Anda di halaman 1dari 7

Makalah

Materi Kewarganegaraan

Dosen Pengampu : Arief Syah Safrianto


Disusun Oleh
CINDYA SUSFINAL PUTRI
(2234021053)

FAKULTAS EKONOMI
PRODI S1 MANAJEMEN
UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
Jalan Raya Jatiwaringin, RT. 03 / RW. 04, Jatiwaringin, Pondok Gede, RT.009/RW.005,
Jaticempaka, Kec. Pd. Gede, Kota Bks, Jawa Barat 13077
BAB 2
Pemahaman tentang Demokrasi, Sistem Pemerintahan Negara, dan
Pengembangan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara

A.Konsep Demokrasi
Sulit mencari kesepakatan dari semua pihak tentang pengertian atau definisi demokrasi.
Ketika ada yang mendefinisikan demokrasi secara ideal atau juga disebut sebagai definisi
populistik tentang demokrasi, yakni sebuah sistem pemerintahan ”dari, oleh, dan untuk
rakyat” maka pengertian demokrasi demikiantidak pernah ada dalam sejarah umat manusia.
Tidak pernah ada pemerintahandijalankan secara langsung oleh semua rakyat; dan tidak
pernah ada pemerintahan sepenuhnya untuk semua rakyat (Dahl 1971; Coppedge dan
Reinicke 1993).
Dalam praktiknya, yang menjalankan pemerintahan bukan rakyat, tapi elite yang jumlahnya
jauh lebih sedikit. Juga tidak pernah ada hasil dari pemerintahan itu untuk rakyat semuanya
secara merata, tapi selalu ada perbedaan antara yang mendapat jauh lebih banyak dan yang
mendapat jauh lebih sedikit. Karena itu, ketika pengertian”demokrasi populistik” hendak
tetap dipertahankan, Dahl mengusulkan konsep ”poliarki” sebagai pengganti dari konsep
”demokrasi populistik”tersebut. Poliarki dinilai lebih realistik untuk menggambarkan tentang
sebuah fenomena politik tertentu dalam sejarah peradaban manusia sebab poliarki mengacu
pada sebuah sistem pemerintahan oleh ”banyak rakyat” bukan oleh ”semua
rakyat”,oleh”banyak orang” bukan oleh”semua orang.”

B. Bentuk Demokrasi dalam Sistem Pemerintahan Negara


 Demokrasi langsung
Dalam sistem demokrasi langsung, setiap rakyat berhak memberikan aspirasi melalui
pendapat atau suara dalam menentukan sebuah keputusan. Biasanya, setiap rakyat mewakili
diri sendiri dalam memilih kebijakan sehingga secara langsung keadaan politik berada di
tangan rakyat.
Namun, sistem demokrasi langsung jarang diterapkan di era modern. Hal ini dikarenakan
kepadatan penduduk serta kurangnya minat penduduk untuk mempelajari keseluruhan
permasalahan politik di negara tersebut.
 Demokrasi perwakilan
Dalam sistem demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memberikan pendapat melalui pemilihan
umum dalam memilih wakil rakyat. Setelah terpilih, wakil rakyat tersebut mengutarakan
aspirasi rakyatnya dalam mengatasi permasalahan negara.

C. Perkembangan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara


Pendidikan pendahuluan bela negara di perguruan tinggi melalui Pendidikan
Kewarganegaraan dapat dijadikan sebagai wahana untuk meminimalisir berbagai bentuk
ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan bagi negara Indonesia (Gredinand, 2017, hal.
1). Salah satu bentuk pendidikan pendahuluan bela negara di Indonesia yang dilaksanakan
melalui pendidikan kewarganegaraan untuk warga sipil memiliki tujuan untuk menciptakan
warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (Suharyanto, 2013, hal. 192).
Namun pada praktiknya, Pendidikan Kewarganegaraan menemui kendala dalam menemukan
formulasi tepat untuk menciptakan warga negara yang mempunyai cinta tanah air, rela
berkorban, sadar berbangsa dan bernegara, setia terhadap Pancasila sebagai ideologi negara,
memiliki kemampuan awal bela negara baik secara fisik maupun non-fisik (Gredinand, 2017,
hal. 25). Keadaan tersebut menurut tulisan Randall (2017) karena pendidikan
kewarganegaraan berada pada paradigma baru yang merupakan bentuk anti-pendidikan
kewarganegaraan di Amerika yang sudah dikhawatirkan oleh banyak pengamat akan
melenyapkan kewarganegaraan tradisional. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya para
pendukung pendidikan kewarganegaraan baru yang berisi kosakata kamuflase dari istilah
yang terdengar menyenangkan dengan tujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi
aktivis sosial dan politik. Pendukung Kewarganegaraan baru menggunakan "demokrasi"
untuk "tujuan sosial dan ekonomi radikal, sesuai dengan keyakinan yang berkisar dari John
Dewey ke Karl Marx" (Randall, 2017, hal. 20). Akibatnya, sampai saat ini meski beberapa
penelitian mengungkapkan Pendidikan Kewarganegaraan mampu mempengaruhi warga
negara dalam hal nilai tetapi secara praktik baik itu materi, metode, dan evaluasi bahkan
sumber daya manusia untuk mendidik masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Hal
tersebut karena Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bentuk dari kehendak negara untuk
menciptakan warga negara yang baik yang tidak akan bisa lari dari indoktrinasi. Padahal di
beberapa negara maju, wujud bela negara diaktualisasikan dengan adanya wajib militer
seperti Korea Selatan. Menurut Kwon (2000), dengan dilaksanakannya pendidikan
pendahuluan bela negara melalui wajib militer tersebut, warga negara yang ikut berpartisipasi
telah memainkan peran dalam membangun kewarganegaraan, kebangsaan, bahkan sampai
pada kejantanan (Hal. 26). Temuan tersebut diperkuat oleh Hwang (2018, hal. 12) di mana
secara historis, wajib militer yang diselenggarakan oleh Korea Selatan telah memproduksi
warga negara yang mampu berperan aktif dalam memperbaiki batas-batas diskursif bangsa
bahkan memiliki pemahaman militer tentang kewarganegaraan dan keamanan nasional.
Selain Korea Selatan, Norwegia merupakan negara yang mengimplementasikan wajib militer
untuk warga negaranya. Dari Kosnik (2017, hal. 457) disebutkan bahwa wajib militer di
Norwegia merupakan strategi pertahanan pertama yang berperan untuk melaksanakan misi-
misi seperti pertahanan teritorial dan keamanan perbatasan. Lebih lanjut Kosnik
memprediksi, bahwa wajib militer akan tetap menjadi alat strategi bagi negara-negara kecil
pada abad 21, mengingat wajib militer dapat menyelesaikan berbagai tugas yang disesuaikan
dengan kebutuhan keamanan nasional negara. Bahkan di Singapura, hasil dari wajib militer
memperlihatkan prajurit nasional dengan kualitas disiplin, tanggung jawab, semangat tim,
dan kebugaran fisik yang mumpuni. Keadaan tersebut dimanfaatkan secara positif oleh
peserta wajib militer dalam kehidupan sipil yang selanjutnya menjadi ciri khas dari tenaga
kerja Singapura (Nair, 1995, hal. 93). Hal tersebut menurut Randall (2017, hal. 22)
membuktikan bahwa keterlibatan sipil sangat berarti dalam membangun negara. Hasil dari
beberapa penelitian di atas memberikan gambaran bahwa penyelenggaraan bela negara
diaktualisasikan langsung dengan membuat keterikatan antara warga negara dengan negara
dengan menjadi bagian yang secara emosional menjadikan terikat karena adanya visi-misi
yang tegas dalam upaya pendidikan pendahuluan bela negara. Keadaan yang berbeda
diungkapkan dalam kajian Mellors & McKean (1984) bahwa wajib militer pada
perkembangannya dipertanyakan dalam hal pendanaan dan strateginya di Eropa Utara (hal.
25). Hal tersebut disebabkan, terjadinya peningkatan atas pengakuan keberatan yang berasal
dari hati nurani warga negara yang dipicu oleh liberalisasi layanan wajib militer. Asep
Dahliyana, Encep Syarief Nurdin, Dasim Budimansyah, Ace Suryadi. Pendidikan
pendahuluan bela negara melalui pendidikan kewarganegaraan 132 Memperhatikan dan
menganalisis dengan saksama fenomena tersebut, menurut Anggoro (2003, hal. 3), hal yang
harus dipikirkan dan dianalisis saat ini bahwa ancaman dalam bentuk militer hanya
merupakan sebagian dari dimensi ancaman yang mendera suatu negara pada masa yang akan
datang. Oleh sebab pada perkembangannya, ancaman yang harus disikapi yaitu dengan
munculnya masalah dalam bentuk human security (nir-militer). Berbeda dari perspektif
sebelumnya yang cenderung melihat negara sebagai unsur yang paling penting, "human
security" justru melihat pentingnya keamanan manusia. Dalam perspektif ini, kesejahteraan
warga negara merupakan sesuatu yang dipandang sangat penting. Mereka dapat menghadapi
ancaman dari berbagai sumber, bahkan termasuk dari aparatur represif negara, epidemi
penyakit, kejahatan yang meluas, sampai dengan bencana alam maupun kecelakaan. Pendapat
tersebut disambut baik oleh Tamba (2017) yang berupaya untuk menguraikan bahwa bela
negara dapat dilakukan tidak hanya dengan memikul senjata tetapi untuk para peserta didik,
bela negara dapat dilakukan dengan cara belajar tekun, menjaga keamanan di lingkungan
masyarakat ataupun lingkungan sekolah dari ancaman yang dapat membahayakan kehidupan
berbangsa dan bernegara, tidak membuang sampah sembarangan, menghormati bendera
merah putih dan lagu kebangsaan, serta menolak campur tangan pihak asing terhadap
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (hal. 333). Dengan berpegang pada uraian di
atas, dalam kerangka menunaikan hak dan kewajiban seorang warga negara yang telah
dibakukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang bela negara untuk
warga negara sipil (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 27
dan 30; Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tenang Hak Asasi Manusia Pasal 68;
UndangUndang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9; Undang-Undang
Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan Pasal 8, 23 dan 25; Keppres Nomor 28 tahun
2006 tentang Hari Bela Negara; Permendagri Nomor 38 tahun 2011 tentang Pedoman
Peningkatan Kesadaran Bela Negara di Daerah; Perpres Nomor 47 tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; dan Permenhan RI Nomor 32 tahun 2016
tentang Pedoman Pembinaan Kesadaran Bela Negara) dalam upaya menjaga keutuhan hidup
bangsa dan negara (Purwaningsih, 2005). Dengan demikian, diperlukan reorientasi dan
reformulasi pendidikan pendahuluan bela negara yang dapat memberikan kesadaran
kebangsaan (Gredinand, 2017, hal. 25) melalui jenjang pendidikan formal yaitu melalui
Pendidikan Kewarganegaraan. Lantas, bagaimanakah pendidikan pendahuluan bela negara
dapat dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan? Oleh sebab, di Zimbabwe
penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan dianggap sebagai upaya untuk
mengindoktrinasi pemuda. Alasannya, konsep Pendidikan Kewarganegaraan sempit dan tidak
memungkinkan untuk diimplementasikan sesuai dengan kurikulumnya. Akibatnya
Pendidikan Kewarganegaraan dibayangi kepentingan lain berupa manipulasi untuk agenda
politik daripada agenda kebijakan internasional (Magudu, 2012; Janmaat & Piattoeva, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini hendak mengungkap peranan Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai pendidikan pendahuluan bela negara di perguruan tinggi yang
notabene sebagai salah satu bentuk perwujudan dari amanah perundang-undangan khususnya
UndangUndang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara bagi masyarakat sipil
khususnya melalui materi-materi yang dibelajarkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan
terhadap nilai-nilai bela negara.
KESIMPULAN
Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut
serta memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya atau pemerintahan
rakyat.Kata “demokrasi” seiring waktu memiliki sangat banyak pengertian.
Namun, diantara banyaknya pengertian yang berbeda terdapat juga sejumlah
persamaan penting yang menunjukkan unuversalitas konsep demokrasi
berdasarkan kriteria-kriteria yang menjadi cerminan perwujudan konsep
tersebut.
Demokrasi berdasarkan penyaluran kehendak rakyat. Demokrasi langsung
merupakan sistem demokrasi yang mengikutsertakan seluruh rakyat dalam
pengambilan keputusan negara.Demokrasi tidak langsung merupakan system
demokrasi yang digunakan untuk menyalurkan keinginan dari rakyat melalui
perwakilan parlemen.Demokrasi berdasarkan hubungan antar kelengkapan
negara.Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum merupakan system
demokrasi yang dimana rakyat memiliki perwakilan untuk menjabat diparlemen
namun tetap di kontrol oleh referendum. Demokrasi perwakilan dengan sistem
parlementer merupakan system demokrasi yang didalamnya terdapat hubungan
kuat antara badan eksekutif dengan badan legislatif.

Referensi :
https://www.bola.com/ragam/read/4501967/pengertian-sejarah-bentuk-fungsi-prinsip-dan-
demokrasi-di-indonesia-yang-perlu-diketahui
https://journal.uny.ac.id
SOAL:
1. Pengertian demokrasi populistic?
2. Apa itu sistem referendum?
3. Jelaskan demokrasi menurut salah satu ahli!
4. Apa itu demokrasi tidak langsung?
5. Mengapa di negara harus mempunyai demokrasi?

Jawab:
1. ketika pengertian”demokrasi populistik” hendak tetap dipertahankan, Dan
mengusulkan konsep ”poliarki” sebagai pengganti dari konsep
”demokrasi populistik”tersebut. Poliarki dinilai lebih realistik untuk
menggambarkan tentang sebuah fenomena politik tertentu dalam sejarah
peradaban manusia sebab poliarki mengacu pada sebuah sistem
pemerintahan oleh ”banyak rakyat” bukan oleh ”semua
rakyat”,oleh”banyak orang” bukan oleh”semua orang.”
2. sistem referendum merupakan system demokrasi yang dimana rakyat
memiliki perwakilan untuk menjabat diparlemen namun tetap di kontrol
oleh referendum
3. menurut Joseph A. Schemer Demokrasi merupakan suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif
atas suara rakyat.
4. Demokrasi tidak langsung merupakan system demokrasi yang digunakan
untuk menyalurkan keinginan dari rakyat melalui perwakilan parlemen.

Karena Suatu negara mempunyai sistem demokrasi karena rakyat harus ikut
andil dalam suatu negara agar terciptanya kesetaraan dalam suatu negara. Dan
sistem demokrasi yang ada di Indonesia juga begitu, pemerintahan dari rakyat
dan untuk rakyat juga.

Anda mungkin juga menyukai