
Perusahaan Penjaminan Syariah, 1 (satu) Perusahaan
Penjaminan Ulang, dan/atau 1 (satu) Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku apabila pemegang saham pengendali adalah
pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemegang saham
pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Kedua
Kepengurusan

Pasal 15

(1) Lembaga Penjamin wajib dikelola oleh direksi/pengurus


dan komisaris/dewan pengawas/pengawas.
(2) Ketentuan mengenai direksi/pengurus dan
komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga
Penjamin diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.

Pasal 16

(1) Pemegang saham, direksi/pengurus dan


komisaris/dewan pengawas/pengawas Lembaga
Penjamin wajib memenuhi persyaratan yang ditentukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.

Pasal 17 . . .
- 11 -

Pasal 17

(1) Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan


Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS wajib memiliki
dewan pengawas syariah.
(2) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diangkat dalam rapat umum pemegang saham
atau rapat anggota atas rekomendasi lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang
syariah.
(3) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib melaksanakan tugas pengawasan serta
memberikan nasihat dan saran kepada direksi/pengurus
agar kegiatan usahanya dilakukan sesuai dengan Prinsip
Syariah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dewan pengawas syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB V
IZIN USAHA

Bagian Kesatu
Izin Usaha Penjaminan, Penjaminan Ulang, dan Unit Usaha Syariah

Paragraf 1
Izin Usaha Penjaminan dan Penjaminan Ulang

Pasal 18

(1) Setiap Orang yang melakukan usaha Penjaminan dan


Penjaminan Ulang wajib terlebih dahulu mendapat izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dipenuhi persyaratan:
a. akta pendirian badan hukum;
b. anggaran dasar;
c. susunan organisasi;
d. data direksi/pengurus dan data komisaris/dewan
pengawas/pengawas;

e. data . . .
- 12 -

e. data pemegang saham atau anggota;


f. sistem dan prosedur kerja usaha Penjaminan dan
Penjaminan Ulang;
g. keterangan mengenai tenaga ahli penjaminan;
h. modal disetor;
i. kelayakan rencana kerja;
j. kesiapan infrastruktur;
k. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak
asing, jika terdapat penyertaan langsung pihak asing;
dan
l. syarat lain yang diperlukan untuk mendukung
pertumbuhan usaha yang sehat.
(3) Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan
izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan
disertai alasannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 19

(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan


Ulang yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat
4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha
ditetapkan.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan oleh direksi/pengurus Perusahaan
Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak tanggal kegiatan operasional dimulai.

(3) Apabila . . .
- 13 -

(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan
Penjaminan Ulang belum melakukan kegiatan usaha,
Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha.

Paragraf 2
Unit Usaha Syariah

Pasal 20

(1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan sebagian


kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah
dengan membentuk UUS.
(2) Perusahaan Penjaminan yang membentuk UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam anggaran
dasarnya, wajib memuat maksud dan tujuan perusahaan
untuk menjalankan sebagian kegiatan usaha Penjaminan
Berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Pembentukan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
(5) Penolakan atas permohonan izin UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara tertulis dan
disertai alasannya.

Pasal 21

(1) UUS yang telah mendapat izin dari Otoritas Jasa


Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin dikeluarkan.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan oleh direksi/pengurus Perusahaan
Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal
kegiatan operasional dimulai.

(3) Apabila . . .
- 14 -

(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) UUS belum melakukan kegiatan usaha,
Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin UUS.

Pasal 22
(1) Perusahaan Penjaminan dapat menghentikan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan terlebih
dahulu mengajukan permohonan pencabutan izin UUS
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghentian kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Kedua
Izin Usaha Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah

Pasal 23

(1) Setiap Orang yang melakukan usaha Penjaminan Syariah


dan usaha Penjaminan Ulang Syariah wajib terlebih
dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dipenuhi persyaratan:
a. akta pendirian badan hukum;
b. anggaran dasar;
c. susunan organisasi;
d. data direksi/pengurus dan data komisaris/dewan
pengawas/pengawas;
e. data pemegang saham atau data anggota;
f. dokumen persyaratan dewan pengawas syariah;
g. sistem dan prosedur kerja usaha Penjaminan Syariah
dan Penjaminan Ulang Syariah;
h. keterangan mengenai tenaga ahli penjaminan syariah;
i. modal disetor;
j. kelayakan rencana kerja;
k. kesiapan infrastruktur;

l. konfirmasi . . .
- 15 -

l. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak


asing jika terdapat penyertaan langsung pihak asing;
dan
m. syarat lain yang diperlukan untuk mendukung
pertumbuhan usaha yang sehat.
(3) Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(4) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis dan
disertai alasannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 24

(1) Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan


Penjaminan Ulang Syariah yang telah mendapat izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan
kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan terhitung
sejak tanggal izin usaha ditetapkan.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan oleh direksi/pengurus Penjaminan Syariah
dan Penjaminan Ulang Syariah kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung
sejak tanggal kegiatan operasional dimulai.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan Syariah dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah belum melakukan
kegiatan usaha, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin
usaha.

BAB VI
KANTOR CABANG

PasaI 25

(1) Lembaga Penjamin dapat membuka kantor cabang di


wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan lingkup
wilayah operasionalnya.

(2) Untuk . . .
- 16 -

(2) Untuk dapat membuka kantor cabang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin wajib terlebih
dahulu mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kantor cabang Lembaga
Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB VII
TATA KELOLA, PENGAWASAN, DAN PELAPORAN

Bagian Kesatu
Tata Kelola

Pasal 26

(1) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan pengelolaan


usahanya wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang
baik.
(2) Lembaga Penjamin wajib menjaga kondisi kesehatan
keuangannya.
(3) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan kegiatannya
memanfaatkan teknologi informasi.
(4) Ketentuan mengenai tata kelola, kondisi keuangan, dan
pemanfaatan teknologi informasi Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 27

(1) Pengawasan Lembaga Penjamin, lembaga penunjang


penjaminan, dan profesi penyedia jasa bagi Lembaga
Penjamin dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan
berwenang untuk:
a. mencabut izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS;

b. melakukan . . .
- 17 -

b. melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Penjamin,


lembaga penunjang penjaminan, profesi penyedia jasa
bagi Lembaga Penjamin, dan/atau pihak terafiliasi;
c. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
terhadap direksi/pengurus, komisaris/dewan
pengawas/pengawas, dan dewan pengawas syariah;
d. menonaktifkan direksi/pengurus, komisaris/dewan
pengawas/pengawas, dan dewan pengawas syariah
serta menetapkan pengelola statuter;
e. memberi perintah tertulis kepada Lembaga Penjamin,
lembaga penunjang penjaminan, profesi penyedia jasa
bagi Lembaga Penjamin, dan/atau pihak terafiliasi
untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan hal
tertentu sebagai tindak lanjut dari fungsi pengawasan;
f. mengenakan sanksi kepada Lembaga Penjamin,
pemegang saham, direksi/pengurus,
komisaris/dewan pengawas/pengawas, dewan
pengawas syariah, lembaga penunjang penjaminan,
dan/atau profesi penyedia jasa bagi Lembaga
Penjamin;
g. mengeluarkan lembaga penunjang penjaminan dan
profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin dari
daftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan
h. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan undang-
undang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Ketiga
Pelaporan

Pasal 28

(1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan


bulanan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
oleh akuntan publik, dan/atau laporan lain kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Penjamin wajib melaporkan setiap perubahan
anggaran dasar kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(3) Ketentuan . . .
- 18 -

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan bulanan,


laporan keuangan tahunan, dan/atau laporan lain serta
laporan perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB VIII
PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, PEMISAHAN,
DAN KEPAILITAN

Bagian Kesatu
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan

Pasal 29

(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan penggabungan atau


peleburan dengan Lembaga Penjamin lainnya.
(2) Lembaga Penjamin dapat melakukan pengambilalihan
Lembaga Penjamin lainnya.
(3) Lembaga Penjamin dapat melakukan pemisahan usaha.
(4) Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Lembaga Penjamin yang menjalankan kegiatan
penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat
melakukan penggabungan atau peleburan dengan
Lembaga Penjamin yang juga berdasarkan Prinsip
Syariah.
(6) Lembaga Penjamin yang menjalankan kegiatan
penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat
melakukan pengambilalihan Lembaga Penjamin yang
juga berdasarkan Prinsip Syariah.
(7) Badan hukum hasil pemisahan Lembaga Penjamin yang
menjalankan kegiatan penjaminan berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan memilih
untuk melakukan kegiatan penjaminan wajib tetap
menjalankan kegiatan penjaminan berdasarkan Prinsip
Syariah.

(8) Lembaga . . .
- 19 -

(8) Lembaga Penjamin yang akan melakukan penggabungan,


peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Lembaga
Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 30

Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pengambilalihan


Lembaga Penjamin tidak mengurangi hak Penerima Jaminan
dan kewajiban Terjamin.

Bagian Kedua
Kepailitan

Pasal 31

(1) Permohonan pernyataan pailit terhadap Lembaga


Penjamin berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat
diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang.
(2) Tata cara dan persyaratan permohonan pernyataan pailit
terhadap Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB IX
PENCABUTAN IZIN USAHA

Pasal 32

(1) Pencabutan izin usaha Lembaga Penjamin atau izin UUS


dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin:
a. bubar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. dikenai sanksi administratif pencabutan izin usaha;

c. tidak . . .
- 20 -

c. tidak lagi menjadi Lembaga Penjamin;


d. bubar sebagai akibat melakukan penggabungan,
peleburan, atau pemisahan;
e. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 4
(empat) bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan
Pasal 24 ayat (1); atau
f. belum melakukan kegiatan usaha paling lambat 3
(tiga) bulan setelah tanggal izin UUS ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).

Pasal 33

Lembaga Penjamin bubar karena:


a. keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota;
b. jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang
ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan; atau
d. keputusan pemerintah.

Pasal 34

Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena keputusan rapat


umum pemegang saham atau rapat anggota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf a, likuidator atau kuasa rapat
anggota harus melaporkan hasil rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 15 (lima belas) hari setelah rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota dilaksanakan.

Pasal 35

Dalam hal Lembaga Penjamin bubar karena jangka waktu


berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan dalam
anggaran dasar berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 huruf b, likuidator atau penyelesai harus melaporkan
pengakhiran Lembaga Penjamin kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah
jangka waktu berdirinya Lembaga Penjamin yang ditetapkan
dalam anggaran dasar berakhir.

Pasal 36 . . .
- 21 -

Pasal 36

(1) Dalam hal Lembaga Penjamin bubar berdasarkan


putusan pengadilan atau keputusan pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c dan huruf
d, likuidator atau penyelesai harus melaporkan
pembubaran tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 15 (lima belas) hari sejak putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau
sejak keputusan pemerintah diterima.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri:
a. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau
b. keputusan pemerintah.

Pasal 37

(1) Dalam hal Lembaga Penjamin dipailitkan atau dilikuidasi,


cadangan klaim dan cadangan umum harus digunakan
terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada
Penerima Jaminan.
(2) Dalam hal terdapat kelebihan cadangan klaim dan
cadangan umum setelah pemenuhan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan cadangan
klaim dan cadangan umum tersebut dapat digunakan
untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain
Penerima Jaminan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB X
PENYELENGGARAAN PENJAMINAN

Bagian Kesatu
Mekanisme Penjaminan dan Penjaminan Syariah

Pasal 38

(1) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah melibatkan


3 (tiga) pihak, yaitu Penerima Jaminan, Terjamin, dan
Penjamin.

(2) Penjamin . . .
- 22 -

(2) Penjamin memiliki hak tagih atas pemenuhan kewajiban


finansial Terjamin apabila Penjamin telah menunaikan
kewajibannya untuk memenuhi hak finansial Penerima
Jaminan jika Terjamin gagal memenuhi kewajibannya.
(3) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan
dalam Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah.
(4) Ketentuan mengenai Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat
Kafalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 39

(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dilakukan dengan


cara:
a. penjaminan langsung; atau
b. penjaminan tidak langsung.
(2) Ketentuan mengenai penjaminan langsung dan
penjaminan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 40

(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dilakukan


dalam bentuk penjaminan bersama.
(2) Ketentuan mengenai penjaminan bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.

Pasal 41

(1) Perjanjian Penjaminan Syariah menggunakan akad


penjaminan yang sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Ketentuan mengenai akad penjaminan yang sesuai
dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian . . .
- 23 -

Bagian Kedua
Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah

Pasal 42

(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan


Syariah wajib melakukan mitigasi risiko dengan
menjaminulangkan penjaminannya.
(2) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk memenuhi kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah dalam hal:
a. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah telah memenuhi kewajibannya kepada
Penerima Jaminan; atau
b. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah tidak dapat memenuhi kewajibannya.
(3) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Ulang atau
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah.
(4) Dalam hal dukungan penjaminan ulang dari Perusahaan
Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
diperoleh, mitigasi risiko Perusahaan Penjamin dan
Perusahaan Penjamin Syariah diperoleh dari perusahaan
reasuransi.

Bagian Ketiga
Imbal Jasa

Pasal 43

(1) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan


Penjaminan menerima IJP.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS menerima IJK.
(3) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Ulang menerima IJPU.
(4) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah menerima IJKU.

(5) Ketentuan . . .
- 24 -

(5) Ketentuan mengenai IJP atau IJK sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dan ayat (2) bagi Penjaminan dan
Penjaminan Syariah yang merupakan program
pemerintah diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersendiri.
(6) Ketentuan mengenai IJP, IJK, IJPU, dan IJKU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.

Bagian Keempat
Klaim, Pembayaran Klaim, dan Peralihan Hak Tagih

Pasal 44

Lembaga Penjamin wajib memiliki cadangan klaim dan


cadangan umum.

Pasal 45

Pengajuan klaim oleh Penerima Jaminan kepada Perusahaan


Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dapat
dilakukan apabila Terjamin gagal memenuhi kewajiban
finansial.

Pasal 46

(1) Lembaga Penjamin dilarang melakukan tindakan yang


dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran
klaim atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya
dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan
penyelesaian atau kelambatan pembayaran klaim.
(2) Lembaga Penjamin wajib menyelesaikan pengajuan klaim
dari Penerima Jaminan yang telah memenuhi persyaratan
dokumentasi dan penjaminannya sesuai dengan tata cara
pengajuan dan penyelesaian klaim.

Pasal 47 . . .
- 25 -

Pasal 47

(1) Sejak klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau


Perusahaan Penjaminan Syariah, hak tagih Penerima
Jaminan kepada Terjamin beralih menjadi hak tagih
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah dapat membuat perjanjian dengan Penerima
Jaminan agar Penerima Jaminan melakukan upaya
penagihan atas hak tagih Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk dan atas nama Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.

Pasal 48

Ketentuan lebih lanjut mengenai cadangan klaim dan


cadangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44,
pengajuan klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45,
pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46,
dan peralihan hak tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Kelima
Retensi Sendiri

Pasal 49

(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan


Syariah wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap
penjaminan.
(2) Ketentuan mengenai retensi sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.

Bagian . . .
- 26 -

Bagian Keenam
Kapasitas Penjaminan

Pasal 50

(1) Lembaga Penjamin wajib mengoptimalkan kapasitas


penjaminan.
(2) Kapasitas penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diukur dengan gearing ratio atau metode lain yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan mengenai kapasitas penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB XI
ASOSIASI LEMBAGA PENJAMIN, LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN, DAN
PROFESI PENYEDIA JASA BAGI LEMBAGA PENJAMIN

Bagian Kesatu
Asosiasi Lembaga Penjamin

Pasal 51

(1) Lembaga Penjamin wajib menjadi anggota asosiasi


Lembaga Penjamin.
(2) Asosiasi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas
Jasa Keuangan.

Bagian Kedua
Lembaga Penunjang Penjaminan

Pasal 52

(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Lembaga Penjamin


dapat menggunakan jasa lembaga penunjang
penjaminan.
(2) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi;

b. agen . . .
- 27 -

b. agen penjamin;
c. broker; dan
d. lembaga penunjang penjaminan lain yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Lembaga penunjang penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib terdaftar terlebih dahulu di Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Lembaga Penjamin wajib menggunakan lembaga
penunjang penjaminan yang telah terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan.
(5) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilarang menggelapkan IJP, IJK, IJPU, dan/atau
IJKU.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penunjang
penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Ketiga
Profesi Penyedia Jasa Bagi Lembaga Penjamin

Pasal 53

(1) Profesi penyedia jasa bagi Lembaga Penjamin terdiri atas:


a. aktuaris;
b. akuntan publik;
c. penilai publik; dan
d. profesi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Untuk dapat menyediakan jasa bagi Lembaga Penjamin,
profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib terdaftar terlebih dahulu di Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Lembaga Penjamin wajib menggunakan profesi penyedia
jasa penjaminan yang telah terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB XII . . .
- 28 -

BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 54

(1) Penyelesaian sengketa yang terjadi dalam kegiatan


penjaminan dilakukan melalui musyawarah untuk
mufakat.

(2) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah


untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat dilakukan
melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor
jasa keuangan atau melalui pengadilan.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah
untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dalam hal penyelesaian sengketa melalui lembaga
alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mencapai
kesepakatan, kesepakatan tersebut bersifat final dan
mengikat.

Pasal 55

(1) Lembaga Penjamin wajib menjadi anggota lembaga


alternatif penyelesaian sengketa penjaminan.
(2) Lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan
imparsial.
(3) Lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan
tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga alternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB XIII . . .
- 29 -

BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 56

(1) Setiap Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10, Pasal
11, Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1),
Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 19
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25 ayat
(2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 29 ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8),
Pasal 42 ayat (1), Pasal 44, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat
(1), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (4), Pasal 53 ayat (3),
dan Pasal 55 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan kegiatan usaha; atau
d. pencabutan izin usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB XIV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 57

Setiap Orang yang menjalankan Penjaminan, Penjaminan


Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah
tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1) dan Pasal 23 ayat (1) serta UUS tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 58 . . .
- 30 -

Pasal 58

Direksi/pengurus Lembaga Penjamin yang dengan sengaja


memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) secara tidak benar, palsu, dan/atau
menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 59

Agen penjamin yang menggelapkan IJP, IJK, IJPU, dan/atau


IJKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
ratus juta rupiah).

BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 60

(1) Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin usaha


Penjaminan atau Penjaminan Syariah, sebelum
berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku.

(2) Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang
ini paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini berlaku.

Pasal 61

(1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah


melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya
Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-
Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan
berdasarkan undang-undang tersendiri.

Pasal 62 . . .
- 31 -

Pasal 62

(1) Dalam hal Perusahaan Penjaminan memiliki UUS yang


nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima
puluh per seratus) dari total nilai aset perusahaan
induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya
Undang-Undang ini, Perusahaan Penjaminan tersebut
wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi
Perusahaan Penjaminan Syariah.
(2) Ketentuan mengenai pemisahan UUS dan sanksi bagi
Perusahaan Penjaminan yang tidak melakukan pemisahan
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan


perundang-undangan mengenai penjaminan dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.

Pasal 64

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan


paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.

Pasal 65

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .
- 32 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2016

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Januari 2016

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 9


- 33 -

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5835


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2009
TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk


mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sektor perdagangan luar negeri merupakan salah
satu faktor penunjang pertumbuhan, pemerataan, dan
stabilitas perekonomian nasional untuk meningkatkan
kesejahteraan, kemajuan, dan kemandirian bangsa;
c. bahwa untuk mempercepat laju pertumbuhan perdagangan
luar negeri Indonesia dan meningkatkan daya saing pelaku
bisnis, diperlukan suatu lembaga pembiayaan independen
yang mampu menyediakan pembiayaan, penjaminan,
asuransi, dan jasa lainnya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk
Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN


EKSPOR INDONESIA.
BAB I . . .
-2-

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pembiayaan Ekspor Nasional adalah fasilitas yang
diberikan kepada badan usaha termasuk perorangan
dalam rangka mendorong ekspor nasional.
2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perbankan.
3. Lembaga Keuangan adalah lembaga keuangan non-bank
yang salah satu kegiatannya memberikan pembiayaan
kepada Eksportir.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah
pabean Indonesia dan/atau jasa dari wilayah Negara
Republik Indonesia.
5. Eksportir adalah badan usaha, baik berbentuk badan
hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, termasuk
perorangan yang melakukan kegiatan Ekspor.
6. Pemerintah adalah Pemerintah Negara Republik Indonesia.
7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
8. Pembiayaan adalah kredit dan/atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah yang disediakan oleh Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia.
9. Kredit adalah fasilitas pinjaman, baik berbentuk tunai
maupun non-tunai, yang mewajibkan pihak peminjam
melunasi seluruh kewajibannya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga maupun imbalan jasa.
10. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah fasilitas
pembiayaan, baik berbentuk tunai maupun non-tunai,
yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan fasilitas pembiayaan setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
11. Prinsip Syariah adalah pokok-pokok aturan berdasarkan
hukum Islam yang dijadikan landasan dalam pembuatan
perjanjian antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
dan pihak lain dalam menjalankan kegiatan Pembiayaan
Ekspor Nasional.

12. Penjaminan . . .
-3-
12. Penjaminan adalah pemberian fasilitas jaminan untuk
menanggung pembayaran kewajiban keuangan pihak
terjamin dalam hal pihak terjamin tidak dapat memenuhi
kewajiban perikatan kepada kreditornya.
13. Asuransi adalah pemberian fasilitas berupa ganti rugi atas
kerugian yang timbul sebagai akibat dari suatu peristiwa
yang tidak pasti.

BAB II
PEMBIAYAAN EKSPOR NASIONAL

Bagian Kesatu
Asas, Tujuan, dan Kebijakan Dasar

Pasal 2
Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional berdasarkan
atas asas:
a. kepentingan nasional;
b. kepastian hukum;
c. keterbukaan;
d. akuntabilitas;
e. profesionalisme;
f. efisiensi berkeadilan; dan
g. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pasal 3
Pembiayaan Ekspor Nasional bertujuan untuk menunjang
kebijakan Pemerintah dalam rangka mendorong program
ekspor nasional.

Pasal 4
Pemerintah menetapkan kebijakan dasar Pembiayaan Ekspor
Nasional untuk:
a. mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi
peningkatan ekspor nasional;
b. mempercepat peningkatan ekspor nasional;
c. membantu peningkatan kemampuan produksi nasional
yang berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan untuk
ekspor; dan

d. mendorong . . .
-4-
d. mendorong pengembangan usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi untuk mengembangkan produk yang
berorientasi ekspor.

Bagian Kedua
Bentuk Pembiayaan Ekspor Nasional

Pasal 5
(1) Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 diberikan dalam bentuk:
a. Pembiayaan;
b. Penjaminan; dan/atau
c. Asuransi.
(2) Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilaksanakan berdasarkan Prinsip
Syariah.
(3) Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diberikan kepada badan usaha baik badan
usaha yang berbentuk badan hukum maupun tidak
berbentuk badan hukum termasuk perorangan.
(4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
berdomisili di dalam atau di luar wilayah Negara Republik
Indonesia.

Pasal 6
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a diberikan dalam bentuk pembiayaan modal kerja
dan/atau investasi.

Pasal 7
Bentuk Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf b meliputi:
a. Penjaminan bagi Eksportir Indonesia atas pembayaran
yang diterima dari pembeli barang dan/atau jasa di luar
negeri;
b. Penjaminan bagi importir barang dan jasa Indonesia di
luar negeri atas pembayaran yang telah diberikan atau
akan diberikan kepada Eksportir Indonesia untuk
pembiayaan kontrak Ekspor atas penjualan barang
dan/atau jasa atau pemenuhan pekerjaan atau jasa yang
dilakukan oleh suatu perusahaan Indonesia;

c. Penjaminan . . .
-5-
c. Penjaminan bagi Bank yang menjadi mitra penyediaan
pembiayaan transaksi Ekspor yang telah diberikan kepada
Eksportir Indonesia; dan/atau
d. Penjaminan dalam rangka tender terkait dengan
pelaksanaan proyek yang seluruhnya atau sebagian
merupakan kegiatan yang menunjang Ekspor.

Pasal 8
Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
c dapat diberikan dalam bentuk:
a. Asuransi atas risiko kegagalan Ekspor;
b. Asuransi atas risiko kegagalan bayar;
c. Asuransi atas investasi yang dilakukan oleh perusahaan
Indonesia di luar negeri; dan/atau
d. Asuransi atas risiko politik di suatu negara yang menjadi
tujuan ekspor.

Pasal 9
Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dilakukan oleh lembaga keuangan yang didirikan
khusus untuk itu.

BAB III
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA

Bagian Kesatu
Pembentukan, Status, dan Tempat Kedudukan

Pasal 10
(1) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Pembiayaan Ekspor
Nasional, berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya
disingkat LPEI sebagai lembaga keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
(2) LPEI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan
hukum menurut Undang-Undang ini.
(3) LPEI adalah lembaga yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat transparan, akuntabel, dan
independen.
(4) LPEI bertanggung jawab kepada Menteri.

Pasal 11 . . .
-6-
Pasal 11
(1) LPEI berkedudukan dan berkantor pusat di Ibukota
Negara Republik Indonesia.
(2) LPEI dapat mempunyai kantor di dalam dan di luar
wilayah Republik Indonesia.

Bagian Kedua
Fungsi, Tugas, dan Wewenang

Pasal 12
LPEI berfungsi mendukung program ekspor nasional melalui
Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1).

Pasal 13
(1) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, LPEI mempunyai tugas:
a. memberi bantuan yang diperlukan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dalam
rangka Ekspor, dalam bentuk Pembiayaan,
Penjaminan, dan Asuransi guna pengembangan dalam
rangka menghasilkan barang dan jasa dan/atau
usaha lain yang menunjang Ekspor;
b. menyediakan pembiayaan bagi transaksi atau proyek
yang dikategorikan tidak dapat dibiayai oleh
perbankan, tetapi mempunyai prospek untuk
peningkatan ekspor nasional; dan
c. membantu mengatasi hambatan yang dihadapi oleh
Bank atau Lembaga Keuangan dalam penyediaan
pembiayaan bagi Eksportir yang secara komersial
cukup potensial dan/atau penting dalam
perkembangan ekonomi Indonesia.
(2) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), LPEI dapat melakukan:
a. bimbingan dan jasa konsultasi kepada Bank,
Lembaga Keuangan, Eksportir, produsen barang
ekspor, khususnya usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi; dan
b. melakukan kegiatan lain yang menunjang tugas dan
wewenang LPEI sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.

Pasal 14 . . .
-7-
Pasal 14
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, LPEI berwenang:
a. menetapkan skema Pembiayaan Ekspor Nasional;
b. melakukan restrukturisasi Pembiayaan Ekspor
Nasional;
c. melakukan reasuransi terhadap asuransi yang
dilaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
dan
d. melakukan penyertaan modal.
(2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d hanya dapat dilakukan pada badan hukum atau
badan lainnya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas
LPEI dengan persetujuan Menteri.

Pasal 15
LPEI dapat memberikan fasilitas Asuransi kepada Eksportir
dalam hal lembaga asuransi ekspor tidak dapat memenuhi
permintaan fasilitas asuransi bagi Eksportir atau dalam
rangka memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan oleh
pembeli di luar negeri.

Pasal 16
Dalam melakukan kegiatannya, LPEI turut serta dalam sistem
pembayaran nasional dan internasional.

Pasal 17
(1) Dalam menjalankan tugasnya, LPEI wajib menerapkan
prinsip tata kelola perusahaan yang baik, prinsip
penerapan manajemen risiko, dan prinsip mengenal
nasabah.
(2) Penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup prinsip
keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab,
kemandirian, dan kewajaran.
(3) Penerapan prinsip manajemen risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup pemenuhan
kecukupan modal minimum, pengawasan aktif, dan
pemenuhan disiplin pasar terhadap risiko yang melekat.

(4) Penerapan . . .
-8-
(4) Penerapan prinsip mengenal nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup
kebijakan dan prosedur identifikasi nasabah, pemantauan
rekening nasabah, pemantauan transaksi nasabah, serta
manajemen risiko.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan
pelaksanaan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Penugasan Khusus

Pasal 18
(1) LPEI dapat melaksanakan penugasan khusus dari
Pemerintah untuk mendukung program Ekspor nasional
atas biaya Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal yang terkait
dengan penugasan khusus pelaksanaan program Ekspor
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Permodalan LPEI

Pasal 19
(1) Modal awal LPEI ditetapkan paling sedikit
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah).
(2) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas
saham.
(3) Dalam hal modal LPEI menjadi berkurang dari
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah),
Pemerintah menutup kekurangan tersebut dari dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan
mekanisme yang berlaku.
(4) Penambahan modal LPEI untuk menutup kekurangan
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20
(1) LPEI dapat membentuk cadangan umum dan cadangan
tujuan.
(2) Dalam . . .
-9-
(2) Dalam hal akumulasi cadangan umum dan cadangan
tujuan telah melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari
modal awal LPEI, kelebihannya sebesar 75% (tujuh puluh
lima persen) digunakan untuk kapitalisasi modal dan 25%
(dua puluh lima persen) sebagai Penerimaan Negara
Bukan Pajak.
(3) Kapitalisasi modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dalam Keputusan Menteri.

Pasal 21
(1) Surplus yang diperoleh LPEI dalam kurun waktu 1 (satu)
tahun kegiatan digunakan untuk:
a. cadangan umum;
b. cadangan tujuan;
c. jasa produksi dan tantiem; dan
d. bagian laba Pemerintah.
(2) Persentase alokasi surplus ditetapkan:
a. cadangan umum dan cadangan tujuan sebesar 90%
(sembilan puluh persen) dari surplus; dan
b. jasa produksi dan tantiem serta bagian laba
Pemerintah sebesar 10% (sepuluh persen) dari surplus.
(3) Besarnya persentase untuk cadangan umum, cadangan
tujuan, jasa produksi dan tantiem, serta bagian laba
Pemerintah ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kelima
Sumber dan Penempatan Dana

Pasal 22
(1) Untuk membiayai kegiatannya, LPEI dapat memperoleh
dana dari:
a. penerbitan surat berharga;
b. pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan/atau
jangka panjang yang bersumber dari:
1. pemerintah asing;
2. lembaga multilateral;
3. bank serta lembaga keuangan dan pembiayaan,
baik dari dalam maupun luar negeri;
4. Pemerintah; dan/atau
c. hibah.

(2) Selain . . .
- 10 -
(2) Selain memperoleh dana dari sumber-sumber
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPEI dapat
membiayai kegiatannya dengan sumber pendanaan dari
penempatan dana oleh Bank Indonesia.

Pasal 23
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman atau hibah
kepada LPEI sesuai dengan yang tercantum atau
ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
pinjaman atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24
(1) LPEI dapat menempatkan dana yang belum dipergunakan
untuk membiayai kegiatannya dalam bentuk pembelian
surat berharga dan/atau penempatan di lembaga
keuangan dalam negeri maupun luar negeri.
(2) Penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
antara lain dalam bentuk:
a. surat berharga yang diterbitkan Pemerintah;
b. Sertifikat Bank Indonesia;
c. surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah
negara donor;
d. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
keuangan multilateral;
e. simpanan dalam bentuk rupiah atau valuta asing pada
Bank Indonesia; dan/atau
f. simpanan pada bank dalam negeri dan/atau bank luar
negeri.
(3) Penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan dengan mempertimbangkan faktor
likuiditas dan risiko.

BAB IV
ORGANISASI
Bagian Kesatu
Organ LPEI

Pasal 25
(1) Dewan Direktur merupakan organ tunggal LPEI.
(2) Anggota . . .
- 11 -
(2) Anggota Dewan Direktur berjumlah paling banyak 10
(sepuluh) orang, yang terdiri atas:
a. 3 (tiga) orang pejabat yang berasal dari instansi atau
lembaga yang membidangi fiskal, 1 (satu) orang pejabat
yang berasal dari instansi atau lembaga yang
membidangi perdagangan, 1 (satu) orang pejabat yang
berasal dari instansi atau lembaga yang membidangi
perindustrian, dan 1 (satu) orang pejabat yang berasal
dari instansi atau lembaga yang membidangi
pertanian.
b. paling banyak 3 (tiga) orang yang berasal dari luar
LPEI dan 1 (satu) orang dari dalam LPEI.
(3) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
atas usul instansi atau lembaga yang bersangkutan.
(4) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(5) Salah seorang dari anggota Dewan Direktur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Menteri
sebagai Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur
Eksekutif.
(6) Ketua Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) tidak mempunyai hak suara dalam rapat Dewan
Direktur.
(7) Direktur Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
melakukan tugas secara penuh waktu dan dilarang
merangkap jabatan eksekutif di tempat lain.
(8) Anggota Dewan Direktur diangkat untuk masa jabatan 5
(lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 26
(1) Dewan Direktur bertugas merumuskan dan menetapkan
kebijakan serta melakukan pengawasan terhadap
kegiatan operasional LPEI.
(2) Pembagian tugas dan tata cara pelaksanaan tugas
anggota Dewan Direktur ditetapkan oleh Dewan Direktur.
(3) Gaji, penghasilan, dan tunjangan lainnya Dewan Direktur
dan Direktur Pelaksana ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 27 . . .
- 12 -
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi Dewan Direktur, paling sedikit
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. mampu melakukan perbuatan hukum;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. memiliki integritas, kepemimpinan, perilaku yang baik,
serta dedikasi yang tinggi;
e. tidak termasuk daftar tidak lulus, baik yang disusun oleh
otoritas perbankan maupun otoritas pasar modal dan
lembaga keuangan;
f. tidak pernah melakukan tindak pidana di bidang
perbankan dan perekonomian;
g. memiliki keahlian dan pengalaman di salah satu bidang
yang menjadi ruang lingkup kegiatan LPEI; dan
h. tidak pernah dinyatakan pailit.

Pasal 28
(1) Anggota Dewan Direktur dapat diberhentikan oleh Menteri
apabila:
a. berhalangan tetap;
b. masa jabatannya berakhir;
c. mengundurkan diri;
d. kinerja anggota Dewan Direktur tidak memenuhi
kriteria kinerja yang ditetapkan oleh Menteri;
e. memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua atau besan dengan anggota Dewan Direktur
yang lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan
diri;
f. melakukan kejahatan korporasi, tindak pidana
korupsi, tindak pidana lainnya, atau pelanggaran
moral; dan/atau
g. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf f, dan huruf h.
(2) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) huruf a diberhentikan dari jabatannya
karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
tidak lagi menjadi pejabat di instansi atau lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a.

3. Anggota . . .
- 13 -
(3) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) sebelum diberhentikan karena alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dalam
waktu 14 (empat belas) hari diberi kesempatan untuk
melakukan pembelaan diri kepada Menteri.
(4) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(5) Pemberhentian anggota Dewan Direktur dan
pengangkatan anggota yang baru harus dilakukan
sehingga jumlah anggota Dewan Direktur paling sedikit 4
(empat) orang.
(6) Dalam hal anggota Dewan Direktur diberhentikan,
anggota Dewan Direktur penggantinya ditetapkan dalam
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal
pemberhentian.
(7) Masa jabatan anggota Dewan Direktur yang diangkat
untuk menggantikan anggota yang diberhentikan bukan
karena berakhirnya masa jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b adalah sisa masa jabatan anggota
Dewan Direktur yang digantikannya.

Pasal 29
(1) Kegiatan operasional LPEI dilakukan oleh Direktur
Eksekutif.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Direktur Eksekutif
dibantu oleh paling banyak 5 (lima) orang Direktur
Pelaksana.
(3) Direktur Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling banyak 4 (empat) orang berasal dari dalam LPEI.
(4) Direktur Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Direktur atas
usul Direktur Eksekutif.

Pasal 30
(1) Direktur Eksekutif mewakili LPEI, baik di dalam maupun
di luar pengadilan;

(2) Kewenangan . . .
- 14 -
(2) Kewenangan Direktur Eksekutif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada 2 (dua) orang
Direktur Pelaksana.

Bagian Kedua
Kepegawaian
Pasal 31
(1) Direktur Eksekutif menetapkan sistem kepegawaian,
penggajian, penghargaan, program pensiun, dan
tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi
pegawai LPEI.
(2) Direktur Eksekutif mengangkat dan memberhentikan
pegawai LPEI.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Direktur
Eksekutif.
Bagian Ketiga
Penghapusbukuan dan Penghapustagihan Piutang
serta Penghapusbukuan Aktiva Tetap
Pasal 32
(1) Kewenangan penghapusbukuan piutang LPEI
dilaksanakan oleh Direktur Eksekutif, Dewan Direktur,
atau Menteri dengan ketentuan sebagai berikut:
a. piutang sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) oleh Direktur Eksekutif dengan
persetujuan Dewan Direktur;
b. piutang lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) oleh Dewan Direktur dengan
persetujuan Menteri; dan
c. piutang lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) oleh Menteri.
(2) Piutang yang dapat dihapusbukukan adalah piutang
macet yang walaupun telah dilakukan upaya
restrukturisasi, tetap tidak tertagih dan tidak disebabkan
oleh adanya kesalahan dalam penyalurannya.
(3) LPEI wajib terus melakukan upaya penagihan atas
piutang yang telah dihapusbukukan sebelum piutang
tersebut dihapus tagih.

Pasal 33 . . .
- 15 -
Pasal 33
(1) Dalam hal upaya penagihan atas piutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) telah dilakukan lebih
dari 10 (sepuluh) tahun, tetapi tetap tidak tertagih dan
perkiraan biaya tagih lebih besar dibandingkan dengan
hasil tagih, piutang tersebut dapat dihapustagihkan.
(2) Kewenangan penghapustagihan piutang LPEI
dilaksanakan oleh Direktur Eksekutif setelah memperoleh
persetujuan dari Dewan Direktur.

Pasal 34
(1) Aktiva tetap yang dapat dihapusbukukan adalah aktiva
yang telah habis umur ekonomisnya atau mengalami
keusangan karena kemajuan teknologi.
(2) Kewenangan penghapusbukuan aktiva tetap dilaksanakan
oleh Direktur Eksekutif setelah memperoleh persetujuan
dari Dewan Direktur.

Pasal 35
Tata cara penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 33
ayat (1) serta tata cara penghapusbukuan aktiva tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) ditetapkan
dalam Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan

Pasal 36
Tahun Buku dan Tahun Anggaran LPEI dimulai dari 1
Januari sampai dengan 31 Desember.

Pasal 37
(1) Direktur Eksekutif menyiapkan Rencana Jangka Panjang
sebagai rencana strategis yang memuat sasaran yang
hendak dicapai oleh LPEI dalam periode 5 (lima) tahunan.
(2) Direktur Eksekutif menyusun Rencana Kerja dan
Anggaran Tahunan sebagai penjabaran tahunan dari
Rencana Jangka Panjang.
(3) Tata cara penyusunan, penyampaian, dan pengubahan
Rencana Jangka Panjang serta Rencana Kerja dan
Anggaran Tahunan ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kelima . . .
- 16 -
Bagian Kelima
Pelaporan dan Akuntabilitas
Pasal 38
(1) LPEI wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan
yang telah diaudit kepada Menteri paling lambat tanggal
30 April tahun berikutnya.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diaudit oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh
Direktur Eksekutif dengan persetujuan Dewan Direktur.
(3) LPEI wajib mengumumkan laporan keuangan yang telah
diaudit melalui media massa elektronik dan paling sedikit
2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas
secara nasional, paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.

Bagian Keenam
Pembubaran
Pasal 39
LPEI hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang.

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 40
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap LPEI dilakukan
oleh Menteri.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan LPEI
ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

BAB VI
BANTUAN HUKUM

Pasal 41
LPEI memberikan bantuan hukum kepada anggota Dewan
Direktur, Direktur Eksekutif, Direktur Pelaksana, pegawai,
mantan Dewan Direktur, mantan Direktur Eksekutif, mantan
Direktur Pelaksana, dan mantan pegawai atas tuntutan
pidana dan/atau gugatan yang dapat menimbulkan kewajiban
dan/atau akibat hukum, sepanjang keputusan dan/atau
kebijakan yang diambil dilakukan dengan iktikad baik dan
sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

BAB VII . . .
- 17 -

BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 42
(1) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, Direktur
Pelaksana, dan pegawai yang melanggar ketentuan Pasal
17 ayat (1), Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat
(3), dan Pasal 40 dikenai sanksi administratif berupa
teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 43
(1) Pegawai LPEI yang dengan sengaja melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan Pasal 13 ayat (1), Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 22, Pasal 24
ayat (1), dan/atau Pasal 32 yang mengakibatkan kerugian
bagi LPEI dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, atau
Direktur Pelaksana yang dengan sengaja melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 22,
Pasal 24 ayat (1), dan/atau Pasal 32 yang mengakibatkan
kerugian bagi LPEI dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).

BAB IX . . .
- 18 -

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank Ekspor Indonesia
tetap melaksanakan kegiatan operasional sampai dengan
beroperasinya LPEI.
b. Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Bank Ekspor Indonesia ditugasi untuk
mempersiapkan operasional LPEI dan melakukan
sosialisasi.
c. Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Bank Ekspor Indonesia ditugasi untuk
menunjuk kantor akuntan publik untuk melakukan audit
atas laporan keuangan penutup Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Bank Ekspor Indonesia.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 45
Untuk pertama kali, anggota Dewan Direktur diangkat untuk
masa jabatan sebagai berikut:
a. anggota Dewan Direktur yang merupakan Ketua Dewan
Direktur merangkap Direktur Eksekutif diangkat untuk
masa jabatan 5 (lima) tahun;
b. 3 (tiga) orang anggota Dewan Direktur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a diangkat untuk
masa jabatan 4 (empat) tahun;
c. 3 (tiga) orang anggota Dewan Direktur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a diangkat untuk
masa jabatan 3 (tiga) tahun;
d. paling banyak 3 (tiga) orang anggota Dewan Direktur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b
yang berasal dari luar LPEI yang bukan merupakan
Ketua Dewan Direktur diangkat untuk masa jabatan 4
(empat) tahun; dan

e. 1 (satu) orang . . .
- 19 -

e. 1 (satu) orang anggota Dewan Direktur sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b yang berasal
dari dalam LPEI yang bukan merupakan Ketua Dewan
Direktur diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.

Pasal 46
Dalam menjalankan kegiatannya, baik dalam melakukan
Pembiayaan, Penjaminan, maupun Asuransi, LPEI tunduk
pada Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 47
LPEI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dapat
menggunakan nama Indonesia Eximbank.

Pasal 48
(1) Paling lama 9 (sembilan) bulan sejak Undang-Undang ini
diundangkan:
a. LPEI mulai beroperasi;
b. anggota Dewan Direktur telah diangkat; dan
c. peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini
telah ditetapkan.
(2) Dengan beroperasinya LPEI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank Ekspor
Indonesia dinyatakan bubar dan semua aktiva dan
pasiva serta hak dan kewajiban hukum Perusahaan
Perseroan (Persero) PT Bank Ekspor Indonesia menjadi
aktiva dan pasiva serta hak dan kewajiban hukum
LPEI; dan
b. semua pegawai Perusahaan Perseroan (Persero) PT
Bank Ekspor Indonesia menjadi pegawai LPEI.

Pasal 49
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .
- 20 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 2

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,

SETIO SAPTO NUGROHO

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4957


PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9 TAHUN 2009

TENTANG

LEMBAGA PEMBIAYAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka upaya meningkatkan peran Lembaga


Pembiayaan dalam proses pembangunan nasional, perlu
didukung oleh ketentuan mengenai Lembaga Pembiayaan yang
memadai;

b. bahwa untuk dapat meningkatkan peran sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988
tentang Lembaga Pembiayaan perlu disempurnakan dengan
mengganti Keputusan Presiden dimaksud dengan Peraturan
Presiden yang baru;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden
tentang Lembaga Pembiayaan;

Menimbang : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847 Nomor


23);

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116,
Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 3502);

4. Undang-Undang ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 2 -

4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan


Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA


PEMBIAYAAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:

1. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan


kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang
modal.

2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus


didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang,
Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit.

3. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah


badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan
modal ke dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan
pembiayaan (investee Company) untuk jangka waktu tertentu
dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian
obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian
atas hasil usaha.

4. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang


didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana pada proyek infrastruktur.

5. Sewa ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 3 -

5. Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam


bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha
dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha
tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa
Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara angsuran.

6. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam


bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu
Perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.

7. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan


pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan
konsumen dengan pembayaran secara angsuran.

8. Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan


untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan
kartu kredit.

9. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan


kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang
tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau
kepada penggantinya.

10. Menteri adalah Menteri Keuangan.

BAB II

JENIS, KEGIATAN USAHA, DAN PENDIRIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN

Pasal 2

Lembaga Pembiayaan meliputi:

a. Perusahaan Pembiayaan;

b. Perusahaan Modal Ventura; dan

c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.

Pasal 3 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 4 -

Pasal 3

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:

a. Sewa Guna Usaha;

b. Anjak Piutang;

c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau

d. Pembiayaan Konsumen.

Pasal 4

Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi:

a. Penyertaan saham (equity participation);

b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity


participation); dan/atau
c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/
revenue sharing).

Pasal 5

(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:

a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk


Pembiayaan Infrastruktur;

b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain;


dan/atau

c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang


berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur;

(2) Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula
melakukan:

a. Pemberian ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 5 -

a. Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk


penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;

b. Pemberian jasa konsultasi (advisory services);

c. Penyertaan modal (equity investment);

d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan


Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau

e. Kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan


Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan
dari Menteri.

Pasal 6

Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan


Pembiayaan Infrastruktur berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.

Pasal 7

(1) Saham Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan


Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang berbentuk Perseroan
Terbatas dapat dimiliki oleh :

a. Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia;

b. Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan


Hukum Indonesia (usaha patungan).

(2) Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b ditentukan paling besar 85% (delapan
puluh lima per seratus) dari Modal Disetor.

Pasal 8

Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan, tata cara pendirian


perusahaan dan pelaksanaan kegiatan usaha diatur oleh Menteri.

BAB III …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 6 -

BAB III

PEMBATASAN

Pasal 9

Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilarang


menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk:

a. Giro;

b. Deposito;

c. Tabungan.

Pasal 10

(1) Lembaga Pembiayaan dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar


(Promissory Note) dengan memenuhi prinsip kehati-hatian
(prudential principles).

(2) Penerbitan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB IV

PENGAWASAN

Pasal 11

Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas Lembaga


Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

BAB V ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 7 -

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 12

Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini, Perusahaan Pembiayaan


dan Perusahaan Modal Ventura yang telah memperoleh izin usaha
dari Menteri tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan melakukan
penyesuaian terhadap Peraturan Presiden ini paling lambat 2 (dua)
tahun sejak Peraturan Presiden ini ditetapkan.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13

Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini:

a. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga


Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988
Nomor 53) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

b. Semua peraturan perundangan-undangan yang merupakan


peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun
1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1988 Nomor 53) dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Presiden ini.

Pasal 14 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 8 -

Pasal 14

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 18 Maret 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet


Bidang Hukum,

Dr. M. Iman Santoso


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG
PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang tersedianya dana pembangunan


perumahan yang lebih efektif dan efisien melalui pembiayaan
sekunder perumahan, perlu didukung oleh ketentuan mengenai
pembiayaan sekunder perumahan yang memadai;

b. bahwa Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang


Pembiayaan Sekunder Perumahan, perlu disesuaikan dengan
kebutuhan pembiayaan perumahan dan perkembangan skim
pembiayaan sekunder perumahan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a dan


huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Pembiayaan Sekunder Perumahan;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Kitab ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 2 -

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek,


Staatsblad 1847 Nomor 23);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);

5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha


Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4297);

6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan


Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan


Perseroan (PERSERO) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3731) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4101);

8. Peraturan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 3 -

8. Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan


Sekunder Perumahan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4479);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN


PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG PEMBIAYAAN
SEKUNDER PERUMAHAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005


tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4479) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 dihapus dan diantara angka 5 dan angka


6 disisipkan 1 (satu) angka baru yaitu angka 5a serta mengubah
angka 13, angka 15, dan angka 18, sehingga keseluruhan Pasal 1
menjadi berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 1

1. Dihapus.

2. Aset Keuangan adalah piutang yang diperoleh dari penerbitan


KPR, termasuk hak agunan yang melekat padanya.

3. Bank ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 4 -

3. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-


Undang Perbankan.

4. Dokumen Transaksi adalah seluruh dokumen yang dibuat oleh


para pihak dalam transaksi Sekuritisasi.

5. Efek Beragun Aset adalah surat berharga yang dapat berupa


Surat Utang atau Surat Partisipasi yang diterbitkan oleh Penerbit
yang pembayarannya terutama bersumber dari Kumpulan
Piutang.

5a. Pendukung Kredit (Credit Enhancer) adalah pihak yang


memberikan fasilitas untuk meningkatkan kualitas dan nilai Aset
Keuangan dan/atau surat berharga dalam transaksi Sekuritisasi
maupun untuk pemberian fasilitas pinjaman.

6. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah fasilitas kredit yang


diterbitkan oleh Kreditor Asal untuk membeli rumah siap huni.

7. Kreditor Asal adalah setiap Bank atau lembaga keuangan yang


mempunyai Aset Keuangan.

8. Kumpulan Piutang adalah keseluruhan Aset Keuangan yang


dibeli oleh Penerbit dari Kreditor Asal.

9. Kustodian adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam


Undang-Undang Pasar Modal.

10. Menteri adalah Menteri Keuangan.

11. Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah penyelenggaraan


kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang
kepada Kreditor Asal dengan melakukan Sekuritisasi.

12. Pemodal adalah orang atau badan pemegang Efek Beragun Aset.

13. Penerbit ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 5 -

13. Penerbit adalah pihak yang melakukan penerbitan efek beragun


aset dalam rangka sekuritisasi.

14. Sekuritisasi adalah transformasi aset yang tidak liquid menjadi


liquid dengan cara pembelian Aset Keuangan dari Kreditor Asal
dan penerbitan Efek Beragun Aset.

15. Special Purpose Vehicle (SPV) adalah perseroan terbatas yang


ditunjuk oleh lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk
membeli Aset Keuangan dan menerbitkan Efek Beragun Aset.

16. Surat Partisipasi adalah bukti pemilikan secara proporsional atas


Kumpulan Piutang yang dimiliki bersama oleh sejumlah Pemodal
yang diterbitkan oleh Penerbit.

17. Surat Utang adalah bukti utang yang dikeluarkan oleh Penerbit
yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk memperoleh
pembayaran sebagai Pemodal.

18. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan Pemodal


dalam transaksi sekuritisasi dan terdaftar di Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.”

2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (4) diubah, sehingga


keseluruhan Pasal 4 menjadi berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 4

(1) Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan dengan cara


pembelian kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan
penerbitan Efek Beragun Aset.

(2) Efek ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 6 -

(2) Efek Beragun Aset dapat berbentuk Surat Utang atau Surat
Partisipasi.

(3) Efek Beragun Aset harus diperingkat oleh lembaga


pemeringkat.

(4) Surat Utang atau Surat Partisipasi sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) diterbitkan atas unjuk (aan toonder) dan/atau atas
nama (aan order).”

3. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) diubah serta ayat (3)
dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 6 menjadi berbunyi sebagai
berikut:

“Pasal 6

(1) Dalam hal Efek Beragun Aset berbentuk Surat Utang, SPV
membeli kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan
menerbitkan Surat Utang.

(2) Dalam hal Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi,


lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 atau
Wali Amanat membeli kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor
Asal dan menerbitkan Surat Partisipasi.”

(3) Dihapus.”

4. Diantara ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 7 -

4. Diantara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu


Pasal 6A, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 6A

Dalam rangka melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 ayat (1), SPV hanya dapat melakukan satu transaksi
sekuritisasi.”

5. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 8 menjadi


berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 8

Pembelian kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) hanya dapat dilakukan atas Aset Keuangan yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh lembaga keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.”

6. Ketentuan Pasal 9 dihapus.

7. Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu


Pasal 9A, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 9A

Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat


melakukan pembelian Efek Beragun Aset.”

8. Ketentuan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 8 -

8. Ketentuan Pasal 10 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10


menjadi berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 10

(1) Pembayaran atas Efek Beragun Aset kepada Pemodal terutama


bersumber dari arus kas yang diperoleh dari Kumpulan Piutang.

(2) Dalam hal arus kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencukupi, pembayaran kekurangannya bersumber dari
Pendukung Kredit.

(3) Pembayaran atas Efek Beragun Aset sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan oleh Wali Amanat, Kustodian
atau pihak lain yang ditunjuk oleh para pihak dalam Dokumen
Transaksi.”

9. Ketentuan Pasal 11 dihapus.

10. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 12 menjadi


berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 12

(1) Pihak-pihak dalam Sekuritisasi antara lain Kreditor Asal,


Penerbit, Pemodal, penata sekuritisasi, Wali Amanat, Kustodian,
Pendukung Kredit, dan pemberi jasa.

(2) Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat


bertindak sebagai koordinator global, penjamin, penata
sekuritisasi, dan/atau Pendukung Kredit dalam transaksi
Sekuritisasi.”

11. Di antara ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 9 -

11. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu
Pasal 12A, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 12A

Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat


menunjuk penata sekuritisasi untuk mengatur dan menyiapkan
proses Sekuritisasi.”

12. Ketentuan dalam Pasal 14 ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf d,


sehingga keseluruhan Pasal 14 menjadi berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 14

Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib


menyampaikan laporan kepada Menteri, berupa:
a. Laporan keuangan triwulanan;
b. Laporan kegiatan usaha semesteran;
c. Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit Akuntan Publik;
d. Laporan dan/atau hal-hal lain yang diperlukan.”

13. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 menjadi


berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 18

(1) Dalam rangka melaksanakan Pembiayaan Sekunder Perumahan,


perusahaan dapat melakukan penyertaan langsung.

(2) Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat


dilakukan pada perusahaan yang kegiatan usahanya terkait
langsung dengan pembangunan dan pengembangan pasar
pembiayaan sekunder perumahan.

(3) Penyertaan ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

(3) Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih


dahulu mendapat persetujuan dari pemegang saham.
(4) Perusahaan dilarang melakukan pembelian saham melalui pasar
modal.”

14. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 menjadi


berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 19

Perusahaan dapat menempatkan dana dalam bentuk Surat Utang


Negara, Sertifikat Bank Indonesia, Deposito, dan/atau instrumen
keuangan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.”

15. Ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah serta ayat
(2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 20 menjadi berbunyi sebagai
berikut:

“Pasal 20

(1) Dalam rangka membangun dan mengembangkan pasar sekunder


perumahan, perusahaan dapat memberikan fasilitas pinjaman
kepada Bank dan/atau lembaga keuangan untuk disalurkan
sebagai KPR dengan tata cara dan persyaratan yang ditetapkan
perusahaan.
(2) Dihapus
(3) Pemberian fasilitas pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
ditetapkannya Peraturan Presiden ini.
(4) Jangka waktu penyaluran fasilitas pinjaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) tahun.”

Pasal II ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11 -

Pasal II

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet


Bidang Hukum,

Dr. M. Iman Santoso


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2008

TENTANG

LEMBAGA PENJAMINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa usaha penjaminan yang dilakukan oleh Lembaga


Penjaminan selama ini belum cukup diatur berdasarkan
prinsip-prinsip usaha penjaminan yang prudent, transparan
serta memberikan kepastian hukum;

b. bahwa dalam rangka mendorong kegiatan usaha Lembaga


Penjaminan yang diselenggarakan secara efisien,
berkesinambungan, serta bermanfaat bagi masyarakat dan
perekonomian nasional, dipandang perlu melakukan
pengaturan terhadap Lembaga Penjaminan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada


huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden
tentang Lembaga Penjaminan;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2387);

3. Undang ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 2 -

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3502);

5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha


Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4297);

6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan


Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG LEMBAGA PENJAMINAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:

1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan


kewajiban finansial Penerima Kredit dan/atau Pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah.

2. Penjaminan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 3 -

2. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas


pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan yang
telah menjamin pemenuhan kewajiban finansial Penerima Kredit
dan/atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

3. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di


bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan
Penjaminan.

4. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak


di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan
Ulang.

5. Lembaga Penjaminan adalah Perusahaan Penjaminan dan


Perusahaan Penjaminan Ulang.

6. Lembaga Keuangan adalah Bank dan Lembaga Keuangan Bukan


Bank.

7. Penerima Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah


adalah pihak yang telah memperoleh kredit dan/atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah dari Lembaga Keuangan.

8. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat


dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara Lembaga Keuangan dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

9. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan


berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh Lembaga
Keuangan.

10. Prinsip Syariah adalah prinsip yang didasarkan atas ajaran atau
hukum Islam.

11. Menteri ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 4 -

11. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

BAB II

KEGIATAN USAHA

Pasal 2

(1) Perusahaan Penjaminan melakukan kegiatan usaha Penjaminan.

(2) Perusahaan Penjaminan Ulang melakukan kegiatan usaha


Penjaminan Ulang.

(3) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang dapat


melakukan usaha lain yang mendukung kegiatan usaha Lembaga
Penjaminan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Perusahaan


Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.

BAB III

BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN DAN PERIZINAN

Pasal 3

(1) Bentuk badan hukum Lembaga Penjaminan berupa:

a. Perusahaan Umum;

b. Perusahaan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 5 -

b. Perusahaan Perseroan (Persero);

c. Perusahaan Daerah;

d. Perseroan Terbatas; atau

e. Koperasi.

(2) Perusahaan Penjaminan berbadan hukum Perseroan Terbatas,


sahamnya hanya dapat dimiliki oleh :

a. warga negara Indonesia;

b. badan hukum Indonesia;

c. Pemerintah Pusat; dan/atau

d. Pemerintah Daerah.

(3) Perusahaan Penjaminan Ulang berbadan hukum Perseroan


Terbatas, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh :

a. sekurang-kurangnya oleh dua Perusahaan Penjaminan;

b. Pemerintah Pusat; dan/atau

c. Pemerintah Daerah.

(4) Perusahaan Penjaminan Ulang berbadan hukum Koperasi hanya


dapat dimiliki oleh gabungan Perusahaan Penjaminan berbadan
hukum Koperasi.

Pasal 4

(1) Untuk melakukan kegiatan sebagai Lembaga Penjaminan, badan


hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus
terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Menteri.

(2) Pencabutan ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 6 -

(2) Pencabutan izin usaha kegiatan sebagai Lembaga Penjaminan


dilakukan oleh Menteri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara


pendirian Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan pencabutan izin usaha Lembaga Penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk permodalan
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 5

(1) Lembaga Penjaminan berkedudukan di wilayah Republik


Indonesia, dengan lingkup wilayah operasional nasional atau
provinsi.

(2) Lembaga Penjaminan dapat mendirikan Kantor Cabang dan


Kantor Anak Cabang sesuai lingkup wilayah operasionalnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara


pembukaan kantor Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV

KELEMBAGAAN

Pasal 6

(1) Susunan organisasi Lembaga Penjaminan sekurang-kurangnya


memiliki fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan,
fungsi pelayanan dan pengembangan informasi debitur.

(2) Pengelolaan ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 7 -

(2) Pengelolaan Lembaga Penjaminan sekurang-kurangnya


didukung dengan :

a. sistem pengembangan sumber daya manusia;

b. sistem dan prosedur kerja;

c. sistem administrasi, pengolahan data; dan

d. rencana kerja dan anggaran tahunan.

(3) Pengurus Lembaga Penjaminan sekurang-kurangnya memenuhi


kriteria:

a. memiliki pengetahuan, pengalaman atau keahlian di bidang


pengelolaan risiko, manajerial atas perusahaan yang bergerak
di bidang jasa keuangan; dan

b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan pada Lembaga


Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V

PEMBATASAN

Pasal 7

(1) Lembaga Penjaminan dilarang:

a. memberikan pinjaman; dan/atau


b. menerima pinjaman; dan/atau
c. melakukan penyertaan langsung.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dalam rangka
melakukan restrukturisasi penjaminan bagi usaha mikro, kecil,
dan menengah.

(3) Ketentuan ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 8 -

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b


dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan yang menerima
pinjaman dalam bentuk Obligasi Wajib Konversi (mandatory
convertible bonds).
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dalam rangka
penyertaan pada Perusahaan Penjaminan Ulang.

BAB VI

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 8

(1) Pembinaan dan pengawasan Lembaga Penjaminan dilakukan


oleh Menteri.

(2) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Lembaga


Penjaminan, Menteri berwenang melakukan pemeriksaan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan


Lembaga Penjaminan diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 9

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Lembaga Penjaminan,


Menteri berwenang menetapkan sanksi administratif atas pelanggaran
Peraturan Presiden ini.

BAB VII …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 9 -

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 10

Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, maka:

a. Badan usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri


untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan
Penjaminan, tetap dapat melanjutkan kegiatannya dan untuk
selanjutnya dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun,
wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Presiden ini; atau

b. Badan usaha yang kegiatan usaha pokoknya melakukan


Penjaminan namun belum memperoleh izin usaha dari Menteri,
tetap dapat melanjutkan kegiatannya dan dinyatakan telah
mendapatkan izin usaha dari Menteri dan dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun, wajib memenuhi ketentuan dalam
Peraturan Presiden ini.

Pasal 11

Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, ketentuan yang mengatur


tentang Perusahaan Penjaminan sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku.

BAB VIII …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

BAB VIII

PENUTUP

Pasal 12

Peraturan Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum,

Dr. M. Iman Santoso


KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 61 TAHUN 1988
TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi maka
sarana penyediaan dana yang dibutuhkan masyarakat perlu
lebih diperluas sehingga peranannya sebagai sumber dana
pembangunan makin meningkat;
b. bahwa untuk maksud tersebut peranan Lembaga Pembiayaan
sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan perlu
lebih ditingkatkan;
c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk mene-
tapkan ketentuan tentang Lembaga Pembiayaan dalam
Keputusan Presiden;

Menimbang : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945;


2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847Nomor
23);
3. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Staatsblad 1347
Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran
Negara Tabun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2959);
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok
Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23,
Tambahan Lembaga Negara Nomor 2832);
5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1167 Nomor 34,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2842);

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1988


tentang Lembaga Pembiayaan.

-1-
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :


1. Menteri adalah Menteri Keuangan;
2. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau
barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung
dari masyarakat;
3. Bank adalah Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank pemba-
ngunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan;
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara
langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan
mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam
masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-
perusahaan;
5. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan
untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
Lembaga Pembiayaan;
6. Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance
Company) adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan
pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem
pembayaran angsuran atau berkala;
7. Perusahaan Kartu Kredit (Credit Card Company) adalah
badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk
membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit;
8. Perusahaan Anjak piutang (Factoring Company) adalah badan
usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bantuk
pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau
tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi per-
dagangan dalam atau luar negeri;

-2-
9. Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah
badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara "Finance Lease"
maupun "Operating Lease" untuk digunakan oleh Penyewa
Guna Usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala.
10. Perusahaan Perdagangan Surat Berharga (Securities
Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha
pembiayaan dalam bentuk perdagangan surat berharga;
11. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company)
adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu Perusahaan
yang menerima bantuan pembiayaan (investee Company)
untuk jangka waktu tertentu;.
12. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernya-
taan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah
uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat
tersebut atau kepada penggantinya.

BAB II
BIDANG USAHA DAN
PENDIRIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN

Pasal 2
(1) Lembaga pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi
antara lain bidang usaha :
a. Sewa Guna Usaha;
b. Modal Ventura;
c. Perdagangan Surat Berharga;
d. Anjak Piutang;
e. Usaha Kartu Kredit;
f. Pembiayaan Konsumen.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan dan tata cara
pendirian perusahaan, serta kegiatan dalam bidang-bidang
usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut oleh Menteri.

-3-
Pasal 3

(1) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)


dapat dilakukan oleh :
a. Bank;
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank;
c. Perusahaan Pembiayaan.
(2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf c berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
(3) Saham Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk Perseroan
Terbatas dapat dimiliki oleh :
a. Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum
Indonesia;
b. Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau
Badan Hukum Indonesia (usaha patungan).
(4) Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf b ditentukan sebesar-
besarnya 85% (delapan puluh lima persen) dari Modal
Disetor.
Pasal 4

(1) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)


dapat melakukan satu atau lebih kegiatan Usaha Lembaga
Pembiayaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh
Menteri.

BAB III
PEMBATASAN
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c dilarang menarik dana secara
langsung dari masyarakat dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan;
d. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note).

-4-
(2) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c dapat menerbitkan Surat Sanggup
Bayar hanya sebagai jaminan atas hutang kepada Bank
yang menjadi krediturnya.

BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 6
Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas usaha Per-
usahaan Pembiayaan.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Dengan ditetapkannnya Keputusan Presiden ini, Bank, Lembaga
Keuangan Bukan Bank, dan Perusahaan Pembiayaan yang telah
memperoleh izin usaha dari Menteri atau telah melaksanakan
kegiatan usaha pembiayaan tetap dapat melanjutkan
kegiatannya dengan mengadakan penyesuaian terhadap
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Dengan ditetapkannya Keputusan presiden ini, segala peraturan
mengenai Sawa Guna Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 9
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Keputusan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

-5-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 1988

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


ttd
S0EHART0

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1988


NOMOR 53

-6-
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.786, 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN. Fidusia. Perusahaan
Pembiayaan. Kendaraan Bermotor. Pendaftaran.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 130/ PMK.010/ 2012
TENTANG
PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
YANG MELAKUKAN PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN
BERMOTOR DENGAN PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembiayaan konsumen


kendaraan bermotor oleh perusahaan pembiayaan,
konsumen menyerahkan hak milik atas kendaraan
bermotor secara kepercayaan (fidu sia) kepada
perusahaan pembiayaan;
b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum bagi
perusahaan pembiayaan dan konsumen
sehubungan dengan penyerahan hak milik atas
kendaraan bermotor dari konsumen secara
kepercayaan (fidu sia) kepada perusahaan
pembiayaan, perlu dilakukan pendaftaran jaminan
fidusia pada kantor pendaftaran fidusia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan
Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan
Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan
Pembebanan Jaminan Fidusia;

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.786 2

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang


Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/ PMK.012/ 2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA BAGI PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN YANG MELAKUKAN PEMBIAYAAN
KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN
PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA.
Pasal 1
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen
untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia
wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor
Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai
jaminan fidusia.
(2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan:
a. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip
syariah; dan/ atau
b. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya
berasal dari pembiayaan penerusan ( channeling ) atau pembiayaan
bersama ( joint financing ).
Pasal 2
Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor
Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung
sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.
Pasal 3
Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan
fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia
belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya
kepada Perusahaan Pembiayaan.

www.djpp.depkumham.go.id
3 2012, No.786

Pasal 4
Penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor oleh
Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan
telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen
kendaraan bermotor.
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan
Menteri ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari kalender.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah
memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi
peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak
memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diberikan secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan, yang
berlaku selama jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat
sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/ atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi
peringatan dan/ atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku
hingga hari kerja pertama berikutnya.
(7) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan
telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.786 4

(8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan


kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan
Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-
pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan
mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.
Pasal 6
Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan perjanjian pembiayaan
konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan
fidusia sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dapat melakukan
pendaftaran jaminan fidusia sesuai kesepakatan dalam perjanjian
pembiayaan konsumen antara Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen
Pasal 7
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 2 (dua) bulan terhitung sejak
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Agustus 2012
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Agustus 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN

www.djpp.depkumham.go.id
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.1308, 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN. Pembiayaan.
Konsumen. Kendaraan Bermotor. Uang Muka.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 220/ PMK.010/ 2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 43/ PMK.010/ 2012
TENTANG UANG MUKA PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN
BERMOTOR PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan prinsip kehati-


hatian perusahaan pembiayaan atas risiko penyaluran
pembiayaan konsumen kendaraan bermotor,
perlu menambah ketentuan mengenai uang muka
pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor
roda 3 (tiga) dan roda lebih dari 4 (empat);

b. bahwa sehubungan dengan huruf a tersebut di atas


dan agar terdapat kesetaraan pengaturan uang muka
pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor bagi
perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, perlu melakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan uang muka
pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 43/ PMK.010/ 2012 tentang Uang
Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan
Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan;

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1308 2

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/ PMK.010/ 2012 tentang Uang Muka Pembiayaan
Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada
Perusahaan Pembiayaan;

Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang


Lembaga Pembiayaan;

2. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang


Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Kementerian Negara
Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92
Tahun 2011;

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.012/ 2006


tentang Perusahaan Pembiayaan;

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/ PMK.010/ 2012


tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG


PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 43/ PMK.010/ 2012 TENTANG UANG MUKA
PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN
BERMOTOR PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/ PMK.010/ 2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha pembiayaan
konsumen dan pembiayaan konsumen berdasarkan prinsip syariah
untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan ketentuan uang muka
(down payment ) kepada konsumen sebagai berikut:

www.djpp.depkumham.go.id
3 2012, No.1308

a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah


20% (dua puluh per seratus) dari harga jual kendaraan yang
bersangkutan;
b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan produktif, paling rendah 20% (dua
puluh per seratus) dari harga jual kendaraan yang
bersangkutan; atau
c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan
untuk tujuan non-produktif, paling rendah 25% (dua puluh lima
per seratus) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan.
(2) Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk
tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut:
a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang
memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak berwenang untuk
melakukan kegiatan usaha tertentu; atau
b. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin
usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan untuk
kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki.
(3) Dalam hal kendaraan bermotor roda empat atau lebih tidak memenuhi
salah satu kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kendaraan
yang bersangkutan digolongkan sebagai kendaraan bermotor roda
empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif.
2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal
3A, sehingga Pasal 3A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan pembiayaan
konsumen kendaraan bermotor wajib menerapkan ketentuan uang
muka pembiayaan konsumen kendaraan bermotor bagi kendaraan
bermotor roda tiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf a dan bagi kendaraan bermotor roda lebih dari empat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b dan huruf c,
dalam perjanjian pembiayaan konsumen paling lambat sejak tanggal 1
Januari 2013.
(2) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan pembiayaan
konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah wajib
menerapkan ketentuan uang muka pembiayaan konsumen kendaraan
bermotor berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1), dalam akad pembiayaan konsumen berdasarkan
prinsip syariah paling lambat sejak tanggal 1 Januari 2013.

www.djpp.depkumham.go.id
2012, No.1308 4

Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN

www.djpp.depkumham.go.id
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA
KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN

NOMOR : PER- 06/BL/2012

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL


DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007 TENTANG KEGIATAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH

KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL


DAN LEMBAGA KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan meningkatkan tata


kelola perusahaan yang lebih baik, perlu dilakukan
penyesuaian ketentuan kegiatan perusahaan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dengan mengubah
ketentuan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor PER-03/BL/2007
tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan
Prinsip Syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor PER-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah;

Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang


Lembaga Pembiayaan;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan;
3. Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor PER-03/BL/2007 tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL


DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007
TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

-2-

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Ketua Badan


Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-
03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah, diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 10 diubah sehingga


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang Dewan Pengawas Syariah
yang terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan
b. 1 (satu) orang anggota.

(2) Ketua dan anggota Dewan Pengawas Syariah


diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas
rekomendasi DSN-MUI.

(3) Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan


nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek
syariah kegiatan operasional Perusahaan Pembiayaan
dan sebagai mediator antara Perusahaan Pembiayaan
dengan DSN-MUI.

2. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 10A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10A

(1) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan


Pembiayaan dilarang melakukan rangkap jabatan
sebagai anggota direksi atau dewan komisaris pada
Perusahaan Pembiayaan.

(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan


Pembiayaan dilarang merangkap jabatan sebagai
anggota Dewan Pengawas Syariah lebih dari 2 (dua)
Perusahaan Pembiayaan lain.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

-3-

Pasal II

Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2012

KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL


DAN LEMBAGA KEUANGAN,

ttd

NGALIM SAWEGA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

NOMOR PER- 05/BL/2011

TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN


PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL


DAN LEMBAGA KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (5)


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga
Keuangan Non Bank, pedoman pelaksanaan penerapan prinsip
mengenal nasabah pada lembaga keuangan non bank
khususnya bagi perusahaan pembiayaan sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Lembaga
Keuangan Nomor Kep 2833/LK/2003 perlu disempurnakan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah Bagi Perusahaan Pembiayaan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan


Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan;
3. Keputusan Presiden Nomor 20/M Tahun 2011;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga
Keuangan Non Bank;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL
NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

-2-

Pasal 1
(1) Perusahaan pembiayaan wajib menyusun pedoman
pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah sesuai
dengan petunjuk penyusunan sebagaimana dimaksud dalam
lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini.
(2) Perusahaan pembiayaan wajib menyampaikan pedoman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Biro
Pembiayaan dan Penjaminan.

Pasal 2
(1) Perusahaan pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha
wajib menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip
mengenal nasabah yang telah disesuaikan berdasarkan
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja sejak ditetapkannya Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini.
(2) Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan melakukan
penilaian atas pedoman yang disampaikan oleh perusahaan
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berdasarkan penilaian Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan belum sesuai dengan petunjuk penyusunan
pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah,
perusahaan pembiayaan wajib melakukan perbaikan terhadap
pedoman dimaksud.
(4) Jangka waktu penyampaian perbaikan pedoman sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak diterima pemberitahuan dari Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro
Pembiayaan dan Penjaminan mengenai hasil penilaian
pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah.
(5) Dalam hal Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan tidak
menyampaikan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal penerimaan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip
mengenal nasabah, perusahaan pembiayaan dapat menerapkan
pedoman dimaksud.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

-3-

Pasal 3
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q.
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan berwenang untuk
meminta perusahaan pembiayaan melakukan perbaikan atas
pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah,
apabila di kemudian hari diketahui bahwa pedoman pelaksanaan
penerapan prinsip mengenal nasabah dimaksud tidak sesuai
dengan petunjuk penyusunan pedoman pelaksanaan penerapan
prinsip mengenal nasabah.

Pasal 4
Dengan ditetapkannya Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini, Keputusan Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan Nomor 2833/LK/2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pada Lembaga
Keuangan Non Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2011

Ketua Badan Pengawas Pasar Modal


dan Lembaga Keuangan

ttd.

Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Bagian Umum

Prasetyo Wahyu Adi Suryo


NIP 19571028 198512 1 001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

LAMPIRAN

PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS


PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

NOMOR PER- 05/BL/2011

TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN


PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011

PETUNJUK PENYUSUNAN
PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tanggal 9 Februari 2010, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Salah satu tujuan
ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan tersebut sebagai upaya untuk
menciptakan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang sehat yang mengacu
kepada praktik-praktik terbaik yang berlaku secara internasional (international best
practices) serta terlindungi dari kemungkinan disalahgunakan untuk Pencucian
Uang, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku
kejahatan.
Peraturan Menteri Keuangan tersebut mewajibkan setiap LKNB untuk menyusun
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN). Yang
dimaksud dengan LKNB adalah Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, dan
Lembaga Pembiayaan. Sedangkan Lembaga Pembiayaan terdiri dari Perusahaan
Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur. Perusahaan Pembiayaan sebagai salah satu Lembaga Pembiayaan,
juga diwajibkan menyusun P4MN, agar mempunyai acuan baku dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
P4MN Perusahaan Pembiayaan wajib menjabarkan paling kurang hal-hal sebagai
berikut:
1. Penanggung Jawab Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
2. Kebijakan dan Prosedur Penerimaan Nasabah.
3. Kebijakan dan Prosedur dalam Mengidentifikasi dan Memverifikasi Nasabah.
4. Kebijakan dan Prosedur Pemantauan Rekening dan Pelaksanaan Transaksi
Nasabah.
5. Kebijakan dan Prosedur Manajemen Risiko yang Berkaitan dengan Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Penyusunan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini dimaksudkan sebagai petunjuk kepada Perusahaan Pembiayaan
dalam menyusun P4MN.

2. Tujuan
Penyusunan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini bertujuan agar Perusahaan Pembiayaan mempunyai pedoman
yang baku untuk dapat mengenali profil nasabahnya sehingga pada gilirannya
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-2-

dapat mengidentifikasi adanya transaksi yang tidak wajar yang dapat menjadi
Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicious Transactions) dan Transaksi
Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai (Cash Transactions). Berdasarkan hasil
identifikasi tersebut, Perusahaan Pembiayaan menyampaikan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan/Suspicious Transactions Report (laporan
TKM) dan/atau laporan Transaksi Keuangan Tunai/Cash Transactions Report
(laporan TKT) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK).

C. Ketentuan Umum
Dalam petunjuk penyusunan P4MN ini, yang dimaksud dengan:
1. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Perusahaan Pembiayaan,
termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. klien atau penjual piutang pada kegiatan anjak piutang;
b. lessee atau penyewa guna usaha pada kegiatan leasing atau sewa guna
usaha;
c. konsumen pada kegiatan pembiayaan konsumen; dan
d. pemegang kartu kredit pada usaha kartu kredit.
2. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
3. Transaksi Keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima
penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah
uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
4. Transaksi Keuangan Mencurigakan yang selanjutnya disingkat TKM adalah:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan Nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari pelaporan yang wajib dilakukan oleh Perusahaan
Pembiayaan;
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana; atau
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh
Perusahaan Pembiayaan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana.
5. Transaksi Keuangan Tunai yang selanjutnya disingkat TKT adalah Transaksi
Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang
logam dilakukan melalui Perusahaan Pembiayaan.
6. Beneficial Owner yang selanjutnya disingkat BO adalah setiap orang atau badan
hukum yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi Nasabah, yang
memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan
pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-3-

Contoh:
a. BO perorangan:
Seorang ibu rumah tangga mengajukan permohonan pembiayaan alat-alat
rumah tangga. Sumber dana ibu tersebut adalah dari suami pemohon yang
bersangkutan. Jadi yang menjadi BO-nya adalah suami pemohon tersebut.
b. BO badan hukum (perusahaan, yayasan, atau perkumpulan):
Calon Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan sewa guna usaha
sebuah mesin untuk perusahaan tempat calon Nasabah tersebut bekerja.
Sumber dana pembayaran sewa berasal dari perusahaan yang
bersangkutan. Jadi perlu ditelaah yang menjadi BO-nya adalah pemilik
atau Pemegang Saham Pengendali perusahaan tersebut.
7. Customer Due Diligence yang selanjutnya disingkat CDD adalah proses
identifikasi calon Nasabah dan verifikasi atas dokumen pendukung calon
Nasabah.
8. Rekening adalah rincian catatan yang lengkap mengenai Nasabah termasuk
tetapi tidak terbatas pada identitas, transaksi, atau perikatan antara
Perusahaan Pembiayaan dan Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-4-

BAB II
PENANGGUNG JAWAB PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH

Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai penanggung jawab


penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (PMN), dengan pengaturan paling kurang
memuat:

1. Pembentukan unit kerja khusus, penugasan anggota direksi, atau penugasan


pejabat setingkat di bawah direksi sebagai penanggung jawab penerapan PMN di
kantor pusat yang bertanggung jawab langsung kepada direktur utama/direksi.

2. Unit kerja khusus atau anggota direksi diangkat oleh rapat umum pemegang
saham sedangkan pejabat setingkat di bawah direksi diangkat oleh direktur
utama/direksi.

3. Latar belakang pemilihan bentuk penanggung jawab penerapan PMN yang


disesuaikan dengan struktur organisasi dan volume bisnis perusahaan.

4. Kedudukan penanggung jawab penerapan PMN dalam struktur organisasi


perusahaan.

5. Penanggung jawab penerapan PMN dapat menugaskan satu atau beberapa orang
staf yang ditugaskan untuk itu, disamping tugas-tugas rutinnya sesuai dengan
struktur organisasi.

6. Penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat mempunyai uraian tugas,


wewenang, dan tanggung jawab termasuk jalur pelaporan paling kurang sebagai
berikut:
a. Tugas
1) Menyusun dan memelihara P4MN.
2) Memastikan adanya sistem informasi dan prosedur identifikasi Nasabah
yang memadai, termasuk memastikan bahwa formulir yang berkaitan
dengan Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan dalam
pelaksanaan PMN.
3) Memantau Rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah.
4) Melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan analisis transaksi
Nasabah untuk memastikan ada tidaknya TKM dan/atau TKT.
5) Menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi.
6) Memantau pengkinian data dan profil Nasabah.
7) Menerima dan melakukan analisis atas laporan TKM dan/atau laporan
TKT yang disampaikan oleh unit-unit kerja yang ditugaskan.
8) Menyusun laporan TKM dan/atau laporan TKT yang akan dilaporkan
kepada PPATK.
b. Wewenang
1) Memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di
seluruh unit organisasi.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-5-

2) Melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan PMN oleh


unit-unit kerja terkait.
3) Melaporkan TKM yang terafiliasi atau memiliki kepentingan atas suatu
TKM dengan direksi atau dewan komisaris.
4) Mengusulkan kepala cabang dan/atau staf pada unit kerja terkait untuk
membantu pelaksanaan PMN.
c. Tanggung jawab
1) Memastikan seluruh kegiatan dalam rangka penerapan PMN di
Perusahaan Pembiayaan terlaksana.
2) Menyusun laporan TKM dan/atau laporan TKT yang akan disampaikan
kepada PPATK.
3) Memantau, menganalisis, dan merekomendasi kebutuhan pelatihan
tentang PMN bagi para pejabat dan pegawai Perusahaan Pembiayaan.
4) Menjaga kerahasiaan data Nasabah.
7. Penanggung jawab penerapan PMN dibantu oleh kepala cabang dalam
pelaksanaan PMN di kantor cabang. Kepala cabang berada di bawah koordinasi
penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat.
8. Uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepala cabang dalam pelaksanaan
PMN di kantor cabang paling kurang sebagai berikut:
a. Tugas
1) Melakukan pengkinian data dan profil Nasabah di kantor cabang yang
bersangkutan.
2) Menerima dan melakukan analisis atas laporan TKM dan/atau laporan
TKT yang disampaikan oleh pegawai di kantor cabang.
3) Meneruskan laporan TKM dan/atau laporan TKT kepada penanggung
jawab penerapan PMN di kantor pusat.
4) Melakukan pemantauan dan evaluasi Rekening dan pelaksanaan transaksi
Nasabah.
b. Wewenang
1) Memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di
kantor cabang.
2) Mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan sistem dan prosedur
identifikasi Nasabah dan transaksi yang mencurigakan di kantor cabang.
3) Menugaskan staf pada unit kerja terkait untuk membantu pelaksanaan
PMN.
c. Tanggung jawab
1) Memastikan PMN diterapkan di kantor cabang.
2) Menyusun laporan TKM dan/atau laporan TKT yang akan disampaikan
kepada penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat.
3) Menjaga kerahasiaan data Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-6-

BAB III
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENERIMAAN NASABAH

1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan dan


prosedur penerimaan Nasabah. Selanjutnya, dalam P4MN tersebut juga harus
dinyatakan bahwa tujuan kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah adalah
untuk mengetahui latar belakang dan identitas, maksud dan tujuan pembiayaan,
serta profil keuangan Nasabah.

2. Dalam bagian yang menguraikan mengenai kebijakan dan prosedur penerimaan


Nasabah, Perusahaan Pembiayaan harus mengatur paling kurang sebagai berikut:

a. Kebijakan penerimaan Nasabah


Dalam kebijakan penerimaan Nasabah, Perusahaan Pembiayaan paling
kurang harus menetapkan bahwa:
1) Persetujuan penerimaan Nasabah hanya dapat dilakukan setelah
Perusahaan Pembiayaan dapat menyakini kebenaran identitas dan
kelengkapan dokumen calon Nasabah serta mempertimbangkan faktor-
faktor yang dapat memungkinkan calon Nasabah melakukan tindak
pidana Pencucian Uang.
Pertimbangan mengenai faktor-faktor yang dapat memungkinkan calon
Nasabah melakukan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan untuk
mengukur tingkat risiko terjadinya tindak pidana Pencucian Uang. Tingkat
risiko tersebut menjadi dasar penentuan jenis CDD yang akan dilakukan.
2) Persetujuan penerimaan Nasabah hanya dapat dilakukan apabila:
a) penerimaan Nasabah baru atau Nasabah lama untuk perikatan baru
menggunakan formulir aplikasi standar yang berlaku.
Formulir ini harus telah dievaluasi oleh penanggung jawab penerapan
PMN untuk memastikan bahwa data yang diperlukan untuk keperluan
PMN telah terakomodasi dalam formulir tersebut.
b) calon Nasabah telah melengkapi seluruh informasi dan data
sebagaimana ditentukan dalam formulir aplikasi dengan dilengkapi
dokumen pendukung sebagaimana mestinya.
c) petugas front liner Perusahaan Pembiayaan telah meneliti kebenaran
dan keabsahan dokumen pendukung yang disampaikan oleh calon
Nasabah dengan cara:
(1) mencocokkan dokumen pendukung dengan dokumen aslinya.
(2) pada waktu melihat dokumen aslinya, agar dilihat dan diyakini
bahwa dokumen asli tersebut bentuknya tidak meragukan.
(3) bila diperlukan, lakukan wawancara dengan calon Nasabah sesuai
dengan prosedur pengisian formulir aplikasi yang berlaku.
d) telah dipastikan apakah calon Nasabah bertindak untuk diri sendiri
dalam melakukan transaksi atau mewakili BO.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-7-

Pertanyaan mengenai apakah seseorang bertindak untuk diri sendiri


atau mewakili BO atau orang lain dapat dicantumkan dalam formulir
aplikasi pembiayaan.
e) telah dilakukan konfirmasi mengenai kebenaran kewenangan pihak
yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama pihak lain, jika
calon Nasabah diwakili pihak lain, misalnya untuk Nasabah
perorangan dilakukan pengecekan melalui telepon atau untuk badan
hukum dilakukan pengecekan dengan data yang terdapat pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
3) Informasi dan data yang tercantum dalam formulir aplikasi tersebut pada
angka 2) huruf a) paling kurang sebagai berikut:
a) Latar belakang dan identitas calon Nasabah.
(1) Untuk calon Nasabah perorangan, informasi latar belakang dan
identitas, paling kurang sebagai berikut:
(a) nama, alamat atau tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan
nomor telepon;
(b) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada);
(c) tempat dan tanggal lahir;
(d) kewarganegaraan; dan
(e) spesimen tanda tangan.
(2) Untuk calon Nasabah perusahaan, informasi latar belakang dan
identitas paling kurang sebagai berikut:
(a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon
perusahaan;
(b) akta pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang
bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir;
(c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang;
(d) surat keterangan domisili;
(e) nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-pihak
yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan
atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha
dengan Perusahaan Pembiayaan; dan
(f) dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan.
b) Maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan perikatan pembiayaan.
c) Profil keuangan calon Nasabah.
(1) Untuk calon Nasabah perorangan paling kurang sebagai berikut:
(a) keterangan mengenai pekerjaan termasuk jabatannya;
(b) keterangan mengenai sumber dana dan rata-rata penghasilan
dan pengeluaran per bulan; dan
(c) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-8-

(2) Untuk calon Nasabah perusahaan paling kurang sebagai berikut:


(a) laporan keuangan terkini;
(b) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan
dana; dan
(c) nomor pokok wajib pajak (NPWP).

d) Informasi lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan untuk


dapat mengetahui profil calon Nasabah, termasuk perikatan yang telah
dimiliki sebelumnya dengan Perusahaan Pembiayaan yang
bersangkutan.
Informasi lain tersebut ditujukan untuk dapat lebih menganalisa
apakah penghasilan yang bersangkutan wajar untuk membayar
kewajiban yang akan timbul dari perikatan pembiayaan.
contoh:
(1) pembiayaan yang telah dimiliki termasuk di Perusahaan
Pembiayaan lainnya.
(2) jenis investasi/usaha/pekerjaan lain yang dimiliki.

e) Informasi penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama calon
Nasabah paling kurang sebagai berikut:
(1) nama, alamat tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan nomor
telepon;
(2) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada);
(3) tempat dan tanggal lahir;
(4) kewarganegaraan; dan
(5) spesimen tanda tangan.

4) Permohonan calon Nasabah yang tidak memenuhi kelengkapan data dan


dokumen pendukung yang ditentukan dan/atau diragukan kebenarannya
harus ditolak.

5) Penolakan terhadap permohonan calon Nasabah hanya dapat dilakukan


oleh pejabat atau pegawai yang diberikan kewenangan untuk itu
berdasarkan surat keputusan direksi.

6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2) dan angka 3) tidak


berlaku bagi calon Nasabah lembaga pemerintah dan lembaga keuangan
multilateral.

b. Prosedur penerimaan Nasabah


Dalam P4MN harus diatur dengan jelas bahwa penerapan PMN harus
dilakukan sejak proses penerimaan seorang calon Nasabah baru dan harus
dilakukan secara berkesinambungan selama Nasabah tersebut menjadi
Nasabah Perusahaan Pembiayaan.
Selain itu, P4MN juga harus memuat standard operating procedure (SOP)
penerimaan atau penolakan calon Nasabah, yang paling kurang memberikan
gambaran yang jelas mengenai prosedur penerimaan atau penolakan calon
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
-9-

Nasabah, dokumen yang dibutuhkan dalam proses tersebut, serta penetapan


pihak yang berwenang untuk menerima atau menolak calon Nasabah.

c. Dokumen
Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai dokumen
yang perlu dibuat dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah, yang
paling kurang terdiri dari:
1) Surat keputusan direksi kepada bagian/pejabat/pegawai yang dapat
menerima atau menolak calon Nasabah.
2) Formulir standar permohonan pembiayaan.
Dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah harus dinyatakan
adanya kewajiban untuk menggunakan formulir standar yang ditetapkan
bagi perikatan baru dengan Nasabah lama dan/atau Nasabah baru.
3) Dokumen-dokumen pendukung.
Dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah harus dinyatakan
adanya kewajiban Perusahaan Pembiayaan untuk mengupayakan yang
terbaik dalam memperoleh dokumen-dokumen pendukung dari calon
Nasabah.
a) Dokumen-dokumen pendukung untuk calon Nasabah perorangan
paling kurang terdiri dari:
(1) identitas calon Nasabah yang memuat:
(a) nama, alamat tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor untuk
WNI atau Paspor/KIMS/KITAS/KITAP untuk WNA;
(b) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada);
(c) tempat dan tanggal lahir;
(d) kewarganegaraan;
(2) keterangan mengenai pekerjaan;
(3) spesimen tanda tangan;
(4) keterangan mengenai sumber dana;
(5) rata-rata penghasilan;
(6) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada;
(7) NPWP, apabila sudah mempunyai; dan
(8) dokumen lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan
mengetahui profil calon Nasabah.
b) Dokumen-dokumen pendukung untuk calon Nasabah yang berbentuk
perusahaan paling kurang terdiri dari:
(1) dokumen mengenai perusahaan:
(a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon
perusahaan;
(b) akta pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang
bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir;
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 10 -

(c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang;
(d) surat keterangan domisili, contoh dari RT/RW setempat;
(e) laporan keuangan terkini;
(f) tanda daftar perusahaan (TDP); dan
(g) nomor pokok wajib pajak (NPWP).
(2) nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Perusahaan
Pembiayaan;
(3) dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan;
(4) keterangan mengenai sumber dana bagi calon Nasabah; dan
(5) dokumen lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan
mengetahui profil calon Nasabah.
c) Apabila calon Nasabah mewakili BO perorangan, identitas dan/atau
informasi yang harus dilengkapi mengenai BO antara lain:
(1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3) huruf a);
(2) pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber
dana dari BO; dan
(3) hubungan hukum antara calon Nasabah dengan BO dalam bentuk
surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya.
d) Apabila calon Nasabah mewakili BO badan hukum, identitas dan/atau
informasi yang harus dilengkapi mengenai BO antara lain:
(1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3) huruf b);
(2) pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber
dana dari BO; dan
(3) hubungan hukum antara calon Nasabah dengan BO dalam bentuk
surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 11 -

BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR IDENTIFIKASI DAN VERIFIKASI
NASABAH DAN/ATAU BENEFICIAL OWNER (BO)

1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan, dan


prosedur identifikasi calon Nasabah dan/atau BO. Selanjutnya, dalam P4MN
tersebut juga harus dinyatakan bahwa tujuan kebijakan dan prosedur identifikasi
dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO adalah untuk menilai kewajaran
transaksi, kebenaran/keabsahan dokumen pendukung, dan untuk memastikan
bahwa calon Nasabah mewakili BO atau bertindak untuk diri sendiri.

2. Dalam bagian yang menguraikan mengenai kebijakan dan prosedur identifikasi


dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO, Perusahaan Pembiayaan harus
mengatur paling kurang mengenai:
a. Kebijakan identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO
Dalam kebijakan identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO,
Perusahaan Pembiayaan paling kurang menetapkan:
1) Kebijakan proses identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO
atas dokumen pendukungnya (CDD).
a) Kebijakan tersebut meliputi kebijakan identifikasi dan verifikasi calon
Nasabah perorangan, calon Nasabah perusahaan, dan BO.
b) Kriteria untuk menerapkan CDD lebih sederhana, standar, dan lebih
ketat (E-DD).
(1) Perusahaan Pembiayaan harus menetapkan kriteria untuk
penerapan CDD lebih sederhana, standar, dan lebih ketat secara
jelas di dalam P4MN sesuai besarnya nilai pembiayaan, profil
Nasabah, profil bisnis Nasabah, dan negara asal Nasabah.
(2) Penetapan kriteria tersebut harus dilengkapi dengan besaran nilai
pembiayaan, profil Nasabah, profil bisnis Nasabah, dan negara asal
Nasabah yang diterapkan untuk masing-masing jenis CDD.
(3) Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan
kriteria penerapan CDD oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai
berikut:

(a) CDD lebih sederhana


CDD lebih sederhana dapat diterapkan apabila tingkat risiko
terjadinya tindak pidana Pencucian Uang
dianggap/diklasifikasikan rendah atau memenuhi kriteria
sebagai berikut:
i. pembiayaan kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, dan
alat-alat rumah tangga yang nilainya tidak melebihi
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); atau
ii. Nasabah berupa perusahaan publik.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 12 -

(b) CDD standar


CDD standar harus diterapkan apabila tingkat risiko terjadinya
tindak pidana Pencucian Uang dianggap/diklasifikasikan
menengah atau memenuhi kriteria sebagai berikut:
i. calon Nasabah dan BO berkeberatan untuk memberikan
informasi yang lengkap; atau
ii. nilai pembiayaan melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dengan kondisi:
• latar belakang atau profil calon Nasabah dan BO tidak
termasuk kategori orang yang populer secara politis
(politically exposed persons) atau Nasabah yang berisiko
tinggi (high risk customer);
• bidang usaha Nasabah dan BO tidak termasuk kategori
usaha yang berisiko tinggi (high risk business);
• negara atau teritorial asal Nasabah dan BO, domisili
Nasabah dan BO, atau dilakukannya transaksi tidak
termasuk negara yang berisiko tinggi (high risk countries);
dan/atau
• Nasabah dan BO tidak tercantum dalam daftar nama-
nama teroris.
(c) CDD lebih ketat/ Enhanced Customer Due Diligence (E-DD)
E-DD adalah proses verifikasi yang lebih ketat terhadap calon
Nasabah dan BO yang dianggap dan/atau diklasifikasikan
mempunyai risiko tinggi terhadap praktik Pencucian Uang.
E-DD dilakukan apabila tingkat risiko terjadinya tindak pidana
Pencucian Uang dianggap/diklasifikasikan tinggi, risiko yang
dapat dilihat dari:
i. latar belakang atau profil calon Nasabah dan BO yang
termasuk kategori orang yang populer secara politis
(politically exposed persons) atau Nasabah yang berisiko tinggi
(high risk customer);
ii. bidang usaha yang termasuk kategori usaha yang berisiko
tinggi (high risk business);
iii. negara atau teritorial asal Nasabah, domisili Nasabah, atau
dilakukannya transaksi yang termasuk negara yang berisiko
tinggi (high risk countries); dan/atau
iv. pihak-pihak yang tercantum dalam daftar nama-nama teroris.
Rincian orang, bidang usaha, dan negara yang termasuk
dalam tingkat risiko tinggi adalah sebagaimana terdapat
dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor
30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank dan
perubahannya, jika ada. Data-data tersebut perlu
dicantumkan di dalam P4MN dan di-update secara regular
pada sistem informasi Perusahaan Pembiayaan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 13 -

2) Kriteria dari TKM dan/atau transaksi yang tidak wajar terkait permohonan
pembiayaan.
TKM dan/atau transaksi yang tidak wajar terkait permohonan
pembiayaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a) transaksi yang tidak biasa dalam jumlah besar;
b) transaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan
ekonomi yang jelas;
c) transaksi yang diduga akan digunakan untuk melakukan perbuatan
melanggar hukum; dan
d) transaksi yang tidak sesuai dengan pola aktivitas Rekening.
3) Kriteria TKT yang wajib dilaporkan kepada PPATK sesuai undang-undang
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,
yaitu TKT dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, baik yang
dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam
1 (satu) hari kerja.
4) Kebijakan khusus untuk calon Nasabah dan/atau BO yang diklasifikasikan
mempunyai tingkat risiko tinggi terhadap tindak pidana Pencucian Uang
dan/atau calon Nasabah yang berasal dari negara-negara yang tidak
menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).
5) Pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab melakukan identifikasi
dan/atau verifikasi transaksi calon Nasabah dan/atau BO, yang ditunjuk
oleh direksi.
6) Pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab menetapkan calon Nasabah
dan/atau BO termasuk klasifikasi risiko tinggi dan/atau transaksi yang
tidak wajar, yang ditunjuk oleh direksi dan bukan merupakan pejabat atau
pegawai yang telah ditunjuk untuk bertanggung jawab melakukan
identifikasi dan/atau verifikasi calon Nasabah dan/atau BO.
7) Kriteria perikatan dengan calon Nasabah dan/atau BO yang
diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi dan wajib memperoleh
persetujuan dari direksi.
8) Kebijakan untuk menolak perikatan atau transaksi dengan calon Nasabah
dan/atau BO, apabila perikatan atau transaksi tersebut meragukan
Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Pembiayaan tidak dapat
meyakini kebenaran/keabsahan dokumen atau bukti atas identitas
dan/atau informasi lain mengenai BO.

b. Prosedur identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO


Dalam P4MN harus diatur dengan jelas bahwa CDD harus dilakukan sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan yaitu CDD secara lebih sederhana,
standar, dan lebih ketat (E-DD).
Selain itu, dalam P4MN juga harus dimuat standard operating procedure (SOP)
mengenai identifikasi dan verifikasi calon Nasabah perorangan atau
perusahaan (prosedur CDD) yang menggambarkan secara jelas proses
identifikasi calon Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 14 -

Prosedur CDD, paling kurang mengatur mengenai:


1) Prosedur CDD lebih sederhana
Di dalam prosedur CDD lebih sederhana paling kurang harus dimuat
kegiatan untuk meminta informasi calon Nasabah dan mencocokkan
dokumen pendukung tersebut dengan dokumen aslinya untuk
memastikan keabsahannya.
2) Prosedur CDD standar
Di dalam prosedur CDD standar paling kurang harus dimuat kegiatan
sebagai berikut:
a) melakukan CDD lebih sederhana;
b) meneliti hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan;
c) melakukan penelaahan mengenai BO; dan
d) memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah, dalam hal terdapat
kecurigaan atas dokumen yang diterima, antara lain dengan cara:
(1) melakukan wawancara dengan calon Nasabah;
(2) meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwewenang; dan
(3) melakukan pemeriksaan silang dari berbagai informasi yang
disampaikan oleh calon Nasabah.
3) Prosedur CDD lebih ketat (E-DD)
Di dalam prosedur E-DD paling kurang harus dimuat kegiatan sebagai
berikut:
a) melakukan CDD standar;
b) melakukan verifikasi terhadap informasi calon Nasabah atau BO, yang
dilakukan berdasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber
informasi, dan jenis informasi yang terkait, tidak hanya didasarkan
pada informasi yang diberikan oleh calon Nasabah dan/atau BO
tersebut;
c) melakukan verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon
Nasabah dan/atau BO dengan pihak ketiga; dan
d) melakukan CDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap
informasi mengenai calon Nasabah, sumber dana, tujuan transaksi, dan
hubungan usaha dengan pihak terkait.
c. Dokumen
Dokumen yang perlu dibuat dalam kebijakan dan prosedur identifikasi dan
verifikasi calon Nasabah dan/atau BO paling kurang sebagai berikut:
1) Surat keputusan direktur utama atau direksi mengenai penunjukan pejabat
atau pegawai yang bertanggung jawab melakukan identifikasi dan/atau
verifikasi calon Nasabah dan/atau BO;
2) Surat keputusan direktur utama atau direksi mengenai penunjukan pejabat
atau pegawai yang bertanggung jawab menetapkan calon Nasabah
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 15 -

dan/atau BO diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi dan/atau


melakukan transaksi yang tidak wajar;
3) Formulir check list kelengkapan data CDD calon Nasabah dan/atau BO;
dan
4) Bukti hasil analisis calon Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 16 -

BAB V
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PEMANTAUAN REKENING
DAN PELAKSANAAN TRANSAKSI NASABAH

1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan dan


prosedur pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah, yang paling
kurang mengatur mengenai:
a. Kebijakan pemantauan Rekening Nasabah dan pelaksanaan transaksi.
Dalam kebijakan pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah,
Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus menetapkan:
1) Kriteria dari transaksi TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar, antara
lain adalah sebagai berikut:
a) menyimpang dari pola kebiasaan transaksi Nasabah.
Contoh: pelunasan angsuran sekaligus, pembatalan pembiayaan dalam
jangka waktu singkat, pembatalan secara sepihak oleh Nasabah tanpa
alasan yang jelas/wajar.
b) diduga berasal dari tindak pidana.
Contoh: Nasabah sudah diumumkan di koran bahwa yang
bersangkutan terlibat kasus pidana ekonomi.
2) Kebijakan mengenai evaluasi dan penatausahaan atas hasil pemantauan
dan analisis rekening dan transaksi Nasabah untuk mengidentifikasi TKM,
TKT, dan/atau transaksi tidak wajar.
3) Kebijakan mengenai pengkinian data dalam hal terdapat perubahan
dokumen-dokumen pendukung untuk kepentingan internal Perusahaan
Pembiayaan dan keperluan regulator atau pelaporan TKM, TKT, dan/atau
transaksi tidak wajar kepada PPATK.
4) Kebijakan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan identitas
Nasabah, BO, termasuk perantara dan/atau pihak lain sampai dengan
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak perikatan dengan Nasabah diakhiri.
5) Kebijakan mengenai pemantauan yang berkesinambungan terhadap
hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah, bank dan/atau
LKNB yang berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan
rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).
6) Pejabat atau pegawai yang bertugas melakukan pemantauan dan
menyusun laporan pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi; dan
7) Kebijakan bahwa pelaporan TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar
adalah bersifat rahasia dan kewajiban merahasiakan pelaporan TKM, TKT,
dan/atau transaksi tidak wajar bagi pejabat serta pegawai Perusahaan
Pembiayaan.
b. Prosedur pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi
Dalam prosedur pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah,
Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus menetapkan:
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 17 -

1) Kegiatan untuk melakukan:


a) pengujian kelengkapan informasi/data Nasabah pada field-field database
sistem informasi;
b) penyimpanan bukti pendukung tersebut; dan
c) pengkinian perubahan data Nasabah.
2) Jangka waktu minimum dilakukannya review atas data/informasi Nasabah.
3) Prosedur pemantauan dan evaluasi rekening dan transaksi Nasabah
dengan sistem yang dapat dilakukan secara manual ataupun otomatisasi
agar memungkinkan petugas Perusahaan Pembiayaan untuk
mengidentifikasi TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar.
4) Prosedur pelaporan Rekening dan pelaksanaan transaksi yang
diindikasikan TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar secara internal
maupun ke PPATK.
5) Prosedur penatausahaan hasil pemantauan dan evaluasi rekening dan
transaksi Nasabah, baik yang dilaporkan maupun tidak dilaporkan ke
PPATK.
c. Dokumen
Dokumen yang perlu dibuat dalam pemantauan Rekening dan pelaksanaan
transaksi Nasabah paling kurang sebagai berikut:
1) bentuk laporan kepada PPATK dan manajemen Perusahaan Pembiayaan;
dan
2) formulir pencatatan dokumen yang disimpan.
2. Pelaksanaan kebijakan dan prosedur pemantauan Rekening dan pelaksanaan
transaksi Nasabah tersebut wajib didukung dengan penggunaan sistem informasi
yang memadai guna memastikan ada tidaknya TKM, TKT, dan/atau transaksi
tidak wajar serta melaporkan temuan tersebut kepada PPATK. Sistem informasi
Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus dapat menyediakan:
a. Data profil Nasabah
Data profil Nasabah paling kurang mencakup informasi mengenai:
1) identitas Nasabah;
2) pekerjaan atau bidang usaha;
3) jumlah penghasilan;
4) rekening/perikatan yang dimiliki;
5) aktivitas transaksi normal;
6) tujuan penggunaan dana pembiayaan; dan
7) perikatan lain yang dimiliki Nasabah pada bank dan LKNB lain.
Data tersebut harus dapat digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisa,
memantau, dan menyediakan laporan karakteristik transaksi Nasabah guna
memberikan indikator red flag kemungkinan terjadinya TKM, TKT, dan/atau
transaksi tidak wajar.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 18 -

b. Data Penting Lainnya


Data mengenai orang yang populer secara politis (Politically Exposed Persons),
Nasabah yang berisiko tinggi (high risk customer), usaha yang berisiko tinggi
(High Risk Business), negara yang berisiko tinggi (High Risk Countries) ada di
website PPATK ataupun FATF (www.fatf-gafi.org), dan pihak-pihak yang
tercantum dalam daftar nama-nama teroris, antara lain tercatat pada:
1) Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
2) Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267 yang dipublikasikan melalui media
internet seperti situs PBB
http://un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml, sehingga dapat
dilakukan pemantauan yang lebih ketat terhadap aktivitas transaksi yang
dilakukan oleh Nasabah.
Data tersebut berguna untuk dapat dilakukan pemantauan yang lebih ketat
terhadap aktivitas transaksi yang dilakukan oleh Nasabah.
Daftar pihak-pihak yang termasuk dalam kategori orang yang populer secara
politis (Politically Exposed Persons), Nasabah yang berisiko tinggi (high risk
customer), usaha yang berisiko tinggi (High Risk Business), negara yang berisiko
tinggi (High Risk Countries), serta pihak-pihak yang tercantum dalam daftar
nama-nama teroris adalah sebagaimana terdapat pada Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank dan perubahannya,
jika ada.
c. Indikator red flag
Indikator red flag berfungsi sebagai panduan untuk menilai Nasabah atau pola
transaksi Nasabah yang memenuhi kriteria CDD lebih sederhana, CDD
standar, dan CDD lebih ketat serta TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar.
3. Perusahaan harus mengembangkan sistem informasi secara berkesinambungan
dan mengkinikan data profil Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 19 -

BAB VI
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO
YANG BERKAITAN DENGAN PENERAPAN PMN

1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan dan


prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan PMN, dan harus merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan prosedur manajemen risiko
Perusahaan Pembiayaan secara keseluruhan.
2. Uraian mengenai kebijakan manajemen risiko paling kurang mengatur hal
sebagai berikut:
a. Pengawasan oleh direktur utama/direksi dan dewan komisaris Perusahaan
Pembiayaan (management oversight).
Dalam kebijakan mengenai pengawasan oleh direktur utama/direksi dan
dewan komisaris harus diatur paling kurang hal sebagai berikut:
1) Pedoman P4MN dan perubahannya ditetapkan dengan surat keputusan
direktur utama/direksi dan harus mendapat persetujuan dewan komisaris.
2) Pengawasan atas pelaksanaan penerapan PMN pada Perusahaan
Pembiayaan serta pemberian usulan dan masukan atas pelaksanaan PMN
oleh dewan komisaris.
3) Adanya pelaporan secara berkala kepada direktur utama/direksi atau
dewan komisaris tentang pelaporan TKM ke PPATK.
4) Adanya pembahasan masalah Pencucian Uang dalam rapat direksi dan
dewan komisaris.
5) Prosedur penetapan tugas penanggung jawab penerapan PMN yang paling
kurang sebagai berikut:
a) direktur utama/direksi harus menetapkan penanggung jawab
penerapan PMN yang telah diangkat oleh rapat umum pemegang
saham atau direktur utama/direksi pada Perusahaan Pembiayaan yang
dipimpinnya dengan surat keputusan direktur utama/direksi.
b) dalam pengangkatan penanggung jawab penerapan PMN, rapat umum
pemegang saham atau direktur utama/direksi harus
mempertimbangkan kompetensi dan integritas personil yang
ditugaskan sebagai anggota atau penanggung jawab penerapan PMN.
c) direktur utama/direksi wajib menetapkan tugas, wewenang dan
tanggung jawab penanggung jawab penerapan PMN.
6) Prosedur pemantauan direktur utama/direksi atas pelaksanaan PMN yang
paling kurang sebagai berikut:
a) direktur utama/direksi wajib menyusun prosedur pemantauan
pelaksanaan PMN.
b) prosedur pemantauan pelaksanaan PMN paling kurang mengenai:
(1) pemantauan pelaksanaan tugas penanggung jawab penerapan PMN
oleh direktur utama/direksi.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 20 -

(2) pemantauan pelaksanaan pedoman PMN oleh unit-unit kerja


terkait.
(3) pelaporan TKM dan/atau TKT yang telah disusun oleh penanggung
jawab penerapan PMN.
b. Prosedur pelaporan TKM dan/atau TKT yang telah disusun oleh penanggung
jawab penerapan PMN kepada PPATK.
Dalam prosedur pelaporan TKM dan/atau TKT harus diatur paling kurang
hal sebagai berikut:
1) Pembuatan surat pelaporan mengenai TKM dan/atau TKT dari direktur
utama/direksi disertai dengan dokumen atau data profil yang masuk
dalam kategori mencurigakan.
2) Kewajiban menjaga kerahasiaan data profil yang dilaporkan kepada
PPATK.
3) Pemantauan kembali data profil yang mencurigakan yang telah dilaporkan
kepada PPATK.
c. Pendelegasian wewenang.
1) Dalam kebijakan mengenai pendelegasian wewenang harus diuraikan
paling kurang kewenangan yang diberikan direktur utama/direksi kepada
penanggung jawab penerapan PMN.
2) Selain itu, dalam kebijakan tersebut harus dinyatakan dengan jelas bahwa:
a) dalam hal penanggung jawab penerapan PMN menemukan bahwa
direktur utama/direksi terafiliasi atau memiliki kepentingan atas suatu
TKM dan/atau TKT, maka penanggung jawab penerapan PMN dapat
diberikan wewenang untuk melaporkan langsung TKM dan/atau TKT
tersebut kepada PPATK dengan sepengetahuan dewan komisaris.
b) sebaliknya apabila penanggung jawab penerapan PMN memiliki
kepentingan atas suatu TKM dan/atau TKT, maka direktur
utama/direksi dapat menyusun sendiri laporan PMN kepada PPATK.
d. Pemisahan tugas.
Dalam kebijakan mengenai pemisahan tugas paling kurang harus diatur
mengenai pemisahan tugas penanggung jawab penerapan PMN dalam
struktur organisasi perusahaan (pemisahan tugas penerima
informasi/data/dokumen, tugas identifikasi dan verifikasi, tugas pemantauan
rekening dan pelaksanaan transaksi, tugas pelaporan ke direktur
utama/direksi/PPATK/regulator) sehingga terdapat mekanisme kontrol bagi
perusahaan untuk mencegah perusahaan digunakan sebagai sarana Pencucian
Uang oleh Nasabah.
e. Sistem pengawasan internal termasuk audit internal.
Dalam sistem pengawasan internal dan audit internal, paling kurang harus
diatur bahwa:
1) Dalam melakukan audit, internal auditor Perusahaan Pembiayaan harus
melakukan audit dan evaluasi kepatuhan unit-unit kerja Perusahaan
Pembiayaan terhadap P4MN.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 21 -

2) Audit internal perusahaan yang dilakukan harus meliputi pengecekan


pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada PPATK termasuk di dalamnya
pengecekan apakah terdapat TKM dan/atau TKT yang belum dilaporkan
kepada PPATK.
f. Program pelatihan mengenai penerapan PMN bagi pejabat dan pegawai
Perusahaan Pembiayaan.
Dalam uraian mengenai program pelatihan harus diatur paling kurang sebagai
berikut:
1) Program pelatihan PMN dilaksanakan sesuai dengan usulan penanggung
jawab penerapan PMN dan dilakukan secara berkala dan
berkesinambungan untuk meningkatkan kemampuan pejabat dan pegawai
Perusahaan Pembiayaan dalam penerapan PMN termasuk petugas front
liner, petugas back office, dan pegawai baru.
2) Penyusunan program pelatihan PMN setiap tahun dan pelaporan
pelaksanaan program pelatihan PMN disampaikan paling lama pada
tanggal 15 Januari tahun berikutnya kepada Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan.
3) Program pelatihan PMN diberikan kepada petugas front liner sesuai
dengan bidang tugasnya dengan penekanan pada:
a) pemahaman tentang kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah
sesuai dengan bidang tugasnya;
b) teknik persuasif untuk meminta data Nasabah guna memenuhi
ketentuan dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah;
c) pemahaman terhadap tugas dan tanggung jawab dalam
mengidentifikasi transaksi yang tidak normal atau tidak sesuai dengan
profil Nasabah;
d) pemahaman terhadap langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak
lanjut bila terdapat transaksi yang mencurigakan; dan
e) pemahaman terhadap pentingnya melakukan pengkinian profil
Nasabah.
4) Program pelatihan PMN diberikan kepada petugas back office sesuai
dengan bidang tugasnya dengan penekanan pada:
a) pemahaman tentang kebijakan dan prosedur pemantauan profil
Nasabah;
b) pemahaman terhadap tugas dan tanggung jawab dalam
mengidentifikasi transaksi yang tidak normal atau tidak sesuai dengan
profil Nasabah;
c) pemahaman terhadap langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak
lanjut bila terdapat transaksi yang mencurigakan; dan
d) pemahaman terhadap pentingnya melakukan pengkinian profil
Nasabah.
5) Program pelatihan PMN diberikan kepada pegawai baru agar memahami
P4MN.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 22 -

g. Penerimaan pegawai baru


Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan prosedur penyaringan (screening)
dalam rangka penerimaan pegawai baru, antara lain namun tidak terbatas
pada meminta surat kelakuan baik dari Polisi.
h. Prosedur pelaksanaan kebijakan manajemen risiko
Masing-masing kebijakan manajemen risiko tersebut di atas harus dilengkapi
dengan prosedur pelaksanaan kebijakan manajemen risiko.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 23 -

BAB VII
PROSEDUR KHUSUS

Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib menetapkan kebijakan dan prosedur


khusus untuk meyakini identitas calon Nasabah dan menilai kewajaran informasi
yang diberikan oleh calon Nasabah apabila:
a. Untuk bank atau LKNB lain yang menjadi sarana pembayaran angsuran dimana
bank atau LKNB lain tersebut menerima dokumen dari Nasabah, apabila
Perusahaan Pembiayaan tidak memperoleh dokumen pendukung dimaksud,
maka dalam P4MN harus diatur kewajiban Perusahaan Pembiayaan untuk
memperoleh pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap calon
Nasabah tersebut telah dilakukan identifikasi dan verifikasi atas dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Bab III angka 2 huruf a angka 3).
b. Calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain yang mewakili BO
Dalam P4MN dapat diatur bahwa Perusahaan Pembiayaan dapat menerima
pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap calon Nasabah
tersebut telah dilakukan identifikasi dan verifikasi terhadap BO.
c. Calon Nasabah berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan rekomendasi
Financial Action Task Force (FATF).
d. Pembayaran angsuran melalui jaringan kantor atau anak perusahaan, bank, atau
LKNB lain di negara lain yang belum menerapkan rekomendasi Financial Action
Task Force (FATF) atau yang menerapkan PMN lebih longgar dari Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/2011
Tanggal : 30 Maret 2011
- 24 -

BAB VIII
PENUTUP

1. Dalam P4MN harus diatur bahwa Perusahaan Pembiayaan melakukan


pemutakhiran pedoman secara berkala. Selanjutnya, setiap perubahan P4MN
ini harus dilaporkan kembali kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan.
2. Petunjuk Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah agar dijadikan acuan dalam penyusunan dan pelaksanaan penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah oleh Perusahaan Pembiayaan.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN

NOMOR : PER- 06/BL/2012

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL


DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007 TENTANG KEGIATAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH

KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL


DAN LEMBAGA KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan meningkatkan tata


kelola perusahaan yang lebih baik, perlu dilakukan
penyesuaian ketentuan kegiatan perusahaan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dengan mengubah
ketentuan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor PER-03/BL/2007
tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan
Prinsip Syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor PER-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah;

Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang


Lembaga Pembiayaan;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan;
3. Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor PER-03/BL/2007 tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL


DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007
TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

-2-

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Ketua Badan


Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-
03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah, diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 10 diubah sehingga


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang Dewan Pengawas Syariah
yang terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan
b. 1 (satu) orang anggota.

(2) Ketua dan anggota Dewan Pengawas Syariah


diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas
rekomendasi DSN-MUI.

(3) Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan


nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek
syariah kegiatan operasional Perusahaan Pembiayaan
dan sebagai mediator antara Perusahaan Pembiayaan
dengan DSN-MUI.

2. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 10A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10A

(1) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan


Pembiayaan dilarang melakukan rangkap jabatan
sebagai anggota direksi atau dewan komisaris pada
Perusahaan Pembiayaan.

(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan


Pembiayaan dilarang merangkap jabatan sebagai
anggota Dewan Pengawas Syariah lebih dari 2 (dua)
Perusahaan Pembiayaan lain.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

-3-

Pasal II

Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2012

KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL


DAN LEMBAGA KEUANGAN,

ttd

NGALIM SAWEGA
PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 3 /POJK.05/2017
TENTANG
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (2),


Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (4), dan Pasal 26 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga
Penjamin;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang


Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5835);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA
PENJAMIN.
-2-

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban
finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan.
4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan,
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan
-3-

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor


1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha utama melakukan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha melakukan Penjaminan Ulang sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di
luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
atau kontrak jasa kepada Terjamin sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan
atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
-4-

Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
14. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS,
adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit
yang melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
15. Tata Kelola Perusahaan yang Baik adalah seperangkat
proses yang diberlakukan dalam Lembaga Penjamin
untuk menentukan keputusan dan pengelolaan
Lembaga Penjamin dengan menggunakan prinsip
antara lain transparansi, akuntabilitas, tanggung
jawab, independensi, dan keadilan.
16. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki
kepentingan terhadap Lembaga Penjamin, baik
langsung maupun tidak langsung, meliputi Terjamin,
anggota/pemegang saham, karyawan, Penerima
Jaminan, penyedia barang dan jasa, dan/atau
pemerintah.
17. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perusahaan umum atau
koperasi.
18. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan
Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk
badan hukum perusahaan umum atau koperasi.
19. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ Perusahaan Penjaminan
-5-

Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan


Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS yang
mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan Penjaminan Syariah dan
Penjaminan Ulang Syariah, agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
20. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perusahaan umum atau koperasi.
21. Komisaris Independen adalah anggota Dewan
Komisaris yang tidak terafiliasi dengan pemegang
saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris
lainnya dan/atau anggota DPS, yaitu tidak memiliki
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan
saham dan/atau hubungan keluarga dengan
pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS atau
hubungan lain yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen.
22. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan
hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan
hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari
mereka dapat mempengaruhi pengelolaan atau
kebijaksanaan dari orang yang lain atau badan hukum
yang lain, atau sebaliknya.
23. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana
terdapat konflik antara kepentingan ekonomis
Lembaga Penjamin dan kepentingan ekonomis pribadi
pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, DPS, dan/atau pegawai Lembaga Penjamin.
-6-

BAB II
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK

Pasal 2
Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik meliputi:
a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan
mengenai Lembaga Penjamin, yang mudah diakses
oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan di bidang penjaminan serta
standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha
yang sehat;
b. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan
pertanggungjawaban organ Lembaga Penjamin
sehingga kinerja penyelenggaraan usaha Lembaga
Penjamin dapat berjalan secara transparan, wajar,
efektif, dan efisien;
c. tanggung jawab, yaitu kesesuaian pengelolaan
Lembaga Penjamin dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan dan nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha yang sehat;
d. independensi, yaitu keadaan Lembaga Penjamin yang
dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas
dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau
tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penjaminan dan nilai etika serta standar,
prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang
sehat; dan
e. keadilan, yaitu kesetaraan dan keseimbangan di dalam
memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang
timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan, dan nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha yang sehat.
-7-

Pasal 3
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik bertujuan
untuk:
a. mengoptimalkan nilai Lembaga Penjamin bagi
Pemangku Kepentingan;
b. meningkatkan pengelolaan Lembaga Penjamin secara
profesional, efektif, dan efisien;
c. meningkatkan kepatuhan organ Lembaga Penjamin
dan jajaran dibawahnya agar dalam membuat
keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada
etika yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, dan kesadaran atas tanggung
jawab sosial Lembaga Penjamin terhadap Pemangku
Kepentingan maupun kelestarian lingkungan;
d. mewujudkan Lembaga Penjamin yang lebih sehat,
dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan
e. meningkatkan kontribusi Lembaga Penjamin dalam
perekonomian nasional.

Pasal 4
(1) Lembaga Penjamin wajib melaksanakan prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, dalam setiap kegiatan usahanya pada
seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
(2) Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit
memuat:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS;
b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang
menjalankan fungsi pengendalian internal
Lembaga Penjamin;
c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan
auditor eksternal;
-8-

d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem


pengendalian internal dan penerapan tata kelola
teknologi informasi;
e. penerapan kebijakan remunerasi; dan
f. transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan Lembaga Penjamin.

BAB III
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM

Pasal 5
(1) RUPS Lembaga Penjamin wajib diselenggarakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar Lembaga Penjamin yang transparan
dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus berupaya
menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak,
khususnya kepentingan Terjamin, Penerima Jaminan
dan kepentingan pemegang saham minoritas.
(3) Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalah
RUPS yang paling sedikit memuat waktu, agenda,
peserta, pendapat yang berkembang dalam RUPS, dan
keputusan RUPS.

BAB IV
PEMEGANG SAHAM

Pasal 6
Pemegang saham Lembaga Penjamin melalui RUPS harus
memastikan Lembaga Penjamin dijalankan berdasarkan
penyelenggaraan usaha yang sehat.

Pasal 7
(1) Pemegang saham Lembaga Penjamin dilarang
mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin
yang menjadi tanggung jawab Direksi sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar Lembaga Penjamin dan
-9-

ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali


dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban
selaku RUPS.
(2) Pemegang saham Lembaga Penjamin yang menjabat
sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
atau anggota DPS pada Lembaga Penjamin yang
sama harus mendahulukan kepentingan Lembaga
Penjamin.

BAB V
DIREKSI

Pasal 8
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 2
(dua) orang anggota Direksi.
(2) Paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari
jumlah anggota Direksi Lembaga Penjamin memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan
risiko sesuai dengan bidang usaha Lembaga
Penjamin.

Pasal 9
(1) Seluruh anggota Direksi Lembaga Penjamin yang
seluruh pemegang sahamnya:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. badan hukum Indonesia, yang dimiliki secara
langsung maupun tidak langsung oleh warga
negara Indonesia,
wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Lembaga Penjamin yang didalamnya terdapat
kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak
langsung wajib memiliki paling sedikit 50% (lima
puluh per seratus) anggota Direksi yang merupakan
warga negara Indonesia.
(3) Anggota Direksi Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib berdomisili
di wilayah negara Republik Indonesia.
- 10 -

(4) Bagi anggota Direksi berkewarganegaraan asing wajib


memiliki:
a. surat izin menetap; dan
b. surat izin bekerja,
dari instansi yang berwenang.
(5) Seluruh anggota Direksi Lembaga Penjamin harus
memiliki pengetahuan yang relevan dengan
jabatannya.

Pasal 10
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki anggota Direksi
yang membawahkan fungsi kepatuhan.
(2) Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dirangkap oleh anggota Direksi yang membawahkan
fungsi pemasaran, fungsi bisnis dan operasional, dan
fungsi keuangan, kecuali direktur utama.

Pasal 11
Direksi Lembaga Penjamin wajib memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan
profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan Lembaga
Penjamin, Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan;
c. mendahulukan kepentingan Lembaga Penjamin,
Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan, daripada
kepentingan pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan Lembaga
Penjamin, Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan; dan
e. mampu menghindarkan penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Lembaga Penjamin.
- 11 -

Pasal 12
Direksi Lembaga Penjamin wajib:
a. menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat,
dan cepat serta dapat bertindak secara independen,
tidak mempunyai kepentingan yang dapat
mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan
tugas secara mandiri dan kritis;
b. mematuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan, anggaran dasar, dan peraturan internal
lain dari Lembaga Penjamin dalam melaksanakan
tugasnya;
c. mengelola Lembaga Penjamin sesuai dengan
kewenangan dan tanggung jawabnya;
d. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya
kepada RUPS;
e. memastikan agar Lembaga Penjamin memperhatikan
kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan
Terjamin dan/atau Penerima Jaminan;
f. memastikan agar informasi mengenai Lembaga
Penjamin diberikan kepada Dewan Komisaris dan
DPS secara tepat waktu dan lengkap; dan
g. membantu memenuhi kebutuhan DPS dalam
menggunakan anggota komite, karyawan Lembaga
Penjamin, dan tenaga ahli profesional yang struktur
organisasinya berada dibawah Direksi.

Pasal 13
(1) Direksi Lembaga Penjamin wajib membentuk komite
investasi.
(2) Anggota komite investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. anggota Direksi yang membawahkan fungsi
pengelolaan investasi; dan
b. tenaga ahli penjaminan.
(3) Komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas membantu Direksi dalam merumuskan
- 12 -

kebijakan investasi dan mengawasi pelaksanaan


kebijakan investasi yang telah ditetapkan.

Pasal 14
(1) Anggota Direksi Lembaga Penjamin dilarang
merangkap jabatan pada Lembaga Penjamin atau
badan usaha lain.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila anggota Direksi
merangkap:
a. sebagai Dewan Komisaris pada Lembaga Penjamin
dengan lingkup wilayah operasional yang lebih
kecil dari lingkup wilayah operasional tempat
Direksi yang bersangkutan menjabat;
b. sebagai pengawas pada anak perusahaan yang
dikendalikan; dan/atau
c. sebagai pengurus asosiasi atau lembaga
pendidikan,
sepanjang perangkapan jabatan tersebut tidak
mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan
pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai anggota
Direksi Lembaga Penjamin.

Pasal 15
(1) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Direksi yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Direksi yang berasal dari mantan pegawai atau pejabat
Otoritas Jasa Keuangan apabila yang bersangkutan
berhenti bekerja dari Otoritas Jasa Keuangan kurang
dari 1 (satu) tahun.
- 13 -

Pasal 16
Anggota Direksi Lembaga Penjamin dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas
yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan
d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait
dengan kegiatan operasional Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain
yang telah ditetapkan dalam RUPS.

Pasal 17
(1) Direksi Lembaga Penjamin wajib menyelenggarakan
rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan.
(2) Direksi Lembaga Penjamin wajib menghadiri rapat
Direksi paling sedikit 50% (lima puluh per seratus)
dari jumlah rapat Direksi dalam periode 1 (satu)
tahun.
(3) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan
didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan
secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai
alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions)
tersebut.
- 14 -

(5) Anggota Direksi Lembaga Penjamin yang hadir


maupun yang tidak hadir dalam rapat Direksi berhak
menerima salinan risalah rapat Direksi.
(6) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi
Perusahaan harus dimuat dalam laporan penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik.

BAB VI
DEWAN KOMISARIS

Pasal 18
Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 2 (dua)
orang anggota Dewan Komisaris.

Pasal 19
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 1
(satu) orang anggota Dewan Komisaris yang
berdomisili di Indonesia.
(2) Bagi anggota Dewan Komisaris berkewarganegaraan
asing yang berdomisili di wilayah negara Republik
Indonesia wajib memiliki:
a. surat izin menetap; dan
b. surat izin bekerja,
dari instansi yang berwenang.
(3) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota
Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga
Penjamin atau badan usaha lain.
(4) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila:
a. anggota Dewan Komisaris yang bukan
merupakan Komisaris Independen menjalankan
tugas fungsional dari pemegang saham Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum pada
kelompok usahanya; dan/atau
- 15 -

b. anggota Dewan Komisaris menduduki jabatan


pada organisasi atau lembaga nirlaba,
sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai
anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin.

Pasal 20
(1) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang berasal dari pegawai atau
pejabat aktif Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang berasal dari mantan pegawai
atau pejabat Otoritas Jasa Keuangan apabila yang
bersangkutan berhenti bekerja dari Otoritas Jasa
Keuangan kurang dari 6 (enam) bulan.

Pasal 21
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib:
a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat kepada Direksi;
b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan
kepentingan semua pihak;
c. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang
merupakan bagian dari laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik;
d. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik;
e. memberikan persetujuan dalam hal DPS memerlukan
bantuan anggota komite yang struktur organisasinya
berada dibawah Dewan Komisaris; dan
f. memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti
temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja
audit internal Lembaga Penjamin, auditor eksternal,
hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
hasil pengawasan otoritas lain.
- 16 -

Pasal 22
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud
menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat
untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak
lain yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan Lembaga Penjamin tempat anggota
Dewan Komisaris dimaksud menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan
fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan
RUPS; dan
d. mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin
yang menjadi tanggung jawab Direksi.

Pasal 23
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin berhak
memperoleh informasi dari Direksi mengenai Lembaga
Penjamin secara lengkap dan tepat waktu.

Pasal 24
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki Komisaris
Independen dalam hal:
a. memiliki wilayah operasional nasional atau
provinsi; atau
b. terdapat kepemilikan asing.
(2) Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib:
a. berkewarganegaraan Indonesia; dan
b. berdomisili di Indonesia.
- 17 -

Pasal 25
Komisaris Independen Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau
pemegang saham Lembaga Penjamin, dalam Lembaga
Penjamin yang sama;
b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1
(satu) tingkat di bawah Direksi pada Lembaga
Penjamin yang sama atau badan usaha lain yang
memiliki hubungan Afiliasi dengan Lembaga Penjamin
tersebut dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir;
c. memahami peraturan perundang-undangan di bidang
Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang,
dan/atau Penjaminan Ulang Syariah dan peraturan
perundang-undangan lain yang relevan; dan
d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi
keuangan Lembaga Penjamin tempat Komisaris
Independen dimaksud menjabat.

Pasal 26
Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan
fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan
Terjamin, Penerima Jaminan, dan Pemangku Kepentingan
lainnya.

Pasal 27
(1) Komisaris Independen wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kalender sejak ditemukannya:
a. pelanggaran ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang penjaminan; dan/atau
b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Lembaga
Penjamin.
- 18 -

(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.

Pasal 28
Lembaga Penjamin dilarang memberhentikan Komisaris
Independen karena tindakan Komisaris Independen dalam
melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (1).

Pasal 29
(1) Lembaga Penjamin wajib membentuk komite audit
dalam hal:
a. memiliki wilayah operasional nasional atau
provinsi; atau
b. terdapat kepemilikan asing.
(2) Salah seorang anggota komite audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Komisaris Independen
yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua komite.
(3) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas membantu Dewan Komisaris dalam
memantau dan memastikan efektivitas sistem
pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor
internal dan auditor eksternal dengan melakukan
pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan
pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan
pengendalian internal termasuk proses pelaporan
keuangan.
(4) Selain komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Dewan Komisaris Lembaga Penjamin dapat
membentuk komite lain guna menunjang pelaksanaan
tugas Dewan Komisaris.

Pasal 30
Lembaga Penjamin dengan lingkup kabupaten wajib
memiliki fungsi yang membantu Dewan Komisaris dalam
- 19 -

memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian


internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan
auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan
evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam
rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk
proses pelaporan keuangan.

Pasal 31
(1) Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib
menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
(2) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib
menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit 75%
(tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah rapat
Dewan Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun.
(3) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat
Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan
Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat
(dissenting opinions) tersebut.
(5) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin yang
hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan
Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat
Dewan Komisaris.
(6) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah
diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing
anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik.

Pasal 32
Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib menjamin
pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta
dapat bertindak secara independen dalam melaksanakan
tugas.
- 20 -

BAB VII
DEWAN PENGAWAS SYARIAH

Pasal 33
(1) Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS wajib memiliki DPS.
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat
oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia dan dituangkan dalam akta
notaris.

Pasal 34
(1) DPS paling sedikit mempunyai tugas dan wewenang
untuk memberikan nasihat dan saran kepada Direksi,
mengawasi aspek syariah kegiatan operasional
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS dan sebagai wakil
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS pada Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dimuat dalam anggaran dasar
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS.

Pasal 35
(1) Anggota DPS dilarang melakukan rangkap jabatan
sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris pada Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan
Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS yang
sama.
- 21 -

(2) Anggota DPS dilarang melakukan rangkap jabatan


sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
atau anggota DPS pada lebih dari 4 (empat) lembaga
keuangan syariah lainnya.

Pasal 36
Anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan
profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah, UUS, dan/atau Pemangku Kepentingan
lainnya;
c. mendahulukan kepentingan Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, UUS,
dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya daripada
kepentingan pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, UUS, dan/atau Pemangku
Kepentingan lainnya; dan
e. mampu menghindarkan penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS.

Pasal 37
DPS Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan
yang memiliki UUS wajib menjamin pengambilan
keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat
bertindak secara independen, tidak mempunyai
kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya
untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif.
- 22 -

Pasal 38
(1) DPS wajib melaksanakan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat serta saran kepada Direksi agar
kegiatan Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau
Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS sesuai
dengan Prinsip Syariah.
(2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat serta saran yang dilakukan DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. kegiatan Penjaminan Syariah dan Penjaminan
Ulang Syariah;
b. akad Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang
Syariah yang dipasarkan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan UUS; dan
c. praktik pemasaran Penjaminan Syariah dan
Penjaminan Ulang Syariah yang dilakukan oleh
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS.
(3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat serta saran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), DPS dapat dibantu oleh anggota komite
dan/atau pegawai yang struktur organisasinya berada
di bawah Dewan Komisaris dan/atau Direksi.

Pasal 39
Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi
mengenai Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS secara lengkap dan
tepat waktu.

Pasal 40
(1) DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS secara
berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu)
tahun.
- 23 -

(2) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


wajib dituangkan dalam risalah rapat DPS dan
didokumentasikan dengan baik.
(3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat DPS wajib dicantumkan secara
jelas dalam risalah rapat DPS disertai alasan
perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut.
(4) Anggota DPS yang hadir maupun yang tidak hadir
dalam rapat DPS berhak menerima salinan risalah
rapat DPS.
(5) Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing anggota DPS harus
dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik.

Pasal 41
Anggota DPS dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah, dan UUS tempat anggota DPS dimaksud
menjabat;
b. memanfaatkan jabatan pada Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan
UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota
DPS dimaksud menjabat; dan
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota
DPS dimaksud menjabat, selain remunerasi dan
fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan
keputusan RUPS.
- 24 -

Pasal 42
(1) Dalam hal DPS menilai terdapat kebijakan atau
tindakan anggota Direksi yang terkait dengan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) yang
tidak sesuai dengan Prinsip Syariah, DPS wajib
meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas
kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Dalam hal Direksi menolak hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS wajib
melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada
Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
penjelasan anggota Direksi diterima oleh DPS.
(3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS meminta
Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap
kebijakan atau tindakan anggota Direksi tersebut agar
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan
terhadap kebijakan atau tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), DPS wajib segera melaporkan
secara lengkap dan komprehensif kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada Direksi
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui
anggota Direksi tidak melakukan upaya perbaikan
dimaksud.

BAB VIII
TRANSPARANSI KEPEMILIKAN SAHAM

Pasal 43
Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota
DPS Lembaga Penjamin wajib mengungkapkan mengenai:
a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima per
seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin tempat
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan
- 25 -

anggota DPS dimaksud menjabat dan/atau pada


badan usaha lain yang berkedudukan di dalam dan
di luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan
anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain,
anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham
Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud
menjabat,
kepada Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud
menjabat dan dicantumkan dalam laporan penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik.

BAB IX
AUDITOR EKSTERNAL

Pasal 44
(1) Auditor eksternal Lembaga Penjamin wajib ditunjuk
oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang diajukan
oleh Dewan Komisaris berdasarkan usulan komite
audit.
(2) Auditor eksternal Lembaga Penjamin dengan lingkup
usaha kabupaten wajib ditunjuk oleh RUPS dari
calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan
Komisaris.
(3) Auditor eksternal Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disertai:
a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium
atau imbal jasa yang diusulkan untuk auditor
eksternal tersebut; dan
b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani
oleh auditor eksternal, untuk bebas dari
pengaruh Direksi, anggota Dewan Komisaris,
- 26 -

DPS, dan pihak yang berkepentingan di


Lembaga Penjamin dan kesediaan untuk
memberikan informasi terkait dengan hasil
auditnya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Lembaga Penjamin wajib menyediakan semua
catatan akuntansi dan data penunjang yang
diperlukan bagi auditor eksternal sehingga
memungkinkan auditor eksternal memberikan
pendapatnya tentang kewajaran dan kesesuaian
laporan keuangan Lembaga Penjamin dengan
standar audit yang berlaku.

BAB X
PRAKTIK DAN KEBIJAKAN REMUNERASI

Pasal 45
(1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan kebijakan
remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, DPS, dan pegawai yang mendorong
perilaku berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent
behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka
panjang Lembaga Penjamin dan perlakuan adil
terhadap Terjamin, Penjamin, Penerima Jaminan
dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya.
(2) Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan paling sedikit:
a. kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
Lembaga Penjamin sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. prestasi kerja individual;
c. kewajaran dengan Lembaga Penjamin dan/atau
level jabatan yang setara (peer group); dan
d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka
panjang Lembaga Penjamin.
- 27 -

BAB XI
TATA KELOLA PENJAMINAN, PENJAMINAN SYARIAH,
PENJAMINAN ULANG, DAN PENJAMINAN ULANG SYARIAH

Pasal 46
(1) Lembaga Penjamin wajib menyusun kebijakan dan
rencana Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan
Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah yang
dituangkan dalam rencana bisnis tahunan Lembaga
Penjamin.
(2) Kebijakan dan rencana Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. ditetapkan oleh Direksi; dan
b. disosialisasikan kepada manajemen dan pegawai
di unit kerja terkait.

Pasal 47
Direksi wajib mengambil keputusan Penjaminan,
Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan
Ulang Syariah secara profesional dan mengoptimalkan nilai
tambah kekayaan Lembaga Penjamin dengan tetap
memperhatikan perlindungan terhadap Penerima Jaminan,
Terjamin, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya.

Pasal 48
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki satuan kerja atau
pegawai yang bertanggung jawab:
a. menyelenggarakan fungsi pemasaran, analisis
penjaminan, klaim dan subrogasi, serta
penanganan pengaduan Terjamin;
b. menyusun dan menerapkan standar dan
prosedur operasional Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan/atau
Penjaminan Ulang Syariah; dan
c. menyusun dan menerapkan sistem dan prosedur
pengendalian internal untuk memastikan bahwa
- 28 -

proses pemberian Penjaminan, Penjaminan


Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan
Ulang Syariah dilakukan sesuai dengan
kebijakan dan strategi Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan
Ulang Syariah serta tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk melakukan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, Lembaga Penjamin wajib memiliki
pegawai yang mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan/atau Penjaminan
Ulang Syariah.

BAB XII
TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI

Pasal 49
(1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan tata kelola
teknologi informasi yang efektif.
(2) Tata kelola teknologi informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. struktur organisasi sistem informasi;
b. pedoman penggunaan sistem informasi yang
dilengkapi dengan instruksi atau perintah kerja
untuk setiap fungsi (standard operating
prosedure); dan
c. pedoman manajemen pengamanan data dan
insiden (disaster recovery plan).

BAB XIII
MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL

Pasal 50
(1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan manajemen
risiko dengan mengidentifikasi, menilai, dan
memantau risiko usaha secara efektif.
- 29 -

(2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan
usaha, ukuran dan kompleksitas usaha, serta
kemampuan Lembaga Penjamin.

Pasal 51
(1) Direksi Lembaga Penjamin wajib menetapkan
pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk
memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan
usaha dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi
bisnis serta anggaran dasar dan aturan internal lain
Lembaga Penjamin, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencakup hal-hal sebagai
berikut:
a. lingkungan pengendalian internal dalam
Lembaga Penjamin yang disiplin dan terstruktur;
b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu
suatu proses untuk mengindentifikasi,
menganalisis, menilai, dan mengelola risiko
usaha;
c. aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang
dilakukan dalam suatu proses pengendalian
terhadap kegiatan Lembaga Penjamin pada setiap
tingkat dan unit dalam struktur organisasi
Lembaga Penjamin, paling sedikit mengenai
kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi,
penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas
dan keamanan terhadap aset Lembaga Penjamin;
d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu
proses penyajian laporan mengenai kegiatan
operasional, finansial, dan ketaatan atas
peraturan perundang-undangan dibidang usaha
Penjaminan, Penjamin Syariah, Penjamin Ulang,
dan Penjaminan Ulang Syariah;
- 30 -

e. tata cara monitoring, yaitu proses penilaian


terhadap kualitas sistem pengendalian internal
termasuk fungsi internal audit pada setiap
tingkat dan unit struktur organisasi Lembaga
Penjamin, sehingga dapat dilaksanakan secara
optimal; dan
f. mekanisme pelaporan kepada Direksi dengan
tembusan kepada komite audit, dalam hal terjadi
penyimpangan kualitas sistem pengendalian
internal termasuk fungsi internal audit pada
setiap tingkat dan unit struktur organisasi
Lembaga Penjamin.

BAB XIV
RENCANA BISNIS TAHUNAN

Pasal 52
(1) Lembaga Penjamin wajib menyusun rencana bisnis
tahunan.
(2) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling sedikit meliputi:
a. ringkasan eksekutif;
b. kebijakan dan strategi manajemen;
c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan;
d. penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik;
e. kinerja keuangan Lembaga Penjamin periode
sebelumnya;
f. proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang
digunakan;
g. proyeksi rasio-rasio dan tingkat kesehatan
keuangan;
h. rencana pengembangan dan pemasaran
Penjaminan atau Penjaminan Syariah;
i. rencana pengembangan dan/atau perubahan
jaringan kantor;
j. rencana permodalan;
k. rencana pendanaan;
- 31 -

l. rencana pengembangan organisasi dan sumber


daya manusia; dan
m. informasi lainnya.
(3) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan rencana
bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada
tanggal 30 Januari tahun yang bersangkutan.
(4) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan rencana
bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk pertama kali untuk tahun 2017 paling lambat
tanggal 30 Januari 2017.

BAB XV
KETERBUKAAN INFORMASI

Pasal 53
(1) Lembaga Penjamin wajib memberikan informasi
kepada Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap, tepat
waktu, dan dengan cara yang efisien.
(2) Lembaga Penjamin wajib memiliki sistem pelaporan
keuangan yang handal dan terpercaya untuk
keperluan pengawasan dan Pemangku Kepentingan
lain.

Pasal 54
(1) Lembaga Penjamin wajib mengungkapkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan mengenai hal-hal penting,
paling sedikit meliputi:
a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor
eksternal;
b. transaksi material dengan pihak terkait;
c. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung
dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan
d. informasi material lain mengenai Lembaga
Penjamin.
- 32 -

(2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dimuat dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik.

BAB XVI
ETIKA BISNIS

Pasal 55
(1) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan
Lembaga Penjamin dilarang menawarkan atau
memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak
langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi
penjaminan, dengan melanggar ketentuan perundang-
undangan.
(2) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan
Lembaga Penjamin dilarang menerima sesuatu untuk
kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan
perundang-undangan, baik langsung maupun tidak
langsung, yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan yang terkait dengan transaksi Penjaminan,
Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan
Penjaminan Ulang Syariah.

Pasal 56
Lembaga Penjamin wajib membuat pedoman tentang
perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha, sebagai
panduan bagi organ perusahaan dan seluruh karyawan
Lembaga Penjamin.

BAB XVII
PELAPORAN

Pasal 57
(1) Lembaga Penjamin wajib melakukan penilaian secara
mandiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik secara berkala.
- 33 -

(2) Penilaian secara mandiri (self assessment) atas


penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pedoman Tata Kelola Perusahaan yang
Baik.

Pasal 58
(1) Lembaga Penjamin wajib menyusun laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada
setiap akhir tahun buku.
(2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling
sedikit memuat:
a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang Baik yang paling sedikit meliputi
pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan
prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. penilaian secara mandiri (self assessment) atas
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57; dan
c. rencana tindak (action plan) yang meliputi
tindakan korektif (corrective action) yang
diperlukan dan waktu penyelesaian serta
kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila
masih terdapat kekurangan dalam penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
(3) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.
(4) Apabila tanggal 30 April sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) adalah hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
setelah tanggal 30 April dimaksud.
- 34 -

(5) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan


penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama
kali pada periode tahun 2017, yang disampaikan
paling lambat tanggal 30 April 2018.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan,
dan tata cara penyampaian laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam surat edaran Otoritas
Jasa Keuangan.

BAB XVIII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 59
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1),
Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4),
Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat
(1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 18,
Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 32, Pasal
33 ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37,
Pasal 38 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (4), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), Pasal
46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50
ayat (1), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), ayat
(3), dan ayat (4), Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), Pasal
55, Pasal 56, Pasal 57 ayat (1), dan Pasal 58 ayat
(1), ayat (3), dan ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
- 35 -

b. denda administratif;
c. pembekuan kegiatan usaha; atau
d. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh
Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin
paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan
masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua)
bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mencabut sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan
usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara
tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada
Lembaga Penjamin yang bersangkutan dan
pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama
6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan
kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi
peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha
berlaku sampai hari kerja pertama berikutnya.
(7) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjamin telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
- 36 -

ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi


pembekuan kegiatan usaha.
(8) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku dan
Lembaga Penjamin tetap melakukan kegiatan usaha,
Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung mengenakan
sanksi pencabutan izin usaha.
(9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjamin tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha
Lembaga Penjamin yang bersangkutan.
(10) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) atau pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) kepada masyarakat.

BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 60
Bagi Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 18, Pasal 24 ayat (1),
dan Pasal 29 ayat (1) dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun
sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.

BAB XX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 61
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai Tata Kelola Perusahaan yang
Baik bagi Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
- 37 -

Pasal 62
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017

KETUA DEWAN KOMISIONER


OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

MULIAMAN D. HADAD

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 8


Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum

ttd

Yuliana
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN


NOMOR 2 /POJK.05/2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (2),


Pasal 26 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), Pasal 38 ayat (4), Pasal
39 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (2), Pasal 43
ayat (6), Pasal 48, Pasal 49 ayat (2), Pasal 50 ayat (3), dan
Pasal 52 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan, perlu menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga
Penjamin;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang


Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5835);
-2-

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban
finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
-3-

6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan,


Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha utama melakukan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha melakukan Penjaminan Ulang sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di
luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
atau kontrak jasa kepada Terjamin sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
-4-

Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan


atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
14. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam,
yang dibuat oleh bank atau koperasi dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
15. Pembiayaan adalah penyediaan fasilitas finansial atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan, yang
dibuat oleh lembaga pembiayaan dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
16. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
17. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS
adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit
yang melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
18. Usaha Produktif adalah kegiatan untuk menghasilkan
barang dan/atau jasa yang memberikan nilai tambah
dan meningkatkan pendapatan bagi Terjamin.
-5-

19. Gearing Ratio adalah perbandingan antara total nilai


penjaminan yang ditanggung sendiri dengan ekuitas
Lembaga Penjamin pada waktu tertentu.
20. Lembaga Keuangan adalah bank dan lembaga
keuangan bukan bank.
21. Kantor Cabang adalah kantor Lembaga Penjamin yang
secara langsung bertanggung jawab kepada kantor
pusat dan/atau kantor lain yang ditunjuk oleh kantor
pusat.
22. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan
Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan kepada
Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
23. Sertifikat Kafalah adalah bukti persetujuan
Penjaminan Syariah dari Perusahaan Penjaminan
Syariah dan UUS kepada Penerima Jaminan atas
kewajiban finansial Terjamin sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
24. Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP
adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan
Penjaminan dari Terjamin dalam rangka kegiatan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
25. Imbal Jasa Kafalah yang selanjutnya disingkat IJK
adalah sejumlah uang yang diterima oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS dari Terjamin dalam
rangka kegiatan Penjaminan Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
26. Imbal Jasa Penjaminan Ulang yang selanjutnya
disingkat IJPU adalah sejumlah uang yang diterima
oleh Perusahaan Penjaminan Ulang dari Perusahaan
Penjaminan dalam rangka kegiatan Penjaminan Ulang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
-6-

27. Imbal Jasa Kafalah Ulang yang selanjutnya disingkat


IJKU adalah sejumlah uang yang diterima oleh
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dari
Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS dalam
rangka kegiatan Penjaminan Ulang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
28. Klaim adalah tuntutan pembayaran oleh Penerima
Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah diakibatkan Terjamin
tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan
perjanjian atau tuntutan pembayaran Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
kepada Perusahaan Penjaminan Ulang atau
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, yang telah
membayar kewajiban finansial Terjamin kepada
Penerima Jaminan.
29. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar
akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.
30. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perusahaan umum atau
koperasi.
31. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan
Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk
badan hukum perusahaan umum atau koperasi.
-7-

BAB II
KEGIATAN USAHA

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Usaha Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Syariah

Pasal 2
(1) Usaha Penjaminan meliputi:
a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang
diberikan oleh Lembaga Keuangan;
b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh
koperasi simpan pinjam atau koperasi yang
mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada
anggotanya; dan
c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program
kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha
milik negara dalam rangka program kemitraan
dan bina lingkungan.
(2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Perusahaan Penjaminan dapat melakukan:
a. penjaminan atas surat utang;
b. penjaminan pembelian barang secara angsuran;
c. penjaminan transaksi dagang;
d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa
(surety bond);
e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
g. penjaminan letter of credit;
h. penjaminan kepabeanan (customs bond);
i. penjaminan cukai;
j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait
dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan
k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
-8-

(3) Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dan ayat (2) yang dilakukan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah harus berdasarkan Prinsip
Syariah.
(4) Dalam melakukan usaha Penjaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3),
Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah harus memprioritaskan penjaminan untuk
mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah serta
koperasi.
(5) Untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah
serta koperasi, dan/atau program pemerintah,
pemerintah dapat menunjuk atau menugaskan
Lembaga Penjamin milik pemerintah.

Pasal 3
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf j, wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format 1 dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan melampirkan dokumen yang berisi uraian
paling sedikit mengenai produk, manfaat, mekanisme
Klaim, serta hak dan kewajiban para pihak.
(2) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat
pencatatan pelaporan kegiatan usaha paling lama 20
(dua puluh) hari kerja setelah laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan tidak
menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan
usaha, Lembaga Penjamin dapat melaksanakan
kegiatan usaha tersebut.
-9-

Bagian Kedua
Kegiatan Usaha Lainnya bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah

Pasal 4
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf k,
wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan usaha lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah harus mengajukan
permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan format 2 dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dengan melampirkan dokumen yang
berisi uraian paling sedikit mengenai:
a. kegiatan usaha yang akan dilaksanakan;
b. analisis prospek usaha; dan
c. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan
digunakan untuk operasional.
(4) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan,
permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan
atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap.
- 10 -

(5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau


penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
dan
b. kelayakan analisis prospek usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b.
(6) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah harus menyampaikan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Dalam hal Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah telah menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
(8) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa
Keuangan belum menerima tanggapan atas
permintaan kelengkapan dokumen dimaksud,
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah dianggap membatalkan permohonan.
(9) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan
disertai alasannya.
(10) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disetujui, Otoritas Jasa Keuangan
menerbitkan surat persetujuan.
(11) Dalam hal kegiatan usaha lainnya yang dilakukan oleh
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah berupa pemasaran produk jasa keuangan,
proses permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
- 11 -

(3) dapat dilaksanakan bersamaan dengan


permohonan perizinan/persetujuan/pendaftaran
pemasaran produk jasa keuangan dimaksud.

BAB III
PENYELENGGARAAN PENJAMINAN

Bagian Kesatu
Mekanisme Penjaminan dan Penjaminan Syariah

Pasal 5
(1) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah
melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu Penerima Jaminan,
Terjamin, dan Penjamin.
(2) Penjamin memiliki hak tagih atas pemenuhan
kewajiban finansial Terjamin apabila Penjamin telah
menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak
finansial Penerima Jaminan jika Terjamin gagal
memenuhi kewajibannya.
(3) Kegiatan Penjaminan dan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dituangkan dalam Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah.

Bagian Kedua
Sertifikat Penjaminan dan Sertifikat Kafalah

Pasal 6
(1) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) harus
memuat paling sedikit ketentuan mengenai:
a. nama dan alamat Lembaga Penjamin, Penerima
Jaminan, dan Terjamin;
b. uraian manfaat Penjaminan;
c. jenis Penjaminan;
d. nilai Penjaminan;
e. nilai IJP atau IJK; dan
f. jangka waktu penjaminan.
- 12 -

(2) Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), Sertifikat Kafalah harus
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. objek yang dijamin dapat seluruh atau sebagian
dari:
1. kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari
transaksi syariah; dan
2. hal lain yang dapat dijamin berdasarkan
Prinsip Syariah; dan
b. pernyataan ijab dan qabul yang harus dinyatakan
oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
(3) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai
dengan lampiran yang berisi dokumen pendukung dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah.
(4) Setiap Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah
yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum
Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
(5) Dalam hal diperlukan, Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah dapat diterbitkan dalam bahasa
asing atau bahasa daerah berdampingan dengan
bahasa Indonesia.

Pasal 7
(1) Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dapat
diterbitkan dalam bentuk hardcopy atau
digital/elektronik.
(2) Dalam hal Lembaga Penjamin akan melaksanakan
kegiatan usaha dengan menerbitkan Sertifikat
Penjaminan atau Sertifikat Kafalah dalam bentuk
digital atau elektronik, Lembaga Penjamin wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. contoh format Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah;
- 13 -

b. prosedur operasional standar (standard operating


procedure) penerbitan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah; dan
c. verifikasi dan pembuktian keaslian
(authentification) tanda tangan digital.

Bagian Ketiga
Penjaminan Langsung dan Penjaminan Tidak Langsung

Pasal 8
(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dilakukan
dengan cara:
a. penjaminan langsung; atau
b. penjaminan tidak langsung.
(2) Penjaminan langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan paling
sedikit sebagai berikut:
a. terdapat permohonan Penjaminan atau
Penjaminan Syariah dari calon Terjamin kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah;
b. terdapat konfirmasi kepada Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
dari calon Penerima Jaminan atas permintaan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah;
c. telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin
yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah;
d. telah dilakukan pembayaran IJP atau IJK kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah; dan
e. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah.
(3) Penjaminan tidak langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan
paling sedikit sebagai berikut:
- 14 -

a. terdapat permohonan Penjaminan atau


Penjaminan Syariah dari calon Terjamin melalui
calon Penerima Jaminan;
b. telah dilakukan analisis kelayakan calon Terjamin
yang dilakukan oleh calon Penerima Jaminan;
c. terdapat perjanjian kerja sama antara calon
Penerima Jaminan dan Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah;
d. telah dilakukan pembayaran IJP atau IJK kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah; dan
e. telah diterbitkan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah.
(4) Dalam pelaksanaan pemberian penjaminan tidak
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, Lembaga Penjamin tetap dapat melakukan analisis
kelayakan calon Terjamin.
(5) Ketentuan mengenai konfirmasi permintaan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah dari calon
Penerima Jaminan kepada Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan bagi
kegiatan usaha:
a. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa
(surety bond) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf d;
b. penjaminan kepabeanan (customs bond)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf h; dan
c. penjaminan cukai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf i.

Pasal 9
(1) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf c harus memuat paling sedikit:
- 15 -

a. nama dan alamat Perusahaan Penjaminan atau


Perusahaan Penjaminan Syariah, dan Penerima
Jaminan;
b. uraian manfaat Penjaminan atau Penjaminan
Syariah;
c. hak dan kewajiban Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah, Penerima
Jaminan, dan Terjamin;
d. cara pembayaran IJP atau IJK;
e. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya
pembayaran IJP atau IJK;
f. pembatalan kontrak perjanjian kerja sama, baik
dari pihak Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah maupun
Penerima Jaminan, termasuk syarat dan
penyebabnya;
g. syarat, dasar perhitungan Klaim, dan tata cara
pengajuan Klaim, termasuk bukti pendukung
yang diperlukan dalam pengajuan Klaim;
h. tata cara pelaksanaan peralihan hak tagih setelah
Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah;
i. pemilihan tempat penyelesaian perselisihan; dan
j. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi
sengketa atau beda pendapat untuk Sertifikat
Penjaminan atau Sertifikat Kafalah yang dicetak
dalam 2 (dua) bahasa atau lebih.
(2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf c dilarang memuat suatu
ketentuan yang dapat ditafsirkan:
a. bahwa Penerima Jaminan atau Terjamin tidak
dapat melakukan upaya hukum sehingga
Penerima Jaminan atau Terjamin harus
menerima penolakan pembayaran Klaim;
dan/atau
- 16 -

b. sebagai pembatasan upaya hukum bagi para


pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai
ketentuan perjanjian kerja sama.

Pasal 10
(1) Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang,
dan Penjaminan Ulang Syariah bersifat mengikat dan
tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
(2) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dibatalkan
dan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), apabila:
a. Penerima Jaminan dan/atau Terjamin terbukti
memberikan informasi, data, atau dokumen palsu;
b. Penerima Jaminan dan/atau Terjamin terbukti
menyembunyikan informasi, data atau dokumen
yang tidak sesuai dengan ketentuan Penjaminan
atau Penjaminan Syariah; dan/atau
c. terbukti adanya itikad buruk dari Penerima
Jaminan dan/atau Terjamin.
(3) Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah
dapat dibatalkan dalam hal terjadi pembatalan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah yang
disebabkan terpenuhinya ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).

Bagian Keempat
Penjaminan Bersama

Pasal 11
(1) Penjaminan dan Penjaminan Syariah dapat dilakukan
dalam bentuk penjaminan bersama.
(2) Penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan bentuk kegiatan Penjaminan atau
Penjaminan Syariah yang dilakukan oleh 2 (dua) atau
lebih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah untuk melakukan kegiatan
Penjaminan atau Penjaminan Syariah atas kewajiban
finansial Terjamin.
- 17 -

(3) Dalam hal kegiatan penjaminan bersama dilaksanakan


berdasarkan Prinsip Syariah, ketua (leader) dan
anggota (member) merupakan Perusahaan Penjaminan
Syariah atau UUS.
(4) Penjaminan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah
mencantumkan nama Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah dan porsi
pertanggungan dari setiap anggota penjaminan
bersama dan status keanggotaannya;
b. penerbitan Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat
Kafalah dilakukan oleh ketua (leader); dan
c. ketua (leader) bertanggung jawab sepenuhnya
kepada Penerima Jaminan dan Terjamin atas
penjaminan bersama.
(5) Mekanisme penjaminan bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan dalam
perjanjian antara para pihak sebagai Penjamin, yang
paling sedikit memuat:
a. identitas para pihak sebagai Penjamin, dimana
ada yang bertindak sebagai ketua (leader) dan
anggota (member);
b. ketua (leader) menanggung porsi penjaminan
terbesar;
c. ketua (leader) bertanggung jawab atas
pelaksanaan kegiatan penjaminan bersama;
d. proporsi pendapatan IJP atau IJK antara pihak
selaku Penjamin;
e. cara pembayaran IJP atau IJK oleh Terjamin;
f. prosedur penerimaan dan penerusan IJP atau IJK
antara pihak selaku Penjamin;
g. proses pembayaran Klaim dilakukan oleh ketua
(leader) atau atas persetujuan ketua (leader)
dapat dilakukan oleh anggota (member) lain;
- 18 -

h. proporsi Klaim yang harus dibayarkan kepada


Penerima Jaminan antara pihak selaku Penjamin
dalam hal terjadi Klaim;
i. tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
pihak dalam proses persetujuan Penjaminan atau
Penjaminan Syariah; dan
j. tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
pihak dalam proses verifikasi atas pengajuan
Klaim dari Penerima Jaminan.
(6) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah yang akan melakukan kegiatan penjaminan
bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan format 3 dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini dengan melampirkan dokumen:
a. uraian mengenai kegiatan penjaminan bersama
yang akan dilaksanakan;
b. uraian mengenai calon Penerima Jaminan, ketua
(leader), dan anggota (member) serta porsi
pertanggungan dari setiap anggota penjaminan
bersama;
c. analisis prospek usaha; dan
d. rancangan perjanjian kerja sama.
(7) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat pencatatan
pelaporan kegiatan penjaminan bersama paling lama
20 (dua puluh) hari kerja setelah laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) diterima secara lengkap.
(8) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), Otoritas Jasa Keuangan tidak
menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan
penjaminan bersama, Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah dapat melaksanakan
kegiatan penjaminan bersama tersebut.
- 19 -

Pasal 12
(1) Lembaga Penjamin dapat melakukan kerja sama
pemasaran dengan Lembaga Keuangan.
(2) Kerja sama pemasaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan ruang
lingkup kegiatan usaha Lembaga Penjamin dan
Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Lembaga Penjamin yang akan melakukan kegiatan
kerja sama pemasaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan format 4 dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
melampirkan dokumen:
a. uraian mengenai mekanisme kerja sama
pemasaran yang akan dilaksanakan;
b. uraian mengenai calon Penerima Jaminan,
Lembaga Penjamin, dan Lembaga Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta ruang
lingkup tanggung jawab masing-masing pihak;
c. analisis prospek usaha; dan
d. rancangan perjanjian kerja sama pemasaran.
(4) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat pencatatan
pelaporan kegiatan kerja sama pemasaran paling lama
20 (dua puluh) hari kerja setelah laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara
lengkap.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan tidak
menerbitkan surat pencatatan pelaporan kegiatan
kerja sama pemasaran, Lembaga Penjamin dapat
melaksanakan kegiatan kerja sama pemasaran
tersebut.
- 20 -

Bagian Kelima
Akad Penjaminan Syariah

Pasal 13
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan UUS wajib menerapkan prinsip dasar
sebagai berikut:
a. dipenuhinya prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya
(amanah), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan
(maslahah), dan keuniversalan (syumul); dan
b. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti
riba, maisir, gharar, zalim, risywah, maksiat, dan objek
haram.

Pasal 14
Perjanjian Penjaminan Syariah dan perjanjian Penjaminan
Ulang Syariah wajib menggunakan akad kafalah bil ujrah.

Pasal 15
Perusahaan Penjaminan dapat menyelenggarakan sebagian
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan
membentuk UUS.

Bagian Keenam
Penjaminan Ulang dan Penjaminan Ulang Syariah

Pasal 16
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah wajib melakukan mitigasi risiko dengan
menjaminulangkan penjaminannya.
(2) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan untuk memenuhi kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah dalam hal:
a. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah telah memenuhi
kewajibannya kepada Penerima Jaminan; atau
- 21 -

b. Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan


Penjaminan Syariah tidak dapat memenuhi
kewajibannya.
(3) Penjaminan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Ulang
atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah.
(4) Dalam hal dukungan penjaminan ulang dari
Perusahaan Penjaminan ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak diperoleh, mitigasi risiko
Perusahaan Penjamin dan Perusahaan Penjamin
Syariah diperoleh dari perusahaan reasuransi.

BAB IV
IMBAL JASA

Pasal 17
(1) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya,
Perusahaan Penjaminan menerima IJP.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Syariah dan UUS menerima IJK.
(3) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya,
Perusahaan Penjaminan Ulang menerima IJPU.
(4) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah menerima IJKU.

Pasal 18
(1) Besarnya tarif IJP, IJK, IJPU, dan IJKU ditetapkan
dengan pertimbangan paling sedikit:
a. risiko yang dijamin, yang paling sedikit dihitung
berdasarkan:
1. rasio Klaim;
2. jenis Kredit atau Pembiayaan;
3. cakupan penjaminan; dan
4. jangka waktu penjaminan;
b. biaya administrasi umum, operasional, dan
pemasaran; dan
c. keuntungan.
- 22 -

(2) Ketentuan mengenai IJP atau IJK sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) bagi Penjaminan dan
Penjaminan Syariah yang merupakan program
pemerintah diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri.

Pasal 19
Total pendapatan yang diperoleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
dari seluruh kegiatan usaha lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf k dilarang
melebihi total pendapatan yang diperoleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah dari
seluruh kegiatan usaha penjaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf j.

Pasal 20
(1) Lembaga Penjamin hanya dapat memberikan biaya
akuisisi yang berhubungan dengan perolehan bisnis.
(2) Lembaga Penjamin dilarang memberikan biaya
akuisisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari nilai IJP,
IJK, IJPU, atau IJKU yang diterima.

BAB V
CADANGAN, KLAIM, PEMBAYARAN KLAIM, DAN
PERALIHAN HAK TAGIH

Bagian Kesatu
Cadangan

Pasal 21
Lembaga Penjamin wajib memiliki cadangan Klaim dan
cadangan umum.
- 23 -

Pasal 22
(1) Lembaga Penjamin wajib membentuk cadangan Klaim
paling sedikit:
a. 0,01% (nol koma nol satu per seratus) dari nilai
Penjaminan yang ditanggung sendiri; atau
b. penjumlahan dari 100% (seratus per seratus) dari
nilai Penjaminan yang ditanggung sendiri pada
saat Klaim dilaporkan, dengan Klaim yang sudah
terjadi tetapi belum dilaporkan (incurred but not
reported),
mana yang lebih banyak.
(2) Klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan
(incurred but not reported) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan rata-rata
Klaim ditanggung sendiri yang telah dibayarkan pada
3 (tiga) bulan terakhir.

Pasal 23
(1) Lembaga Penjamin wajib menyisihkan cadangan
umum paling sedikit 25% (dua puluh lima per
seratus) dari laba bersih atau selisih hasil usaha
pada tiap akhir periode laporan tahunan.
(2) Dalam hal akumulasi cadangan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah mencapai 50% (lima
puluh per seratus) dari modal disetor, kebijakan
untuk menyisihkan cadangan umum dapat
mengikuti kebijakan rapat umum pemegang saham
atau yang setara.
(3) Cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dipergunakan untuk menutup
kerugian.

Bagian Kedua
Klaim

Pasal 24
(1) Pengajuan Klaim oleh Penerima Jaminan kepada
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
- 24 -

Penjaminan Syariah dapat dilakukan apabila


Terjamin gagal memenuhi kewajiban finansial.
(2) Pengajuan Klaim oleh Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Perusahaan
Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah dilakukan setelah Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
membayar kewajiban finansial Terjamin kepada
Penerima Jaminan.

Bagian Ketiga
Pembayaran Klaim

Pasal 25
(1) Lembaga Penjamin dilarang melakukan tindakan
yang dapat memperlambat penyelesaian atau
pembayaran Klaim atau tidak melakukan tindakan
yang seharusnya dilakukan yang dapat
mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau
kelambatan pembayaran Klaim.
(2) Lembaga Penjamin wajib memberikan persetujuan
atau penolakan atas permohonan pembayaran
Klaim paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
diterimanya secara lengkap permohonan
pembayaran Klaim atau sesuai jangka waktu yang
tercantum dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat
Kafalah, atau perjanjian kerja sama, mana yang
lebih singkat.
(3) Lembaga Penjamin wajib membayar Klaim dalam
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja
sejak adanya persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) atau sesuai jangka waktu yang
tercantum dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat
Kafalah, atau perjanjian kerja sama, mana yang
lebih singkat.
- 25 -

(4) Dalam hal permohonan pembayaran Klaim


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan
kesepakatan dari Terjamin, permohonan dimaksud
harus dilengkapi dengan bukti kesepakatan dari
Terjamin.
(5) Ketentuan mengenai jangka waktu persetujuan atau
penolakan atas permohonan pembayaran Klaim
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jangka
waktu pembayaran Klaim sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) bagi Lembaga Penjamin yang
merupakan program pemerintah pusat atau
pemerintah daerah diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.

Bagian Keempat
Peralihan Hak Tagih

Pasal 26
(1) Sejak Klaim dibayar oleh Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah, hak tagih
Penerima Jaminan kepada Terjamin beralih menjadi
hak tagih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah dapat melepaskan hak tagih
atas Penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah untuk
tujuan selain Usaha Produktif.
(3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah dapat membuat perjanjian dengan Penerima
Jaminan agar Penerima Jaminan melakukan upaya
penagihan atas hak tagih Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk dan atas nama
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah.
- 26 -

(4) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan


Penjaminan Syariah memperoleh hasil penagihan
secara proporsional berdasarkan lingkup (coverage)
Penjaminan, dengan mempertimbangkan biaya
penagihan.

BAB VI
RETENSI SENDIRI

Pasal 27
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah wajib memiliki retensi sendiri
untuk setiap penjaminan.
(2) Retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian
(risk and loss profile) yang dibuat oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah
secara tertib, teratur, relevan, dan akurat.
(3) Ketentuan retensi sendiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. ketentuan retensi sendiri minimum; dan
b. ketentuan retensi sendiri maksimum.
(4) Ketentuan retensi sendiri minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah sebagai
berikut:
a. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah sampai dengan kurang dari
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah),
wajib ditahan sendiri paling sedikit 75% (tujuh
puluh lima per seratus) dari nilai Penjaminan
atau Penjaminan Syariah dimaksud;
b. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah dari Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) sampai dengan kurang
dari Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah), wajib ditahan sendiri
- 27 -

paling sedikit sebesar jumlah paling banyak


antara:
1. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah); atau
2. 15% (lima belas per seratus) dari nilai
Penjaminan atau Penjaminan Syariah
dimaksud;
c. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah dari Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) sampai dengan kurang dari
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib
ditahan sendiri paling sedikit sebesar jumlah
paling banyak antara:
1. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
atau
2. 10% (sepuluh per seratus) dari nilai
Penjaminan atau Penjaminan Syariah
dimaksud;
d. untuk nilai Penjaminan atau Penjaminan
Syariah sama dengan atau lebih dari
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), wajib
ditahan sendiri paling sedikit sebesar jumlah
paling banyak antara:
1. Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
atau
2. 5% (lima per seratus) dari nilai Penjaminan
atau Penjaminan Syariah dimaksud.
(5) Retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b untuk masing-masing
Terjamin dilarang melebihi 10% (sepuluh per
seratus) dari Ekuitas Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah.
(6) Dalam hal nilai retensi sendiri minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melebihi nilai
retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), berlaku ketentuan retensi sendiri
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
- 28 -

BAB VII
KAPASITAS PENJAMINAN DAN NILAI PENJAMINAN
BAGI USAHA PRODUKTIF

Pasal 28
(1) Lembaga Penjamin wajib mengoptimalkan kapasitas
penjaminan.
(2) Kapasitas penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diukur dengan Gearing Ratio.
(3) Lembaga Penjamin wajib menjaga Gearing Ratio
untuk penjaminan bagi Usaha Produktif paling tinggi
20 (dua puluh) kali.
(4) Lembaga Penjamin wajib menjaga total Gearing Ratio
paling tinggi 40 (empat puluh) kali.

Pasal 29
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Syariah wajib memiliki nilai penjaminan bagi Usaha
Produktif paling sedikit 25% (dua puluh lima per
seratus) dari total nilai penjaminan.
(2) Nilai penjaminan bagi Usaha Produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
mendapatkan izin usaha.

BAB VIII
LARANGAN

Pasal 30
(1) Lembaga Penjamin dilarang:
a. memberikan pinjaman; atau
b. menerima pinjaman.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka
melakukan restrukturisasi penjaminan bagi usaha
mikro, kecil, dan menengah, serta koperasi.
- 29 -

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf b dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Syariah yang menerima
pinjaman dengan menerbitkan obligasi wajib
konversi (mandatory convertible bonds).

BAB IX
EKUITAS

Pasal 31
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah lingkup kabupaten/kota wajib
memiliki Ekuitas paling sedikit Rp25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah) dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin
usaha.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah lingkup provinsi wajib memiliki
Ekuitas paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha.
(3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah lingkup nasional wajib memiliki
Ekuitas paling sedikit Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah) dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun setelah memperoleh izin usaha.
(4) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah wajib memiliki Ekuitas
paling sedikit Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun setelah memperoleh izin usaha.

Pasal 32
(1) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup
kabupaten/kota wajib memiliki Ekuitas paling
sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
setelah memperoleh izin usaha.
- 30 -

(2) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup


provinsi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
setelah memperoleh izin usaha.
(3) UUS Perusahaan Penjaminan dengan lingkup
nasional wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah)
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
setelah memperoleh izin usaha.

BAB X
INVESTASI LEMBAGA PENJAMIN

Bagian Kesatu
Jenis Investasi

Pasal 33
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Ulang wajib menempatkan investasi pada jenis
investasi sebagai berikut:
a. deposito pada bank;
b. surat berharga negara;
c. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
d. obligasi korporasi;
e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia;
f. efek beragun aset;
g. reksa dana;
h. medium term notes;
i. repurchase agreement;
j. dana investasi real estat berbentuk kontrak
investasi kolektif;
k. tanah dan bangunan; dan/atau
l. penyertaan langsung pada perusahaan di sektor
jasa keuangan di Indonesia.
(2) Jenis investasi yang dapat ditempatkan Perusahaan
Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang
- 31 -

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk juga


jenis investasi yang menggunakan Prinsip Syariah.

Pasal 34
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan UUS wajib menempatkan investasi
pada jenis investasi sebagai berikut:
a. deposito pada bank umum syariah, unit usaha syariah
pada bank umum, dan bank pembiayaan rakyat
syariah;
b. surat berharga syariah negara;
c. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia;
d. sukuk korporasi;
e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia dan
masuk dalam daftar efek syariah yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
f. efek beragun aset syariah;
g. reksa dana syariah;
h. medium term notes syariah;
i. repurchase agreement syariah;
j. dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak
investasi kolektif; dan/atau
k. penyertaan langsung pada perusahaan di sektor jasa
keuangan syariah di Indonesia.

Pasal 35
(1) Investasi dalam bentuk obligasi korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf
d dan sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf d wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. tercatat di bursa efek di Indonesia; dan
b. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang telah
mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan.
- 32 -

(2) Investasi dalam bentuk efek beragun aset


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf f
dan efek beragun aset syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf f wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. tercatat di bursa efek Indonesia;
b. memiliki peringkat investment grade dari
perusahaan pemeringkat efek yang telah
mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan; dan
c. dilakukan melalui penawaran umum
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
(3) Investasi dalam bentuk medium term notes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf
h dan medium term notes syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf h wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia;
b. memiliki agen monitoring yang terdaftar sebagai
wali amanat di Otoritas Jasa Keuangan; dan
c. memiliki peringkat investment grade yang
dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat efek
yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Investasi dalam bentuk repurchase agreement
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf i
dan repurchase agreement syariah dalam Pasal 34
huruf i wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. setiap transaksi repurchase agreement dan
repurchase agreement syariah mengakibatkan
perubahan pada kepemilikan efek;
b. menggunakan kontrak perjanjian tertulis yang
menerapkan Global Master Repurchase Agreement
Indonesia yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan atau pihak lain yang diakui oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
- 33 -

c. jenis jaminan terbatas pada surat berharga


negara, surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia, dan/atau obligasi korporasi yang
memiliki peringkat investment grade yang
dikeluarkan oleh perusahaan pemeringkat efek
yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan;
d. transaksi repurchase agreement dan repurchase
agreement syariah terdaftar di Kustodian Sentral
Efek Indonesia atau Bank Indonesia Scriptless
Securities Settlement System (BI-S4);
e. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh)
hari; dan
f. nilai repurchase agreement dan repurchase
agreement syariah paling banyak 80% (delapan
puluh per seratus) dari nilai pasar surat berharga
yang dijaminkan.
(5) Investasi dalam bentuk dana investasi real estat
berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j dan dana
investasi real estat syariah berbentuk kontrak
investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 huruf j wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah mendapat pernyataan efektif dari Otoritas
Jasa Keuangan; dan
b. dilakukan melalui penawaran umum
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
(6) Investasi dalam bentuk tanah dan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf
k wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. dimiliki dan dikuasai oleh Lembaga Penjamin
yang dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah
dan/atau bangunan atas nama Lembaga
Penjamin;
- 34 -

b. memberikan penghasilan sewa dan penghasilan


lainnya melalui transaksi yang didasarkan pada
harga pasar yang berlaku; dan
c. tidak ditempatkan pada bangunan atau tanah
dengan bangunan yang sedang diagunkan, dalam
sengketa, dan/atau diblokir pihak lain.
(7) Investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada
perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf l
dan penyertaan langsung pada perusahaan di sektor
jasa keuangan syariah di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf k wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. penyertaan langsung dilakukan pada saham yang
diterbitkan oleh perseroan terbatas; dan
b. dalam hal Lembaga Penjamin menjadi pemegang
saham terbesar atau memiliki paling sedikit 25%
(dua puluh lima per seratus) saham pada
perseroan terbatas, Lembaga Penjamin memiliki
dan menggunakan haknya untuk:
1. menempatkan perwakilan dalam
keanggotaan Dewan Komisaris perseroan
terbatas; dan
2. mendapatkan akses yang tidak terbatas atas
seluruh informasi material terkait seluruh
perusahaan.

Pasal 36
Dalam hal perusahaan penerbit jenis investasi berupa
obligasi korporasi dan/atau medium term notes merupakan
lembaga jasa keuangan non-bank, ketentuan untuk
memiliki peringkat investment grade dari perusahaan
pemeringkat efek yang telah mendapat izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c dapat
dikecualikan sepanjang:
- 35 -

a. jenis investasi memiliki peringkat 1 (satu) tingkat di


bawah investment grade; dan
b. lembaga jasa keuangan non-bank yang menerbitkan
obligasi korporasi dan/atau medium term notes tersebut
memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang lembaga jasa keuangan non-bank.

Bagian Kedua
Batasan Investasi

Pasal 37
(1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan
Ulang yang akan menempatkan investasi pada jenis
investasi berupa tanah dan bangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf k wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki lingkup wilayah operasional secara
nasional; dan
b. memiliki manajemen risiko yang memadai.
(2) Lembaga Penjamin yang akan menempatkan investasi
pada jenis investasi berupa medium term notes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf h
dan medium term notes syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf h, repurchase agreement
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf i
dan repurchase agreement syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf i, dana investasi real
estat berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j, dan dana
investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi
kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf j
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki lingkup wilayah operasional secara
nasional;
b. memiliki jumlah aset paling sedikit
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan
c. memiliki manajemen risiko yang memadai.
- 36 -

Pasal 38
(1) Investasi dalam bentuk deposito pada bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a
dan deposito pada bank umum syariah, unit usaha
syariah pada bank umum, dan bank pembiayaan rakyat
syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pada setiap bank umum atau bank umum syariah
dilarang melebihi 30% (tiga puluh per seratus) dari
jumlah investasi; dan
b. pada setiap bank perkreditan rakyat atau bank
pembiayaan rakyat syariah dilarang melebihi 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah investasi.
(2) Ketentuan batasan investasi dalam bentuk deposito
pada bank dan deposito pada bank umum syariah, unit
usaha syariah pada bank umum, dan bank pembiayaan
rakyat syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Lembaga Penjamin yang
mendapatkan penugasan dari pemerintah yang
dibuktikan dengan adanya bukti penugasan.
(3) Lembaga Penjamin yang mendapatkan penugasan dari
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
menempatkan investasi dalam bentuk deposito pada
bank, wajib ditempatkan pada deposito bank umum,
unit usaha syariah pada bank umum, bank umum
syariah, bank perkreditan rakyat, dan/atau bank
pembiayaan rakyat syariah yang dimiliki oleh
pemerintah dengan memperhatikan tingkat kesehatan
bank dimaksud.
(4) Investasi dalam bentuk obligasi korporasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf d dan/atau
sukuk korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Pasal 34 huruf d dilarang melebihi 10% (sepuluh per
seratus) untuk setiap penerbit dan seluruhnya dilarang
melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah
investasi.
- 37 -

(5) Investasi dalam bentuk saham yang tercatat di bursa


efek Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) huruf e dan Pasal 34 huruf e dilarang melebihi
5% (lima per seratus) dari jumlah investasi untuk setiap
emiten dan seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua
puluh per seratus) dari jumlah investasi.
(6) Investasi dalam bentuk efek beragun aset sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf f dan efek
beragun aset syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf f dilarang melebihi 5% (lima per seratus)
dari jumlah investasi untuk setiap manajer investasi
atau penerbit dan seluruhnya dilarang melebihi 20%
(dua puluh per seratus) dari jumlah investasi.
(7) Investasi dalam bentuk reksa dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf g dan reksa
dana syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
huruf g dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari
jumlah investasi untuk setiap manajer investasi dan
seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua puluh per
seratus) dari jumlah investasi kecuali investasi pada
reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif
penyertaan terbatas ditetapkan paling tinggi 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah investasi.
(8) Investasi dalam bentuk medium term notes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf h
dan medium term notes syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf h harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari
jumlah investasi Lembaga Penjamin; dan
b. dilarang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari
jumlah emisi medium term notes.
(9) Investasi dalam bentuk repurchase agreement
sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1) huruf i
dan repurchase agreement syariah Pasal 34 huruf i
untuk setiap counterparty dilarang melebihi 2% (dua
per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya
- 38 -

dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah


investasi.
(10) Investasi dalam bentuk dana investasi real estat
berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf j dan dana
investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi
kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf j
dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah
investasi untuk setiap manajer investasi dan
seluruhnya dilarang melebihi 20% (dua puluh per
seratus) dari jumlah investasi.
(11) Investasi dalam bentuk tanah dan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf k
dilarang melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah
investasi.
(12) Investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada
perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf l
dan penyertaan langsung pada perusahaan di sektor
jasa keuangan syariah di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf k dilarang melebihi
10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi.
(13) Ketentuan batasan investasi dalam bentuk penyertaan
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (12)
dikecualikan bagi Lembaga Penjamin yang
mendapatkan penugasan dari pemerintah yang
dibuktikan dengan adanya bukti penugasan.
(14) Lembaga Penjamin yang mendapatkan penugasan dari
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (13)
dilarang menempatkan investasi dalam bentuk
penyertaan langsung melebihi 15% (lima belas per
seratus) dari jumlah investasi.

Pasal 39
(1) Jumlah seluruh penempatan Perusahaan Penjaminan
dan Perusahaan Penjaminan Ulang pada instrumen
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
- 39 -

(1) huruf e, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf l


dilarang melebihi 60% (enam puluh per seratus) dari
jumlah investasi.
(2) Jumlah seluruh penempatan Perusahaan Penjaminan
Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah
pada instrumen investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf e, huruf g, huruf h, huruf i, huruf
j, dan huruf k dilarang melebihi 60% (enam puluh per
seratus) dari jumlah investasi.

Pasal 40
(1) Jumlah seluruh investasi Lembaga Penjamin yang
ditempatkan pada pihak yang terafiliasi tidak termasuk
penyertaan langsung, dilarang melebihi 10% (sepuluh
per seratus) dari jumlah investasi.
(2) Pihak yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pihak yang memiliki hubungan dengan satu
atau lebih pihak lain, sedemikian rupa sehingga salah
satu pihak dapat mempengaruhi pengelolaan atau
kebijakan dari pihak yang lain atau sebaliknya.
(3) Hubungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan atau
kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
bentuk:
a. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur
atau pejabat setingkat di bawah direktur atau
komisaris, yang juga menjabat sebagai direktur
atau pejabat setingkat di bawah direktur atau
komisaris pada pihak lain;
b. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur,
komisaris, atau pemegang saham pengendali, yang
memiliki hubungan keluarga karena perkawinan
atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal yang menjabat sebagai
direktur, komisaris, atau pemegang saham
pengendali pada pihak lain;
c. salah satu pihak memiliki paling sedikit 25% (dua
puluh lima per seratus) saham pihak lain;
- 40 -

d. salah satu pihak merupakan pemegang saham


terbesar dari pihak lain;
e. para pihak dikendalikan oleh pengendali yang
sama; atau
f. salah satu pihak mempunyai hak suara pada
pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh per
seratus) berdasarkan suatu perjanjian.
(4) Penempatan investasi pada pihak yang terafiliasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk
hubungan karena kepemilikan atau penyertaan modal
oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Pasal 41
(1) Kesesuaian dengan batasan investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 40
ditentukan pada saat dilakukan penempatan investasi.
(2) Direksi harus memastikan batasan investasi pada
saat melakukan penempatan investasi telah sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 sampai dengan Pasal 40.

BAB XI
KESEHATAN KEUANGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 42
(1) Lembaga Penjamin wajib menjaga kondisi kesehatan
keuangannya.
(2) Pengukuran kesehatan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rasio likuiditas;
b. Gearing Ratio;
c. rentabilitas; dan
d. penilaian sendiri (self assessment) tata kelola
perusahaan yang baik bagi Lembaga Penjamin.
- 41 -

(3) Kewajiban pemenuhan kondisi kesehatan keuangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi UUS
dilakukan secara terpisah dengan komponen rasio
likuiditas dan rentabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, huruf c, dan komponen lain yang
diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengukuran kesehatan
keuangan Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam surat edaran
Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Kedua
Rasio Likuiditas dan Rentabilitas

Pasal 43
(1) Lembaga Penjamin wajib menjaga tingkat likuiditasnya.
(2) Lembaga Penjamin wajib menjaga rasio likuiditas paling
rendah 120% (seratus dua puluh per seratus).
(3) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dihitung dengan menggunakan current ratio yaitu
perbandingan antara aset lancar dengan utang lancar.
(4) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2) huruf c merupakan kemampuan Lembaga
Penjamin dalam menghasilkan laba.
(5) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) meliputi penilaian terhadap
kinerja aset dan efisiensi operasional.

BAB XII
PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI

Pasal 44
(1) Lembaga Penjamin dalam melaksanakan kegiatannya
memanfaatkan teknologi informasi.
(2) Lembaga Penjamin wajib memiliki manajemen risiko
yang memadai terhadap pemanfaatan teknologi
informasi yang paling sedikit mencakup:
a. kecukupan kebijakan dan prosedur penggunaan
teknologi informasi;
- 42 -

b. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,


pemantauan, dan pengendalian risiko
pemanfaatan teknologi informasi; dan
c. sistem pengendalian intern atas penggunaan
teknologi informasi.

Pasal 45
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki situs web.
(2) Situs web sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat informasi sebagai berikut:
a. izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan atau
otoritas lain sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan;
b. struktur organisasi dan nama pejabat Lembaga
Penjamin paling sedikit Dewan Komisaris, dewan
pengawas syariah (jika ada), Direksi, dan pejabat
satu tingkat di bawah Direksi;
c. alamat, jaringan kantor cabang, alamat surat
elektronik, nomor telepon kantor, dan nama
pejabat kantor cabang;
d. ringkasan informasi produk dari seluruh produk
yang dipasarkan;
e. prosedur dan cara bertransaksi;
f. informasi tata cara pelayanan dan penyelesaian
pengaduan;
g. daftar agen penjamin yang aktif;
h. penerapan tata kelola perusahaan yang termuat
dalam laporan tahunan;
i. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit;
j. informasi mengenai UUS dan Usaha Penjaminan
Syariah bagi Perusahaan Penjaminan yang
menjalankan usaha Penjaminan Syariah dan/atau
memiliki UUS; dan
k. informasi lainnya baik yang telah diwajibkan oleh
peraturan lainnya maupun kebutuhan dari
Lembaga Penjamin.
- 43 -

(3) Lembaga Penjamin wajib melakukan pengkinian


informasi yang disajikan dalam situs web sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja setelah terjadi perubahan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).

Pasal 46
(1) Lembaga Penjamin yang memiliki pusat data (data
center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery
center) wajib menempatkan pusat data (data center) dan
pusat pemulihan bencana (disaster recovery center)
tersebut di wilayah Indonesia untuk kepentingan
penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan
kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
(2) Lembaga Penjamin yang memiliki pusat pemulihan
bencana (disaster recovery center) wajib menempatkan
pusat pemulihan bencana (disaster recovery center)
tersebut pada lokasi yang terpisah dari kantor pusat.
(3) Ketentuan mengenai pusat data (data center) dan pusat
pemulihan bencana (disaster recovery center) di wilayah
Indonesia mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penyelenggara sistem
dan transaksi elektronik.

BAB XIII
LEMBAGA PENUNJANG PENJAMINAN

Bagian Kesatu
Pemeringkat Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi

Pasal 47
(1) Lembaga Penjamin dapat menggunakan jasa dari
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dalam menjalankan usahanya.
(2) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi yang digunakan, wajib telah terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
- 44 -

melakukan kegiatan pemeringkatan secara


independen, objektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam pemberian peringkat.

Pasal 48
(1) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh pemeringkat
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi terdiri dari:
a. menghimpun data usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi dan data lainnya; dan
b. mengolah data usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dan data lainnya untuk menghasilkan
informasi pemeringkatan (rating).
(2) Data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta
data lainnya yang dihimpun dan diolah oleh
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat digunakan untuk menghasilkan informasi
pemeringkatan (rating).
(3) Informasi pemeringkatan (rating) yang dihasilkan oleh
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
baik yang bersifat individual maupun agregat, paling
sedikit memuat:
a. kelayakan usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi untuk memperoleh penyediaan dana;
b. rekam jejak reputasi usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi dalam memenuhi
kewajiban penyediaan dana;
c. pemeringkatan untuk menilai kemampuan usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi untuk
memenuhi kewajiban penyediaan dana;
d. karakter usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi; dan
e. informasi lainnya yang dapat digunakan untuk
menilai kemampuan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi.
- 45 -

Pasal 49
(1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi wajib:
a. menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan
kerahasiaan data;
b. memiliki sistem yang andal;
c. memiliki kebijakan dan prosedur operasional yang
dituangkan dalam pedoman tertulis; dan
d. memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh
setiap pihak yang menggunakan informasi
pemeringkatan (rating).
(2) Kebijakan dan prosedur operasional kegiatan
pemeringkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit meliputi:
a. langkah-langkah kegiatan pengamanan data;
b. level akses;
c. prosedur pengubahan data;
d. pengamanan informasi;
e. business continuity plan;
f. end-user computing;
g. disaster recovery plan;
h. pemantauan terhadap operasional termasuk audit
trail;
i. prosedur pemberian informasi pemeringkatan
(rating); dan
j. prosedur penanganan dan penyelesaian
pengaduan.

Pasal 50
(1) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
dapat menghimpun dan mengolah data usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi, dan data lainnya.
(2) Dalam rangka memperluas dan memperkaya cakupan
data usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, dan
data lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
- 46 -

pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan


koperasi dapat melakukan kerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga negara lainnya;
b. lembaga jasa keuangan; dan/atau
c. badan usaha lainnya.
(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dapat memperoleh data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara langsung berdasarkan
perjanjian dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 51
(1) Pengelolaan data usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dan data lainnya oleh pemeringkat usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi mencakup
kegiatan penghimpunan, pengolahan, dan
pendistribusian data.
(2) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemeringkat usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi wajib berpedoman pada
ketentuan dan peraturan perundang-undangan
mengenai penyelenggara sistem informasi dan
transaksi elektronik.

Pasal 52
(1) Dalam rangka pengelolaan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1), pemeringkat usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi wajib melakukan
langkah-langkah pengamanan untuk menjaga akurasi,
keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data.
(2) Dalam rangka menjaga akurasi, keterkinian,
keamanan, dan kerahasiaan data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemeringkat usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi wajib menempatkan
server dan database di dalam wilayah Republik
Indonesia.
- 47 -

(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan


koperasi wajib memiliki pusat pemulihan bencana
(disaster recovery center) yang ditempatkan pada lokasi
yang terpisah dari kantor pusat.

Pasal 53
(1) Pihak yang dapat memperoleh informasi pemeringkatan
(rating) adalah:
a. lembaga jasa keuangan yang menjadi anggota dari
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi;
b. kementerian dan lembaga negara lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2)
huruf a yang menjadi sumber data pemeringkat
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang
bersangkutan;
c. pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi lain;
d. usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi atas
informasi pemeringkat (rating) yang bersangkutan;
dan/atau
e. pihak lain.
(2) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi wajib mengadministrasikan seluruh
permintaan terhadap informasi pemeringkatan (rating)
dari pihak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi dapat mengenakan biaya terhadap pemberian
informasi pemeringkatan (rating) kepada pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 54
(1) Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Otoritas Jasa
Keuangan dapat meminta data yang dikelola oleh
pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi secara langsung.
- 48 -

(2) Atas permintaan data sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), pemeringkat usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi wajib memberikan akses kepada Otoritas
Jasa Keuangan berupa keterangan dan data yang
diminta, kesempatan untuk melihat semua
pembukuan, dokumen, sarana fisik yang berkaitan
dengan kegiatan usahanya, dan hal-hal lain yang
diperlukan.

Bagian Kedua
Agen Penjamin

Pasal 55
(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Lembaga
Penjamin dapat menggunakan jasa agen penjamin.
(2) Agen penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan orang perseorangan atau badan usaha yang
melakukan pemasaran kegiatan usaha penjaminan
untuk dan atas nama Lembaga Penjamin.
(3) Agen penjamin dilarang menggelapkan IJP, IJK, IJPU,
dan/atau IJKU.
(4) Lembaga Penjamin wajib memiliki perjanjian keagenan
dengan agen penjamin yang melakukan pemasaran
untuk dan atas nama Lembaga Penjamin.
(5) Semua tindakan agen penjamin yang berkaitan dengan
transaksi Penjaminan menjadi tanggung jawab
Lembaga Penjamin yang diageni.

Bagian Ketiga
Broker

Pasal 56
(1) Broker merupakan pihak yang memberikan jasa
konsultasi dan/atau keperantaraan dalam pemberian
penjaminan serta penanganan penyelesaian klaimnya
dengan bertindak untuk dan atas nama Terjamin.
- 49 -

(2) Broker wajib memberikan keterangan yang sejelas-


jelasnya kepada Lembaga Penjamin tentang objek
penjaminan yang dijaminkan.
(3) Broker wajib memberikan keterangan yang sejelas-
jelasnya kepada Terjamin tentang ketentuan isi
Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah, termasuk
mengenai hak dan kewajiban Terjamin.
(4) Broker dilarang menerbitkan dokumen pemberian
Penjaminan atau Penjaminan Syariah sementara
dan/atau Sertifikat Penjaminan atau Sertifikat Kafalah.

Pasal 57
(1) Broker Penjaminan atau broker Penjaminan Syariah
dapat menerima pembayaran IJP atau IJK dari
Terjamin.
(2) Broker Penjaminan Ulang atau broker Penjaminan
Ulang Syariah dapat menerima pembayaran IJPU atau
IJKU dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah.
(3) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
Syariah menerbitkan Sertifikat Penjaminan atau
Sertifikat Kafalah setelah menerima pembayaran IJP
atau IJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari
broker Penjaminan atau broker Penjaminan Syariah.

BAB XIV
PELAPORAN

Pasal 58
(1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan
bulanan secara lengkap kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan
penyampaian laporan bulanan diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai laporan bulanan
industri keuangan non bank.
- 50 -

Pasal 59
(1) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik secara lengkap kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku
berakhir.
(2) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah berdasarkan tahun takwim.
(3) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1):
a. disusun dalam mata uang Rupiah; dan
b. disampaikan secara tertulis kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan alamat sebagaimana tertera
pada laman resmi Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Apabila batas akhir penyampaian laporan jatuh pada
hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah
hari kerja pertama berikutnya.
(5) Dalam hal Lembaga Penjamin memperoleh izin usaha
kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim
berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku pada tahun takwim berikutnya.

Pasal 60
Selain laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59, Lembaga Penjamin wajib menyampaikan
laporan sewaktu-waktu bila diperlukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.

Pasal 61
(1) Lembaga Penjamin wajib mengumumkan neraca dan
perhitungan laba rugi singkat paling lambat 4 (empat)
bulan setelah tahun buku berakhir, paling sedikit pada
1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki
peredaran luas di lingkup wilayah operasional Lembaga
Penjamin.
- 51 -

(2) Lembaga Penjamin wajib melaporkan pelaksanaan


pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pelaksanaan
pengumuman, dilampiri dengan bukti pengumuman.
(3) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas
akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.

BAB XV
PEDOMAN AKUNTANSI LEMBAGA PENJAMIN

Pasal 62
(1) Lembaga Penjamin wajib melakukan pencatatan atas
kegiatan usahanya berdasarkan pernyataan standar
akuntansi keuangan yang relevan bagi Lembaga
Penjamin dan pedoman akuntansi Lembaga Penjamin
Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai pedoman akuntansi Lembaga
Penjamin Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan.

BAB XVI
PENEGAKAN KEPATUHAN

Bagian Kesatu
Pemberitahuan

Pasal 63
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4
ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 ayat (3), Pasal 25
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat
(1) dan ayat (3), dan/atau Pasal 55 ayat (4) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diberikan surat
pemberitahuan.
- 52 -

(2) Lembaga Penjamin yang mempunyai UUS yang tidak


memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal
12 ayat (3), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 44
ayat (2), dan/atau Pasal 55 ayat (4) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini diberikan surat pemberitahuan.
(3) Lembaga Penjamin wajib melakukan pemenuhan atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal surat pemberitahuan.

Bagian Kedua
Rencana Pemenuhan

Pasal 64
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6), Pasal
12 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 19, Pasal 21, Pasal
22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), ayat (3),
dan ayat (4), Pasal 29, Pasal 31, Pasal 42 ayat (1),
Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 46 ayat
(1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
wajib menyampaikan rencana pemenuhan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) bulan
sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran.
(2) Lembaga Penjamin yang mempunyai UUS yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (6), Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (1),
Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1),
Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal
29, Pasal 32, Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (1) dan
ayat (2), dan/atau Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib
menyampaikan rencana pemenuhan paling lama 1
(satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya
pelanggaran.
- 53 -

(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan/atau ayat (2) paling sedikit memuat
rencana yang akan dilakukan Lembaga Penjamin
untuk pemenuhan ketentuan yang disertai dengan
jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2).
(4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2) memuat:
a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas;
b. penambahan modal disetor;
c. pengalihan sebagian atau seluruh aset;
d. pembatasan pembagian laba;
e. pembatasan kegiatan yang menyebabkan
pelanggaran ketentuan;
f. pembatasan pembukaan kantor cabang baru;
g. penggabungan badan usaha; dan/atau
h. hal lain yang akan dilaksanakan untuk
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2) harus ditandatangani oleh
seluruh Direksi dan Dewan Komisaris.
(6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2) harus terlebih dahulu
disetujui oleh rapat umum pemegang saham atau yang
setara dalam hal rencana dimaksud memuat rencana
penambahan modal disetor atau rencana
penggabungan usaha.
(7) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau ayat (2) harus memperoleh pernyataan
tidak keberatan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(8) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dinilai oleh
Otoritas Jasa Keuangan tidak cukup untuk mengatasi
permasalahan, Lembaga Penjamin wajib melakukan
perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut.
- 54 -

(9) Otoritas Jasa Keuangan memberikan pernyataan tidak


keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan
oleh Lembaga Penjamin dengan memperhatikan
kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Lembaga
Penjamin paling lama 15 (lima belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya rencana
pemenuhan secara lengkap.
(10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (9) Otoritas Jasa Keuangan tidak
memberikan pernyataan tidak keberatan atau
tanggapan, Lembaga Penjamin dapat melaksanakan
rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2).
(11) Lembaga Penjamin wajib melaksanakan rencana
pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2).

BAB XVII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 65
(1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (3) Lembaga Penjamin tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (1) dan/atau ayat (2) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, Lembaga Penjamin dikenai sanksi
administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin
UUS.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi
tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatalan persetujuan; dan/atau
- 55 -

c. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.


(3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun
pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang
berakhir dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat diberikan paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut
sanksi peringatan tertulis.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS.
(7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis,
sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan
kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
- 56 -

(9) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan


kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilarang melakukan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS.
(11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap
melakukan kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi
pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan
izin UUS.
(12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan
mencabut izin usaha dan/atau izin UUS Lembaga
Penjamin yang bersangkutan.
(13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi
pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan
izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
kepada masyarakat.

Pasal 66
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat
- 57 -

(2), ayat (8), atau ayat (11) Peraturan Otoritas Jasa


Keuangan ini dikenai sanksi administratif secara
bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan izin
UUS.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi
tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatalan persetujuan; dan/atau
c. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun
pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang
berakhir dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat diberikan paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat
(2), ayat (8), atau ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan
mencabut sanksi peringatan tertulis.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat
(2), ayat (8), atau ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS.
- 58 -

(7) Dalam hal Lembaga Penjamin tidak memenuhi


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat
(1), ayat (2), ayat (8), atau ayat (11) sampai dengan
berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga
Penjamin dimaksud dikenakan sanksi pencabutan izin
usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS tanpa
didahului sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (6).
(8) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis,
sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan
kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(10) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
dilarang melakukan kegiatan usaha.
(11) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan
usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Lembaga
Penjaminan:
a. dilarang melakukan penjaminan; dan
b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan
segala kewajiban termasuk kewajiban penjaminan
yang telah dilakukan sebagaimana tercantum
dalam Sertifikat Penjaminan, Sertifikat Kafalah,
dan/atau perjanjian kerja sama.
- 59 -

(12) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu


pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), Lembaga Penjamin telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (1), ayat (2), ayat (8), dan ayat (11),
Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS.
(13) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan
kegiatan usaha penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan
dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin
usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS.
(14) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(8), Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), ayat
(2), ayat (8), atau ayat (11), Otoritas Jasa Keuangan
mencabut izin usaha dan/atau izin UUS Lembaga
Penjamin yang bersangkutan.
(15) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi
pencabutan izin usaha dan/atau sanksi pencabutan
izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
kepada masyarakat.

Pasal 67
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 11
ayat (4), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 20 ayat (2), Pasal 25
ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38 ayat (1), ayat (3), ayat (4),
- 60 -

ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10),
ayat (11), ayat (12), dan ayat (14), Pasal 39, Pasal 40
ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60,
Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 62 ayat
(1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai
sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Perusahaan Penjaminan yang mempunyai UUS yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13, Pasal
14, Pasal 20 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30 ayat (1),
Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (1),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat
(9), ayat (10), ayat (12), dan ayat (14), Pasal 39, Pasal 40
ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60, dan/atau Pasal 62
ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai
sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha UUS; atau
c. pencabutan izin UUS.
(3) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2)
namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang
berakhir dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan/atau ayat (2) huruf a, dapat
diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2
(dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat
- 61 -

(2), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi


peringatan tertulis.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2),
Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS.
(7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis,
sanksi pembekuan kegiatan usaha, dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan tertulis, sanksi pembekuan
kegiatan usaha, dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(9) Lembaga Penjamin yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
dilarang melakukan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha dan/atau pembekuan
kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2),
Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan
kegiatan usaha dan/atau sanksi pembekuan kegiatan
usaha UUS.
(11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan
kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan
- 62 -

dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin


usaha dan/atau sanksi pencabutan izin UUS.
(12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) Lembaga Penjamin tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan
mencabut izin usaha dan/atau izin UUS Lembaga
Penjamin yang bersangkutan.
(13) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan/atau ayat (2) huruf b dan/atau
sanksi pencabutan izin usaha dan/atau sanksi
pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dan/atau ayat (2) huruf c kepada masyarakat.

Pasal 68
(1) Lembaga Penjamin yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dikenai sanksi administratif tambahan berupa denda
administratif.
(2) Besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan; dan
b. paling banyak Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam
puluh juta rupiah) untuk laporan keuangan
tahunan yang terlambat disampaikan.

Pasal 69
(1) Lembaga penunjang penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 49 ayat (1), Pasal 51 ayat (2),
Pasal 52, Pasal 53 ayat (2), Pasal 54 ayat (2), dan/atau
Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan
- 63 -

Otoritas Jasa Keuangan ini dikenai sanksi administratif


secara bertahap berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pembatalan pernyataan pendaftaran.
(2) Lembaga penunjang penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun
pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan sanksi peringatan tertulis pertama yang
berakhir dengan sendirinya.
(3) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), lembaga penunjang penjaminan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan
tertulis.
(5) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan
lembaga penunjang penjaminan tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan tertulis
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir
pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja
pertama berikutnya.
(8) Lembaga penunjang penjaminan yang dikenakan
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
- 64 -

dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan


usaha.
(9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), lembaga penunjang penjaminan telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan lembaga penunjang penjaminan tetap
melakukan kegiatan usaha Penjaminan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi
pembatalan pernyataan pendaftaran.
(11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), lembaga penunjang penjaminan tidak
juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan membatalkan
pernyataan pendaftaran lembaga penunjang
penjaminan yang bersangkutan.
(12) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan/atau sanksi pembatalan
pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c kepada masyarakat.

BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 70
(1) Bagi Lembaga Penjamin yang telah mendapatkan izin
usaha pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan dan telah melaksanakan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf j dikecualikan dari ketentuan
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
- 65 -

diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai


pembentukan cadangan Klaim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 paling lama 1 (satu) tahun sejak
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(3) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
jangka waktu pembayaran Klaim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (3)
paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini diundangkan.
(4) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (4) paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(5) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
nilai Penjaminan bagi Usaha Produktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) paling lama 1 (satu)
tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan.
(6) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan harus memenuhi ketentuan mengenai
Ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
dan ayat (2), paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(7) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan harus memenuhi ketentuan mengenai
Ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3)
dan ayat (4), paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
- 66 -

(8) UUS yang telah memperoleh izin usaha sebelum


Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32, paling lama 5 (lima) tahun sejak
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(9) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
kondisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(10) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (1)
dan ayat (3) paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(11) Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan wajib memenuhi ketentuan mengenai
pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) paling
lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan.

BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 71
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha
Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.

Pasal 72
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
- 67 -

6/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga


Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5528) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 73
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017

KETUA DEWAN KOMISIONER


OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 7
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum

ttd

Yuliana
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN


NOMOR 40 /POJK.05/2015
TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 ayat (2)


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembinaan dan
Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga


Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN
EKSPOR INDONESIA.
-2-

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang
selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia.
2. Pemerintah adalah pemerintah negara Republik
Indonesia.
3. Pembiayaan adalah kredit dan/atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah yang disediakan oleh
LPEI.
4. Penjaminan adalah pemberian fasilitas jaminan
untuk menanggung pembayaran kewajiban keuangan
pihak terjamin dalam hal pihak terjamin tidak dapat
memenuhi kewajiban perikatan kepada krediturnya.
5. Asuransi adalah pemberian fasilitas berupa ganti rugi
atas kerugian yang timbul sebagai akibat dari suatu
peristiwa yang tidak pasti.
6. Prinsip Syariah adalah pokok-pokok aturan
berdasarkan hukum Islam yang dijadikan landasan
dalam pembuatan perjanjian antara LPEI dan pihak
lain dalam menjalankan kegiatan pembiayaan ekspor
nasional.
7. Transaksi Derivatif adalah suatu kontrak atau
perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan
turunan dari nilai dari instrumen yang mendasari,
seperti suku bunga, nilai tukar komoditi, ekuitas dan
indeks baik yang diikuti pergerakan atau tanpa
pergerakan dana/instrumen, yang dilakukan dalam
rangka lindung nilai (hedging).
-3-

8. Batas Maksimum Transaksi Derivatif yang


selanjutnya disingkat dengan BMTD adalah
persentase maksimum transaksi derivatif yang
diperkenankan terhadap ekuitas LPEI.
9. Ekuitas adalah ekuitas LPEI sebagaimana dilaporkan
dalam laporan posisi keuangan.
10. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi
keuntungan dari suatu perjanjian/kontrak Transaksi
Derivatif (selisih positif antara nilai kontrak dengan
nilai wajar Transaksi Derivatif pada tanggal laporan),
termasuk potensi keuntungan karena mark to market
dari transaksi spot yang masih berjalan.
11. Aktiva adalah aktiva produktif dan aktiva non
produktif yang dilaksanakan secara konvensional
maupun berdasarkan Prinsip Syariah.
12. Aktiva Produktif adalah penanaman dana LPEI untuk
memperoleh penghasilan.
13. Aktiva Non Produktif adalah aset LPEI selain Aktiva
Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain
dalam bentuk agunan yang diambil alih, rekening
antar kantor dan suspense account.
14. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul
sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap
wesel berjangka.
15. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban
komitmen dan kontinjensi yang antara lain
meliputi penerbitan jaminan, letter of credit,
standby letter of credit, fasilitas pembiayaan yang
belum ditarik dan/atau kewajiban komitmen dan
kontinjensi lain.
16. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan hutang berjangka waktu pendek.
17. Agunan Yang Diambil Alih yang selanjutnya disingkat
AYDA adalah aktiva yang diperoleh LPEI, baik
melalui pelelangan maupun di luar pelelangan
-4-

berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik


agunan dalam hal peminjam tidak memenuhi
kewajibannya kepada LPEI.
18. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul
dari transaksi antar kantor yang belum diselesaikan
dalam jangka waktu tertentu.
19. Suspense Account adalah akun yang tujuan
pencatatannya belum teridentifikasi sehingga tidak
dapat direklasifikasi dalam akun yang seharusnya.
20. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang selanjutnya
disingkat PPA adalah cadangan yang harus dibentuk
sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas
Aktiva.
21. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan yang
selanjutnya disingkat BMPP adalah persentase
maksimum penanaman dana dalam bentuk
pembiayaan, penempatan, dan tagihan akseptasi
yang diperkenankan terhadap Ekuitas LPEI.
22. Pelampauan BMPP adalah selisih lebih antara
persentase BMPP yang diperkenankan dengan
persentase penanaman dana terhadap Ekuitas LPEI
pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk
pelanggaran BMPP.
23. Pelanggaran BMPP adalah selisih lebih antara
persentase BMPP yang diperkenankan dengan
persentase penanaman dana terhadap Ekuitas LPEI
pada saat penanaman dana.
24. Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang ganti
rugi atas kerugian atau fasilitas jaminan untuk
setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa
didukung reasuransi atau penjaminan ulang.
25. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
-5-

BAB II
KEGIATAN USAHA

Pasal 2
(1) Kegiatan usaha LPEI meliputi:
a. Pembiayaan;
b. Penjaminan;
c. Asuransi; dan
d. jasa konsultasi.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, dan huruf c dapat dilakukan
berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Pembiayaan bagi hasil dengan akad mudharabah,
akad musyarakah, atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. Pembiayaan dengan akad murabahah, akad
salam, akad istishna’, atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. Pembiayaan dengan akad qardh atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. Pembiayaan penyewaan dengan akad ijarah, akad
ijarah muntahiyah bit tamlik, atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. penerimaan kuasa dalam rangka pengambilalihan
hutang piutang atau kegiatan lain dengan akad
hawalah, akad wakalah, atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
dan/atau
f. Penjaminan dengan akad kafalah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
(4) Dalam melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah, LPEI wajib:
a. membuka unit kerja khusus;
b. mengalokasikan modal tersendiri;
c. melakukan pembukuan secara terpisah;
-6-

d. menunjuk dewan pengawas syariah; dan


e. tunduk pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

Pasal 3
LPEI wajib menerapkan prinsip tata kelola perusahaan
yang baik, penerapan manajemen risiko, dan prinsip
mengenal nasabah dalam setiap kegiatannya.

BAB III
SUMBER PENDANAAN

Pasal 4
(1) Untuk membiayai kegiatannya, LPEI dapat
memperoleh dana dari:
a. penerbitan surat berharga;
b. pinjaman jangka pendek, jangka menengah,
dan/atau jangka panjang yang bersumber dari:
1. pemerintah asing;
2. lembaga multilateral;
3. bank serta lembaga keuangan dan
pembiayaan, baik dari dalam maupun luar
negeri; dan/atau
4. Pemerintah; dan/atau
c. hibah.
(2) Selain memperoleh dana dari sumber sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), LPEI dapat membiayai
kegiatannya dengan sumber pendanaan dari
penempatan dana oleh Bank Indonesia.

Pasal 5
(1) Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dapat diperoleh berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Akad yang digunakan dalam pendanaan berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa akad mudharabah, akad mudharabah
musytarakah, akad ijarah, akad murabahah, akad
-7-

qardh, dan akad jualah atau akad lain sesuai


penetapan OJK.

Pasal 6
(1) LPEI wajib memenuhi ketentuan gearing ratio paling
tinggi 20 (dua puluh) kali.
(2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman
yang diterima dan surat berharga yang diterbitkan
terhadap Ekuitas.

BAB IV
TRANSAKSI DERIVATIF

Pasal 7
(1) LPEI wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
mengelola tagihan dan/atau kewajiban yang timbul
dari Transaksi Derivatif.
(2) Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang dilakukan kecuali dalam rangka lindung
nilai (hedging).

Pasal 8
(1) BMTD untuk setiap pihak lawan ditetapkan sebesar
10% (sepuluh persen) dari Ekuitas.
(2) BMTD dihitung berdasarkan risiko Transaksi Derivatif
yang terdiri dari Tagihan Derivatif ditambah potential
future credit exposure.

BAB V
KUALITAS AKTIVA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9
(1) LPEI wajib menilai, memantau, dan mengambil
-8-

langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva


senantiasa baik.
(2) Penilaian kualitas Aktiva dilakukan terhadap Aktiva
Produktif dan Aktiva Non Produktif.

Bagian Kedua
Aktiva Produktif

Paragraf 1
Umum

Pasal 10
(1) LPEI wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap:
a. 1 (satu) peminjam dengan beberapa rekening
yang berbeda; dan/atau
b. 1 (satu) peminjam yang dibiayai oleh beberapa
kreditur untuk membiayai proyek yang sama.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Aktiva
Produktif, kualitas Aktiva Produktif yang digunakan
adalah yang paling rendah.
(3) LPEI dapat menetapkan kualitas Aktiva Produktif yang
berbeda, dalam hal:
a. penetapan kualitas Aktiva Produktif
menggunakan faktor risiko negara (country risk)
Republik Indonesia;
b. penetapan kualitas Aktiva Produktif yang paling
rendah telah dihapus buku;
c. Pembiayaan sampai dengan jumlah
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
dan/atau
d. peminjam memiliki beberapa proyek yang berbeda
dengan pemisahan arus kas (cash flow) yang
tegas dari masing-masing proyek.
(4) LPEI wajib melakukan penyesuaian kualitas Aktiva
Produktif paling sedikit setiap 3 (tiga) bulan, yaitu
untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan
Desember.
-9-

Pasal 11
(1) LPEI wajib menetapkan kriteria peminjam yang wajib
menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit
kantor akuntan publik termasuk aturan mengenai
batas waktu penyampaian laporan keuangan tersebut.
(2) LPEI wajib mencantumkan kewajiban peminjam untuk
menyampaikan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam perjanjian antara LPEI
dan peminjam.
(3) Kualitas Aktiva Produktif dari peminjam yang tidak
menyampaikan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan
dinilai paling tinggi kurang lancar.

Paragraf 2
Pembiayaan

Pasal 12
(1) Kualitas Pembiayaan ditetapkan berdasarkan faktor
penilaian:
a. prospek usaha;
b. kinerja (performance) peminjam; dan/atau
c. kemampuan membayar.
(2) Penilaian terhadap prospek usaha meliputi komponen:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi peminjam dalam
persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga
kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan peminjam dalam rangka
memelihara lingkungan hidup.
(3) Penilaian terhadap kinerja (performance) peminjam
meliputi komponen:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
- 10 -

d. sensitivitas terhadap risiko pasar.


(4) Penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi
komponen:
a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga, atau
margin/bagi hasil/fee untuk kegiatan
berdasarkan Prinsip Syariah;
b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan
peminjam;
c. kelengkapan dokumentasi Pembiayaan;
d. kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan;
e. kesesuaian penggunaan dana; dan
f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
(5) Penilaian kualitas Pembiayaan ditetapkan menjadi:
a. lancar;
b. dalam perhatian khusus;
c. kurang lancar;
d. diragukan; atau
e. macet.
(6) Penilaian kualitas Pembiayaan dilakukan sesuai
dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.

Pasal 13
(1) Penilaian faktor kemampuan membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf a untuk
Pembiayaan dengan akad mudharabah dan akad
musyarakah mengacu pada ketepatan pembayaran
angsuran pokok dan/atau pencapaian rasio antara
Realisasi Pendapatan (RP) dengan Proyeksi
Pendapatan (PP).
(2) Penghitungan RP dan PP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung berdasarkan rata-rata akumulasi
selama periode Pembiayaan berdasarkan analisis
kelayakan usaha dan arus kas masuk nasabah.
(3) LPEI dapat mengubah PP berdasarkan kesepakatan
dengan nasabah apabila terdapat perubahan atas
- 11 -

kondisi ekonomi makro, bisnis, pasar, dan politik yang


mempengaruhi usaha nasabah.
(4) RP dan PP merupakan bagian tidak terpisahkan dari
perjanjian Pembiayaan dengan akad mudharabah dan
akad musyarakah.

Paragraf 3
Pembiayaan Bermasalah

Pasal 14
(1) Kualitas Pembiayaan yang dikategorikan sebagai
Pembiayaan bermasalah (non performing financing)
terdiri atas Pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet.
(2) LPEI dilarang memiliki Pembiayaan dengan kategori
kualitas Pembiayaan bermasalah (non performing
financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
dikurangi cadangan penyisihan penghapusan
Pembiayaan, lebih dari 5% (lima persen) dari total
Pembiayaan.

Paragraf 4
Surat Berharga

Pasal 15
(1) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat
berharga, termasuk surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah, yang diterbitkan oleh:
a. Pemerintah;
b. Bank Indonesia;
c. pemerintah negara donor; atau
d. lembaga keuangan multilateral;
ditetapkan lancar.
(2) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat
berharga selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan
memiliki kualitas lancar sepanjang memenuhi
- 12 -

persyaratan:
a. aktif diperdagangkan di bursa efek;
b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
c. kupon, imbalan, atau kewajiban lain yang sejenis
dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat,
sesuai perjanjian; dan
d. belum jatuh tempo.
(3) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat
berharga, termasuk surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah, yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
huruf a dan/atau huruf b atau surat berharga yang
diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan:
a. lancar, apabila:
1. termasuk dalam kategori yang layak untuk
investasi (investment grade);
2. kupon atau kewajiban lain yang sejenis
dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat,
sesuai perjanjian; dan
3. belum jatuh tempo;
b. kurang lancar, apabila:
1. termasuk dalam kategori yang layak untuk
investasi (investment grade);
2. terdapat penundaan pembayaran kupon atau
kewajiban lain yang sejenis, bagi
hasil/marjin/fee; dan
3. belum jatuh tempo,
atau
1. memiliki peringkat paling sedikit 1 (satu)
tingkat di bawah kategori yang layak untuk
investasi (investment grade);
2. tidak terdapat penundaan pembayaran
kupon atau kewajiban lain yang sejenis; dan
3. belum jatuh tempo; atau
c. macet, apabila surat berharga tidak memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
b.
- 13 -

Paragraf 5
Penempatan Dalam Bentuk Simpanan

Pasal 16
(1) Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan Rupiah
atau valuta asing pada Bank Indonesia ditetapkan
lancar.
(2) Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan pada
bank dalam dan/atau luar negeri ditetapkan:
a. lancar, apabila:
1. bank penerima penempatan memiliki rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) paling sedikit sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
2. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/atau bunga;
b. kurang lancar, apabila:
1. bank penerima penempatan memiliki rasio
KPMM paling sedikit sama dengan ketentuan
yang berlaku; dan
2. terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/atau bunga sampai dengan 5 (lima) hari
kerja;
c. macet, apabila:
1. bank penerima penempatan memiliki rasio
KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku;
2. bank penerima penempatan telah ditetapkan
dan diumumkan sebagai bank dengan status
dalam pengawasan khusus (special
surveillance) atau bank telah dikenakan
sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3. bank penerima penempatan ditetapkan
sebagai bank dalam likuidasi; dan/atau
4. terdapat tunggakan pembayaran pokok
dan/atau bunga lebih dari 5 (lima) hari
kerja.
- 14 -

Pasal 17
(1) Penempatan dalam bentuk simpanan dengan Prinsip
Syariah terdiri dari:
a. surat berharga pasar uang syariah; dan
b. penempatan dalam bentuk lain.
(2) Kualitas penempatan surat berharga pasar uang
syariah ditetapkan:
a. lancar, apabila memenuhi persyaratan:
1. terdapat informasi tentang surat berharga
tersebut secara transparan;
2. telah diterima imbalan dalam jumlah dan
waktu yang tepat, sesuai akad; dan
3. belum jatuh tempo;
b. macet, apabila tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(3) Kualitas penempatan dalam bentuk lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan:
a. lancar, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki
rasio KPMM paling kurang sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
2. memenuhi persyaratan:
a) tidak terdapat tunggakan pembayaran
pokok untuk akad qardh;
b) dapat ditarik setiap saat untuk giro
berdasarkan akad wadiah; atau
c) tidak terdapat tunggakan pembayaran
nominal investasi dan/atau bagi hasil
deposito berdasarkan akad mudharabah
atau akad murabahah;
b. kurang lancar, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki
rasio KPMM paling sedikit sama dengan
ketentuan yang berlaku; dan
2. memenuhi persyaratan:
- 15 -

a) terdapat tunggakan pembayaran pokok


sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk
akad qardh;
b) tidak dapat ditarik sampai dengan 5
(lima) hari kerja untuk giro berdasarkan
akad wadiah; atau
c) terdapat tunggakan pembayaran
nominal investasi dan/atau bagi hasil
sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk
deposito dengan akad mudharabah atau
akad murabahah;
c. macet, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki
rasio KPMM kurang dari ketentuan yang
berlaku;
2. bank yang menerima penempatan telah
ditetapkan dan diumumkan sebagai bank
dengan status dalam pengawasan khusus
(special surveillance) atau bank telah
dikenakan sanksi pembekuan seluruh
kegiatan usaha;
3. bank yang menerima penempatan ditetapkan
sebagai bank dalam likuidasi; dan/atau
4. memenuhi persyaratan:
a) terdapat tunggakan pembayaran pokok
untuk akad qardh lebih dari 5 (lima)
hari kerja;
b) tidak dapat ditarik saat jangka waktu
lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk giro
berdasarkan akad wadiah; atau
c) terdapat tunggakan pembayaran
nominal investasi dan/atau bagi hasil
lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk
deposito berdasarkan akad mudharabah
atau akad murabahah.
- 16 -

Paragraf 6
Tagihan Akseptasi dan Tagihan Derivatif

Pasal 18
Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan kualitas penempatan dalam bentuk
simpanan di bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (2), apabila pihak yang wajib melunasi tagihan
adalah bank; atau
b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, apabila pihak yang wajib
melunasi tagihan adalah peminjam.

Pasal 19
Kualitas Tagihan Derivatif dalam rangka melakukan
lindung nilai (hedging) ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas penempatan dalam
bentuk simpanan di bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2), apabila pihak lawan
transaksi (counterparty) adalah bank; atau
b. ketentuan kualitas Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, apabila pihak lawan
transaksi (counterparty) adalah bukan bank.

Paragraf 7
Penyertaan Modal

Pasal 20
(1) Kualitas penyertaan modal yang dinilai berdasarkan
metode biaya (cost method) ditetapkan:
a. lancar, apabila penerima penyertaan modal
(investee) memperoleh laba dan tidak
mengalami kerugian kumulatif;
b. kurang lancar, apabila penerima penyertaan
modal (investee) mengalami kerugian kumulatif
sampai dengan 25% (dua puluh lima persen)
- 17 -

dari modal penerima penyertaan modal


(investee);
c. diragukan, apabila penerima penyertaan modal
(investee) mengalami kerugian kumulatif lebih
dari 25% (dua puluh lima persen) sampai
dengan 50% (lima puluh persen) dari modal
penerima penyertaan modal (investee); atau
d. macet, apabila penerima penyertaan modal
(investee) mengalami kerugian kumulatif lebih
dari 50% (lima puluh persen) dari modal
penerima penyertaan modal (investee).
(2) Kerugian kumulatif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan laporan keuangan tahun
buku terakhir yang telah diaudit.
(3) Kualitas penyertaan modal yang dinilai
berdasarkan metode ekuitas (equity method)
ditetapkan lancar.

Paragraf 8
Penyertaan Modal Sementara

Pasal 21
Kualitas penyertaan modal sementara ditetapkan:
a. lancar, apabila belum melampaui jangka waktu 1
(satu) tahun;
b. kurang lancar, apabila telah melampaui jangka
waktu 1 (satu) tahun namun belum melampaui
jangka waktu 3 (tiga) tahun;
c. diragukan, apabila telah melampaui jangka waktu
3 (tiga) tahun namun belum melampaui jangka
waktu 5 (lima) tahun; atau
d. macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5
(lima) tahun atau belum ditarik kembali meskipun
perusahaan peminjam telah memiliki laba
kumulatif.
- 18 -

Paragraf 9
Transaksi Rekening Administratif

Pasal 22
Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan
berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas penempatan dalam
bentuk simpanan di bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2), apabila pihak lawan transaksi
(counterparty) adalah bank;
b. ketentuan penetapan kualitas Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, apabila pihak
lawan transaksi (counterparty) adalah peminjam.

Paragraf 10
Aktiva Produktif yang Dijamin dengan Agunan Tunai

Pasal 23
(1) Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan tunai
ditetapkan memiliki kualitas lancar.
(2) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. deposito di bank, setoran jaminan, dan/atau
emas;
b. SBI, SBI syariah, surat utang negara, sukuk,
dan/atau surat berharga lainnya yang
diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank
Indonesia;
c. jaminan Pemerintah dan/atau pemerintah asing
yang termasuk dalam kategori yang layak
untuk investasi (investment grade); dan/atau
d. standby letter of credit sesuai dengan Uniform
Customs and Practice for Documentary Credits
(UCP) atau International Standby Practices (ISP)
yang diterbitkan oleh bank berperingkat sampai
dengan 200 Banker’s Almanac atau Export
Credit Agency (ECA) yang termasuk dalam
- 19 -

kategori yang layak untuk investasi (investment


grade).
(3) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dan huruf b harus memenuhi persyaratan:
a. diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa;
b. jangka waktu pemblokiran paling kurang sama
dengan jangka waktu Aktiva Produktif;
c. memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally
enforceable); dan
d. disimpan pada LPEI dan/atau bank
Pemerintah.
(4) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c dan huruf d harus memenuhi persyaratan:
a. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak
dapat dibatalkan (irrevocable);
b. harus dapat dicairkan paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak diajukannya klaim, termasuk
pencairan sebagian untuk membayar tunggakan
angsuran pokok atau bunga; dan
c. mempunyai jangka waktu paling kurang sama
dengan jangka waktu Aktiva Produktif.

Pasal 24
LPEI harus mengajukan klaim pencairan agunan tunai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 paling lama 5
(lima) hari kerja setelah peminjam wanprestasi (event of
default) berdasarkan penetapan LPEI.

Paragraf 11
Pembiayaan dan Penempatan Dana
kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dan Daerah Tertentu

Pasal 25
(1) LPEI wajib memiliki nilai Pembiayaan baru kepada
debitur usaha mikro, kecil, dan menengah paling
- 20 -

rendah sebesar 5% (lima persen) dari total


Pembiayaan.
(2) Ketentuan mengenai Pembiayaan baru kepada debitur
usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk posisi tiap
akhir tahun buku dan untuk pertama kalinya berlaku
untuk posisi akhir tahun 2016.
(3) Laporan realisasi Pembiayaan baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan ke OJK secara
bulanan bersamaan dengan penyampaian laporan
bulanan.

Pasal 26
Penetapan kualitas hanya didasarkan atas ketepatan
pembayaran pokok dan/atau bunga untuk:
a. Pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah; dan
b. Pembiayaan dan penempatan dana kepada peminjam
dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah
tertentu yang ditetapkan oleh OJK.

Paragraf 12
Rasio Pembiayaan Terhadap Total Aset

Pasal 27
LPEI wajib memiliki rasio piutang Pembiayaan terhadap
total aset (financing to asset ratio) paling rendah sebesar
75% (tujuh puluh lima persen).

Bagian Ketiga
Aktiva Non Produktif

Paragraf 1
Umum

Pasal 28
Aktiva Non Produktif meliputi AYDA, Rekening Antar
Kantor, dan Suspense Account.
- 21 -

Paragraf 2
AYDA

Pasal 29
(1) LPEI harus melakukan upaya penyelesaian terhadap
AYDA.
(2) LPEI harus mendokumentasikan upaya penyelesaian
AYDA.
(3) Pada saat pengambilalihan agunan, LPEI harus
melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk
menetapkan net realizable value.
(4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan oleh penilai eksternal.
(5) Penilai eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
adalah penilai yang memenuhi syarat:
a. tidak merupakan pihak terkait dengan peminjam
LPEI;
b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode
etik profesi dan ketentuan yang ditetapkan oleh
institusi yang berwenang;
c. menggunakan metode penilaian berdasarkan
standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh
institusi yang berwenang;
d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang
untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan
e. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui
oleh institusi yang berwenang.

Pasal 30
(1) Kualitas AYDA yang dilakukan upaya penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
ditetapkan:
a. lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1
(satu) tahun;
b. kurang lancar, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1
(satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. diragukan, apabila AYDA dimiliki lebih dari 3
- 22 -

(tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; atau


d. macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 5 (lima)
tahun.
(2) AYDA yang tidak dilakukan upaya penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1),
ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat di bawah
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Paragraf 3
Rekening Antar Kantor dan Suspense Account

Pasal 31
(1) LPEI harus melakukan upaya penyelesaian Rekening
Antar Kantor dan Suspense Account.
(2) Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
ditetapkan:
a. lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan
Suspense Account tercatat dalam pembukuan
LPEI sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari;
atau
b. macet, apabila Rekening Antar Kantor dan
Suspense Account tercatat dalam pembukuan
LPEI lebih dari 90 (sembilan puluh) hari.

Bagian Keempat
Penyisihan Penghapusan Aktiva

Paragraf 1
Umum

Pasal 32
(1) LPEI wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif
dan Aktiva Non Produktif.
(2) PPA terdiri dari:
a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk
Aktiva Produktif; dan
b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif.
- 23 -

(3) Cadangan umum ditetapkan paling kurang sebesar 1%


(satu persen) dari Aktiva Produktif yang memiliki
kualitas lancar.
(4) Pembentukan cadangan umum dikecualikan untuk
Aktiva Produktif dalam bentuk:
a. surat berharga yang diterbitkan Pemerintah;
b. SBI;
c. surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah
negara donor;
d. surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
keuangan multilateral; dan
e. bagian Aktiva Produktif yang dijamin dengan
agunan tunai.
(5) Cadangan khusus ditetapkan paling rendah sebesar:
a. 5% (lima persen) dari Aktiva dengan kualitas
dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai
agunan;
b. 15% (lima belas persen) dari Aktiva dengan
kualitas kurang lancar setelah dikurangi nilai
agunan;
c. 50% (lima puluh persen) dari Aktiva dengan
kualitas diragukan setelah dikurangi nilai
agunan; dan/atau
d. 100% (seratus persen) dari Aktiva dengan kualitas
macet setelah dikurangi nilai agunan.
(6) Kewajiban untuk membentuk PPA tidak berlaku bagi
Aktiva Produktif untuk transaksi sewa berupa
Pembiayaan dengan akad ijarah atau transaksi sewa
dengan perpindahan hak milik berupa Pembiayaan
dengan akad ijarah muntahiyah bit tamlik.
(7) LPEI harus membentuk penyusutan/amortisasi untuk
transaksi sewa, dengan ketentuan:
a. Pembiayaan dengan akad ijarah
disusutkan/diamortisasi sesuai dengan kebijakan
penyusutan LPEI bagi aktiva yang sejenis; atau
b. Pembiayaan dengan akad ijarah muntahiyah bit
tamlik disusutkan sesuai dengan masa sewa.
- 24 -

(8) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang


dalam perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) hanya dapat dilakukan untuk Aktiva
Produktif.
(9) Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dalam
bentuk Pembiayaan dengan akad murabahah, akad
salam, dan akad istishna’ mempergunakan angka
saldo harga perolehan atau saldo harga pokok.

Paragraf 2
Persyaratan Agunan dan Perhitungan Agunan
sebagai Faktor Pengurang PPA

Pasal 33
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang
dalam pembentukan PPA ditetapkan:
a. surat berharga dan saham yang aktif diperdagangkan
di bursa efek atau termasuk dalam kategori yang layak
untuk investasi (investment grade) yang ditetapkan
oleh lembaga pemeringkat dan diikat secara gadai;
b. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara
fidusia;
c. resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi
gudang;
d. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
dan diikat dengan hak tanggungan;
e. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas
20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan
hipotek; dan/atau
f. tanah, rumah tinggal, dan gedung yang diikat dengan
hak tanggungan.

Pasal 34
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
kecuali huruf a harus:
a. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah;
b. diikat sesuai dengan peraturan perundang-
- 25 -

undangan yang berlaku untuk memberikan hak


preferensi bagi LPEI; dan
c. dilindungi asuransi dengan klausula yang
memberikan hak kepada LPEI untuk menerima
uang pertanggungan dalam hal terjadi
pembayaran klaim.
(2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan
asuransi terhadap agunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c harus memenuhi syarat:
a. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan sesuai
yang ditetapkan institusi yang berwenang; dan
b. bukan merupakan pihak terkait dengan LPEI
atau kelompok peminjam, kecuali apabila
direasuransikan kepada perusahaan asuransi
dan/atau reasuransi yang bukan merupakan
pihak terkait dengan LPEI atau kelompok
peminjam.

Pasal 35
(1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai
pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan:
a. surat berharga dan saham yang aktif
diperdagangkan di bursa efek atau termasuk
dalam kategori yang layak untuk investasi
(investment grade), ditetapkan paling tinggi
sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai yang
tercatat di bursa efek pada akhir bulan;
b. tanah, gedung, rumah tinggal, mesin yang
dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah,
pesawat udara, kapal laut, kendaraan bermotor,
persediaan, dan resi gudang, ditetapkan paling
tinggi sebesar:
1. 70% (tujuh puluh persen) dari penilaian,
apabila penilaian dilakukan dalam 18
(delapan belas) bulan terakhir;
2. 50% (lima puluh persen) dari penilaian,
apabila penilaian yang dilakukan telah
- 26 -

melampaui jangka waktu 18 (delapan belas)


bulan namun belum melampaui 24 (dua
puluh empat) bulan;
3. 30% (tiga puluh persen) dari penilaian,
apabila penilaian yang dilakukan telah
melampaui jangka waktu 24 (dua puluh
empat) bulan namun belum melampaui 30
(tiga puluh) bulan; atau
4. 0% (nol persen) dari penilaian, apabila
penilaian yang dilakukan telah melampaui
jangka waktu 30 (tiga puluh) bulan.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh penilai eksternal.

Bagian Kelima
Pelaporan

Pasal 36
LPEI wajib menyampaikan laporan kualitas aktiva sesuai
dengan Peraturan OJK mengenai laporan bulanan lembaga
jasa keuangan non-bank.

BAB VI
CADANGAN KERUGIAN PENURUNAN NILAI
PIUTANG PEMBIAYAAN

Pasal 37
(1) LPEI wajib membentuk cadangan kerugian penurunan
nilai piutang Pembiayaan sesuai standar akuntansi
keuangan yang berlaku.
(2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai
piutang Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dalam rangka penyusunan laporan
keuangan.
- 27 -

BAB VII
BMPP

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 38
(1) Dalam memberikan Pembiayaan dan penempatan
dana, LPEI wajib memperhatikan BMPP.
(2) LPEI dilarang membuat suatu perikatan atau
perjanjian atau menetapkan persyaratan yang
mewajibkan LPEI untuk memberikan Pembiayaan
yang akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran
BMPP.
(3) BMPP unit kerja syariah mengacu kepada BMPP LPEI.

Bagian Kedua
BMPP Kepada Pihak Terkait

Pasal 39
LPEI wajib memenuhi BMPP kepada pihak terkait paling
tinggi 10% (sepuluh persen) dari Ekuitas.

Pasal 40
(1) LPEI dilarang memberikan perlakuan yang berbeda
dalam penanaman dana kepada pihak terkait.
(2) Penanaman dana kepada pihak tidak terkait, untuk
keuntungan pihak terkait, digolongkan sebagai
penanaman dana kepada pihak terkait.

Pasal 41
Pihak terkait meliputi:
a. anggota dewan direktur dan direktur pelaksana LPEI;
b. perusahaan/badan dimana LPEI bertindak sebagai
pengendali;
c. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal
- 28 -

dari anggota dewan direktur dan direktur pelaksana


pada LPEI; dan
d. perusahaan/badan dimana dewan direktur dan/atau
direktur pelaksana LPEI bertindak sebagai pengendali.

Bagian Ketiga
BMPP Kepada Pihak Tidak Terkait

Pasal 42
(1) LPEI wajib memenuhi BMPP kepada 1 (satu) peminjam
paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas.
(2) LPEI wajib memenuhi BMPP kepada kelompok
peminjam paling tinggi 25% (dua puluh lima persen)
dari Ekuitas.

Bagian Keempat
Perhitungan BMPP

Paragraf 1
Pembiayaan

Pasal 43
(1) BMPP untuk Pembiayaan dihitung berdasarkan baki
debet.
(2) Peminjam untuk pengambilalihan tagihan dalam
rangka anjak piutang atau pembelian pembiayaan
dengan persyaratan tanpa janji untuk membeli
kembali (without recourse) adalah pihak yang
berkewajiban untuk melunasi piutang.
(3) Peminjam untuk pengambilalihan dalam rangka anjak
piutang atau pembelian pembiayaan dengan
persyaratan janji untuk membeli kembali ( with
recourse) adalah pihak yang menjual
tagihan/pembiayaan.
(4) Baki debet untuk pengambilalihan dalam rangka
anjak piutang atau pembelian pembiayaan dihitung
berdasarkan harga beli.
- 29 -

Paragraf 2
Surat Berharga

Pasal 44
BMPP untuk penempatan dalam bentuk surat berharga
dihitung berdasarkan harga beli.

Paragraf 3
Tagihan Akseptasi

Pasal 45
BMPP untuk Tagihan Akseptasi dihitung sebesar nilai wesel
yang diaksep.

Paragraf 4
Transaksi Rekening Administratif

Pasal 46
(1) Transaksi Rekening Administratif berupa jaminan
(guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit
(SBLC), atau instrumen serupa lainnya ditetapkan
sebagai Pembiayaan kepada pemohon (applicant).
(2) BMPP untuk Transaksi Rekening Administratif
dihitung sebesar nilai yang telah diterbitkan
(outstanding).
(3) Jaminan untuk peminjam dan/atau kelompok
peminjam yang diterima LPEI dari bank dan/atau
pihak lain tidak diperhitungkan sebagai pengurang
Pembiayaan.

Bagian Kelima
Pelampauan BMPP

Pasal 47
(1) Pelampauan BMPP dapat disebabkan oleh hal-hal:
a. penurunan Ekuitas;
b. perubahan nilai tukar;
- 30 -

c. perubahan nilai wajar;


d. penggabungan usaha dan/atau perubahan
struktur kepengurusan yang menyebabkan
perubahan pihak terkait dan atau kelompok
peminjam; dan/atau
e. perubahan ketentuan.
(2) Pelampauan BMPP dihitung berdasarkan nilai yang
tercatat pada tanggal laporan.

Pasal 48
Ketentuan mengenai pelampauan BMPP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 berlaku pula bagi BMTD.

Bagian Keenam
Pengecualian BMPP

Pasal 49
(1) Ketentuan BMPP tidak berlaku untuk:
a. Pembiayaan yang dilakukan setelah
memperoleh persetujuan OJK;
b. pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh
Pemerintah, SBI, surat berharga yang
diterbitkan oleh pemerintah negara donor,
dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh
lembaga keuangan multilateral;
c. Pembiayaan yang dijamin oleh Pemerintah
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku;
d. Pembiayaan yang dijamin dengan:
1. agunan dalam bentuk agunan tunai
berupa giro, deposito, tabungan, setoran
jaminan, dan/atau emas; atau
2. agunan berupa surat berharga yang
diterbitkan oleh Pemerintah, Bank
Indonesia, pemerintah negara donor, atau
lembaga keuangan multilateral;
- 31 -

e. Pembiayaan kepada peminjam yang dijamin


oleh:
1. bank berperingkat sampai dengan 200
Banker’s Almanac; atau
2. Export Credit Agency (ECA) yang termasuk
dalam kategori yang layak untuk investasi
(investment grade).
(2) Pemerintah negara donor dan/atau lembaga
keuangan multilateral sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b harus termasuk dalam kategori
yang layak untuk investasi (investment grade).
(3) Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d harus memenuhi persyaratan:
a. diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa
pencairan dari pemilik agunan;
b. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak
dapat dibatalkan (irrevocable);
c. jangka waktu pemblokiran paling kurang sama
dengan jangka waktu Pembiayaan atau
penempatan dana; dan
d. memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally
enforceable).
(4) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk standby letter of credit sesuai
dengan Uniform Customs and Practice for
Documentary Credits (UCP) atau International
Standby Practices (ISP) yang berlaku;
b. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak
dapat dibatalkan (irrevocable);
c. harus dapat dicairkan paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak diajukan klaim, termasuk pencairan
sebagian; dan
d. mempunyai jangka waktu paling kurang sama
dengan jangka waktu Pembiayaan.
- 32 -

Pasal 50
Pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka
dikecualikan dari perhitungan BMPP sepanjang memenuhi
persyaratan:
a. wesel ekspor berjangka yang diterbitkan atas dasar
Usance Letter of Credit sesuai dengan Uniform Customs
and Practice for Documentary Credits (UCP) yang
berlaku dan diterbitkan atau dikonfirmasi oleh bank
berperingkat sampai dengan 200 dalam Banker’s
Almanac; dan
b. telah diaksep oleh bank.

Pasal 51
Pengecualian dari perhitungan BMPP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf d angka 2 dan
huruf e ditetapkan paling tinggi:
a. 90% (sembilan puluh persen) dari Ekuitas untuk
Pembiayaan kepada pihak terkait;
b. 80% (delapan puluh persen) dari Ekuitas untuk
Pembiayaan kepada peminjam yang merupakan pihak
tidak terkait; dan
c. 75% (tujuh puluh lima persen) dari Ekuitas untuk
Pembiayaan kepada kelompok peminjam yang
merupakan pihak tidak terkait.

Pasal 52
(1) Penyertaan modal sementara untuk mengatasi
kegagalan Pembiayaan dikecualikan dari perhitungan
BMPP.
(2) Dalam hal terdapat Pembiayaan baru yang diberikan
kepada perusahaan dimana LPEI melakukan
penyertaan modal sementara, Pembiayaan baru
tersebut diperhitungkan dalam BMPP.

Pasal 53
Pemberian Pembiayaan dengan pola kemitraan inti-plasma
dimana perusahaan inti menjamin Pembiayaan yang
- 33 -

diberikan kepada plasma dikecualikan dari pengertian


kelompok peminjam sepanjang:
a. Pembiayaan diberikan dengan pola kemitraan;
b. perusahaan inti bukan merupakan pihak terkait
dengan LPEI;
c. plasma bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi dengan
inti;
d. plasma memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan inti sebagai bagian dari produksi
perusahaan inti; dan
e. perjanjian Pembiayaan dengan plasma dilakukan oleh
LPEI secara langsung dengan plasma.

Pasal 54
(1) LPEI wajib memenuhi BMPP kepada 1 (satu) Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) paling tinggi 25% (dua puluh lima
persen) dari Ekuitas.
(2) BUMN dan BUMD tidak diperlakukan sebagai
kelompok peminjam.
(3) BMPP bagi BUMN yang berbentuk holding dan
termasuk anak usaha BUMN tidak diperlakukan
sebagai kelompok peminjam.

Bagian Ketujuh
Pelaporan

Pasal 55
LPEI wajib menyampaikan laporan BMPP secara bulanan
dengan benar dan lengkap kepada OJK paling lama tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya.

Pasal 56
Ketentuan mengenai pelaporan BMPP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 berlaku pula bagi BMTD.
- 34 -

BAB VIII
POSISI DEVISA NETO

Pasal 57
(1) LPEI wajib mengelola dan memelihara posisi devisa
neto secara keseluruhan paling tinggi 20% (dua puluh
persen) dari Ekuitas.
(2) Posisi devisa neto secara keseluruhan adalah angka
yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut
untuk jumlah dari:
a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca
untuk setiap valuta asing; ditambah dengan
b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang
merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam
rekening administratif untuk setiap valuta asing,
yang semuanya dinyatakan dalam Rupiah.

Pasal 58
(1) Perhitungan posisi devisa neto dilakukan pada setiap
akhir hari dengan menggunakan kurs reuters jam
16.00 WIB pada hari yang bersangkutan.
(2) Dalam hal kurs reuters untuk valuta asing tertentu
tidak tersedia, LPEI hanya dapat menggunakan closing
rate pada waktu yang sama dengan kurs reuters.

Pasal 59
Posisi devisa neto dihitung secara gabungan yaitu
mencakup seluruh kantor cabang LPEI di dalam maupun
di luar negeri.

Pasal 60
(1) LPEI harus menyusun laporan posisi devisa neto
pada akhir hari kerja setiap bulan.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran atau pelampauan
posisi devisa neto, LPEI wajib menyampaikan laporan
kepada OJK paling lama 3 (tiga) hari kerja
berikutnya.
- 35 -

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib


disampaikan kepada OJK paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah berakhirnya periode laporan.

BAB IX
ASURANSI DAN PENJAMINAN

Bagian Kesatu
Retensi Sendiri

Pasal 61
(1) Dalam melakukan aktivitas Asuransi dan Penjaminan,
LPEI harus memiliki retensi sendiri untuk setiap
penutupan Asuransi dan Penjaminan.
(2) LPEI wajib memenuhi retensi sendiri untuk setiap
penutupan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari Ekuitas
untuk setiap:
a. investor untuk Asuransi atas investasi yang
dilakukan di luar negeri; atau
b. lawan transaksi (counterparty) dari pihak
tertanggung.
(3) LPEI wajib memenuhi retensi sendiri untuk setiap
penutupan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari
Ekuitas untuk setiap terjamin.
(4) Jumlah retensi sendiri untuk seluruh penutupan
Asuransi dan Penjaminan LPEI ditetapkan paling
tinggi sebesar 2 (dua) kali Ekuitas.

Pasal 62
(1) Batas maksimum retensi sendiri penutupan Asuransi
dan Penjaminan untuk setiap investor atau setiap
lawan transaksi (counterparty) dari pihak tertanggung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2)
dan/atau setiap terjamin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (3) wajib mengikuti ketentuan:
- 36 -

a. paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari Ekuitas


jika lawan transaksi (counterparty) dari pihak
tertanggung, investor, dan/atau terjamin
merupakan pihak terkait;
b. paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas
jika lawan transaksi (counterparty) dari pihak
tertanggung, investor, dan/ atau terjamin
merupakan pihak tidak terkait individual; atau
c. paling tinggi 25% (dua puluh lima persen) dari
Ekuitas jika lawan transaksi (counterparty) dari
pihak tertanggung, investor, dan/atau terjamin
merupakan 1 (satu) kelompok pihak tidak terkait,
BUMN atau BUMD.
(2) Batas maksimum retensi sendiri penutupan Asuransi
dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan nilai retensi sendiri yang masih
berjalan (outstanding).
(3) Dalam hal terjamin atau lawan transaksi
(counterparty) dari pihak tertanggung juga memperoleh
fasilitas Pembiayaan dari LPEI, batas maksimum
retensi sendiri penutupan Asuransi dan Penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhitungkan jumlah outstanding Pembiayaan
yang diberikan kepada terjamin atau lawan transaksi
(counterparty) dari pihak tertanggung tersebut.
(4) LPEI wajib menyampaikan laporan retensi sendiri
penutupan Asuransi dan Penjaminan secara bulanan
kepada OJK sesuai Peraturan OJK mengenai laporan
bulanan lembaga jasa keuangan non-bank.

Bagian Kedua
Cadangan Teknis

Pasal 63
(1) LPEI wajib membentuk cadangan yang terdiri dari:
a. cadangan atas premi Asuransi dan fee Penjaminan
yang belum merupakan pendapatan; dan
- 37 -

b. estimasi klaim retensi sendiri.


(2) Besarnya cadangan atas premi Asuransi dan fee
Penjaminan yang belum merupakan pendapatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung
secara proporsional selama jangka waktu
pertanggungan Asuransi atau Penjaminan.
(3) Pembentukan estimasi klaim retensi sendiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
memenuhi ketentuan:
a. untuk estimasi atas klaim yang masih dalam
proses penyelesaian, dihitung berdasarkan
estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi
dan sudah dilaporkan tetapi masih dalam proses
penyelesaian, berikut biaya jasa penilai kerugian,
dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi
bagian penanggung ulang; dan
b. untuk estimasi atas klaim yang sudah terjadi
tetapi belum dilaporkan (Incurred But Not
Reported atau IBNR), dihitung berdasarkan
estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi
tetapi belum dilaporkan dengan menggunakan
metode rasio klaim, berikut biaya jasa penilai
kerugian, dikurangi dengan beban klaim yang
akan menjadi bagian penanggung ulang.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Kegiatan Asuransi dan Penjaminan

Pasal 64
(1) Dalam melaksanakan kegiatan Asuransi dan
Penjaminan, LPEI harus memiliki:
a. kebijakan, manual, dan standard operating
procedures (SOP) untuk setiap produk Asuransi
dan Penjaminan; dan
b. sistem informasi akuntansi untuk kegiatan
Asuransi dan Penjaminan.
- 38 -

(2) Dalam hal tempat kedudukan tertanggung, lawan


transaksi (counterparty) dari pihak tertanggung,
investor, terjamin, atau lokasi obyek pertanggungan
atau penjaminan berada di luar wilayah Indonesia,
LPEI dapat bekerja sama dengan partner internasional
atau domestik yang memiliki pengalaman di bidang
Asuransi dan/atau Penjaminan.
(3) Dalam rangka melaksanakan kegiatan Penjaminan
dan Asuransi, LPEI dapat melakukan penjaminan
ulang dan/atau reasuransi.

BAB X
PELAPORAN

Pasal 65
(1) LPEI menyampaikan kepada OJK:
a. laporan bulanan;
b. laporan kegiatan usaha semesteran;
c. laporan keuangan tahunan yang diaudit oleh
kantor akuntan publik; dan
d. hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kegiatan
usaha atau keadaan keuangan LPEI.
(2) Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dalam
Peraturan OJK mengenai laporan bulanan lembaga
jasa keuangan non-bank.
(3) Laporan kegiatan usaha semesteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan
paling lama 1 (satu) bulan setelah periode semester
berakhir.
(4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c wajib disampaikan paling lama 4
(empat) bulan sejak tahun buku berakhir.
(5) Hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d wajib disampaikan paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak hal-hal lain tersebut ditemukan.
(6) Unit kerja syariah wajib menyampaikan laporan
- 39 -

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,


dan huruf d secara terpisah.
(7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun
berdasarkan ketentuan standar akuntansi keuangan
syariah yang berlaku.

Pasal 66
(1) Dalam rangka meningkatkan transparansi, LPEI wajib
membuat laporan tahunan.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dibuat untuk 1 (satu) tahun buku dan disajikan
paling kurang dengan perbandingan 1 (satu) tahun
buku sebelumnya.

Pasal 67
(1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 ayat (1) wajib disampaikan kepada OJK paling lama
5 (lima) bulan setelah tahun buku berakhir.
(2) LPEI harus menginformasikan laporan tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada situs web
LPEI paling lama dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga disampaikan kepada pemangku kepentingan.

Pasal 68
(1) LPEI wajib mengumumkan laporan keuangan yang
telah diaudit dan informasi keuangan lain melalui
media massa elektronik dan paling sedikit 2 (dua)
media massa cetak yang memiliki peredaran luas
secara nasional, paling lama tanggal 30 April tahun
berikutnya.
(2) Bukti pengumuman laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib disampaikan kepada
OJK paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal
publikasi.
- 40 -

BAB XI
PEMERIKSAAN

Pasal 69
(1) OJK melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
LPEI.
(2) Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK melakukan pemeriksaan.

Pasal 70
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (2) dilakukan:
a. secara berkala paling sedikit sekali dalam 3 (tiga)
tahun; dan/atau
b. setiap waktu bila diperlukan.
(2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a bersifat lengkap yang meliputi
kebenaran aspek substansi laporan periodik dan
kepatuhan terhadap ketentuan undang-undang yang
mengatur tentang LPEI beserta peraturan
pelaksanaannya.
(3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan apabila:
a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik,
patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan
LPEI menyimpang dari ketentuan undang-undang
yang mengatur tentang LPEI dan peraturan
pelaksanaannya serta peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku; dan/atau
b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang
didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh
OJK, patut diduga bahwa penyelenggaraan
kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan
undang-undang yang mengatur tentang LPEI dan
peraturan pelaksanaannya serta peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku.
- 41 -

BAB XII
RENCANA PEMENUHAN

Pasal 71
(1) Dalam hal LPEI tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal
14 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 39,
Pasal 42, Pasal 54 ayat (1), Pasal 61 ayat (2) dan
ayat (3), dan Pasal 62 ayat (1) wajib menyampaikan
rencana pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan
sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran oleh
OJK.
(2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memuat rencana yang akan
dilakukan oleh LPEI untuk memenuhi ketentuan
yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang
dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak
keberatan dari OJK.
(4) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak
cukup untuk mengatasi permasalahan, LPEI wajib
melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan
tersebut.
(5) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana pemenuhan yang disampaikan oleh LPEI
dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang
dihadapi oleh LPEI paling lama 14 (empat belas)
hari terhitung sejak diterimanya rencana pemenuhan
secara lengkap.
(6) LPEI wajib melaksanakan rencana pemenuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 42 -

BAB XIII
SANKSI

Pasal 72
(1) Direktur eksekutif yang menyebabkan LPEI tidak dapat
memenuhi ketentuan:
a. Pasal 55 setelah tanggal 15 (lima belas) sampai
dengan akhir bulan berikutnya;
b. Pasal 60 ayat (3);
c. Pasal 65 ayat (3) setelah 1 (satu) bulan sampai
dengan akhir bulan kedua setelah periode
semester berakhir;
d. Pasal 65 ayat (4) setelah 4 (empat) bulan sampai
dengan akhir bulan kelima setelah tahun buku
berakhir;
e. Pasal 67 ayat (1) setelah 5 (lima) bulan sampai
dengan akhir bulan keenam setelah tahun buku
berakhir;
f. Pasal 68 ayat (1) setelah tanggal 30 April sampai
dengan akhir bulan kelima setelah tahun buku
berakhir,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan.
(2) Anggota dewan direktur, direktur eksekutif, dan
direktur pelaksana yang menyebabkan LPEI tidak
dapat memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (4), Pasal 3,
Pasal 7, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (4),
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 37
ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 40 ayat (1),
Pasal 57 ayat (1), Pasal 60 ayat (2), Pasal 63 ayat (1),
Pasal 66, Pasal 68 ayat (2), Pasal 71 ayat (1), ayat (4),
dan ayat (6) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan
dalam bentuk:
a. surat peringatan kesatu, dengan jangka waktu 1
(satu) bulan;
- 43 -

b. surat peringatan kedua, dengan jangka waktu 1


(satu) bulan; dan
c. surat peringatan ketiga, dengan jangka waktu 1
(satu) bulan.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikenakan kepada anggota dewan direktur, direktur
eksekutif, dan direktur pelaksana yang melakukan
pelanggaran.
(5) Dalam hal jangka waktu surat peringatan ketiga
berakhir dan anggota dewan direktur, direktur
eksekutif, dan direktur pelaksana yang bersangkutan
belum memenuhi ketentuan sebagai dimaksud pada
ayat (2), OJK menginformasikan kepada Pemerintah
mengenai pengenaan sanksi peringatan dimaksud.
(6) Direktur eksekutif yang menyebabkan LPEI tidak dapat
memenuhi ketentuan:
a. Pasal 55 setelah akhir bulan berikutnya;
b. Pasal 65 ayat (3) setelah akhir bulan kedua setelah
periode semester berakhir;
c. Pasal 65 ayat (4) setelah akhir bulan kelima
setelah tahun buku berakhir;
d. Pasal 65 ayat (5);
e. Pasal 65 ayat (6);
f. Pasal 67 ayat (1) setelah akhir bulan keenam
setelah tahun buku berakhir;
g. Pasal 68 ayat (1) setelah akhir bulan kelima
setelah tahun buku berakhir,
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

Pasal 73
(1) Pegawai LPEI yang menyebabkan LPEI tidak dapat
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 7,
Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 11
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 37 ayat (1),
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 57
ayat (1), Pasal 60 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 66,
- 44 -

Pasal 68 ayat (2), Pasal 71 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6)
Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran lisan atau teguran tertulis.
(2) Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
peringatan lisan yang bersifat pembinaan.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk:
a. surat peringatan kesatu, dengan jangka waktu 1
(satu) bulan;
b. surat peringatan kedua, dengan jangka waktu 1
(satu) bulan; dan
c. surat peringatan ketiga, dengan jangka waktu 1
(satu) bulan.
(4) Dalam hal jangka waktu surat peringatan ketiga
berakhir dan pegawai yang bersangkutan belum
memenuhi ketentuan sebagai dimaksud pada ayat (1),
OJK menginformasikan kepada Pemerintah mengenai
pengenaan sanksi peringatan dimaksud.

BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 74
Apabila tidak diatur lain, maka ketentuan dalam Peraturan
OJK ini berlaku juga untuk seluruh kegiatan usaha atau
transaksi berdasarkan Prinsip Syariah.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 75
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai pembinaan dan pengawasan LPEI tunduk pada
Peraturan OJK ini.
- 45 -

Pasal 76
Peraturan OJK ini berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015

KETUA DEWAN KOMISIONER


OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

MULIAMAN D. HADAD

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 321

Salinan sesuai dengan aslinya


Direktur Hukum1
Departemen Hukum

ttd

Sudarmaji
SURAT EDARAN OTORITAS JASA
KEUANGAN
Yth.
1. Direksi Perusahaan Penjaminan;
2. Direksi Perusahaan Penjaminan Syariah;
3. Direksi Perusahaan Penjaminan Ulang;
4. Direksi Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah; dan
5. Direksi Perusahaan Penjaminan yang Memiliki Unit Usaha Syariah,
di tempat.

SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18 /SEOJK.05/2018
TENTANG
KESEHATAN KEUANGAN LEMBAGA PENJAMIN

Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 42 ayat (4) Peraturan


Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/POJK.05/2017 tentang Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Penjamin (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6014),
perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai tata cara pengukuran
kesehatan keuangan bagi lembaga penjamin dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan sebagai berikut:

I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas
pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada
Penerima Jaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
3. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas
pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan
-2-

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun


2016 tentang Penjaminan.
4. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan atas
pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan Syariah
dan UUS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Penjaminan.
5. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan
penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
6. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di
bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
7. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama
melakukan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
8. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak
di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan
Ulang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang Penjaminan.
9. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan
Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
10. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja
dari Perusahaan Penjaminan yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
11. Kesehatan Keuangan:
a. bagi Lembaga Penjamin adalah hasil penilaian kondisi Lembaga
Penjamin melalui pemenuhan atas rasio likuiditas, gearing
ratio, rentabilitas, dan penilaian sendiri (self assessment) tata
-3-

kelola perusahaan yang baik bagi Lembaga Penjamin; atau


b. bagi UUS adalah hasil penilaian kondisi UUS melalui
pemenuhan atas rasio likuiditas, rentabilitas, dan penilaian
Otoritas Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS.
12. Gearing Ratio adalah perbandingan antara total nilai penjaminan
yang ditanggung sendiri dengan ekuitas Lembaga Penjamin pada
waktu tertentu.
13. Rasio Likuiditas adalah rasio yang menggambarkan kemampuan
Lembaga Penjamin dalam memenuhi kewajiban jangka pendek, yang
dihitung dengan menggunakan current ratio berupa perbandingan
antara aset lancar dengan utang lancar.
14. Rentabilitas adalah ukuran untuk mengetahui kemampuan
Lembaga Penjamin dalam menghasilkan laba selama periode
tertentu.
15. Imbal Jasa adalah Imbal Jasa Penjaminan, Imbal Jasa Kafalah,
Imbal Jasa Penjaminan Ulang, dan Imbal Jasa Kafalah Ulang.

II. PENGUKURAN KESEHATAN KEUANGAN


1. Lembaga Penjamin wajib menjaga kondisi Kesehatan Keuangannya.
2. Pengukuran Kesehatan Keuangan bagi Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud pada angka 1 meliputi:
a. Rasio Likuiditas;
b. Gearing Ratio;
c. Rentabilitas; dan
d. penilaian sendiri (self assessment) tata kelola perusahaan yang
baik bagi Lembaga Penjamin.
3. Kewajiban pemenuhan kondisi Kesehatan Keuangan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 bagi UUS dilakukan secara terpisah dengan
komponen meliputi:
a. Rasio Likuiditas;
b. Rentabilitas; dan
c. penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap penerapan tata
kelola perusahaan yang baik bagi UUS.
-4-

III. RASIO LIKUIDITAS


1. Lembaga Penjamin wajib menjaga tingkat likuiditasnya.
2. Lembaga Penjamin wajib menjaga Rasio Likuiditas paling rendah
120% (seratus dua puluh per seratus).
3. Rasio Likuiditas sebagaimana dimaksud pada angka 2 dihitung
dengan menggunakan current ratio.
4. Current ratio sebagaimana dimaksud pada angka 3 dihitung dengan
membandingkan antara aset lancar dengan utang lancar.
5. Rincian akun dalam perhitungan aset lancar dan utang lancar
sebagaimana dimaksud pada angka 4 dalam perhitungan current
ratio mengacu kepada Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
mengenai laporan bulanan lembaga penjamin.

IV. GEARING RATIO


1. Lembaga Penjamin wajib menjaga Gearing Ratio untuk penjaminan
bagi usaha produktif paling tinggi 20 (dua puluh) kali.
2. Lembaga Penjamin wajib menjaga total Gearing Ratio paling tinggi
40 (empat puluh) kali.

V. RENTABILITAS
1. Penilaian terhadap komponen Rentabilitas sebagaimana dimaksud
dalam romawi II angka 2 huruf c dan romawi II angka 3 huruf b
dilakukan terhadap rasio sebagai berikut:
a. Rasio return on asset
Rasio return on asset merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur kemampuan Lembaga Penjamin dalam
menghasilkan laba dari aset yang digunakan untuk
mendukung operasional dan permodalan Lembaga Penjamin
atau UUS.
b. Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional
Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat
efisiensi dan kemampuan Lembaga Penjamin dalam
melaksanakan kegiatan operasionalnya.
c. Rasio klaim terhadap Imbal Jasa
Rasio klaim terhadap Imbal Jasa merupakan rasio yang
-5-

digunakan untuk mengukur tingkat kinerja penjaminan.


2. Perhitungan rasio Rentabilitas ditetapkan sebagai berikut:
a. Rasio return on asset:
1) Rasio return on asset dihitung dari perbandingan antara
laba atau rugi sebelum pajak terhadap total aset.
2) Untuk perhitungan laba atau rugi sebelum pajak
menggunakan perhitungan yang disetahunkan. Sebagai
contoh untuk posisi laporan bulan Maret maka cara
perhitungannya adalah sebagai berikut:
(laba atau rugi sebelum pajak per posisi Maret/3) x 12.
3) Laba atau rugi sebelum pajak per posisi bulan pelaporan
dihitung berdasarkan jumlah pendapatan dikurangi
jumlah beban sebelum dikurangi taksiran pajak
penghasilan.
4) Untuk perhitungan total aset menggunakan rata-rata aset
sepanjang tahun. Sebagai contoh untuk posisi laporan
bulan Maret maka cara perhitungannya adalah sebagai
berikut:
(Penjumlahan total aset dari Januari s.d. Maret)/3.
b. Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional:
1) Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional
dihitung dari perbandingan antara beban operasional
terhadap pendapatan operasional.
2) Rincian akun dalam perhitungan pendapatan operasional
dan beban operasional dalam perhitungan rasio beban
operasional terhadap pendapatan operasional mengacu
kepada Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan mengenai
laporan bulanan lembaga penjamin.
c. Rasio klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa
1) Rasio klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa dihitung dari
perbandingan antara beban klaim neto terhadap Imbal
Jasa neto.
2) Rincian akun dalam perhitungan beban klaim neto dan
Imbal Jasa neto dalam perhitungan rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa mengacu kepada Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan mengenai laporan bulanan
-6-

lembaga penjamin.

VI. PENILAIAN SENDIRI (SELF ASSESSMENT) TATA KELOLA PERUSAHAAN


YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN
1. Pengukuran terhadap komponen penilaian sendiri (self assessment)
atas penerapan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana
dimaksud dalam romawi II angka 2 huruf d dilakukan oleh Lembaga
Penjamin dengan mengacu kepada Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan mengenai laporan penerapan tata kelola perusahaan yang
baik bagi lembaga penjamin.
2. Hasil penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan tata kelola
perusahaan yang baik dalam komponen perhitungan Kesehatan
Keuangan Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam romawi
II angka 2 huruf d ditetapkan berdasarkan rangking dan predikat
hasil penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan tata kelola
perusahaan yang baik yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
mengenai laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi
lembaga penjamin.
3. Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan verifikasi dan/atau
validasi atas kebenaran dan kewajaran data yang menjadi dasar
perhitungan penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan tata
kelola perusahaan yang baik yang dilakukan oleh Lembaga
Penjamin.
4. Dalam hal terdapat perbedaan antara penilaian sendiri (self
assessment) yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin dengan hasil
verifikasi dan/atau validasi Otoritas Jasa Keuangan, penilaian atas
penerapan tata kelola perusahaan yang baik yang berlaku adalah
penilaian yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
5. Hasil penilaian atas penerapan tata kelola perusahaan yang baik
yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada angka 4 mulai diberlakukan dalam perhitungan
Kesehatan Keuangan Lembaga Penjamin pada periode penyampaian
laporan tata kelola penilaian sendiri (self assessment) atas
penerapan tata kelola perusahaan yang baik.
-7-

VII. TATA CARA PENGUKURAN KESEHATAN KEUANGAN BAGI LEMBAGA


PENJAMIN
1. Pengukuran Kesehatan Keuangan bagi Lembaga Penjamin
sebagaimana dimaksud dalam romawi II angka 2 dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. perhitungan nilai masing-masing Rasio Likuiditas, Gearing
Ratio, Rentabilitas, dan penilaian sendiri (self assessment) tata
kelola perusahaan yang baik bagi Lembaga Penjamin;
b. penetapan pada kriteria nilai untuk masing-masing Rasio
Likuiditas, Gearing Ratio, Rentabilitas, dan penilaian sendiri
(self assessment) tata kelola perusahaan yang baik bagi
Lembaga Penjamin;
c. penetapan pada kriteria nilai komposit Rentabilitas; dan
d. penetapan pada peringkat komposit Kesehatan Keuangan
Lembaga Penjamin.
2. Tahap perhitungan nilai masing-masing Rasio Likuiditas, Gearing
Ratio, Rentabilitas, dan penilaian sendiri (self assessment) tata
kelola perusahaan yang baik bagi Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada angka 1 huruf a, dilakukan dengan berpedoman
pada ketentuan sebagai berikut:
a. Rasio Likuiditas, yaitu perhitungan Rasio Likuiditas
sebagaimana dimaksud dalam romawi III;
b. Gearing Ratio, yaitu perhitungan Gearing Ratio sebagaimana
dimaksud dalam romawi IV;
c. Rentabilitas, yaitu:
1) perhitungan rasio return on asset sebagaimana dimaksud
dalam romawi V angka 2 huruf a;
2) perhitungan rasio beban operasional terhadap pendapatan
operasional sebagaimana dimaksud dalam romawi V angka
2 huruf b; dan
3) perhitungan rasio klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa
sebagaimana dimaksud dalam romawi V angka 2 huruf c;
dan
d. penilaian sendiri (self assessment) tata kelola perusahaan yang
baik bagi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam
romawi VI.
-8-

3. Tahap penetapan pada kriteria nilai untuk masing-masing Rasio


Likuiditas, Gearing Ratio, Rentabilitas, dan penilaian sendiri (self
assessment) tata kelola perusahaan yang baik bagi Lembaga
Penjamin sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b, ditetapkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
a. Penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas
1) Penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas ditetapkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai Rasio
Likuiditas dari 130% (seratus tiga puluh persen)
sampai dengan kurang dari 800% (delapan ratus
persen).
b) Nilai 2 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai Rasio
Likuiditas dari 120% (seratus dua puluh persen)
sampai dengan kurang dari 130% (seratus tiga puluh
persen).
c) Nilai 3 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai Rasio
Likuiditas dari 110% (seratus sepuluh persen) sampai
dengan kurang dari 120% (seratus dua puluh persen).
d) Nilai 4 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai Rasio
Likuiditas dari 100% (seratus persen) sampai dengan
kurang dari 110% (seratus sepuluh persen).
e) Nilai 5 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai Rasio
Likuiditas:
(1) kurang dari 100% (seratus persen); atau
(2) 800% (delapan ratus persen) atau lebih.
2) Contoh penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas
PT Penjaminan Kredit ABC memiliki data keuangan
sebagai berikut:
Aset lancar = Rp70 miliar
Utang lancar = Rp35 miliar
Current ratio = (aset lancar/utang lancar)
Current ratio = (Rp70 miliar/Rp35 miliar)
Current ratio = 200%,
maka penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas PT
Penjaminan Kredit ABC adalah nilai 1.
-9-

b. Penetapan pada kriteria nilai Gearing Ratio


1) penetapan pada kriteria nilai Gearing Ratio ditetapkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai
Gearing Ratio dari 4 (empat) sampai dengan kurang
dari 28 (dua puluh delapan).
b) Nilai 2 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai
Gearing Ratio dari 28 (dua puluh delapan) sampai
dengan kurang dari 32 (tiga puluh dua).
c) Nilai 3 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai
Gearing Ratio dari 32 (tiga puluh dua) sampai dengan
kurang dari 36 (tiga puluh enam).
d) Nilai 4 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai
Gearing Ratio dari 36 (tiga puluh enam) sampai
dengan kurang dari 40 (empat puluh).
e) Nilai 5 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai
Gearing Ratio:
(1) kurang dari 4 (empat); atau
(2) 40 (empat puluh) atau lebih.
2) Contoh penetapan pada kriteria nilai Gearing Ratio:
PT Penjaminan Kredit ABC memiliki data keuangan
sebagai berikut:
Total nilai Penjaminan yang ditanggung sendiri = Rp750
miliar
Ekuitas Lembaga Penjamin pada waktu tertentu = Rp100
miliar
Gearing Ratio = (total nilai Penjaminan yang ditanggung
sendiri/Ekuitas Lembaga Penjamin pada waktu tertentu)
Gearing Ratio = (Rp750 miliar/Rp100 miliar)
Gearing Ratio = 7,5 kali,
maka penetapan pada kriteria nilai Gearing Ratio PT
Penjaminan Kredit ABC adalah nilai 1.
c. Penetapan pada kriteria nilai Rentabilitas
1) Penetapan pada kriteria nilai rasio return on asset adalah
sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
- 10 -

return on asset 5% (lima persen) atau lebih.


b) Nilai 2 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
return on asset dari 2,5% (dua koma lima persen)
sampai dengan kurang dari 5% (lima persen).
c) Nilai 3 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
return on asset dari 0% (nol persen) sampai dengan
kurang dari 2,5% (dua koma lima persen).
d) Nilai 4 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
return on asset dari -5% (minus lima persen) sampai
dengan kurang dari 0% (nol persen).
e) Nilai 5 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
return on asset kurang dari -5% (minus lima persen).
2) Penetapan pada kriteria nilai rasio beban operasional
terhadap pendapatan operasional adalah sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
beban operasional terhadap pendapatan operasional
kurang dari 85% (delapan puluh lima persen).
b) Nilai 2 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
beban operasional terhadap pendapatan operasional
dari 85% (delapan puluh lima persen) sampai dengan
kurang dari 90% (sembilan puluh persen).
c) Nilai 3 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
beban operasional terhadap pendapatan operasional
dari 90% (sembilan puluh persen) sampai dengan
kurang dari 95% (sembilan puluh lima persen).
d) Nilai 4 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
beban operasional terhadap pendapatan operasional
dari 95% (sembilan puluh lima persen) sampai dengan
kurang dari 100% (seratus persen).
e) Nilai 5 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
beban operasional terhadap pendapatan operasional
100% (seratus persen) atau lebih.
3) Penetapan pada kriteria nilai rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa adalah sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa kurang dari
- 11 -

70% (tujuh puluh persen).


b) Nilai 2 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa dari 70%
(tujuh puluh persen) sampai dengan kurang dari 80%
(tujuh delapan puluh persen).
c) Nilai 3 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa dari 80%
(delapan puluh persen) sampai dengan kurang dari
90% (sembilan puluh persen).
d) Nilai 4 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa dari 90%
(sembilan puluh persen)sampai dengan kurang dari
100% (seratus persen).
e) Nilai 5 apabila Lembaga Penjamin memiliki rasio
klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa 100% (seratus
persen) atau lebih.
4) Contoh penetapan pada kriteria nilai Rentabilitas
a) Contoh perhitungan rasio return on asset
Data keuangan PT Penjaminan Kredit ABC per Mei
2019:
Laba sebelum pajak s.d. bulan Mei 2019 = Rp12,5
miliar
Rata-rata aset s.d. bulan Mei 2019 = Rp1.600 miliar
Dengan demikian, nilai rasio return on asset PT
Penjaminan Kredit ABC per Mei 2019 adalah:
Laba sebelum pajak disetahunkan = (Rp12,5
miliar/5)x12 = Rp30 miliar
Rasio return on asset = Rp30 miliar/Rp1.600miliar =
1,88%.
b) Contoh perhitungan rasio beban operasional terhadap
pendapatan operasional
Data keuangan PT Penjaminan Kredit ABC per Mei
2019:
Beban operasional = Rp100 miliar
Pendapatan operasional = Rp130 miliar
Dengan demikian, nilai rasio beban operasional
- 12 -

terhadap pendapatan operasional PT Penjaminan


Kredit ABC per Mei 2019 adalah:
Rasio beban operasional terhadap pendapatan
operasional = Rp100 miliar/Rp130miliar = 76,92%.
c) Contoh perhitungan rasio klaim terhadap pendapatan
Imbal Jasa
Data keuangan PT Penjaminan Kredit ABC per Mei
2019:
Beban klaim neto = Rp80 miliar
Pendapatan Imbal jasa penjaminan neto = Rp100
miliar
Dengan demikian, nilai rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa PT Penjaminan Kredit ABC
per Mei 2019 adalah:
Rasio klaim neto terhadap pendapatan Imbal Jasa
neto= Rp80 miliar/Rp100miliar = 80%.
d) Terhadap data rasio Rentabilitas PT Penjaminan
Kredit ABC sebagaimana dimaksud dalam huruf a),
huruf b), dan huruf c), penetapan pada kriteria nilai
Rentabilitas disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Kriteria
No Rasio Rentabilitas Nilai
Nilai
1. Rasio return on asset 1,88% 3
2. Rasio beban 76,92% 1
operasional terhadap
pendapatan
operasional
3. Rasio klaim terhadap 80% 3
pendapatan Imbal
Jasa
d. Penetapan pada kriteria nilai penilaian sendiri (self assessment)
tata kelola perusahaan yang baik bagi Lembaga Penjamin
1) Penetapan pada kriteria nilai penilaian sendiri (self
assessment) tata kelola perusahaan yang baik bagi
Lembaga Penjamin ditetapkan berdasarkan ketentuan
sebagai berikut:
- 13 -

a) Nilai 1 apabila Lembaga Penjamin memiliki hasil


penilaian sendiri (self assessment) tata kelola
perusahaan yang baik dengan predikat sangat baik.
b) Nilai 2 apabila Lembaga Penjamin memiliki hasil
penilaian sendiri (self assessment) tata kelola
perusahaan yang baik dengan predikat baik.
c) Nilai 3 apabila Lembaga Penjamin memiliki hasil
penilaian sendiri (self assessment) tata kelola
perusahaan yang baik dengan predikat cukup baik.
d) Nilai 4 apabila Lembaga Penjamin memiliki hasil
penilaian sendiri (self assessment) tata kelola
perusahaan yang baik dengan predikat kurang baik.
e) Nilai 5 apabila Lembaga Penjamin memiliki hasil
penilaian sendiri (self assessment) tata kelola
perusahaan yang baik dengan predikat tidak baik.
2) Contoh penetapan pada kriteria nilai penilaian sendiri (self
assessment) tata kelola perusahaan yang baik bagi
Lembaga Penjamin
PT Penjaminan Kredit ABC memiliki hasil penilaian sendiri
(self assessment) tata kelola perusahaan yang baik dengan
predikat baik maka penetapan pada kriteria nilai penilaian
sendiri (self assessment) tata kelola perusahaan yang baik
PT Penjaminan Kredit ABC adalah nilai 2.
4. Tahap penetapan pada kriteria nilai komposit Rentabilitas
sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf c, ditetapkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk menentukan kriteria nilai komposit Rentabilitas
digunakan metode rata-rata tertimbang dari kriteria nilai
masing-masing rasio Rentabilitas, dengan bobot masing-masing
rasio sebesar:
1) Rasio return on asset sebesar 30% (tiga puluh persen).
2) Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional
sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
3) Rasio klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa sebesar 35%
(tiga puluh lima persen).
- 14 -

b. Penetapan pada kriteria nilai komposit Rentabilitas adalah


sebagai berikut:
1) Nilai 1 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai komposit
Rentabilitas dari 1 (satu) sampai dengan kurang dari 1,8
(satu koma delapan).
2) Nilai 2 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai komposit
Rentabilitas dari 1,8 (satu koma delapan) sampai dengan
kurang dari 2,6 (dua koma enam).
3) Nilai 3 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai komposit
Rentabilitas dari 2,6 (dua koma enam) sampai dengan
kurang dari 3,4 (tiga koma empat).
4) Nilai 4 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai komposit
Rentabilitas dari 3,4 (tiga koma empat) sampai dengan
kurang dari 4,2 (empat koma dua).
5) Nilai 5 apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai komposit
Rentabilitas dari 4,2 (empat koma dua) sampai dengan 5
(lima).
c. Contoh penetapan pada kriteria nilai komposit Rentabilitas
Terhadap data penetapan pada kriteria nilai Rentabilitas PT
Penjaminan Kredit ABC sebagaimana dimaksud pada angka 3
huruf c angka 4) huruf d), penetapan pada kriteria nilai
komposit Rentabilitas adalah sebagai berikut:
Nilai komposit Rentabilitas = (30%*3)+ (35%*1)+ (35%*3) = 2,3.
Kriteria nilai komposit Rentabilitas dengan nilai komposit
sebesar 2,3 adalah nilai 2.
5. Tahap penetapan pada peringkat komposit Kesehatan Keuangan
Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf d
dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
a. Berdasarkan penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas
sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf a, penetapan pada
kriteria nilai Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada angka
3 huruf b, penetapan pada kriteria nilai komposit Rentabilitas
sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf c b, dan penetapan
pada kriteria nilai penilaian sendiri (self assessment) tata kelola
perusahaan yang baik bagi Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada angka 3 huruf d, selanjutnya dihitung nilai
- 15 -

komposit Kesehatan Keuangan dengan bobot masing-masing


sebagai berikut:
1) Rasio Likuiditas, dengan bobot 10% (sepuluh persen).
2) Gearing Ratio, dengan bobot 35% (tiga puluh lima persen).
3) Rentabilitas, dengan bobot 35% (tiga puluh lima persen).
4) penilaian sendiri (self assessment) tata kelola perusahaan
yang baik, dengan bobot 20% (dua puluh persen).
b. Berdasarkan nilai komposit Kesehatan Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, Kesehatan Keuangan Lembaga
Penjamin ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) sangat sehat apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai
Kesehatan Keuangan dari 1 (satu) sampai dengan kurang
dari 1,8 (satu koma delapan).
2) sehat apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai Kesehatan
Keuangan dari 1,8 (satu koma delapan) sampai dengan
kurang dari 2,6 (dua koma enam).
3) cukup sehat apabila Lembaga Penjamin memiliki nilai
Kesehatan Keuangan dari 2,6 (dua koma enam) sampai
dengan kurang dari 3,4 (tiga koma empat).
4) kurang sehat apabila Lembaga Penjamin memiliki
Kesehatan Keuangan dari 3,4 (tiga koma empat) sampai
dengan kurang dari 4,2 (empat koma dua).
5) tidak sehat apabila Lembaga Penjamin memiliki Kesehatan
Keuangan dari 4,2 (empat koma dua) sampai dengan 5
(lima).
c. Contoh penetapan pada peringkat komposit Kesehatan
Keuangan Lembaga Penjamin
Terhadap data penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas PT
Penjaminan Kredit ABC sebagaimana dimaksud pada angka 3
huruf a angka 2), penetapan pada kriteria nilai Gearing Ratio PT
Penjaminan Kredit ABC sebagaimana dimaksud pada angka 3
huruf b angka 2), penetapan pada kriteria nilai komposit
Rentabilitas PT Penjaminan Kredit ABC sebagaimana dimaksud
pada angka 4 huruf c, dan data penetapan pada kriteria nilai
penilaian sendiri (self assessment) tata kelola perusahaan yang
baik PT Penjaminan Kredit ABC sebagaimana dimaksud pada
- 16 -

angka 3 huruf d angka 2) adalah:


Penetapan pada peringkat komposit Kesehatan Keuangan =
(10%*1)+ (35%*1)+(35%*2)+(20%*2) = 1,55 ➔ sangat sehat.
Dengan demikian, PT Penjaminan Kredit ABC memiliki
Kesehatan Keuangan dengan kategori sangat sehat.

VIII. TATA CARA PENGUKURAN KESEHATAN KEUANGAN BAGI UUS


1. Pengukuran Kesehatan Keuangan bagi UUS sebagaimana dimaksud
dalam romawi II pada angka 3 dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a. perhitungan nilai masing-masing Rasio Likuiditas, Rentabilitas,
dan penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap penerapan tata
kelola perusahaan yang baik bagi UUS;
b. penetapan pada kriteria nilai untuk masing-masing Rasio
Likuiditas, Rentabilitas, dan penilaian Otoritas Jasa Keuangan
terhadap penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi
UUS;
c. penetapan pada kriteria nilai komposit Rentabilitas; dan
d. penetapan pada peringkat komposit Kesehatan Keuangan UUS.
2. Tahap perhitungan nilai masing-masing Rasio Likuiditas,
Rentabilitas, dan penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap
penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS sebagaimana
dimaksud pada angka 1 huruf a, dilakukan dengan berpedoman
pada ketentuan sebagai berikut:
a. Rasio Likuiditas, yaitu perhitungan current ratio sebagaimana
dimaksud dalam romawi III;
b. Rentabilitas, yaitu:
1) perhitungan rasio return on asset sebagaimana dimaksud
dalam romawi V angka 2 huruf a;
2) perhitungan rasio beban operasional terhadap pendapatan
operasional sebagaimana dimaksud dalam romawi V angka
2 huruf b; dan
3) perhitungan rasio klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa
sebagaimana dimaksud dalam romawi V angka 2 huruf c;
dan
- 17 -

c. penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap penerapan tata


kelola perusahaan yang baik bagi UUS, yaitu dengan
menggunakan ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap penerapan
tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS, Otoritas Jasa
Keuangan melakukan penilaian berdasarkan:
a) hasil evaluasi terhadap hasil penilaian sendiri (self-
assessment) atas penerapan tata kelola perusahaan
yang baik yang disampaikan oleh Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS; dan/atau
b) hasil pengawasan dan/atau pemeriksaan terhadap
UUS.
2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan
paling sedikit terhadap faktor sebagai berikut:
a) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi,
dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah terkait
pengelolaan kegiatan usaha penjaminan syariah;
b) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pimpinan
UUS;
c) penerapan fungsi kepatuhan terkait penerapan
prinsip syariah;
d) penerapan manajemen risiko UUS, termasuk sistem
pengendalian internal, dan penerapan tata kelola
teknologi informasi; dan
e) transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan
UUS.
3) Predikat hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap
penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS
dikategorikan ke dalam 5 predikat, yaitu:
a) predikat sangat baik, jika manajemen UUS telah
melakukan penerapan tata kelola perusahaan yang
baik bagi UUS yang secara umum sangat baik. Hal ini
tercermin dari pemenuhan yang sangat memadai atas
prinsip tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS.
Dalam hal terdapat kelemahan penerapan prinsip tata
kelola perusahaan yang baik bagi UUS, secara umum
- 18 -

kelemahan tersebut tidak signifikan dan dapat segera


dilakukan perbaikan oleh manajemen UUS.
b) predikat baik, jika manajemen UUS telah melakukan
penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS
yang secara umum baik. Hal ini tercermin dari
pemenuhan yang memadai atas prinsip tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS. Dalam hal terdapat
kelemahan penerapan prinsip tata kelola perusahaan
yang baik bagi UUS, secara umum kelemahan
tersebut kurang signifikan dan dapat diselesaikan
dengan tindakan normal oleh manajemen UUS.
c) predikat cukup baik, jika manajemen UUS telah
melakukan penerapan tata kelola perusahaan yang
baik bagi UUS yang secara umum cukup baik. Hal ini
tercermin dari pemenuhan yang cukup memadai atas
prinsip tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS.
Dalam hal terdapat kelemahan penerapan prinsip tata
kelola perusahaan yang baik bagi UUS, secara umum
kelemahan tersebut cukup signifikan dan
memerlukan perhatian yang cukup dari manajemen
UUS.
d) predikat kurang baik, jika manajemen UUS telah
melakukan penerapan tata kelola perusahaan yang
baik bagi UUS yang secara umum kurang baik. Hal
ini tercermin dari pemenuhan yang kurang memadai
atas prinsip tata kelola perusahaan yang baik bagi
UUS. Terdapat kelemahan dalam penerapan prinsip
tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS yang
secara umum signifikan dan memerlukan perbaikan
yang menyeluruh oleh manajemen UUS.
e) predikat tidak baik, jika manajemen UUS telah
melakukan penerapan tata kelola perusahaan yang
baik bagi UUS secara umum tidak baik. Hal ini
tercermin dari pemenuhan yang tidak memadai atas
prinsip tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS.
Terdapat kelemahan dalam penerapan prinsip tata
- 19 -

kelola perusahaan yang baik bagi UUS yang secara


umum sangat signifikan dan sulit untuk diperbaiki
oleh manajemen UUS.
4) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan hasil penilaian
terhadap penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi
UUS secara berkala paling lambat pada tanggal 30 Juni
setiap tahunnya.
5) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan hasil penilaian
terhadap penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi
UUS kepada Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS.
6) Hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap
penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS
sebagaimana dimaksud pada angka 5) diberlakukan
sebagai dasar pengukuran Kesehatan Keuangan bagi UUS
periode bulan Juli tahun berjalan sampai dengan periode
bulan Juni tahun berikutnya.
3. Tahap penetapan pada kriteria nilai masing-masing Rasio
Likuiditas, Rentabilitas, dan penilaian Otoritas Jasa Keuangan
terhadap penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS
sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b, ditetapkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
a. Penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas
1) penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas ditetapkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila UUS memiliki nilai Rasio Likuiditas
dari 130% (seratus tiga puluh persen) sampai dengan
kurang dari 800% (delapan ratus persen).
b) Nilai 2 apabila UUS memiliki nilai Rasio Likuiditas
dari 120% (seratus dua puluh persen) sampai dengan
kurang dari 130% (seratus tiga puluh persen).
c) Nilai 3 apabila UUS memiliki nilai Rasio Likuiditas
dari 110% (seratus sepuluh persen) sampai dengan
kurang dari 120% (seratus dua puluh persen).
d) Nilai 4 apabila UUS memiliki nilai Rasio Likuiditas
dari 100% (seratus persen) sampai dengan kurang
dari 110% (seratus sepuluh persen).
- 20 -

e) Nilai 5 apabila UUS memiliki nilai Rasio Likuiditas:


(1) kurang dari 100% (seratus persen); atau
(2) 800% (delapan ratus persen) atau lebih.
2) Contoh penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas
UUS dari PT Penjaminan Kredit XYZ memiliki data
keuangan sebagai berikut:
Aset lancar = Rp10 miliar
Kewajiban lancar = Rp5 miliar
Current ratio = (aset lancar/kewajiban lancar)
Current ratio = (Rp10 miliar/Rp5 miliar)
Current ratio = 200%,
maka penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas UUS
dari PT Penjaminan Kredit XYZ adalah nilai 1.
b. Penetapan pada kriteria nilai Rentabilitas
1) Penetapan pada kriteria nilai rasio return on asset adalah
sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila UUS memiliki rasio return on asset 5%
(lima persen) atau lebih.
b) Nilai 2 apabila UUS memiliki rasio return on asset dari
2,5% (dua koma lima persen) sampai dengan kurang
dari 5% (lima persen).
c) Nilai 3 apabila UUS memiliki rasio return on asset dari
0% (nol persen) sampai dengan kurang dari 2,5% (dua
koma lima persen).
d) Nilai 4 apabila UUS memiliki rasio return on asset dari
-5% (minus lima persen) sampai dengan kurang dari
0% (nol persen).
e) Nilai 5 apabila UUS memiliki rasio return on asset
kurang dari -5% (minus lima persen).
2) Penetapan pada kriteria nilai rasio beban operasional
terhadap pendapatan operasional adalah sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila UUS memiliki rasio beban operasional
terhadap pendapatan operasional kurang dari 85%
(delapan puluh lima persen).
b) Nilai 2 apabila UUS memiliki rasio beban operasional
terhadap pendapatan operasional dari 85% (delapan
- 21 -

puluh lima persen) sampai dengan kurang dari 90%


(sembilan puluh persen).
c) Nilai 3 apabila UUS memiliki rasio beban operasional
terhadap pendapatan operasional dari 90% (sembilan
puluh persen) sampai dengan kurang dari 95%
(sembilan puluh lima persen).
d) Nilai 4 apabila UUS memiliki rasio beban operasional
terhadap pendapatan operasional dari 95% (sembilan
puluh lima persen) sampai dengan kurang dari 100%
(seratus persen).
e) Nilai 5 apabila UUS memiliki rasio beban operasional
terhadap pendapatan operasional 100% (seratus
persen) atau lebih.
3) Penetapan pada kriteria nilai rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa adalah sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila UUS memiliki rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa kurang dari 70% (tujuh
puluh persen).
b) Nilai 2 apabila UUS memiliki rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa dari 70% (tujuh puluh
persen) sampai dengan kurang dari 80% (delapan
puluh persen).
c) Nilai 3 apabila UUS memiliki rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa dari 80% (delapan puluh
persen) sampai dengan kurang dari 90% (sembilan
puluh persen).
d) Nilai 4 apabila UUS memiliki rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa dari 90% (sembilan puluh
persen) sampai dengan kurang dari 100% (seratus
persen).
e) Nilai 5 apabila UUS memiliki rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa 100% (seratus persen) atau
lebih.
3) Contoh penetapan pada kriteria nilai Rentabilitas
a) Contoh perhitungan rasio return on asset
Data keuangan UUS dari PT Penjaminan Kredit XYZ
- 22 -

per Mei 2019:


Laba sebelum pajak s.d. bulan Mei 2019 = Rp1,25
miliar
Rata-rata aset s.d. bulan Mei 2019 = Rp160 miliar
Dengan demikian, nilai rasio return on asset UUS dari
PT Penjaminan Kredit XYZ per Mei 2019 adalah:
Laba sebelum pajak disetahunkan = (Rp1,25 miliar
/5)x12 = Rp3 miliar
Rasio return on asset = Rp3 miliar/Rp160 miliar =
1,88%.
b) Contoh perhitungan rasio beban operasional terhadap
pendapatan operasional
Data keuangan UUS dari PT Penjaminan Kredit XYZ
per Mei 2019:
Beban operasional = Rp10 miliar
Pendapatan operasional = Rp13 miliar
Dengan demikian, nilai rasio rasio beban operasional
terhadap pendapatan operasional UUS dari PT
Penjaminan Kredit XYZ per Mei 2019 adalah:
Rasio beban operasional terhadap pendapatan
operasional = Rp10 miliar /Rp13 miliar = 76,92%.
c) Contoh perhitungan rasio klaim terhadap pendapatan
Imbal Jasa
Data keuangan UUS dari PT Penjaminan Kredit XYZ
per Mei 2019:
Beban klaim neto = Rp8 miliar
Pendapatan Imbal Jasa neto = Rp10 miliar
Dengan demikian, nilai rasio klaim terhadap
pendapatan Imbal Jasa UUS dari PT Penjaminan
Kredit XYZ per Mei 2019 adalah:
Rasio klaim neto terhadap pendapatan Imbal Jasa
neto= Rp8 miliar/Rp10 miliar = 80%.
d) Terhadap data rasio Rentabilitas UUS dari PT
Penjaminan Kredit XYZ sebagaimana dimaksud dalam
huruf a), huruf b), dan huruf c), penetapan pada
kriteria nilai Rentabilitas disajikan dalam tabel
- 23 -

sebagai berikut:
Kriteria
No Rasio Rentabilitas Nilai
Nilai
1. Rasio return on asset 1,88% 3
2. Rasio beban operasional 76,92% 1
terhadap pendapatan
operasional
3. Rasio klaim terhadap 80% 3
pendapatan Imbal Jasa
c. Penetapan pada kriteria nilai hasil penilaian Otoritas Jasa
Keuangan terhadap penerapan tata kelola perusahaan yang
baik bagi UUS:
1) Penetapan pada kriteria nilai hasil penilaian Otoritas Jasa
Keuangan terhadap penerapan tata kelola perusahaan
yang baik bagi UUS ditetapkan berdasarkan ketentuan
sebagai berikut:
a) Nilai 1 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
sangat baik.
b) Nilai 2 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
baik.
c) Nilai 3 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
cukup baik.
d) Nilai 4 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
kurang baik.
e) Nilai 5 apabila UUS memiliki hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
tidak baik.
- 24 -

2) Contoh penetapan pada kriteria nilai hasil penilaian


Otoritas Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik bagi UUS
UUS dari PT Penjaminan Kredit XYZ memiliki hasil
penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap penerapan tata
kelola perusahaan yang baik bagi UUS dengan predikat
sangat baik maka penetapan pada kriteria nilai hasil
penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap penerapan tata
kelola perusahaan yang baik bagi UUS dari PT Penjaminan
Kredit XYZ adalah nilai 1.
4. Tahap penetapan pada kriteria nilai komposit Rentabilitas
sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf c, ditetapkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk menentukan kriteria nilai komposit Rentabilitas
digunakan metode rata-rata tertimbang dari kriteria nilai
masing-masing rasio Rentabilitas, dengan bobot masing-masing
rasio sebesar:
1) Rasio return on asset sebesar 30% (tiga puluh persen).
2) Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional
sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
3) Rasio klaim terhadap pendapatan Imbal Jasa sebesar 35%
(tiga puluh lima persen).
b. Penetapan pada kriteria nilai komposit Rentabilitas adalah
sebagai berikut:
1) Nilai 1 apabila UUS memiliki nilai komposit Rentabilitas
dari 1 (satu) sampai dengan kurang dari 1,8 (satu koma
delapan).
2) Nilai 2 apabila UUS memiliki nilai komposit Rentabilitas
dari 1,8 (satu koma delapan) sampai dengan kurang dari
2,6 (dua koma enam).
3) Nilai 3 apabila UUS memiliki nilai komposit Rentabilitas
dari 2,6 (dua koma enam) sampai dengan kurang dari 3,4
(tiga koma empat).
4) Nilai 4 apabila UUS memiliki nilai komposit Rentabilitas
dari 3,4 (tiga koma empat) sampai dengan kurang dari 4,2
- 25 -

(empat koma dua).


5) Nilai 5 apabila UUS memiliki nilai komposit Rentabilitas
dari 4,2 (empat koma dua) sampai dengan 5 (lima).
c. Contoh penetapan pada kriteria nilai komposit Rentabilitas
Terhadap data penetapan pada kriteria nilai Rentabilitas UUS
dari PT Penjaminan Kredit XYZ sebagaimana dimaksud pada
angka 3 huruf b angka 3) huruf c), penetapan pada kriteria
nilai komposit Rentabilitas adalah sebagai berikut:
Nilai komposit Rentabilitas = (30%*3)+ (35%*1) + (35%*3) = 2,3
maka kriteria nilai komposit Rentabilitas dengan nilai komposit
sebesar 2,3 adalah sebesar 2.
5. Tahap penetapan pada peringkat komposit Kesehatan Keuangan
UUS sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf d dilakukan
dengan berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
a. Berdasarkan penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas
sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf a, penetapan pada
kriteria komposit nilai Rentabilitas sebagaimana dimaksud
pada angka 4 huruf b, dan kriteria nilai hasil penilaian Otoritas
Jasa Keuangan terhadap penerapan tata kelola perusahaan
yang baik bagi UUS sebagaimana dimaksud pada angka 3
huruf c, selanjutnya ditetapkan nilai komposit Kesehatan
Keuangan UUS melalui pembobotan atas nilai peringkat
sebagai berikut:
1) Rasio Likuiditas, dengan bobot 30% (tiga puluh persen).
2) rasio Rentabilitas, dengan bobot 50% (lima puluh persen).
3) penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap penerapan tata
kelola perusahaan yang baik bagi UUS, dengan bobot 20%
(dua puluh persen).
b. Berdasarkan nilai komposit Kesehatan Keuangan UUS
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Kesehatan Keuangan
UUS ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) sangat sehat apabila UUS memiliki nilai Kesehatan
Keuangan dari 1 (satu) sampai dengan kurang dari 1,8
(satu koma delapan).
2) sehat apabila UUS memiliki nilai Kesehatan Keuangan dari
1,8 (satu koma delapan) sampai dengan kurang dari 2,6
- 26 -

(dua koma enam).


3) cukup sehat apabila UUS memiliki nilai Kesehatan
Keuangan dari 2,6 (dua koma enam) sampai dengan
kurang dari 3,4 (tiga koma empat).
4) kurang sehat apabila UUS memiliki Kesehatan Keuangan
dari 3,4 (tiga koma empat) sampai dengan kurang dari 4,2
(empat koma dua).
5) tidak sehat apabila UUS memiliki Kesehatan Keuangan
dari 4,2 (empat koma dua) sampai dengan 5 (lima).
c. Contoh penetapan pada peringkat komposit Kesehatan
Keuangan UUS
Terhadap data penetapan pada kriteria nilai Rasio Likuiditas
UUS pada PT Penjaminan Kredit XYZ sebagaimana dimaksud
pada angka 3 huruf a angka 2) penetapan pada kriteria nilai
komposit Rentabilitas UUS pada PT Penjaminan Kredit XYZ
sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf c, dan penetapan
pada kriteria hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap
penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi UUS pada PT
Penjaminan Kredit XYZ sebagaimana dimaksud pada angka 3
huruf c angka 2) adalah:
Nilai komposit Kesehatan Keuangan UUS = (30%*1)+ (50%*2)+
(20%*1) = 1,5 ➔ sangat sehat.
Dengan demikian, UUS pada PT Penjaminan Kredit XYZ
memiliki Kesehatan Keuangan UUS dengan kategori sangat
sehat.

IX. VERIFIKASI DAN/ATAU VALIDASI OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN


1. Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan verifikasi dan/atau
validasi atas kebenaran dan kewajaran data yang menjadi dasar
perhitungan Kesehatan Keuangan yang disusun oleh Lembaga
Penjamin dan UUS.
2. Dalam hal terdapat perbedaan antara Kesehatan Keuangan yang
disusun oleh Lembaga Penjamin dan UUS dengan Kesehatan
Keuangan hasil verifikasi dan/atau validasi Otoritas Jasa Keuangan,
Kesehatan Keuangan yang berlaku adalah Kesehatan Keuangan
yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 27 -

X. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Desember 2018

KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS


PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

RISWINANDI

Salinan ini sesuai dengan aslinya


Direktur Hukum 1
Departemen Hukum

ttd

Yuliana

Anda mungkin juga menyukai