Anda di halaman 1dari 16

“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal.

383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

Paradigma Bela Negara dalam Pendidikan Kewarganegaraan pada Era


Pascareformasi

Hastangka
Pusat Studi Pancasila, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
hastangka30@ugm.ac.id

Muhammad Farid
President University, Cikarang, Jawa Barat
mfarid@president.ac.id

Abstract
Bela negara become important issues in public life. The Bela negara is not meant as an
effort and action but a doctrine and ideology that directs and encourages citizens to
recognize the role of the state and the participation of citizens in the life of
citizenship.the process of introduction and understanding of the defence of the state can
be assessed from the role of civic education conducted by state. This study aims to
describe and analyze the paradigm of state defending (Bela negara) in the post reform
era in civics education in Indonesia. This research method uses a qualitative method
approach by examining various sources of material from text books, laws and
regulations, scienfitifc journals, and documents. Data analysis in this research uses
interpretation and inductive analysis. The results of this study indicate that the
paradigm of state defending in Indonesia experience changes and develop. The state
defending has changing its paradigm from militaristic to civic engagement.

Keywords: state defending, civic, education, post reform, state.

Abstrak
Paradigma Bela negara menjadi salah satu isu penting dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bela negara setidak hanya dimaknai
sebagai upaya dan tindakan tetapi doktrin dan ideologi yang mengarahkan dan
mendorong warga negara untuk mengenali peran negara dan partisipasi warga negara
dalam kehidupan kewarganegaraan. Proses pengenalan dan pemahaman tentang Bela
negara dapat dikaji dari peran pendidikan warga negara melalui pendidikan
kewarganegaraan yang dilakukan oleh negara kepada warga negara. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis paradigma Bela negara pada era
pascareformasi dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia.Metode penelitian ini
menggunakan pendekatan metode kualitatif dengan mengkaji berbagai sumber bahan
dari buku teks, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, dan dokumen yang
diterbitkan oleh lembaga resmi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan
analisis interpretasi, analisis isi, dan reduksi data. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa paradigma bela negara yang berkembang di Indonesia mengalami
perubahan dan perkembangan dari konsepsi bela negara untuk mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatan negara berbasis militeristik menuju bela negara pada

383 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

konstruksi non militeristik mengisi kemerdekaan untuk berperan aktif dalam


pembangunan, serta menghadapi berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri pada
masa kini maupun di masa yang akan datang dengan pendekatan keterlibatan aktif
warga negara (civic engagement).

Kata Kunci: Bela negara, paradigma, pasca Reformasi, pendidikan, kewarganegaraan

I. Pendahuluan
Bela negara merupakan istilah yang tidak asing dalam konteks pembentukan negara
bangsa di Indonesia. Ide tentang bela negara dapat ditemukan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) sebelum amandemen,
yaitupasal 27 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”.Selanjutnya, UUD NRI 1945 hasil
amandemen ke empat pada tahun 2002 tetap memuat kewajiban bela negara yang
dituangkan pada pasal 30 ayat (1) yang berbunyi: “ Tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Dalam hal ini nampak
jelas terdapat pergeseran dalam penggunaan istilah bela negara sejak UUD dilakukan
perubahan.
Jejak-jejak gagasan bela negara telah dimiliki oleh masyarakat dengan berbagai
konsep dan bentuk. Pada konsep awal sebelum Indonesia lahir dan berproses menjadi
negara merdeka, perjuangan rakyat untuk mengusir penjajah dan memperoleh
kemerdekaan dapat diletakkan sebagai paham dan cara pandang membela bangsa dan
seluruh tumpah darah. Fase ini menjadi tahap ketika nilai-nilai perjuangan, rela berkoban,
semangat pantang menyerah, dan perlawanan menjadi filosofi para pejuang untuk
membela tanah air. Gagasan bela negara dalam perkembangan selanjutnya diletakkan
dalam kerangka kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menelusuri jejak
gagasan dan paradigma bela negara pada suatu negara menarik untuk dilakukan, karena
karakter dan konteks negara meletakkan gagasan dan paradigma bela negara memiliki
keunikan dapat dilihat dari konteks historis, geografi, dan politik yang berpengaruh pada
posisi dan peran suatu negara dalam menciptakan kondisi yang aman, tenteram, dan
nyaman untuk kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Fakta-fakta historis memperlihatkan bahwa keberadaan Republik Indonesia hingga
saat ini tidak dapat dilepaskan dari adanya tekad, sikap, tindakan, dan peri laku perorangan
maupun kolektif warga negara untuk membela negaranya. Akan tetapi, kajian tentang bela
negara dalam pendidikan kewarganegaraan belum banyak menjadi perhatian dari para
pemerhati, peneliti, pengamat, maupun pendidik.
Oleh karena itu, studi ini akan mengkaji dan meneliti tentang sejauh mana bela negara
menjadi paradigma dalam kerangka pendidikan kewarganegaraan di Indonesia pada era
pasca Reformasi. Pasca Reformasi menjadi batasan dalam kajian dan penelitian karena
pada era pasca reformasi dinamika kebijakan nasional dan lokal tentang urusan publik dan
kewarganegaraan mengalami dinamika dan perubahan yang cukup pesat dan berpengaruh
pada tatanan berbangsa dan bernegara, selain itu, era pasca reformasi mulai periode 1999
sampai dengan 2020 berbagai pergantian kekuasaan atau kepemimpinan telah melahirkan
dan membentuk sistem epistemologi dalam membuat kebijakan dan aturan-aturan publik.

384 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

Konteks pendidikan kewarganegaraan menjadi pertimbangan dalam penelitian ini


karena studi kewarganegaraan khususnya pendidikan kewarganegaraan baik di tingkat
pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi belum banyak menyinggung tentang posisi
kebijakan dan politik, serta paradigma bela negara di Indonesia.
Studi Tippe (2013) membahas tentang “Implementasi Kebijakan bela negara di
Perbatasan:Studi Kasus di Provinsi Papua”menjelaskan bahwa implementasi bela negara
di daerah Provinsi Papua masih didominasi oleh kalangan Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Pendekatan yang dilakukan melalui tiga aspek yaitu 1. Aspek politik, dengan cara
persuasif mendekati tokoh masyarakat dan politik di Papua; 2. Aspek sosio-ekonomi-
kultural yang direfleksikan melalui pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari
pemberdayaan wilayah pertahanan (OMSP); serta3. Aspek keamanan dan pengamanan
perbatasan, dengan cara mengoptimalkan pengamanan perbatasan, TNI dengan segala
kemampuan dan fasilitas yang ada (Tippe, 2013, p. 439). Pada tataran tertentu, studi ini
menunjukkan bahwa paradigma Bela negara masih dipandang sebagai sesuatu hal yang
identik dengan aktivitas dan tugas militer atau militerisme sebagai kewajiban dan
tanggung jawab tentara, sehingga paradigma Bela negara cenderung diletakkan pada
perspektif militer dan bukan pada sudut pandang masyarakat sipil.
Samsuri (2011) menekankan tentang ruang lingkup materi pendidikan
kewarganegaraan yang berdasarkan pada kebijakan politik pendidikan pemerintah era
reformasi menekankan pada persatuan dan kesatuan bangsa, norma, hukum, dan
peraturan, hak asasi manusia dan kewajiban, kebutuhan warga negara, konstitusi,
kekuasaan dan politik, pancasila, dan globalisasi. Materi ini merujuk pada kebijakan
politik pendidikan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan kurikulum 2006 untuk pendidikan dasar dan menengah (Samsuri,
2011).
Kajian Soepandji dan Farid (2018) menekankan konsep bela negara dalam perspektif
Ketahanan Nasional. Dalam kajian ini menyimpulkan bahwa konsepsi bela negara
berkaitan dengan ketahanan nasional yang menyangkut asta gatra yaitu Tri gatra terdiri
atas kondisi geografi, kekayaan alam, keadaan dan kemampuan penduduk (demografi),
pancagatra terdiri atas ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan
(Soepandji & Farid, 2018).
Lebih lanjut, Suabuana, Parhan, Chepy, dan Fitria (2018) dalam kajiannya (2018)
memaparkan pentingnya bela negara dalam pendidikan kewarganegaraan. Akan tetapi,
kajian tersebut lebih menekankan pada aspek teknis bela negara dalam pendidikan
kewarganegaraan, yaitu melalui model project citizen dari pada pembahasan bela negara
pada tataran paradigmatik. Untuk itu, upaya untuk menguraikan lebih lanjut bela negara
pada tataran paradigmatik dalam pendidikan kewarganegaraan menjadi penting di era
pascareformasi. Dengan kata lain, konsep dan urgensi bela negara dalam pendidikan
menjadi upaya yang selalu untuk dikaji dan digali untuk menemukan paradigma yang ideal
dalam proses menghadapi suatu Ancaman, Tantangan, Hambatan, Ganguan (ATHG) baik
dari dalam negeri maupun luar negeri, serta memberikan pemahaman yang lebih baik bagi
warga negara untuk mengenal dan memahami negaranya.
Pada tataran lebih luas, Indonesia mewaspadai ancaman dari berbagai kejahatan
transnasional, penyelundupan, pencurian ikan, dan perbatasan antar negara,hingga isu-isu
global seperti perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup, pandemi, seperti Corona atau

385 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

Covid-19 yang terjadi pada tahun 2020.Dengan demikian, paradigma bela negara dalam
pendidikan kewarganegaraan perlu dilihat orientasi dan substansi yang perlu ditekankan
dalam mempersiapkan warganya menghadapi ancaman militer maupun non militer yang
berasal dari dalam negeri maupun tataran global.

II. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada pendahulu di atas. Penelitian ini
merumuskan persoalan penelitian untuk dijawab sebagai berikut:
A. Bagaimana pengertian dan paradigm Bela negara dirumuskan di Indonesia?
B. Bagaimana transformasi paradigma Bela negara sejak Indonesia berdiri hingga paska
reformasi?
C. Bagaimana paradigma Bela negara yang dikembangkan dalam Pendidikan
Kewarganegaraan?

III. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut
A. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang paradigma bela negara yang
ditekankan dalam pendidikan kewarganegaraan di era pasca reformasi.
B. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis transformasi paradigma bela negara sejak
berdirinya Republik Indonesia hingga era reformasi, yaitu dari paradigma membela
kemerdekaan, militeristik, partisipasi dalam pembangunan, keamanan negara, hingga
pendidikan kewarganegaraan

IV. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis
bagi civitas akademika dan masyarakat.
A. Manfaat teoritis
Setelah membaca hasil penelitian dan kajian ini diharapkan para peneliti dan
pembaca mendapatkan perspektif dan pijakan dalam menguraikan bela negara dari
aspek filosofis, paradigmatik, yuridis, dan historis.
B. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis bagi para pendidik dan
mahasiswa yang sedang mempelajari mata kuliah Pancasila atau Kewarganegaraan
untuk mendapatkan bahan bahan secara utuh tentang bela negara.

V. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Secara konseptual arah
penelitian kualitatif ialah mendeskripsikan tentang fenomena yang ada di masyarakat dan
keilmuan. Dalam hal ini penelitian ini akan bersifat deskripstif yang akan menjelaskan
persoalan yang dibahas terkait bela negara. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
mencoba memahami fenomena dalam konteks realitas yang sebenarnya (Sarosa, 2017).
Penelitian tentang bela negara dapat didekati dengan kajian yang bersifat analitik dan
kualitatif karena penelitian ini memfokuskan pada analisis fenomena dan teks tentang bela
negara. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui inventarisasi data
dari sumber-sumber yang relevan sesuai dengan topik penelitian yaitu sumber buku teks,

386 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

jurnal ilmiah, media cetak maupun daring, peraturan perundang-undangan, dan sumber
yang relevan. Setelah data terkumpul dilakukan kategorisasi data dan analisis. Analisis
data menggunakan analisis interpretasi, analisis ini digunakan untuk melakukan
interpretasi terhadap data yang diperoleh berupa data dokumen, dokumen peraturan,
pemikiran tertulis di dalam jurnal untuk dilihat ide ide pokok yang terdapat dalam
dokumen tersebut. Analisis isi (content analysis) ialah melakukan analisis dengan mencari
makna dalam materi yang tertulis dengan mencari struktur dan pola didalam teks yang
diteliti (Sarosa, 2017). Reduksi data, analisis ini berupa mencari tema dan pola yang
menonjol, kemudian memilah tema dan pokok pokok ide yang tidak relevan untuk
dipisahkan dan mencatat hubungan antara tema yang dibahas dengan konteks pembahasan
secara logis.

VI. Hasil Dan Pembahasan


A. Hakikat Negara dan Warga Negara
Hakikat negara dan warga negara mulai kembali dirumuskan ulang dan dikembangkan
dalam sejarah peradaban manusia ialah pada masa era klasik, modern, dan kontemporer.
Era klasik dimulai sejak manusia memikirkan tentang hakikat negara dan warga negara
yang dilakukan oleh para filsuf Yunani Kuno seperti Plato, Aristoteles, dan Sokrates.
Plato, Aristoteles, dan Sokrates menjadi titik tolak penting dalam pemikiran tentang negara
dan warga negara. Fase ini menjadi fase penting dalam pemikiran Yunani dan Romawi
ketika terjadi pergeseran pemikiran dari kosmosentris menjadi antroposentris. Pergeseran
ini mendorong peradaban manusia untuk mulai membahas tentang pentingnya organisasi
sosial dan politik. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa Yunani dan Romawi sudah
membahas tentang res publica yang berarti urusan rakyat. Dalam perkembangannya
kemudian muncul gagasan polis dan negara. Konsepsi polis masa klasik membahas
struktur dan organisasi politik yang berkembang seperti republik, monarki, dan
aristokrasi.Polis dimaknai sebagai komunitas politik yang dianggap tanpa negara
(stateless). Polis dalam definisi awal yang dirumuskan oleh Aristoteles ialah warga
negara.Sehingga partisipasi warga negara menjadi penting. Hakikat negara dan
warganegara memiliki posisi penting dalam upaya membangun relasi antara sharing, rule,
dan kekuasaan (Rowe & Schofield, 2001).
Pada konteks modern dan kontemporer, hakikat negara dan warga negara membahas
tentang kekuasaan dan kedaulatan, serta hak-hak istimewa warga negara dalam bernegara
dan bermasyarakat. Pasca revolusi Perancis dan munculnya berbagai macam pemikiran
tentang negara dan warga negara telah melahirkan pemikiran penting tentang negara.
Negara dimaknai sebagai organisasi politik yang berupaya untuk membangun dan
mewujudkan kepentingan anggota masyarakat. Begitu juga warga negara yang dianggap
sebagai bagian dari esensial dalam bangunan negara, karena sebagai pra syarat bahwa
kehadiran negara dapat diakui ketika ada masyarakat yang hidup dan bergerak di dalamnya
(Schmandt, 2009).

B. Relasi Negara dan Warga Negara


Relasi negara dan warga negara dibangun atas relasi yang bersifat kausalitas. Negara
hadir untuk memberikan fasilitas, melindungi kepentingan warga negara, dan menjaga hak
hak warga negara dari orang lain. Negara menjamin cara-cara institusional dan

387 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

konstitusional untuk menjamin dan melindungi kepentingan warga negara dari orang lain
atau dari perampokan, perebutan, dan pemaksaan. Sarana-sarana ini diperlukan untuk
memberikan kesempatan kepada warga negara untuk bisa mengaktualisasikan dirinya.
Warga negara memiliki fungsi untuk mendukung kehadiran negara dengan berkontribusi
secara nyata seperti membayar pajak dan mematuhi peraturan yang ada. Hal ini bertitik
tolak pada watak manusia sebagai warga negara yang memiliki kehendak bebas. Negara
perlu hadir dalam membatasi kehendak bebas manusia dari potensi konflik (Schmandt,
2009, p. 11).

C. Tantangan Negara Modern


Dalam konteks tantangan negara modern kedaulatan wilayah dan eksistensi negara
perlu senantiasa untuk menjadi perhatian dan kondisi yang selalu untuk dipertahankan dari
berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri. Pada konteks ini, peran negara dan warga
negara untuk mempertahankan wilayah, eksistensinya, dan membela negara menjadi
penting dalam rangka melindungi kepentingan nasional. Di Indonesia, paradigma bela
negara juga dirumuskan dan diletakkan untuk menjawab tantangan negara modern sebagai
negara modern, eksistensi Indonesia akan diuji dalam menghadapi berbagai tantangan
sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan keamanan di masa kini dan akan datang. Pada
tahun 2015, Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhannas merumuskan skenario atau
kisah yang mungkin akan terjadi pada tahun 2045; di antaranya skenario mata air,
skenario sungai, skenario kepulauan, dan skenario air terjun.
Skenario mata air menggambarkan bahwa pada tahun 2045, secara ekonomi
masyarakat Indonesia sudah lebih sejahtera; akan tetapi pada aspek sosial dan politik,
masih terjadi gesekan sosial dan gap antar daerah, sehingga berpotensi memunculkan
aspirasi memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sedangkan pada skenario sungai, Indonesia pada tahun 2045 sudah mampu menepis
ancaman negara gagal, sebab di masa itu Indonesia memiliki ketahanan ekonomi yang
lebih tangguh. Selain itu, Indonesia sudah bertransfromasi sebagai negara industri, di mana
ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi basis proses pembangunan. Akan tetapi,
keadaan ekonomi, pertahanan kemanan, sosial dan politik Indonesia masih sangat
dipengaruhi oleh karakter Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk
yang besar dan beragam.
Ketahanan nasional Indonesia pada tahun 2045 digambarkan belum sepenuhnya
tangguh, seperti digambarkan oleh skenario kepulauan. Menurut Lemhannas, hal ini
disebabkan pengaruh kekuatan global, baik dari aktor negara dan non negara pada
kedaulatan Indonesia. Selain itu, militer Indonesia dinilai belum efektif dan efisien walau
memiliki postur kekuatan yang besar, karena terkendala persoalan updating teknologi dan
penguasaan teknologi.
Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi tema krusial yang dihadapi
Indonesia pada tahun 2045. Hal ini diuraikan pada skenario air terjun, di man isu
kedaulatan pangan dan ketahanan energi dalam negeri melalui pembangunan berbasis
rendah karbon akan menjadi fokus pembangunan Indonesia.
Pada konteks lebih luas, Indonesia sebagai bagian dari konstelasi global tidak dapat
menghindar dari berbagai tantangan yang akan dihadapi dunia di masa datang. Gearóid Ó
Tuathail (1998) mengatakan bahwa pada tatanan dunia baru (new order) pada masa

388 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

setelah berakhirnya era Perang Dingin (Cold War), medan geopolitik tidak lagi
didominasi oleh territorial struggles di antara blok-blok berbagai negara, namun sudah
pada kemunculan beragam isu transnasional, seperti terorisme, proliferasi nuklir, serta
benturan peradaban. Selain itu, isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan hidup, seperti
kerusakan lingkungan, pemanasan global, berkurangnya sumber daya alam, serta polusi
transnasional menjadi tema sentral geopolitik dewasa ini.
Sebagai gambaran lain, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore (2013)
mengemukakan bahwa terdapat enam hal yang akan mengendalikan perubahan global di
masa datang, antara lain percepatan globalisasi ekonomi yang dipacu oleh perkembangan
pesat jaringan komputer dan mesin berteknologi tinggi, kemajuan pesat jaringan internet
dan komunikasi digital, perubahan konstelasi global sebagai akibat menurunnya dominasi
Amerika Serikat, kerusakan lingkungan dan berkurangnya sumber daya vital bagi umat
manusia, perkembangan pesat bioteknologi, serta ketidakharmonisan antara peradaban
dunia dan sistem ekologi.
Berbagai hal itu menggambarkan bahwa Indonesia memerlukan suatu paradigma baru
dalam bela negara yang mampu merumuskan peran tidak hanya negara, tetapi juga warga
negara dalam menghadapi tantangan domestik dan global yang semakin kompleks. Pada
konteks ini, dibutuhkan suatu kemampuan untuk merepresentasikan paradigma bela negara
dalam pendidikan kewarganegaraan agar warga negara mampu menghadapi tantangan
bernegara.

Orientasi dan Paradigma Bela negara pada Pemerintahan Presiden Soekarno dan
Presiden Soeharto
Orientasi dan paradigma bela negara tidak lepas dari sejarah perjuangan bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Gagasan bela negara muncul dan
berkembang dalam konteks perjuangan melawan penjajah dan sebagai upaya untuk
mempertahankan kedaulatan negara. Gagasan bela negara berpijak pada situasi dan
konteks suatu negara dalam mempertahankan wilayah dan kedaulatan. Pada masa
perjuangan melawan penjajahan, istilah baku “Bela Negara” belum dikenal, akan tetapi
sikap dan jiwa nasionalisme yang berkembang pada saat itu telah menjadi spirit dan
kemudian menjadi cikal bakal pembentukan ide dan konsep bela negara. Sehingga
orientasi dan pardigma awal bela negara terjadi pada masa perjuangan bangsa Indonesia
melawan penjajahan. Dalam konteks bernegara, “Bela Negara” baru digunakan sebagai
istilah baku setelah dicantumkan dalam UUD NRI 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945.
Cikal bakal konsep bela negara tercermin dalam konsepsi ideologi pergerakan
nasional baru yang mulai diperkenalkan dalam periode 1900an. Frank Dhont menjelaskan
bahwa nasionalisme memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan peradaban dunia
modern. Nasionalisme tidak hanya berpengaruh terhadap pecahnya Revolusi Amerika dan
Revolusi Perancis tetapi juga berperan dalam pembentukan bangsa dan negara (Dhont,
2005).
Munculnya berbagai organisasi pergerakan nasional yang lahir pada awal tahun 1900-
an sampai, Indonesia merdeka menjadi titik tolak dari orientasi dan paradigma bela negara
pada fase perjuangan bangsa melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan.
Orientasi bela negara yang diletakkan pada awal perjuangan dan kemerdekaan ialah

389 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

membela bangsa dan negara dari penjajahan. Gagasan bela negara pada era tersebut
diwarnai dengan konsepsi sikap dan rasa cinta tanah air yang mendalam.
Pada periode Indonesia merdeka dan memiliki pemerintahan pada awal pemerintah
pertama di bawah presiden Soekarno (1945-1960an), orientasi dan paradigma bela negara
dapat ditelusuri dari gagasan mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada era perang
revolusi periode 1945-1950, periode ini menjadi periode kritis dimana negara Indonesia
masih dalam keadaan tidak stabil secara sosial, politik, dan keamanan.
Perpindahan ibu kota negara Indonesia dari Yogyakarta ke Bukittinggi pada tahun
1948, sebagai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), menjadi upaya para
pejuang kemerdekaan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah
setelah agresi Militer II yang bertujuan ingin melakukan pendudukan kembali daerah
jajahannya. Pada periode berikutnya pada periode tahun 1950-1960an.
Pada tahun 1954, Pemerintah pernah membuat Undang-Undang yang membahas
berkaitan dengan bela negara. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pokok-
Pokok Perlawanan Rakyat. Pasal 1 UU Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pokok-Pokok
Perlawanan Rakyat menyebutkan bahwa “Turut serta dalam pertahanan negara yang
berarti membela kemerdekaan Negara dan daerahnya adalah suatu kehormatan bagi setiap
warga negara”. Dalam ketentuan lebih lanjut pasal 5 menyebutkan bahwa:

“Hak dan kewajiban warga negara untuk turut serta dalam pertahanan negara dapat
dilakukan dalam bentuk-bentuk: a. rakyat yang terlatih untuk menjalankan
perlawanan; b. Angkatan Perang yang terdiri dari mereka yang masuknya
berdasarkan perjanjian sukarela dan mereka yang masuknya berdasarkan wajib
militer”.

Paradigma bela negara pada era pemerintah Soekarno menunjukkan bela negara yang
diarahkan untuk mempertahankan negara yang diarahkan membela kemerdekaan negara.
Setelah periode pemerintah Soekarno berakhir dan digantikan oleh Soeharto, orientasi dan
paradigma bela negara diwujudkan dalam beberapa doktrin dan pembentukan pengetahuan
masyarakat atau warga negara melalui terbitnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973 Tahun 1973 Tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara.
Dalam Ketetapan ini orientasi dan paradigma bela negara diarahkan pada bentuk
mengisi kemerdekaan dengan menyukseskan pembangunan nasional dalam segala bidang.
Dalam klausul menimbang poin (b) TAP MPR RI No IV/MPR/1973 tentang Garis Garis
Besar Haluan Negara menjelaskan bahwa:

“Garis-garis Besar Haluan Negara itu harus memberikan kejelasan arah bagi
perjuangan Negara dan Rakyat Indonesia yang dewasa ini sedang membangun, agar
dengan demikian dapat mewujudkan keadaan yang diinginkan dalam waktu lima
tahun mendatang dalam rangkaian kontinuitasnya yang berjangka panjang, sehingga
secara bertahap dapat diwujudkan cita-cita Bangsa Indonesia”.

Selain itu, paradigma bela negara dalam periode kepemimpinan Presiden Soeharto
lebih mengarah pada upaya pertahanan dan keamanan negara. Hal itu terlihat dari

390 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 (UU No. 20/1982) tentang


Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia pasal
18, bahwa hak dan kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam
upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela negara sebagai
bagian tidak terpisah dalam sistem pendidikan nasional; keanggotaan rakyat terlatih secara
wajib; keanggotaan angkatan bersenjata secara sukarela atau secara wajib; keanggotaan
Cadangan Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan keanggotaan
Perlindungan Masyarakat secara sukarela.”
Adapun pendidikan pendahuluan bela negara yang dimaksud pada pasal itu
diwujudkan dalam bentuk Gerakan Pramuka pada jenjang pendidikan dasar hingga
menengah atas, serta Pendidikan Kewiraan pada jenjang pendidikan perguruan tinggi. Hal
itu dijelaskan pada pasal 19 UU No. 20/1982.
Selanjutnya, pasal 20 ayat (1) undang-undang itu menjabarkan ,bahwa “Rakyat
Terlatih merupakan salah satu bentuk keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara
secara wajib yang menunjukkan sifat kesemestaan dan keserbagunaannya dalam
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara”. Dalam hal ini, seperti dijelaskan dalam
pasal 20 ayat (3), anggota Rakyat Terlatih dapat secara suka rela memilih menjadi anggota
Angkatan Bersenjata maupun Cadangan Tentara Nasional Indonesia. Selain itu, anggota
Rakyat Terlatih “dapat dikenakan kewajiban dinas Angkatan Bersenjata dengan
meninggalkan bidang pengabdian atau pekerjaannya untuk waktu tertentu tanpa putusnya
hubungan kerja.”
Pada tataran tertentu, penjabaran itu menunjukkan bahwa paradigma bela negara pada
masa itu lebih berfokus pada upaya pertahanan dan keamanan negara, dan bahkan
mengarah pada penguatan kekuatan militer Indonesia.
Peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam bela negara semakin
diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1988 (UU No.1/1988) Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.
Dalam klausul menimbang poin (a) dan (b), UU ini menyatakan:

“a. bahwa Tentara Nasional Indonesia menjadi wadah tunggal perjuangan


bersenjata rakyat Indonesia dengan asas Pancasila berintikan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia”.
“b. bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia perlu menyediakan
kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara yang memenuhi persyaratan
untuk ikut serta dalam usaha pembelaan negara baik secara sukarela maupun
wajib”.

Penguatan peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) semakin terlihat


pada pasal 1 UU No.1/1988 yang menggugurkan pasal 21 dan 22 pada UU No.20/1982.
Dalam hal ini, pasal 21 UU No.20/1982 menempatkan Rakyat Terlatih sebagai syarat
menjadi anggota Angkatan Bersenjata; sedangkan pasal 22 undang-undang yang sama
mensyaratkan Rakyat Terlatih untuk keanggotaan Cadangan Tentara Nasional Indonesia.
Seperti dipaparkan dalam Penjelasan atas UU No.1/1988, langkah itu diambil karena
aturan sebelumnya dinilai menghambat perekrutan calon anggota ABRI. Terlebih,

391 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

undang-undang yang mengatur lebih lanjut tentang Rakyat Terlatih seperti diatur dalam
pasal 20 ayat (5) UU No.20/1982 tidak kunjung tiba. Secara spesifik, hal itu dinyatakan
sebagai berikut:

“Pelaksanaan undang-undang yang menetapkan adanya persyaratan utama tersebut


berdasarkan pengalaman dalam praktek sulit dilaksanakan, di satu pihak merupakan
kendala bagi warga negara untuk menjadi anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, dan di lain pihak menyulitkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
untuk memperoleh calon anggota yang dibutuhkan. Oleh karena itu, Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia tidak dapat menunggu sampai dengan tersusunnya
pengaturan mengenai Rakyat Terlatih, demikian pula halnya warga negarapun tidak
dapat menunggu sampai keluarnya pengaturan dimaksud sebagai penyaluran hak dan
kewajibannya untuk ikut serta dalam pembelaan negara”.

Dengan demikian, menurut undang-undang tersebut, orientasi dan paradigma bela


negara mulai tersusun secara sistematis dan terorganisasi dalam bentuk wadah secara
konkret dalam bentuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam berpartisipasi dalam
pembangunan nasional.

D. Meninjau Paradigma Bela Negara di Era Pascareformasi


Fase yang cukup signifikan dalam konteks pendidikan dan pemahaman bela negara
ialah pada era reformasi yang ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Presiden
Soeharto pada tahun 1998. Upaya bela negara pasca Reformasi 1998 diawali dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1999 (UU No.56/1999) tentang Rakyat
Terlatih pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie. Menurut pasal 1 undang-undang
ini, Rakyat Terlatih (Ratih) adalah “komponen dasar kekuatan pertahanan keamanan
negara yang mampu melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat,
keamanan rakyat, dan perlawanan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pertahanan
keamanan negara.” Selanjutnya, pasal 3 undang-undang itu mengatakan bahwa “Rakyat
Terlatih merupakan salah satu wadah dan bentuk keikutsertaan warga negara sebagai
perwujudan hak dan kewajiban dalam usaha pembelaan negara yang menunjukkan sifat
kesemestaan dan keserbagunaan dalam penyelenggaraan pertahanan keamanan negara
Merujuk kedua pasal itu, terlihat bahwa paradigma bela negara yang dimaksud dalam
UU No.56/1999 cenderung menekankan aspek pertahanan dan keamanan (hankam), yakni
pembentukan komponen dasar dalam penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Pada
tataran tertentu, dapat dikatakan bahwa kecenderungan ini berhubungan dengan
ketidakstabilan sosial politik pasca Reformasi.
Paradigma bela negara baru secara eksplisit diarahkan pada pendidikan
kewarganegaraan seperti yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 (UU
No.3/2002) tentang Pertahanan Negara yang dikeluarkan pada masa pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri. Pasal 9 undang-undang itu menyebutkan bahwa warga
negara wajib berpartisipasi dalam upaya bela negara yang dapat diimplementasikan dalam
pendidikan kewarganegaraan, maupun pelatihan dasar kemiliteran secara wajib,

392 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara suka rela atau wajib,
dan pengabdian sesuai profesi.
Dasar yuridis penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan ini terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat
(1) yang menyebutkan bahwa: Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. Pendidikan agama;
b. Pendidikan kewarganegaraan;
c. Bahasa;
d. Matematika;
e. Ilmu pengetahuan alam;
f. Ilmu pengetahuan sosial;
g. Seni dan budaya;
h. Pendidikan jasmani dan olahraga;
i. Keterampilan/kejuruan; dan
j. Muatan lokal.

Selanjutnya, ayat (2) undang-undang tersebut menekankan bahwa kurikulum


pendidikan tinggi wajib memuat :
a. Pendidikan agama;
b. Pendidikan kewarganegaraan; dan
c. Bahasa.
Aspek yuridis pendidikan kewarganegaraan dalam pendidikan formal Indonesia
semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi yang dikeluarkan pada periode ke dua pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Adapun pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi itu menyebutkan bahwa: Kurikulum Pendidikan Tinggi
wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila, kewarganegaraan, serta bahasa Indonesia.
Posisi pendidikan kewarganegaraan dalam pendidikan dan pengajaran pada era
pascareformasi memiliki posisi yang jelas dalam aspek yuridis bahwa pendidikan
kewarganegaraan diletakkan dalam paradigma pendidikan kewarganegaraan yaitu
mendidik warga negara yang memiliki nilai dan prinsip bela negara.
Salah satunya yang menjadi perhatian ialah kurikulum pendidikan kewarganegaraan
yang mengalami penguatan materi tentang bela negara pada tahun 2016 dengan terbitnya
buku ajar yang dibuat oleh Kementerian Riset Teknologi dan Dikti untuk Perguruan
Tinggi.
Dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan(2016) istilah Bela negara
masuk dalam bab pembahasan pada bab IX, topik yang ditawarkan dalam bab ini adalah
Bagaimana Urgensi Dan Tantangan Ketahanan Nasional Dan Bela negara Bagi
Indonesia Dalam Membangun Komitmen Kolektif Kebangsaan?. Materi yang dibahas
dalam bab IX ini menjelaskan hubungan Bela negara dengan ketahanan nasional.
Bab IX ini menguraikan tentang konsep dan urgensi ketahanan nasional dan bela
negara, alasan diperlukan ketahanan nasional dan bela negara, menjelaskan sumber
historis, sosiologis, politis tentang ketahanan nasional dan bela negara, dinamika dan

393 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

tantangan bela negara, dan esensi dan urgensi ketahanan nasional dan bela negara
(Belmawa, 2016).
Pada aspek pendidikan, paradigma bela negara diletakkan dalam dua pengertian yaitu
Bela negara secara fisik dan non fisik. bela negara secara fisik dengan cara angkat senjata
menghadapi serangan musuh atau agresi militer. Secara non fisik diartikan segala sesuatu
mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara meningkatkan
kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air, serta
berperan aktif memajukan bangsa dan negara, sebagai contoh dalam hal kesadaran
membayar pajak. Selain itu, dapat dikatakan bahwa buku teks itu secara eksplisit
menekankan isu ketahanan nasional (Direktorat Jenderal Belmawa, 2016:251-269). Bela
negara.
Pada konteks ini, bela negara dalam buku teks Pendidikan Kewarganegaraan yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Ditjen Belmawa
Kemenristekdikti) mengacu pada definisi bela negara yang tercantum dalam Penjelasan
UU No 3 Tahun 2002 bahwa :

“Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh
kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup
bangsa dan negara. Upaya Bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia,
juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan
penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada
negara dan bangsa” (Ditjen Belmawa, 2016:250).

Definisi bela negara kemudian dikembangkan pada Peraturan perundang-undangan


pendukung terkait dengan pengertian bela negara terdapat pada Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2019 (UU Nomor 23 Tahun 2019) Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional
Untuk Pertahanan Negara pasal 1 ayat (11) mendefinisikan Bela negara sebagai berikut:

“Bela negara adalah tekad, sikap, dan perilaku serta tindakan warga negara, baik
secara perseorangan maupun kolektif dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan bangsa dan negara yang dijiwai oleh kecintaannya
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjamin
kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan Negara dari berbagai Ancaman”.

Selain itu, UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional
Untuk Pertahanan Negara juga secara rinci menyebutkan nilai-nilai dasar bela negara,
seperti yang tercantum pada pasal 7 ayat (3), yaitu cinta tanah air, sadar berbangsa dan
bernegara, setia pada Pancasila, rela berkorban untuk bangsa dan negara, serta kemampuan
awal bela negara.
Pasal 6 ayat (2) undang-undang itu juga mengafirmasi UU No. 3/2002 tentang
Pertahanan Negara bahwa warga negara wajib berpartisipasi dalam upaya bela negara
yang dapat diimplementasikan dalam pendidikan kewarganegaraan, maupun pelatihan

394 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia
(TNI) secara suka rela atau wajib, dan pengabdian sesuai profesi. UU Nomor 23 Tahun
2019 juga mencabut UU Nomor 56 Tahun 2009 tentang Rakyat Terlatih (Ratih); sehingga
pada tataran tertentu dapat dikatakan bahwa dengan mencabut undang-undang tentang
Ratih, paradigma Bela negara semakin bergeser dari upaya bela negara yang bersifat
pengerahan kekuatan fisik ke arah pendidikan kewarganegaraan.
Sebelum dikeluarkannya undang-undang tersebut, pada tahun 2018, Presiden Joko
Widodo (Jokowi) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Rencana Aksi Nasional tentang bela negara Tahun 2018-2019. Akan tetapi, Inpres ini tidak
secara ekplisit mencantumkan bela negara dalam pendidikan kewarganegaraan. Isi dari
instruksi ini lebih fokus untuk dapat menyelaraskan dan memantapkan upaya bela negara
menjadi lebih sistematis, terstruktur, terstandarisasi, dan masif dalam bentuk kegiatan
berkelanjutan seperti kemah bela negara, penguatan peran aktif Resimen Mahasiswa
(Menwa) untuk mendidik kader bela negara di lingkungan perguruan tinggi.
Berdasarkan dari hasil kajian dan analisis tentang paradigma bela negara yang
diletakkan di Indonesia sejak pascareformasi, secara sistematis periode transformasi
paradigma bela negara dapat terlihat dari analisis perubahan pemerintahan sebagaimana
dalam tabel berikut ini:
Tabel 1 Transformasi Paradigma Bela negara

Kebijakan/Produk
No Pemerintahan Periode Hukum terkait Bela Fokus Contoh
negara
1. Presiden Soekarno 1945-
1967 UU Nomor 29 Tahun
1954 tentang Pokok
Perlawanan Rakyat Peran warga negara - Pembentukan
tentang pembelaan Organisasi
negara Keamanan Desa
Pengerahan tenaga (OKD) dan
rakyat untuk Organisasi
Pertahanan negara Perlawanan Rakyat
(OPR) pada periode
1958-1960.

- OKD dan OPR


dilanjutkan menjadi
Perthanan Sipil,
Perlawanan dan
Keamanan Rakyat,
termasuk Resimen
Mahasiswa pada
tahun 1961.

- Pembentukan
Perwira Cadangan
pada tahun 1963.
2. Presiden Soeharto 1968- - UU No. 20/1982 - Penekanan Bela - Penyelenggaraaan
1998 tentang Ketentuan- negara pada upaya Gerakan Pramuka di
Ketentuan Pokok pertahanan dan tingkat pendidikan
Pertahanan kemanan negara, dasar hingga
Keamanan Negara serta dukungan pada menengah atas, serta
Republik Indonesia kekuatan militer Pendidikan

395 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

Kebijakan/Produk
No Pemerintahan Periode Hukum terkait Bela Fokus Contoh
negara
Kewiraan di
perguruan tinggi

- Rakyat Terlatih

- Penguatan posisi
- UU No. 1/1988 ABRI dalam Bela
Tentang Perubahan negara
Atas UU No. 20/1982 Bela negara
Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok
Pertahanan
Keamanan Negara
Republik Indonesia.
3. Era pasca 1999- - UU No.56/1999 - Pertahanan - Pembentukan
Reformasi 2020 keamanan Rakyat Terlatih
- Peran aktif warga
negara, baik sipil
dan militer dalam
Bela negara
-
- Peran aktif warga
negara, baik sipil
dan militer dalam
Bela negara

- UU Nomor 3 Tahun Muatan Bela Negara


2002 tentang pada pendidikan
Pertahanan Negara kewarganegaraan,
pelatihan dasar
militer secara wajib,
keanggotaan TNI,
dan pengabdian
sesuai profesi

- Bela Negara pada


pendidikan
- UU Nomor 23 Tahun kewarganegaraan,
2019 tentang pelatihan dasar
Pengelolaan Sumber militer secara wajib,
Daya Nasional Untuk keanggotaan TNI,
Pertahanan Negara dan pengabdian
sesuai profesi

Dimuatnya nilai-nilai
dasar Bela negara
secara rinci, yaitu:
cinta tanah air,
sadar berbangsa dan
bernegara, setia
pada Pancasila, rela
berkorban untuk
bangsa dan negara,

396 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

Kebijakan/Produk
No Pemerintahan Periode Hukum terkait Bela Fokus Contoh
negara
serta kemampuan
awal Bela negara

Berdasarkan tabel 1 di atas menunjukkan bahwa paradigma bela negara di


Indonesia secara umum mengalami perubahan dalam konteks cara pandang dan cara pikir
dalam memahami konsep dan esensi bela negara di era pascaformasi. Perubahan ini
berpengaruh dalam konstruksi pengetahuan masyarakat tentang bela negara melalui
pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan khususnya di Perguruan
Tinggi tidak hanya membangun pengetahuan masyarakat tentang peran warga negara
dalam kehidupan bernegara secara demokratis tetapi paradigma bela negara dalam
pendidikan kewarganegaraan juga meletakkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip warga negara
berperan aktif dalam usaha pembelaan negara melalui tindakan secara nyata seperti
membayar pajak, berkarya nyata untuk kemanusiaan, melaksanakan kehidupan demokrasi,
hingga beradaptasi dan mengatasi berbagai tantangan global yang memberi dampak bagi
kehidupan bernegara Indonesia.

VII. Kesimpulan
Paradigma bela negara pada era pasca reformasi menjadi titik pijak penting dalam
kehidupan masyarakat dan berkewarganegaraan. Proses pemaknaan dan pemahaman bela
negara terjadi pada dua aras yaitu aras dari pemerintah yang menegaskan melalui peraturan
perundang-undangan, serta aras dari masyarakat yang menekankan pada upaya-upaya
untuk bela negara dalam bentuk peran serta aktif mereka dalam usaha mengisi
pembangunan. Pergeseran paradigma bela negara di Indonesia secara khusus dalam
konteks pendidikan kewarganegaraan mengalami perkembangan yang sangat penting dari
paradigma militeristik, non militeristik dangan menekankan aspek teknis sampai pada bela
negara dalam konteks penanaman nilai-nilai Bela negara sebagai tertuang dalam UU
Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan
Negara. Peran masyarakat dan dunia pendidikan menjadi proses penting pengarus utamaan
Bela negara. Penelitian ini telah menunjukkan secara umum bahwa paradigma bela negara
yang berkembang di Indonesia mulai dari paradigma negara kemudian berkembang
menjadi paradigma untuk pendidikan dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
mengalami evolusi dalam bentuk materi dan metode yang dikembangkan.
Berbagai model pendidikan bela negara atau menanamkan nilai-nilai bela negara telah
dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, program, dan aktivitas yang mendorong
pengenalan kembali rasa cinta tanah air yang sudah diuraikan pada bab di atas. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa paradigma bela negara pada era pasca reformasi
khususnya dalam pendidikan kewarganegaraan mengarahkan peserta didik untuk taat dan
patuh pada negara dengan loyalitas yang ditunjukkan pada peran serta aktif sebagai warga
negara. Hal ini yang memberikan titik pijak paradigma bela negara dari militeristik
menjadi non militeristik dengan pendekatan keterlibatan aktif warga negara (civic
engagement).

397 |Civic Culture


“Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial Budaya” Hal. 383-398
ISSN 2579-9924 (Online)
ISSN 2579-9878 (Cetak)
Volume 4 No.2 July 2020

Daftar Pustaka
Belmawa, D. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan.
Dhont, F. (2005). Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Gore, A. (2013). The Future: Six Drivers of Global Change. New York: Random House.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional tentang Bela negara
Tahun 2018-2019.Rowe, C., & Schofield, M. (2001). Sejarah Pemikiran Politik Yunani
dan Romawi. Cambridge University Press.
Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela negara.
Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 85 Tahun
2017 Tentang Statuta Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Samsuri. (2011). Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan Era Reformasi Di Indonesia. Cakrawala
Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2. H, 267-281.
Sarosa, S. (2017). Penelitian Kualitatif Dasar Dasar. Jakarta: Indeks.
Schmandt, H. J. (2009). Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman
Modern. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Soepandji, K. W., & Farid, M. (2018). Konsep Bela negara Dalam Perspektif Ketahanan Nasional.
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No. 3 Juli-September 2018, 436-456.
Suabuana, Parhan, C., Chepy, M. I., & Fitria, R. (2018). Model Bela negara Dalam Pendidikan
Kewarganegaraan Pada Perguruan Tinggi Melalui Project Citizen. JURNAL
SOSIORELIGI Volume 16 Nomor 1, Edisi Maret 2018, .
Tippe, S. (2013). Implementasi Kebijakan Bela negara Di Perbatasan : Studi Kasus Di Provinsi
Papua. Jurnal Sosioteknologi Edisi 29 Tahun 12, Agustus 2013, 416-440.
Tuathail, G. Ó., Dalby, S., & Routledge, P. (1998). The Geopolitics Reader. New York: Routledge.
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Undang-Undang Nomor 23 T ahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk
Pertahanan Negara.
Undang-Undang No.29 Tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
Undang-Undang No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI. Diubah oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973 Tahun
1973 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1988 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan
Negara Republik Indonesia.

398 |Civic Culture

Anda mungkin juga menyukai