Anda di halaman 1dari 250

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344373374

Buku Tahapan Pembangunan Masyarakat

Book · September 2020

CITATIONS READS

0 296

1 author:

Wahyu Gunawan
Universitas Padjadjaran
33 PUBLICATIONS   22 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

poster competition View project

PPM OKK View project

All content following this page was uploaded by Wahyu Gunawan on 25 September 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TAHAPAN
PEMBANGUNAN MASYARAKAT
ii
TAHAPAN
PEMBANGUNAN MASYARAKAT

Editor:
Wahyu Gunawan

iii
Copyright @2017, Wahyu Gunawan (ed)
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau meperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Cetakan I, 2018
Diterbitkan oleh Unpad Press
Gedung Rektorat Unpad Jatinangor, Lantai IV
Jl. Ir. Soekarno KM 21 Bandung 45363
Telp. (022) 84288867/ 84288812 Fax : (022) 84288896
e-mail : press@unpad.ac.id /press@unpad.ac.id
http://press.unpad.ac.id
Anggota IKAPI dan APPTI

Review: Junardi Harahap dan Nunung Nurwanti


Desain Cover : Wahyu Gunawan
Tata letak :Wahyu Gunawan

Katalog

Wahyu Gunawan (ed)

Tahapan Pembangunan Masyarakat,/Editor, Wahyu Gunawan;


Penulis, Wahyu Gunawan, Fardina Himma, Bintarsih
Sekarningrum, Megia Ginanjar, Rasdica Denara, Boviyanti Arlina
Sa’adiah, Tachya Muhamad, Desi Yunita, Asep Sukarna, Budi
Sutrisno, M/ Fadhil Nurdin, Agung Mahesa Himawan
--Cet. I – Bandung; Unpad Press; 2018

xvi, h.; 25 cm
ISBN 978-602-439-304-5

I . Judul II. Wahyu Gunawan (ed)

iv
PRAKATA

Buku ini di siapkan sudah cukup lama, dimulai tahun 2011, ketika
beberapa dosen Sosiologi Unpad bertemu di Ruang Program studi
Sosiologi untuk membuat sebuah desa binaan atas permintaan Dekan
Fisip Unpad (Ari Bainus). Adalah Wahyu Gunawan, seorang dosen
sosiologi yang mempunyai keminatan pada pemberdayaan masyarakat,
yang pertama kali menyampaikan gagasan untuk membuat desa binaan
di Pasir Ipis lembang sebuah tempat yang sulit di jangkau kendaraan
meski hanya 2 Km dari Pusat Kecamatan Lembang, yang menjadi
destinasi utama di Bandung Utara. Gagasan timbul karena permintaan
Asep Sukarna dan Iwan dari Pemuda Lembang dengan di fasilitasi Alumi
Unpad Rony dengan dukungan dari para pemuda Karang Taruna Pasir
Ipis lembang, Dede dkk untuk mengembangkan wilayah Pasir Ipis
Lembang.Selain itu juga dalam awal pembicaraan desa wisata tersebut
harus dibuat menjadi sebuah buku untuk paripurnanya dosen sosiologi
tahun 2017 yaitu R.A Tachja Muhamad, dengan demikian buku ini tidak
di rancang sesaat tetapi sudah di siapkan 6 tahun yang lalu, dan kami
dedikasikan untuk R.A Tachja yang sudah berkiprah membantu
berdirinya sosiologi Unpad ini sejak awal perintisan tahun 2010, semoga
menjadi buku ini menjadi kenangan bersama atas semua karya, cipta dan
karsanya..
Rangkaian perancangan buku ini dilakukan mulai tahun 2011
ketika sekelompok dosen, R.A Tachja, Wahyu Gunawan, Budi Sutrisno,
Ari Ganjar di bantu oleh tenaga kependidikan Aang, Agus Subagja,
Dedeng Rahardja dan Hafidz mulai melakukan kunjungan observasi ke
daerah lokasi yang di rancang. Hasil Observasi kemudian di lanjutkan
dengan persiapan persiapan- penulisan dengan menyiapkan mahasiswa
sosiologi 2012 untuk membuat tulisan tentang Pasir Ipis, Alhamdulilah :
Fardina Himma, Megia Ginanjar, Rasdica Denara, Noviyanti Arlina
Sa’adiah menyumbangkan hasil tulisan mereka. Sebetulnya banyak tulisan
tentang pasir ipis yang sudah di hasilkan seperti tulisan bersama dengan
Ari Ganjar, sayang karena sudah terpublikasi tidak bisa kami muat dalam
buku ini.

v
Buku ini di bagi dalam empat bagian, bagian pertama adalah
konsep dan teori dalam tahapan pembangunan masyarakat dan
implementasinya. Tulisan menarik dengan gagasan baru dari Wahyu
Gunawan mengenai tahapan pembangunan masyarakat hasil dari temuan
lapangan selama 5 tahun sebagai pemberdaya masyarakat di Pasir Ipis
Lembang. Kemudian secara berurutan Fardina Himma, Megia Ginanjar,
Rasdica Denara, Noviyanti Arlina Sa’adiah menjelaskan kajian mereka
secara implementatif tentang pemetaan sosial, perencanaan sosial,
pembangunan sosial dan pengendalian sosial menjadi pembuka tulisan
buku ini dengan sangat jelas, runtut dan tuntas. Salah satu tulisan yang
bersinergi dengan Megia Ginanjar adalah karya Bintarsih Sekarningrum
dan Desi Yunita yang melengkapi dengan kajian teoritis perencanaan
partisipatif.
Bagian kedua adalah kajian mendalam mengenai pembangunan
masyarakat berbasis wisata, yang di mulai dari tulisan R.A Tachja
Muhamad dan Budi Sutrisno yang mengajukan tahapan pembangunan
berbasis aset, diikuti Desi Yunita yang mengajukan gagasan Desa Wisata
Berbasis Common Property di Kampung Pasir Ipis Desa Jayagiri Kecamatan
Lembang sebagai manajemen konflik antara pengembang wisata yang
berbasis pemberdayaan masyarakat dengan fihak Perhutani yang
mempunyai wilayah hutan.
Bagian ketiga dari buku ini adalah tulisan karena permintaan para
reviewer untuk menjawab implementasi pembangunan masyarakat
berbasis desa wisata di kaitkan dengan kemiskinan dan budaya lokal di
pasir ipis, Asep Sukarna salah satu agen pembangunan di Pasir Ipis yang
selama ini mendampingi para penulis di lapangan menyumbangkan
tulisan terkait Desa Wisata Sebagai Sebuah Solusi Pengentasan
Kemiskinan, diikuti tulisan Budi Sutrisno terkait Desa Wisata Berbasis
Budaya Lokal, sehingga semakin lengkaplah buku ini di rancang oleh tim
penulis dan di sempurnakan oleh para reviewer Unpad.
Bagian terakhir adalah unsur masukan diluar kondisi kajian pasir
ipis , terkait dengan kebijakan kehutanan di Indonesia berupa analisis
kinerja pembangunan dari Muhamad Fadhil Nurdin dan Agung Mahesa
Himawan Dorodjatoen sebagai penambah wawasan untuk para pembaca
yang budiman mengenai optimalisasi manajemen Lingkungan Hidup.
Tulisan pertama dari buku ini adalah mengenai pemikiran orisinil
dari hasil pengalaman lapangan tentang tahapan Pembangunan
masyarakat oleh Wahyu Gunawan, yang menjelaskan 6 tahapan dalam
vi
pembangunan masyarakat yang dilakukan : 1) Identifikasi masalah dan
potensi masyarakat melalui pemetaan sosial, sehingga dapat di lanjutkan
ke, 2)Perencanaan sosial, yang terdiri dari rencana untuk melakukan
kegiatan oleh, dari dan untuk masyarakat, dalam bentuk implementasi
perencanaan dalam pembangunan, 3)Pembangunan masyarakat yang
terdiri dari aspek sektoral pembangunan seperti sosek, sosial budaya,
pendidikan dan kesehatan atau khusus pembangunan masyrakat yang
terkait struktur, proses, hubungan, interaksi dan kelembagaan yang ada
di masyarakat. 4) Rekayasa sosial adalah suatu proses penciptaan ide ide
kreatif yang dilakukan untuk terselenggaranya pembangunan masyarakat
melalui rekayasa-rekayasa tertentu yang di ciptakan secara inovatif dan
kreatif. 5) Pengendalian sosial, berupa pengawasan atau kontrol sosial
yang dilakukan oleh masyarakat dalam melihat dan menilai proses sebuah
pembangunan yang di lakukan masyarakat. 6) Tertib sosial artinya dari
proses tersebut tercapainya ketertiban masyarakat.
Tulisan yang kedua adalah Pemetaan Sosial Dalam Pengembangan
Kampung Wisata Pasir Ipis, Desa Jayagiri dari Fardina Himma, yang
menyajikan pemetaan sebagai bagian dari teknik PRA atau Participatory
Rural Appraisal. PRA digunakan karena masyarakat lokal merupakan
informan yang mengetahui dengan baik kondisi daerah sekitarnya, hal ini
sejalan dengan konsep CBT atau Community Based Tourism yang
merupakan model pembangunan yang memberikan peluang yang
sebesar-besarnya kepada masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan pariwisata. Penyusunan peta sosial sendiri didasarkan pada
asumsi bahwa kondisi geografis mempengaruhi kondisi sosial budaya
suatu masyarakat. Kondisi sosial budaya sendiri diteliti dalam rangka
mengungkap potensi sosial-budaya, hubungan sosial-budaya, hubungan
kelembagaan termasuk potensi terjadinya konflik, sedangkan kondisi
umum dalam pemetaan dibuat untuk mengetahui kondisi umum yang
mencakup kondisi geografis (fisik dan lingkungan) suatu wilayah, sumber
daya, serta sarana dan prasarana yang ada.
Dengan kata lain untuk mengembangkan Kampung Pasir Ipis
menjadi kawasan destinasi wisata yang menarik Pasir Ipis perlu
memenuhi ketiga syarat tersebut. Untuk sekarang Pasir Ipis telah
memenuhi dua syarat yaitu “something to see” seperti pemandangan dan
benteng peninggalan Belanda serta “something to do” yaitu kegiatan
pemenuhan hobi seperti berkemah, berkebun, maupun hiking yang

vii
dilakukan dalam rangka rekreasi. Sedangkan “something to buy” belum
tersedia di lingkungan Kampung Wisata Pasir Ipis.
Dalam tulisan ke tiga, Bintarsih dan Desi Yunita menjelaskan
secara kajian teoritis Perencanaan Partisipatif Dalam Pengembangan
Desa Wisata dari Timothy (1999) bahwa perencanaan pariwisata
dipandang sebagai satu cara untuk memaksimalkan manfaat pariwisata
pada satu wilayah dan mengurangi permasalahan yang mungkin terjadi
sebagai hasil dari pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pariwisata
terdiri dari dua perspektif, yaitu partisipasi lokal dalam proses
pengambilan keputusan dan partisipasi lokal berkaitan dengan
keuntungan yang diterima masyarakat dari pembangunan pariwisata.
Model tersebut menunjukkan ada 3 hal pokok dalam perencanaan
pariwisata secara partisipatif, yaitu upaya untuk mengikutsertakan
anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan, adanya partisipasi
lokal untuk menerima manfaat dari kegiatan pariwisata dan pendidikan
kepariwisataan bagi masyarakat lokal.
Perencanaan partisipatif menjadi faktor yang penting untuk
menggerakkan semua masyarakat desa agar memiliki pemahaman dan
kesadaran yang sama, sehingga tercapainya tujuan pembentukan desa
wisata sejalan dengan apa yang menjadi harapan bahwa kesejahteraan
masyarakat desa dapat ditingkatkan melalui pengembangan pariwisata
desa. Perencanaan partisipatif juga menjadi penting untuk dilakukan
dalam rangka memetakan potensi, memberdayakan potensi, penguatan
kelembagaan, peningkatan pemahaman, peningkatan peran serta,
peningkatan kapasitas, dan peningkatan kualitas, baik pariwisata maupun
masyarakat.
Tulisan yang empat adalah Evaluasi Perencanaan Sosial Dalam
Program Pengembangan Masyarakat Di Kampung Wisata Pasir Ipis dari
Megia Ginanjar yanng menerangkan dengan gamblang pembangunan
kampung Wisata Pasir Ipis pada mulanya berdasarkan keinginan dari
sebagian masyarakat Pasir Ipis. Masyarakat tersebut mengajak beberapa
pihak lain yang terkait di dalam pembangunan Kampung Wisata Pasir
Ipis. Salah satu pihak lain yang membantu pembangunan Kampung Pasir
Ipis menuju Kampung Wisata adalah Unpad Fakultas FISIP Jurusan
Sosiologi sebagai salah satu stakeholder yang berperan penting di dalam
pembangunan Kampung Wisata Pasir Ipis. Pihak Unpad melihat bahwa
di dalam mengembagakan potensi kepariwisataan perlu diimbangi
dengan pengembangan masyarakat setempat agar mereka tidak hanya
viii
menjadi penonton dari perubahan yang terjadi, tapi justru menjadi subjek
yang mampu menentukan arah pengembangan potensi desanya bagi
peningkatan kesejahteraan diri dan warga di lokasi desa wisata tersebut.
Melihat pentingnya pengembangan masyarakat tersebut di dalam
pembangunan Pasir Ipis menjadi kampung wisata, Unpad membuat
program yang mengintegrasikan antara model pemberdayaan masyarakat
(community development) dan pendidikan politik berbasis kesadaran
kewarganegaraan (citizenship).
Bentuk kegiatan yang dilakukan Unpad di dalam program
pengembangan ini dibagi menjadi 5 bentuk, yaitu:
(1) Pemetaan kondisi existing.
(2) Perencanaan dan perancanangan dengan teknik partisipatif
masyarakat.
(3) Tahapan konstruksi dengan teknik partisipatif.
(4) Pengembangan program meliputi pembangunan sarana prasarana
fisik berupa tempat wisata terpadu, pemberdayaan masyarakat,
dam pendampingan masyarakat dalam perumusan regulasi
program.
(5) Inkubasi program dan pengembangan program

Hasil perencanaan pembangunan Pasir Ipis, telah banyak yang


diimplementasikan. Perencanaan yang telah terealisasi sudah diangka
80%. Implementasi secara fisik yang sangat dirasakan oleh sebagian
masyarakat. Masyarakat menggangap hanya camping ground saja
perencanaan yang terealisasi. Jika ditinjau dari kegiatan serta job desk
yang dilakukan Unpad di dalam perencanaan Kampung Wisata Pasir Ipis.
Unpad telah melakukan dengan job desk yang sesuai dengan Stakeholder
engagement pada masterplan Perencanaan Pembangunan Terpadu
Kawasan Ekowisata yang Berkelanjutan di Pasir Ipis, Desa Jayagiri. Job
desk tersebut antara lain Unpad sudah bekerjasama dengan Pemuda
Lembang dan Karang Taruna dalam mengontrol dan memberikan
bimbingan kepada masyarakat dalam kegiatan pembangunan ini. Pihak
Unpad sudah melakukan analisis sosial berupa pemetaan sosial untuk
mengetahui potensi yang dimiliki desa Pasir Ipis secara keseluruhan.
Selanjutnya sudah melakukan survey sosial untuk mengetahui kesiapan
masyarakat Pasir Ipis dalam kegiatan pembangunan. Pihak Unpad sudah
melakukan studi banding dengan desa lainnya yang mengalami
perubahan pembangunan yang sama dengan Desa Pasir Ipis, untuk
ix
mengomparasikan potensi-potensi yang dimiliki dan langkah apa yang
harus ditempuh untuk mengembangkan potensi tersebut. Unpad sudah
melakukan Kegiatan workshop simulasi pembangunan juga diadakan
dengan pihak stakeholders lokal maupun internasional di Pasir Ipis
ataupun di FISIP Unpad sendiri. Unpad sudah melakukan pembangunan
dan pengendalian sosial terhadap semua dampak kegiatan di kampung
wisata Pasir Ipis untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi.
Pihak Unpad sudah melakukan pencarian dana juga dilakukan untuk
mendukung kegiatan pengembangan pembangunan kampung wisata
Pasir Ipis dalam bentuk apapun bersama dengan semua stakeholder yang
terkait.
Tulisan kelima adalah tentang Partisipasi Komunitas Dalam
Pembangunan Wisata Kampung Pasir Ipis oleh Rasdica Denara H.P.
yang mengkaji pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis merupakan
suatu pembangunan guna menjadikan Kampung Pasir Ipis sebagai
sebuah kampung wisata. Kampung wisata sebagai suatu objek wisata
yang akan mendatangkan profit, dimana menjadi suatu objek wisata yang
ingin dikunjungi wisatawan perlu memberikan kemudahan bagi para
wisatawan, yakni dengan cara memberikan dan melengkapi sarana dan
prasarana yang ada disana untuk para wisatawan.
Berdasarkan hasil temuan dilapangan, dari hasil wawancara yang
diperoleh bahwa dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan wisata di
Kampung Pasir Ipis ini telah memberikan manfaat yang besar bagi
masyarakat Kampung Pasir Ipis. Maanfaat yang ada dari segi aspek
materialnya adalah masyarakat khususnya komunitas pengembang
mendapatkan tambahan pendapatan dari event-event yang ada di wilayah
camping ground. Para pemuda yang putus sekolah dan tidak memiliki
pekerjaan ataupun warga yang memiliki pekerjaan tetapi pendapatan
minim, mereka menjadikan kegiatan pembangunan wisata ini menjadi
pekerjaan samping untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Hal
tersebut juga dirasakan oleh para ibu-ibu dari kelompok usaha bersama
“Srikandi Mandiri”, mereka mendapatkan pendapatan tambahan dengan
adanya pesanan kue atau snack dari acara dan kegiatan yang ada di
camping ground. Selain itu mereka mengaku mendapatkan banyak
pengalaman dan ilmu yang didapat dari beberapa sosialisasi dan pelatihan
yang diberikan kepada pihak BDC Widyatama seperti adanya wisata ke
daerah Cikutra, mengenai usaha kuliner. Hal ini disampaikan oleh salah
satu anggota kelompok usaha bersama di Kampung Pasir Ipis
x
Semua yang ikut dalam pelaksanaan pembangunan wista di
Kampung Pasir Ipis haruslah dapat menikmati hasil dari pembangunan
wisata itu sendiri secara adil dan bijaksana. Pembagian hasil yang adil
guna menghindarkan kesalahpahaman diantara semua pihak yang terlibat
dan menekan kemungkinan terjadinya konflik. Pembagian hasil atau
sharing profit diantara semua pihak belumlah adil karena tidak ada
kesepakatan bersama diantara semua pihak. Terlebih lagi bahwa hasil
yang didapatkan belum melibatkan PT. Perhutani selaku pemilik lahan
atau wilayah perhutanan yang digunakan untuk camping ground hal
tersebut disebabkan karena belum adanya perjanjian tertulis dari kedua
belah pihak yaitu PT. Perhutani dengan Pengelola Kampung Wisata Pasir
Ipis. Partisipasi komunitas dalam pemanfaatan pembangunan dari aspek
manfaat sosial dan manfaat pribadi selain meningkatkan wawasan
masyarakat dan komunitas mengenai pembangunan dan pengembangan
wisata adalah dengan adanya tempat wisata baru yaitu “Kaulinan urang
lembur” dimana masyarakat dapat memanfaatkannya secara bersama.
Seperti yang dinyatakan oleh salah satu informan yang juga selaku
founding father.
Pada dasarnya partisipasi komunitas dalam pembangunan wisata
Kampung pasir Ipis memang sudah cukup baik, mereka sudah memiliki
kemauan dan kemampuan untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan
wisata yang diwujudkan dalam keikutsertaan komunitas dalam
memberikan bantuan dalam bentuk tenaga dan materi atau uang. Hanya
saja hambatan-hambatan baik dari internal maupun eksternal
mempengaruhi motivasi mereka dalam bertindak dan berpartisipasi.
Tulisan yang terakhir dari bagian pertama tahapan pembangunan
masyarakat adalah Pola Pengendalian Sosial Komunitas Pengembang
Kampung Wisata Pasir Ipis dari Noviyanti Arlina Sa’adiah yang mengkaji
Pengendalian sosial sebagai suatu proses, baik yang direncanakan atau
tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga
masyarakat agar mematuhi khaidah-khaidah dan nilai-nilai sosial yang
berlaku. Setiap orang pasti selalu menciptakan hubungan dengan orang
lain untuk membentuk suatu interaksi dalam kelompok dengan tujuan
untuk mencapai apa yang diinginkan. Tentunya, harapan itu akan menjadi
kenyataan bilamana setiap warga masyarakat dalam pergaulannya berhasil
menunjukan peranan yang diharapkan (role of expectation). Oleh karena itu,
tindakan-tindakan manusia di dalam kelompoknya biasanya diatur oleh
pengendalian sosial.
xi
Dalam konteks pengendalian sosial di kampung wisata Pasir Ipis
ini yang melakukan pengendaliannya adalah komunitas pengembang
kepada masyarakat, dimana terlaksanakannya pengendalian sosial harus
dipantau atau di kontrol agar sesuai dengan harapan. Kontrol yang
dilakukan harus dilakukan oleh semua pihak baik dari pihak komunitas
pengembang ataupun masyarakat. Komunitas pengembang harus
mengontrol masyarakat agar terlihat bahwa pengdalian sosial sudah
sesuai atau belum, sama halnya dengan masyarakat yang harus
mengontrol komunitas pengembang agar pola pengendalian sosial
terlaksana sesuai dengan tujuan awal komunitas pengembang dalam
pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.Pola pengendalian sosial yang
dilakukan oleh komunitas pengembang dalam pembangunan Kampung
Wisata Pasir Ipis tentunya ditujukan untuk mencapai suatu keteraturan
sosial. Dalam pembangunan kampung wisata ini komunitas
menginginkan adanya keteraturan antara tujuan dari perencanaan
pembangunan tersebut. Adanya sistem nilai dan norma yang jelas dalam
pembangunan kampung Pasir Ipis menjadi salah satu faktor kesuksesan
untuk mencapai suatu keteraturan sosial. Namun untuk mencapai suatu
keteraturan sosial tersebut tidak hanya sistem nilai dan norma yang jelas
namun harus adanya keajegan dari pola pengendalian sosial yang sudah
dilakukan oleh komunitas pengembang kampung wisata melalui pola
sosialisasi, edukasi, persuasi dan juga koersi untuk mengajegkan dan
meluruskan kembali antara perencanaan sosial dengan tujuannya serta
aplikasinya agar kembali kepada misi pembangunan komunitas yaitu
kemandirian masyarakat.Pembangunan kampung wisata Pasir Ipis masih
memiliki banyak kendala, salah satu kendala bagi komunitas pengembang
dalam melakukan pola pengendalian sosial adalah kurangnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
Pengendalian sosial menurut Roucek diartikan dilakukan melalui pola
sosialisasi, edukasi, persuasi dan koersi agar masyarakat mematuhi nilai
dan norma yang ada. Pola pengendalian sosial yang dilakukan di
kampung wisata Pasir Ipis terasa masih belum sempurna karena,
walaupun pola pengendalian sosial sudah dilakukan oleh komunitas
pengembang dalam upaya pembangunan kampung wisata, tapi ternyata
masih ada masyarakat yang masih belum menerima pemahaman dari pola
sosialisasi, edukasi, persuasi maupun pola korelasi yang sudah dilakukan
tersebut.

xii
Terdapat beberapa faktor pendukung dan penghambat komunitas
dalam melakukan pola pengendalian sosial. Faktor yang menghambat
terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
penghambat internal yang berasal dari dalam seperti, kurangnya,
kurangnya pemahaman masyarakat yang tergabung dalam komunitas
pengembang kampung wisata Pasir Ipis mengenai pola pengendalian
sosial. Karena, pola pengendalian sosial pada awal pembangunan tidak
direncanakan dengan baik, yang pada akhirnya menyebabkan pola
sosialisasi, edukasi, persuasi dan juga korelasi, sehingga pelaksanaan tidak
berjalan sebagaimana mestinya serta mentalitas masyarakat kampung
Pasir Ipis yang masih instan membuat faktor penghambat dalam
pengembangan kampung wisata Pasir Ipis. Sedangkan faktor
penghambat eksternal yaitu seperti kurangnya pendanaan dalam
pembangunan, kurangnya partisipasi pemerintah daerah dalam
pembangunan kampung wisata Pasir Ipis serta kurangnya dukungan dari
masyarakat kampung Pasir Ipis sendiri dalam pembangunan kampung
wisata sehingga sulit untuk komunitas pengembang untuk mencapai
suatu keteraturan sosial dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
Bagian kedua dari tulisan ini dimulai dengan tulisan, Jayagiri:
Destinasi Wisata Baru oleh R.A Tachja Muhamad dan Budi Sutrisno
memaparkan dengan rinci Desa Jayagiri khususnya Kampung Pasir Ipis
memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi Desa
Wisata karena letaknya berada di daerah Lembang yang merupakan salah
satu daerah tujuan wisata yang ada di wilayah Bandung, Jawa Barat.
Tetapi sayangnya potensi wisata yang ada di wilayah ini masih terpendam
dan harus ada upaya untuk pengembangannya. Artinya, dari sisi sejarah
pembentukan, Desa Jayagiri masih menjadi calon desa wisata.
Jayagiri masih harus terus membentuk citra sebagai destinasi
wisata yang layak untuk dikunjungi oleh para wisatawan. Saat ini, Jayagiri
lebih dikenal dengan jalur (track) nya bagi para wisatawan yang akan
menuju dan kembali dari daerah tujuan wisata Gunung Tangkuban
Parahu dan Ciater. Dengan kondisi geografis yang mendukung serta
menjadi jalur bagi para wisatawan yang akan menuju DTW utama maka
Desa Jayagiri sangat cocok untuk menjadi daerah transit. Atraksi wisata
yang dapat dikembangkan antara lain mengusung tema petualangan
seperti berkemah (camping), gerak jalan (hiking), sepeda gunung (mount
biking) dan outbound. Maka dalam hal ini citra destinasi wisata yang
dimunculkan dapat berupa tantangan untuk berpetualang.Selain itu, Desa
xiii
Jayagiri juga memiliki potensi wisata sejarah untuk dikembangkan yaitu
Benteng Pasir Ipis yang berada di wilayah Perhutani. Benteng ini adalah
benteng pertahanan yang dibangun pada masa penjajahan Belanda dan
kondisi saat ini terkubur oleh tanah. Diperlukan upaya penggalian untuk
kembali merestorasi bangunan benteng tersebut. Selain benteng di Pasir
Ipis, juga terdapat potensi wisata lainnya yaitu cagar alam Junghuhn dan
situs Batu Tumpang yang memiliki nilai sejarah asli mengenai cerita
Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang merupakan mitologi terbentuknya
Gunung Tangkuban Perahu.
Di Desa Jayagiri, kelompok peduli sudah mulai muncul yang
dimotori oleh para pemuda yang tergabung dalam LSM Pemuda
Lembang (Pedang). Mereka aktif memperjuangkan agar situs benteng
Pasir Ipis mendapatkan perhatian pemerintah. Tetapi sayangnya
kelompok peduli ini belum terorganisir secara baik serta belum
melibatkan partisipasi warga secara luas. Selain itu juga belum memiliki
program dan rencana kerja serta perlu ditingkatkan kapasitas SDM
nya.Desa Jayagiri memiliki potensi yang luar biasa untuk dikembangkan
menjadi Desa Wisata baru di Jawa Barat. Berbagai potensi tersebut dapat
menjadi asset potensial untuk ‘dijual’ kepada para wisatawan lokal
maupun mancanegara. Selain aset yang bersifat tangible, Desa Jayagiri juga
memiliki asset penting berupa keterlibatan aktif kelompok masyarakat
didalam memajukan wilayahnya. Hal utama yang dibutuhkan adalah
pengorganisasian komunitas serta pemberdayaan yang berbasiskan asset
untuk mengelola berbagai potensi tersebut.
Membangun masyarakat berbasiskan aset adalah pendekatan yang
lebih berkelanjutan didalam pembangunan. Fokus utama dalam
pendekatan pembangunan komunitas ini adalah keberhasilan dan
kemenangan (visi positif) dan ‘menyingkirkan’ visi negatif baik tentang
tempat maupun masyarakat/komunitas yang akan dikembangkan.
Pembangunan (komunitas) harus berfokus di tempat tertentu seperti
kota/desa dengan mengembangkan aset (sumber daya) yang ada di
masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup (ekonomi, sosial,
psikologis, fisik dan politik). Dengan demikian, pendekatan ini berbalik
dari pendekatan konvensional/ tradisional dari pembangunan komunitas
di dalam mengidentifikasi isu, masalah dan kebutuhan masyarakat.
Idenya adalah untuk membangun kapasitas dalam komunitas serta untuk
membangun dan memperkuat aset suatu komunitas. Berbeda dengan
pendekatan konvesional yang berfokus pada masalah dan kebutuhan,
xiv
pendekatan alternatif ini berfokus pada kekuatan dan aset suatu
komunitas dengan tetap mengutamakan peran serta aktif masyarakat.
Pembangunan masyarakat berbasiskan asset dapat menjadi kerangka
dasar bagi pengembangan Desa Wisata berbasiskan pemberdayaan
masyarakat tentunya.
Tulisan yang kedua di bagian kedua ini adalah Menggagas Desa
Wisata Berbasis Common Property di Kampung Pasir Ipis Desa Jayagiri
Kecamatan Lembang, tulisan Desi Yunita yang menjelaskan kasus
pengembangan wisata yang dilakukan oleh kelompok pemuda Kampung
Pasir Ipis Lembang di sebuah kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk
memberikan kontribusi bagi meningkatnya kesejahteraan semua warga
masyarakat di desa tersebut. Sehingga menjaga agar kawasan wisata desa
tersebut tetap menjadi daya tarik yang dapat memberikan manfaat secara
ekonomi adalah hal yang mutlak menjadi tanggung jawab bersama
seluruh masyarakat. Dengan begitu maka desa wisata dengan
pengembangan wisata yang ada didalamnya menjadi aset bersama yang
kepemilikannya juga secara bersama-sama. Karena sifatnya yang harus
memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat desa tersebut maka dapat
pula disebut sebagai sumberdaya milik bersama (common pool resources).
Fakta bahwa perhutani berkeinginan untuk mengelola, dan ada
investor yang tertarik untuk berinvestasi dalam pengembangan wisata
tersebut telah membuat kelompok pemuda pasir ipis yang selama ini
merintis pengembangan wisata tersebut terpinggirkan kepentingannya.
Hal tersebut jika tidak dilakukan upaya mediasi dan komunikasi yang
intensif tentunya akan berdampak pada munculnya konflik sosial. Dalam
konteks menghindari konflik yang mungkin muncul dalam pengelolaan
kawasan wisata inilah pengelolaan wisata sebagai common pool resources
sangat mungkin dijadikan pilihan dalam pengembangan wisata tersebut.
Melihat fakta bahwa common pool resources dapat berbentuk kepemilikan,
publik, kelompok, ataupun perusahaan maka apa yang telah
dikembangkan oleh pemuda di desa Jayagiri tersebut adalah suatu cara
tidak bertentangan dengan bentuk common pool resources tersebut.
Bagian ketiga dari buku ini di mulai dengan tulisan dari masyarakat
lokal masyarakat lembang yang sekaligus menjadi agen pembangunan
program pemberdayaan masyarakat di pasir ipis Lembang, Asep Sukarna
dengan judul Desa Wisata Sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan.
Tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana proses perjalanan dan
bagaimana lika-liku menginisiasi Kampung Pasir ipis Desa Jayagiri
xv
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, sehingga pada saat ini
menjadi Kampung Wisata yang berbasis pelibatan masyarakat. Walaupun
masih jauh dari kata sempurna sebagai role model Desa Wisata, namun
perjalanan selama lebih dari empat tahun memulai dengan dibantu oleh
beberapa pihak diantaranya Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, perlu kiranya dituliskan
sebagai referensi bagi siapa saja yang memerlukan inspirasi ataupun
bahan untuk mengembangkan Desa Wisata.
Fokus tulisan ini adalah bagaimana Desa Wisata menjadi sebuah
solusi bagi pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan. Dan sampai
dengan saat ini masih dilakukan pengembangan-pengembangan sehingga
kedepannya menjadi role model yang bisa benar-benar dijadikan sebagai
acuan solusi pengentasan kemiskinan. Kemiskinan pada dasarnya
merupakan salah satu bentuk problem yang muncul dalam kehidupan
masyarakat, khususnya masyarakat di negara-negara yang sedang
berkembang. Masalah kemiskinan ini menuntut adanya suatu upaya
pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh
dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan
tersebut sebagai upaya untuk mempercepat proses pembangunan yang
selama ini sedang dilaksanakan.
Untuk membangun suatu kawasan wisata di pedesaan, tidak hanya
mengandalkan sumberdaya alam sebagai satu-satunya faktor penunjang
dalam industri pariwisata. Namun juga faktor dukungan sumberdaya
manusia merupakan hal terpenting yang harus dibangun terlebih dahulu.
Masyarakat sebagai titik sentral haruslah diberikan pengetahuan dan
pengertian tentang pentingnya bersama-sama membangun desa demi
terwujudnya tujuan bersama.
Tulisan kedua di bagian ketiga buku ini adalah Desa Wisata
Berbasis Budaya Lokal dari Budi Sutrisno yang menjelaskanKampung
Pasir Ipis khususnya dan Desa Jayagiri umumnya memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi destinasi wisata budaya selain wisata alam, wisata
bahari dan wisata buatan.
Benteng Pasir Ipis dapat menjadi objek wisata budaya apabila
dilakukan penggalian dan restorasi sehingga keberadaan benteng menjadi
utuh kembali. Hal ini tentunya memerlukan perhatian berbagai pihak
terutama pemerintah daerah Kabupaten Bandung Barat. Selain itu juga
perlu ditelusuri mengenai sejarah serta fungsi benteng tersebut. Cerita

xvi
sejarah yang menarik merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan
yang berkunjung ke objek-objek wisata budaya.
Selain Benteng, di Desa Jayagiri juga terdapat sebuah tempat
bersejarah yaitu Taman Junghuhn. Didalam taman ini terdapat tugu
tempat pemakaman seorang warga negara yang masuk ke Indonesia
bersama kolonial Belanda. Selain itu, di tempat ini juga terdapat pohon
kina tanaman langka yang dapat digunakan untuk pengobatan. Cagar
alam Junghuhn merupakan salah satu potensi wisata yang dimiliki Desa
Jayagiri.
Situs sejarah lainnya terdapat di RW.10 yaitu situs Batu Tumpang.
Dalam hal ini Batu Tumpang bukan sekedar batu yang bertumpuk-
tumpuk, tetapi batu yang memiliki nilai sejarah asli mengenai cerita
Sangkuriang menendang perahu dan cerita dayang sumbi bersembunyi
dari orang jahat. Tetapi sayangnya tanah tempat situs ini berada telah
dibeli oleh seseorang yang berprofesi sebagai pesulap sehingga
menjadikan situs ini sulit untuk diakses dan hanya dibuka untuk umum
ketika tahun baru.
Bagian keempat dari buku ini sekaligus mengakhiri semua tulisan
buku ini adalah tulisan mengenai Kinerja pembangunan lingkungan oleh
Muhamad Fadhil Nurdin dan Agung Mahesa Himawan Dorodjatoen
terkait Pembangunan Kawasan Strategis Nasional : Optimalisasi melalui
Manajemen Lingkungan Hidup memberikan penjelasan terkait
perubahan pendekatan perencanaan ruang di Indonesia dan implikasinya
bagi upaya konservasi lingkungan hidup. Intinya adalah keberadaan
provinsi-provinsi yang memiliki KSN kawasan hutan pada daftar teratas
laju deforestasi dan laju emisi CH4 tidak secara langsung membuktikan
bahwa kebijakan KSN di dalam RTRWN II 2008, atau kebijakan
Kawasan Tertentu di dalam RTRWN I 1997, telah menemui kegagalan.
Setidaknya dua hal dapat menjadi alasan. Pertama, kebijakan KSN hanya
berfokus sebagian kecil dari wilayah provinsi. Sementara data laju
deforestasi mencerminkan kinerja pembangunan lingkungan hidup
secara agregat pada tingkat provinsi. Kedua, sebagaimana diketahui
bahwa sampai saat ini belum semua KSN, khususnya kawasan hutan,
yang telah memiliki panduan formal penataan dan pemanfaatan ruang.
Terimakasih kami untuk semua fihak yang membantu
terwujudnya buku ini, terutama pada Dekan FISIP-Unpad, Ibu Carol dan
tim Mariska FISIP Unpad dan DRPMI Unpad dengan tim reviewernya
yang selalu memberi bimbingan untuk terselesaikannya buku ini, semoga
xvii
menjadi sebuah rujukan buku literatur sejenis. Semoga buku ini bisa
bermanfaat dan bermaslahat untuk semua fihak, tentu saja tidak ada
gading yang tak retak, kami menunggu masukan dan perbaikan untuk
penyempurnaan buku ini, semoga di terima di hati para pembaca
budiman.

Jatinangor, Desember 2017


Editor

xviii
DAFTAR ISI

PRAKATA ....................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................. xix
DAFTAR TABEL......................................................................... xxi
DAFTAR GAMBAR ................................................................... xxii
DAFTAR GRAFIK ....................................................................... xxiii

TAHAPAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT


Wahyu Gunawan ............................................................................. 1-24

PEMETAAN SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN


KAMPUNG WISATA PASIR IPIS, DESA JAYAGIRI
Fardina Himma ................................................................................ 25-54

PERENCANAAN PARTISIPATIF DALAM


PENGEMBANGAN DESA WISATA
Bintarsih Sekarningrum & Desi Yunita ....................................... 55-66

EVALUASI PERENCANAAN SOSIAL DALAM PROGRAM


PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KAMPUNG WISATA
PASIR IPIS
Megia Ginanjar................................................................................. 67-80

PARTISIPASI KOMUNITAS DALAM PEMBANGUNAN


WISATA KAMPUNG PASIR IPIS
Rasdica Denara H.P ........................................................................ 81-100

POLA PENGENDALIAN SOSIAL KOMUNITAS


PENGEMBANG KAMPUNG WISATA PASIR IPIS
Noviyanti Arlina Sa’adiah ............................................................... 101-140

JAYAGIRI : DESTINASI WISATA BARU


R.A Tachya Muhamad & Budi Sutrisno ...................................... 141-166

xix
MENGGAGAS DESA WISATA BERBASIS COMMON
PROPERTYDI KAMPUNG PASIR IPIS, DESA JAYAGIRI
Desi Yunita ....................................................................................... 167-176

DESA WISATA SEBAGAI SEBUAH SOLUSI PENGENTASAN


KEMISKINAN
Asep Sukarna .................................................................................... 177-194

DESA WISATA BERBASIS BUDAYA LOKAL


Budi Sutrisno.................................................................................... 195-210

PEMBANGUNAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL :


Optimalisasi melalui Manajemen Lingkungan Hidup
Muhamad Fadhil Nurdin & Agung Mahesa Himawan Dorodjatoen
............................................................................................................ 211-224

xx
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jenis Kesenian dan Budaya di Pasir Ipis ............................. 36


Tabel 2.2 Potensi Wisata Pasir Ipis........................................................ 38
Tabel 2.3 Fasilitas Pendukung Wisata ................................................... 42
Tabel 2.4 Orbitasi Desa Jayagiri ............................................................. 46
Tabel 2.5 Kelebihan dan Kekurangan Kampung Wisata Pasir Ipis . 49
Tabel 7.1Fasilitas Penunjang Wisata di Desa Jayagiri ......................... 153
Tabel 7.2 Potensi Desa Jayagiri Sebagai Daerah Tujuan Wisata Baru
......................................................................................................... 160
Tabel 7.3 Tahapan Pengembangan Desa Wisata Berbasiskan
Pemberdayaan Masyarakat .......................................................... 162
Tabel 10.1 Distribusi Wisman Menurut Pekerjaan Utama dan Jenis
Aktivitas Wisata Budaya yang Dilakukan, Tahun 2016 .......... 198
Tabel 11.1 Daftar KawasanStrategis dalam RTRW Nasional ........... 214
Tabel 11.2 Laju Deforestasi per Provinsi 2012-2013.......................... 217

xxi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Tahapan Pembangunan Masyarakat ................................ 23


Gambar 2.1 Hasil Pemetaan Sosial Kampung Wisata Pasir Ipis ...... 29
Gambar 2.2 Transek Kampung Wisata Pasir Ipis ............................... 31
Gambar 2.3 Timeline Sejarah Pembentukan Kampung Wisata Pasir Ipis
................................................................................................... 32
Gambar 2.4 Kerjasama Warga Pasir Ipis .............................................. 35
Gambar 3.1A Normative Model of Participatory Tourism Planning
................................................................................................... 60
Gambar 3.2 Model Perencanaan Partisipatif dalam Pengembangan
Desa Wisata ............................................................................. 63
Gambar 6.1 Sosialisasi Komunitas Pengembang Kepada Masyarakat
................................................................................................... 117
Gambar 6.2 Sosialisasi Program Penanaman Asparagus .................. 118
Gambar 6.3 Pola Edukasi Cara Menanam Tanaman Kopi dan
Asparagus ................................................................................. 121
Gambar 6.4 Kerajinan Tangan Masyarakat dari Sampah Minuman 122
Gambar 6.5 Kerajinan Tangan Masyarakat dari Limbah Karung ..... 122
Gambar 6.6 Homestay di Kampung Pasir Ipis.................................... 123
Gambar 6.7 Partisipasi Kegiatan Masyarakat dan Komunitas
Pengembang ............................................................................ 124
Gambar 6.8 Kegiatan bersama Komunitas Pengembang dan
Pengunjung .............................................................................. 125
Gambar 6.9 Pembangunan Saung Kampung Pasir Ipis ..................... 133
Gambar 6.10 Partisipasi Masyarakat dan Komunitas Pengembang
dalam kegiatan Wisata Kampung Pasir Ipis ....................... 134
Gambar 7.1 Peta Wilayah Desa Jayagiri ................................................ 142
Gambar 7.2 Tourism Development Pyramid : Pengembangan Desa Wisata
Berbasiskan Pemberdayaan Masyarakat ............................. 161

xxii
DAFTAR GRAFIK

Grafik 8.1. Jumlah Wisatawan Mancanegara Tahun 2011-2015..... 168


Grafik 10.1 Penerimaan Devisa Berdasarkan Sektor Utama ............ 196
Grafik 10.2 Jenis Obyek Wisata Yang Dikunjungi
Periode Januari-Juni 2016................................................. 196
Grafik10.3 Distribusi Wisman Menurut Negara Tempat Tinggal dan
Jenis Aktivitas Wisata Budaya yang Dilakukan Tahun 2016
............................................................................................. 197

xxiii
xxiv
TAHAPAN
PEMBANGUNAN
1 MASYARAKAT
Wahyu Gunawan

PENDAHULUAN
Ada dua hal yang menyangkut pembangunan masyarakat :
1. Pembangunan berbasis dari, oleh dan untuk masyarakat
2. Pembangunan khusus bidang masyarakat yang di lalukan oleh
pemerintah, sektor bisnis atau sektor lainnya.
Namun secara prinsip kedua hal tersebut tetap berpedoman pada
partisipasi masyarakat yang menjadi inti dari pembangunan.Menurut
Cernea (1988: 89), partisipasi memperluas dasar kepemimpinan
perkumpulan dan mengikat struktur perkumpulan lebih kuat dengan
anggota. Membangun adalah berkegiatan. Membangun rakyat artinya
berkegiatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hakekat
pembangunan adalah suatu proses yang terencana dan tersistematisir
serta bertujuan yang di lakukan dari, oleh dan untuk
rakyat.Pembangunan masyarakat adalah suatu hal yang di rencanakan
melalui tahapan pembangunan yang harus di selenggarakan demi
tercapainya kemakmuran dan kemaslahatan masyarakat.Pembangunan
khusus masyarakat adalah pembangunan bidang sosial kemasyarakatan
baik terkait kelembagaan masyarakat maupun upaya pemberdayaan
masyarakat yang di lalukan oleh pemerintah, sektor bisnis atau sektor
lainnya. Pemberdayaan merupakan upaya utuk mengaktualisasikan
potensi yang sudah di miliki oleh masyarakat (Wahyono et.al 2011 dalam
Satria, 2015 :128).

TAHAPAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT


Dalam tahapan pembangunan masyarakat dilakukan :
1) Identifikasi masalah dan potensi masyarakat melalui pemetaan
sosial, sehingga dapat di lanjutkan ke perencanaan,

1
2 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

2) Perencanaan sosial,yang terdiri dari rencana untuk melakukan


kegiatan oleh, dari dan untuk masyarakat, dalam bentuk
implementasi perencanaan dalam pembangunan,
3) Pembangunan masyarakat yang terdiri dari aspek sektoral
pembangunan seperti sosek, sosial budaya, pendidikan dan
kesehatan atau khusus pembangunan masyrakat yang terkait
struktur, proses, hubungan, interaksi dan kelembagaan yang ada
di masyarakat.
4) Rekayasa sosial adalah suatu proses penciptaan ide-ide kreatif
yang dilakukan untuk terselenggaranya pembangunan
masyarakat melalui rekayasa-rekayasa tertentu yang di ciptakan
secara inovatif dan kreatif.
5) Pengendalian sosial, berupa pengawasan atau kontrol sosial yang
dilakukan oleh masyarakat dalam melihat dan menilai proses
sebuah pembangunan yang di lakukan masyarakat.
6) Tertib sosial artinya dari proses pembangunan tersebut
tercapainya ketertiban masyarakat.

Secara lebih terperinci, keenam langkah pembangunan masyarakat


tersebut dijelaskan pada bagian di bawah ini.
1) Pemetaan Sosial
Pemetaan sosial adalah sebuah proses kegiatan melakukan
gambaran sosial berupa peta hubungan sosial masyarakat baik yang
positif (kerjasama) maupun yang bertendensi negatif (konflik). Pemetaan
sosial bisa dalam skala luas per kecamatan, per kabupaten, per propinsi,
dsb. Namun secara kajian inti lebih rinci per desa dan atau per RW.
Dimulai dari mengkaji data potensi masyarakat yang terkait data
penduduk per desa, per dusun, per RW/per kampung sampai dengan per
RT, kemudian di lakukan kajian melalui proses hubungan sosial antara
RT dalam satu RW/Rukun Kampung atau dengan RW/Kampung
lainnya, antara RW/Rukun Kampung dalam satu dusun atau dengan
dusun lainnya, antara dusun dalam satu desa atau dengan desa lainnya.
Hal lain yang harus dikaji adalah interaksi sosial inter dan antar
masyarakat tersebut menyangkut komunikasi dan kontak sosial.
Komunikasi lebih mengarah pada pesan dari para komunikator dan
komunikan, sedang kontak sosial lebih mengarah pada seberapa banyak
intensitas inter dan antar warga tersebut berhubungan langsung melalui
tatap muka.
Wahyu Gunawan, dkk.| 3

Dalam pemetaan sosial, yang terpenting adalah memetakan


bentuk hubungan sosial antar kelompok menyangkut hubungan yang
asosiatif dan disosiatif . Assosiatif menyangkut hubungan kelompok yang
cenderung positif seperti kerjasama, sedangkan disosiatif menyangkut
hubungan kelompok yang cenderung negatif seperti kompetisi sampai
konflik. Bentuknya berupa peta hubungan sosial.
Dalam peta hubungan sosial itu juga dikaji mengapa terjadi
hubungan yang asosiatif dan disosiatif antar kelompok tersebut, apa yang
menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam hubungan tersebut,
sehinngga dapat di cari solusi dalam mengatasi hubungan yang disosiatif
tersebut, atau juga rencana penguatan hubungan yang asosiatif dalam
bentuk perencanaan sosial.

2) Perencanaan Sosial
Menurut Suwignyo (1986:24), perencanaan adalah proses
pemikiran dan penetuan secara matang hal-hal yang akan di kerjakan
pada masa yang akan datang.
Perencanaan sosial adalah sebuah program rencana yang terdiri
dari program kegiatan yang akan direncanakan dilakukan berupa program
solusi dalam hubungan disosiatif dan atau program penguatan hubungan
yang asosiatif, yang tersusun dari bahan kajian observasi peta sosial,
sebagai bahan untuk pengambil keputusan dalam program pembangunan
masyarakat.
Dalam perencanaan sosial harus disusun berdasarkan prioritas
yang harus di lakukan, perangkingan prioritas tersebut berdasarkan kajian
dari pemetaan sosial. Perangkingan di perlukan agar masyarakat tidak
berebut kepentingan program, sehingga program pembangunan dapat
dilakukan secara bertahap dan sistematis sesuai dengan keinginanan
masyarakat.
Pembuatan perencanaan sosial hendaknya melibatkan masyarakat
luas dalam prosesnya, masyarakat di ajak aktif untuk urun rembug dan
sumbang saran, jangan sampai suara masyarakat kalah oleh kepentingan-
kepentingan elite masyarakat. Agar suara kepentingan masyarakat
terpelihara, hendaknya perencanaan sosial di bahas dalam kelompok-
kelompok kecil berdasarkan sub tema rencana solusi hubungan disosiatif
atau penguatan hubungan asosiatif, atau sub tema berdasarkan wilayah
kelompok dalam peta sosial. Hasil dari kelompok kecil tersebut berlanjut
menjadi musyawarah dalam kelompok besar dengan melibatkan
4 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

kelompok kecil terebut melalui juru bicaranya, setelah musyawarah di


mufakati baru perencanaan sosial bisa di setujui bersama sebagai program
pembangunan bersama. Lebih jelas Studio Driya Media (1996:38)
menjelaskan proses umum penerapan PRA untuk penjajagan kebutuhan
dan perencanaan program yang terdiri dari tahap-tahap : 1) Persiapan
kajian desa, pelaksanaan kajian desa, 3) Penyusunan Rencana Kegiatan ,
4) Penulisan Laporan, 5) Evaluasi penerapan PRA (Participatory Rural
Appraisal), 6) Tindak lanjut penerapan PRA (Participatory Rural Appraisal).

3) Pembangunan Masyarakat
Pembangunan masyarakat adalah serangkaian program kegiatan
hasil perencanaan sosial yang di implementasikan ke dalam
pembangunan sosial secara bertahap, sistematis dan berkelanjutan.
Pembangunan ini bisa berupa pembangunan lintas sektoral baik itu sosial
politik, ekonomi, budaya, komunikasi maupun fisik lingkungan.
Pembangunan masyarakat adalah program membangun masyarakat
sebagai modal implementasi pembangunan yang terutama. Masyarakat
adalah sekelompok sumber daya manusia yang terlibat dalam proses
pembangunan secara keseluruhan.
Pembangunan masyarakat harus bertahap, karena mementingkan
asas perangkingan kebutuhan program akibat terbatasnya dana atau
sumber daya lainnya. Pembangunan masyarakat harus sistematis karena
arah dan tujuan pembangunan harus seiring dengan visi, misi dan strategi
pembangunan baik berjangka panjang (25-30 tahunan), berjangka
menengah (5-10 tahunan) dan berjangka pendek (1-5 tahunan). Tujuan
Pembangunan menurut Rashidi (1971:6) adalah untuk menciptakan
kondisi bagi percepatan perbaikan taraf hidup anggota masyarakat.
Pembangunan masyarakat juga harus berkelanjutan karena menyangkut
kesinambungan program, program pembangunan masyarakat adalah
program jangka panjang, yang dilalui dengan program jangka panjang
yang dilakukan secara jangka pendek dalam bentuk revisi atau masukan
baru disesuaikan dengan perkembangan jaman.

❖ Partisipasi Masyarakat
Inti dari pembangunan masyarakat adalah partisipasi masyarakat
dalam mengimplementasikan hubungan sosial yang mendukung program
pemberdayaan masyarakat. Partisipasi ini menjadi penting karena
keterlibatan masyarakat secara luas dapat menjadi sebuah dukungan yang
Wahyu Gunawan, dkk.| 5

kuat untuk tercapainya tujuan pembangunan.Merubah sebuah hubungan


sosial yang negatif menjadi positif adalah hal yang berat, karena
menyangkut pola hubungan yang sudah tertanam lama sehingga
masyarakat menjadi terkotak kotak dalam pola interaksi sosialnya, pada
wilayah konflik misalnya pola hubungan yang sudah sarat dengan
dendam dan kebencian serta meluas pada unsur suku, agama, ras dan
aliran akan sangat menyulitkan partisipasi program pembangunan
masyarakat, sehingga butuh waktu panjang untuk merancang program
pembangunannya sampai berakhir dan memudar semua dendam dan
kebencian yang tertanam lama dan panjang tersebut. Program-program
pemulihan melalui program kesehatan mental sangat di perlukan dalam
proses ini. Sikap terbuka dan rasa saling mempercayai terhadap proses
perubahan pembangunan masyarakat harus terus di tanamkan. Partisipasi
semua pihak menjadi hal penting dalam proses pemulihan kesehatan
mental tersebut. Mikkelsen (2001: 65) menjelaskan, sebagai sebuah
tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang
berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut kehidupannya. Dengan demikian partsipasi adalah alat
dalam memajukan ideologi atau tujuan tujuan pembangunan yang
normatif seperti keadilan sosial, persamaan dan demokrasi. Dalam
bentuk alternatif, partisipasi di tafsirkan sebagai alat untuk mencapai
efisiensi dalam manajemen proyek-sebagai alat dalam melaksanakan
kebijakan-kebijakan.

❖ Komunikasi Pembangunan
Partisipasi masyarakat tidak akan tumbuh kuat apabila tidak
disertai oleh komunikasi pembangunan yang baik. Komunikasi
pembangunan adalah proses terselenggaranya hubungan yang erat antara
komunikator (elite, pemberdaya, pemimpin program pembangunan)
dengan komunikan (rakyat, masyarakat yang akan di berdayakan) serta
adanya pesan pesan pembangungan yang sangat transparan, terbuka,
mudah di cerna dan di mengerti oleh masyarakat, sehingga melalui pesan
yang di sampaikan oleh komunikator, masyarakat menjadi tergerak
hatinya untuk turut berpartispasi.
Untuk menjadi tergerak hatinya sebagai partisipan pembangunan
hal yang terpenting di lakukan para komunikan harus dianggap sebagai
agen perubahan dan agen pembangunan masyarakat, sehingga
masyarakat akan berubah karena bukan hanya di berikan pemahaman
6 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

akalnya tapi juga di sentuh hatinya agar termotivasi dalam peran sertanya
dalam pembangunan masyarakat.

❖ Agen Perubahan
Agen perubahan yang dimaksud adalah seseorang yang
mempunyai motivasi kuat untuk merubah masyarakatnya menjadi baik
dan maju serta sejahtera. Motivasi kuat agen perubahan di dasari oleh visi
misi yang tertanam kuat dalam jiwanya untuk membantu masyarakat ke
arah yang lebih baik. Agen perubahan adalah seseorang yang terpanggil
jiwanya untuk terlibat bersama masyarakat (partisipan observer) untuk
membangunan masyarakat demi kemajuan bersama. Seorang Agen
perubahan hendaknya pernah menjadi agen pembangunan, sedangkan
seorang agen pembangunan hendaknya bersabar belajar panjang untuk
menjadi agen perubahan.
Salah satu syarat menjadi agen perubahan adalah sarat pengalaman dalam
pemberdayaan masyarakat juga mempunyai keluasan dalam pengetahuan
secara teoritis baik mengenai masyarakat maupun pembangunan
lingkungan masyarakat. Selain itu mempunyai tubuh yang sehat dalam
bergerak di lapangan juga mempunyai kemampuan komunikasi
pembangunan yang “well tune” dengan masyarakat, mempunyai kebiasaan
ramah dan senyum serta terbiasa menolong orang, karena syarat yang
terutama adalah mempunyai jiwa amanah dalam membangun masyarakat
dengan di dasari moralitas yang kuat untuk membangun umat dengan
memberi teladan perilaku dalam masyarakat.
Dalam masyarakat jaman “now” sekarang, perilaku yang baik dalam
keseharian akan menjadi teladan masyarakat dalam keikutsertaannya
membangun wilayahnya, jiwa yang amanah akan menjadi suritauladan
masyarakat dalam mendukung apa yang akan di ubahnya dalam
masyarakat, tidak pernah merugikan masyarakat baik fisik maupun
materi adalah hal utama. Banyak agen perubahan tidak menyadari bahwa
keterlibatannya dalam makan bersama atau hidangan makan bersama
yang disajikan penduduk setempat, meski penuh ikhlas di sajikan,
seyogyanya di hindarkan, atau bila sudah menjadi kebiasaan penduduk
setempat yang baik, ada baiknya di ganti dengan balas budi dalam bentuk
yang lain seperti oleh oleh atau tanda mata lainnya untuk keluarga
penduduk tersebut, atau sejenis bantuan fisik membantu penduduk
tersebut, dan sebagainya. Semua itu bertujuan agar-agen perubahan
menghindari diri menjadi beban masyarakat setempat.
Wahyu Gunawan, dkk.| 7

Bentuk bantuan yang terutama dari agen perubahan adalah


membangun modal sosial mayarakat setempat, terutama relasi inter dan
antar kelompok di dalam masyarakat maupun dengan luar masyarakat
untuk membuat jaringan pembangunan masyarakat. Banyak agen
perubahan lebih mengedepankan modal materi di banding modal sosial,
padahal modal materi bisa di cari dengan jaringan sosial yang terbentuk
dari modal sosial masyarakat setempat. Menurut Syahyuti (2006:240) ada
delapan elemen yang berbeda yang harus ada untuk mewujudkan social
capital, yaitu partisipasi pada komunitas lokal, proaktif dalam konteks
sosial, perasaan trust dan safety, hubungan ketetanggaan (neighborhood
connection), hubungan kekeluargaan dan pertemanan (family and friends
connection), toleransi terhadap perbedaan (tolerance of diversity),
berkembangnya nilai-nilai kehidupan (value of life), dan adanya ikatan-
ikatan pekerjaan (work connection)

❖ Agen Pembangunan
Agen perubahan hendaknya mempunyai banyak agen
pembangunan. Agen perubahan bisa dari luar masyarakat (pemberdaya
dari LSM, Universitas, dsb), sedangkan agen pembangunan sebaiknya
adalah penduduk asli dalam wilayah yang akan di bangun tersebut.
Banyak keuntungan apabila penduduk asli sebagai agen pembangunan
salah satunya adalah tidak perlu banyak waktu mengenal kondisi wilayah
tersebut baik pada aspek budaya, sosial politik, ekonomi, agama,
lingkungan fisik, dsb. Sehingga akan menghemat dana, selain itu juga
penggunaan penduduk asli sebagai agen pembangunan akan
menyamakan kerangka berfikir dan keluasan pengalaman masyarakat,
karena cairnya komunikasi pembangunan yang dilakukan di sesuaikan
dengan kepentingan masyarakat setempat.
Tugas agen pembangunan yang terutama adalah melakukan inter
relasi kelompok masyarakat dengan kelompok sumber-sumber daya baik
di dalam maupun di luar masyarakat yang bisa terlibat dalam membangun
wilayah tersebut. Kelompok sumber daya untuk membangun masyarakat
di luar wilayah masyarakat tersbut adalah Pemerintah, LSM, Pebisnis,
Akademisi, Politisi, dan aktifis pemberdaya lainnya.
Syarat penting menjadi agen pembangunan adalah kecerdasan
dalam menangkap pesan pembangunan yang harus diatas rata rata
penduduk setempat. Pesan pembangunan yang di bangun oleh agen
8 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

perubahan harus di fahami dan di mengerti sekali oleh agen


pembangunan untuk meneruskan komunikasi pembangunannya kepada
masyarakat setempat lainnya. Kemampuan komunikasi pembangunan ini
harus di dukung oleh rasa percaya dan amanah penduduk terhadap agen
pembangunan, sehingga moralitas agen pembangunan menjadi syarat
utama dalam pembangunan masyarakat ini. Agen yang munafik, korup,
tidak amanah , dsb akan menjadi penghambat pembangunan karena
akhirnya penduduk setempat tidak menyukai agen pembangunan yang
tidak menjadi suri tauladan penduduk setempat.
Memilih agen pembangunan yang berasal dari penduduk setempat
adalah pekerjaan agen perubahan yang sangat sulit, karena tidak cukup
jeli melihat tampilan dan gaya bicara tetapi perlu melihat rangkaian
perjalanan hidup seorang agen pembangunan, terutama kebiasaan, visi
dan idealisme dalam membangun masyarakatnya. Banyak agen
pembangunan yang berharap di bayar secara tunai dalam membantu agen
perubahan, hal ini menjadi dilematis, karena agen pembangunan yang
benar adalah yang tidak mau di bayar secara natura tapi punya kepuasan
diri ketika membantu agen perubahan dalam meembangun
masyarakatnya. Begitu sulitnya mencari agen pembangunan yang betul
betul karena ibadah dan amalan untuk berbakti kepada masyarakatnya.
Secara perangkingan motivasi utama agen pembangunan yang ideal
adalah:
1) Terlibat dalam program pembangunan demi kepuasan diri
(ibadah, dsb) dan kemajuan masyarakat bukan karena uang atau
imbal jasa tapi berbuat kemaslahatan.
2) Terlibat dalam program pembangunan demi kepuasan diri dan
kemajuan masyarakat serta uang bisa di dapat secara jangka
panjang (puluh tahunan) bersama kemajuan masyarakat
3) Terlibat dalam program pembangunan demi kepentingan diri
dan kemajuan masyarakat serta uang bisa di dapat secara jangka
menengah (tahunan) bersama kemajuan masyarakat
4) Terlibat dalam program pembangunan demi kepentingan diri
serta uang bisa di dapat secara jangka pendek bulanan atau
harian.

Memilih agen pembangunan yang No. 1 merupakan hal yang


membahagiakan, tetapi bila mendapati agen pembangunan yang No.4
adalah hal yang menyedihkan. Untuk membangun masyarakat hal yang
Wahyu Gunawan, dkk.| 9

terbatas adalah dana dan waktu membangun. Apabila bentuknya projek


pembangunan lintas sektoral yang di danai oleh pemerintah atau non
pemerintah, mudah saja membayar agen pembangunan, tetapi apabila
bentuknya program pembangunan yang inisiatif dari masyarakat akan
cukup menyulitkan. Oleh sebab itu, agen pembangunan harus sejak awal
di sampaikan visi misi dan strategi pembangunan yang akan dilakukan
terutama menyangkut terbatasnya dana dan waktu, serta tugas pokok
agen pembangunan harus jelas kewajiban dan haknya. Oleh karena itu,
program kegiatan pembangunan dari inisiatif langsung masyarakat akan
cukup membantu agen perubahan dalam melakukan perjanjian dan
kesepakatan kerja bersama dengan agen pembangunan.
Tugas agen pembangunan adalah mengimplementasikan
perencanaan sosial yang sudah di susun bersama dengan agen perubahan,
dengan titik berat kepada penguatan partispasi masyarakat dalm
implementasi pembangunannya serta menyelesaikan faktor penghambat
dalam pembangunan. Penguatan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan akan terjadi bila tertanam sikap gotong royong atau
“sabilulungan” yaitu se-ia, se-kata, sevisi misi, dan se-strategi dalam
pelaksanaan pembangunannya. Menurut Kartodirjo (dalam Kayam dan
Nat. J Colleta, penyunting, 1987:256) gotong royong merpakan suatu
manifestasi solidaritas sosial tingkat tinggi yang didasarkan pada
moralitas, rasa bersatu dan konsensus umum.
Menanamkan sifat gotong-royong harus dilandasi oleh sosialisasi
program pembangunan sampai terinternalisasi di masyarakat. Pada tahap
ini butuh waktu untuk terus melakukan interaksi sosial melalui
komunikasi pembangunan serta kontak sosial yang terus menerus tanpa
putus. Rata rata butuh waktu 1 s.d. 3 tahun untuk sampai pada tahap
internalisasi, karena pada tahun ke 4 s.d. 6 inisiatif masyarakat dalam
mendukung pembangunan akan tumbuh kuat, sehingga pada tahun 7 s.d.
8 proses kemandirian program dalam masyarakat akan meningkat
sehingga peran agen perubahan dan agen pembangunan akan berkurang
dan program pembangunan akan dilanjutkan secara mandiri oleh
masyarakat. Kemandirian tersebut timbul bila dampak pembangunan
yang dilakukan secara bersama terasa baik secara fisik dan non fisik juga
materil maupun immaterial oleh masyarakat. Sehingga baik agen
perubahan maupun agen pembangunan sudah harus membuat kelompok
pembangunan yang tercipta dari para aktifis pembangunan masyarakat
setempat. Nama kelompok tergantung tujuan awal program
10 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

pemberdayaan masyarakatnya, bisa kelompok wisata, kelompok tani,


kelompok masyarakat hutan, kelompok sadar lingkungan, kelompok
mangrove, kelompok peternak, dsb.

❖ Strategi Agen Pembangunan


Hal terpenting sebagai agen pembangunan adalah tercapainya
tujuan program pembangunan, tentu saja melalui strategi yang harus di
tempuh dengan penuh kematangan.
1) Dalam tahap pemetaan sosial, strategi yang di tempuh adalah
mencari tokoh yang menjadi sumber informasi (informan kunci)
dalam melakukan identifikasi masalah dan potensi masyarakat
melalui wawancara dan focus group discussion atau diskusi
kelompok terfokus dalam kegiatan pemetaan sosial sehingga
didapat data yang valid dan reliable. Beberapa informan kunci
adalah : (a) para sesepuh atau orang tua yang di sepuhkan
(dituakan), salah satu tujuannya untuk mencari data sejarah desa
atau wilayah tersebut,(b) Para tokoh pemerintah dan wilayah
baik itu Ketua RT (Rukun Tetangga), Ketua RK (Rukun
Kampung), Kepala Dusun, Aparat Pemerintah Desa atau
Lembaga Desa lainnya : LPMD (Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa ), BPD (Badan Permusyawaratan Desa),
Karang Taruna,GaPokTan (Gabungan Kelompok Tani), FPP
(Forum Peduli Pendidikan), POSYANDU (Pos Pelayanan
Terpadu), Tim Penggerak PKK (pemberdayaan dan
peningkatan kesejahteraankeluarga), Badan Pembinaan Desa
(Babinsa), Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Desa
(Babin Kamtibmas), dsb. untuk mencari data perkembangan
pembangunan desa terakhir, terutama menyangkut potensi,
masalah, dan pembangunan yang terakhir dan terbaru, (c) Para
tokoh informal desa: ulama, aktifis partai, pengusaha,
budayawan, guru, kader kesehatan, kelompok pengajian,
kelompok arisan, kelompok ojeg, kelompok jawara/preman,
dsb., tujuannya adalah untuk mencari data perbandingan sebagai
triangulasi sumber data dari para informan.
Teknis mencari informan kunci yang paling mudah adalah
dengan snow ball sampling, mewawancarai seorang tokoh yang
terkenal di desa, kemudian meminta rekomendasi kepada tokoh
Wahyu Gunawan, dkk.| 11

tersebut siapa sumber informan kunci lainnya, dan terus bergulir


sampai pada kecukupan data (kejenuhan data).
Materi penting yang harus di cari adalah siapa yang paling tepat
untuk menjadi agen pembangunan, agen pengendali sosial dan
agen ketertiban masyarakat, yang sosoknya di terima masyarakat
dan cakap menurut pemberdaya yang bisa menjalankan semua
tahapan pembangunan di masyarakat. Selain itu potensi wilayah
dan masyarakat menjadi hal penting untuk di dalami selain
masalah yang latent atau manifestyang ada di masyarakat.
2) Dalam tahap perencanaan sosial, strategi yang di tempuh terdiri
dari strategi untuk perencanaan kegiatan oleh, dari dan untuk
masyarakat, dalam bentuk srategi implementasi perencanaan
dalam pembangunan. Dalam tahap ini strategi agen
pembangunan adalah meyakinkan para tokoh masyarakat bahwa
apa yang di rencanakan adalah potensi yang harus di
kembangkan, masalah-masalah mendesak, yang harus di
pecahkan segera dan solusi yang harus di prioritaskan dalam
bentuk program kegiatan. Rencana bukan datang dari ide ide
spontan tapi hasil kajian pemetaan sosial yang di lakukan
bersama dengan masyarakat, sehingga perangkingan rencana
program kegiatan pembangunan masyarakat bukan di dasarkan
atas kepentingan perseorangan tapi hasil urutan prioritas hasil
kajian, sehingga tidak akan menimbulkan polemik dan debat
kusir dalam proses perencanaannya. Dalam tahap ini lobby-lobby
pribadi terhadap para tokoh masyarakat wajib di lakukan
sebelum rapat perencanaan, masyarakat harus terkondisikan
faham terhadap apa yang akan di bangun dan peran serta apa
yang harus di lakukan, lobby-lobby ini memerlukan pekerjaan
tambahan waktu dan energi ekstra dariagen pembangunan,
ketika bertemu dengan tokoh yang menolak dan menentang
(terutama yang secara fisik) program kegiatan yang di
rencanakan dari hasil kajian pemetaan sosial. Strategi penting
yang harus di lakukan adalah silaturahmi personel sehingga
terjalin kepercayaan dan amanah yang besar bagi agen
pembangunan. Berkumpul bersama, botram, merokok dan
minum kopibareng, menghadiri kenduri atau ikut tahlilan, dsb.,
adalah wahana yang bisa di pakai untuk mengeratkan tali
persaudaraan antara agen pembangunan dan para tokoh
12 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

masyarakat. Tujuannya adalah meningkatkan trust dan amanah


dari para tokoh kepada agen pembangunan, sehingga agen
pembangunan adalah sosok yang melekat di wilayah tersebut
bukan yang hit and run atau yang datang sekali tapi seolah sudah
menguasai semuanya.
3) Dalam tahap pembangunan masyarakat, strategi yang di tempuh
terdiri dari strategi pembangunan untuk aspek sektoral
pembangunan seperti sosial ekonomi, sosial budaya, pendidikan
dan kesehatan atau strategi pada aspek khusus pembangunan
masyrakat yang terkait struktur, proses, hubungan, interaksi dan
kelembagaan yang ada di masyarakat.
Disini agen pembangunan harus sudah faham tentang anggaran
pendapatan dan pengeluaran program kegiatan serta peraturan
yang mengikutinya termasuk peraturan desa yang melindungi
program kegiatan tersebut. Anggaran ini menjadi masalah pelik
karena tidak ada dana program kegiatan artinya program tidak
akan berjalan karena tiadak ada dana kegiatan.
Pada program kegiatan yang di biayai pemerintah, semuanya bisa
mudah di lakukan asal rencana anggaran belanja
pembangunannya sesuai dengan dana anggaran program yang
turun. Repotnya adalah pada program pemberdayaan yang di
lakukan secara mandiri, para agen pembangunan harus pandai
mencari celah mendapatkan anggaran. Anggaran mandiri bisa di
dapat bila para agen pembangunan bisa mendapatkan bantuan
hibah anggaran atau mengaitkan dengan program sejenis, seperti
dana dari aktifis politik atau calon kepala desa/kepala daerah
atau calon legislatif atau mendapatkan donatur sukarelawan
tokoh desa atau foundation juga yayasan yang membantu penuh
atau sebagian program kegiatan. Model pembangunan yang
partisipatif menjadi hal penting dalam penentuan strategi
lapangan para agen pembangunan, karena melibatkan peran
serta masyarakat perlu energi besar dalam menyampaikan
sosialisasi pembangunan yang di lakukan. Apapun yang akan di
lakukan perlu di informasikan secara jelas dan luas, Anggaran
yang terbuka dan transparan serta penanggung jawab yang
dipercaya oleh semua fihak. Penggunaan lembaga resmi seperti
karang taruna, kelompok tani dan penggerak PKK, dsb lebih di
percaya secara kelembagaan oleh masyarakat luas dari pada
Wahyu Gunawan, dkk.| 13

kelompok kelompok pribadi yang tidak jelas kelembagaan


pemerintahannya. Proses kemajuan pembangunan dalam bentuk
laporan tertulis menjadi bukti berjalannya program kegiatan
menjadi bahan yang harus di laporkan secara terus menerus oleh
para agen pembangunan. Bahasa tutur menjadi penting dalam
proses ini, bahasa tulisan yang harus mampu di jelaskan secara
lisan kepada semua elemen masyarakat bukan hanya tokoh
saja.Strategi penyelesaian masalahyang baru timbul dari proses
pembangunan seperti tidak adanya koordinasi antar
penyelenggara kegiatan, penyimpangan arah program kegiatan,
dan banyaknya kepentingan pribadi yang masuk dalam program
pembangunan tersebut, dan masalah lainnya harus diselesaikan
dengan cepat oleh para agen pembangunan. Managemen
konflik menjadi pengetahuan strategi yang wajib di punyai oleh
para agen pembangunan. Konflik kepentingan, konflik vertikal,
konflik horisontal, dsb. adalah materi strategi yang harus di
kuasai para agen pembangunan. Selalu tahu tokoh yang menjadi
trouble maker dan problem solver adalah strategi kunci agen
pembangunan dan selalu harus bersilaturahmi dengan mereka,
agar tidak lepas informasi. Hal lain yang harus di fahami oleh
para agen pembangunan yang dana nya berasal dari APBDes dan
atau APBD dan atau APBN adalah strategi penyiapan laporan
kegitan dan pertanggungjawaban anggaran, hal ini harus
diantisipasi sejak awal karena menyangkut teknis dan sistematika
pelaporan yang sudah baku dan kaku, sehingga perlu tenaga
khusus yang membantu agen pembangunan untuk meyelesaikan
laporan pertanggung jawaban kegiatan dan keuangan tersebut.
Mengerti aturan dan juklak serta juknis pertanggung jawaban
kegiatan dan keuangan adalah strategi pengetahuan yang wajib
di kuasai para agen pembangunan agar tidak terkena
pemeriksaan dari para auditor pembangunan dan keuangan.
4) Dalam tahap rekayasa sosial, strategi yang di lakukan adalah
penciptaan ide-ide kreatif yang dilakukan untuk terselenggaranya
pembangunan masyarakat melalui rekayasa-rekayasa tertentu
yang di ciptakan secara inovatif dan kreatif. Para agen
pembangunan akan menghadapi masalah pelik yang tidak bisa di
pecahkan secara komprehensif sehingga perlu terobosan baru
dalam program kegiatannya. Rekayasa sosial adalah
14 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

pengetahuan yang di dapat dari masalah yang terjadi di lapangan,


membuat saung di hutan untuk tempat berkumpul atau botram
bersama dengan makanan ala kadarnya juga ngopi bareng
dengan kopi yang di tumbuk langsung, membawa oleh oleh
penganan, menanam tanaman komoditas yang cepat
menghasilkan, membawa pupuk baru dan andal adalah sebuah
rekayasa untuk mendekatkan diri para agen pembangunan
dengan para partisipan pembangunan. Selain itu membuat
lembaga baru atau komunitas baru serta teknologi baru dalam
proses pembangunan masyarakat adalah ide yang kreatif dan
inovatif para agen pembangunan. Mengenalkan dengan orang
orang yang pakar dalam bidangnya, berdiskusi dengan dalam
tentang masalah pembangunan di lapangan adalah sebuah
rekayasa sosial untuk mendidik dan mengajarkan pengetahuan
baru sebagai sebuah solusi pembangunan. Demo membuat
sesuatu yang baru seperti kerajinan atau kuliner yang
meningkatkan perekonomian masyarakat adalah rekayasa sosial
untuk meningkatkan trust masyarakat kepada para agen
pembangunan. Proses rekayasa sosial harus di rencanakan secara
sistematis agar masyarakat menerima ide baru yang akan di
berikan sebagai solusi kreatif pemecahan masalah
pembangunan.
5) Dalam tahap pengendalian sosial, srategi yang di lakukan adalah
strategi pengawasan atau kontrol sosial yang dilakukan oleh
masyarakat dalam melihat dan menilai proses sebuah
pembangunan yang di lakukan masyarakat. Pada tahap ini agen
pembangunan bisa berubah fungsi menjadi agen pengendali
sosial atau di bantu khusus oleh agen pengendali sosial, karena
tugasnya adalah mengendalikan pembangunan dan rekayasa
sosial berjalan lancar di masyarakat. Strateginya adalah monitoring
dan evaluating yang kontinyu wajib di lakukan agen pengendali
sosial. Selain itu ganjaran dan hukuman juga harus di berlakukan
bagi yang mendukung pembangunan dan meyimpang dari
pembangunan. Bentuk ganjaran bisa dalam arti peningkatan
kepercayaan, menduduki struktur dalam program, dsb. Bentuk
hukuman dari mulai di teguran, sanksi di keluarkan dalam
struktur program atau di asingkan dari wilayah desa.
Wahyu Gunawan, dkk.| 15

6) Dalam tahap tertib sosial , strategi yang di lakukan adalah strategi


dalam proses tercapainya ketertiban masyarakat. Disini sentuhan
pribadi dan moralitas sudah tertancap dalam bentuk adat istiadat
budaya masyarakat. Dalam tahap ini pemberdayaan
kelembagaan budaya menjadi hal penting. Budaya pembangunan
sudah mandiri dipunyai masyarakat, pranata masyarakat berjalan
dengan utuhnya, antara fisik dan non fisik, para agen
pembangunan dan para pengendali sosial berubah fungsi
menjadi agen budaya yang memelihara dan memuliakan budaya
positif pembangunan dan menahan atau menghilangkan budaya
negatif pembangunan. Strategi membangun pranata budaya
adalah pegetahuan para pemberdaya pembangunan masyarakat
yang di akhiri dengan strategi membangun pranata agama yang
sejalan seiring dalam budaya masyarakat yang tertib secara
hukum. Aspek kesejahteraan menjadi ciri dari ketertiban sosial
ini. Membangun pranata budaya dan pranata agama adalah
maqom tertinggi dalam pemberdayaan masyarakat ini.

❖ Faktor Penghambat dan Pendukung Pembangunan


Masyarakat
Dalam implementasi pembangunan masyarakat tentu saja ada
faktor penghambat dan pendukung, faktor penghambat terutama adalah
sifat korupsi dan manipulasi yang di lakukan agen pembangunan dan
kelompok masyarakat yang terlibat, sifat malas dan mental terabas serta
tidak sabar dalam menjalankan proses pembangunan yang dilakukan,
cepat mengeluh dan suka bertengkar dibanding cari solusi ketika
menghadapi masalah, lebih mempermasalahkan dana yang terbatas di
banding cari masalah, menganggap bahwa dana bantuan dari pemerintah
dan dari luar adalah rejeki nomplok yang bisa di bagi bagi di antara
kelompok masyarakat tanpa peduli program, lebih sibuk mencari peluang
dana bantuan daripada melakukan efisiensi program, sifat berbohong
untuk mencari keuntungan sendiri misal tidak ada dana transportasi tidak
ada dana konsumsi, tidak disiplin dalam mengatur keuangan untuk
program dan untuk kepentingan pribadi, mental ingin diberi daripada
memberi, dsb.
Sedangkan faktor pendukung yang terutama dalam implementasi
pembangunan adalah motivasi, harapan dan iming iming bahwa bila
program terealisir maka kesejahteraan anggota akan tercapai, wilayahnya
16 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

akan maju dan berkembang, kepercayaan yang tinggi kepada agen


perubahan dan agen pembangunan bahwa program pemberdayaan akan
berhasil, adanya elite yang mendukung proses pembangunan dengan
memberikan bantuan materi dan semangat, dsb.Dalam pembangunan
desa, Simandjuntak dan Pasaribu (1986:7) menjelaskan tentu saja bukan
setiap aktivitas komunal merupakan pembangunan desa, tetapi aktivitas
komunal yang menimbulkan perubahan dalam desa. Perubahan
desktruktif belaka sudah barang tentu tidak termasuk, melainkan hanya
yang mendatangkan perbaikan.

4) Rekayasa Sosial
Dalam mengatasi masalah ini perlu adanya solusi-solusi yang jitu
untuk menyelesaikannya. Solusi tersebut berbentuk rekayasa sosial
sebagai suatu proses penciptaan ide-ide inovatif dan kreatif yang
dilakukan untuk terselenggaranya pembangunan masyarakat.
Sebuah rekayasa sosial lahir dari lapangan dengan bantuan
kerangka pemikiran teoritis yang sudah tertanam dalam pikiran agen
perubahan, kadang juga lahir dari ide agen pembangunan kelompok
masyarakat. Lahirnya sebuah ide untuk mengatasi masalah bisa terjadi
bila masalah tersebut di bicarakan baik secara pribadi maupun kelompok,
contoh ketika sebuah konsep wisata lahir di awal kegiatan program
pemberdayaan masyarakat Pasir Ipis Lembang, itu karena hasil
pengamatan dari kelompok pemuda LSM dan kelompok pemuda karang
taruna RW yang melihat potensi benteng di pasir ipis, begitupun dengan
lokasi wisata yang di pilih dengan konsep pemandangan lembah yang
indah lahir dari beberapa uji lokasi awal dari kelompok pemuda tersebut,
menghubungi fihak universitas untuk berperan sebagai agen perubahan
adalah solusi jitu untuk mengembangkan relasi sosial dan modal sosial
yang kuat untuk pengembangan wilayah tersebut. Puslitbang
Kepariwisataan BPSDKP Depbudpar (2009:17) menjelaskan proses
perencanaan Pariwisata Perdesaan dimulai dari persiapan, penetapan
sasaran, mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki, proses analisis dan
sintesis serta perumusan rencana dan kebijakan.
Sebuah rekayasa sosial adalah solusi implementasi program
pembangunan masyarakat yang teliti, agar program bisa lahir dari
kelompok masyarakat dan di terima oleh masyarakat luas, biasanya di
mulai dengan ide dan konsep dari masyarakat kemudian menjadi sebuah
perencanaan bersama yang matang dalam bentuk sosialisasi yang panjang
Wahyu Gunawan, dkk.| 17

dan terus menerus agar terjadi internalisasi sehingga program bisa di


laksakan oleh dan untuk masyarakat. Hal lumrah dan biasa terjadi adalah
kesalah fahaman dan konflik ketika program tersebut di jalankan dan
ketika jalan buntu, maka tugas agen perubahan dan agen pembangunan
untuk mencari solusi yang tepat. Ide yang inovatif dan kreatif akan lahir
bila terus ada di lapangan, dengan memperhatikan segala potensi yang
bisa di kembangkan di dalam masyarakat untuk mengatasi masalah
tersebut, misalnya masalah dana memang klise, biasa terjadi tetapi bila
dengan jeli memperhatikan elite desa yang kaya raya yang bisa
menyokong program pembangunan, maka melakukan pendekatan dan
sosialisasi program pada elite desa tersebut adalah sebuah ide yang cukup
baik.
Dalam rekayasa sosial yang terutama menjadi masalah pelik adalah
bukan soal material atau pun dana, tetapi adalah karakteristik masyarakat
yang mempunyai daya dukung untuk pembangunan. Karakteristik
masyrakat yang paguyuban akan berbeda dengan patembayan dalam
melakukan pendekatan dalam sosialisasi program pembangunannya.
Rekayasa sosial yang positif adalah proses merubah masyarakat untuk
menjadi guyub dan mendukung pembangunan, artinya harus merubah
karakter dan mentalititas pembangunan masyarakat untuk mendukung
pembangunan.
Merubah karakter dan mentalitas masyarakat untuk membangun
wilayahnya dengan kemampuan masyarakat ini menjadi hal penting
dalam rekayasa sosial. Selain itu merekaya sistem sosial, struktur sosial,
proses sosial, hubungan sosial, interaksi sosial, modal sosial dan jaringan
sosial adalah materi-materi penting untuk mendapatkan solusi
implementasi pembangunan masyarakat. Hal yang sangat utama dalam
rekayasa sosial adalah merekayasa modal sosial dan jaringan sosial untuk
mendukung pembangunan masyarakat. Modal sosial adalah faktor
internal yang menjadi potensi yang bisa di gali lebih dalam untuk
pembangunan masyarakat, sedangkan jaringan sosial adalah faktor
eksternal yang bisa menambah kekuatan dari luar untuk membangun
masyarakat.
Modal sosial yang terutama yang harus di bangun adalah kejujuran
dan amanah untuk membangun dari setiap fihak selain menyiapkan
faktor pendukung lainnya seperti karakter dan mentalitas membangun
masyarakatnya secara mandiri, sistematis dan berkelanjutan. Sedang
jaringan sosial yang terpenting adalah integrasi dan integritas solidaritas
18 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

masyarakat dalam membangun serta mengembangkan kohesi sosial


diantara kelompok internal dan eksternal masyarakat. Jaringan sosial
tergantung keeratan hubungan sosial yang asosiatif, dan keluasan relasi
sosial yang di punyai masyarakat.
Peran agen perubahan dalam membangun modal sosial dan
jaringan sosial menjadi tinggi bila kelompok masyarakatnya terisolasi dan
tertinggal secara wilayah. Peran agen pembangunan harus lebih
mendukung dalam wilayah yang secara modal sosial dan jaringan sosial
rendah. Agen perubahan wajib mempunyai jaringan sosial yang luas dan
erat, dengan semua jaringan masyarakat di luar masyarakat yang terisolasi
dan tertinggal terutama untuk membantu secara fisik dan materi serta
iptek yang tepat untuk membantu mengembangkan wilayah tersebut.
Penggunaan media sosial menjadi penting dalam mencari sukungan relasi
sosial yang tinggi untuk membangun wilayah eilayah yang sulit di jangkau.
Meskipun demikian tidak selamanya wilayah yang mudah di
jangkau mudah untuk di kembangkan, pada karakteristik masyarakat
patembayan di wilayah perkotaan, aspek materi (uang dan bantuan
sarana prasarana) kadang menjadi hal utama dalam hubungan sosialnya,
sedangkan pada karakteritik masyarakat paguyuban di wilayah perdesaan,
aspek immaterial (kejujuran, amanah, musyawarah untuk mufakat, di
perhatikan) kadang menjadi hal utama dalam hubungan sosialnya. Intinya
merekayasa sosial modal sosial dan relasi sosial harus memperhatikan
karakter dan mentalitas pembangunan masyarakat tersebut.

5) Pengendalian Sosial
Setelah rekayasa sosial di lakukan dan dapat terinternalisasi dengan
baik, maka program pembangunan sosialsudah bisa berjalan sesuai
dengan keinginan semua fihak, pada tahap pembangunan yang sedang
berlangsung , pengawasan atau kontrol sosial wajib dilakukan oleh
masyarakat dalam melihat keberhasilan atau ketidakberhasilan proses
sebuah pembangunan yang di lakukan masyarakat, dan ini menjadi
kewajiban para kelompok masyarakat setempat. Roucek (1951:3),
menyampaikan bahwa “social control is a collective term for those processes,
planned or unplanened, by which indiviudals are taught, persuaded, or complelled to
conform to the usages and life-values of groups” maknanya adalahkontrol sosial
merupakan istilah kolektif untuk proses-proses yang direncanakan atau
tidak direncanakan, dimana individu diajarkan, dibujuk, atau adnya
kekeliruan untuk menyesuaikan diri dengan penggunaan dan nilai-nilai
Wahyu Gunawan, dkk.| 19

kehidupan kelompoknya. Menurut Soekanto dan Heri (1987:2)


pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah
laku kelompok lain, apabila kelompok mengendalikan perilaku
anggotanya, atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah-laku fihak
lain. Dengan demikian pengendalian sosial terjadi pada tiga taraf, yakni:
1) Kelompok terhadap kelompok 2) Kelompok terhadap anggotanya, 3)
Pribadi terhadap pribadi. Dengan kata lain, pengendalian sosial terjadi
apabila seseorang diajak atau di paksa untuk bertingkah laku sesuai
dengan keinginan fihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan
kehendaknya maupun tidak.
Peran agen perubahan dan pembangunan masyarakat hanyalah
membuat sistem pengendalian sosial itu berjalan. Sistem pengendalian
sosial itu bisa berjalan baik bila bentuk pengendalian sosial sudah tercipta,
para agen pengendali sosial sudah lahir, mekanisme pengendalian sosial
sudah terwujud dan aspek komunikasi politik pembangunan sudah
terpelihara dengan struktur pengendalian sosial yang sudah berjalan baik.
Bentuk pengendalian sosial yang terutama adalah preventif dan
represif. Preventif adalah bentuk pengendalian sebelum kegiatan
pembangunan masyarakat di mulai, dengan aturan dan norma yang di
buat baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Tertulis berupa aturan tugas
pokok dan fungsi masing masing anggota dalam kelompok masyarakat,
Standar Operation Procedure, aturan yang mengikat anggota masyarakat
dalam bentuk AD-ART, hukum positif yang sedang berlaku atau aturan
tertulis yang d buat atas dasar kesepakatan sesama anggota masyarakat.
Tidak tertulis adalah semua bentuk kesepakatan dengan dasar
musyawarah mufakat dengan kesadaran sendiri di buat bersama untuk di
taati bersama, misal peran masing masing anggota masyarakat dalam
kelompok pembangunan masyarakatnya, pekerjaan-pekerjaan yang di
jalankan akibat tidak ada dalam tugas pokok dan fungsi yang tertulis
(residu pekerjaan atau sisa pekerjaan yang tidak termasuk dalam tugas
pokok dan fungsi).
Tujuan dari pendalian sosial secara preventif adalah penjagaan
program terhadap semua penyimpangan yang sudah di sepakati, semua
di kendalikan sebelum program pemberdayaan masyarakat itu di
implementasikan, dengan melalui prosedur operasi yang standar semua
pihak harus menjalani dengan baik, juga ada sanksi bagi yang
menyimpang dari prosedur operasi standar yang dibuat. Bentuk
20 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

sanksinya, berbagai jenis dari ringan dengan denda sampai berat dengan
pidana kurungan.
Tujuan dari pengendalian sosial secarta refresif adalah mengatasi
masalah penyimpangan yang terjadi ketika program sedang berlangsung.
Penyimpangan yang terjadi akibat menyalahi kesepakatan dan aturan atau
penyimpangan dana dan sejenisnya dan atau penyimpangan program
menjadi kepentingan pribadi. Bentuk sanksi bisa ringan berupa di tegur,
di keluarkan dari kelompok masyarakat, di kucilkan masyarakat sampai
diusir dari masyarakat, atau juga sanksi berat di pidanakan.
Pada prinsipnya bentuk pengendalian sosial baik preventif naupun
represif dalam program pembangunan sosial di utamakan pada sanksi
sosial, artinya masyarakat membuat sanksi secara aturan mereka sendiri
(adat istiadat) dalam bentuk pembelajaran kepada para penyimpang
program, agar mereka jera tidak mengulang tetapi masih diberi
kesempatan untuk turut serta dalam proses pembangunan
masyarakatnya.

❖ Agen Pengendali Sosial


Agen pengendali sosial adalah orang-orang yang di pilih dalam
kelompok masyarakat untuk menjadi pengendali agar program tetap
berlangsung sesuai kesepakatan. Biasanya di rangkap oleh pimpinan
kelompok tapi bisa juga para tokoh yang tidak terlibat langsung tetapi
turut berpartisipasi tidak langsung dalam program pembangunan
masyarakat tersebut. Para agen perubahan sosial, para agen
pembangunan wajib menjadi agen pengendali sosial karena untuk
menjaga program dan mengatasi penyimpangan program. Jadi agen
pengendali pembangunan ini bisa banyak agen, bisa di dalam tim yang
terlibat atau tokoh masyarakat di luar tim yang terlibat. Tujuannya agar
semua fihak bisa menjaga dengan baik visi misi dan strategi
pembangunan masyarakat yang sudah di sepakati.

❖ Mekanisme Pengendalian Sosial


Mekanisme pengendalian sosial adalah hal yang sangat
menentukan, biasanya di mulai dari visi misi dan strategi program
pembangunan masyarakat yang sudah di detilkan dalam sebuah proposal
lengkap pembangunan hasil dari pemetaan sosial dan perencanaan sosial,
kemudian di jalankan sesuai proposal yang sudah di sepakati.
Pengendalian sosial diawal program pembangunan wajib di kawal oleh
Wahyu Gunawan, dkk.| 21

agen pengendali sosial melalui pengendalian preventif, ketika terjadi


penyimpangan para agen pengendali sosial melakukan pengendalian
represif sehingga segala penyimpangan program bisa dikendalikan sesuai
arah sebenarnya.
Mekanisme yang di lakukan dalam pengendalian preventif, para
agen pengendali melakukan diskusi kelompok bersama dengan
kelompok masyarakat, agen perubahan dan agen pembangunan secara
musyawarah mufakat menyangkut hal-hal yang bisa terjadi dalam
program terutama menyangkut pemnyimpangan-penyimpangan
program dan bentuk sanksi yang bisa diberikan. Sedangkan mekanisme
pada pengendalian refresif adalah bila ada masukan dari berbagai fihak
tentang indikasi penyimpangan program, maka para agen pengendali
berkumpul untuk mengkaji kebenaran dan kepastian penyimpangan
program tersebut, kemudian bila di yakini benar maka di laporkan ke
agen pembangunan dan agen perubahan sosial yang secara tertutup
membuat tim khusus pengkaji fakta dan data penyimpangan program,
bila terbukti maka bisa dilanjut dengan memanggil para penyimpang
program tersbut untuk di periksa kebenarannya, bila terbukti maka tim
khusus pengkaji fakta dan data penyimpangan program menyajikan
dalam rapat lengkap para agen pengendali sosial, agen pembangunan dan
agen perubahan sosial serta kelompok masyarakat untuk menentukan
solusi dan sanksi bagi penyimpang program pembangunan masyarakat
tersebut.

❖ Struktur Pengendalian Sosial


Struktur pengendalian sosial adalah jaringan-jaringan sosial yang
terealisir dalam mekanisme pengendalian sosial sehinga tercipta relasi
pengendalian sosial antara agen pengendali sosial dengan masyarakatnya.
Struktur pengendalian sosial ini adalah kasat mata sehingga sulit di
prediksi arah kaitan jaringan hubungan dari satu komponen ke
komponen masyarakat lainnya, umpama lingkaran setan tidak bisa di
ketahui awal dan akhir dari jaringan tersebut. Tujuan adanya struktur
pengendalian sosial ini adalah untuk menyaring informasi manifes dan
laten tentang arah program pembangunan masyarakat tersebut. Sehingga
segala arah penyimpangan program bisa di ketahui sejak dini oleh agen
pengendali sosial. Jaringan sosial ini terdiri dari relasi sosial dalam bentuk
interaksi sosial antara para agen pengendali dengan kelompok
22 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

masyarakat yang terlibat program, sehingga segala hambatan dan


dukungan program bisa menjadi masukan arah program.
Hal utama dalam struktur pengendalian sosial adalah komunikasi
pembangunan yang terkait dengan komunikasi politik antara fihak
terkait. Komunikasi pembangunan dan komunikasi politik ini bukan
hanya harus di kuasai agen pengendali sosial tetapi juga agen
pembangunan dan agen perubahan serta kelompok masyarakat yang
terlibat. Komunikasi pembangunan adalah semua pesan pembangunan
yang disampaikan para agen perubahan, agen pembangunan dan agen
pengendali sosial kepada kelompok masyarakat yang terlibat atau tidak
terlibat dalam pembangunan. Peran agen sebagai komunikator
pembangunan harus bisa di percaya dan jelas oleh para komunikannya
yaitu masyarakat luas. Pesan yang di sampaikan harus rinci, sistematis dan
tuntas, tidak menimbulkan polemik dan pertanyaan para komunikannya.
Sehingga antara komunikator melalui pesannya dengan komunikan
terjadi welltune, komunikasi yang tepat arah dan menghasilkan kepuasan
yang bisa di terima semua fihak.

6) Tertib Sosial (Social Order)


Tahap pembangunan masyarakat yang terakhir adalah tercapainya
tertib sosial artinya dari proses tersebut tercapainya ketertiban
masyarakat. Pada tahap ini pembangunan masyarakat sudah terkendali
secara utuh menyeleruh oleh para agen pengendali masyarakat yang
berasal dari kelompok masyarakat itu sendiri. Program sudah terarah
dengan baik, rekayasa sosial sudah berhasil di laksanakan, penyimpangan
sudah bisa diatasi, karena semua masyrakat sudah merasakan hasil dari
pembangunan yang telah di lakukannya. Hasil pembangunan yang terasa
manfaatnya oleh semua lapisan masyrakat menjadi kekuatan tercapainya
ketertiban sosial dalam pembangunan sosial, karena masyarakat akan
menjaga keberlangsungan program, dan kemandirian akan menjadi suatu
langkah akhir masyarakat akan program tersebut, sehingga akan
tercapainya masyarakat yang mandiri dalam melakukan program
pembangunan sosial. Kemandirian dan penjagaan akan keberlangsungan
program adalah inti dari ketertiban sosial. Penjagaan akan
keberlangsungan program akan menjadi aturan tertulis dan tidak tertulis,
masyarakat akan terbiasa menjaga program, melalui aturan dan dan
norma yang diciptakannya sehingga program pembangunan sosial
tersbut akan menjadi budaya masyarakat. Keberhasilan ketertiban sosial
Wahyu Gunawan, dkk.| 23

adalah bila program pembangunan masyarakat tersebut sudah menjadi


adat kakurung ku iga artinya budaya masyarakat yang tidak bisa lepas dan
tidak berubah karena masyarakat sudah menganggap pembangunan
tersebut adalah karya, cipta dan karsa masyarakat, yang di jalankan sesuai
aspirasi masyarakat dan menjadi manfaat serta maslahat untuk
masyarakat sehingga tercapai integritas sosial melalui pembangunan
masyarakat tersebut. Prinsip keberlajutan (sustainability) adalah salah satu
prinsip pemberdayaan, Satria (2105:132) menyebutnya sebagai salah satu
bentuk rekayasa sosial, karena menyangkut perubahan sosial baik bersifat
struktural maupun kultural.

PENUTUP
Tahapan pembangunan pertama adalah pemetaan sosial, kedua
adalah perencenaan sosial, ketiga adalah pembangunan Sosial, keempat
adalah rekayasa sosial, kelima adalah pengendalian sosial dan ke enam
adalah ketertiban sosial. Pada tahap pemetaan sosial samapai
perencanaan peran agen perubahan sangat di dominan sekali. Pada tahap
pembangunan sosial dan rekayasa sosial peran agen pembangunan sosial
sangat dominan, sedang pada tahap pengendalian sosial sampai tahap
ketertiban sosial peran agen pengendali sosial sangat dominan sekali.
Berdasarkan hal tersebut maka secara sederhana tahapan pembangunan
masyarakat dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut ini.

Gambar 1.1 Tahapan Pembangunan Masyarakat


Sumber : Olahan Penulis (2017)
24 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Berbuat Bersama Berperan Setara (1996) Studio Driya Media untuk


Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara.
Cernea, Michael M. (1988). Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan.
Jakarta:UI Press
Kayam, Umar dan Nat.J. Coletta (1987). Kebudayaan dan Pembangunan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mikkelsen, Britha. (2001). Metode Penelitian Partisipatoris dan unpaya-upaya
pemberdayaan. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.
Pusat Penelitan dan Pengembangan Kepariwisataan (2009) Badan
Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata
Departemen Kebusayaan dan Pariwisata
Rashidi, El (1971). Human aspects of Development. Brussels: IIAS
Roucek, J.S. (1951). Social Control. New York: D Van Nostrand. Co.Inc.
Satria Arif, (2015). Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia-Fakultas Ekologi Manusia IPB
Simandjuntak, B. dan I.L Pasaribu (1986) Pendidikan dan Pembangunan
Masyarakat Desa. Bandung: Tarsito
Soekanto, Soerjono dan Heri Tjandrasari. (1986) dalam JS. Roucek
Pengendalian Sosial. Jakarta:Rajawali Pers
Suwignyo. (1986). Administrasi Pembangunan Desa Dan Sumber-Sumber
Pendapatan Desa. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Syahyuti. (2006). 30 konsep Penting dalam pembangunan pedesaan dan Pertanian.
Jakarta:PT. Bina Rena Prawira
PEMETAAN SOSIAL DALAM
PENGEMBANGAN KAMPUNG
2 WISATA PASIR IPIS, DESA
JAYAGIRI
Fardina Himma
PENDAHULUAN
Provinsi Jawa Barat memiliki obyek wisata yang beragam baik
wisata alam, budaya maupun sejarah. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan letak geografis yang strategis serta aksesibilitas yang baik,
jumlah penduduk yang banyak sehingga berpotensi menjadi wisatawan
domestik.Penduduk Jawa Barat yang beretnis Sunda sudah sangat tourism
minded dilihat dari sisi penawaran Jawa Barat memiliki objek wisata serta
daya tarik yang beragam (Maryani, 2004:3-6). Daya tarik tersebut
merupakan hal yang memerlukan pengelolaan dalam pengembangan
yang berkala dan berkelanjutan, karena dari hal yang sederhana tersebut
masyarakat dapat mengambil manfaat dari potensi yang ada di dalam
daerah itu sendiri sehingga dapat dikelola untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (Edwin, 2015:1-2).
Ketika berbicara tentang keterbelakangan bangsa, maka masalah
utamanya sering dititikberatkan pada desa berserta masyarakatnya.
Pelaksanaan pembangunan masa lalu menempatkan pemerintah seolah-
olah sebagai agen tunggal pembangunan, sedang masyarakat desa
dianggap tidak memiliki kemampuan dan masih tertinggal
(Wastutiningsih, 2004:12). Padahal, masyarakat (termasuk di dalamnya
masyarakat desa) mempunyai peranan penting dalam meningkatkan
bidang pariwisata.
Kemajuan pariwisata harus diimbangi dengan kemajuan perekonomian
masyarakat. Pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah sebagai tolak
ukur keberhasilan pariwisata. Intinya, diperlukan peningkatan pariwisata
dengan berbasis masyarakat. Strategi terbaik untuk mengembangkan
pariwisata dengan meningkatkan partisipasi masyarakat adalah dengan
cara meningkatkan kemajuan desa wisata. Selain itu, banyak hal positif
yang mampu diperoleh dari pengembangan desa wisata. Saat ini, desa
wisata di Indonesia kurang lebih berjumlah 980 desa wisata. Dengan

25
26 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

pengembangan desa wisata, maka partisipasi masyarakat di sekitarnya


diberdayakan semaksimal mungkin. Perlu diketahui bahwa
pengembangan desa wisata berarti pengembangan pariwisata yang
melibatkan sumber daya masyarakat yang ada di kawasan wisata dan
sekitarnya (Casmudi, 2015). Oleh karena itu,pemberdayaan masyarakat
(community development) merupakan elemen penting dalam proses
pengembangan kawasan wisata.
Melihat besarnya potensi sumber daya alam dan budaya serta
jumlah penduduk yang dimiliki Jawa Barat, maka tak bisa dipungkiri
bahwa Jawa Barat dalam perspektif pengembangan pariwisata memiliki
potensi yang besar untuk dioptimalkan.Masalah yang ada dalam potensi
pariwisata saat ini adalah belum teridentifikasinya potensi aset produk
kepariwisataan mencakup daya tarik sumber daya alam dan budaya,
aksessibilitas, amenitas, lingkungan alam, SDM, dan pemasaran serta
belum adanya basis data dan informasi baik dalam bentuk deskripsi aset
produk kepariwisataan yang lengkap, aktual, dan akurat untuk proses
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan terkait dengan
kepentingan pembangunan pariwisata (Gaol, 2008: 86-88).
Pemetaan desa juga sebaiknya dilakukan karena masyarakat dapat
berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian agar nantinya sesuai dengan
keinginan masyarakat. Dalam merealisasikan perwujudan pembangunan
kawasan wisata disebutkan langkah awal yang penting adalah pemetaan
sosial, hal ini sejalan dengan pendapatAbdurokhman (2014) yang
menyatakan :
“Perwujudan pembangunan kawasan wisata/desa wisata tersebut perlu
direalisasikan dengan langkah awal yaitu, mengenali kondisi sosial budaya desa
dan memahami bagaimana strategi dan cara mengembangkan potensi yang
berada di dalam desa tersebut agar bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran masyarakat. Dalam pengembangan potensi desa harus
disesuaikan dengan permasalahan kehidupan atau kebutuhan masyarakat agar
hasilnya benar-benar bisa dirasakan untuk meningkatkan kesejahteraan secara
luas sesuai tujuan yang telah disepakati bersama”.

Berdasarkan fakta tersebut maka perlu dirumuskan bentuk


pembangunan pariwisata berkelanjutan yang lebih tepat di masa
mendatang. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Susyanti
(2013:34):
Wahyu Gunawan, dkk.| 27

“Konsep pariwisata perdesaan (rural tourism) dengan cirinya produk yang unik,
khas serta ramah lingkungan kiranya dapat menjadi solusi baru bagi
pengembangan kepariwisataan di dunia. Sebagai respon atas pergeseran minat
wisatawan tersebut maka di Indonesia pun tumbuh pilihan wisata baru berupa
desa-desa wisata di berbagai provinsi di Indonesia termasuk di dalamnya
Provinsi Jawa Barat”.

Pemetaan sendiri merupakan bagian dari teknik PRA atau


Participatory Rural Appraisal. PRA digunakan karena masyarakat lokal
merupakan informan yang mengetahui dengan baik kondisi daerah
sekitarnya, hal ini sejalan dengan konsep CBT atau Community Based
Tourism yang merupakan model pembangunan yang memberikan peluang
yang sebesar-besarnya kepada masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan pariwisata.
Salah satu kawasan potensial yang direncanakan akan menjadi desa
wisata ialah Desa Jayagiri. Desa Jayagiri yang terletak di Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Desa Jayagiri memiliki
berbagai potensi yang cukup tinggi, seperti potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, kelembagaan, dan lain-lain. Potensi-potensi
tersebut jika dipetakan dengan dengan baik dapat sangat membantu
proses perencanaan pembangunan kawasan wisata yang dapat
berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada
umumnya dan masyarakat Desa Jayagiri pada khususnya.
Melihat potensi sumber daya alam dan budaya yang dimiliki Pasir
Ipis, maka tak bisa dipungkiri bahwa Pasir Ipis dalam perspektif
pengembangan pariwisata memiliki potensi yang besar untuk
dioptimalkan.Masalah yang ada dalam potensi pariwisata saat ini adalah
belum teridentifikasinya potensi aset produk kepariwisataan, belum
adanya basis data dan informasi baik dalam bentuk deskripsi aset produk
kepariwisataan yang lengkap, aktual, dan akurat untuk proses pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan terkait dengan kepentingan
pembangunan pariwisata. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan dalam
rangka mengetahui kondisi sosial budaya wilayah Kampung Wisata Pasir
Ipis.

PEMETAAN SOSIAL KAMPUNG WISATA PASIR IPIS


Pemetaan sosial atau social mapping adalah sebuah metode untuk
mendapatkan informasi mengenai kondisi sosial budaya suatu wilayah.
28 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Informasi yang dapat diungkap melalui kegiatan pemetaan akan sangat


tergantung pada tahap proses penggalian informasi yang telah dilakukan.
Pemetaan bisa dilakukan untuk mendapat baik informasi umum maupun
informasi yang lebih spesifik, topiknya bisa luas ataupun terpilih (Studio
Driya Media, 1994:73).
Penyusunan peta sosial sendiri didasarkan pada asumsi bahwa
kondisi geografis mempengaruhi kondisi sosial budaya suatu masyarakat.
Kondisi sosial budaya sendiri diteliti dalam rangka mengungkap potensi
sosial-budaya, hubungan sosial-budaya, hubungan kelembagaan
termasuk potensi terjadinya konflik, sedangkan kondisi umum dalam
pemetaan dibuat untuk mengetahui kondisi umum yang mencakup
kondisi geografis (fisik dan lingkungan) suatu wilayah, sumber daya, serta
sarana dan prasarana yang ada. Dari pemetaan sosial diharapkan peneliti
mendapatkan gambaran mengenai kondisi sosial dan budaya desa yang
dapat diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam pengembangan
desa wisata serta didapatkan rekomendasi strategi pengembangan
Kampung Wisata.

❖ Hasil Pemetaan Sosial


Berdasarkan hasil pemetaan sosial dapat diidentifikasi bahwa
wilayah Kampung Wisata Pasir Ipis merupakan kawasan yang secara
administrasif merupakan wilayah satu RW yang terdiri dari 5 RT. Letak
masing-masing RT berjajar mengikuti garis lurus yang merupakan jalan
utama Kampung Wisata Pasir Ipis. Wilayah ini dapat dicapai dengan
kendaraan pribadi baik mobil maupun motor mengigat lebar jalan yang
cukup untuk satu setengah mobil, namun cukup sulit bagi kendaraan
roda empat untuk berputar arah. Jalan menuju serta jalan sepanjang desa
wilayah Pasir Ipis juga dapat ditempuh dengan cara berjalan kaki atau
sepeda bagi pengunjung yang gemar berolahraga. Selain kendaraan
pribadi wilayah ini juga dapat dicapai dengan kendaraan umum yaitu ojeg.
Wahyu Gunawan, dkk.| 29

Gambar 2.1 Hasil Pemetaan Sosial Kampung Wisata Pasir Ipis

Fasilitas umum sendiri dapat dinilai sudah mencukupi namun ada


beberapa yang harus diperbaiki. Contohnya jalan rusak serta gorong-
gorong yang tersumbat yang nantinya dapat dipastikan mengurangi
kenyamanan wisatawan saat berwisata. Pasir ipis juga belum memiliki
jaringan telepon kabel. Untuk kebutuhan seperti air dan listrik sudah
memiliki akses atau fasilitas yang mencukupi, air yang mengalir di Pasir
Ipis merupakan air yang berasal dari sumber mata air yang terletak di
hutan tepatnya di bagian atas posisi camping ground. Warga sendiri sangat
menjaga sumber mata air tersebut hingga saat ini tetap dapat
dimanfaatkan dengan baik. Penggunaan mata air tersebut dikenakan
biaya yang sangat terjangkau setiap bulannya. Listrik di wilayah ini pun
sudah mencukupi, setiap rumah dipastikan sudah mendapat aliran
listrik.Untuk listrik sendiri sebagian warga ada yang membayar manual
dan ada pula yang sudah menggunakan token listrik.
Di bidang teknologi, penggunaan handphone dalam masyarakat
sudah merupakan hal yang lumrah.Namun, jaringan internet yang ada
masih buruk untuk beberapa provider dan cukup untuk beberapa provider
lainnya. Hal berdampak pada pemanfaatan teknologi tersebut.
Sedangkan untuk sarana olahraga sendiri warga Pasir Ipis memiliki
lapangan voli dan futsal yang secara berkala dimanfaatkan warganya
untuk berolahraga. Warga pun seringkali mengadakan pertandingan
persahabatan dengan tim dari luar wilayah Pasir Ipis.
30 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Fasilitas pendidikan yang ada di Pasir Ipis dapat dinilai mencukupi.


PAUD, TK, SD serta SMA sudah tersedia dan terhitung ideal apabila
dibandingkan dengan jumlah penduduk kampung wisata Pasir Ipis.
Untuk SMA sendiri tersedia di Lembang yang letaknya masih dapat
terjangkau oleh masyarakat yang ingin melanjutkan sekolah, selain itu
SMA juga dapat dikatakan belum dibutuhkan oleh masyarakat Pasir Ipis
melihat jumlah individu yang melanjutkan sekolah ke jenjang SMA
tidaklah banyak. Kebanyakan pemuda setelah lulus dari sekolah
menengah pertama ingin bekerja dengan alasan tidak ingin membebani
kedua orang tuanya. Hal ini juga hendaknya dijadikan perhatian karena
proses pembangunan sendiri membutuhkan warga yang mengerti dan
dapat merespon ide-ide futuristik dari luar.
Fasilitas kesehatan yang tersedia di Pasir Ipis hanya satu yaitu
Posyandu. Posyandu sendiri masih aktif setiap awal minggu setiap
bulannya. Sedangkan untuk puskesmas masyarakat harus pergi ke desa
sebelah yang dianggap cukup menyulitkan. Sedangkan bidan ataupun
mantri sunat tidak tersedia di lingkungan Pasir Ipis. Meskipun fasilitas
kesehatan masih dapat dianggap kurang baik, tingkat kesehataan warga
Pasir Ipis sangatlah baik. Hal ini dikarenakan pola hidup warganya yang
baik seperti bangun pagi, banyak beraktivitas, makan makanan sehat, dan
berolahraga.
Wilayah Pasir Ipis sendiri memiliki potensi alam yang beragam,
misalnya pemandangan indah yang terdiri dari hutan yang masih rimbun
serta bukit-bukit yang dapat dinikmati dari berbagai sudut, udara yang
masih sangat segar, curug, dan lain-lain. Potensi alam tersebut sebagian
masuk ke wilayah perhutani namun dijaga secara baik oleh warganya
dengan tidak merusak sembarangan apa yang ada di alam.
Kampung Wisata Pasir Ipis belum memiliki hasil produksi baik di
bidang pertanian, peternakan dan lainnya. Hasil kebun atau hasil
berternak seperti susu, brokoli, cabe, tomat sendiri kebanyakan dijual
mentah. Asparagus yang pada awalnya akan dikembangkan sendiri
terkendala cuaca, karena ketika intensitas hujan tinggi hasil asparagus pun
menjadi kurang baik. Pendapatan dari hasil beternak atau berkebunbagi
kebanyakan penduduk masih terbilang belum mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari. Untuk itu diperlukan suatu pengembangan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk. Dari hutan sendiri yang
notabenenya milik perhutani hanya dimanfaatkan untuk menanam
rumput untuk pakan ternak.
Wahyu Gunawan, dkk.| 31

❖ Penelusuran Wilayah/Transek
Berdasarkan hasil transek yang dilakukan di lingkungan Kampung
Wisata Pasir Ipis dapat diketahui bahwa lingkungan ini memiliki kondisi
yang tidak jauh berbeda di setiap wilayah RT-nya. Transek yang
dilakukan adalah transek lintasan garis lurus yang mengambil rute lurus
menanjak dari RT.01 sampai RT.05. Dalam aspek peruntukan tanah rata-
rata merupakan wilayah pemukiman, peternakan, serta kebun ataupun
ladang. RT.01, 02,03 memiliki fasilitas pendidikan berupa pesantren di
RT.01, Sekolah Dasar di RT.02 dan taman kanak-kanak di wilayah RT.03.
Fasilitas olahraga dimiliki RT.02 dan RT.04 berupa lapangan voli dan
lapangan futsal. Fasilitas umum seperti masjid dan mushola berada di
RT.01 dan RT.03.Vegetasi yang ditanami di wilayah Pasir Ipis pun
cenderung serupa yaitu sayuran yang terdiri dari kol, brokoli, terong,
tomat, asparagus, selada, serta rumput untuk pakan ternak. Yang
membedakan adalah RT. 01 yang memiliki kebun jeruk hias, kebun
bunga potong di RT. 04 dan 05, serta kebun strawberi di RT. 04.

Gambar 2.2 Transek Kampung Wisata Pasir Ipis

Status tanah di sepanjang jalan RT.01 hingga RT.06 pun seragam,


yaitu milik pribadi, perusahaan, maupun milik desa/bersama. Sedangkan
32 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

status kesuburan tanah di sepanjang wilayah Pasir Ipis adalah baik, dapat
dilihat berbagai tanaman serta pohon tumbuh subur di wilayah ini. Baik
yang sengaja ditanam ataupun tumbuhan yang tumbuh liat di sepanjang
jalan Kampung Wisata Pasir Ipis.
Tidak ada masalah khusus seperti kekeringan di daerah ini, hal ini
berlaku untuk seluruh RT. Kekeringan sendiri dapat teratasi karena
adanya sumber mata air yang terletak di wilayah perhutani yang mengaliri
seluruh rumah di wilayah Kampung Wisata Pasir Ipis. Kecenderungan
seragam juga berlaku untuk potensi daerah per RT di wilayah ini. Jenis
potensi daerah ini berupa jenisnya sama dan merata yaitu perkebunan
dan peternakan.

❖ Sejarah Pembentukan Kampung Pasir Ipis

Gambar 2.3. Timeline Sejarah Pembentukan


Kampung Wisata Pasir Ipis

Ide pembangunan kampung wisata di lingkungan Pasir Ipis


pertama kali muncul dari masyarakat khususnya anggota Karang Taruna
dan perguruan CKBT. Sekitar tahun 2008 ide ini muncul dikarenakan
masyarakat sendiri melihat potensi alam yang dimiliki Pasir Ipis. Pada
awalnya para anggota perguruan CKBT yang kebanyakan merupakan
anggota Karang Taruna sering mengadakan latihan pernafasan di
benteng Belanda dan merasakan udara di wilayah benteng sangat segar.
Kemudian timbul pembicaraan mengenai pengembangan potensi alam
yang dijadikan potensi wisata, selain udara yang segar mereka juga
Wahyu Gunawan, dkk.| 33

melihat terdapat kebun pinus yang dapat menarik minat wisatawan.


Sejalan dengan pembicaraan tersebut warga juga melihat potensi wisata
lainnya yaitu, hiking ke wilayah benteng yang dirasa dapat menjadi daya
tarik tersendiri. Tahun 2008 para warga memutuskan bekerjasama
dengan Perhutani dan membuka camping ground. Sebelumnya camping
ground terletak lebih atas dari lahan camping ground yang sekarang dan
sudah dipakai oleh warga. Namun, pada tahun 2008 pula pembangunan
kampung wisata tersebut terhenti dikarenakan kurangnya pengetahuan
warga mengenai politik, warga tidak tahu bagaimana proses atau
prosedur kerjasama dengan perhutani. Sehingga keuntungan dari
pengembangan kawasan wisata tersebut hanya dirasakan oleh Perhutani
sedangkan warganya tidak mendapatkan keuntungan serta manfaat
apapun.
Pada tahun 2011 perkumpulan PEDANG (Pemuda Lembang)
dan warga Pasir Ipis mengadakan penghijauan. Pedang sendiri kemudian
tertarik dengan adanya benteng. Pada awal tahun 2011 warga serta
PEDANG mengadakan kegiatan gotong-royong dalam rangka
membersihkan benteng Belanda yang kondisinya tertutup lumut.
Sebelum wisata situs sejarah benteng Belanda tersebut, warga dan
PEDANG awalnya melihat potensi yang ada dari pohon kaliandra di
hutan. Pohon kaliandra sendiri diketahui sangat baik untuk beternak
lebah madu, sehingga pada awalnya direncanakan akan dibuat peternakan
lebah madu. Peternakan lebah madu dilihat sangat efektif, warga dapat
melakukan penghijauan dan menghasilkan madu yang nantinya dapat
dijual. Intensitas berdiskusi antara PEDANG dan warga mengenai
potensi wisata menjadi lebih rutin, warga beserta PEDANG mencari dan
mendiskusikan potensi apa saja yang dapat dijadikan potensi wisata.
sehingga warga membuat data potensi desa yang dapat dijadikan potensi
wisata. Karena terlihat cukup banyak potensi desa yang dapat dijadikan
potensi wisata maka timbul ide pembuatan proyek pembangunan
kampung wisata. Projek tersebut berjalan sekitar satu tahun bersama
PEDANG.
Tahun 2012 pihak Pasir Ipis dipertemukan dengan Wahyu
Gunawan oleh PEDANG yang kemudian disinergikan dengan UNPAD.
PEDANG menawarkan projek kampung wisata tersebut kepada pihak
UNPAD. Sejak saat itu warga mensinergikan beberapa lembaga
termasuk di dalamnya perhutani dan pihak pemerintah (PEMDA).
Setelah itu, warga membuat proposal aspirasi pembangunan camping
34 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

ground. Sehingga pada tahun 2012 pembangunan camping grounddimulai


dan pada tahun 2013 dimulai pembangunan saung. Namun semenjak
2012 hingga saat ini bentuk kampung wisata ini masih percobaan. Selain
itu kampung wisata Pasir Ipis pun belum memiliki MOU.
❖ Kondisi Sosial dan Budaya
Hubungan atau interaksi sosial yang terjalin di dalam
masyarakatKampung Wisata Pasir Ipis dapat dinilai masih terjaga dengan
sangat baik, hal ini dapat dilihat dari belum pernah terjadinya konflik
besar didalam masyarakat Pasir Ipis. Dalam masyarakat sendiri
kerukunan masih sangat terjaga dengan baik, konflik kecil biasanya
terjadi antara pemuda namun masih dalam batasan yang wajar. Warga
pun merasakan kerjasama serta kekompakan diantara warga Kampung
Pasir Ipis masih terasa sangat kental. Hal ini dibuktikan dengan masih
terjaganya budaya gotong royong yang diwujudkan dalam bentuk kerja
bakti. Kerja bakti sendiri masih menjadi rutinitas warga setiap hari jumat
yang oleh warga sendiri biasa disebut “Jumsih” atau Jumat Bersih. Jumsih
sendiri dilakukan oleh ibu-ibu dan rute membersihkannya dilakukan di
wilayah RT masing-masing. Dari kegiatan Jumsih yang dilaksanakan ibu-
ibu berkembang pula kegiatan Jumris atau Jumat arisan.
Selain kegiatan Jumsih warga pun kerap mengikuti program
gotong-royong yang diadakan pemerintah satu bulan dua kali. Kegiatan
gotong-royong yang biasa dilakukan adalah membersihkan jalan. Untuk
kegiatan gotong-royong dari program pemerintah sendiri, masyarakat
diwajibkan untuk berpartisipasi. Terdapat kegiatan gotong-royong lain
yang sering warga lakukan misalnya membenarkan saluran air atau
memperbaiki rumah tidak layak huni. Kegiatan kerjasama lain pun
penulis temukan saat mobil salah satu pengunjung terjebak di selokan,
para warga dengan sukarela datang dan membantu menarik mobil
pengunjung yang terjebak. Kegiatan ini menunjukkan keramahan serta
keterbukaan masyarakat terhadap orang luar.
Wahyu Gunawan, dkk.| 35

Gambar 2.4 Kerjasama Warga Pasir Ipis

Dalam hal pengembangan kampung wisata, mayoritas warga


sangat terbuka dan mendukung, namun tingkat dukungan atau
partisipasinya berbeda-beda, ada yang mendukung secara penuh dan ada
pula yang sekedar mendukung namun tidak ikut serta berpartisipasi.
Intinya, tingkat dukungan warga dalam pengembangan Kampung Wisata
beragam. Tingkat dukungan warga tersebut sangat dipengaruhi oleh
tingkat kesibukan masing-masing individu karena pekerjaannya ataupun
kegiatan lainnya.
Di sisi lain, terdapat pula warga yang pesimis dan berpendapat
bahwa pembangunan kampung wisata tidak mungkin terjadi. Kampung
wisata yang belum menghasilkan pendapatan juga menurunkan semangat
warga dalam mendukung pembangunan kampung wisata dan
kebanyakan warga sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Meskipun
mayoritas warga mendukung pembangunan kampung wisata, respon
warga terhadap ide-ide futuristik dari masyarakat mengenai
pengembangan kampung wisata masih sangat kurang hal ini disebabkan
oleh latar belakang pendidikan masyarakat yang menyebabkan terjadinya
perbedaan pendapat antara warga. Tetapi untuk saat ini beberapa
masyarakat sudah mulai terbuka dalam masalah kampung wisata ini.
36 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

❖ Potensi Sosial dan Budaya


Warga pasir ipis dapat dinilai cukup ramah terhadap pendatang
ataupun wisatawan. Untuk penerimaan wisatawan, warga sendiri masih
banyak yang malu hal ini didasari oleh karakteristik warganya yang
mayoritas beretnis Sunda sedangkan sisanya hanya beberapa orang
berasal dari Jakarta.
Kesenian serta budaya yang ada di Kampung Wisata Pasir Ipis
masih terbilang terjaga dengan baik. Dimulai dari anak-anaknya yang
masih senang memainkan permainan tradisional, selera musik yang
masih bernuasa sunda dengan iringan kecapi dan sebagainya, serta
penggunaan bahasa sunda yang masih sangat kental antar warganya.
Setiap tahunnya, paling tidak satu tahun sekali pada acara 17 Agustusan
warga membuat pentas di lapangan yang acaranya diisi serta dinikmati
oleh warganya sendiri. Berikut merupakan daftar kesenian dan
kebudayaan yang masih ada di wilayah Pasir Ipis:

Tabel 2.1 Jenis Kesenian dan Budaya di Pasir Ipis


No Kesenian/Budaya Jenis Kesenian/Budaya
1 Seni Tari - Jaipong
2 Seni Musik - Kecapi
- Karinding
- Degung
- Rebana
3 Seni Lukis - Kaligrafi Kaju
4 Lainnya - Wayang
- Pencak Silat
- Kuda Lumping
5 Arsitektur atau Bangunan - Rumah Tradisional
6 Permainan Tradisional - Mobil-mobilan kayu
- Egrang
- Bakiak
- Tatarucingan
7 Sanggar Seni/Kelompok Belum ada, jika ada pertunjukan
Budaya latihan diadakan di rumah-rumah
warga
Sumber : Data Olahan Penulis 2016
Wahyu Gunawan, dkk.| 37

❖ Potensi Terjadinya Konflik


Potensi terjadinya konflik ditinjau dari kondisi keamanan serta
bencana sosial yang selama ini terjadi di lingkungan Pasir Ipis dapat
dinilai sangat rendah. Kondisi keamanan desa terbilang cukup tinggi,
kejadian-kejadian seperti kejahatan atau pencurian merupakan peristiwa
yang langka. Dalam satu tahun terakhir hanya ada satu kasus pencurian
dan barang hasil curiannya masih berhasil diselamatkan oleh warga. Hal
ini dikarenakan ronda yang berjalan dengan baik di lingkungannya, selain
itu aktifitas masyarakat diluar rumah seperti mengirimkan hasil pertanian
atau mencari rumput untuk pakan ternak dimulai dari jam dua pagi
sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya pencurian. Kendaraan
bermotor yang diparkirkan di sekitar jalan dan ditinggalkan pun masih
dalam kondisi aman, seperti pada saat study tour, pengunjung
memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan tanpa pengawasan dan
ditinggalkan dalam jangka waktu yang cukup lama, namun tidak terjadi
tindak kejahatan.
Konflik atau pertikaian di wilayah Pasir Ipis pun terjadi dengan
frekuensi sangat rendah. Di wilayah ini, belum pernah terjadi pertikaian
besar yang melibatkan banyak warga. Yang dimungkinkan terjadi hanya
‘cek-cok’ tetangga atau pertikaian pemuda yang selalu dapat diselesaikan
dengan jalan musyawarah. Begitupula konflik serta pesaingan yang terjadi
di bidang ekonomi ataupun politik. Misalnya persaingan ekonomi antar
peternak susu yang tidak pernah terjadi karena para peternak memiliki
wadah yang menaungi hasil ternaknya. Sama halnya dengan persaingan
politik yang tidak pernah terjadi di wilayah ini. Begitupun dengan profesi
lainnya, masing-masingnya memiliki jalurnya sendiri serta sikap saling
menghargai sehingga tidak terjadi konflik.
Menurut salah satu partisipan yaitu bapak ZK, konflik pariwisata
kedepan yang dimungkinkan akan terjadi setelah Kampung Wisata Pasir
Ipis dibangun ialah persaingan ekonomi, karena jika dalam suatu wilayah
hanya sebagian masyarakatnya yang maju maka akan terjadi
kecemburuan sosial yang memungkinkan akan menghasilkan konflik.
Selain itu yang dapat menjadi masalah dalam pengembangan kampung
wisata ini adalah lahan parkir. Jika parkir tidak ingin menjadi masalah
dalam pembangunan kampung wisata harus mencari solusi yaitu dengan
membangun lahan parkir lainnya.
Konflik lainnya yang dimungkinkan terjadi adalah konflik antara
warga dengan Perhutani. Hal ini dikarenakan sebagian tanah yang
38 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

memiliki potensi wisata merupakan milik perhutani. Pada tahun 2008


kampung wisata yang berjalan menghasilkan keuntungan bagi Perhutani
namun tidak menghasilkan keuntungan bagi warga. Jika hal ini tidak
dibenahi, kedepannya dapat berkembang menjadi konflik yang dapat
menghambat pengembangan Kampung Wisata Pasir Ipis.
Setelah dilakukan pemetaan terlihat berbagai macam potensi desa
Pasir Ipis yang dapat dikembangkan menjadi potensi wisata, berikut
merupakan data potensi wisata Kampung Wisata Pasir Ipis.

Tabel 2.2 Potensi Wisata Pasir Ipis


No Potensi Dokumentasi
1 Agrowisata
- Sayuran (asparagus,
kol, tomat, cabe,
terong, brokoli,
seladah)
- Buah (strawberi)
- Bunga Potong
(Mawar)
- Tanaman Hias
(Jeruk Hias)
Wahyu Gunawan, dkk.| 39

No Potensi Dokumentasi

2 Peternakan
- Sapi
- Kelinci
- Ikan
- Domba
- Ayam

3 Hutan
40 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

No Potensi Dokumentasi
4 Jalan Sepanjang Desa

5 Hasil bumi dari pohon-


pohon atau tanaman
yang tumbuh sepanjang
jalan desa

6 Jalur Hiking
Wahyu Gunawan, dkk.| 41

No Potensi Dokumentasi
7. Situs Sejarah

8. Kebudayaan dan
Kesenian

Sumber : Data Olahan Penulis 2016

Sedangkan fasilitas pendukung wisata yang sudah terdapat dan


kondisinya cukup memadai di wilayah Pasir Ipis adalah sebagai berikut :
42 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Tabel 2.3 Fasilitas Pendukung Wisata


No Fasilitas Pendukung Dokumentasi
Wisata
1 Homestay dengan
fasilitas kamar tidur,
kamar mandi dengan
water heater, tv, kasur
bertingkat

2 Camping Ground

3 Saung
Wahyu Gunawan, dkk.| 43

No Fasilitas Pendukung Dokumentasi


Wisata
4 Tempat
makan/Katering

Sumber : Facebook Pasir Ipis


5 WC Umum

6 Mushola
44 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

No Fasilitas Pendukung Dokumentasi


Wisata
7 Air Bersih

Sumber : Data Olahan Penulis 2016

Seluruh lingkungan fisik, sosial budaya, beserta seluruh potensi


wisata dapat dikembangkan dan dikelola untuk menjadi daya tarik
kunjungan bagi wisatawan. Dalam pembangunan destinasi wisata
diperlukan perhatian pada sub sistem produk kepariwisataan, berbagai
komponen yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
pengembangan destinasi pariwisata (tourism product designing) (Sunaryo,
2013: 21-31) adalah sebagai berikut:
1) Atraksi dan Daya Tarik Wisata
a. Daya tarik wisata alam atau daya tarik wisata yang
dikembangkan dengan lebih banyak berbasis pada anugrah
keindahan dan keunikan yang telah tersedia di alam, seperti
pantai, laut, danau, gunung, hutan, sungai, air terjun dan lain
sebagainya. Di lingkungan Kampung Wisata Pasir Ipis
sendiri terdapat hutan, curug, serta bukit yang memiliki
Wahyu Gunawan, dkk.| 45

pemandangan indah dengan suasana dan udara yang masih


sangat alami yang kemungkinan besar tidak akan didapat
pengunjung di wilayah tempat asalnya.
b. Daya tarik wisata budaya atau daya tarik wisata yang
dikembangkan dengan lebih banyak berbasis pada hasil
karya dan hasil cipta manusia, baik yang berupa peninggalan
budaya (situs/heritage) maupun yang berupa nilai budaya yang
masih hidup (the living culture) dalam kehidupan di suatu
masyarakat, yang dapat berupa: upacara/ritual, adat istiadat,
seni-pertunjukan, seni-kriya, seni-sastra, maupun seni-rupa
atau keunikan kehidupan sehari-hari yang dipunyai oleh
suatu masyarakat. Kampung Wisata Pasir Ipis sendiri
memiliki situs sejarah berupa benteng serta beragam seni
pertunjukan yang dipertontonkan langsung oleh warganya,
selain itu terdapat pula permainan tradisional yang masih
dapat dimainkan langsung oleh para pengunjung.
c. Daya tarik wisata minat khusus (special interest) atau daya tarik
wisata yang dikembangkan dengan lebih banyak berbasis
pada aktivitas untuk pemenuhan keinginan wisata secara
spesifik, seperti pengamatan satwa tertentu, memancing,
berbelanja, kesehatan dan penyegaran badan, wisata argo,
menghadiri pertemuan, rapat, perjalanan incentive dan
pameran dan aktivitas-aktivitas wisata minat khusus lainnya
yang biasanya terkait dengan hobi atau kegemaran seorang
wisatawan. Pasir Ipis sendiri memiliki wilayah camping ground
yang dapat memenuhi kebutuhan wisata bagi orang-orang
yang memiliki hobi berkemah, jalan dengan tanjakan untuk
wisatawan yang gemar mendaki atau sekedar berjalan-jalan
menikmati suasana yang tidak bisa didapatkan di tempat
tinggal asalnya, hiking di dalam hutan menuju benteng bagi,
agrowisata dengan berkebun di kebun strawberi, berbagai
jenis sayuran, atau bunga potong.
2) Amenitas atau akomodasi
Amenitas atau akomodasi merupakan berbagai jenis fasilitas dan
kelengkapannya yang dapat digunakan oleh wisatawan untuk
beristirahat dan bersantai dengan nyaman serta menginap selama
melakukan kunjungan. Jenis akomodasi yang dapat dipilih
selama berwisata di wilayah pasir ipis sendiri diantaranya homestay
46 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

baik yang telah disediakan maupun di rumah-rumah warga untuk


tujuan dapat merasakan langsung kehidupan di pedesaan serta
tenda untuk kebutuhan berkemah di wilayah camping ground.

Tabel 2.4 Orbitasi Desa Jayagiri


No Orbitasi Luas Luas
1 Jarak ke ibu kota kecamatan 1,5 Km
2 Lama jarak tempuh ke ibu kota 1/4 Jam
kecamatan dengan kendaraan bermotor
3 Lama jarak tempuh ke ibu kota 0,5 Jam
kecamatan dengan berjalan kaki atau
kendaraan non bermotor
4 Kendaraan umum ke ibu kota kecamatan 3 unit Ada
5 Jarak ke ibu kota kabupaten 18 Km
6 Lama jarak tempuh ke ibu kota 1 Jam
kabupaten dengan kendaraan bermotor
7 Lama jarak tempuh ke ibu kota 2,5 Jam
kabupaten dengan berjalan kaki atau
kendaraan non bermotor
8 Kendaraan umum ke ibu kota kabupaten 2 unit Ada
9 Jarak ke ibu kota provinsi 16 Km
10 Lama jarak tempuh ke ibu kota provinsi 1 Jam
dengan kendaraan bermotor
11 Lama jarak tempuh ke ibu kota provinsi 2,5 Jam
dengan berjalan kaki atau kendaraan
non bermotor
12 Kendaraan umum ke ibu kota provinsi 2 unit Ada
Sumber: Data Laporan Profil Desa Jayagiri Tahun 2013

3) Aksesibilitas dan transportasi


Aksesibilitas dan transportasi dalam pengertian ini adalah
segenap fasilitas dan modaangkutan yang memungkinkan dan
memudahkan serta membuat nyaman wisatawan untuk
mengunjungi suatu destinasi. Wilayah Kampung Wisata Pasir
Ipis sendiri dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan
pribadi baik motor maupun mobil. Bagi pengunjung yang tidak
membawa kendaraan pribadi juga tersedia berbagai angkutan
Wahyu Gunawan, dkk.| 47

umum yang melewati wilayah Jayagiri seperti angkot atau elf


sedangkan untuk masuk ke wilayah Pasir Ipis bisa ditempuh
dengan berjalan atau menggunakan ojek. Selain itu terdapat pula
data orbitasi wilayah Pasir Ipis yang tercantum dalam profil desa.
4) Infrastruktur pendukung
Infrastruktur pendukung dalam pengertian ini adalah
keseluruhan jenis fasilitas umum berupa prasarana fisik seperti
jaringan listrik, air minum, toilet, dan sebagainya. Infrastruktur
yang tersedia di Pasir Ipis untuk jaringan listrik, air bersih serta
toilet sudah dapat dinilai mencukupi. Hanya saja karena letaknya
paling atas, sinyal internet Kampung Pasir Ipis masih belum
baik, kecuali untuk beberpa provider.
5) Fasilitas Pendukung Wisata Lainnya
Fasilitas pendukung wisata lainnya adalah berbagai jenis fasilitas
pendukung kepariwisataan yang berfungsi memberikan
kemudahan dan kenyamanan bagi wisatawan selama melakukan
kunjungan di suatu destiasi seperti keamanan, rumah makan,
biro perjalanan, toko cinderamata, pusat informsi wisata, rambu
wisata, fasilitas perbelanjaan, hiburan, fasilitas perbankan, dan
beberapa skema kebijakan khusus yang diadakan untuk
mendukung kenyamanan bagi wisatawan selama kunjungannya
di destinasi wisata. Berikut merupakan detail fasilitas pendukung
wisata lainnya di kampung wisata Pasir Ipis :
- Keamanan di wilayah Pasir Ipis sudah sangat baik
mengingat tingkat kejahatan yang sangat rendah.
- Rumah makan sendiri jumlahnya masih minim, namun
Pasir Ipis memiliki katering yang siap menyediakan
konsumsi selama berwisata.
- Rambu wisata tersedia dibeberapa spot seperti saat
memasuki wilayah Pasir Ipis dan di saung wilayah camping
ground
- Fasilitas perbankan tersedia di luar wilayah Pasir Ipis yaitu
di wilayah Lembang
- Sedangkan biro perjalanan, toko cinderamata maupun
pusat informasi wisata sendiri belum tersedia.

6) Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia Pariwisata


48 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Kelembagaan dan sumberdaya manusia pariwisata dalam


pengertian ini adalah keseluruhan unsur organisasi atau institusi
pengelola kepariwisataan dan termasuk sumberdaya manusia
pendukungnya, yang terkait dengan manajemen pengelolaan
kepariwisataan di suatu destinasi, baik dari unsur Pemerintah,
Swasta/industri dan Masyarakat. Sumber daya serta
kelembagaan yang ada di lingkungan Pasir Ipis dapat dinilai
masih kurang. Sumberdaya manusia pariwisata sendiri juga
menurun, hal ini dipengaruhi oleh kesibukan masing-masing dan
mungkin progres pengembangan kampung wisata yang
membutuhkan banyak waktu. Sedangkan jumlah lembaga yang
khusus menaungi bidang pariwisata sendiri seperti dinas
pariwisata belum ada. Namun, terdapat komunitas lembaga
lainnya seperti Perhutani, UNPAD, Tarka, KTH yang
mendukung namun tingkat dukungannya beragam.Selain itu,
menurut beberapa pakar seperti Mariotti (1985) dan Yoeti
(1987) (dalam Sunaryo, 2013:28) mengenai destinasi wisata
disebutkan bahwa daya tarik dari suatu destinasi wisata
merupakan faktor yang paling penting dalam rangka
mengundang wisatawan untuk berkunjung. Agar suatu destinasi
dapat menarik wisatawan paling tidak destinasi wisata tersebut
harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu:
a. Destinasi tersebut harus mempunyai apa yang disebut
dengan ”something to see”. Maksudnya, destinasi tersebut
harus mempunyai daya tarik khusus yang bisa dilihat oleh
wisatawan, disamping itu juga harus mempunyai atraksi
wisata yang dapat dijadikan sebagai “entertaiments” apabila
wisatawan datang untuk mengunjunginya.
b. Suatu destinasi juga harus mempunyai “something to do”.
Selain banyak yang dapat dilihat dan disaksikan, harus juga
disediakan beberapa fasilitas rekreasi atau amusements dan
tempat atau wahana yang bisa digunakan oleh wisatawan
untuk beraktivitas seperti olahraga, kesenian, maupun
kegiatan yang lain yang dapat membuat wisatawan menjadi
betah tinggal lebih lama.
c. Kemudian destinasi wisata juga harus mempunyai
“something to buy”. Suatu destinasi wisata harus menyediakan
barang-barang cinderamata (souvenir) seperti halnya
Wahyu Gunawan, dkk.| 49

kerajinan masyarakat setempat yang bisa dibeli sebagai


oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal masing-
masing”
Dengan kata lain untuk mengembangkan Kampung Pasir Ipis
menjadi kawasan destinasi wisata yang menarik Pasir Ipis perlu
memenuhi ketiga syarat tersebut. Untuk sekarang Pasir Ipis telah
memenuhi dua syarat yaitu “something to see” seperti
pemandangan dan benteng peninggalan Belanda serta “something
to do” yaitu kegiatan pemenuhan hobi seperti berkemah,
berkebun, maupun hiking yang dilakukan dalam rangka rekreasi.
Sedangkan “something to buy” belum tersedia di lingkungan
Kampung Wisata Pasir Ipis.

Dari penjabaran tersebut, dalam rangka pengembangan destinasi


wisata terlihat berbagai komponen yang harus diperbaiki atau
dipertahankan sehingga dapat diberikan rekomendasi pengembangan
Kampung Wisata Pasir Ipis, yaitu sebagai berikut:

Tabel2.5 Kelebihan dan Kekurangan Kampung Wisata Pasir


Ipis
No Kelebihan No Kekurangan
1 Terdapat banyak 1 Belum atau kurang
potensi wisata yang terdapatnya fasilitas
sudah ada, tidak harus pendukung wisata seperti
dibuat atau dibangun bank, toko souvenir, rambu
lagi yang baru. wisata, tempat makan di
wilayah Pasir Ipis sendiri.
2 Pasir Ipis sendiri 2 Kurangnya SDM dalam
merupakan jalur pembangunan kampung
menuju objek wisata wisata ini.
Tangkuban perahu
sehingga sangat
memungkinkan
menarik kunjungan
wisata.
3 Wilayah Pasir Ipis tidak 3 Akses jalan serta jalan
sulit untuk ditemukan sepanjang desa masih
terbilang buruk, saat musim
50 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

serta dijangkau oleh hujan jalanan biasanya


wisatawan. menjadi berlubang dan dapat
membahayakan wisatawan.
4 Mayoritas warga 4 Akses jalan menuju situs
terbuka dan wisata yang belum terbangun
mendukung dengan baik.
pembangunan
Kampung Wisata.
5 Para pemilik ladang 5 Tidak terdapatnya biro
atau kebun terbuka perjalanan atau media
dalam pembangunan promosi wisata yang dikelola
kampung wisata dan oleh masyarakatnya.
bersedia jika ladang
atau kebun dibuat
wisata agrowisata
Sumber : Data olahan penulis, 2016

Terdapat beberapa strategi pengembangan Kampung Wisata yang telah


diterapkan oleh masyarakat Pasir Ipis, diantaranya:
1) Membangun kerjasama dengan berbagai pihak (diantaranya
stakeholder, perhutani, PEDANG atau Pemuda Lembang, serta
antar sesama warga Pasir Ipis).
2) Membuat data potensi wisata yang ada.
3) Memiliki rencana pengembangan pembangunan kedepannya
(seperti agrowisata, homestay, dan lainnya).
4) Membangun camping ground.
5) Membuat media sosial promosi pariwisata Pasir Ipis seperti blog.
6) Melakukan kegiatan kearah pengembangan kampung wisata
sepertu gotong-royong membersihkan situs sejarah.
7) Dan lainnya.

PENUTUP
Dari penjabaran sebelumnya diatas dapat terlihat bagaimana kondisi
serta keadaan wilayah Pasir Ipis saja yang sehingga dapat dihasilkan
rekomendasi strategi pembangunan Kampung Wisata Pasir Ipis, yaitu
sebagai berikut:
Wahyu Gunawan, dkk.| 51

1) Pemanfaatan potensi wisata dari ujung hingga ujung wilayah


Kampung Wisata Pasir Ipis, seperti yang dikemukakan bapak
ZK “Pasir Ipis sudah memiliki potensi wisata, tinggal dikemas
secara baik dan menarik”, yaitu sebagai berikut:
- Pasir ipis memiliki tiga tanjakan berbeda sepanjang jalan
desa sehingga bisa dimanfaatkan untuk berjalan-jalan bagi
mereka yang menyukai tantangan. Sambil berjalan
wisatawan juga dapat menikmati suasana desa yang
terbilang menarik karena lingkungannya yang masih asri
dan tidak bisa dinikmati di daerah asal wisatawan.
- Lahan ladang dan kebun (sayuran, strawbery, serta bunga
potong) yang biasanya hasilnya dijual dapat dimanfaatkan
dengan cara membuat agrowisata dimana pengunjung
dapat menanam, memetik, serta membawa pulang hasil
ladang untuk dijadikan oleh-oleh.
- Warga yang antusias dengan Kampung Wisata ini dapat
menyewakan rumahnya sebagai homestay dalam rangka
pemenuhan kebutuhan wisata pengunjung yaitu
merasakan kehidupan pedesaan sejelas mungkin
- Bagi wisatawan yang ingin berkemah bisa memanfaatkan
fasilitas camping ground.
- Hiking di dalam hutan
2) Pembangunan rumah pohon. Strategi ini merupakan masukan
dari salah seorang pastisipan yaitu ZK. Pasir Ipis memiliki
pemandangan yang sangat indah. Pemandangan tersebut akan
menarik jika dilihat dari tempat yang semakin tinggi.
Pembangunan rumah pohon ini memiliki berbagai keuntungan
diantaranya menarik minat wisatawan dengan menambah objek
wisata untuk mengambil foto atau wisata bertema tantanganbagi
mereka yang takut ketinggian.
3) Membuat paket wisata menarik seperti opentrip khusus wilayah
Pasir Ipis. Warga serta para pengurus dapat membuat schedule
wisata menarik dari potensi-potensi wisata yang ada di Pasir Ipis.
Paket wisata ini pun dapat mendatangkan lapangan pekerjaan
baru bagi warga, seperti pemandu wisata, bagian promosi,
petugas parkir, petugas yang bertanggung jawab bagian kesenian,
petugas pendistribusian homestay dan lainnya.
52 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

4) Memaksimalkan kesenian dan budaya yang ada. Anak-anak di


kampung wisata Pasir Ipis masih banyak yang gemar menari atau
memainkan permainan tradisional. Potensi tersebut dapat
dijadikan pertunjukan yang dapat menambah objek wisata.
Budaya seperti event 17 Agustusanjuga dapat dijadikan event
wisata yang dapat dinikmati pengunjung.
5) Pembangunan/perbaikan fasilitas pendukung wisata serta
infrastruktur. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya fasilitas
pendukung wisata sangat penting bagi destinasi wisata demi
memberikan kenyamanan kepada pengunjung saat berwisata.
Komponen-komponen yang harus diperbaiki diantaranya:
- Jalan menuju dan jalan sepanjang desa yang kondisinya
kurang memadai,
- Jumlah serta jenis tempat makan/restaurant yang masih
kurang untuk kampung wisata,
- Belum terdapatnya toko souvenir atau toko oleh-oleh,
- Jaringan internet yang ada alangkah lebih baik jika
diperbarui agar pengunjung merasa nyaman
berkomunikasi saat berwisata.
Wahyu Gunawan, dkk.| 53

DAFTAR PUSTAKA
Abdurokhman, “Pengembangan Potensi Desa”, Widyaiswara pada Kantor
Diklat Kabupaten Banyumas, 20 November 2014 :
http://static.banyumaskab.go.id/website/file/221120140947001
417229220.pdf. (Diakses tanggal 21 Oktober 2015).
Casmudi, “Harapan Mengembangkan Desa Wisata sebagai Subjek
Pembangunan untuk Meningkatkan Ekonomi Pariwisata”,Kompasiana,
4 Januari 2015: http://www.kompasiana.com/casmudi/harapan-
mengembangkan-desa-wisata-sebagai-subjek-pembangunan-
untuk-meningkatkan-ekonomi-
pariwisata_54f37fd47455137c2b6c7969. (Diakses tanggal 10 Juni
2015).
Gamar Edwin. (2015). Studi Tentang Pembangunan Desa Setulang
sebagai Desa Wisata di Kecamatan Malinau Selatan Hilir,
Kabupaten Malinau, Vol. 3, No. 1.
Harris Lumban Gaol. (2008). Kajian Potensi Daya Tarik Objek Wisata
Goa Terawangan dan Loko Wisata Hutan Jati Cepu, Kabupaten
Blora dan Kemungkinan Pengembangannya, Jurnal Kepariwisataan
Indonesia, Vol. 3, No. 3.
Muliarta, “Indonesia Harus Maksimalkan Pengembangan Desa Wisata”, Voice
of America, 18 November 2011:
http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-harus-
maksimalkan-pengembangan-desa-wisata-
135821073/102280.html. (Diakses tanggal 10 Juni 2015).
Sunaryo, Bambang. (2013). Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata:
Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Gaya
Media.
Susyanti, D. W. (2015). Potensi Desa Melalui Pariwisata Pedesaan.
Epigram, 11(1).
Sutiyono. Pemberdayaan Masyarakat Desa dalam Pelaksanaan Program
Desa Wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta.Jurnal Kepatihan:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131808675/Jurnal-
Kepatihan.pdf id: 2 (Diakses tanggal 10 Juni 2015)
Tim Editorial Studio Driya Media. (1994). Berbuat Bersama Berperan
Setara; Pengkajian dan Perencanaan Program Bersama Masyarakat.
Bandung: Studio Driya Media.
54 | Tahapan Pembangunan Masyarakat
PERENCANAAN
3 PARTISIPATIF DALAM
PENGEMBANGAN
DESA WISATA
Bintarsih Sekarningrum & Desi Yunita

PENDAHULUAN
Visi pembangunan kepariwisataan nasional yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Nasional tahun 2010-2025 adalah
terwujudnya Indonesia sebagai negara tujuan pariwisata berkelas dunia,
berdaya saing, berkelanjutan, mampu mendorong pembangunan daerah
dan kesejahteraan rakyat. Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung
khususnya, sebagai salah satu destinasi wisata yang sudah terkenal sejak
lama, oleh karena itu Kota Bandung harus terus mengembangkan diri
agar wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung dapat terjaga dan
ditingkatkan jumlahnya. Beberapa upaya yang dilakukan dalam rangka
meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung adalah dengan
mendorong desa-desa yang memiliki potensi untuk dikembangkan
menjadi destinasi baru pariwisata atau desa wisata.
Umumnya setiap desa memiliki potensi sumberdaya alam dan
budaya, namun tidak semua masyarakat memiliki pemahaman dan
perspektif yang sama terkait dengan pengembangan wisata. Oleh karena
itu, perencanaan partisipatif menjadi salah satu hal penting untuk
melibatkan masyarakat secara keseluruhan dalam pengembangan desa
wisata. Pengembangan desa menjadi destinasi wisata merupakan suatu
proses rekayasa dan perubahan sosial masyarakat untuk menunjang
upaya pengembangan pariwisata. Proses rekayasa dan perubahan sosial
yang didorong melalui pengembangan pariwisata desa ini menarik untuk
dilakukan karena pariwisata di Indonesia saat ini dapat dikatakan sebagai
energi pencetus (energy trigger) yang mampu membuat masyarakat
mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya (Sastra Yudha, dalam
Wahhab, 2013:1).

55
56 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Pengembangan desa wisata sendiri adalah suatu penggabungan


potensi-potensi bernilai pariwisata yang dimiliki oleh desa menjadi suatu
sajian wisata yang menarik untuk dikunjungi. Hal ini sejalan Nuryantim
(1993:2-3) bahwa pengembangan desa wisata adalah suatu bentuk
integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang
disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu
dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Agar pengembangan pariwisata tersebut berdampak positif bagi
masyarakat desa, maka pelibatan masyarakat dalam pengembangan desa
wisata menjadi mutlak diperlukan untuk mendorong agar masyarakat
menjadi pelaku pada pengembangan wisata tersebut. Beberapa hal yang
menjadi alasan perlunya mendorong pengembangan wisata desa
diantaranya; pertama dengan datangnya wisatawan ke desa secara positif
akan berimplikasi pada tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat desa dan menjadikan masyarakat sebagai penyedia jasa
pariwisata baik dari aspek akomodasi maupun fasilitas. Kedua, semakin
berkembangnya trend desa wisata merupakan indikasi bahwa pariwisata
massal yang selama ini berkembang telah mengalami kejenuhan, sehingga
mendorong berkembangnya akternatif destinasi wisata berupa budaya,
tradisi, kearifan tradisional dan suasana alami yang kesemua potensi
tersebut ada didesa. Ketiga, berkembangnya desa wisata mendorong
tumbuhnya potensi ekonomi desa yang sangat membutuhkan partisipasi
aktif dari masyarakat dan menjadi ujung tombak pengembangan wisata.
Desa Jayagiri Kecamatan lembang Kabupaten Bandung Barat,
adalah desa yang secara geografis dan klimatologis memiliki daya dukung
berupa sumberdaya alam yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi
destinasi wisata. Desa yang terletak di ketinggian 1250 hingga 1500 meter
di atas permukaan laut ini menjadi akses menuju Gunung Tangkuban
Parahu.Dari Desa Jayagiri terdapat potensi pariwisata berupa hiking rute
menuju Gunung Tangkuban Parahu. Potensi tersebut menarik untuk
dikembangkan khususnya untuk segmentasi wisatawan yang menyukai
kegiatan alam terbuka dan pertualangan. Tidak semua desa memiliki
potensi tersebut, dan hal ini menjadi daya tarik tersendiri dalam
pengembangan desa wisata.
Agar potensi tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat desa,
maka diperlukan perencanaan partisipatif yang melibatkan seluruh
elemen masyarakat. Perencanaan partisipatif ini penting dilakukan untuk
memberikan gambaran, pemahaman dan juga menunjukkan kepada
Wahyu Gunawan, dkk.| 57

seluruh masyarakat mengenai kontribusi yang dilakukan oleh setiap


masyarakat dalam pengembangan desa wisata. Soemarno (2010)
menjelaskan bahwa perencanaan partisipatif ini sangat penting dilakukan,
dan untuk keberhasilan pembangunan desa wisata perlu juga dilakukan
beberapa upaya penunjang dalam rangka mengembangkan desa wisata
tersebut, seperti; pembangunan sumberdaya manusia desa, kemitraan,
kegiatan pemerintahan desa, promosi, festival atau pertandingan,
membina organisasi warga, dan kerjasama dengan universitas.Semua
upaya tersebut sangat membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat.
GAMBARAN UMUM DESA
Desa Jayagiri memiliki potensi wisata yang unik, yaitu wisatahiking
menuju Gunung Tangkuban Parahu. Di desa ini juga terdapat potensi
lain yang memiliki nilai pariwisata, yang jika dikembangkan akan menjadi
daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Desa Jayagiri merupakan desa
hasil pemekaran dari Desa Lembang pada tahun 1980 melalui SK
Gubernur Nomor: 1268/PM. 122-Pem/SK/80. Dengan keluarnya SK
Gubernur, Desa lembang menjadi 2 desa yaitu Desa Lembang dan Desa
Jayagiri. Secara geografis sebelah utara Desa Jayagiri berbatasan langsung
dengan hutan Kecamatan Subang, sebelah selatan dan timur berbatasan
dengan Desa Cibogo Kecamatan Lembang, dan sebelah barat berbatasan
dengan Desa Cikahuripan Kec. Lembang. Beberapa potensi lain yang ada
di Desa Jayagiri diantaranya potensi sumberdaya alam berupa objek
wisata situs benteng peninggalan Jepang, pertanian, perkebunan, dan
peternakan. Namun potensi yang dimiliki ini belum terkelola dengan
baik, dan juga terkendala oleh lokasinya yang berbatasan dengan hutan
produksi milik Perhutani. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang
sama dalam pengembangan wisata di Desa Jayagiri.
Dilihat dari topografinya, Desa Jayagiri tergolong sebagai wilayah
desa perbukitan atau dataran tinggi, karena hampir sebagian besar
wilayah Desa Jayagiri ini adalah wilayah dataran tinggi yang berbukit dan
sebagian lagi masih berupa hutan dengan total luas desa sebesar 974,066
Ha, dan sebesar 627,048 Ha dari luas desa merupakan tanah milik negara
dan 347,018 Ha merupakan milik adat atau desa. Sehubungan dengan
posisi desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Wisata
Alam Tangkuban Parahu, tentunya akan sangat potensial jika
pengembangan ekonomi masyarakat diarahkan pada sektor pariwisata,
mengingat kawasan Gunung Tangkuban Parahu sudah menjadi destinasi
wisata yang sangat terkenal di wilayah Jawa Barat. Selain itu, Desa Jayagiri
58 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

memiliki potensi wisata lain berupa situs Batu Tumpang. Situs ini adalah
situs yang memiliki nilai sejarah dan memiliki nilai kearifan tradisional
bagi masyarakat Sunda. Potensi lain adalah berupa benteng peninggalan
Belanda yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Jayagiri,
namun dalam pengelolaannya berada di wilayah Perhutani. Oleh karena
itu, untuk mengembangkan situs tersebut menjadi salah satu objek wisata
yang potensial, perlu dibangun pemahaman dan komitmen bersama
antara pemerintah desa dengan Perhutani.
Di wilayah Desa Jayagiri juga terdapat sebuah tempat bersejarah
yaitu Taman Junghuhn. Didalam taman ini terdapat tugu tempat
pemakaman seorang warga negara yang masuk ke Indonesia bersama
kolonial Belanda. Selain itu, di tempat ini juga terdapat pohon kina
tanaman langka yang dapat digunakan untuk pengobatan. Cagar alam
Junghuhn merupakan salah satu potensi wisata yang dimiliki Desa
Jayagiri.Potensi lain yang dapat menjadi penunjang pariwisata desa
Jayagiri adalah potensi kerajian. Desa Jayagiri memiliki seorang pengrajin
wayang golek yang sampai saat ini masih terus diproduksi dengan
kualitas yang sangat baik. Begitu pun dengan pengrajin bonsai, meskipun
sampai saat ini hanya sebagai hobi si pengrajin, namun usaha bonsai dan
kerajinan wayang golek dapat menjadi objek wisata potensial selain dari
wisata alam.
Dari beberapa potensi Desa Jayagiri tersebut, maka potensi yang
dimiliki Desa Jayagiri sangat potensial untuk dikembangkan, sehingga
menjadi satu paket wisata yang memilikidaya tarik tersendiri. Namun
untuk menguatkan upaya pengembangan pariwisata, maka perlu dibuat
suatu perencanaan pariwisata yang partisipatif, sehingga pariwisata yang
akan dikembangkan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan
masyarakat dapat menjadi bagian dalam pengembangan pariwisata.

PERENCANAAN PARTISIPATIF
Dalam UU No 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dinyatakan
bahwa masyarakat harus terlibat dalam pengembangan kepariwisataan
dan berperan dalam memelihara sumber daya alam dan budaya yang
dimilikinya, sehingga melalui potensi tersebut dapat menjadi daya tarik
wisata. Namun dalam kenyataannya, upaya pengembangan masyarakat
melalui potensi yang dimilikinya belum menunjukkan hasil yang
diharapkan seperti yang dinyatakan dalam UU No 9 Tahun 1990.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Panji (2005) bahwa
Wahyu Gunawan, dkk.| 59

pengembangan wisata yang didasarkan pada pengembangan potensi


masyarakat lokal masih minim, karena masyarakat tidak memiliki
kemampuan dalam mengelolanya.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 pasal
28, terdapatsembilan langkah dalam upaya pengembangan masyarakat di
bidang kepariwisataan, yaitu melalui pengembangan : (1) potensi,
kapasitas dan partisipasi masyarakat; (2) pengarusutamaan gender; (3)
pengembangan usaha produktif melalui peningkatan potensi dan
kapasitas sumber daya lokal; (4) penyusunan regulasi dan pemberian
insentif bagi industri kecil dan menengah; (5) menjalin kemitraan; (6)
peningkatan akses pasar; (7) peningkatan akses dan dukungan modal; (8)
peningkatan partisipasi stakeholder; (9) peningkatan motivasi masyarakat
dalam pengembangan wisata.
Mencermati apa yang telah dijabarkan dalam Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah terkait pengembangan pariwisata
tersebut,partisipasi masyarakat lokal lokal atau masyarakat tempatan
dalam pengembangan pariwisata sangatlah penting. Oleh karena itu,
untuk mendorong peran serta masyarakat, perencanaan partisipatif dalam
pengembangan pariwisata sangatlah diperlukan, karena dengan
perencanaan partisipatif, arah pengembangan pariwisata desa akan sesuai
dengan keinginan dan harapan dari masyarakat itu sendiri. Di sisi lain,
dengan dilakukannya perencanaan partisipatif, selain masyarakat merasa
terlibat, masyarakat juga akan merasa memiliki tanggung jawab terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengembangan desa menjadi
desa wisata. Oleh karena itu masyarakat dituntut untuk menciptakan
kebersihan dan keindahan lingkungannya, sehingga dapat memberikan
kesan yang baik bagi wisatawan yang datang ke wilayahnya.
Timothy (1999)menjelaskan bahwaperencanaan pariwisata
dipandang sebagai satu cara untuk memaksimalkan manfaat pariwisata
pada satu wilayah dan mengurangi permasalahan yang mungkin terjadi
sebagai hasil dari pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pariwisata
terdiri dari dua perspektif, yaitu partisipasi lokal dalam proses
pengambilan keputusan dan partisipasi lokal berkaitan dengan
keuntungan yang diterima masyarakat dari pembangunan pariwisata.
Adapun model normatif partisipasi dalam pembangunan pariwisata
digambarkan dalam bagan berikut:
60 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Participatory Tourism
Planning

Involvement of locals
Involvement of locals
in the benefits of
in decision making
tourisme

Residents’ goals Other Educating


Participation in the
and desires for stakeholders residents about
benefits of tourism
tourism involvement tourism

Gambar 3.1 A Normative Model of Participatory Tourism Planning


Sumber : Timothy (1999)

Model tersebut menunjukkan ada 3 hal pokok dalam perencanaan


pariwisata secara partisipatif, yaitu upaya untuk mengikutsertakan angota
masyarakat dalam pengambilan keputusan, adanya partisipasi lokal untuk
menerima manfaat dari kegiatan pariwisata dan pendidikan
kepariwisataan bagi masyarakat lokal.
Perencanaan yang berbasiskan masyarakat, perlu mengenali
berbagai stakeholders dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan
penduduk dalam pengambilan keputusan memberikan manfaat bagi
komunitas. Namun beberapa kesulitan terjadi dalam melibatkan anggota
masyarakat dalam proses perencanaan khususnya di negara berkembang.
Melibatkan orang desa dalam proses perencanaan pariwisata bukanlah
hal yang mudah. Oleh karena itu, mendidik penduduk merupakan salah
cara untuk membangun kesadaran, sehingga mereka memiliki kualifikasi
dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat mereka sendiri.
Wahyu Gunawan, dkk.| 61

Selain itu, penduduk setempat harus mendapat manfaat dari


pariwisata yang menurut Murphy (1985), setiap masyarakat diharapkan
mengidentifikasi tujuan mereka sendiri dan mengejar pariwisata pada
tingkat yang memuaskan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena
itu, perlu mengenali kebutuhan sosial dan lingkungan masyarakat
setempat yang dimasukkan dalam perencanaan. Pariwisata harus meliputi
dua hal, yaitu wisatawan dan penduduk setempat. Penduduk harus diberi
peluang untuk mengambil bagian di dalamnya dan memperoleh
keuntungan finansial dari pariwisata.
Fakta seringkali menunjukkan bahwa penduduk kurang memiliki
pendidikan yang memadai, sehingga tidak mampu mengambil bagian
dalam proses perencanaan. Selain itu, rendahnya kondisi ekonomi
penduduk, menjadikan penduduk tidak tertarik terlibat dalam
perencanaan pariwisata, mereka hanya peduli terhadap pemenuhan
kebutuhan mereka. Begitupun kurangnya keahlian dan kurangnya
pemahaman penduduk tentang pariwisata telah mengurangi keterlibatan
penduduk dalam perencanaan pariwisata. Oleh karena itu, penduduk
perlu diberi pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan
kepariwisataan, sehingga menjadi tuan rumah pariwisata. Adapun
pengetahuan dan keterampilan yang diberikan diantaranya kegiatan
pelatihan tentang tata boga, pelatihan pembuatan cinderamata, pelatihan
tata homestay dan pelatihan menjadi pemandu wisata.
Selanjutnya untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pariwisata, mengacu pada kajian Timothy (1999) terdapat
beberapa variabel pengukur yaitu : (1) Mencari informasi kepada
masyarakat tentang tujuan pengembangan pariwisata, dengan meminta
informasi kepada para pedagang, pemilik hotel atau penginapan, pemilik
warung atau restoran atau pemilik sewa mobil yang ada di wilayah
tersebut. Informasi ini penting untuk melihat ada tidaknya keterlibatan
masyarakat dalam perencanaan pariwisata; (2) Mencari informasi dari
stakeholders baik pemerintah, masyarakat atau organisasi yang terlibat di
bidang kepariwisataan tentang pendapat/masukan dalam pengembangan
pariwisata; (3) Melibatkan masyarakat dalam memanfaatkan industri
pariwisata; (4) Memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang
kepariwisataan.

PENGEMBANGAN DESA WISATA


62 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Desa wisata merupakan suatu wilayah pedesaan yang memiliki


potensi sumber daya alam dan potensi kehidupan sosial budaya yang
unik, yang dapat dikelola melalui daya dukung wisatanya. Nuryanti
(dalam Soemarno, 2010) menyebutkan bahwa desa wisata merupakan
suatu bentuk integrasi antara aksi, akomodasi dan fasilitas pendukung
yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu
dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Mengacu pada pendapat
Soemarno (2010) bahwa persyaratan menjadi desa wisata diantaranya :
(1) Memiliki akses transportasi Memiliki objek wisata yang menarik baik
dari lingkungan alam, seni budaya atau potensi lain yang dapat
dikembangkan; (2) Adanya dukungan baik dari aparat pemerintah
setempat maupun masyarakatnya; (3) Keamanan di wilayah tersebut
terjamin; (4) Tersedianya jaringan telekomunikasi, akomodasi dan tenaga
kerja yang memadai; (5) Memiliki suasana alam yang sejuk; (6)Memiliki
potensi wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2001),menyatakan
bahwa dalam upaya pengembangan desa wisata terdapat beberapa
prinsip, yaitu : (1) Tidak bertentangan dengan adat istiadat atau budaya
masyarakat; (2) Pembangunan fisik ditujukan untuk meningkatkan
kualitas lingkungan desa; (3) Memperhatikan unsur kelokalan dan
keaslian; (4) Memberdayakan masyarakat; (5) Memperhatikan daya
dukung wikayah dan berwawasan lingkungan.
Terkait dengan pernyataan tersebut, upaya pengembangan desa
wisata membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak yaitu
daripemerintah, perguruan tinggi, swasta dan masyarakat. Pemerintah
dapat memberikan dukungan khususnya dukungan dana yang akan
ditujukan untuk peningkatan sumber daya manusia yang ada di wilayah
desa sebagai pelaku wisata lokal. Pihak swasta dapat terlibat dalam
menginformasikan berbagai keindahan dan keunikan desa wisata dalam
berbagai bentuk media, sehingga wilayah tersebut menarik untuk
dikunjungi. Masyarakat yang dapat berperan sebagai pelaku wisata
dengan memberikan pelayanan dan informasi terkait wisata di wilayah
tersebut. Perguruan tinggi dapat terlibat dalam melakukan berbagai kajian
dalam upaya perencanaan pembangunan desa wisata baik aspek
lingkungan, sumber daya manusia maupun kehidupan sosial budayanya.
Wahyu Gunawan, dkk.| 63

• Memberi • Melaksanakan
dukungan dana kajian perencanaan
untuk peningatan pembangunan desa
SDM pelaku wisata
wisata lokal

PEMERINTAH PERGURUAN
TINGGI

SWASTA MASYARAKAT

• Memberi • Pelaku utama


dukungan dana pengambangan desa
peliputan wisata

Gambar 3.2 Model Perencanaan Partisipatif dalam Pengembangan


Desa Wisata

Terdapat beberapa aspek penting dalam pengembangan desa


wisata yaitu :
1. Pengembangan kelembagaan, dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan masyarakat sebagai pelaku wisata
dengan memberikan berbagai kegiatan pelatihan dengan cara
kerjasama dengan berbagai instansi terkait.
2. Pengembangan objek wisata, dilakukan melalui perencanaan
partisipasif dengan melibatkan berbagai pihak baik pemerintah,
swasta, perguruan tinggi dan masyarakat di wilayah tersebut,
sehingga tujuan pengembangan desa wisata dapat memberdayakan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Pengembangan sarana prasaran wisata, diarahkan pada
pengembangan sarana dan prasarana wisata baru namun bernuansa
alami pedesaan, sehingga dapat menjadi daya tarik bagi
pengunjungnya.
64 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

PENUTUP
Pengembangan desa menjadi desa wisata memerlukan kerjasama
berbagai pihak dan keterlibatan seluruh masyarakat desa untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Perencanaan
partisipatif menjadi faktor yang penting untuk menggerakkan semua
masyarakat desa agar memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama,
sehingga tercapainya tujuan pembentukan desa wisata sejalan dengan apa
yang menjadi harapan bahwa kesejahteraan masyarakat desa dapat
ditingkatkan melalui pengembangan pariwisata desa. Perencanaan
partisipatif juga menjadi penting untuk dilakukan dalam rangka
memetakan potensi, memberdayakan potensi, penguatan kelembagaan,
peningkatan pemahaman, peningkatan peran serta, peningkatan
kapasitas, dan peningkatan kualitas, baik pariwisata maupun masyarakat.
Wahyu Gunawan, dkk.| 65

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2001.
Https://buletinbetungkerihun.wordpress.com/2010/11/12/pentingny
a-membangun-partisipasi-masyarakat-dalam-pengembangan-
desa-wisata/.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2003. Cetak Biru Pariwisata
Indonesia. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia.
Murphy, P.E. (1985). Torism : A Community Approach. London : Methuen.
Nuryanti, Wiendu. (1993). “Concept,Perspective and Challenges”, makalah
bagian dari Laporan Konferensi Internasional Mengenal
Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
PP No. 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional 2010-2025
Prof. Dr. Ir. Soemarno, MS. Makalah Desa Wisata dalam
http://marno.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/Desa-wisata.doc
Saktiawan, F. Yhani. (2010). Pentingnya Membangun Partisipasi Masyarakat
Dalam Pengembangan Desa Wisata.
Timothy, D. J. (1999). Participatory planningA view of tourism in
Indonesia. Annals of tourism research, 26(2), 371-391.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan
Wahhab, Harry Fitriyadi. (2013). Pengembangan Desa Wisata
Menggunakan Metode Participatory Rural Appraisal (PRA) di
Desa Cihideung Kabupaten Bandung Barat. Universitas
Pendidikan Indonesia. repository.upi.edu
66 | Tahapan Pembangunan Masyarakat
EVALUASI PERENCANAAN
4 SOSIAL DALAM PROGRAM
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT DI
KAMPUNG WISATA PASIR
IPIS
PENDAHULUAN
Sektor pariwisata memberikan kontribusi yang signifikan bagi
Megia Kontribusi
perekonomian Indonesia. Ginanjar pariwisata tersebut salah satunya
diberikan oleh Provinsi Jawa Barat yang memiliki budaya dan kekayaan
sumber daya alam yang melimpah. Provinsi Jawa Barat menjadi salah
satu daerah tujuan wisata yang potensial untuk dikembangkan
mendatangkan wisatawan lokal maupun mancanegara. Posisi strategis
dengan aksebilitas yang bagus di Jawa Barat menjadikan kelebihan
tersendiri dari potensi yang ada di wilayahnya.
Kabupaten Bandung Barat menjadi sorotan masyarakat karena
memberikan alternatif lain terhadap tujuan untuk berwisata. Panorama
alam yang indah membuat daya tarik tersendiri, mendatangkan wisatawan
lokal dan mancanegara. Salah satu tujuan untuk berwisata adalah dengan
pergi ke desa wisata yang merupakan salah satu bentuk dari pariwisata
alternatif yang sedang trend saat ini. Desa wisata membantu
perekonomian masyarakat pedesaan melalui kegiatan pariwisata dengan
menjual potensi dari desa tersebut.
Kampung Pasir Ipis, Desa Jaya Giri yang terletak di Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat merupakan suatu
contoh kampung yang potensial dan dapat dikembangkan menjadi
kampung wisata potensial. Kampung Pasir Ipis ini mulai dipersiapkan
untuk menjadi kampung wisata dimulai dari tahun 2011. Banyak potensi
yang terdapat di Pasir Ipis yang sesuai untuk dijadikan kampung wisata,
yaitu dilihat dari potensi alam yang indah, kearifan budaya masyarakat
lokal yang begitu khas, dan ditambah adanya situs sejarah yang ada
membuat daya tarik tersendiri untuk mendatangkan wisatawan.
Pembangunan Kampung Pasir Ipis untuk menjadi kampung wisata perlu
dilakukan melibatkan masyarakat di dalamnya. Peran serta masyarakat

67
68 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

dalam membangun kampung wisata, merupakan andil yang besar dalam


menunjang pembangunan kampung wisata tersebut.
Pembangunan kampung Wisata Pasir Ipis pada mulanya
berdasarkan keinginan dari sebagian masyarakat Pasir Ipis. Masyarakat
tersebut mengajak beberapa pihak lain yang terkait di dalam
pembangunan Kampung Wisata Pasir Ipis. Salah satu pihak yang
membantu pembangunan Kampung Pasir Ipis menuju Kampung Wisata
adalah Unpad Fakultas FISIP Program Studi Sosiologi sebagai salah satu
stakeholder yang berperan penting di dalam pembangunan Kampung
Wisata Pasir Ipis. Pihak Unpad melihat bahwa di dalam mengembangkan
potensi kepariwisataan perlu diimbangi dengan pengembangan
masyarakat setempat agar mereka tidak hanya menjadi penonton dari
perubahan yang terjadi, tapi justru menjadi subjek yang mampu
menentukan arah pengembangan potensi desanya bagi peningkatan
kesejahteraan diri dan warga di lokasi desa wisata tersebut. Melihat
pentingnya pengembangan masyarakat tersebut di dalam pembangunan
Pasir Ipis menjadi kampung wisata, Unpad membuat program yang
mengintegrasikan antara model pemberdayaan masyarakat (community
development) dan pendidikan politik berbasis kesadaran kewarganegaraan
(citizenship).
Bentuk kegiatan yang dilakukan Unpad di dalam program
pengembangan ini dibagi menjadi 5 bentuk, yaitu:
1) Pemetaan kondisi existing.
2) Perencanaan dan perancanangan dengan teknik partisipatif
masyarakat.
3) Tahapan konstruksi dengan teknik partisipatif.
4) Pengembangan program meliputi pembangunan sarana
prasarana fisik berupa tempat wisata terpadu, pemberdayaan
masyarakat, dam pendampingan masyarakat dalam perumusan
regulasi program.
5) Inkubasi program dan pengembangan program.

Melihat dari bentuk kaji tindak tersebut, terdapat beberapa yang


kaji tindak yang telah dilakukan. Tulisan ini dibatasi hanya melihat pada
tahapan perencanaan dan perancangan dalam program pengembangan
masyarakat di Kampung Pasir Ipis. Perencanaan yang dilakukan Unpad
menggunakan perencanaan sosial, dimana masyarakat yang menjadi
tumpuan dalam perencanaan dan perancangan. Perencanaan sosial pada
Wahyu Gunawan, dkk.| 69

program pengembangan masyarakat ini telah selesai dilakukan. Sehingga


pada tahapan ini perlu dievaluasi agar dapat melihat kekurangan dan
kelebihannya.

PERENCANAAN SOSIAL, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


DAN DESA WISATA
❖ Perencanaan Sosial
Perencanaan merupakan salah satu aspek penting di dalam
pembuatan suatu program. Menurut Suharto (2010:64) perencanaan
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan guna memilih alternatif
terbaik dari sejumlah alternatif yang ada untuk mencapai tujuan.
Perencanaan sosial merupakan salah satu perencanaan yang digunakan
dalam pembangunan Kampung Wisata Pasir Ipis. Perencanaan sosial ini
merupakan bagian dari program pengembangan Unpad. Menurut Clague
(1993:4) perencanaan sosial pada masyarakat sebagai sebuah proses
untuk membangun masyarakat sejahtera, yang didefinisikan sebagai
sebuah suatu sistem demokratik lokal untuk menetapkan prioritas,
mengkompromikan beragam alternatif dan mengambil tindakan.
Berdasarkan hasil lapangan, konsep tersebut sudah sesuai dengan
perencanaan sosial yang telah dilakukan Unpad. Pertama-tama ditinjau
dari tujuan Unpad yang ingin mensejahterakan masyarakat Kampung
Pasir Ipis.
Tujuan tersebut sudah selaras dengan konsep perencanaan sosial
yang membangun masyarakat sejahtera dengan cara melibatkan
masyarakat di dalam perencanaan. Berdasarkan melibatan masyarakat
dalam perencanaan ini sudah selaras dengan konsep perencanaan sosial
dari Clague yaitu sebuah suatu sistem demokratik lokal untuk
menetapkan prioritas, mengkompromikan beragam alternatif dan
mengambil tindakan.
Menurut Sulistyo (2008:03), perencanaan sosial selalu mengaitkan
dengan asesmen yang ada di masyarakat. Alasannya karena perencanaan
merupakan sebuah jembatan antara asesmen dan aktivitas yang
difokuskan untuk mencapai tujuan perubahan. Pada tahap ini, Unpad
melibatkan mahasiswa di dalam pencarian data assessment kebutuhan
dari masyarakatnya. Pihak Unpad mengitegrasikan pembangunan
Kampung Wisata Pasir Ipis dengan kurikulum mahasiswa. Perencanaan
sosial selalu mengaitkan dengan asesmen yang ada di masyarakat.
Alasannya karena perencanaan merupakan sebuah jembatan antara
70 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

asesmen dan aktivitas yang difokuskan untuk mencapai tujuan


perubahan.
Sulisyo (2008:3) menyebutkan perencanaan merupakan langkah
penting dalam proses pembangunan karena meliputi aktivitas untuk
mengenali masalah, mengidentifikasi implikasi masalah, mencari solusi
alternatif dan memutuskan langkah tindakan yang harus diambil.
Terutama di dalam pembangunan Kampung Pasir Ipis menjadi kampung
wisata perlu adanya perencanaan sosial yang matang melibatkan
masyarakat di dalamnya. Sulistyo (2008:4) menyebutkan beberapa
tahapan di dalam setiap perencanaan, yaitu:
1) Penetapan kebutuhan.
2) Perumusan tujuan.
3) Penetapan indikator keberhasilan.
4) Penetapan kegiatan pencapaian tujuan.
5) Penetapan sumber daya.

❖ Pengembangan Masyarakat
Pembangunan masyarakat di dalam menaikan taraf hidup
manusia, salah satunya melalui upaya pengembangan masyarakat. Istilah
pengembangan masyarakat (community development) memiliki banyak
pengertian. Menurut Zubaedi (2013:4), pengertian pengembangan
masyarakat adalah upaya mengembangkan sebuah kondisi masyarakat
secara berkelanjutan dan aktif berlandaskan prinsip-prinsip keadilan
sosial dan saling menghargai. Merujuk kepada Ife dalam Wignyo
(2009:11) mengemukakan pengertian pengembangan masyarakat
mengacu pada proses perubahan struktur masyarakat dengan pendekatan
baru dan lebih baik agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar
dan sosialnya secara layak.
Pengembangan masyarakat didasari sebuah cita-cita bahwa
masyarakat bisa dan harus mengambil tanggung jawab dalam
merumuskan kebutuhan, mengusahakan kesejahteraan, menangani
sumber daya, dan mewujudkan tujuan mereka sendiri. Bank Dunia dalam
Wignyo (2009:11) mengidentifikasi prinsip umum pengembangan
masyarakat diantaranya pemberdayaan masyarakat lokal, pemerintahan
yang partisipatif, responsif, otonomi, akuntabilitas dan peningkatan
kapasitas masyarakat lokal.
Tujuan dari pengembangan masyarakat itu sendiri adalah
membuat masyarakat berdaya. Menurut Widjajanti (2011) keberdayaan
Wahyu Gunawan, dkk.| 71

masyarakat adalah dimilikinya daya, kekuatan atau kemampuan oleh


masyarakat untuk mengidentifikasi potensi dan masalah serta dapat
menentukan alternatif pemecahannya secara mandiri. Untuk
mewujudkannya, terdapat beberapa di dalam pengembangan masyarakat
yang dikemukakan oleh Hurairah (2011:14), yaitu sebagai berikut:
1) Tahapan perumusan tujuan, yaitu perlu adanya perumusan tujuan
dari program pengembangan masyarakat agar dapat dilaksanakan
dengan baik dan keberhasilannya dapat di ukur;
2) Tahapan need assessment, yaitu pada tahapan ini menilai
sesungguhnya apa saja sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan dan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat;
3) Tahapan rencana tindakan, yaitu rencana tindakan yang
dirumuskan berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan dan penanganan masalah-masalah yang dirasakan dan
dialami masyarakat.
4) Tahapan tindakan, yaitu pada tahapan ini tindakan yang dilakukan
hendaknya sesuai dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya.
5) Tahapan monitoring dan evaluasi, yaitu tahapan memantau dan
menilai secara keseluruhan tahapan program pengembangan
masyarakat yang telah dilaksanakan;
6) Tahapan terminasi, yaitu tahap pengakhiran atau pemutusan
hubungan secara formal dengan masyarakat setempat sebagai
sasaran program.

❖ Desa Wisata
Inskeep (dalam Made, 2013:129) mengatakan bahwa desa wisata
merupakan bentuk pariwisata dimana sekelompok kecil wisatawan
tinggal di dalam atau di dekat kehidupan tradisional atau di desa-desa
terpencil dan mempelajari kehidupan desa dan lingkungan setempat.
Berbeda dengan Nuryanti (dalam Sudana, 2013:32) yang mengemukakan
pengertian desa wisata sebagai suatu bentuk integrasi antara atraksi,
akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur
kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang
berlaku. Menurut Nuryanti dalam Sudana (2013:2), kriteria desa terbagi
kedalam 5 kriteria, yaitu antara lain :
72 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

1) Atraksi wisata, yaitu semua yang mencakup alam, budaya, dan hasil
ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik
dan atraktif di desa.
2) Jarak tempuh, adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama
tempat tinggal wisatawan dan juga jarak tempuh dari ibukota
provinsi dan jarak dari ibukota kabupaten.
3) Besaran desa, menyangkut masalah-masalah jumlah rumah,
jumlah penduduk, karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria ini
berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu desa.
4) Sistem kepercayaan dan kemasyarakatan yang merupakan aspek
penting mengingat adanya aturan-aturan yang khusus pada
komunitas sebuah desa. Perlu dipertimbangkan adalah agama yang
menjadi mayoritas dan sistem kemasyarakatan yang ada.
5) Ketersediaan infrastruktur meliputi fasilitas dan pelayanan
transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, telepon dan
sebagainya.

EVALUASI
Keberhasilan atau kegagalan suatu program yang diterapkan di
masyarakat dapat diketahui dari evaluasi yang di lakukan pada program
tersebut. Evaluasi berasal dari kata Bahasa Inggris “evaluation” yang
diserap dalam perbendaharaan istilah Bahasa Indonesia dengan tujuan
mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia
menjadi “evaluasi” yang dapat diartikan memberikan penilaian dengan
membandingkan sesuatu hal dengan satuan tertentu.
Menurut Ralph Tyler (dalam Pradata, 2015:180), evaluasi
merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh
mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan sudah tercapai.
Berdasarkan definisi evaluasi tersebut, maka evaluasi didalam program
melihat sejauhmana program tersebut telah tercapai. Merujuk pada
Stufflebeam dalam Habibilan (2010:11), mengungkapkan bahwa evaluasi
merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi
yang bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif
keputusan. Merujuk pada Palumbo dalam Pradata (2015:180) evaluasi
dibagi menjadi duaberdasarkan fungsinya yaitu:
a) Evaluasi Formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan ketika program
sedang diimplementasikan atau sedang berjalan, sehingga
memonitor bagaimana sebuah program dikelola atau diatur untuk
Wahyu Gunawan, dkk.| 73

menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi meningkatkan


proses implementasi dan untuk memberi informasi yang berguna
kepada pemimpin program bagi perbaikan program. Penjelasan
tersebut dapat dikatakan bahwa evaluasi sebagai alat untuk
mengukur kinerja suatu program. Tujuan dari evaluasi formatif
adalah untuk memastikan tujuan yang diharapkan dapat tercapai
dan untuk melakukan perbaikan suatu produk atau program.
Evaluasi formatif dilakukan untuk memberikan informasi
evaluatif yang bermanfaat untuk memperbaiki suatu program. Ada
dua faktor yang mempengaruhi kegunaan evaluasi formatif, yaitu
kontrol dan waktu.
b) Evaluasi Sumatif, yaitu evaluasi yang dilakukan pada akhir
program selesai dilaksanakan dan merupakan fase dampak bagi
pelaksanaan program, sehingga dapat memberi informasi tentang
manfaat atau kegunaan program. Membandingkan antara sebelum
dan sesudah program tersebut berjalan dengan tujuan mengarah
kepada keputusan tentang kelanjutan program.

Selain itu, setiap evaluasi memiliki tujuan masing-masing


diadakannya evaluasi tersebut. Setiawan (dalam Habibilah, 2010:14)
menyatakan bahwa tujuan evaluasi adalah agar dapat diketahui dengan
pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai
dalam pelaksanaan program dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan
pelaksanaan program dimasa yang akan datang
Evaluasi yang digunakan pada penelitan ini menggunakan
evaluasi dengan model CIPP. Model ini menurut Stufflebeam (dalam
Habibilah, 2010:14-15) merupakan pendekatan yang berorientasi pada
pemegang keputusan (a decision oriented evaluation approach structured) untuk
menolong administrator dalam membuat keputusan, di mana evaluasi
sebagai suatu proses yang menggambarkan, memperoleh dan
menyediakan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan
dan membuat pedoman kerja untuk melayani para manajer dan
administrator dengan membagi evaluasi menjadi empat macam, yaitu
a) Contect evaluation to serve planning descision, konteks evaluasi ini
membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang
akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program.
b) Input evaluation, structuring descision, evaluasi ini menolong mengatur
keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif yang
74 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan,


bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
c) Process evaluation, to serve implementing descision, evaluasi proses untuk
membantu mengimplementasikan keputusan sampai sejauhmana
rencana telah dapat diterapkan? apa yang harus direvisi? Begitu
pertanyaan tersebut terjawab prosedur dapat dimonitor, dikontrol
dan diperbaiki.
d) Product evaluation, to serve recycling descision, evaluasi produk untuk
menolong keputusan selanjutnya, apa hasil yang telah dicapai? apa
yang dilakukan setelah program berjalan.

Menurut Stufflebeam (dalam Habibilah, 2010:15)


mengungkapkan bahwa, “ the CIPP approach is based on the view that the most
important purpose of evaluation is not to prove but improve.” Konsep tersebut
ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting
evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki.

HASIL EVALUASI KAMPUNG WISATA PASIR IPIS


❖ Evaluasi Konteks
Aspek context membahas latar belakang terbentuknya gagasan
perencanaan sosial pembentukan Kampung Pasir dan membahas kondisi
lingkungan berupa potensi Pasir Ipis untuk menjadi Kampung Wisata.
Gagasan pembangunan Pasir Ipis menjadi kampung wisata tidak muncul
begitu saja. Ide gagasan ini dimulai pada tahun 2011 yang berawal dari
Karang Taruna dan Pemuda Lembang (Pedang). Pada saat itu Karang
Taruna diberikan motivasi oleh Pedang agar Karang Taruna tidak hanya
melakukan kegiatan 17 Agustusan saja. Alasan Pedang memberikan
motivasi tersebut karena melihat banyak potensi yang bisa dikembangkan
di Kampung Pasir Ipis, tetapi masyarakat menghiraukan potensi tersebut.
Karang Taruna bersama Pedang semulanya melakukan survey
potensi Pasir Ipis dan melihat pohon Kaliandra yang bagus untuk lebah
madu. Sehingga pada awalnya merencanakan untuk ternak madu.
Peternakan lebah madu ini sangat cocok untuk menambah penghasilan
warga. Setelah beberapa lama kemudian, Pedang dan Karang Taruna
menggali lagi potensi yang ada dan melihatlah sebuah benteng
peninggalan Belanda. Melihat potensi tersebut dan potensi lainya yang
cocok untuk wisata, barulah muncul gagasan untuk pembuatan
Wahyu Gunawan, dkk.| 75

pembangunan kampung wisata dan meninggalkan peternakan lebah


tersebut.
Pada tahun 2012, Pedang yang diwakili Asep dan Iwan bertemu
dengan Wahyu yang merupakan seorang dosen dari Prodi Sosiologi
Unpad. Pertemuan ini tidak spontan bertemu begitu saja, tetapi
dijembatani melalui seorang aktivis lulusan Unpad yaitu Ronny. Pada saat
itu, Asep menunjukan video berupa benteng peninggalan Belanda yang
berada di dekat Kampung Pasir Ipis dan bertanya mengenai bisa atau
tidaknya dijadikan wisata kepada Wahyu. Disitu Wahyu ingat tugas dari
Dekan dan Kaprodi Sosiologi mengenai mencari desa binaan. Mengingat
hal tersebut, kemudian Wahyu meminta bantuan bersama tim dosen
lainnya untuk melakukan survey dan hasilnya bisa untuk menjadi
Kampung Wisata serta menjadi desa binaan. Sejak saat itu Unpad
bersama warga Kampung Pasir Ipis dan Pedang mensinergikan diri
menjadi tim untuk membuat proyek pembangunan Kampung Wisata di
Pasir Ipis.
Program yang dicanangkan oleh Unpad adalah program
pengembangan masyarakat (community development). Salah satu dari
program ini, Unpad sebagai fasilitator yang menghubungkan antar
lembaga untuk dapat mensukseskan pembangunan Kampung Wisata
Pasir Ipis melalui workshop dan diskusi dengan berbagai pihak.
Workshop tersebut Unpad mengundang beberapa pihak yang dapat
membantu dan mensukseskan perencanaan ini seperti Pemerintah
daerah (PEMDA), Dinas Pariwisata Bandung Barat, Yahintara, F.E
Widyatama, Media Umat, Great Nusantara dan Telkom University.
Setelah dari beberapa kali pertemuan dan beberapa kali workshop baru
tercipta perencanaan pembangunan Kampung Wisata Pasir Ipis.

❖ Evaluasi Input
Aspek input membahas pihak yang terlibat dalam perencanaan,
bagaimana perencanaan sosialnya serta target waktu pencapaiannya.
Adapun pihak yang terlibat didalam perencanaan Kampung Wisata Pasir
Ipis yaitu RT, RW,Pedang, Karang Taruna, Unpad, Pemda,
YAHINTARA, F.E Widyatama, Media Umat dan lain-lainnya. Pihak
yang terlibat tersebut memiliki job desk masing-masing sesuai dengan
kepentingan dari pihak-pihak yang terkait.
76 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

❖ Evaluasi Proses
Aspek proses membahas tahapan-tahapan dari perencanaan sosial,
yaitu penetapan kebutuhan, perumusan tujuan, penetapan indikator
keberhasilan, penetapan kegiatan pencapaian tujuan, dan penetapan
sumber daya.
• Penetapan Kebutuhan
Penetapan kebutuhan yang di dalam program Pengembangan
Masyarakat yang dilakukan Unpad, diintegrasikan terhadap praktikum
mahasiswa Prodi Sosiologi. Tahapan pada praktikum ini, pertama-
tama melakukan tahapan identifikasi, kedua pemetaan, ketiga
perencanaan, keempat pemberdayaan. Selain itu, kegiatan lain pada
tahapan penetapan kebutuhan ini dilakukan dengan cara membuka
aspirasi dari masyarakat sekitar.
• Perumusan Tujuan
Tujuan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh Unpad adalah
salah mengembangkan pemberdayaan masyarakat agar menciptakan
kesejahteraan masyarakat.
• Penetapan Indikator Keberhasilan
Pada tahapan penetapan indikator keberhasilan, tahapan dalam
program ini ditentukan dari sudah berdayanya masyarakat dan sudah
terealisasinya program-program yang di rencanakan.
• Penetapan Kegiatan Pencapaian Tujuan
Penetapan kegiatan di dalam pencapaian tujuan terdiri dari beberapa
rencana kegiatan yang dilakukan. Dimulai dari izin pengelolaan
camping ground,mempersiapkan prasarana wisata/pertunjukan.
Berdasarkan hasil lapangan, rata-rata masyarakat hanya mengetahui
camping ground sebagai perencanaan dalam pembangunan kampung
Wisata Pasir Ipis
• Penetapan Sumber Daya
Sumber daya manusia Unpad didalam perencanaan sosial dalam
pembangunan desa wisata melibatkan 6 dosen dan mahasiswa yang
terintegrasi oleh kurikulum membantu di dalam perencanaan.

Berdasarkan pernyataan tersebut juga menilai bahwa pendanaan


pada perencanaan ini belum sesuai harapan karena tidak terealisasinya
pendanaan Unpad untuk Bale Ageung. Unpad hanya mengeluarkan dana
pada kegiatan yang terintegrasi dengan kurikulum Prodi Sosiologi.
Wahyu Gunawan, dkk.| 77

❖ Evaluasi Produk
Aspek produk membahas dari hasil keseluruhannya, yaitu hasil
dari perencanaan, manfaat yang di dapat dari perencanaan tersebut, dan
saran.
• Hasil Perencanaan
Hasil perencanaan pembangunan Pasir Ipis, telah banyak yang
diimplementasikan. Perencanaan yang telah terealisasi sudah diangka
80%. Implementasi secara fisik yang sangat dirasakan oleh sebagian
masyarakat. Masyarakat menggangap hanya camping ground saja
perencanaan yang terealisasi.
Jika ditinjau dari kegiatan serta job desk yang dilakukan Unpad di
dalam perencanaan Kampung Wisata Pasir Ipis. Unpad telah melakukan
dengan job desk yang sesuai dengan Stakeholder engagement pada masterplan
Perencanaan Pembangunan Terpadu Kawasan Ekowisata yang
Berkelanjutan di Pasir Ipis, Desa Jayagiri. Job desk tersebut antara lain
Unpad sudah bekerjasama dengan Pemuda Lembang dan Karang Taruna
dalam mengontrol dan memberikan bimbingan kepada masyarakat dalam
kegiatan pembangunan ini. Pihak Unpad sudah melakukan analisis sosial
berupa pemetaan sosial untuk mengetahui potensi yang dimiliki desa
Pasir Ipis secara keseluruhan. Selanjutnya sudah melakukan survey sosial
untuk mengetahui kesiapan masyarakat Pasir Ipis dalam kegiatan
pembangunan. Pihak Unpad sudah melakukan studi banding dengan
desa lainnya yang mengalami perubahan pembangunan yang sama
dengan Desa Pasir Ipis, untuk mengomparasikan potensi-potensi yang
dimiliki dan langkah apa yang harus ditempuh untuk mengembangkan
potensi tersebut. Unpad sudah melakukan Kegiatan workshop simulasi
pembangunan juga diadakan dengan pihak stakeholders lokal maupun
internasional di Pasir Ipis ataupun di FISIP Unpad sendiri. Unpad sudah
melakukan pembangunan dan pengendalian sosial terhadap semua
dampak kegiatan di kampung wisata Pasir Ipis untuk meminimalisir
kesalahan-kesalahan yang terjadi.Pihak Unpad sudah melakukan
pencarian dana juga dilakukan untuk mendukung kegiatan
pengembangan pembangunan kampung wisata Pasir Ipis dalam bentuk
apapun bersama dengan semua stakeholder yang terkait.
78 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

HAMBATAN DALAM PERENCANAAN


Perencanaan yang tidak terealisasi memiliki hambatan-hambatan
tertentu. Berdasarkan hasil lapangan, terdapat beberapa hambatan yang
mempengaruhi perencanaan. Hambatan pertama yaitu adalah hambatan
di dalam melakukan pemetaan yang dilakukan oleh mahasiswa. Pemetaan
yang dilakukan kurang baik, sehingga hasil data yang diperoleh masih
banyak yang kurang dan menghambat proses di dalam pembangunan.
Ditinjau dari persepsi masyarakat, masyarakat menganggap kurangnya
pendanaan menjadi hambatan tidak terealisasinya perencanaan.
Kurangnya pendanaan mempengaruhi perencanaan tidak terealisasinya
Bale Ageung. Hambatan selanjutnya berasal dari masyarakat Pasir Ipis.
Masyarakat Pasir Ipis dianggap menghambat karena manner dan
pengetahuan masyarakat Pasir Ipis mengganggu komunikasi di dalam
perencanaan.
Selain itu hambatan lain berasal dari pihak Pemerintah desa, LSM
lain dan Perhutani. Hambatan dari Pemerintah desa yang kurang baik
dalam koordinasi membuat pelaksanaan perencanaan terganggu. Selain
itu , ada pihak Perhutani yang menganggu terealisasinya perencanaan.
Pihak Perhutani menghambat, karena pada mulanya tempat yang akan
dijadikan camping ground adalah milik Perhutani.
Setelah mendapatkan ijin dengan Perhutani melalui lobby,
Perhutani menyetujui untuk didirikannya bangunan asalkan ramah
lingkungan. Akan tetapi, Perhutani membuat perjanjian system profit
sharing yang seolah-olah bangunan camping ground yang sudah ada seperti
mau diambil-alih. Perjanjian tersebut dibuat antara LSM lain, pemerintah
setempat dengan pihak dari Perhutani. Berdasarkan isi dari surat
perjanjian kerjasama itu tercantum harga tiket masuk sebesar Rp
7.000/orang yang dibagi kepada pihak Perhutani sebesar Rp.5.000
LMDH Rp. 1.100 dan Desa Rp. 900. Berbeda lagi dengan tiket berkemah
sebesar Rp.17.000 dengan pembagian kepada pihak Perhutani sebesar
Rp.14.000 LMDH Rp. 2.500 Desa Rp. 500. Terakhir harga rombongan
sebesar Rp. 250.000 dengan pembagian Rp 200.000Perhutani dan Rp.
50.000 untuk LMDH. Pembagian profit sharing tersebut jika dilihat
terdapat pembagian yang tidak adil, melihat sarana camping ground dibuat
berdasarkan gagasan masyarakat setempat.
PENUTUP
Keberhasilan terealisasinya sebagian dari perencanaan di
Kampung Pasir Ipis, memberikan manfaat yang sudah terasa bagi
Wahyu Gunawan, dkk.| 79

beberapa pihak terutama masyarakat Pasir Ipis itu sendiri. Salah satunya
dengan terealisasinya camping ground,masyarakat Pasir Ipis sudah bisa
merasakan hasil manfaat dari sarana tersebut. Camping ground yang
direncanakan untuk mendatangkan wisatawan luar ternyata
mendatangkan manfaat lain untuk masyarakat setempat. Masyarakat
setempat menggunakan area tersebut sebagai sarana hiburan untuk
bersantai, berkumpul dengan keluarga, atau tempat bermain untuk anak-
anak. Selain itu, camping ground mempunyai manfaat lain untuk
pengelolanya, yaitu sebagai sarana penghasilan pengelola setempat.
Tetapi, pembangunan di wilayah Pasir Ipis menjadi kampung
wisata perlu melihat potensi dan melihat kekurangan dari kampung
tersebut. Potensi dan kekurangan Pasir Ipis dapat dijadikan suatu bahan
masukan untuk perencanaan dalam pembangunan. Melihat dari segi
potensi-potensi yang ada di Kampung Pasir Ipis, kampung tersebut
memiliki banyak potensi yang sesuai untuk dijadikan Kampung Wisata.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengkategorikan potensi
tersebut menjadi 3 bagian, yaitu potensi sejarah, potensi alam dan potensi
budaya. Pertama dilihat dari potensi sejarah, Pasir Ipis memiliki situs
sejarah berupa benteng peninggalan Belanda. Kedua, dilihat dari kondisi
alamnya yang bagus, potensi alam Pasir Ipis terdiri dari air terjun,
pertanian, perkebunan seperti perkebunan bunga potong dan
perkebunan strawberry, peternakan sapi perah, dan juga terdapat hewan-
hewan liar seperti monyet dan elang di hutannya. Ketiga dilihat dari
kebudayaan masyarakat setempat, potensi budaya tersebut terdiri dari
pencaksilat dan kesenian sunda lainnya seperti degung dan buhun.
Potensi-potensi tersebut merupakan sebuah modal dasar dalam
Kampung Wisata untuk mendatangkan wisatawan.
80 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA
Dewi, M. H. U. (2013). Pengembangan desa wisata berbasis partisipasi
masyarakat lokal di Desa Wisata Jatiluwih Tabanan, Bali. Jurnal
Kawistara, 3(2), 117-226.
Dokumen Master Plan & Rencana Kerja Tahunan Model Desa
Konservasi Desa JayaGiri Kec. Lembang Kab. Bandung Barat,
Jawa Barat. (2013). CWMBC.
Habibilah, Ahmad Darma. (2010). Evaluasi Pelaksanaan Program Dana
Penguatan Modal, Tesis, Depok: Universitas Indonesia.
Hurairah, Abu. (2011). Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Model
dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan.Bandung:Humaniora
Website Provinsi Jawa Barat, http://www.jabarprov.go.id (diakses pada
tanggal 17 Februari 2016).
Sudana, I. P. (2013). Strategi Pengembangan Desa Wisata Ekologis di
Desa Belimbing, Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Analisis
Pariwisata, 13(1), 11-31.
Suharto, E. (2005). Membangun masyarakat, memberdayakan rakyat: Kajian
strategis pembangunan kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial.
Bandung:Refika Aditama.
Widjajanti, Kesi. (2011). Model Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal
Ekonomi Pembangunan, 12(1), 15-27
Wignyo, Adiyoso. (2009) Menggugat Perencanaan Partisipatif dalam
Pemberdayaan Masyarakat. Surabaya : Putra Media Nusantara.
Zubaedi.(2013).Pengembangan Masyarakat Wacana dan Praktik.Jakarta:
Kencana Media Group
PARTISIPASI KOMUNITAS
5 DALAM PEMBANGUNAN
WISATA KAMPUNG
PASIR IPIS
Rasdica Denara H.P.

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar, yang dihuni
oleh bermacam-macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-
masing daerah tersebut memiliki keunggulan sendiri-sendiri termasuk
potensi alamnya. Hal ini tentunya sangat menguntungkan dalam bidang
kepariwisataan. Dengan banyaknya potensi alam yang dimiliki tersebut
akan menarik banyak wisatawan asing untuk berkunjung ke Indonesia
dan akan memberikan keuntungan tersendiri bagi negara (Lestari,
2009:12).
Sektor pariwisata sendiri terus mengalami perkembangan yang
signifikan baik di tingkat nasional maupun daerah. Perkembangan ini
baik dari segi jumlah wisatawan yang berkunjung maupun total
penerimaan devisa. Menurut Muhamad dan Sutrisno (2014:1) provinsi
Jawa Barat merupakan salah satu destinasi wisata yang memiliki potensi
kepariwisataan yang cukup besar. Mengenai kebijakan pengembangan
kepariwisataan di Jawa Barat sendiri termuat di dalam RIPPDA dan
didasari Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 tahun 2006.
Menurut Wihasta dan Prakoso (2015) salah satu pemberdayaan
ekonomi kerakyatan dalam bidang pariwisata adalah melalui
pengembangan desa wisata. Desa wisata maupun kampung wisata
merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan
ekonomi masyarakat pedesaan. Kampung wisata menyuguhkan potensi-
potensi wisata di suatu pedesaan, seperti potensi sumber daya alam
maupun sumber daya manusia, dimana kampung wisata memiliki daya
tarik dengan adanya kehidupan sehari hari masyarakat baik permanen

81
82 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

maupun temporer dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya yang telah
menjadi suatu ciri khas dari kampung tersebut.
Kampung Pasir Ipis berada di wilayah Desa Jayagiri yang terletak
di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
merupakan suatu kampung yang memiliki potensi-potensi wisata yang
dapat dikembangkan dan menjadi suatu pendorong pembangunan
wisata, seperti upaya untuk menjadikannya sebuah kampung wisata.
Pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis, memerlukan adanya upaya-
upaya peningkatan potensi yang ada di Desa Jayagiri, dalam
pengembangannya peran aktif atau partisipasi komunitas menjadi
penyokong utama keberhasilan pembangunan. Suatu pembangunan
sosial haruslah bergantung dan memikirkan masyarakat lokal maupun
komunitas, dan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat, oleh karena itu dalam suatu pelaksanaan program
kerja maupun program pemberdayaan masyarakat haruslah
memperhatikan potensi partisipasi komunitas. Karena dalam suatu
pembangunan sosial ini adanya suatu usaha-usaha peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan adanya upaya untuk menghubungkan
proses ekonomi dan sosial.

PARTISIPASI KOMUNITAS
❖ Partisipasi Komunitas Dalam Perencanaan Pembangunan
Cohen dan Uphoff (dalam Deviyanti, 2013:383) menyatakan
bahwa partisipasi dalam perencanaan yang diwujudkan dengan
keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Sejauh mana masyarakat
dilibatkan dalam proses penyusunan dan penetapan program
pembangunan dan sejauhmana masyarakat memberikan sumbangan
pemikiran dalam bentuk saran. Adapun partisipasi komunitas dalam
perencanaan pembangunan, dapat dilihat dari penyerapan aspirasi
komunitas atau ide.
Bentuk partisipasi komunitas pada tahap perencanaan
pembangunan yang diharapkan adalah masyarakat tidak hanya
berpartisipasi dengan sekedar menyampaikan usulan, ide, serta gagasan
dalam kegiatan proyek pembangunan wisata ini tetapi mereka juga
mampu menggali, memahami, dan mengungkapkan persoalan dan
permasalahan yang sebenarnya mereka hadapi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Davis (dalam Deviyanti,2013:386) bahwa partisipasi
masyarakat merupakan peristiwa psikologis yang mencakup keterlibatan
Wahyu Gunawan, dkk.| 83

mental dan emosional. Dimana komunitas memiliki kemampuan untuk


mengamati, memilih, menafsirkan dan menerima informasi yang mereka
dapatkan dan kemudian diterapkan dalam bentuk tindakan. Sehingga
komunitas pengembang mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
yang mereka perlukan dan masalah yang mereka hadapi, serta mampu
memprioritaskan program atau proyek yang perlu dilasanakan
berdasarkan pada potensi-potensi wisata dan permasalahan yang ada.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat diuraikan bahwa
komunitas-komunitas pengembang seperti PEDANG, Karang Taruna,
POKDARWIS, LMDH, dan KTH dalam tahap perencanaan
pembangunan turut berpartisipasi. Bentuk partisipasi komunitas yang
terlihat adalah melalui penyerapan aspirasi atau usulan-usulan yang ada
melalui rapat, dan perkumpulan para komunitas dan pengelola baik
formal maupun informal.
Ide-ide yang disampaikan komunitas pada rapat maupun
perkumpulan dengan para pengelola antara lain adalah ide seperti
menentukan wilayah yang akan menjadi tempat wisata dan ide
penyediaan fasilitas, seperti saung, musholah, toilet, dan penginapan
(homestay). Selain itu komunitas seperti POKDARWIS juga ikut
berkontribusi dalam mempromosikan melalui media sosial seperti
facebook dan blog dan media cetak seperti, media umat, media Indonesia
Indonesia. Mereka turut mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai
rencana-rencana yang berkaitan dengan pembangunan Kampung Wisata
Pasir Ipis. Para pengelola telah memberikan kesempatan bagi seluruh
komunitas pengembang dan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan
tersebut guna untuk mendikusikan aspirasi, ide ataupun gagasan yang
telah disampaikan dan untuk mendikusikan keputusan menrealisasikan
ide-ide tersebut.
Pada kegiatan perencanaan pembangunan komunitas
pengembang menyampaikan ide-ide pembangunan seperti arsitektur atau
pembangunan secara visual. Dimana ide tersebut didengarkan oleh salah
satu stakeholder kampung Pasir Ipis, yaitu Yahintara. Ide-ide tersebut
dituangkan kedalam masterplan kampung Pasir Ipis, seperti konsep green,
dimana dalam pembangunan secara fisik dibuat sebisa mungkin
bangunan tidak mencapai tanah. Ide-ide tersebut kemudian kembali
kepada kesiapan dari para komunitas pengembang, serta bagaimana
kontur dan kondisi tanah dan lingkungan Kampung Pasir Ipis.
Keputusan yang diambil oleh ketua rapat didasari oleh pertimbangan
84 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

dari segi kemampuan para anggota ataupun pengelola serta diambil


berdasarkan hasil dari musyawarah mufakat. Untuk membangun
mentalitas komunitas sebagai pengelola, maka stakeholder memberikan
kesempatan kepada anggota komunitas untuk ikut berpartisipasi dalam
pelatihan dan seminar pengembangan wisata, agar mereka mampu
mengelolah tempat wisata secara mandiri dan mampu menggali potensi
wisata serta merumuskan program pembangunan wisata.
Tingkat partisipasi komunitas dalam bentuk ide atau gagasan
pada tahap perencanaan pembangunan ini dapat dilihat dari kehadiran
komunitas dan keterwakilan komunitas dan masyarakat dalam
menyampaikan aspirasi mereka. Menurut salah satu anggota
POKDARWIS, tidak seluruh lapisan masyarakat hadir dalam rapat,
hanya ada perwakilan dari masing-masing pihak, seperti perwakilan dari
POKDARWIS, Karang Taruna, PEDANG, KTH, LMDH, UNPAD,
dan Aparat Pemerintahan Desa seperti RT dan RW. Pada kenyataannya
mereka jarang menyelenggarakan rapat secara formal hanya kumpul-
kumpuldan sharingsaja. Pada sharing tersebut tidak semua lapisan
terwakilkan. Sama halnya dengan dengan komunitas pengembang,
partisipasi masyarakat lokal pun masih sangat minim karena mereka
hanya menerima saja keputusan yang ada, dan program-program yang
akan atau yang sedang berlangsung.

❖ Partisipasi Komunitas dalam Pelaksanaan Pembangunan


Cohen dan Uphoff (dalam Deviyanti, 2013:383) menyatakan
bahwa partisipasi dalam pelaksanaan dengan wujud nyata berupa
partisipasi dalam bentuk tenaga, partisipasi dalam bentuk uang,
partisipasi dalam bentuk harta benda. Adapun partisipasi komunitas
dalam pelaksanaan pembangunan, dapat dilihat dari sumbangan tenaga
dan sumbangan dana atau materi yang diberikan oleh komunitas.
Pada tahap pelaksanaan pembangunan ini, bukan hanya
keterlibatan emosional dan ide-ide dari komunitas melainkan juga
keterlibatan komunitas dalam memberikan kontribusi untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan dalam bentuk tenaga dan materi atau
uang.Kontribusi yang diberikan komunitas dalam bentuk tenaga dan
materi atau uang untuk berlangsungnya suatu kegiatan pembangunan
atau program pembangunan. Keikutsertaan mereka dengan memberikan
bantuan tenaga dan uang tersebut memiliki dampak positif guna
mengembangkan pelaksanaan pembangunan wisata ini, karena sangat
Wahyu Gunawan, dkk.| 85

penting untuk meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab moral


atas keberhasilan pembangunan tersebut.
Pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis merupakan suatu
pembangunan guna menjadikan Kampung Pasir Ipis sebagai sebuah
kampung wisata. Kampung wisata sebagai suatu objek wisata yang akan
mendatangkan profit, dimana menjadi suatu objek wisata yang ingin
dikunjungi wisatawan perlu memberikan kemudahan bagi para
wisatawan, yakni dengan cara memberikan dan melengkapi sarana dan
prasarana yang ada disana untuk para wisatawan.

❖ Bantuan dalam Bentuk Sumbangan Dana/Materi


Dari hasil penelitian yang telah dilakukan berdasarkan informasi
yang diterima dari wawancara dengan informan, partisipasi atau
keterlibatan komunitas dalam pelaksanaan pembangunan berupa
bantuan dana untuk membantu membiayai pembangunan wisata di
Kampung Pasir Ipis sudah seperti yang diharapkan. Partisipasi komunitas
dalam bentuk uang telah dapat dirasakan dari kegiatan pembangunan
fasilitas, sarana dan prasana seperti pembangunan saung-saung,
musholla, toilet, maupun perbaikan jalan.
Komunitas pengembang memberikan sumbangan dana dalam
kegiatan tersebut dengan cara udunan, yaitu mengumpulkan dana dari
setiap anggota komunitas dan kemudian hasil tersebut berguna untuk
membangun fasilitas yang dibutuhkan. Selain itu komunitas juga mencari
dana pembangunan dengan cara membuat proposal pelaksanaan
pembangunan dan kemudian diajukan kepada LMDH dan aparat
pemerintahan desa, dana juga didapat dari pengajuan proposal kepada
dana aspirasi dewan (DRPD). Pada tahap pelaksanaan pembangunan
masyarakat pun ikut terlibat, seperti halnya memberikan dana swadaya
masyarakat guna memperbaiki jalan. Partisipasi komunitas dalam
pelaksanaan pembangunan bukan hanya berupa materi dan uang, tetapi
juga berupa tenaga yang dikeluarkan guna melaksanakan kegiatan
pembangunan, salah satunya seperti membuat fasilitas-fasilitas
pendukung yang ada.

❖ Bantuan dalam Bentuk Tenaga


Menurut Sastropoetro (dalam Deviyanti, 2013:388)
mengemukakan pengertian partisipasi adalah keterlibatan yang bersifat
spontan yang disertai kesadaran dan tanggung jawab terhadap
86 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Keterlibatan


komunitas yang diberikan untuk menunjang keberhasilan suatu kegiatan
pelaksanaan pembangunan dan guna mencapai tujuan bersama yaitu
dengan berpartisipasi memberikan bantuan dalam bentuk tenaga,
partisipasi ini diberikan komunitas agar program pelaksanaan
pembangunan dapat terealisasikan secara maksimal.
Partisipasi komunitas pada tahap pelaksanaan pembangunan
dalam bentuk tenaga memang didominasi pada pembangunan fisik.
Mereka mengerjakan proyek pembangunan tersebut dengan bergotong-
royong. Selain partisipasi dalam pembangunan fisik seperti fasilitas
pendukung yang diberikan komunitas Karang Taruna. Adapula
partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan yang diberikan oleh
Kelompok Tani Hutan (KTH) yaitu pembibitandan penanaman pohon.
Kontribusi seperti ini sangat penting guna menjaga kelestarian
lingkungan hutan, dan guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya
menjaga lingkungan yang akan mendukung keberhasilan pembangunan
wisata.
Pada tahap pelaksanaan pembangunan ini, selain pembangunan
fisik, adapula pembangunan non fisik, dimana adanya pembangunan
mentalitas, emosial komunitas agar memiliki kemampuan dan inovasi
sebagai pengelola yang mandiri guna mencapai keberhasilan
pembangunan dan tujuan bersama. Adapun partisipasi non fisik yang
dilaksanakan oleh para komunitas pengembang yaitu dengan mengikuti
program-program yang diberikan stakeholder seperti pelatihan budidaya
asparagus dan simulasi menerima wisatawan baik domestik maupun
mancanegara.
Dengan adanya simulasi ini mereka ikut serta dalam memberikan
pelayanan kepada wisatawan, seperti menyediakan wisatawan tempat
penginapan, dengan mengantarkan wisatawan pada tempat homestay,
mendampingi wisatawan berkeliling di Kampung Pasir Ipis melihat
pemandangan dan kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Pasir
Ipis, mengunjungi pertanian stroberi, dan bunga potong. Bukan hanya
itu, mereka juga mendampingi wisatawan untuk hiking dan wisata sejarah
melihat benteng peninggalan Belanda, serta menuntun wisatawan untuk
melakukan outbound dan permainan tradisional. Wisatawan juga
disuguhkan dengan penampilan dari degung dan pencak silat yang
menjadi ciri khas Kampung Pasir Ipis di camping ground.
Wahyu Gunawan, dkk.| 87

Pembangunan secara non fisik juga dapat dilihat dari adanya


pembentukan kelompok usaha bersama, sebagai salah satu pendukung
pembangunan wisata. Kelompok usaha bersama yang telah dibentuk
dibawah bimbingan dari BDC Widyatama, yaitu suatu kelompok usaha
bersama yang terdiri dari ibu-ibu Kampung Pasir Ipis, yang diberikan
arahan serta pelatihan mengenai cara berwirausaha, dengan adanya
banatuan modal yang diberikan dari BDC Widyatama, para ibu-ibu yang
dipimpin oleh J di RT.05 mampu menyalurkan kemampuan mereka
seperti membuat kue-kue pasar dan jajanan pasar serta berjualan.

❖ Partisipasi Komunitas dalam Pemanfaatan Pembangunan


Cohen dan Uphoff dalam Deviyanti (2013:383) menyatakan
bahwa partisipasi dalam pemanfaatan hasil, yang diwujudkan keterlibatan
seseorang pada tahap pemanfaatan suatu proyek setelah proyek itu selesai
dikerjakan. Partisipasi masyarakat pada tingkatan ini berupa tenaga dan
uang untuk mengoperasikan dan memelihara proyek yang telah di
bangun. Adapun partisipasi komunitas dalam pemanfaatan
pembangunan, dapat dilihat dari partisipasi dalam bentuk tenaga dan
materi.
Setiap anggota masyarakat berhak untuk berpartisipasi dalam
pemanfaatan pembangunan yaitu menikmati hasil pembangunan yang
menjadi usaha bersama. Demikian pula halnya dengan komunitas
pengembang, pengelola, stakeholder, pemerintah daerah, pemerintahan
daerah, serta perusahaan yang turut andil dapat pembangunan ini, seperti
PT. Perhutani secara adil.
Menurut Deviyanti (2013) bahwa partisipasi masyarakat dalam
menikmati hasil dapat dilihat dari tiga segi yaitu segi aspek manfaat
materialnya, aspek manfaat sosialnya, dan manfaat pribadi. Dari adanya
kegiatan pelaksanaan pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis dari
pembangunan yang telah dihasilkan diharapkan pembangunan wisata
tersebut dapat memberikan maanfaat serta masyarakat setempat dapat
menikmatti hasil pembangunan tersebut.
Berdasarkan hasil temuan dilapangan, dari hasil wawancara yang
diperoleh bahwa dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan wisata di
Kampung Pasir Ipis ini telah memberikan manfaat yang besar bagi
masyarakat Kampung Pasir Ipis. Maanfaat yang ada dari segi aspek
materialnya adalah masyarakat khususnya komunitas pengembang
mendapatkan tambahan pendapatan dari event-event yang ada di wilayah
88 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

camping ground. Para pemuda yang putus sekolah dan tidak memiliki
pekerjaan ataupun warga yang memiliki pekerjaan tetapi pendapatan
minim, mereka menjadikan kegitan pembangunan wisata ini menjadi
pekerjaan samping untuk mendapatkan pemasukan tambahan.
Hal tersebut juga dirasakan oleh para ibu-ibu dari kelompok usaha
bersama “Srikandi Mandiri”, mereka mendapatkan pendapatan
tambahan dengan adanya pesanan kue atau snack dari acara dan kegiatan
yang ada di camping ground. Selain itu mereka mengaku mendapatkan
banyak pengalaman dan ilmu yang didapat dari beberapa sosialisasi dan
pelatihan yang diberikan kepada pihak BDC Widyatama seperti adanya
wisata ke daerah Cikutra, mengenai usaha kuliner. Hal ini disampaikan
oleh salah satu anggota kelompok usaha bersama di Kampung Pasir Ipis
Semua yang ikut dalam pelaksaan pembangunan wista di
Kampung Pasir Ipis haruslah dapat menikmati hasil dari pembangunan
wisata itu sendiri secara adil dan bijaksana. Pembagian hasil yang adil
guna menghindarkan kesalahpahaman diantara semua pihak yang terlibat
dan menekan kemungkinan terjadinya konflik. Pembagian hasil atau
sharing profit diantara semua pihak belumlah adil karena tidak ada
kesepakatan bersama diantara semua pihak. Terlebih lagi bahwa hasil
yang didapatkan belum melibatkan PT. Perhutani selaku pemilik lahan
atau wilayah perhutanan yang digunakan untuk camping ground hal tersebut
disebabkan karena belum adanya perjanjian tertulis dari kedua belah
pihak yaitu PT. Perhutani dengan Pengelola Kampung Wisata Pasir Ipis.
Partisipasi komunitas dalam pemanfaatan pembangunan dari aspek
manfaat sosial dan manfaat pribadi selain meningkatkan wawasan
masyarakat dan komunitas mengenai pembangunan dan pengembangan
wisata adalah dengan adanya tempat wisata baru yaitu “Kaulinan urang
lembur” dimana masyarakat dapat memanfaatkannya secara bersama.
Seperti yang dinyatakan oleh salah satu informan yang juga selaku founding
father.
Selain menikmati hasil pembangunan, komunitas pengembang
serta masyarakat Pasir Ipis, turut mengawasi jalannya pembangunan,
serta berpartisipasi dalam pemeliharaan dan perawatan hasil dari
pembangunan seperti fasilitas yang telah dibangun. Rasa memiliki dan
rasa tanggung jawab terhadap hasil yang telah mereka capai sangat
diperlukan untuk keberhasilan pembangunan dan kelestariannya dalam
jangka waktu panjang. Partisipasi masyarakat pada tingkatan ini
diwujudkan dengan cara memberikan bantuan berupa tenga dan untung
Wahyu Gunawan, dkk.| 89

untuk mengoperasikan dan memelihara hasil pembangunan yang ada.


Partisipasi masyarakat dalam hal bentuk pemeliharaan pembangunan
merupakan peranan penting bagi kelangsungan pembangunan yang ada
di Kampung Wisata Pasir Ipis tersebut.

❖ Partisipasi Komunitas Dalam Evaluasi Pembangunan


Cohen dan Uphoff (dalam Deviyanti, 2013:383) menyatakan
bahwa partisipasi dalam evaluasi yang diwujudkan dalam bentuk
keikutsertaan masyarakat dalam menilai serta mengawasi kegiatan
pembangunan serta hasil-hasilnya. Penilaian ini dilakukan secara
langsung, misalnya dengan ikut serta dalam mengawasi kegiatan
pembangunan serta hasil-hasilnya. Penilaian ini dilakukan secara
langsung, misalnya dengan ikut serta dalam mengawasi dan menilai atau
secara tidak langsung, misalnya memberikan saran-saran, kritikan atau
protes.
Berbagai hasil pembangunan yang sudah tercapai dapat dinyatakan
berhasil atau tidaknya apabila dalam penilaian bersama dianggap baik dan
dapat memberikan manfaat yang sesuai dengan kebutuhan kesejahteraan
sosial dan ekonomi masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan wisata
di Kampung Pasir ini dapat berupa rapat evaluasi serta dari penyampaian
saran serta kritik pada kesempatan yang diberikan agar dapat menjadi
rujukan atau masukan dan menjadi acuan untuk penyusunan program
pembangunan selanjutnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Isbandi (dalam Deviyanti,
2013:389) bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam
proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat,
pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk
menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan
keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang
terjadi.
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dengan beberapa
informan, didapatkan informasi bahwa di Kampung Pasir Ipis
keterlibatan komunitas dalam hal mengevaluasi hasil pembangunan di
Kampung Pasir Ipis sudah ada. Ketika pada tahap perencanaan
pembangunan, komunitas pengembang turut memberikan ide-ide dan
usulan, yang disampaikan pada rapat, mereka mampu menilai suatu
kondisi lingkungan dan potensi yang ada di lingkungan mereka dan
menjadi bahan acuan dan usulan pembangunan, seperti usulan dijadikan
90 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

tempat wisata karena adanya potensi dari aspek pemandangan serta


didukung dengan adanya Benteng Pasir Ipis dan mereka mengusulkan
mengenai pemindahan lokasi wisata dari barat ke timur.
Selain itu dalam tahap pelaksanaan pembangunan mereka
senantiasa berkontribusi dengan bergotong-royong mengerjakan
program atau proyek pembangunan seperti, pembangunan fasilitas serta
pelayanan terhadap wisatawan. Mereka juga telah memberikan
sumbangan dana untuk kegiatan pembangunan secara fisik. Dengan
keterlibatan komunitas pengembang, maka mereka merasa dilibatkan
untuk memiliki hasil pembangunan dan adannya keterlibatan dalam
penilaian hasil pembangunan. Hal tersebut sangat berguna dalam
penyusunan program pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis.
Komunitas pengembang juga senantiasa berpartisipasi dalam
pemanfaatan hasil. Dimana masyarakat merasakan manfaat dan hasil dari
pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis, seperti memiliki tempat
hiburan sendiri, pendapatan tambahan dari acara-acara di camping ground,
serta mendapat pengetahuan-pengetahuan yang berharga.

❖ Proses Sosial Komunitas dalam Pembangunan Wisata


Partisipasi Komunitas dalam pembangunan wisata di Kampung
Pasir Ipis terkandung suatu proses sosial di dalamnya. Proses sosial
merupakan syarat terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Dalam
pembangunan wisata ini terdapat proses sosial, yaitu meliputi proses-
proses asosiatif dan disosiatif.
Proses-proses asosiatif yang terdapat dalam pembangunan wisata
di Kampung Pasir Ipis meliputi kerjasama, akomodasi, dan asimilasi.
Adapun kerjasama yang terdapat dalam inter komunitas adalah adanya
gorong-royong. Anggota POKDARWIS saling bergotong-royong
membangun saung, toiet dan mushola. Karang Taruna bergotong royong
memberbaiki jalan. KTH bergotong-royong melakukan pembibitan dan
menanam pohon. Selain itu juga terdapat proses penerimaan unsur baru
dalam kepemimpinan sebagai salah satu cari untuk menghindari
goncangan dalam stabilitas komunitas atau disebut juga kooptasi. Hal
tersebut dilihat dari berjalannya rapat dan kegiatan pelaksanaan
pembangunan wisata ini, mereka menghormati keputusan yang diambil
ketua komunitas berdasarkan hasil musyawarah mufakat, selain itu
mereka mampun menerima program-program yang diberikan stakeholder
Wahyu Gunawan, dkk.| 91

seperti simulasi penerimaan wisatawan baik domestik maupun manca


negara.
Selain kerjasama, proses akomodasi juga terjadi di dalam
komunitas, yakni suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa
menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan
kepribadiannya (Soekanto, 2012). Akomodasi yang terjadi di dalam
komunitas, antara lain adalah conciliation (konsiliasi) dan toleration
(toleransi). Menurut Soekanto (2012) konsiliasi adalah suatu cara untuk
mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih
demi tercapainya suatu persetujuan bersama. Konsiliasi yang ada didalam
komunitas, terjadi pada saat rapat komunitass, dimana setiap anggota
diberikan kesempatan untuk mengajukan usulan atau ide, dan kemudia
didiskusikan guna mencapai keputusan bersama atau musyawarah
bersama.
Selain Konsiliasi, terjadi pula toleransi di dalamnnya yaitu,
akomodasi tanpa persetujuan yang formal. Toleransi terjadi dalam hal
menanggapi keterbasan waktu para anggota komunitas karena kesibukan
masing-masing, seperti bekerja. Proses Asimilasi adalah proses sosial
tahap lanjut yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi
perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara anggota komunitas, dan
meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan
proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan
bersama. Proses tersebut ditandai dengan adanya rapat serta koordinasi
dalam kepengurusan komunitas dan bekerjasama dalam event-event yang
diselenggarakan agar mencapai tujuan bersama.
Proses sosial asosiatif diantara komunitas juga terjadi. Proses-
proses asosiatif seperti kerjasama, akomodasi, dan asimilasi terlihat
didalam kegiatan pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis. Kerjasama
merupakan suatu bentuk proses asosiatif yang sangat kental terjalin di
antar komunitas dalam pembangunan wisata ini. Hal ini terlihat dari
kerukukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong,
seperti pada saat membangun fasilitas-fasilitas di wilayah camping ground,
Karang Taruna, POKDARWIS, KTH dan PEDANG turut ikutserta
baik dalam bentuk tenaga maupun materi.
Proses bargaining, yaitu proses pelaksana perjanjian mengenai
pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih.
Proses itu ditandai dengan adanya perjanjian antara pihak pengelola
dengan pihak PT. Perhutani mengenai bagi hasil dari pembangunan
92 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

wisata di Kampung Pasir Ipis, dikarenakan kepemilikan wilayah dari


benteng dan camping ground merupakan milik PT. Perhutani dan
komunitas pengembang seperti Karang Taruna, POKDARWIS, KTH
dan Pedang lah yang mengelola wilayah tersebut.
Proses koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih
yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Walaupun dari masing-
masing pihak memiliki struktur yang tidak sama, akan tetapi karena
maksud dan tujuannya sama maka sifatnya kooperatif. Proses koalisi di
antar komunitas dalam pembangunan wisata ini dapat dilihat dari
penyelengaraan berbagai event.
Kerjasama yang dibangun oleh para stakeholder, komunitas
pengembang selaku pengelola, dan masyarakat setempat dalam proyek
atau program pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis ini, mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, serta evaluasi
pembangunan dapat merupakan salah satu proses joint venture.
Berdasarkan informasi di lapangan, adanya proses akomodasi di antar
komunitas, seperti konsiliasi. Proses konsiliasi yang ada terjadi pada
LMDH dengan para pengelola, untuk masalah mengenai pembagian hasil
dari pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis, maka mereka memiliki
rencana sebagai usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan yang
ingin dicapai masing-masing pihak. Adapun dari hasil proses konsiliasi
berikut, LMDH dibawah naungan Perhutani dengan komunitas
pengembang selaku pengelola, maka terjadilah proses asimilasi diantara
mereka.
Selain proses asosiatif antara lain ada pula proses disosiatif yang
terjadi diantar komunitas, hal itu dikarenakan adanya kurangnya trust,
perbedaan pendapatdan koordinasi. Masing-masing komunitas kurang
memiliki rasa percaya dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan, seperti
dalam hal pembagian hasil suatu acara yang telah diselenggarakan di
camping ground.
Setiap komunitas dan setiap stakeholder memiliki tujuan yang
berbeda-beda sehingga menghasilkan ide atau pemikiran yang berbeda
pula, hal inilah yang menyebabkan pertikaian. Seperti yang di katakan
oleh Soekanto(2012:65-97) bahwa persaingan atau competition dapat
diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok
manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang
kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum
(baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik
Wahyu Gunawan, dkk.| 93

perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada


tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Pada tahap perencanaan
dan pembangunan Kampung Pasir Ipis, Komunitas pengembanglah
yang memiliki andil di dalam pembangunan wisata khususnya camping
ground, tetapi hak kepemilikan berada atas nama Perhutani. Hal itulah
yang menimbulkan perselisihan antara komunitas pengembang dengan
Perhutani. Perhutani meminta 70% hasil dari camping ground dan
komunitas pengembang menentang permintaan tersebut karena pada
pembangunannya seperti pembangunan dalam aspek infrastruktur,
fasilitas pendukung, dan sosial adalah hasil dari para komunitas
pengembang.
Dari pertentangan yang ada tersebut maka munculah proses-
proses akomodasi guna menekan pertentangan dan menemukan solusi
agar tercapainya tujuan bersama, agar pembangunan wisata di Kampung
Pasir Ipis tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Proses
akomodasi yang ada adalah dengan adanya rapat antara komunitas
pengembang dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan
ASPER KPH guna mencapai titik temu diantara keduanya yang berkaitan
dengan sharing profit dan program yang ingin dikembangkan seperti
ticketing
Proses disosiatif yang terjadi dalam pembangunan Kampung Pasir
Ipis, tidak berkembang menjadi konflik dan tidak pernah terjadi
kekerasan karena hal-hal yang menyebabkan pertentangan tersebut
diatasi dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.

❖ Pembangunan Wisata di Kampung Pasir Ipis


Kampung Pasir Ipis merupakan suatu kampung yang berada di
wilayah perbatasan hutan, dimana masyarakatnya masih terisolir dan
tradisional. Dimana masyarakat Kampung Pasir Ipis, kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah, dilain sisi Kampung Pasir Ipis
memiliki potensi-potensi sumber daya alam serta sumber daya
manusianya. Oleh karena itu, potensi-potensi yang ada dapat
dimanfaatkan secara bersama, potensi-potensi yang ada itulah yang
mendorong pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis
Pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis adalah salah satu
usaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan perekonomian
masyarakat sekitar, pembangunan wisata tersebut menerapkan pola
dimana masyarakat diarahkan agar dapat berkembang secara mandiri.
94 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis merupakan suatu kegiatan


dalam sektor pariwisata yang menggali potensi-potensi yang ada di
Kampung Pasir Ipis, seperti potensi sumber daya alam serta potensi
sumber daya manusianya.
Kampung Pasir Ipis merupakan suatu kampung yang memiliki
potensi-potensi pariwisata yang cukup menjanjikan untuk dijadikan
tempat wisata. Awalnya pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis ini
bermula dari rencana peternakan lebah madu, dan kemudian beralih
menjadi tempat wisata, dimana rencana tersebut didukung dengan
adanya benteng Pasir Ipis yang merupakan sejarah peninggalan Belanda.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh salah satu informan, selaku ketua
Pemuda Lembang (PEDANG)
Kampung Pasir Ipis menawarkan keunggulan dalam lingkungan
alam atau kondisi geografis dan bentang alam sebagai sebuah kampung
wisata yang layak untuk dikunjungi oleh para wisatawan, baik domestik
maupun mancanegara. Pemandangan hutan yang ditanami pohon-pohon
pinus, dan lembah yang sangat indah, dan hembusan angin yang sejuk
memberikan penghidupan bagi masyarakat sekitar. Dengan begitu
Kampung Pasir ipis menawarkan tempat berwisata dengan nuansa alam
pedesaan yang masih asri serta kearifan lokal dari Kampung Pasir Ipis itu
sendiri. Untuk menarik perhatian para wisatawan, tidak hanya
menyuguhkan pemandangan desa yang indah dan asri, serta kearifan
lokal semata, tetapi harus disertakan fasilitas pendukung, yaitu sarana dan
prasarana untuk kegiatan wisata. Seperti tempat berteduh, tempat tinggal,
tempat beribadah, toilet, wahana wisata, dan kesiapan masyarakat secara
sosial maupun mental.
Kondisi sosial ekonomi dan budaya merupakan suatu daya tarik
kampung wisata dalam perencanaan dan pembangunan wisata. Kondisi
sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal yang masih tradisional dan
belum dipengaruhi oleh budaya luar akan menjadi ciri khas suatu
kampung wisata tersebut. Untuk itu Kampung Pasir Ipis, menyajikan
suatu kehidupan masyarakat pedesaan dalam kesehariaannya atau suatu
produk dan atraksi yang menjadi ciri khas pedesaan, seperti bertani,
berkebun, dan beternak, serta memerah sapi. Selain itu menyajikan suatu
atraksi yang menjadi ciri khas dari Kampung Pasir Ipis tersebut, seperti
degung dan pencak silat, serta menampilkan permainan tradisional yang
menjadi ciri khas suatu kondisi rural yang menjual, seperti enggrang, gatrik,
sorodot gaplok, dan beklen
Wahyu Gunawan, dkk.| 95

Pembangunan Kampung Pasir Ipis sebagai suatu kampung wisata


telah membawa suatu perubahan dan perkembangan dalam masyarakat
secara luas. Pembangunan dalam aspek fisik dan non fisik menjadi
sebuah tututan untuk memberikan seuatu kepuasan kepada pengunjung.
Pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis merupakan suatu bentuk
pembangunan sosial. Pembangunan dilaksanakan guna untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada, potensi sumber daya alam,
tata ruang atau infrastruktur, serta sosial budaya yang ada di Kampung
Pasir Ipis dapat dikelola dengan baik apabila didukung oleh sumber daya
manusia (SDM) yang memiliki kualitas yang baik dan integritas yang
tinggi sebagai agen pembangunan dan agen pariwarisata. Adapun
disebutkan oleh Pawar dan Picton bahwa Pembangunan sosial adalah
suatu proses yang melibatkan suatu rencana perubahan sosial, dimana
bertujuan membawa masyarakat pada perubahan yang lebih baik dan
diciptakan melalui respon masyarakat terhadap suatu kebijakan
pemerintahan meliputi kebutuhan-kebutuan masyarakat dan berbagai
aspirasi masyarakat (Pawar dan Picton, dalam Shamsun Nahar, 2014:9).
Pembangunan sosial dalam pengembangannya pada aspek sosial
dan sumber daya manusia di Kampung Pasir Ipis dilakukan dengan cara
transfer knowledgedari para stakeholder yang merupakan para ahli dan juga
akademisi. Transfer knowledge diberikan melalui berbagai pelatihan dan
seminar. Salah satu yang telah dilaksanakan adalah seminar dan pelatihan
mengenai pengembangan wisata dan mengenai agen pariwisata yang
diberikan oleh Great Nusantara. Pelatihan tersebut memberikan
pengetahuan mengenai bagaimana tata cara memberikan pelayanan
kepada pengunjung dan bagaimana membuat suatu paket wisata dan
memberikan edukasi mengenai permainan tradisional Sunda.
Pengembangan sumber daya manusia yang diterapkan pada
komunitas pengembang, dilakukan dengan melakukan simulasi seperti
memandu wisatawan dengan memberikan pelayanan dan
menyelenggakan acara di camping ground. Simulasi tersebut dibantu oleh
para mahasiswa sosiologi Unpad. Selain itu, dilaksanakan juga pelatihan
dan seminar mengenai penanaman asparagus dan baruan kopi. Pelatihan
dan seminar mengenai pembentukan koperasi dan mengenai kuliner
guna membentuk kelompok usaha bersama juga telah dilakukan, kegiatan
tersebut dibantu oleh salah satu stakeholder Kampung Pasir Ipis, yaitu
BDC FE Widyatama.
96 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Pelatihan dan seminar mengenai koperasi dan kelompok usaha


bersama dengan dilaksanakan sebagai salah satu program pembangunan
sosial di Kampung Pasir Ipis. Seperti yang dinyatakan oleh Nahar
(2014:8) bahwa “Pembangunan sosial merupakan suatu proses untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan dalam pemerataan sumber
daya yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk berpartisipasi dan membuat keputusan”. Kegiatan tersebut
dilaksanakan guna agar masyarakat setempat tidak terjerat hutang piutang
dengan “lintah darat” dan dapat membantu masyarakat untuk
memperbaiki kesejahteraan keluarga pada masyarakat Kampung Pasir
Ipis, dengan harapan masyarakat dapat memanfaatkan peluang dengan
adanya pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis.

❖ Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Partisipasi


Komunitas
Menurut Deviyanti (2013:390) timbulnya partisipasi merupakan
ekpresi dari perilaku manusia itu sendiri un tuk melakukan suatu tindakan
untuk terlibat di dalam suatu kegiatan pelaksanaan pembangunan
perwujudan dari perilaku tersebut didorong oleh adanya faktor utama
yang mendukung, yaitu kemauan. Komunitas pengembang memiliki
kemauan untuk ikutserta dalam pembangunan wisata di Kampung Pasir
Ipis, karena mereka memiliki keinginan untuk memiliki suatu tempat
wisata sendiri, yang diharapkan dapat memberikan hasil yang dapat
dinikmati bersama.
Partisipasi komunitas juga didukung dengan adanya kemampuan
mereka dari segi tenaga, dan uang. Kemampuan mereka dalam
berpartisipasi dapat dilihat dari kinerja mereka dalam kegiatan pelaksanan
pembangunan seperti pembuatan fasilitas serta perbaikan jalan, dimana
mereka selesaikan secara gotong-royong dan mereka turut menyumbang
dana dalam kegiatan pembangunan. Partisipasi komunitas juga didukung
dengan kesempatan yang diberikan kepada mereka dalam berkontribusi
dan dilibatkan dalam kegiatan pembangunan, seperti pada tahap
perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan juga evaluasi.
Mereka diberikan kesempatan untuk menyampaikan usulan-
usulan, saran, serta kritik terhadap pembangunan, ikut serta dalam
pembangunan fisik maupun non fisik seperti mengikuti pelatihan
mengenai pelatihan-pelatihan mengenai pembangunan wisata dan
Wahyu Gunawan, dkk.| 97

pariwisata, stimulasi penerimaan wisatawan, dan ikutserta dalam


pelaksanaan event-event yang telah diadakan.
Selain faktor pendukung, adapula faktor yang menghambat
komunitas pengembang untuk berpartisipasi dalam program kegiatan
pembangunan wisata. Faktor penghambat tersebut bisa berasal dari
dalam (internal) maupun dari luar (ekternal). Faktor penghambat
partisipasi komunitas dalam pembangunan wisata dari segi internal
adalah kurangnya inisiatif komunitas untuk mencari inovasi yang akan
menjadi daya tarik wisatawan, minimnya ide-ide yang disampaikan, serta
lemahnya mentalitas dari komunitas pengembang untuk menjadi
pengelola wisata yang mandiri, dan teguh pendirian. Hal ini disebabkan
oleh rasa malas dari komunitas pengembang itu sendiri.
Menurut salah satu informan yang juga sebagai salah satu
pengelola atau founding father adalah karena masyarakat Kampung Pasir
Ipis bersifat Patembayan yaitu masyarakat yang didasari pertimbangan
untung dan rugi. Jika dirasa tidak ada keuntungan yang didapat dari suatu
kegiatan yang dilakukan, maka mereka enggan untuk melakukankan
kegiatan tersebut.
Adapun faktor penghambat partisipasi lainnya dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan dan tingkat perekonomian. Mayoritas anggota
komunitas pengembang adalah pemuda yang putus sekolah, dalam artian
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, seperti lulusan SD, SMP, dan
SMA. Hal ini yang membuat mereka sulit untuk memahami dan
mengidentifikasi kebutuhan dan masalah apa saja yang ada, dan
merumuskan program apa yang harus menjadi prioritas. Serta tingkat
perekonomian yang rendah merupakan salah satu faktor penghambat
partisipasi karena hal inilah yang menyebabkan masyarakat Kampung
Pasir Ipis menjadi masyarakat patembayan. Masyarakat yang patembayan
pula yang menjadi penghambat pembangunan sosial, karena pada
akhirnya pembangunan tersebut hanya terfokus pada pembangunan
ekonomi semata.
Selain faktor penghambat dari dalam atau internal ada pula faktor
penghambat dari luar atau eksternal yaitu hambatan keuangan atau
finansial, serta keterbatasan waktu karena kesibukan masing-masing dan
kurangnya perhatian pemerintah. Selain hambatan finansial, kurangnya
rasa kepercayaan atau trust dan kurangnya koordinasi juga menjadi faktor
penghambat partisipasi komunitas dalam pembangunan wisata di
kampung Pasir Ipis.
98 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Pada dasarnya partisipasi komunitas dalam pembangunan wisata


Kampung pasir Ipis memang sudah cukup baik, mereka sudah memilik
kemauan dan kemampuan untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan
wisata yang diwujudkan dalam keikutsertaan komunitas dalam
memberikan bantuan dalam bentuk tenaga dan materi atau uang. Hanya
saja hambatan-hambatan baik dari internal maupun eksternal
mempengaruhi motivasi mereka dalam bertindak dan berpartisipasi.
Wahyu Gunawan, dkk.| 99

DAFTAR PUSTAKA
Deviyanti, D. (2013). Studi tentang Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan di Kelurahan Karang Jati Kecamatan Balikpapan
Tengah. Jurnal Administrasi Negara, 1, 380-394.
Dokumen Master Plan & Rencana Kerja Tahunan Model Desa
Konservasi 2013 Desa JayaGiri Kec. Lembang Kab. Bandung
Barat, Jawa Barat. CWMBC
Laporan Profil Desa Jayagiri, Kec. Lembang, Kab. Bandung Barat, Jawa
Barat Tahun 2013. Kecamatan Lembang Desa Jayagiri
LESTARI-NIM, S. U. S. I. (2010). Pengembangan Desa Wisata Dalam
Upaya Pemberdayaan Masyarakat Studi Di Desa Wisata Kembang
Arum, Sleman. Skripsi, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga.
Soerjono, Soekanto. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali
Pers.
Tim Penyusun. (2011). Buku Pedoman Penyusun dan Penulisan Skripsi.
Program Sarjana Universitas Padjadjaran
100 | Tahapan Pembangunan Masyarakat
POLA PENGENDALIAN
6 SOSIAL KOMUNITAS
PENGEMBANG KAMPUNG
WISATA PASIR IPIS
Noviyanti Arlina Sa’adiah

PENDAHULUAN
❖ Pengendalian Sosial Komunitas Pengembang Kampung
Wisata Pasir Ipis
Sektor pariwisata menjadi salah satu potensi daerah yang banyak
dikembangkan masyarakat Indonesia. Melimpahnya kekayaan alam
Indonesia dan uniknya budaya lokal yang dimiliki, memberikan daya tarik
tersendiri bagi para wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Memanfaatkan potensi alam yang cukup melimpah, masyarakat di
berbagai daerah Indonesia kini memaksimalkan sektor pariwisata dengan
membangun kawasan desa wisata1.
Pariwisata di Indonesia telah mendukung pencapaian hasil dan
kemajuan yang ditunjukan dengan meningkatnya penerimaan Produk
Domestik Bruto (PDB). Melihat besarnya peran kontribusi pariwisata
bagi negara, banyak negara yang menjadikan kepariwisataan sebagai salah
satu sektor andalan dalam perekonomian suatu bangsa. Pembangunan
kepariwisataan sebagai salah satu pemberantasan kemiskinan, salah
satunya adalah dengan pengembangan wisata yang mengikutsertakan
komunitas lokal. Dengan cara-cara dan program-program yang
direncanakan dengan tepat mengenai pengembangan kepariwisataan
yang dapat memberikan kontribusi secara siginifikan dan memberikan
peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal.
Menurut Sunaryo (2013), pariwisata adalah keseluruhan rangkaian
kegiatan yang berhubungan dengan gerakan manusia yang melakukan

1 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. 2013. Analisis Pasar
Desa Wisata di D.I Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
101
102 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

perjalanan atau persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke suatu


atau beberapa tempat tujuan diluar lingkungan tempat tinggal yang
didorong oleh beberapa keperluan tanpa bermaksud mencari nafkah.
Pariwisata merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian yang
perlu diberi perhatian lebih agar dapat berkembang dengan baik sejalan
dengan dinamika, gerak perkembangan pariwisata merambah dalam
berbagai terminologi seperti, sustainable tourism development, rural tourism,
ecotourism, merupakan pendekatan pengembangan kepariwisataan yang
berupaya untuk menjamin agar wisata dapat dilaksanakan di daerah
tujuan wisata bukan perkotaan. Salah satu pendekatan pengembangan
wisata alternatif adalah desa wisata untuk pembangunan pedesaan yang
berkelanjutan dalam bidang pariwisata2.
Menurut Fennerl (dalam Sunaryo, 2013) melihat pariwisata
sebagai sistem, berarti analisis mengenai berbagai aspek kepariwisataan
tidak bisa dilepaskan dari sub sistem yang lain, seperti politik, sosial
ekonomi, budaya dan seterusnya, dalam hubungan saling ketergantungan
dan saling terkait (interconnectedness). Sebagai sebuah sistem, antar
komponen dalam sistem tersebut terjadi hubungan interpedensi, yang
berarti bahwa perubahan pada salah satu sub sistem akan menyebabkan
juga terjadinya perubahan pada sub sistem yang lainnya, sampai akhirnya
kembali ditemukan harmoni yang baru. Pariwisata adalah sistem dari
berbagai elemen yang tersusun seperti sarang laba-laba. “Like a spider’s
web-touch one part of it and refer beration will bi felt throught hout” (Fennel,
1999)3.
Menurut Pitana dan Gayatri, dalam sistem pariwisata ada banyak
aktor yang berperan dalam menggerakkan sistem. Aktor tersebut adalah
insan-insan pariwisata yang ada pada berbagai sektor. Secara umum,
insan pariwisa dikelompokkan dalam tiga pilar utama, yaitu : (1)
masyarakat, (2) swasta, dan (3) pemerintah. Masyarakat yang dimaksud
adalah masyarakat umum yang ada pada destinasi, sebagai pemilik sah
dari berbagai sumber daya yang merupakan modal pariwisata seperti
kebudayaan. Dimasukkan kedalam kelompok masyarakat ini juga tokoh-
tokoh masyarakat, intelektual, lembaga sosial masyarakat (LSM), dan
media masa. Selanjutnya dalam kelompok swasta adalah asosiasi usaha

2 Sunaryo, Bambang. 2013. “Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata (Konsep


dan Aplikasinya di Indonesia)”. Gava Media. H-3.
3Ibid. h-4.
Wahyu Gunawan, dkk.| 103

pariwisata dan para pengusaha, sedangkan kelompok pemerintah adalah


pada berbagai wilayah administrasi, mulai dari pemerintah pusat, negara
bagian, provinsi, kabupaten, dan seterusnya4.
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa pariwisata adalah suatu kegiatan atau perjalanan individu maupun
kelompok dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan tujuan untuk
bersenang-senang/rekreasi dengan berbagai kegiatan pariwisata.
Didalam pengembangan pariwisata pasti terdapat adanya dampak-
dampak yang tidak diharapkan dalam proses pengembanganya seperti,
munculnya kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat dan
memburuknya ketimpangan ekonomi. Selain kesenjangan dan
memburuknya ketimpangan ekonomi, dalam proses pengembangan
kawasan wisata juga terdapat dampak negatif yang tidak diharapkan
antara lain masalah yang sering ditemui dalam pengembangan pariwisata
adalah masalah pencemaran lingkungan juga menjadi salah satu dampak
negatif, seperti meningkatnya jumlah sampah, pencemaran dari sektor
limbah dan masalah-masalah negatif lainnya.5
Berbagai dampak negatif tersebut disebabkan karena
pengembangan pariwisata semata-mata dilakukan hanya dengan
pendekatan ekonomi dan pariwisata dipresepsikan sebagai instrumen
untuk meningkatkan pendapatan, terutama oleh bidang usaha swasta dan
pemerintah. Sementara itu banyak ahli yang menyadari bahwa pariwisata,
meskipun membutuhkan lingkungan yang baik, namun bilamana dalam
pengembangannya tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan
ketimpangan lingkungan terhadap jumlah wisatawan yang akan
menimbulkan dampak negatif seperti yang sudah dijelaskan di atas6. Salah
satu faktor terpenting untuk menangani hal tersebut yaitu dengan cara
merubah pola perilaku masyarakat dan pengunjung kawasan wisata untuk
sekedar mengetahui dan memahami tentang pentingnya menjaga
lingkungan dengan baik.
Selain dampak negatif, dalam proses pengembangan sektor
pariwisata juga terdapat beberapa dampak positif, salah satu dampak

4 Ibid.
5 Zulfitri, “Pemberdayaan Masyarakat Melalui CSR” PT. Indocement Tunggal
Prakarsa TBK. 30 September 2011: (diakses pada tanggal 10 Juni 2015). H.4-
10.
6 Ibid. H-11
104 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat adalah meningkatkan


pendapatan bagi masyarakat yang bekerja di kawasan pariwisata tersebut.
Selain itu, masyarakat menjadi lebih ingin mempelajari budaya serta adat
istiadat agar bisa disajikan kepada wisatawan dan dapat menjadikan objek
wisata tersebut menjadi lebih menarik karena pertunjukan budaya yang
disuguhkan lebih beragam. Masyarakat bisa menguasai beberapa bahasa
asing agar bisa berkomunikasi dengan wisatawan asing guna menambah
pengetahuan dan pengalaman. Tidak hanya itu, masyarakat juga dapat
mengambil keuntungan agar wisatawan lebih akrab dalam suasana
kekeluargaan 7.
Manusia merupakan mahluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri,
dia selalu membutuhkan interaksi antara sesama. Dari interaksi ini, akan
membentuk kontak sosial yang dapat menghasilkan suatu keserasian,
ketegangan, maupun kesatuan8. Setiap masyarakat menginginkan rasa
aman dan tentram, dalam kehidupannya. Harapan ini menginginkan agar
masyarakat patuh kepada nilai dan norma yang berlaku. Namun pada
kenyataannya nilai dan norma tersebut tidak selamanya sesuai dan akan
dipatuhi. Hal ini dikarenakan pemikiran dan latar belakang seseorang
yang berbeda, sehingga dapat mendorong munculnya penyimpangan
Untuk mengatasi maupun mencegah tindakan menyimpang, maka
diperlukan suatu alat yang disebut pengendalian sosial.
Masyarakat dalam kehidupannya memiliki suatu aturan atau
norma yang menjadi acuan dan pegangan untuk bertindak. Aturan dan
norma inilah yang sering digunakan untu mencapai suatu keteraturan.
Keadaan ini dapat disadari sebagai pola pengendalian sosial sehingga
dapat terciptanya ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pengendalian sosial menurut Roucek diartikan sebagai proses,
baik yang direncanakan atau tidak, yang bersifat mendidik, mengajak,
atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi khaidah-khaidah
dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Namun adapula yang mendefinisikan
pengendalian sosial adalah suatu sistem yang menekankan dan

7 Sunaryo, Bambang.” Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata (Konsep dan


aplikasinya di Indonesia)”. Gava Media. 2013. H-70.
8 Mudiyono. “Sistem Pengendalian Sosial Tradisional Desa Tiang Tanjung Provinsi

Kalimantan Barat.” Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIrektorat


Jendral Kebudayaan. 1990. H-1.
Wahyu Gunawan, dkk.| 105

menghukum manusia yang menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam


masyarakat9. Sistem ini mendorong warga masyarakat untuk berperilaku
sesuai dengan adat dan hukum yang berlaku demi keteraturan dan
kelangsungan kehidupan masyarakat.
Soerjono (dalam Roucek) juga mengatakan bahwa pengendalian sosial
akan terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok
lain, atau apabila kelompok mengendalikan perilaku anggotanya, atau
kalau individu-individu memmengaruhi tingkah laku pihak lain, baik hal
tersebut sesuai atau tidak dengan kehendaknya. 10

Roucek juga mengartikan sistem pengendalian sosial (social


control) yang kadangkala disebut kontrol sosial, adalah suatu proses, baik
yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk
mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar
mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Pengendalian sosial
terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain,
kelompok mengendalikan perilaku anggotanya, atau kalau individu-
individu memengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan kata lain,
pengendalian sosial terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk
bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik hal tersebut
sesuai dengan kehendaknya maupun tidak, adapun hakikat pengendalian
sosial adalah sebagai perwujudan adanya kebebasan warga masyarakat
yang bertanggung jawab11.
Pengendalian sosial menurut Soerjono merupakan suatu kekuatan
untuk mengorganisir tingkah laku sosial budaya yang dilakukan oleh
masyarakat dalam kehidupannya. Pengendalian sosial mempunyai
kekuatan yang membimbing manusia. Di samping itu, telah menjadi
kenyataan pula bahwa kehidupan suatu masyarakat, senantiasa diatur
oleh norma-norma atau kaidah-kaidah yang memungkinkan mereka
dapat melaksanakan fungsinya masing-masing, baik secara pribadi
maupun untuk kepentingan kelompok masyarakat serta keseluruhan.

9 Roucek, J.S (dalam Soekanto, Soerjono & Heri Tjandrasari, S.H). “


Pengendalian Sosial”. 1987. Rajawali Jakarta. H-2.
10 Ibid.
11 Roucek, J.S (dalam Soekanto, Soerjono & Heri Tjandrasari, S.H). “

Pengendalian Sosial “. 1987. Rajawali Jakata. H.3-4.


106 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Semakin taat dan tertiblah kehidupan mereka dan demikian pula


sebaliknya. Pengendalian sosial terjadi pada tiga taraf yakni :
1) Kelompok terhadap Kelompok
Pengendalian sosial antara kelompok dan kelompok lainnya,
terjadi ketika suatu kelompok mengawasi kelompok lainnya.
Pengendalian sosial dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari
agar keserasian dan stabilitas dalam kehidupan sehari - hari
tercapai. Dengan pengendalian sosial ini, diharapkan
penyimpangan yang terjadi dimasyarakat dapat berkurang
khususnya penyimpangan yang dilakukanoleh para anak-anak
remaja. Oleh karena itu pengendalian sosial harus mendapat
perhatian yang mendalam dan mendasar.
2) Kelompok terhadap anggotanya
Pengendalian sosial antara individu dan kelompok terjadi ketika
individu mengawasi suatu kelompok.
3) Individu terhadap individu
J.S Roucek, mengatakan bahwa pengendalian sosial antara
individu dan individu lainnya, dimana individu yang satu
mengawasi individu yang lainnya. Misalnya, seorang ayah yang
mendidik anak-anaknya untuk menaati peraturan dalam
keluarga. Hal ini merupakan contoh dari pengendalian sosial
yang pada dasarnya pengendalian sangat lazim dalam kehidupan
sehari-hari, meskipun kadang-kadang tidak disadari. Dengan
pemahaman lain, pengendalian sosial terjadi apabila seseorang
diajak atau dipaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan
keinginan fihak lain, baik hal tersebut sesuai dengan
kehendaknya maupun tidak12.

Kesimpulan dari beberapa konsep yang telah dipaparkan


menyatakan bahwa pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang
mengacu pada proses terencana dimana individu dibujuk, diajak, bahkan
dipaksai untuk menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta nilai dan
norma yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Pengendalian sosial
adalah titik keberlanjutan dari proses sosialisasi dan berhubungan dengan
cara dan metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar
berperilaku selaras dengan kehendak kelompok atau masyarakat yang jika

12 Ibid. H-2.
Wahyu Gunawan, dkk.| 107

dijalankan secara efektif, perilaku individu akan konsisten dengan tipe


perilaku yang diharapkan. Proses-proses pengendalian sosial dilakukan
secara terus menerus maka secara tidak langsung akan membuat perilaku
individu sesuai dengan nilai-nilai dan pola-pola atau aturan-aturan yang
telah disepakati secara bersama oleh seluruh lapisan masyarakat tertentu.
Pengendalian sosial diartikan sebagai suatu proses, baik yang
direncanakan atau tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan
memaksa warga masyarakat agar mematuhi khaidah-khaidah dan nilai-
nilai sosial yang berlaku. Setiap orang pasti selalu menciptakan hubungan
dengan orang lain untuk membentuk suatu interaksi dalam kelompok
dengan tujuan untuk mencapai apa yang diinginkan. Tentunya, harapan
itu akan menjadi kenyataan bilamana setiap warga masyarakat dalam
pergaulannya berhasil menunjukan peranan yang diharapkan (role of
expectation). Oleh karena itu, tindakan-tindakan manusia di dalam
kelompoknya biasanya diatur oleh pengendalian sosial.
Dalam upaya pengembangan kawasan wisata pada saat proses
pembangunannya, pasti terdapat suatu permasalahan, baik permasalahan
tersebut terjadi antar individu, individu dengan kelompok maupun
kelompok dengan kelompok yang dimana pada dasarnya setiap proses
pembangunan pasti ditandai dengan permasalahan terlebih dahulu baik
permasalahan tersebut berupa penolakan atas pembangunan kawasan
wisata, maupun permasalahan pribadi yang berhubungan dengan
pengembangan kawasan wisata.

❖ Sejarah Kampung Wisata Pasir Ipis


Desa Jayagiri merupakan salah satu desa potensial yang berada di
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Desa Jayagiri
merupakan hasil pemekaran dari Desa Lembang pada tahun 1980 melalui
SK Gubernur No : 1268/Pm.122-Pem/SK/80. Desa Lembang
dimekarkan menjadi 2 (dua) desa yaitu Desa Jayagiri dan Desa
Lembang.13
Desa Jayagiri merupakan sebuah desa yang terletak di daerah
Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Desa Jayagiri berbatasan langsung

13 Dilansir dari Facebook Resmi Kampung Wisata Pasir Ipis, di Desa Jayagiri,
Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Diakses pada tanggal 7 Desember
2015. Pukul 10:26 WIB.
Https://www.Facebook.com/jiban.wg/about?section=bio&pnref=about
108 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

dengan Kabupaten Subang, Jawa Barat. Desa Jayagiri berbatasan


langsung dengan hutan kecamatan Subang di sebelah utara dan dengan
Desa Lembang, Kecamatan Lembang di sebelah selatan, serta di sebelah
timur berbatasan dengan Desa Cibogo, Kecamatan Lembang dan di
sebelah barat dengan Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang. Karena
terletak di tengah-tengah Kecamatan Lembang, maka trasportasi yang
dapat digunakan untuk mencapai Desa Jayagiri adalah angkutan kota,
ojek dan delman. Desa Jayagiri terbagai menjadi dua wilayah
pembangunan. Wilayah pertama adalah wilayah depan terdiri dari RW.01,
RW.02, RW.03, RW.04, RW.05, RW.07, RW.09, RW.12, RW. 15, RW.18,
dan RW.19 yang memiliki gerak perekonomian cukup cepat karena
aksesibilitas yang mudah dicapai. Pada wilayah ini terdapat pusat-pusat
perbelanjaan, sarana penginapan serta area istirahat untuk para
pengunjung wisata yang berhaluan ke Tangkuban perahu dan sekitarnya.
Sedangkan pada wilayah kedua terdiri dari RW.06, RW.08, RW.10,
RW.11, RW.13, RW.14, RW.16, dan RW.17 yang gerak
perekonomiannya tidak cukup cepat khususnya kondisi masyarakat yang
timpang ekonomi terdapat pada RW.06, RW.08, RW.11, dan RW.16 yang
aksesnya lebih jauh serta mengandalkan pada sektor pertanian.
Desa Jayagiri memiliki potensi di bidang perkebunan, peternakan
dan kehutanan, namun masih terkendala karena tidak adanya lahan.
Dilihat dari potensi pengembangan, kampung wisata Pasir Ipis adalah
kampung wisata debutan baru dari masyarakat kampung Pasir Ipis RT.05
RW.06 Desa Jayagiri. Kampung Wisata Pasir Ipis ini didukung
sepenuhnya oleh Administratur Perhutani Bandung Utara, Asper KPH
Bandung Utara, Komisi 2 DPRD Kabupaten Bandung Barat, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Kabupaten Bandung Barat,
Program studi Sosiologi FISIP Unpad, Great Nusantara, Yahintara
KPPKBB, dan sebagainya14.
Kampung Wisata Pasis Ipis yang terletak di Desa Jayagiri
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat merupakan
salah satu contoh pengembangan kampung wisata yang potensial.
Kampung Wisata Pasir Ipis telah berdiri sejak tahun 2011, awal mulanya
kampung wisata Pasir Ipis didirikan oleh beberapa warga masyarakat
setempat yang tergabung dalam kelompok sadar wisata (POKDARWIS),
Karang Taruna Pasir Ipis dan juga para pemuda Lembang (PEDANG),

14 Ibid.
Wahyu Gunawan, dkk.| 109

Kelompok Tani Hutan dan Masyarakat RW.06 Kampung Pasir Ipis yang
mempunyai keinginan untuk mengembangkan potensi-potensi alam yang
berlimpah, kearifan budaya lokal yang khas dan situs peninggalan sejarah
Belanda “Benteng” yang terletak di kawasan kampung wisata Pasir Ipis
tersebut. Potensi-potensi serta kearifan budaya lokal khas yang terdapat
di kampung wisata Pasir Ipis dapat menjadi daya tarik bagi pengunjung
untuk datang15.
Berwisata di kampung wisata Pasir Ipis semua wisatawan dapat
berinteraksi dengan sesamanya melalui permainan tradisional berbasis
budaya Sunda dan kesadaran lingkungan, juga dapat melihat Benteng
Pasir Ipis yang masih misteri dan Curug Cikondang yang menawan, serta
hiking di hutan yang bebas polusi, Selain itu kampung wisata Pasir ipis
menawarkan kuliner dengan konsep “Botram”. Karena lahannya yang
tidak terlalu besar untuk saat ini kawasan wisata Pasir Ipis lebih tepat
disebut sebagai Kampung Wisata dibandingkan dengan Desa Wisata
karena dalam pembagunannya Pasir Ipis masih memerlukan jangka
waktu yang cukup panjang dan penyelesaian masalah.
Desa Jayagiri memiliki berbagai potensi yang cukup tinggi. Desa
Jayagiri memiliki potensi alam yang banyak dan kenaekaragaman daya
tarik wisata baik bersifat alam maupun budaya, potensi sumber daya
manusia, kelembagaan dan lain-lain yang dapat dikembangkan menjadi
daerah tujuan wisata yang layak diperhitungkan untuk dikunjungi.
Berbagai potensi tersebut sebenarnya dapat dikembangkan lebih baik.
Tetapi dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala seperti
kendala pada pengembangan potensi tanaman pangan. Kendala lainnya
adalah di Desa Jayagiri banyak lahan kritis dan lahan yang sudah
berkembang. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa
Jayagiri menjadi kawasan wisata masih kurang. Kesadaran masyarakat
dalam mengembangkan tanaman apotik hidup juga masih belum
maksimal, sehingga masih belum berkembang secara maksimal serta
kurang memperhatikan kebersihan lingkungan karena tidak memiliki
tempat pembuangan sampah yang memadai.
Kampung wisata Pasir Ipis memiliki potensi yang cukup untuk
sektor peternakan yaitu dengan banyaknya ternak sapi yang dimiliki oleh
penduduk dan potensi alam lainnya yang dapat dimiliki. Desa Jayagiri
sendiri memiliki potensi di bidang wisata, namun masih berjalan sendiri-

15 Ibid.
110 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

sendiri, tidak terintegrasi satu sama lainnya antara pemerintah,


masyarakat dan swasta.

❖ Pola Pengendalian Sosial Komunitas Pengembang Kampung


Wisata Pasir Ipis
Pengendalian sosial berkaitan erat dengan nilai dan norma. Bagi
masyarakat, norma sosial mengandung harapan yang dijadikan sebagai
pedoman untuk berperilaku. Pengendalian sosial merupakan mekanisme
untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan mengarahkan anggota
masyarakat untuk bertindak menurut norma dan nilai yang melembaga.
Apabila pengendalian sosial tidak diterapkan, maka mudah terjadi
penyimpangan dan tindak amoral lainnya. Pengendalian sosial bertujuan
untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut Horton (19840, tujuan dari pengendalian sosial di dalam
kehidupan masyarakat adalah terciptanya suatu keadaan serasi, antara
stabilitas dan perubahan di masyarakat sebelum terjadinya perubahan,
dalam masyarakat sudah terkondisi suatu keadaaan yang stabil, selaras,
seimbang dan sebagainya. Dengan adanya perubahan menyebabkan
terjadi keadaan yang tidak stabil. Tujuan pengendalian sosial untuk
memulihkan keadaan serasi seperti sebelum terjadinya perubahan. Untuk
memulihkan keadaan yang serasi diperlukan adanya pola pengendalian
sosial dalam bentuk sosialisasi, edukasi, persuasi dan koersi dalam
mengajak individu maupun kelompok untuk berperilaku sesuai dengan
nilai & norma, adat istiadat yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat
agar keserasian di dalam kehidupan masyarakat bisa kembali tercapai dan
teratur16.
Pengendalian sosial menurut Tarigan (2013) memiliki unsur
didalamnya yaitu sifat pengendalian sosial dan pola pengendalian sosial.
Kedua elemen dalam unsur tersebut saling berkaitan dengan pelaksanaan
maupun penggambaran pengendalian sosial di kelompok masyarakat
untuk mencapai keteraturan sosial. Penjelasan kedua elemen tersebut
akan penulis jabarkan sebagai berikut:
1) Sifat pengendalian sosial

16 Horton, Paul B. & Chester K. Hunt. 1984. “Sosiologi” Jakarta: Penerbit


Erlangga, h.177-178.
Wahyu Gunawan, dkk.| 111

Sifat-sifat pengendalian sosial terbagi menjadi dua yaitu sifat


pengendalian sosial preventif dan juga represif:
a. Pengendalian sosial Preventif
Sifat pengendalian preventif adalah segala bentuk pengendalian
sosial yang berupa pencegahan atas perilaku menyimpang
(deviation) agar kehidupan sosial tetap kondusif (konformis).
Adapun keadaan konformis dari kehidupan sosial hanya akan
tercapai jika perilaku sosial dalam keadaan terkendali. Dengan
demikian, tindakan pencegahan adalah kemungkinan terjadinya
pelanggaran terhadap norma sosial yang berlaku.
b. Pengendalian Sosial Represif
Menurut Setiadi (2011:255-256), pengendalian sosial secara
represif adalah bentuk pengendalian sosial yang bertujuan untuk
mengembalikan kekacauan sosial atau mengembalikan situasi
menyimpang menjadi keadaan kondusif kembali. Dengan
demikian, pengendalian sosial represif merupakan bentuk
pengendalian dimana peyimpangan sosial sudah terjadi
kemudian dikembalikan lagi agar situasi sosial menjadi kembali
normal. Yaitu situasi dimana masyarakat mematuhi norma
sosialnya kembali17.
2) Bentuk Pola Pengendalian Sosial
a. Pengendalian sosial secara sosialisasi
Fromm (dalam Horton, 1999:177-190) mengatakan apabila
suatu masyarakat ingin berfungsi secara efektif, maka para
anggota masyarakat harus berperilaku sesuai dengan nilai dan
norma sosial yang mengatur pola hidup dalam masyarakat
tersebut. Dalam proses sosialisasi, individu-individu yang
menjadi anggota masyarakat dikendalikan sehingga tidak
melakukan perilaku menyimpang. Agar angota masyarakat dapat
berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.
Diperlukan proses penanaman nilai dan norma yang disebut
dengan pola sosialisasi.

17 Setiadi dalam (Varyani, Sulistyarini, Rustiyarso).”ANALISIS


PENGENDALIAN SOSIAL PERILAKU MENYIMPANG SISWA
BERMASALAH DI SMA”. Pontianak: Progam Studi Pendidikan Sosiologi
FKIP Untan. H. 13-14.
112 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

b. Pengendalian sosial secara edukasi


Pengendalian sosial secara edukasi dimaksudkan kepada cara
dan sifat penyampaian yang bersifat edukasi. Edukasi disini
adalah interaksi yang dilakukan dalam ikatan tujuan pendidikan.
Interaksi edukasi ini dapat digunakan untuk pengendalian sosial
sebagai penjelasan mengenai nilai dan norma yang ada dan
pentingnya kita sebagai masyarakat untuk mematuhi nilai dan
norma tersebut. Selain itu, pengendalian secara edukatif lebih
fleksibel dalam penyampaiannya. Pengendalian secara edukasi
dapat dilakukan melalui obrolan biasa dengan teman sebaya, bisa
juga dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya dan juga dari
guru kepada muridnya yang tidak memerlukan prosedur
sistematis seperti sosialisasi. Hal terpenting dari interaksi
edukatif ini adalah konten atau isi yang disampaikan oleh
seseorang sebagai informan kepada orang lain yang ditujukannya
yaitu adanya pemberian pemahaman mengenai harusnya
menerapkan nilai dan norma yang ada dalam kehidupan
masyarakat.
c. Pengendalian sosial secara persuasif
Pengendalian sosial secara persuasif dilakukan dengan cara
halus, membimbing atau mengajak individu untuk mematuhi
atau berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat
bukan dengan cara kekerasan. Dengan kata lain, ketika seseorang
telah melakukan penyimpangan maka sanksi yang diberikan
adalah dengan rehabilitasi, dinasehati atau diajak untuk
melakukan yang bermanfaat. Akan tetapi tidak semua
penyimpangan mampu diselesaikan dengan cara ini, karena
setiap penyimpangan memiliki cara tersendiri untuk membuat
pelaku akan kembali ke nilai dan norma yang berlaku.
d. Pengendalian sosial secara koersif
Ada kalanya pengendalian sosial dilakukan dengan cara koersif
artinya pengendalian sosial secara koersif dilakukan melalui
tekanan sosial atau paksaan. Karena penyimpangan yang telah
Wahyu Gunawan, dkk.| 113

berulang-ulang kali atau yang telah merugikan orang banyak


hendaknya dilakukan dengan paksaan18.

Pembangunan di kampung wisata Pasir Ipis baik komunitas


pengembang lokal dan komunitas saling membutuhkan satu sama lain.
Karena mereka mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membangun
kampung Pasir Ipis menjadi kampung wisata yang dapat memberikan
banyak manfaat bagi masyarakat lokal dan masyarakat umum. Idealnya
dalam setiap pembangunan kawasan wisata pasti ditandai dengan
beberapa masalah dan hambatan. Untuk meminimalisir masalah dan
hambatan tersebut komunitas pengembang harus memiliki pemahaman
mengenai pengendalian sosial untuk membantu komunitas dalam
mengendalikan, mengajak, bahkan memaksa komunitas pengembang lain
serta masyarakat lokal dalam pembangunan wisata ini untuk berperilaku
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat agar tercapai
suatu keteraturan sosial dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis
ini.
Dalam konteks pengendalian sosial di kampung wisata Pasir Ipis
ini yang melakukan pengendaliannya adalah komunitas pengembang
kepada masyarakat, dimana terlaksanakannya pengendalian sosial harus
dipantau atau di kontrol agar sesuai dengan harapan. Kontrol yang
dilakukan harus dilakukan oleh semua pihak baik dari pihak komunitas
pengembang ataupun masyarakat. Komunitas pengembang harus
mengontrol masyarakat agar terlihat bahwa pengdalian sosial sudah
sesuai atau belum, sama halnya dengan masyarakat yang harus
mengontrol komunitas pengembang agar pola pengendalian sosial
terlaksana sesuai dengan tujuan awal komunitas pengembang dalam
pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
Pembangunan kampung wisata Pasir Ipis tidak sepenuhnya
berjalan lancar walaupun pada tahap perencanaan dan pembangunan
sudah berjalan namun dalam proses pembangunan sampai
pengembangannya ditemui banyak kendala dan adanya konflik yang
dirasakan oleh komunitas pengembang dalam pembangunan kampung
Pasir Ipis. Pola pengendalian sosial yang dilakukan oleh komunitas
pengembang dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis ini

18 Horton, Paul B. & Chester K. Hunt. 1984. “Sosiologi”. Jakarta: Penerbit


Erlangga. H. 177-190.
114 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

memang sudah dirasa cukup oleh beberapa komunitas pengembang


namun pola seperti apa yang diterapkan oleh komunitas pengembang
dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat diuraikan bahwa
dalam proses pengembangan kampung wisata Pasir Ipis masih banyak
hambatan yang dialami baik oleh komunitas pengembang, stakeholder
dan juga masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh beberapa informan
selaku anggota komunitas PEDANG dan Karang Taruna.
“Memang kalau konflik besar sejauh ini belum ada, kalau hambatan-
hambatan sih banyak, hambatan dana, hambatan waktu, partisipasi
mayarakat yang masih kurang, kurang sumber daya manusia yang
bergabung, dan kepercayaan masing-masing komunitas. Hal tersebut
merupakan kendala yang bisa menjadi konflik jika terus-menerus
keulang, kita sudah berusaha semaksimal mungkin dalam pengembangan
kampung wisata ini namun masih belum ada hasil yang pasti yang
dirasakan” (AS, 40 Tahun).

Adapun pernyataan lain dari hasil wawancara dengan salah satu


stakeholder yaitu Universitas Padjadjaran mengenai konflik yang ada
dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
“Hambatan paling awal yang dirasakan, kurangnya partisipasi dari
lembaga sehingga relasi sosial untuk membuat solidaritas antara Sosiologi
Unpad dengan komunitas pengembang kampung wisata Pasir Ipis tidak
terealisasikan dengan baik. konflik finansial juga sangat jelas karena
pembangunan infrastruktur juga jadi terhambat, konflik kepercayaan
antar masing-masing komunitas, partisipasi masyarakat yang rendah,
masyarakat dan komunitas masih bergantung satu sama lain dan belum
mandiri. pengembang dalam upaya membangun kampung wisata ini,
kepentingan yang berbeda antar sesama anggota kelompok dan
masyarakat, komunitas dan konflik internal lainnya” (WG, 50 Tahun).

Konflik yang terdapat dalam pembangunan kampung wisata


Pasir Ipis memang bukan konflik yang besar melainkan hanya hambatan-
hambatan yang membuat masalah bagi komunitas pengembang dalam
membangun kampung wisata, namun jika masalah dan hambatan
tersebut terjadi secara berulang maka akan berpotensi menjadi sebuah
konflik. Sosialisasi, edukasi, persuasi dan koersi merupakan suatu bentuk
dari pola pengendalian sosial. Dalam pembangunan kampung wisata
Wahyu Gunawan, dkk.| 115

Pasir Ipis pengendalian sosial menjadi aspek penting karena pengendalian


sosial mengajekan dan meluruskan kembali antara perencanaan sosial
dengan tujuannya serta aplikasinya agar kembali kepada realnya
pembangunan komunitas yaitu kemandirian masyarakat. Dari tahap awal
perencanaan sampai dengan tahap pengembangan kampung wisata Pasir
Ipis, stakeholder sudah lebih dahulu melakukan pola-pola pengendalian
sosial kepada masyarakat dan juga komunitas pengembang dalam
rencana membangun kampung wisata Pasir Ipis. Hal ini dikuatkan oleh
hasil wawancara dengan beberapa informan:
“Pola pengendalian sosial memang sudah dilakukan namun, pada tahap
awal perencanaan kampung wisata Pasir Ipis kesepakatan mengenai
pembentukan pola pengendalian sosial tidak dibentuk dengan baik, tidak
dikemas sebaik mungkin. Sehingga pola pengendalian sosial yang
dilakukan hanya sekedar sosialisasi, persuasi dan edukasi. Seharusnya
pengendalian sosial pada tahap awal perencanaan harus dibentuk dengan
baik. ”(GGSS, 44 Tahun).
“Segala macam bentuk pengendalian sosial sudah kita lakukan,
sebetulnya pola pengendalian sosial itu tidak gampang dalam sebuah
pembangunan kampung wisata seperti ini, namun pengendalian sosial
sangat dibutuhkan dalam pembangunan komunitas, padahal sosialisasi
jalan, pola edukasi sudah kita terapkan pada awal perencaan kita
mengajak para komunitas dan masyarakat untuk diberikan pengetahuan
mengenai rencana pembangunan kampung wisata pasir ipis ini, secara
ajakan dan paksaan juga sudah kami terapkan walau pola koersif masih
jarang diterapkan karena konflik yang ada masih belum terlalu besar.”
(WG, 50 Tahun).

Untuk membangun mentalitas komunitas serta masyarakat,


stakeholder bersama PEDANG pada tahap awal pembangunan sudah
melakukan pola pengendalian sosial terlebih dahulu kepada komunitas
pengembang kampung wisata Pasir Ipis serta masyarakat setempat untuk
rencana pembangunan kampung Pasir Ipis agar berjalan baik
kedepannya.
Pada tahap perencanaan awal komunitas dan masyarakat kurang
memiliki inisiatif, mereka cenderung hanya mengikuti program-program
yang diberikan oleh para stakeholders tanpa mengetahui apa saja manfaat
dan hasil yang akan diterima. hal tersebut seperti yang dikatakan oleh
beberapa informan selaku pengelola.
116 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

“Partisipasi masyarakat memang rendah, sekalipun sudah diberikan


sosialisasi masih seperti tidak peduli, komunitas lain juga suka
memberikan opini tapi ujung-ujungan kalah malah ngikut juga ke kita,
tidak bisa mempertahankan opini mereka jadi ikut-ikutan aja (AS, 40
Tahun).

Sama halnya dengan dengan komunitas pengembang, partisipasi


masyarakat lokal pun masih sangat minim karena mereka hanya
menerima saja keputusan yang ada, dan program-program yang akan atau
yang sedang berlangsung. Selain itu pola pikir masyarakat yang masih
instan juga menjadi salah satu hambatan karena masyarakat masih tidak
ingin menunggu proses yang lama dalam pembangunan kampung wisata
Pasir Ipis.
“Masyarakat apa-apa masih menunggu aba-aba, tidak ada pergerakan
serius dalam pembangunan kampung wisata ini, pola pikir masyarakat
masih pada instan, ngga mau nunggu proses lama yang membuahkan hasil
begitu besar” (WG, 50 Tahun).

Banyak masyarakat dan anggota komunitas pengembang yang


masih tidak tahu akan tujuan dari perencanaan pembangunan kampung
wisata Pasir Ipis maka masih banyak dari mereka yang masih bergantung
satu sama lain dan tidak bergerak sendiri. Dibutuhkan pola pengendalian
sosial yang serius secara sosialisasi, edukasi, persuasi bahkan koersif jika
terus terulang.

❖ Pola Sosialisasi Komunitas Pengembang Kampung Wisata


Pasir Ipis
J.S Roucek mengatakan pada taraf kehidupan bersama,
pengendalian sosial merupakan suatu kekuatan untuk mengorganisasi
tingkah laku sosial budaya. Pengendalian sosial membimbing manusia
berpilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Pengendalian
sosial terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah laku
sesuai dengan keinginan pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan
kehendaknya atau tidak.19.

19 Roucek, J.S (dalam Soekanto, Soerjono & Heri Tjandrasari, S.H). “Pengendalian
Sosial”. 1987: Rajawali Jakarta. H. 3.
Wahyu Gunawan, dkk.| 117

Pola pengendalian secara sosialisasi menurut Fromm mengatakan


apabila suatu masyarakat ingin berfungsi secara efektif, maka para angota
masyarakat harus berperilaku sesuai dengan nilai dan norma sosial yang
mengatur pola hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam proses
sosialisasi, individu-individu yang menjadi anggota masyarakat
dikendalikan sehingga tidak melakukan perilaku menyimpang. Agar
anggota masyarakat dapat berperilaku sesua dengan norma dan nilai yang
berlaku. Diperlukan proses penanaman nilai dan norma yang disebut
dengan pola sosialisasi.20
Pada tahap pelaksanan pembangunan harus diiringi dengan pola
sosialisasi yang cukup kepada maysarakat dan komunitas pengembang
lainnya agar tidak terjadi penyimpangan didalam pembangunan kampung
wisata Pasir Ipis. Pada tahap pola sosialisasi ini stakeholder dan
PEDANG ikut terlibat dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat.
Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh beberapa informan.
“Sosialisasi sudah dari awal memang dilakukan tapi menurut saya belum
maksimal, tanggapan dari masayrakat juga sedikit gak ada yang kritis
jadi nurut-nurut aja, sosialisasi awal dari mulai perencanaan ini itu sudah
banyak, sosialisasi dari mahasiswa juga dulu pernah ada, sosialisasi dari
stakeholder juga kepada kami serta masyarakat sudah ada namun
mungkin belum maksimal soalnya pembangunan jadi mangker sampe
sekarang” (AB, 27 Tahun).

Gambar 6.1 Sosialisasi Komunitas Pengembang Kepada Masyarakat


Sumber: Facebook Pasir Ipis (2015)

20 Horton, Paul B. & Chester K. Hunt. 1984. “Sosiologi”. Jakarta: Penerbit


Erlangga. H.177.
118 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Gambar 6.2 Sosialisasi Program Penanaman Asparagus


Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)

Program sosialisasi awal dari komunitas pengembang dalam


pembangunan kampung wisata Pasir Ipis dimulai dengan mengadakan
rapat secara musyawarah bersama dengan warga setempat. Sosialisasi
yang dilakukan oleh komunitas pengembang dilakukan secara bertahap.
Pada tahap awal stakeholder yang tergabung dalam komunitas
pengembang juga memberikan sosialisasi memalui rapat kepada
komunitas lokal seperti Karang Taruna, Pemuda Lembang (Pedang) dan
komunitas lain yang tergabung dalam memberikan sosialisasi program
yang akan dilakukan dalam pembangunan. Kemudian pada tahap
selanjutnya komunitas pengembang bersama-sama memberikan
sosialisasi kepada masyarakat lokal tentang pembangunan kampung
wiwsata Pasir Ipis secara lisan. Program sosialisasi berikutnya yang
dilakukan oleh komunitas pengembang adalah sosialisasi mengenai
potensi apa saja yang ada di kampung Pasir Ipis dan potensi apa saja yang
dapat dikembangkan kedepannya. Salah satu potensi di kampung Pasir
Ipis ada didalam sektor pertanian. Sosiologi Universitas Padjadjaran ikut
serta sebagai komunitas pengembang kampung wisata Pasir Ipis untuk
membuat suatu program penanaman tanaman hias asparagus dimana
tanaman asparagus tersebut akan ditanam di lahan pertanian masyarakat
Pasir Ipis yang masih kosong dan dikelola oleh masyarakat Pasir Ipis
kedepannya
Wahyu Gunawan, dkk.| 119

Alasan dari adanya keikutsertaan masyarakat dalam mengelola


penanaman ini adalah untuk memberikan pemahaman masyarakat
melalui pengalaman dalam menanam asparagus itu sendiri dengan
harapan apabila Pasir Ipis kedepannya semakin ramai, masyarakat dapat
memperkenalkan tanaman tersebut dan dapat dijual kepada wisatawan
yang berkunjung. Selain menjual, masyarakat Pasir Ipis pun dapat
memberikan pola edukasi tentang proses penanaman tanaman asparagus
kepada wisatawan. Namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang
mengeluhkan program tersebut, masyarakat Pasir Ipis menganggap
bahwa penanaman tersebut membutuhkan waktu yang lama dan mereka
akan mendapatkan hasil yang lama juga, maka dari itu masyarakat Pasir
Ipis tidak mau ikut serta dalam proses penanaman asparagus tersebut.
Padahal jika penanaman tersebut dikerjakan dengan baik, maka hasilnya
pun akan baik, namun masyarakat Pasir Ipis tidak berpikiran sejauh itu
mereka hanya merasa menanam tanaman tersebut membutuhkan waktu
yang terlalu lama dan hasilnya pun tidak akan besar, namun karena bibit
sudah di beli, akhirnya komunitas pengembanglah yang tetap menanam
asparagaus tersebut di sekitaran lahan kosong milik masyarakat Pasir Ipis.
Masyarakat Pasir Ipis dikatakan memiliki mentalitas yang instan,
hal ini terbukti pada saat mereka diberikan suatu kepercayaan untuk
mengelola program yang dapat memberikan hasil ke Kampung Pasir Ipis,
namun ditolak dengan alasan waktu penanaman yang lama. Dalam hal ini
tentu saja terlihat jelas bahwa masyarakat menginginkan proses yang
cepat, padahal modal penanaman tanaman asapragaus tersebut tidak
dipungut dari biaya masyarakat melainkan dari dana pribadi WG untuk
memberikan sosialisasi kepada masyarakat Pasir Ipis mengenai tanaman
asparagus dan masyarakat sebagai pengelola yang bisa merasakan hasilnya
sendiri yang sudah mereka kerjakan sendiri serta dapat mengenalkan
suatu potensi kepada wisatwan.
Sejalan dengan pola sosialisasi yang dikembangkan oleh
komunitas pengembang kampung wisata nyatanya tidak sepenuhnya
terealisasikan dengan baik karena masih ada beberapa masyarakat yang
tidak mengetahui pembangunan kampung wisata Pasir Ipis. Hal tersebut
seperti yang dikatakan oleh salah satu masyarkat sebagai informan yang
menyatakan.
“Engga pernah denger ada sosialisasi. Cuma pernah denger aja katanya
ini mau dibikin kampung wisata. Tapi engga tahu kaya gimana (N, 27
Tahun).
120 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Melalui sosialisasi seseorang menginternalisasikan norma-norma,


nilai-nilai dan hal-hal yang tabu dalam masyarakatnya. PEDANG dan
stakeholder sudah memberikan banyak kontribusi dalam pola sosialisasi
kepada masyarakat dan juga komunitas pengembang kampung wisata
lainya dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.

❖ Pola Edukasi Komunitas Pengembang Kampung Wisata Pasir


Ipis
Menurut Fromm pengendalian sosial secara edukasi dimaksudkan
kepada cara dan sifat penyampaian yang bersifat edukasi. Edukasi disini
adalah interaksi yang dilakukan dalam ikatan tujuan pendidikan. Pola
edukasi ini dapat digunakan dalam pengendalian sosial sebagai penjelasan
mengenai nilai dan norma yang ada dan pentingnya kita sebagai
masyarakat untuk mematuhi nilai dan norma tersebut. Faktor terpenting
dari pola edukasi ini adalah isi yang disampaikan oleh seseorang sebagai
informan kepada orang lain yang ditujukannya, yaitu adanya pemberian
pemahaman mengenai bagaimana seharusnya menerpakan nilai dan
norma yang ada di dalam kehidupan masyarakat.21
Berdasarkan pemahaman Fromm mengenai pola edukasi, dalam
pembangunan kampung wisata Pasir Ipis turut disertai dengan pola
edukasi. Komunitas pengembang dan juga stakeholder bersama-sama
memberikan sosialisasi mengenai pengetahuan dalam pembangunan
kampung wisata Pasir Ipis. Adapun kegiatan-kegiatan yang sudah
dilakukan di kampung wisata Pasir Ipis berlandaskan pola edukasi yang
sudah di sosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat dan juga
komunitas pengembang kampung wisata. Hal itu didukung oleh
pernyataan dari beberapa informan.
“Pola edukasi dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis ini dari
awal sudah kita terapkan, dari mulai bagaimana menjaga dan
membangun kawasan wisata tanpa merusak alam, pembangunan wisata
yang berbasis alamiah, edukasi mengenai pembuatan koperasi usaha
bersama juga sudah pernah kami terapkan, saya sebagai arsitek sudah
membuat beberapa rancangan-rancangan atau planning untuk membangun
kampung wisata Pasir Ipis ini berbasis modern tapi alamiah. Seperti

21 Horton, Paul B. & Chester K. Hunt. 1984. “Sosiologi”. Jakarta: Penerbit


Erlangga. H.178.
Wahyu Gunawan, dkk.| 121

Homestay. Sudah saya sosialisasikan dan saya berikan pengetahuan


mengenai konsep ini (GGSS, 44 Tahun).
“Edukasi terus-terusan kita terapkan pada komunitas pengembang
lainnya, edukasi pada masyarakat juga sudah kita terapkan karena
stakeholder juga mempunyai tugas untuk memberikan pemahaman bagi
masyarakat, kita kan mahluk sosial jadi kita berikan sosialisasi secara
edukasi dalam tahap awal pengembangan kampung wisata ini smapai
sekarang, saya berikan edukasi mengenai penanaman asparagus dan usgus
kemudian saya sempat memberikan amanat untuk membuat kebun bibit
tanaman langka, saya mempunyai rencana mengirim seseorang selama 6
bulan ke majalengka untuk mengetahui bagaimana cara membuat bibit
yang baik. Namun belum terlaksana” (WG, 50 Tahun).

Sejalan dengan pola edukasi yang dikembangkan oleh komunitas


pengembang kampung wisata nyatanya tidak sepenuhnya terealisasikan
dengan baik karena masih ada beberapa masyarakat yang tidak
mengetahui pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
“Belum sih kalau saya pribadi tapi gatau kalau yang lain. Paling biasa
aja kita ada jumsih jumat bersih bareng sekampung. Gotong Royong
Bersihin kampung tapi kalau yang lain belum tau” (ES, 47 Tahun).

Gambar 6.3 Pola Edukasi Cara Menanam Tanaman Kopi dan Asparagus
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2016)
122 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Gambar 6.4 Kerajinan Tangan Masyarakat dari Sampah Minuman


Sumber : Dokumentasi Pribadi (2016)

Gambar 6.5 Kerajinan Tangan Masyarakat dari Limbah Karung


Sumber : Dokumentasi Pribadi (2016)
Wahyu Gunawan, dkk.| 123

Pola Edukasi dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis ini


sudah cukup dilakukan oleh para komunitas pengembang dan juga
stakeholder kepada masyarakat yang bertujuan untuk memberikan
pemahaman kepada masyarakat tentang pembangunan yang akan
dilakukan oleh komunitas pengembang agar kampung wisata Pasir Ipis
dapat menjadi kampung daerah tujuan wisata yang banyak diminati
karena potensi alam yang berlimpah dan potensi sumber daya
manusianya yang menarik serta potensi kesenian dan kebudayaan yang
masih dianut oleh kampung Pasir Ipis.

Gambar 6.6 Homestay di Kampung Pasir Ipis


Sumber : Dokumentasi Pribadi (2016)

❖ Pola Persuasi Komunitas Pengembang Kampung Wisata Pasir


Ipis
Pola Ajakan (persuasi) menurut Horton dilakukan dengan cara
halus, membimbing atau mengajak individu untuk untuk memahami atau
berperilaku sesuai dengan nilai dan norma serta adat istiadat yang berlaku
didalam masyarakat bukan dengan cara kekerasan.22 Pola persuasi dalam
tahap pembangunan ini dibutuhkan, komunitas pengembang bersama-

22 Horton, Paul B. & Chester K. Hunt. 1984. “Sosiologi”. Jakarta: Penerbit


Erlangga. H.178-179.
124 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

sama mengajak masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara penuh


dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis hal ini dikemukakan oleh
beberapa informan mengenai pola persuasi yang sudah dilakukan dalam
pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
“Iya ada seperti ajakan untuk membuat koperasi usaha bersama, jadi
nanti masyarakat kalau mau minjem untuk modal bisa, biasanya kalau
ada kegiatan-kegiatan wisata kaya camping ground, acara outbond sama
mahasiswa atau kegiatan-kegiatan lain yang bersifat wisata kita ajak agar
dalam pengembangan kampung wisata Pasir Ipis ini lebih mudah untuk
dijalankan. Kita juga mengajak komunitas pengembang lainnya agar
bagaimana Pasir Ipis ini bisa maju (ES, 34 Tahun).
“Pola Persuasi ya secara ajakan terhadap pengunjung juga sudah kita
lakukan bagaimana caranya membentuk pemahaman masyarakat atau
pengunjung yang datang untuk tidak melakukan hal-hal yang menyimpang
sudah kita terapkan secara sosialisasi dan persuasi” (WG, 50 Tahun).

Gambar 6.7 Partisipasi Kegiatan Masyarakat dan Komunitas Pengembang


Sumber : Facebook Pasir Ipis (2015)
Wahyu Gunawan, dkk.| 125

Gambar 6.8 Kegiatan bersama antara Komunitas Pengembang dan Pengunjung


Sumber : Dokumentasi Pribadi (2016)

Pola persuasi yang dilakukan dirasa sudah cukup oleh komunitas


pengembang dan para stakeholder dalam pembangunan kampung wisata
Pasir Ipis. Komunitas pengembang juga biasanya mengadakan kegiatan
gotong royong bersama masyarakat seperti jumat bersih untuk bersama-
sama membersihkan kampung Pasir Ipis agar tidak terjadi bencana
longsor dan banjir.

❖ Pola Koersi Komunitas Pengembang Kampung Wisata Pasir


Ipis
Menurut Roucek, pola koersi yaitu pengendalian sosial dilakukan
melalui paksaan, artinya pengendalian sosial secara koersi dilakukan
dengan tekanan/paksaan. Hal tersebut dapat terjadi karena
penyimpangan yang telah berulang kali terjadi dan telah merugikan orang
banyak hendaknya dilakukan dengan paksaan. Pola koersi dibedakan
menjadi dua yaitu :
126 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

1) Kompulsi (paksaan) yaitu keadaan yang sengaja diciptakan


sehingga seseorang terpaksa menuruti atau mengubah sifatnya dan
menghasilkan suatu kepatuhan yang sifatnya tidak langsung.
2) Pervasi (pengisian) secara pengertian pervasi merupakan cara
penanaman atau pengenalan norma secara berulang-ulang
sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai dengan yang
diinginkan.23

Pola melalui koersi atau paksaan masih belum diterapkan oleh


komunitas pengembang dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis
karena konflik yang ada dalam pembangunan bukan konflik besar dan
tidak terjadi secara berulang. Berikut pernyataan dari salah satu
komunitas pengembang kampung wisata Pasir Ipis.
“Kalau bentuk paksaan atau koersif kita belum pernah melakukan
karena sejauh ini masih belum ada masalah serius antara komunitas
pengembang ya dengan pengunjung maupun masyarakat. Kita masih fine-
fine saja (AB 27 Tahun).
“Kalau paksaan kita juga tidak pernah dapat dan tidak ada sih paksaan.
Kalau masyarakat atau komunitas lain tidak setuju dengan apa yang kita
lakukan atau ada masalah kembali lagi kita sosialisasikan visi dan misi
kita” (E.S 44 Tahun).

Adapun tanggapan dari masyarakat, masyarakat Pasir Ipis belum


merasakan adanya paksaan yang dilakukan oleh komunitas pengembang
dalm pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
“ Belum engga ada sih paksaan dari siapa-siapa di pembangunan wisata
ini” (N, 27 Tahun).
“Engga gapernah ngerasain paksaan apa-apa, engga tau apa-apa sih saya
juga. Ya tapi belum pernah sih ngerasain paksaan dari komunitas
pengembang juga” (S, 47 Tahun).

Pola koersi di kampung wisata Pasir Ipis memang tidak diterapkan


oleh komunitas maupun Stakeholder namun tidak menutup
kemungkinan jika partisipasi masyarakat yang kurang, buruknya
koordinasi dan masalah lain yang berpotensi menjadi konflik terus terjadi

23 Roucek, J.S (dalam Soekanto, Soerjono & Heri Tjandrasari, S.H). 1987.
“Pengendalian Sosial”. Jakarta: Rajawali Jakarta.
Wahyu Gunawan, dkk.| 127

maka akan dipastikan pola koersi akan dilakukan. Pola koersi dengan cara
paksaan dan pengisian akan terjadi jika konflik secara berulang terjadi.
Dari keempat pola pengendalian sosial yang dilakukan oleh
komunitas kampung wisata dirasa masih sulit oleh komunitas
pengembang kampung wisata Pasir Ipis pada dasarnya semua bentuk
pola pengendalian sosial darimulai sosialisasi, edukasi, persuasi dan juga
koersi sudah dilakukan namun pola pikir masyarakat yang masih instan
serta partisipasi dari masyarakat dan juga komunitas lokal dirasa masih
kurang, serta dukungan dari pemerintah yang lamban membuat pola
pengendalian sosial yang sudah dilakukan masih menjadi hambatan
dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
Peneliti dalam penelitian ini memfokuskan kajian penelitian hanya
menggunakan satu unsur dari pengendalian sosial yaitu pola
pengendalian sosial seperti pengendalian sosial secara sosialisasi, edukasi,
peruasif dan koersif. Hal ini dikarenakan peneliti ingin mengetahui pola
pengendalian sosial yang dilakukan oleh komunitas pengembang dalam
pembangunan kampung wisata Pasir Ipis sebagai tujuan penelitian.

❖ Keteraturan Sosial
Keteraturan sosial (social order) menurut Horton adalah sistem
kemasyarakatan, hubungan, dan kebiasaan yang berlangsung secara
lancar demi mencapai keteraturan masyarakat. Jika orang tidak menyadari
apa yang bisa mereka harapkan dari orang lain, maka apa yang diperoleh
tidak akan banyak. Tidak ada satu pun masyarakat, bahkan masyarakat
yang paling sederhana pun, yang dapat bekerja secara baik jika perilaku
kebanyakan anggota masyarakat itu tidak selalu dapat diramalkan.
Keteraturan sosial adalah hubungan selaras dan serasi antara interaksi
sosial, nilai sosial dan norma sosial. Hal dan kewajiban direalisasikan
dengan nilai dan norma atau tata aturan yang berlaku. Keteraturan sosial
tidak akan terjadi tanpa adanya interaksi sosial yang selaras dengan nilai
dan norma sosial yang ada. Hubungan antara keteraturan sosial dan
interaksi sosial adalah keteraturan sosial tidak akan tercipta tanpa adanya
interaksi sosial yang selaras dan serasi dengan nilai-nilai dan norma-
norma sosial yang ada. Dalam sutatu masyarakat yang mengalami
128 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

ketidakteraturan sosial (konflik) maka interaksi sosial akan sulit dilakukan


ataupun akan muncul interaksi sosial yang bersifat negatif. 24
Keteraturan suatu masyarakat menurut Horton tergantung pada
jaringan peran di mana setiap orang melakukan kewajiban tertentu
terhadap orang lain dan berhak menerima haknya dari orang lain.
Masyarakat yang teratur hanya dapat tercipta jika kebanyakan orang
melaksanakan sebagian besar kewajiban mereka kepada dan mampu
menuntut hak mereka dari orang lain. Keteraturan sosial menurut
Tarigan (2013:18) merupakan kondisi kehidupan masyarakat yang aman
dan teratur dimana setiap individu bertindak sesuai hak dan kewajiban.
Berikut adalah indikator dari keteraturan sosial :
- Adanya sistem nilai dan norma yang jelas. Dimana masing-
masing anggota masyarakat mengetahui, memahami dan
menyesuaikan tindakan-tindakan dengan nilai dan norma yang
berlaku.
- Order, adalah suatu sistem norma dan nilai yang diakui dan
dipatuhi oleh masyarakat.
- Keajegan, adalah suatu keadaan yang memperlihatkan kondisi
keteraturan sosial yang tetap dan berlangsung secara terus-
menerus
- Pola, cara atau proses yang tetap atau ajeg dalam interaksi sosial.
Pola dapat dicapai ketika keajegan tetap terpelihara atau teruji
dalam berbagai situasi.25

Perilaku masyarakat agar sesuai dengan nilai dan norma yang


berlaku diatur oleh pengendalian sosial dimana pengendalian sosial
membantu menyelaraskan perilaku masyarakat agar sesuai dengan nilai
dan norma yang ada hingga dapat mencapai suatu keteraturan sosial
dalam kehidupan masyarakat.
Pola pengendalian sosial yang dilakukan oleh komunitas
pengembang dalam pembangunan Kampung Wisata Pasir Ipis tentunya
ditujukan untuk mencapai suatu keteraturan sosial. Dalam pembangunan
kampung wisata ini komunitas menginginkan adanya keteraturan antara
tujuan dari perencanaan pembangunan tersebut. Adanya sistem nilai dan

24 Horton, Paul B. & Chester K. Hunt. 1984. “Sosiologi”. Jakarta: Penerbit


Erlangga. H.176-177.
25 Ibid
Wahyu Gunawan, dkk.| 129

norma yang jelas dalam pembangunan kampung Pasir Ipis menjadi salah
satu faktor kesuksesan untuk mencapai suatu keteraturan sosial. Namun
untuk mencapai suatu keteraturan sosial tersebut tidak hanya sistem nilai
dan norma yang jelas namun harus adanya keajegan dari pola
pengendalian sosial yang sudah dilakukan oleh komunitas pengembang
kampung wisata melalui pola sosialisasi, edukasi, persuasi dan juga koersi
untuk mengajekan dan meluruskan kembali antara perencanaan sosial
dengan tujuannya serta aplikasinya agar kembali kepada misi
pembangunan komunitas yaitu kemandirian masyarakat.
Hal dan kewajiban direalisasikan dengan nilai dan norma atau tata
aturan yang berlaku. keteraturan setiap masyarakat tergantung pada
jaringan peran di mana setiap orang melakukan kewajiban tertentu
terhadap orang lain dan berhak menerima haknya dari orang lain.
Masyarakat yang teratur hanya dapat tercipta jika kebanyakan orang
melaksanakan sebagian besar kewajiban mereka kepada dan mampu
menuntut hak mereka dari orang lain.
“Masyarakat dan komunitas lokal kadang-kadang sulit diatur padahal
buat mereka sendiri hasilnya nanti, gimana mau mencapai keteraturan
sosial kalau tidak mau diatur, masyarakat pola pikirnya itu harus ajeg”
(AS, 40 Tahun).

Untuk mencapai suatu keteraturan sosial dalam pembangunan


kampung wisata Pasir Ipis masih diperlukan waktu untuk membuat
masyarakat dan komunitas lokal lebih mengerti akan perencanaan
pembangunan yang akan dilakukan, perlu sosialisasi yang lebih dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat serta pola pikir komunitas lokal
untuk serius membangun kampung wisata Pasir Ipis demi mencapai
suatu keteraturan Sosial.

• Sistem Nilai dan Norma


Michael Tarigan mengatakan bahwa keteraturan sosial adalah
hubungan selaras dan serasi antara interaksi sosial, nilai sosial dan norma
sosial. Dimana setiap individu bertindak sesuai hak dan kewajiban. Ada
beberapa indikator dalam mencapai keteraturan sosial yaitu harus adanya
sistem dan norma sosial yang jelas. Dimana masing-masing anggota
130 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

masyarakat mengetahui, memahami dan menyesuaikan tindakan-


tindakan seusuai dengan nilai dan norma yang berlaku 26.
Dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis komunitas
pengembang harus berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku di kampung Pasir Ipis, dalam melakukan pola pengendalian sosial
komunitas pengembang harus mengacu pada nilai dan norma yang
berlaku di dalam masyarakat kampung Pasir Ipis agar keteraturan sosial
dapat dicapai.

• Order
Selain adanya sistem nilai dan norma yang jelas, dalam
pembangunan kampung wisata Pasir Ipis untuk mencapai suatu
keteraturan sosial diperlukan adanya keteraturan (order) yaitu suatu sistem
norma dan nilai yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat.27.
Dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis diperlukan
adanya order, sistem nilai dan norma sosial yang sudah ada harus dipatuhi
dan diakui oleh masyarakat. Dalam melakukan pengendalian sosial
komunitas pengembang harus mengetahui sistem nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat. Komunitas pengembang harus berpatokan kepada
nilai dan norma yang memang sudah diakui dan dipatuhi oleh masyarakat
untuk mencapai suatu keteraturan sosial.

• Keajegan
Selain adanya sistem nilai dan norma sosial yang harus dipatuhi,
untuk mencapai suatu keteraturan sosial melalui pola pengendalian sosial
yang sudah dilakukan komunitas pengembang kampung wisata Pasir Ipis,
harus adanya keajegan, keajegan adalah suatu keadaan yang
memperlihatkan kondisi keteraturan sosial yang tetap berlangsung secara
terus menerus 28.

26 Tarigan, Michael Jullpri. 2013. “Kontrol Sosial Masyarakat terhadap Geng Motor”,
Universitas Sumatera Utara. (diakses pada tanggal 10 Juni 2015).
http://respository.usu.ac.id/bistream/123456789/41329/4/Chapter%2011.
pdf.). H.18.
27 Roucek, J.S (dalam Soekanto, Soerjono & Heri Tjandrasari, S.H). 1987.

“Pengendalian Sosial”. Jakarta: Rajawali Jakarta. H-235.


28 Tarigan, Michael Jullpri. 2013. “Kontrol Sosial Masyarakat terhadap Geng Motor”,

Universitas Sumatera Utara. (diakses pada tanggal 10 Juni 2015).


Wahyu Gunawan, dkk.| 131

Untuk mencapai suatu keteraturan sosial tersebut tidak hanya


sistem nilai dan norma yang jelas namun harus adanya keajegan dari pola
pengendalian sosial yang sudah dilakukan oleh komunitas pengembang
kampung wisata melalui pola sosialisasi, edukasi, persuasi dan juga koersi
untuk mengajegkan serta meluruskan kembali antara perencanaan sosial
dengan tujuannya serta aplikasinya agar kembali kepada realnya
pembangunan komunitas dimana komunitas pengembang kampung
wisata Pasir Ipis.

• Pola
Pola merupakan cara atau proses yang tetap ajeg dalam interaksi
sosial, pola dapat dicapai ketika keajegan tetap terpelihara atau teruji
dalam berbagai situasi. Pola tidak hanya ada dalam pengendalian sosial
namun dalam upaya mencapai suatu keteraturan sosial diperlukan adanya
pola, keteraturan sosial yang sudah dicapai oleh masyarakat harus tetap
ajeg dalam interaksinya, pola dapat dicapai jika keteraturan sosial tetap
ajeg dan terpelihara29.

FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PARTISIPASI


Menurut Deviyanti timbulnya partisipasi merupakan ekpresi dari
perilaku manusia itu sendiri un tuk melakukan suatu tindakan untuk
terlibat di dalam suatu kegiatan pelaksanaan pembangunan perwujudan
dari perilaku tersebut didorong oleh adanya faktor utama yang
mendukung, yaitu kemauan30.
Komunitas pengembang memiliki kemauan untuk ikut serta dalam
pembangunan wisata di Kampung Pasir Ipis, karena mereka memiliki
keinginan untuk memiliki suatu tempat wisata sendiri, yang diharapkan
dapat memberikan hasil yang dapat dinikmati bersama. Adapun seperti
yang dikatakan oleh beberapa informan.
“Komunitaas pengembang dalam bentuk partisipasi sudah cukup ya kita
ikut dari mulai awal perencanaan sampai dengan tahap pengembangan,
kita ikut gotong royong dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis

http://respository.usu.ac.id/bistream/123456789/41329/4/Chapter%2011.
pdf.). H.19
29 Ibid.
30 Deviyanti, Dea. 2013. “Studi Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan

Di Kelurahan Karang Jati Kecamatan Balikpapan Tengah”. H-390.


132 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

dari mulai bikin lahan camping ground, renovasi masjid, pembuatan saung,
mushola, mck dan perbaikan jalan, kita ingin agar kampung wisata Pasir
Ipis lebih enak kalau didatangi segala fasilitas penunjang ada jadi kita
bekerjsama bareng-bareng” (ES, 34 Tahun).
“Karena mereka ingin punya tempat wisata, dengan ada tempat wisata,
mereka bisa kerjasama dengan perhutani menarik uang iuran, artinya
mereka punya motivasi faktor pendukung sebagai pengelola wisata yang
dapat mengutip uang dari pengunjung, seperti ticketing, mereka bisa
dagang, bisa melakukan kegiatan ekonomi, dan yang menarik itu, adanya
program yang dananya datang sukarela seperti membuat masjid, mushola,
mereka dapat keuntungan dari sana, toilet, saung itu bantuan. Itu yang
menjadi motivasi mereka, kalau sudah jadikan untung buat masyarakat
lokal juga dan komunitas lokal kemudian mereka juga menjadi
mendapatkan banyak ilmu dalam pembangunan kampung wisata Pasir
Ipis ini” (AS, 40 Tahun).

Partisipasi dari komunitas pengembang juga didukung dengan


adanya kemampuan mereka dari segi tenaga dan uang. Kemampuan
mereka dalam berpartisipasi dapat dilihat dari kinerja mereka dalam
kegiatan pelaksanan pembangunan seperti pembuatan fasilitas serta
perbaikan jalan, dimana mereka selesaikan secara gotong-royong dan
mereka turut menyumbang dana dalam kegiatan pembangunan.
Partisipasi komunitas pengembang juga didukung dengan kesempatan
yang diberikan kepada mereka dalam berkontribusi dan dilibatkan dalam
kegiatan pembangunan, seperti pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan hasil dan juga evaluasi.
Mereka sudah cukup memberikan pola pengendalian sosial
melalui pola sosialisasi, pola edukasi, pola persuasi sudah dilakukan untuk
membangun kampung wisata Pasir Ipis.
“Ya ada segala macam bentuk pengendalian sosial sudah kita lakukan,
sudah kita terapkan di dalam pengembangan kampung wisata Pasir Ipis
ini, sebetulnya proses pengendalian sosial itu tidak gampang dalam sebuah
pengembangan kampung wisata seperti ini. Namun pengendalian sosial
sangat dubutuhkan dalam pembangunan komunitas. Maka tetap kami
lakukan proses daripada pengendalian sosial ini. Sosialisasi jalan, secara
persuasi dan koersi juga jalan. Secara Pengendalian sosial sudah sistematis,
sudah dilakukan pola-pola pengendalian sosial dimulai dari pola
sosialisasi sampai dengan koersi walaupun pola koersi masih jarang
Wahyu Gunawan, dkk.| 133

diterapkan karena konflik yang ada masih belum terlalu besar. Masih
banyak masalah internal yang terjadi yang perlu pola pengendalian sosial
terlebih dahulu (WG, 50 Tahun).

Mengenai partisipasi komunitas pada tahap pelaksanaan


pembangunan dari aspek fisik, dalam bentuk sumbangan tenaga yang
diberikan, didukung oleh pernyataan yang peneliti dapatkan dari posting
facebook salah satu informan di akun facebook Pasir Ipis.

Gambar 6.9 Pembangunan Saung Kampung Pasir Ipis


Sumber: Facebook Pasir Ipis (2015)

Selain partisipasi dalam pembangunan fisik seperti fasilitas


pendukung yang diberikan komunitas Karang Taruna. Adapula
partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan yang diberikan oleh
Kelompok Tani Hutan (KTH) yaitu pembibitan, serta penanaman
pohon. Kontribusi seperti ini sangat penting guna menjaga kelestarian
lingkungan hutan, dan guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya
menjaga lingkungan yang akan mendukung keberhasilan pembangunan
wisata.
134 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Gambar 6.10 Partisipasi Masyarakat dan Komunitas Pengembang


dalam kegiatan Wisata Kampung Pasir Ipis
Sumber : Facebook Pasir Ipis (2015)

Selain faktor pendukung terdapat pula faktor yang menghambat


komunitas pengembang untuk berpartisipasi dalam program kegiatan
pembangunan wisata. Faktor penghambat tersebut bisa berasal dari
dalam (internal) maupun dari luar (ekternal). Faktor penghambat
pengendalian sosial dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis dari
segi internal adalah kurangnya motivasi dan inisiatif dari komunitas lokal
untuk mencari inovasi yang akan menjadi daya tarik wistawan, kurangnya
pemahaman komunitas lokal mengani pengendalian sosial, sehingga pola
pengendalian sosial tidak tersosialisasikan dengan baik, partisipasi
komunitas yang rendah, kepentingan yang berbeda antara sesama
anggota komunitas pengembang dengan masayarakat, adanya konflik
kepercayaan, mentalitas instan komunitas lokal yang sudah melekat,
Wahyu Gunawan, dkk.| 135

mereka masih tidak mandiri dalam pembangunan masih ketergantungan


dengan bantuan apa yang akan diberikan serta mentalitas komunitas
pengembang yang masih instan dengan tidak ingin menunggu proses
pembangunan yang lama namun membuahkan hasil.
Menurut salah satu informan yang juga sebagai salah satu
pengelola stakeholder mengatakan masyarakat Kampung Pasir Ipis bersifat
patembayan yaitu masyarakat yang didasari pertimbangan untung dan rugi.
Jika dirasa tidak ada keuntungan yang didapat dari suatu kegiatan yang
dilakukan, mereka akan melakukan kegiatan yang menguntungkan
mereka secara cepat tanpa menunggu proses.
“’Konflik of interest’ istilahnya jika ada untung saya datang jika tidak
untung saya tidak datang. Konflik yang terjadi karena adanya kepentingan
pribadi sih rata-rata yang jadi masalah serius, masyarakat terlalu
dimanjakan oleh semua bantuan dan masyarakatnya cenderung apatis,
mentalitas instan, mereka lebih suka lihat hasil yang cepat dari pada
proses. Mereka cenderung melakukan hal yang memang ingin mereka
lakukan jika tidak suka dengan satu hal maka tidak akan mereka
kerjakan” (WG, 50 Tahun).

Adapun faktor penghambat partisipasi lainnya dipengaruhi oleh


tingkat pendidikan dan tingkat perekonomian. Mayoritas anggota
komunitas pengembang adalah pemuda yang putus sekolah, dalam artian
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, seperti lulusan SD, SMP, dan
SMA. Hal ini yang membuat mereka sulit untuk memahami dan
mengidentifikasi pola pengendalian sosial seperti apa yang akan
diterapkan dalam masyarakat untuk membangun kampung wisata Pasir
Ipis. Serta tingkat perekonomian yang rendah merupakan salah satu
faktor penghambat partisipasi karena hal inilah yang menyebabkan
masyarakat Kampung Pasir Ipis menjadi masyarakat patembayan.
Masyarakat yang patembayan pula yang menjadi penghambat
pembangunan sosial, karena pada akhirnya pembangunan tersebut hanya
terfokus pada pembangunan ekonomi semata.
“Sumber daya manusianya yang sedikit, kurangnya dukungan dari
pemerintah daerah, kurangnya partisipasi masyarakat, kurangnya
pengetahuan komunitas lokal mengenai perencanaan pembangunan dan
pengembangan kampung wisata. Kurangnya pengetahuan komunitas
pengembang lokal dan masyarakat tentang pengendalian sosial. Itu
menjadi hambatan bagi para pengembang dalam melaksanakan
136 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

pembangunan kampung wisata Pasir Ipis. Komunikasi juga menjadi


hambatan bagi kami untuk menyampaikan rencana untuk pembangunan
maka komunikasi dan kordinasi harus dibentuk secara baik. Pola
pengendalian sosial yang sudah diberikan dari mulai sosialisasi sampai
dengan persuasi sudah dilakukan namun, pola pikiri masyarakat yang
masih instan tetap menjadi salah satu faktor penghambat dalam
pembangunan kampung wisata Pasir Ipis ini” (GGSS, 44 Tahun).

Selain faktor penghambat dari dalam atau internal ada pula faktor
penghambat dari luar atau eksternal yaitu hambatan keuangan atau
finansial, serta keterbatasan waktu karena kesibukan masing-masing dan
kurangnya perhatian pemerintah. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh
salah satu informan.
“Iya ada seperti masalah infrastruktur, dan juga dana. Akses jalan ke
kampung wisata Pasir Ipis ini masih dikatakan kurang karena, jalan
yang begitu menanjak dan juga jalanan rusak. Kemudian, penerangan juga
masih kurang, dana dalam pembangunan juga masih kurang karena
untuk membuat proposal untuk mengajukan dana saja masih kurang ya.
Seperti yang saya katakan kurangnya dana sebetulnya menjadi masalah
serius, karena untuk membangun seperti fasilitas dan juga seperti tadi
papan-papan tulisan ajakan untuk menjaga lingkungan tidak bisa jika
terus mengandalkan swadaya masyarakat. Serta masih kurangnya sumber
daya manusia yang dapat mengelola kampung wisata Pasir Ipis. kemudian
masih kurangya pengenalan mengenai kampung wisata Pasir Ipis. Sempat
ada pemberhentian antara pihak UNPAD dan Pasir Ipis karena kita
sedang mencai formula dan berpikir bagaimana cara untuk menarik
wisatawan karena tidak bisa hanya mengandalkan dan praktikum juga
terbatas. Masuklah beberapa stakeholder untuk membantu juga
mengembangkan kampung wisata Pasir Ipis” (AS, 40 Tahun).

Kampung Pasir Ipis memang sudah cukup baik dalam segi


pembangunan, mereka sudah memilik kemauan dan kemampuan untuk
terlibat dalam kegiatan pembangunan wisata yang diwujudkan dalam
keikutsertaan komunitas dalam memberikan bantuan dalam bentuk
tenaga dan materi atau uang. Hanya saja hambatan-hambatan baik dari
internal maupun eksternal mempengaruhi motivasi mereka dalam
bertindak dan berpartisipasi serta menjadi hambatan bagi komunitas
Wahyu Gunawan, dkk.| 137

pengembang dalam melakukan pola pengendalian sosial dalam


pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.

KOMUNITAS KAMPUNG WISATA PASIR IPIS


Komunitas mengacu pada kesatuan hidup sosial yang ditandai
dengan interaksi sosial yang lebih jelas dikenali dan disadari oleh anggota-
anggotanya. Pengertian komunitas tidak selalu mengacu pada individu
dan perkotaan secara keseluruhan komunitas bisa tersusun dari
kelompok-kelompok permukiman di linkungan Pedesaan. Pengertian
komunitas Menurut Warren dan Cottrell (dalam Budimanta (2003),
komuniti adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu
dimana seluruh anggotanya berinteraksi satu sama lain, mempunyai
pembagian peranan status yang jelas, mempunyai kemampuan untuk
memberikan pengaturan terhadap anggota-anggotanya31. Komunitas
adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi
lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan tempat tinggal yang
sama. Komunitas menurut Mac Iver (dalam Cholil, 2005) mengatakan
bahwa komunitas adalah sekelompok orang yang hidup di dalam suatu
tempat. Adapun unsur-unsur di dalam komunitas yaitu : 1) Perasaan
bahwa mereka adalah satu kesatuan, 2) Tergantung satu sama lain, dan 3)
Saling memegang peranan yang sama. Komunitas lebih tepat diartikan
sebagai persekutuan hidup, artinya mereka menganut asas paguyuban
Gemeinschaft dan Patembayan Gesellschaft32. Unsur- dasar-dasar komunitas
menurut Mac Iver, adalah suatu daerah kehidupan masyarakat (area of
social living) yang ditandai oleh beberapa tingkatkan pertalian kelompok
sosial satu sama lain. Dasar-dasar komunitas tersebut antara lain :
a) Lokalitas, komunitas selalu menempati suatu daerah, tertentu
bahkan komunitas modern atau serombongan gypsies
mempunyai tempat meskipun tempat tinggalnya selalu berpinah-
pindah tetapi setiap waktu para anggotanya bila datang ke daerah
tertentu sudah pasti menempati daerah teritorial terentu.
Kebanyakan komunitas terbentuk dan berasal dari suatu ikatan

31 Budimanta, A, 2005, “Memberlanjutkan Pembangunan di Perkotaan melalui


pembangunan berkelanjutan dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota
Indonesia dalam Abad 21. Biru Pusat Statistik, Bulletin Ringkas BPS.
32 Cholil Mansyur, M. 1987. “ Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa”. Surabaya:

Usaha Nasional. H, 68-70.


138 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

solidaritas yang kuat daripada daerahnya, bahkan sampai tingkat


terentu ikatan daerah ini telah dilemahkan oleh dunia modern
dengan meluasnya fasilitas komunikasi.
b) Sentiment community, kekuatan suatu bangsa. Sumber potensi yang
perlu dibina, dipupuk dan diarahkan kepada hal-hal yang
konstruktif 33.

Desa Jayagiri memang belum memiliki suatu lembaga yang secara


khusus dan fokus mengelola pengembangan desa wisata serta dalam
mengelola potensi-potensi yang ada. Namun di Desa Jayagiri tumbuh
sumber daya manusia yang berkumpul menjadi suatu kelompok peduli
lingkungan dan sadar wisata. Perkumpulan tersebut kemudia membentuk
diri menjadi LSM yang bernama Pedang (Perkumpulan Pemuda
Lembang). LSM inilah yang konsen dalam memberikan perhatian kepada
pembangunan Lembang khususnya Desa Jayagiri.
Di kampung Pasir Ipis terdapat kelompok Karang Taruna yang
ingin mengembangkan dan memperkenalkan kebudayaan dan seni yang
meliput degung dan pencak silat yang ada di kampung mereka, kemudian
Karang Taruna mulai bekerja sama dengan Pedang untuk
mengembangkan seni dan kebudayaan yang dimiliki oleh kampung Pasir
Ipis, Desa Jayagiri. Pedang dan Karang Taruna Pasir Ipis juga
menemukan situs sejarah Peninggalan Belanda yang berada di wilayah
Perhutani Yaitu Benteng. Kemudian Pedang dan Karang Taruna mulai
menggali Benteng tersebut.
Walaupun dalam usaha pengembangganya belum mendapatkan
perhatian khusus dari Pemerintah dan Perhutani, Pedang dan Karang
Taruna mulai melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga seperti
Universitas Padjadjaran, Kelompok Tani Hutan, Yayasan Hijau
Nusantara, Fakultas Ekonomi Widyatama, Universitas Telkom dan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bandung Barat. Bersama
dengan DISBUDPAR Kabupaten Bandung Barat, Pedang bersama-sama
membentuk suatu komunitas yang dinamakan Pokdarwis (Kelompok
Sadar Wisata) yang awal mulanya berasal dari perkumpulan Karang
Taruna Pasir Ipis bertujuan untuk membantu mengelola kampung Pasir
Ipis dalam usahanya membangun Pasir Ipis menjadi Kampung Wisata.
Pokdarwis sendiri diresmikan pada tahun 2015.

33 Ibid. H-78.
Wahyu Gunawan, dkk.| 139

PENUTUP
Pembangunan kampung wisata Pasir Ipis masih memiliki banyak
kendala, salah satu kendala bagi komunitas pengembang dalam
melakukan pola pengendalian sosial adalah kurangnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
Pengendalian sosial menurut Roucek diartikan dilakukan melalui pola
sosialisasi, edukasi, persuasi dan koersi agar masyarakat mematuhi nilai
dan norma yang ada. Pola pengendalian sosial yang dilakukan di
kampung wisata Pasir Ipis terasa masih belum sempurna karena,
walaupun pola pengendalian sosial sudah dilakukan oleh komunitas
pengembang dalam upaya pembangunan kampung wisata, tapi ternyata
masih ada masyarakat yang masih belum menerma pemahaman dari pola
sosialisasi, edukasi, persuasi maupun pola koersi yang sudah dilakukan
tersebut.
Terdapat beberapa faktor pendukung dan penghambat komunitas
dalam melakukan pola pengendalian sosial. Faktor yang menghambat
terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
penghambat internal yang berasal dari dalam seperti, kurangnya,
kurangnya pemahaman masyarakat yang tergabung dalam komunitas
pengembang kampung wisata Pasir Ipis mengenai pola pengendalian
sosial. Karena, pola pengendalian sosial pada awal pembangunan tidak
direncanakan dengan baik, yang pada akhirnya menyebabkan pola
sosialisasi, edukasi, persuasi dan juga koersi, sehingga pelaksanaan tidak
berjalan sebagaimana mestinya serta mentalitas masyarakat kampung
Pasir Ipis yang masih instan membuat faktor penghambat dalam
pengembangan kampung wisata Pasir Ipis. Sedangkan faktor
penghambat eksternal yaitu seperti kurangnya pendanaan dalam
pembangunan, kurangnya partisipasi pemerintah daerah dalam
pembangunan kampung wisata Pasir Ipis serta kurangnya dukungan dari
masyarakat kampung Pasir Ipis sendiri dalam pembangunan kampung
wisata sehingga sulit untuk komunitas pengembang untuk mencapai
suatu keteraturan sosial dalam pembangunan kampung wisata Pasir Ipis.
140 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. (2013). Analisis
Pasar Desa Wisata di D.I Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa
Barat.
Haryono, Bagus & Supriyadi, SN. (2004). Mengidentifikasi Bentuk Kontrol
Sosial Berkenaan Dengan Fenomena Pornografi di Kota Surakarta. Fisip
Universitas Sebelas Maret.
Horton, Paul B. & Chester K. Hunt. (1984). Sosiologi. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Lestari, Suci. (2009). Pengembangan Desa Wisata Dalam Upaya Pemberdayaan
Masyarakat Studi di Desa Wisata Kembang Arum, Sleman.
Makalah Keteraturan Sosial Diakses pada tanggal 12 Januari 2016, Pukul
20.30 WIB
https://www.scribd.com/doc/183494889/KETERATURAN-
SOSIAL-docx
Mudiyono. (1990). “Sistem Pengendalian Sosial Tradisional Desa Tiang Tanjung
Provins Kalimantan Barat”. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Roucek. J.S. (1980). “Pengendalian Sosial” dalam Soerjono Soekanto &
Heri Tjandrasari. Pengendalian Sosial. Jakarta: CV. Rajawali.
Sunaryo, B. (2013). Kebijakan pembangunan destinasi pariwisata: konsep dan
aplikasinya di Indonesia (No.1). Penerbit Gava Media Kebijakan
Pembangunan Destinasi Pariwisata: Konsep dan Aplikasinya di
Indonesia.
Syahriar, Galang Hendry. 2015. Modal Sosial dalam Pengelolaan dan
Pengembangan Pariwisata di Obyek Wisata Colo Kabupaten Kudus.
Tarigan, Michael Jullpri. “Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap Geng Motor”
Universitas Sumatera. 2013 : (Diakses Pada Tanggal 10 Juni 2015).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41329/4/Cha
pter%20II.pdf
Zulfitri, “Pemberdayaan Masyarakat melalui CSR” PT. Indocement Tunggal
Prakarsa TBK. 30 September 2011 : (diakses pada tanggal 10 Juni
2015). H. 4-10
JAYAGIRI : DESTINASI
7 WISATA BARU
R.A Tachya Muhamad & Budi Sutrisno

DESA JAYAGIRI : SELAYANG PANDANG


Desa Jayagiri merupakan salah satu desa yang terdapat di
Kecamatan Lembang dengan komposisi penduduknya yang beragam.
Secara garis besar Desa Jayagiri terbagi menjadi dua wilayah
pembangunan. Wilayah pertama adalah wilayah depan terdiri dari RW.
01, RW. 02, RW. 03, RW. 04, RW. 05, RW. 07, RW. 09, RW. 12, RW.
15, RW. 18, dan RW.19. Karakteristik wilayah di bagian depan ini
memiliki gerak perekonomian cukup cepat karena aksesibilitas yang
mudah dicapai. Di wilayah ini juga terdapat pusat-pusat perbelanjaan,
sarana penginapan serta area istirahat untuk para pengunjung wisata yang
bertujuan ke Tangkuban Perahu dan sekitarnya. Sedangkan wilayah
kedua terdiri dari RW. 06, RW. 08, RW. 10, RW. 11, RW. 13, RW. 14,
RW. 16, dan RW. 17 dengan gerak perekonomiannya yang tidak terlalu
cepat yaitu di RW. 06, RW. 08, RW. 11, dan RW. 16. Hal ini disebabkan
selain masih adanya ketimpangan ekonomi juga akses ke jalan utama yang
cukup jauh serta kehidupan masyarakatnya yang masih mengandalkan
sektor pertanian.
Kondisi masyarakat Desa Jayagiri sendiri cukup heterogen karena
terdiri dari berbagai suku bangsa. Hal ini disebabkan karena Desa Jayagiri
merupakan daerah jalur menuju objek wisata Tangkuban Parahu yang
kemudian menarik minat para pendatang baik untuk tinggal menetap
maupun hanya sekedar menginap. Kondisi masyarakat Desa Jayagiri yang
heterogen tersebut seringkali mendatangkan kendala didalam
pelaksanaan berbagai program. Selain itu, kondisi sebagian wilayah yang
telah masuk kategori urban tersebut juga menyebabkan masyarakatnya
sibuk bekerja di luar wilayah. Tetapi apabila mereka sedang berada di
Desa Jayagiri tidak sulit untuk digerakkan didalam kegiatan yang bersifat
swadaya.

141
142 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Gambar 7.1 Peta Wilayah Desa Jayagiri

POTENSIWILAYAH DAN KEPARIWISATAAN


Berdasarkan hasil identifikasi dan observasi, terdapat beragam
potensi baik dari pariwisata maupun bisnis yang secara ekonomi layak
untuk dikembangkan. Berbagai potensi tersebut tercakup dalam
beberapa bagian yaitu pertanian, peternakan, industri kerajinan dan
tempat bersejarah.

❖ Potensi Pertanian
Potensi pertanian berada di RW.01 yaitu berupa lahan
perkebunan. Kebun tersebut cukup luas untuk ditanami berbagai macam
Wahyu Gunawan, dkk.| 143

sayuran diantaranya selada, tomat, sawi, bawang daun dan cabe rawit.
Tetapi, hasil dari kebun tersebut tidak dijual ke pasar melainkan dijual
kepada agen atau bandar yang khusus menjual ke hotel-hotel. Sebenarnya
kebun itu bisa saja dijadikan potensi pendukung wisata.

Wilayah selanjutnya yang memiliki potensi pertanian adalah RW.


04 yang dekat dengan pusat pemerintahan desa. Di wilayah ini terdapat
perkebunan kopi milik masyarakat yang terletak di lahan Perhutani dekat
dengan daerah Benteng. Hasil panenyang diperoleh dalam setahun
mencapai ±60Kg yang sebagian dari hasilnya yakni sekitar 30% diberikan
kepada pihak Perhutani. Dalam pengelolaan perkebunan kopi itu sendiri
relatif tidak terdapat hambatan.
Masyarakat RW.10 juga didominasi oleh peternak dan petani.
Banyak dari mereka yang mengelola tanaman yang hasilnya untuk dijual
seperti labu, sawi, kacang panjang dan lainnya. Lahan pertanian dan
perkebunan tersebut ditata dengan rapi dalam bentuk deret sehingga
membuat pemandangan indah dan menarik untuk dilihat. Selain di
RW.10, potensi pertanian juga terdapat di RW. 15 yaitu perkebunan
kubis.
144 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

❖ Potensi Peternakan
Potensi peternakan terdapat di RW.08 yaitu peternakan burung
puyuh. Usaha ini dapat dikatakan berhasil dan telah mendatangkan
keuntungan yang cukup besar. Keuntungan yang didapatkan dari ternak
puyuh ini dalam sebulan mencapai Rp 2.000.000. Telur yang dihasilkan
cukup bagus meskipun pada awalnya warga ragu untuk menekuni usaha
ternak tersebut karena kondisi iklim di Lembang yang dingin. Namun
sayangnya potensi tersebut masih belum didukung oleh marketing yang
baik dimana pemasaran baru di sekitar Lembang saja.
Wahyu Gunawan, dkk.| 145

Apabila di RW.08 terdapat peternakan puyuh, maka di RW.10


terdapat peternakan sapi. Peternakan sapi ini dikelola oleh warga untuk
menghasilkan susu yang kemudian susu ini di jual ke KPSBU (Kelompok
Peternak Sapi Bandung Utara). Dalam sehari kurang lebih 20 liter susu
disetorkan ke KPSBU.

❖ Industri dan Kerajinan


Potensi industri dan kerajinan terdapat di RW. 03 yaitu pabrik
keripik singkong. Namun, pengembangan industri tersebut masih belum
begitu baik disebabkan karena keterbatasan pendanaan dan jangkauan
pemasaran yang dalam hal ini baru didistribusikan ke pasar-pasar
tradisional. Padahal industri keripik singkong tersebut dapat dijadikan
produk khas bagi wisatawan yang berkunjung. Selain akan menjadi
produk daya tarik wisata juga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat.
146 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Gambar 7.6 Peta Wilayah Desa Jayagiri

Potensi industri dan kerajinan selajutnya berada di RW. 07 yaitu


wayang golek. Kerajinan wayang golek tersebut telah merambah sampai
ke luar negeri yaitu Belanda. Produksi wayang golek ini dirintis oleh
Nandang yang memulai usahanya sepuluh tahun yang lalu ketika masih
bekerja sebagai pegawai swasta. Tetapi kemudian beliau berhenti dan
merintis usaha pembuatan wayang golek. Berawal dari usaha rintisan
tersebut kemudian usahanya semakin berkembang sampai melakukan
workshop di negara Belanda untuk mempromosikan wayang golek.
Wayang golek produksi Desa Jayagiri ini merupakan kualitas yang terbaik
dengan harga berkisar Rp. 100.000.000.
Wahyu Gunawan, dkk.| 147

Potensi lainnya yang tidak kalah menarik adalah tanaman hias yang
dilakukan oleh Asep yaitu melakukan variasi pohon bonsai. Tetapi bonsai
tersebut belum bersifat komersial tetapi hanya sebagai hobi. Kedepannya
produk usaha ini akan dikembangkan menjadi komoditas yang layak jual
kepada para wisatawan.
148 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Selain usaha variasi bonsai di RW.08 juga terdapat industri


kerajinan berupa pembuatan vas bunga.Kerajinan tersebut di kerjakan
oleh ibu-ibu dengan membeli bunga plastik dan merangkainya di atas vas
bunga yang terbuat dari kaleng atau plastik bekas serta dihias sedemikian
rupa hingga tampilannya menarik dan bisa dijual. Keuntungan yang
mereka dapatkan bisa mencapai Rp 500.000/bulan. Perkembangan
tersebut tidak begitu menggembirakan disebabkan keterbatasan dalam
hal pemasaran yang hanya dijual di sekitar Kecamatan Lembang saja.

Terakhir adalah kerajinan yang terbuat dari semen putih (gipsum)


yang dicetak menggunakan silikon berbentuk hewan, celengan, asbak dan
bentuk pajangan lainnya. Kerajinan tersebut baru dijual di sekitar
lingkungan RW. 08 saja dengan keuntungan yang didapat tidak tetap.
Kerajinan tersebut juga dikerjakan oleh ibu-ibu di RW. 08.
Wahyu Gunawan, dkk.| 149

Selain kerajinan tersebut juga terdapat tempat dimana pengunjung


dapat mengasah kemampuan diri dalam hal pembuatan kerajinan tanah
liat. Tempat tersebut yaitu di rumah tanah liat Citra.
150 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

❖ Seni dan Budaya


Produk seni dan budaya yang ada di Desa Jayagiri masih terbatas
dan pada saat ini baru masuk tahap inisiasi melalui program PNPM
Pariwisata. Untuk Desa Jayagiri sendiri potensi pariwisata terdapat di
RW. 05. Meskipun di wilayah ini mata pencaharian penduduk masih
didominasi sektor pertanian, jasa dan perdagangan, sekitar 50 orang.
Sedangkan untuk seni dan budaya saat ini berjumlah 8 buah. Potensi
lainnya yang ada di RW.05 ini adalah industri kecil kerajinan.

❖ Tempat Bersejarah
Desa Jayagiri memiliki potensi kepariwisataan berupa tempat
bersejarah. Salah satu tempat yang memiliki situs bersejarah adalah
RW.06 yang secara geografis berada di ujung Desa Jayagiri. Wilayah ini
memiliki kondisi lingkungan yang asri serta masyarakat setempat yang
masih menganut nilai-nilai lokal. Selain itu masih banyak tradisi yang
dimiliki serta dipertahankan seperti pencak dan berbagai tarian, sancang
sangkuriang, kacapian, panglipur dan cahya hati.
Salah satu potensi yang dapat dijadikan objek wisata di RW.06 ini
adalah Benteng peninggalan Belanda yaitu Benteng Pasir Ipis. Benteng
ini terletak di dataran tinggi dan untuk mencapainya harus menempuh
perjalanan kurang lebih satu jam dengan dengan berjalan kaki dan
menempuh jalanan mendaki. Situs ini sulit untuk ditempuh dengan
menggunakan kendaraan biasa tetapi dapat ditempuh dengan
menggunakan sepeda motor yang telah dimodifikasi. Tetapi sayangnya
keberadaan Benteng ini masih belum layak untuk dijadikan obyek wisata
karena sebagian besarnya masih terkubur tanah dan bebatuan.
Diperlukan upaya untuk kembali menggali dan merekonstruksi situs ini
agar dapat dikunjungi wisatawan.
Selain itu jalan menuju Benteng juga belum terbangun dengan
baik. Hanya sebagian kecil saja jalan yang telah di paving block dan sisanya
masih merupakan tanah merah. Hal lainnya yang menyulitkan adalah
Jalan ini adalah jalan menuju ke benteng, jalan ini sebelumnya adalah jalan
yang masih tanah merah yang kemudian mendapatkan bantuan dari dana
PNPM untuk diperbaiki tetapi sayangnya tidak sampai mencapai lokasi
benteng.
Selain Benteng, di Desa Jayagiri juga terdapat sebuah tempat
bersejarah yaitu Taman Junghuhn. Didalam taman ini terdapat tugu
tempat pemakaman seorang warga negara yang masuk ke Indonesia
Wahyu Gunawan, dkk.| 151

bersama kolonial Belanda. Selain itu, di tempat ini juga terdapat pohon
kina tanaman langka yang dapat digunakan untuk pengobatan. Cagar
alam Junghuhn merupakan salah satu potensi wisata yang dimiliki Desa
Jayagiri. Cagar alam ini berada di RW. 07 yang memiliki lokasi strategis
dan mudah dijangkau oleh para wisatawan. Nama Junghuhn sendiri
diambil dari nama orang berkebangsaan Jerman yang bernama Dr. Franz
Wilhelm Junghuhn, ahli botani kelahiran Mansfeld Prusia yang pertama
kali menanam pohon kina. Cagar alam ini mulanya memiliki luas 2.5 Ha,
namun dewasa ini luasnya hanya berkisar 1 Ha yang mana kurang lebih
1.5 Ha digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
152 | Tahapan Pembangunan Masyarakat
Wahyu Gunawan, dkk.| 153

Situs sejarah lainnya terdapat di RW.10 yaitu situs Batu Tumpang.


Dalam hal ini Batu Tumpang bukan sekedar batu yang bertumpuk-
tumpuk, tetapi batu yang memiliki nilai sejarah asli mengenai cerita
Sangkuriang menendang perahu dan cerita dayang sumbi bersembunyi
dari orang jahat. Tetapi sayangnya tanah tempat situs ini berada telah
dibeli oleh seseorang yang berprofesi sebagai pesulap sehingga
menjadikan situs ini sulit untuk diakses dan hanya dibuka untuk umum
ketika tahun baru.

❖ Fasilitas Penunjang Wisata


Fasilitas penunjang merupakan faktor penting didalam
kepariwisataan. Desa Jayagiri memiliki berbagai fasilitas penunjang
pariwisata. Hal ini disebabkan selain letak wilayah yang berada di jantung
Kecamatan Lembang yang merupakan daerah tujuan wisata juga menjadi
wilayah yang berada di jalur menuju destinasi wisata Tangkuban Parahu
dan Ciater, Subang. Berbagai fasilitas penunjang pariwisata tersebut
antara lain:

Tabel 7.1Fasilitas Penunjang Wisata di Desa Jayagiri


No Lokasi Fasilitas
1 Di RW.02 dan
RW.12 terdapat
sarana transportasi
ojek dan angkutan
umum yang dapat
digunakan untuk
menuju tempat
wisata. Selain itu
juga terdapat sarana
ibadah seperti
gereja dan mesjid.
154 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

No Lokasi Fasilitas
Di sepanjang jalan
di wilayah ini juga
terdapat toko
kuliner yang
menjadi khas Desa
Jaya Giri.

2 Di RW.05 terdapat
toko souvenir,
rumah makan dan
hotel. Selain itu juga
terdapat wisata
religi bagi umat
Kristen lengkap
dengan toko yang
menjual
perlengkapan
rohani.
Wahyu Gunawan, dkk.| 155

No Lokasi Fasilitas

3 Fasilitas rumah
makan dan hotel
juga terdapat di
RW.09 antara lain
RM Malibu dan RM
Gubuk Mang
Engking. Selain itu,
wilayah ini juga
srategis karena
terletak di
156 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

No Lokasi Fasilitas
sepanjang jalan
raya.

Fasilitas hotel yang


berstandar juga
terdapat di kawasan
ini khususnya di
sepanjang jalan
raya. Hotel tersebut
antara lain :
Augusta Lembang,
Grand Paradise,
Panorama Indah,
Panorama
Lembang, Hikmat
Indah, Alpha dan
Villa de Rosa.
Selain hotel juga
terdapat villa yaitu
OSMOND dan
Gunung Putri.
Wahyu Gunawan, dkk.| 157

No Lokasi Fasilitas
4 Di RW 10 terdapat
11
penginapanmeskipu
n kepemilikannya
masih didominasi
oleh para
pendatang
dibandingkan
penduduk asli.

5 Di RW.15 juga
terdapat tempat
penginapan bagi
para wisatawan
yang berwisata di
daerah sekitar
Jayagiri.
158 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

No Lokasi Fasilitas

Sumber : Hasil Penelitian, 2014

❖ Kelembagan dan SDM


Dari sisi kelembagaan dan SDM, Desa Jayagiri belum memiliki
lembaga yang secara khusus mengelola potensi yang ada untuk
pengembangan desa wisata. Tetapi di Jayagiri telah ada embrio sumber
daya manusia yang kemudian bertransformasi menjadi kelompok peduli
yaitu Perkumpulan Pemuda Lembang (PEDANG). Perkumpulan ini
kemudian membentuk diri menjadi LSM yang konsen memberikan
perhatian kepada pembangunan Lembang umumnya dan Jayagiri pada
khususnya.
LSM Pedang juga yang menemukan lokasi situs Benteng di
Kampung Pasir Ipis dan kemudian mulai menggalinya. Meskipun
usahanya tersebut belum mendapatkan dukungan dari kalangan
pemerintah setempat baik desa maupun perhutani yang mana keberadaan
situs tersebut berada di wilayah Perhutani. Dalam hal ini upaya yang
dilakukan oleh Pedang masih bersifat sporadis dan belum benar-benar
membentuk lembaga yang mampu mewadahi pengorganisasian
masyarakat untuk pengembangan potensi wisata di Jayagiri.

JAYAGIRI : MENUJU DESA WISATA BARU


Desa Jayagiri khususnya Kampung Pasir Ipis memiliki potensi
yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi Desa Wisata karena
letaknya berada di daerah Lembang yang merupakan salah satu daerah
tujuan wisata yang ada di wilayah Bandung, Jawa Barat. Tetapi sayangnya
Wahyu Gunawan, dkk.| 159

potensi wisata yang ada di wilayah ini masih terpendam dan harus ada
upaya untuk pengembangannya. Artinya, dari sisi sejarah pembentukan,
Desa Jayagiri masih menjadi calon desa wisata.
Jayagiri masih harus terus membentuk citra sebagai destinasi
wisata yang layak untuk dikunjungi oleh para wisatawan. Saat ini, Jayagiri
lebih dikenal dengan jalur (track) nya bagi para wisatawan yang akan
menuju dan kembali dari daerah tujuan wisata Gunung Tangkuban
Parahu dan Ciater. Dengan kondisi geografis yang mendukung serta
menjadi jalur bagi para wisatawan yang akan menuju DTW utama maka
Desa Jayagiri sangat cocok untuk menjadi daerah transit. Atraksi wisata
yang dapat dikembangkan antara lain mengusung tema petualangan
seperti berkemah (camping), gerak jalan (hiking), sepeda gunung (mount
biking) dan outbound. Maka dalam hal ini citra destinasi wisata yang
dimunculkan dapat berupa tantangan untuk berpetualang.
Selain itu, Desa Jayagiri juga memiliki potensi wisata sejarah untuk
dikembangkan yaitu Benteng Pasir Ipis yang berada di wilayah Perhutani.
Benteng ini adalah benteng pertahanan yang dibangun pada masa
penjajahan Belanda dan kondisi saat ini terkubur oleh tanah. Diperlukan
upaya penggalian untuk kembali merestorasi bangunan benteng tersebut.
Selain benteng di Pasir Ipis, juga terdapat potensi wisata lainnya yaitu
cagar alam Junghuhn dan situs Batu Tumpang yang memiliki nilai
sejarahasli mengenai cerita Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang
merupakan mitologi terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu.
Untuk produk wisata yang akan ditawarkan, Desa Jayagiri
sebenarnya telah banyak memiliki tetapi sayangnya masih belum
terorganisir dengan baik. Terdapat beberapa potensi wisata yang siap
dikembangkan di Desa Jayagiri antara lain pertanian, peternakan puyuh
dan sapi, industri dan kerajinan seperti keripik, wayang golek, tanaman
hias bonsai dan kerajinan dari gypsum.
Untuk penunjang wisata, berbagai fasilitas telah relatif tersedia.
Hal ini disebabkan di sekitar wilayah Desa Jayagiri telah terdapat berbagai
fasilitas pendukung tanpa harus menggerakan swadaya masyarakat.
Fasilitas penginapan seperti hotel, motel, rumah makan, toko
cinderamata, produk industri/ekonomi kreatif, listrik, telepon dapat
dengan mudah didapatkan oleh wisatawan meskipun untuk penginapan
telah berstandar nasional/internasional.
Di Desa Jayagiri, kelompok peduli sudah mulai muncul yang
dimotori oleh para pemuda yang tergabung dalam LSM Pemuda
160 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Lembang (Pedang). Mereka aktif memperjuangkan agar situs benteng


Pasir Ipis mendapatkan perhatian pemerintah. Tetapi sayangnya
kelompok peduli ini belum terorganisir secara baik serta belum
melibatkan partisipasi warga secara luas. Selain itu juga belum memiliki
program dan rencana kerja serta perlu ditingkatkan kapasitas SDM nya.

Tabel 7.2 Potensi Desa Jayagiri Sebagai Daerah Tujuan Wisata Baru
Aspek Potensi
Daerah Tujuan Gunung Tangkuban Parahu dan Ciater,
Wisata (DTW) utama Desa Jayagiri merupakan jalur (track)
menuju DTW utama dan berpotensi
menjadi daerah transit bagi wisatawan
Jenis wisata Wisata sejarah dan wisata petualangan
(camping ground, hiking, mount biking, outbound)
Citra destinasi wisata Petualangan bagi individu maupun keluarga.
Objek wisata Wisata sejarah yaitu benteng Pasir Ipis dan
cagar alam Junghuhn
Produk wisata Belum ada, masih dalam tahap inisiasi oleh
pemerintah melalui program PNPM
Pariwisata
Kelembagaan Belum terdapat kelembagaan yang
terorganisir
Sumber Daya Terdapat kelompok peduli yaitu LSM
Manusia Pemuda Lembang (Pedang) tapi
kegiatannya masih bersifat sporadis
Daerah asal Jawa Barat dan Jabodetabek, akses lebih
wisatawan baik dengan adanya tol Cipularang.
Tipe wisatawan Traveler
Visitor
Fasilitas wisata Memadai baik dari segi jumlah maupun
kualitas
Akses jalan menuju Jalan setapak dengan kiri-kanan semak dan
tempat wisata ilalang
Sumber : Hasil Penelitian, 2014
Wahyu Gunawan, dkk.| 161

Desa Jayagiri kaya akan berbagai potensi untuk dikembangkan


menjadi Desa Wisata baru di Jawa Barat khususnya Kabupaten Bandung
Barat. Dan untuk menuju ke arah tersebut perlu disusun sebuah
perencanaan serta pengembangan model pengembangan Desa
Wisata.Muhamad dan Sutrisno (2016), menyusun sebuah model yang
diharapkan dapat diaplikasikan di Desa Jayagiri. Model tersebut bersifat
spesifik tetapi tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan di wilayah
lain. Model berbentuk piramida dengan tahapan yang bersifat sekuensial,
dimulai dari pengorganisasian masyarakat yang merupakan inti didalam
pemberdayaan masyarakat dan diakhiri dengan marketing.

Gambar7.2 Tourism Development Pyramid :


Pengembangan Desa Wisata Berbasiskan Pemberdayaan Masyarakat

Model ini merupakan penyempurnaan dari model yang dibuat oleh


Nasikun (1997) khusus mengenai pemodelan pariwisata di pedesaan
dimana pemodelan pariwisata pedesaan harus terus dan secara kreatif
162 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

mengembangkan identitas atau ciri khas daerah. Tetapi keaslian ini juga
dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan
tersebut seperti ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian, bentang alam,
jasa, peristiwa sejarah dan budaya serta pengalaman eksotis khas daerah.
Unsur penting lainnya adalah keterlibatan masyarakat
pengembangan mutu produk wisata pedesaan, pengembangan
sumberdaya manusia untuk menjadi wirausahawan pariwisata pedesaan
dan pembinaan kelompok pengusaha setempat. Model pengembangan
pariwisata pedesaan menurut Nasikun harus terdiri dari empat aspek,
yaitu : 1) Keaslian (genuiness), 2) Keterlibatan (involvement), 3) Mutu produk
(product quality), 4) Pembinaan, dan 5) Pembentukan kelompok (group
formation). Adapun penjelasan singkat dari model yang kami kembangkan
adalah sebagai berikut:

Tabel 7.3 Tahapan Pengembangan Desa Wisata Berbasiskan


Pemberdayaan Masyarakat
Tahap Kegiatan
1 Pembentukan kelompok warga peduli pariwisata
Community dengan cara membangun ikatan (bonding) diantara
Organizing warga peduli dan bridging yaitu menciptakan
kerjasama warga peduli dengan berbagai
kelompok yang ada di masyarakat dan apabila
diperlukan dapat melakukan studi banding ke
wilayah lain yang telah berhasil mengembangkan
pariwisata.
2 Pembentukan lembaga yang akan menjadi wadah
Community bagi para kelompok warga peduli wisata pada
Institution tahap awal dan kemudian akan menjadi lembaga
Development pengelola pariwisata setelah desa pariwisata
terbentuk.
Penyusunan Visi, Misi, Strategi dan Rencana
Program Kerja
3 Identifikasi terhadap berbagai potensi wisata
Social Mapping utama dan pendukung, asal wisatawan, jenis
wisatawan, tipe daerah wisata, tipe DTW, dll
4 Pembentukan citra wisata spesifik sesuai dengan
Brand-Image kekhasan daerah yang nantinya akan ditawarkan
Creation kepada wisatawan.
Wahyu Gunawan, dkk.| 163

Tahap Kegiatan
4 Penciptaan berbagai fasilitas penunjang
Tourism Facility pariwisata sesuai dengan brand-image yang telah
Creation diciptakan.
5 Mengembangkan kerjasama (linking) baik dengan
Partnership pemerintah maupun swasta untuk
Development mengembangkan berbagai fasilitas
kepariwisataan.
6 Pemasaran wisata baik secara offline maupun online
Marketing
Sumber : Muhamad dan Sutrisno, 2016:80

PENUTUP
Desa Jayagiri memiliki potensi yang luar biasa untuk
dikembangkan menjadi Desa Wisata baru di Jawa Barat. Berbagai potensi
tersebut dapat menjadi asset potensial untuk ‘dijual’ kepada para
wisatawan lokal maupun mancanegara. Selain asset yang bersifat tangible,
Desa Jayagiri juga memiliki asset penting berupa keterlibatan aktif
kelompok masyarakat didalam memajukan wilayahnya. Hal utama yang
dibutuhkan adalah pengorganisasian komunitas serta pemberdayaan yang
berbasiskan asset untuk mengelola berbagai potensi tersebut.
Membangun masyarakat berbasiskan aset adalah pendekatan yang
lebih berkelanjutan didalam pembangunan. Fokus utama dalam
pendekatan pembangunan komunitas ini adalah keberhasilan dan
kemenangan (visi positif) dan ‘menyingkirkan’ visi negatif baik tentang
tempat maupun masyarakat/komunitas yang akan dikembangkan.
Terdapat beberapa definisi yang seringkali menekankan konteks aset
didalam pembangunan komunitas, yaitu :
1) "Pembangunan komunitas merupakan semua upaya yang terdiri
dari tindakan untuk memperkuat kapasitas masyarakat untuk
mengidentifikasi prioritas dan peluang dan untuk mendorong
dan mempertahankan perubahan lingkungan yang positif"
(Chaskin 2001: 291)
2) "Pengembangan masyarakat adalah membangun aset yang
meningkatkan kualitas hidup antara penduduk rendah untuk
masyarakat berpenghasilan menengah, di mana masyarakat
didefinisikan sebagai lingkungan atau wilayah multi-lingkungan"
(Ferguson dan Dickens 1999: 5).
164 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

3) "Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai upaya


terencana untuk menghasilkan aset yang meningkatkan kapasitas
warga untuk meningkatkan kualitas hidup mereka" (Green dan
Haines 2007: vii).
4) "Pengembangan masyarakat adalah berbasis tempat pendekatan:
berkonsentrasi pada menciptakan aset yang menguntungkan
orang-orang di lingkungan miskin, terutama dengan
membangun dan menekan link ke sumber daya eksternal" (Vidal
dan Keating 2004: 126).
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil beberapa poin
penting yaitu bahwa pembangunan (komunitas) tersebut harus berfokus
di tempat tertentu seperti kota/desa dengan mengembangkan aset
(sumber daya) yang ada di masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup
(ekonomi, sosial, psikologis, fisik dan politik).
Dengan demikian, pendekatan ini berbalik dari pendekatan
konvensional/ tradisional dari pembangunan komunitas didalam
mengidentifikasi isu, masalah dan kebutuhan masyarakat. Idenya adalah
untuk membangun kapasitas dalam komunitas serta untuk membangun
dan memperkuat aset suatu komunitas. Berbeda dengan pendekatan
konvensional yang berfokus pada masalah dan kebutuhan, pendekatan
alternatif ini berfokus pada kekuatan dan aset suatu komunitas dengan
tetap mengutamakan peran serta aktif masyarakat. Pembangunan
masyarakat berbasiskan asset dapat menjadi kerangka dasar bagi
pengembangan Desa Wisata berbasiskan pemberdayaan masyarakat
tentunya.
Wahyu Gunawan, dkk.| 165

DAFTAR PUSTAKA
Chaskin, R. (2001).“Building Community Capacity: A Definitional
Framework and Case Studies from a Comprehensive Community
Initiative,” Urban Affairs Review, 36(3): 291–323
Ferguson, R.F dan Dickens, W.T. (ed). (1999).“Introduction,” in Urban
Problems and Community Development.Washington, DC: Brookings
Institution Press, hal. 1–31.
Green, G.P. dan Haines, A. (2007). .Asset Building and Community
Development, 2nd ed.Thousand Oak CA: Sage.
Nasikun. (1997). Model pariwisata pedesaan : Pemodelan pariwisata
pedesaan yang berkelanjutan. In M. P. Gunawan (Ed.), Prosiding
Pelatihan dan Lokakarya Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan.
Bandung: Penerbit ITB.
Phillips, Rhonda dan Robert H. Pittman(ed).(2009).An Introduction To
Community Development.London:Routledge
Sutrisno, B & R.A Tachya Muhamad. (2016). Model Pengembangan
Desa Wisata (Studi Komparatif Desa Jayagiri, Kecamatan
Lembang dan Desa Sarongge, Kecamatan Pacet). Sosioglobal: Jurnal
Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, 1(1), 68-81.
Vidal, A.C. and Keating, W.D. (2004) “Community Development:
Current Issues and Emerging Challenges,” Journal of Urban Affairs,
26(2): 125–137.
166 | Tahapan Pembangunan Masyarakat
MENGGAGAS DESA WISATA
BERBASIS COMMON PROPERTY
8 DI KAMPUNG PASIR IPIS, DESA
JAYAGIRI
Desi Yunita

PARIWISATA: BANGKITNYA TRADISI DAN BUDAYA


SEBAGAI SUMBER EKONOMI DESA
Saat ini pariwisata telah menjadi sektor penting bukan saja
karena besaran devisa yang dihasilkannya, tetapi juga karena kemampuan
sektor pariwisata untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi produktif
lainnnya (multiflyer effect). Secara nasional sektor pariwisata telah
membuktikan kotribusi strategisnya sebesar 4% terhadap PDB nasional.
Hal itulah yang menempatkan sektor pariwisata berada di peringkat ke-4
sebagai penyumbang devisa bagi negara. Selain itu, sektor ini juga mampu
menyerap 10,13 juta tenaga kerja, serta menghasilkan devisa nasional
sebesar 10 milyar USD, fakta tersebut adalah bukti bahwa sektor
pariwisata dapat menjadi salah satu sektor penggerak ekonomi bukan saja
nasional tetapi juga daerah.
Data tersebut mempelihatkan betapa pariwisata terus mengalami
trend yang meningkat, itu dibuktikan dengan terus bertambahnya jumlah
wisatawan mancanegara yang datang untuk berwisata di Indonesia. Tidak
jauh berbeda dengan jumlah wisatawan mancanegara, wisatawan
nusantara juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya jumlah
maupun kotribusinya pada perekonomian daerah. Kementerian
pariwisata menyebutkan bahwa pada tahun 2013 jumlah wisatawan
nusantara mencapai 250 juta perjalanan dan menghasilkan pengeluaran
wisatawan nusantara sebesar 178 triliun.
Data yang dipaparkan tersebut tentu saja menjadi ukuran mengapa
sektor pariwisata menjadi opsi model pengembangan desa-desa di
Indonesia umumnya. Perkembangan tersebut secara positif juga turut
mempengaruhi semangat optimisme di masyarakat. Di banyak lokasi di
Indonesia geliat untuk mengembangkan desa, menggali kembali tradisi,
budaya, kearifan tradisional juga terus bertumbuh, dan salah satu faktor
yang mendorong terjadinya kebangkitan tersebut adalah pariwisata. Hal

167
168 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

serupa juga dilakukan di desa Jayagiri tepatnya di kampung pasir ipis.


Lokasi desa yang terletak di kecamatan lembang yang telah sejak lama
dikenal sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Barat
menjadikan desa ini sebagai salah satu daya tarik pendukung wisata yang
memang telah lama berkembang.

9.435.411

8.044.462 8.082.129

6.322.592

2012 2013 2014 2015*

Grafik 8.1. Jumlah Wisatawan Mancanegara Tahun 2011-2015


Sumber: Litbangjakpar & BPS

Letak desa Jayagiri yang berbatasan dengan kawasan hutan milik


perhutani dengan mayoritas masyarakat bekerja disektor pertanian, dan
terdapat pula perkebunan bunga, situs bersejarah seperti benteng jepang
dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi pariwisata di kampung pasir ipis.
Dengan akses yang tidak terlalu sulit dijangkau dan pemandangan alam
yang bagus menjadikan kawasan kampung pasir ipis tempat yang sesuai
bagi wisatawan yang meminati pariwisata minat khusus yang spesifik.
Adanya beberapa keunggulan potensi yang dimiliki tersebut yang
menjadi pemicu dimulainya serangkaian kegiatan untuk membuat suatu
destinasi wisata baru. Tentunya, hal tersebut sejalan dengan apa yang
diharapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan bertumbuhnya
Wahyu Gunawan, dkk.| 169

destinasi wisata baru dan mendorong berkembangnya desa wisata. Atas


dasar itulah dikembangkanlah suatu wisata minat khusus berbasis ekologi
atau ekowisata (ecotourism). Ekowisata sendiri sebagai suatu kegiatan
pariwisata rekreatif, edukatif, menunjang upaya pelestarian budaya
tradisional dan pelestarian alam dan lingkungan banyak dinilai sebagai
suatu bentuk pariwisata yang paling cocok untuk karakteristik desa-desa
di Indonesia khususnya jawa barat yang masih kental dengan tradisi, local
wisdom, dan juga alam dan lingkungan yang bernilai wisata.Sehingga dari
aktivitas pariwisata tersebut pengunjung selain mendapatkan pengalaman
rekreatif, tradisi, ataupun pertualangan juga mendapatkan pengalaman-
pengalaman lainnya yang diharapkan dapat memberikan kepuasan
batiniah bagi wisatawan.
Akan tetapi, apapun model wisata yang dikembangkan di suatu
tempat atau desa, perubahan pada lokasi wisata tersebut adalah sesuatu
yang sulit untuk dihindarkan. Perubahan tersebut merupakan
konsekuensi logis dari berubahnya model mata pencaharian yang ingin
dipilih oleh masyarakat. Mulai dari investasi yang masuk, perubahan
lanskap ekonomi dan sosial, perubahan kultur masyarakat, belum lagi
perubahan kondisi lingkungan. Kesemua hal tersebut adalah konsekuensi
logis yang harus diambil oleh masyarakat meskipun wisata yang
dikembangkan tersebut merupakan model ekowisata.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya perubahan yang
berdampak negatif bagi masyarakat maka proteksi terhadap aset-aset
produktif dan basic bagi masyarakat sangat perlu dilakukan sejak
awal.direncanakannya pengembangan desa wisata tersebut, tentunya
harus benar-benar memberikan dampak sosial dan ekonomi bagi seluruh
masyarakat desa tersebut, karena partisipasi tersebut akan menjadi salah
satu indikator bahwa pengembangan pariwisata tersebut akan berdampak
berkesinambungan bagi masyarakat.

KAMPUNG WISATA SEBAGAI COMMON PROPERTY


Common Property atauCommon pool resources adalah pengelolaan suatu
wilayah, kawasan, situ, dan lain sebagainya, secara bersama-sama dengan
batasan-batasan aturan untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan
terhadap sumberdaya tersebut. Pengelolaan terhadap sumberdaya adalah
dasar yang menentukan bagi pembangunan suatu wilayah, pengelolaan
yang baik terhadap suatu sumberdaya akan menjadi jaminan
keberlanjutan kehidupan masyarakat di suatu wilayah tersebut baik secara
170 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

sosial, ekonomi, budaya, maupun lingkungan. Tidak jelasnya konsep


pengelolaan terhadap suatu sumberdaya sejak awal, terlebih lagi sumber
daya tersebut adalah sumberdaya milik bersama, akan menyebabkan
kehancuran yang berdampak merugikan bagi masyarakat yang tinggal
disekitar wilayah tersebut.
Pada kasus yang terjadi di kampung pasir ipis, dengan adanya
pengembangan wisata yang dilakukan oleh kelompok pemuda. Kawasan
hutan yang dimanfaatkan tersebut diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi meningkatnya kesejahteraan semua warga masyarakat di
desa tersebut, oleh karena itu partisipasi dan kontribusi masyarakat secara
keseluruhan mutlak diperlukan. Pengembangan tersebut harus menjamin
bahwa semua masyarakat di disekitar objek wisata mendapatkan manfaat
secara langsung dari perubahan tersebut. Sehingga menjaga agar kawasan
wisata desa tersebut tetap menjadi daya tarik yang dapat memberikan
manfaat secara ekonomi adalah hal yang mutlak menjadi tanggung jawab
bersama seluruh masyarakat. Dengan begitu maka desa wisata dengan
pengembangan wisata yang ada didalamnya harus menjadi aset bersama
yang kepemilikannya juga secara bersama-sama. Karena sifatnya yang
harus memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat desa tersebut maka
dapat pula disebut sebagai sumberdaya milik bersama (common pool
resources).
Oleh karena aset wisata tersebut merupakan sumberdaya milik
bersama maka pemanfaatannya, pengelolaan, perlindungan, akses dan
kontrolnya mutlak harus dimiliki oleh komunitas masyarakat yang ada di
desa tersebut. Semua aspek tersebut penting untuk dikuasai oleh
masyarakat untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan baik itu secara
ekonomi, sosial, budaya maupun lingkungan.
Terlepasnya kontrol dan akses dari komunitas dalam menguasai
sumberdaya wisata yang ada di desa tersebut akan berdampak pada
terjadinya perebutan akan akses terhadap sumberdaya dikembangkan di
lokasi wisata tersebut dan hal itu akan berdampak buruk sehingga
masyarakat tidak mampu mengendalikan segala bentuk pemanfaatan
yang dilakukan di kawasan wisata tersebut dan jika terus dibiarkan maka
akan menjadi tragedi yang akan berdampak luas. Hardin34mengemukakan
bahwa ketika suatu sumberdaya alam yang terbatas dimanfaatkan oleh

34
https://ahnku.files.wordpress.com/2011/02/k-2-common-pool-
resource.pdf.
Wahyu Gunawan, dkk.| 171

semua orang, setiap individu mempunyai rasionalitas untuk


memanfaatkan secara intensif. Akibatnya, kelimpahan sumberdaya alam
menurun dan semua pihak akan mengalami kerugian. Dalam pandangan
Hardin (dalam, Adiwibowo), suatu sumberdaya bersama dapat dikelola
dengan baik bila suatu sumberdaya tersebut menjadi milik privat atau
diatur dengan tindakan-tindakan nyata oleh pemerintah.
Lokasi wisata yang dikembangkan di wilayah kampung pasir ipis
adalah suatu lokasi yang hak kepemilikannya adalah milik negara dengan
pengelolaan diberikan kepada perhutani. Kawasan hutan ini diketahui
juga menjadi sumber mata air bagi masyarakat yang ada di desa Jayagiri.
Adanya pemanfaatan dengan menjadikan kawasan hutan ini sebagai
objek wisata akan mendorong pemanfaatan secara optimal terhadap
kawasan tersebut. Secara positif adanya pemanfaatan tersebut akan
memberikan manfaat yang cukup besar secara ekonomi bagi masyarakat.
Akan tetapi, pemanfaatan ini bukannya tanpa resiko, adanya
pemanfaatan secara berlebihan terhadap kawasan ini tentunya akan
mengurangi daya dukung lingkungan dari kawasan tersebut. Oleh karena
itu maka, keterlibatan anggota masyarakat dalam pengelolaan kawasan
wisata ini menjadi mutlak.

FENOMENA PENGELOLAAN SITUS WISATA KAMPUNG


PASIR IPIS
Secara hukum diketahui bahwa lokasi tempat wisata yang saat ini
dikembangkan oleh pemuda desa Jayagiri ini merupakan wilayah
perhutani. Dari hutan yang dikuasai oleh perhutani tersebut masyarakat
mendapatkan pasokan air bersih, dan diketahui bahwa pengelolaan
kawasan hutan perhutani menjadi daerah wisata itu sendiri didasari oleh
keinginan masyarakat untuk menjaga pasokan air bersihnya selain juga
untuk mendapatkan manfaat lebih dari kondisi alam yang baik dengan
menjadikannya situs wisata.
Awalnya, pengembangan hutan perhutani menjadi tempat wisata
ini tidak terlalu diperhatikan oleh perhutani, namun setelah sekian lama
dan terlihat bahwa tempat wisata yang dikembangkan tersebut mulai
ramai dikunjungi wisatawan perhutani mulai melihat memperlihatkan
keinginannya untuk turut mengelola kawasan tersebut. Selain itu,
beberapa pebisnis yang telah lama mengembangkan tempat-tempat
wisata di wilayah lembang juga melihat apa yang dilakukan oleh
172 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

kelompok pemuda tersebut dapat semakin berkembang jika dikelola


dengan lebih profesional dan terbuka terhadap investasi.
Adanya keinginan dari perhutani sebagai pemilik kawasan hutan
untuk mengelola lokasi wisata yang dikembangkan oleh pemuda
kampung pasir ipis dan adanya investor yang juga telah menunjukkan
ketertarikannya untuk turut serta mengelola dan mengembangkan
kawasan tersebut menjadikan usaha dan pengembangan wisata yang
dirintis oleh pemuda pasir ipis ini terancam. Karena jika dilihat secara
faktual apa yang dilakukan oleh pemuda pasir ipis tersebut adalah ilegal
karena dilakukan di dalam kawasan hutan yang dikelola oleh pasir ipis.
Disisi lain, kelompok pemuda yang mengembangkan kawasan tersebut
juga sangat minim modal.
Fakta bahwa perhutani berkeinginan untuk mengelola, dan ada
investor yang tertarik untuk berinvestasi dalam pengembangan wisata
tersebut telah membuat kelompok pemuda pasir ipis yang selama ini
merintis pengembangan wisata tersebut terpinggirkan kepentingannya.
Hal tersebut jika tidak dilakukan upaya mediasi dan komunikasi yang
intensif tentunya akan berdampak pada munculnya konflik sosial. Dalam
konteks menghindari konflik yang mungkin muncul dalam pengelolaan
kawasan wisata inilah pengelolaan wisata sebagai common pool resources
sangat mungkin dijadikan pilihan dalam pengembangan wisata tersebut.
Jauh sebelum adanya penguasaan oleh badan usaha, swasta,
ataupun oleh negara kebanyakan sumberdaya alam dikelola oleh
masyarakat sebagai sumberdaya milik bersama. Begitu juga halnya
dengan kawasan hutan yang dikuasai oleh perhutani di kampung pasir
ipis tersebut. Sehingga adanya inisiatif pemuda kampung pasir ipis untuk
mengelola dan mengembangkan kawasan hutan menjadi objek wisata di
kampung pasir ipis tersebut adalah hal yang lumrah. Apalagi tujuan utama
dari pengembangan tersebut adalah menjaga agar pasokan air bersih bagi
masyarakat tetap terjaga.
Adanya fakta bahwa pengembangan wisata tersebut telah menarik
kepentingan beberapa pihak untuk turut serta mengelola dan untuk
menghindarkan terjadinya konflik sosial karena adanya motif ekonomi
dalam pengembangan wisata inilah maka sangat diperlukan suatu
konsensus bersama yang akan menjamin semua pihak dapat menerima
manfaat secara adil, menguntungkan dan berkelanjutan. Dan untuk hal
itu maka bentuk pengelolaan yang paling sesuai dikembangkan adalah
common pool resources regime.
Wahyu Gunawan, dkk.| 173

Common pool resources dalam praktiknya juga dapat dikategorikan


menjadi tiga bentuk yaitu public goods yang hak kepemilikannya ada pada
pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota, common property resources
yang hak kepemilikannya ada pada masyarakat adat, atau private goods yang
dimiliki oleh perusahaan.
Melihat fakta bahwa common pool resources dapat berbentuk
kepemilikan, publik, kelompok, ataupun perusahaan maka apa yang telah
dikembangkan oleh pemuda di desa Jayagiri tersebut adalah suatu cara
yang tidak bertentangan dengan bentuk common pool resources tersebut.

COMMON POOL RESOURCESSEBAGAI JALAN TENGAH


PENGELOLAAN YANG LESTARI
Common property atau common property regimemengacu pada institusi
sosial karena hal tersebut merujuk pada pengaturan terhadap hak
kepemilikan terhadap sumberdaya yang dipergunakan secara bersama-
sama oleh beberapa kelompok orang dan beberapa kelompok pengguna
sumberdaya tersebut berbagi hak dan kewajiban. McKean (1996)
mengemukakan bahwa common pool resources memiliki dua sifat, yaitu
pengecualian dan pengurangan. Maksud dari pengecualian adalah suatu
mekanisme kelembagaan untuk mengeliminir penerima manfaat yang
tidak tergabung dalam pengguna sumberdaya bersama tersebut, karena
tanpa adanya pengecualian tersebut maka sumberdaya yang ada tersebut
menjadi terbuka aksesnya untuk semua orang dan hal tersebut tidak
memungkinkan adanya investasi baik dalam pemeliharaan ataupun
perlindungan. Adapun pengurangan adalah adanya pembatasan atau
pengaturan terhadap penggunaan secara terbuka untuk mencegah
terjadinya pengurangan sumberdaya secara cepat.
Uraian tersebut memperlihatkan bahwa common pool resourcesdapat
menjadi solusi pengelolaan jangka panjang yang menjamin ketersediaan
sumberdaya bagi semua pihak. Dalam konteks pengembangan wisata
maka perhutani sebagai pemilik kawasan, investor yang memiliki modal,
dan kelompok pemuda yang telah melakukan pengembangan di wilayah
pasir ipis tersebut sama-sama dapat memperoleh manfaat. Perhutani
memperoleh manfaat berupa terjaganya kawasan hutan dari
kemungkinan terjadinya perambahan oleh masyarakat yang tidak
memiliki lahan, dunia usaha juga dapat memperoleh keuntungan dengan
mendorong investasi berupa pengembangan-pengembangan terbatas
tanpa melakukan perubahan bentang alam di kawasan hutan tersebut
174 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

yang tentunya pengembangan tersebut semakin memperlebar peluang


semakin banyaknya wisatawan yang datang berkunjung. Hal tersebut
tentunya akan memberikan keuntungan bagi semua pihak yang ada di
kawasan tersebut. sedangkan pemuda dan masyarakat Pasir Ipis
memperoleh manfaat dari tetap terjaganya cadangan air bersih dan juga
mendapatkan manfaat dari adanya pengembangan ekonomi baru yang
dikembangkan di daerah tersebut.
Dijadikannya kawasan hutan perhutani yang dikelola sebagai
tempat wisata tersebut sebagai common pool resources telah memungkinkan
berkembangnya bentuk baru dalam pemanfaatan hutan tanpa harus
membuka peluang terjadinya kerusakan berlebihan pada kawasan hutan
tersebut. dengan model common pool resourcesstruktur yang ada di
masyarakat dapat secara pasti didorong untuk melakukan adaptasi
terhadap perubahan yang telah terjadi untuk mendukung upaya
pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat itu sendiri.Model ini juga
memungkinkan terjadinya kontrol bersama terhadap sumberdaya yang
dikelola sebagai tempat wisata tersebut, sehingga kerusakan terhadap
kawasan hutan dapat dicegah sedini mungkin. Agar pengelolaan bersama
tersebut benar-benar dapat memberikan jaminan keberlanjutan bagi
seluruh masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat. Diperlukan peran dari
pemerintah untuk membuat aturan yang mengikat bagi semua pihak
bahwa pengelolaan tersebut tidak akan mengalami perubahan. Sehingga
hal tersebut akan menjamin keberlanjutan masyarakat secara sosial,
ekonomi maupun budaya.

PENUTUP
Pariwisata sejauh ini memang telah menunjukkan sebagai salah
satu sumber ekonomi produktif baru yang potensial. Namun jika upaya
perencanaan pariwisata dan strategi pariwisata yang dikembangkan tidak
dilakukan dengan baik, maka kerusakan lingkungan sangat mungkin
terjadi, rusaknya lingkungan tersebut juga akan berpengaruh pada kondisi
ekonomi masyarakat.
Selain itu, dengan adanya fakta bahwa lokasi wisata yang
dikembangkan oleh masyarakat tersebut adalah wilayah hutan milik
perhutani, maka pengelolaan wisata yang dikembangkan tersebut
haruslah memperhatikan kepentingan pihak pemilik kawasan hutan yang
dikelola tersebut. hal ini penting untuk menjaga keberlanjutan kegiatan
Wahyu Gunawan, dkk.| 175

wisata sehingga kegiatan wisata tersebut secara ekonomi dapat menjadi


sumber pendapatan bagi seluruh masyarakat.
Dikembangkannya pariwisata dengan konsep common property akan
mendorong seluruh pihak yang terlibat untuk bertanggung jawab
menjaga kawasan secara lingkungan. Menjaga kelestarian lingkungan
kawasan wisata adalah mutlak karena kondisi lingkungan yang baik itulah
yang menjadi jaminan keberlanjutan pariwisata tersebut.
176 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, A. (2001). Common Property Instituions and Sustainable Governance of
Resource. World Development. Vol. 29, No. 10, pp. 1649-1672.
Agrawal, Arun and Catherine Shannon Benson. (2011). Common property
theory and resource governance institutions: strengthening explanations of
multiples outcomes. Environmental Conservation / Volume 38 /
Issue 02 / June 2011, pp 199-210 DOI:
10.1017/S0376892910000925, Published online: 22 February
2011.
AUASTAT. Food and Agriculture Organization of the United Nation.
“Water
Use.”http://www.fao.org/nr/water/aquastat/water_use/index.s
tm
O." http://www.fao.org/nr/water/aquastat/water_use/index.st
m
Blomquist. (1998). Common property’s Role in Water Resource Management.
Center for Applied Economics Universite d’Aix-Marseille
Buck, Susan J. (1989). Cultural Theory and Management of Common
Property Resources.Human Ecology 17(1): 101-116.
Fennell, L.A. (2011). Ostrom’s Law: Property rights in the commons. The 20 th
anniversary of ‘Governing the Commons’- Part 1 (Guest Editors: F. van
Laerhoven and E. Berge)
Ratman, Dadang Rizki. (2016). Pembangunan Destinasi Wisata Prioritas
2016-2019. Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.
Saunders, Fred P. (2014). The promise of common pool resources theory and the
reality of commons projects. International Journal of the Commons.
Vol. 8, No 2 August 2014, pp. 636-656.
http://www.thecommonsjournal.org
Shiva, Vandhana. (2003). Water Wars Privatisasi, Profit, dan Polusi. Insist
Press & Walhi. Yogyakarta
Timilsina R.R, Kotani K, Kamijo Y. (2017). Sustainabiliity of common pool
resources. PLoS ONE 12 (2): e0170981. doi: 10.1371/Journal. pone.
0170981
DESA WISATA SEBAGAI
SEBUAH SOLUSI
9 PENGENTASAN
KEMISKINAN
Asep Sukarna

DESA WISATA DAN PENGENTASAN KEMISKINAN


Tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana proses perjalanan dan
bagaimana lika-liku menginisiasi Kampung Pasir ipis Desa Jayagiri
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, sehingga pada saat ini
menjadi Kampung Wisata yang berbasis pelibatan masyarakat. Walaupun
masih jauh dari kata sempurna sebagai role model Desa Wisata, namun
perjalanan selama lebih dari empat tahun memulai dengan dibantu oleh
beberapa pihak diantaranya Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, perlu kiranya dituliskan
sebagai referensi bagi siapa saja yang memerlukan inspirasi ataupun
bahan untuk mengembangkan Desa Wisata.
Fokus tulisan ini adalah bagaimana Desa Wisata menjadi sebuah
solusi bagi pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan. Dan sampai
dengan saat ini masih dilakukan pengembangan-pengembangan sehingga
kedepannya menjadi role model yang bisa benar-benar dijadikan sebagai
acuan solusi pengentasan kemiskinan. Dalam tulisan ini juga ditampilkan
beberapa kerangka teoritis praktis yang diambil dari berbagai sumber
bahan pustaka.

❖ Pengertian Kemiskinan
Pada dasarnya, kemiskinan merupakan salah satu permasalahan
yang umum didapati dalam kehidupan masyarakat, terutama pada
masyarakat di dalam negara berkembang. Ketika suatu permasalahan
muncul, maka akan timbul tuntutan untuk adanya suatu solusi atau upaya
pemecahan masalah yang disusun dengan terencana, terintegrasi dan
menyeluruh. Begitupun dengan permasalahan kemiskinan, dibutuhkan
upaya pemecahan masalah untuk memberantas kemiskinan dan

177
178 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

membantu mempercepat proses pembangunan masyarakat ke arah yang


lebih maju.
Istilah kemiskinan merupakan suatu hal yang sudah sangat familiar
dalam kehidupan kita. Kemiskinan yang dimaksudkan di sini adalah
kemiskinan yang ditinjau dari segi ekonomi (materil). Prof. Dr. Emil
Salim menuturkan pendapatnya mengenai kemiskinan, dikatakannya
bahwa kemiskinan merupakan suatu kondisi yang digambarkan sebagai
kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam
kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain, kemiskinan merupakan
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok dan menimbulkan
keresahan, kesengsaraan, dan kemelaratan dalam hidup seseorang.

❖ Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan


Terdapat beberapa faktor yang yang menyebabkan timbulnya
kemiskinan, diantaranya :
a. Rendahnya tingkat pendidikan
Dengan tingkat pendidikan yang rendah, kemungkinan
besar seseorang menjadi kurang mempunyai keterampilan
khususyang diperlukan untuk mendapatkan atau
menciptakan pekerjaan. Keterbatasan keterampilan atau
kemampuan yang diperlukan dalam dunia kerja sangat
berpengaruh besar terhadap pendapatan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini, seseorang
menjadi miskin karena tidak dapat berbuat apa-apa untuk
memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
b. Malas bekerja
Sikap malas ini merupakan suatu masalah dalam diri
individu, cerminan dari mentalitas atau kepribadian
seseorang. Orang yang memiliki sikap malas akan
menunjukkan sikap acuh tak acuh dan tidak bersemangat
dalam bekerja. Mereka yang memiliki sikap malas
cenderung bersikap pasif dan bergantung pada orang lain,
menggantungkan hidupnya pada keluarga, saudara, ataupun
orang-orang di sekitarnya yang dipandang memiliki
kemampuan untuk menanggung pemenuh kebutuhan
hidupnya.
Wahyu Gunawan, dkk.| 179

c. Keterbatasan sumber alam


Ketika sumber alam tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat, maka kemiskinan akan melanda. Istilah
“alamiah miskin” sering digunakan untuk menggambarkan
suatu kemiskinan karena adanya katerbatasan sumber alam
seperti kondisi tanah yang tidak subur lagi, tidak
menyimpan kekayaan mineral, atau lain sebagainya. Oleh
karena itu, sering dikaitkan jika miskin sumber alam maka
miskin pula masyarakatnya.
d. Terbatasnya lapangan kerja
Terbatasnya lapangan kerja akan membawa pada timbulnya
kemiskinan bagi masyarakat. Meskipun dalam mencari
pendapatan seseorang bisa saja membuka lapangan
kerjanya sendiri, tidak semua orang dapat melakukan hal
tersebut, kurangnya modal secara finansial dan modal “skil”
menjadi kendala utama untuk menciptakan lapangan kerja
baru, sehingga mencari lapangan pekerjaan menjadi solusi
terbaik untuk mencari pendapatan. Dengan demikian,
ketika terjadi keterbatasan lapangan kerja, maka akan
banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan, yang
kemudian dapat menimbulkan kemiskinan.
e. Keterbatasan modal
Terbatasnya modal merupakan sebuah kenyataan yang
selalu didapati di negara-negara berkembang, kondisi
demikian menimbulkan kemiskinan di negara tersebut pada
sebagian besar masyarakatnya. Seseorang menjadi miskin
atau tidak pernah keluar dari lingkaran kemiskinan karena
mereka tidak memliki modal untuk meniti jalan keluar dari
kemiskinan tersebut. Meskipun mereka memiliki modal
“skill” yang memadai, tapi ketika tidak ada modal ekonomi
yang cukup untuk melengkapi dan menerapkan
kemampuan tersebut, maka tujuan untuk memperoleh
pendapatan menjadi sulit untuk dicapai. Dalam negara-
negara berkembang, keterbatasan modal diibaratkan
sebagai suatu lingkaran yang tak pernah putus, tak pernah
tuntas dari segi permintaan dan penawaran modal.
f. Beban keluarga
180 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Jumlah anggota keluarga juga memberikan pengaruh yang


signifikan terkait jumlah penghasilan yang harus
didapatkan, karena semakin banyak jumlah anggota
keluarga maka semakin banyak juga kebutuhan yang harus
dipenuhi. Apabila hal tersbut tidak dapat dipenuhi, maka
akan timbul kemiskinan yang ditandai dengan tidak
terpenuhinya kebutuhan hidup.
Dalam kenyataannya, terdapat perbedaan sikap manusia
dalam mengelola kekayaan alam unuk memenuhi
perekonomian di satu sisi orang-orang pasti ingin
meningkatkan taraf hidupnya. Di sisi lain banyak orang
yang tidak peduli dalam upaya pelestarian sumberdaya
untuk keberlangsungannya di masa mendatang.

Dari kegagalan dalam mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan


ketimpangan pendapatan secara berarti, maka para ahli kemudian
bergeser dari penciptaan lapangan kerja yang memadai, penghapusan
kemiskinan, dan akhirnya ke penyediaan barang-barang dan jasa
kebutuhan dasar bagi seluruh penduduk.

❖ Pengertian Desa/Pedesaan
Menurut Sutardjo Hadikusuma, desa merupakan suatu kesatuan
hukum di mana masyarakat tinggal dan memiliki pemerintahan sendiri.
Sedangkan Bintarto berpendapat bahwa desa merupakan suatu kesatuan
sosial, ekonomi, geografis, politik dan kultural yang terdapat dalam suatu
daerah yang memiliki hubungan yang saling mempengauhi satu sama lain
dengan daerah lainnya. Paul H. Landis menyebutkan bahwa yang
termasuk ke dalam kategori desa adalah wilayah yang penduduknya
kurang dari 2.500 jiwa. Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Penduduk hidup dan bergaul dengan saling mengenal satu
sama lain.
b) Terdapat suatu pertalian perasaan mengenai kebiasaan dan
kesukaan yang sama.
c) Umumnya bekerja pada bidang agraris yang sangat dipengaruhi
oleh kondisi alam seperti iklim dan kekayaan alam, sedangkan
pekerjaan non-agraris merupakan pekerjaan yang bersifat
sambilan.
Wahyu Gunawan, dkk.| 181

Masyarakat pedesaan umumnya memiliki ikatan batin yang kuat


antar sesama penduduk desa, anggotanya memiliki perasaan bahwa
dirinya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di
mana ia hidup dan bersedia untuk berkorban demi masyarakatnya karena
merasa memiliki hak dan tanggung jawab yang sama terhadap
kebahagiaan dan keselamatan masyarakatnya.

❖ Pengertian Desa Wisata


Menurut Windu Nuryanti (1993), Desa Wisata adalah suatu
bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang
disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu
dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Desa Wisata biasanya memiliki
kecenderungan kawasan pedesaan yang memiliki kekhasan dan daya tarik
sebagai tujuan wisata.
Akhir-akhir ini sudah banyak diperbincangkan tentang dunia
kepariwisataan, dimana orang mempunyai pandangan yang berbeda-
beda, boleh dikatakan bertentangan satu sama lain, lebih-lebih
menyangkut adat-istiadat, budaya dan lingkungan hidup sekelompok
masyarakat yang langsung terlibat dalam arus lalu-lintas kegiatan industri
pariwisata.
Untuk membangun suatu kawasan wisata di pedesaan, tidak hanya
mengandalkan sumberdaya alam sebagai satu-satunya faktor penunjang
dalam industri pariwisata. Namun juga faktor dukungan sumberdaya
manusia merupakan hal terpenting yang harus dibangun terlebih dahulu.
Masyarakat sebagai titik sentral haruslah diberikan pengetahuan dan
pengertian tentang pentingnya bersama-sama membangun desa demi
terwujudnya tujuan bersama.
Pariwisata sudah menjadi sebuah industri yang memberikan
pengaruh pada aspek lain dalam kehidupan. Dampak-dampak yang
muncul dari kegiatan wisata bisa bermanfaat dan bisa pula merugikan.
Pariwisata merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
wisatawan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat
sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat.
Industri pariwisata merupakan suatu kumpulan usaha pariwisata
yang di dalamnya memiliki keterkaitan dalam hal menghasilkan barang
atau jasa untuk memenuhi segala macam kebutuhan para wisatawan
ketika mengikuti sebuah pariwisata. Orang yang melakoni usaha
pariwisata biasa disebut sebagai pengusaha pariwisata. Usaha pariwisata
182 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan bisnis yang memiliki keterkaitan


dengan kegiatan wisata, sehingga sebuah pariwisata tidak akan berjalan
dengan baik jika usaha pariwisata tidak ada. Usaha pariwisata juga
didukung oleh usaha lainnya karena industri pariwisata ini merupakan
industri yang multisektor.
Industri pariwisata ini menjadi salah satu poin utama bagi
beberapa negara menggantungkan harapannya dalam hal pendapatan
negara. Industri pariwisata menjadi salah satu sumber pendapatan pajak
negara dan pendapatan bagi banyak pihak baik secara langsung ataupun
tidak langsung atas barang atau jasa yang dijual kepada wisatawan.
Kepariwisataan memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
a. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
b. Untuk menghapuskan kemiskinan
c. Untuk mengurangi jumlah pengangguran
d. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
e. Untuk menjaga kelestarian alam, lingkungan, dan sumber data
f. Untuk memajukan kebudayaan masyarakat
g. Untuk mengangkat citra bangsa
h. Untuk memupuk rasa cinta tanah air
i. Untuk memperkukuh jatidiri dan kesatuan bangsa
j. Untuk mempererat persahabatan antar bangsa

TENTANG KAMPUNG PASIRIPIS


Secara umum di Kampung Pasiripis bukanlah termasuk kedalam
kategori desa tertinggal, mayoritas penduduknya bermata pencaharian
sebagai petani, peternak, dan buruh harian lepas. Kampung Pasiripis
masuk kedalam wilayah administratif RW 06 Desa Jayagiri Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat, terdiri dari 5 RT.Penduduk di
Kampung Pasiripis RW 06 berjumlah 1,428 jiwa dari total 400 Kepala
Keluarga, terdiri dari 703 Laki-laki dan 725 Perempuan.
Pada permulaan, pertama kali menginjakkan kaki di Kampung
Pasiripis pada medio November 2013. Kala itu berniat ingin melihat
lokasi di kawasan sekitar hutan apakah layak untuk dikembangkan
menjadi tempat untuk pembudidayaan ternak lebah madu. Mengingat
sumber makanan lebah madu salahsatunya adalah bunga dari pohon
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) yang banyak terdapat di dataran tinggi
sekitaran hutan Pasiripis.
Wahyu Gunawan, dkk.| 183

Bersama lima orang yang tergabung dalam Perhimpunan Pemuda


Lembang (sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang saya pimpin dan
baru berumur beberapa bulan), pada siang hari kami berangkat ke lokasi
dan bertemu dengan para pemuda yang tergabung dalam wadah Karang
Taruna Unit RW 06 Kampung Pasiripis Desa Jayagiri Kecamatan
Lembang yang diketuai oleh Kang Dede Suhendi, bersama rekan Karang
Taruna lainnya yaitu : Kang Elan, Kang Dadeng, dan Kang Piyan.

Jalan akses menuju lokasi

Mereka mengantar kami ke lokasi hutan yang menjadi penguasaan


Perhutani KPH Bandung Utara, memasuki gerbang hutan yang ditandai
oleh patok berbentuk coran semen setinggi 50cm sebagai batas antara
perkampungan penduduk dengan kawasan Perhutani. Pohon pinus yang
jaraknya tidak terlalu rapat dan tak terurus, tampak tidak diambil hasil
sadapannya. Sekeliling pinggiran lahan hutan dengan tanah landai yang di
petak-petakan ditumbuhi rumput gajah untuk pakan ternak sapi.
Menurut keterangan mereka, kawasan ini ditanami rumput oleh
penduduk yang beternak sapi dan tergabung dalam wadah KPSBU
(Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara), dan lahan tersebut
dikerjasamakan melalui kontrak antara KPSBU dengan Perhutani.
184 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Dari niat awal ingin berbudidaya ternak lebah madu, dengan


berbagai pertimbangan dan dinamika perjalanan menuju kearah tersebut
kurang memungkinkan maka niat awal tersebut kami urungkan, dan
mulai berpikir jalan lain untuk melakukan sesuatu tanpa bergeser pada
tujuan awal. Kemudian sepakat menyamakan persepsi bersama bahwa
menjaga kelestarian alam dan lingkungan adalah platform awal untuk
menuju perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Hutan Pinus di Kawasan Hutan Pasiripis

Dari kunjungan pertama itu, maka kami dapat menyimpulkan


bahwa terdapat beberapa potensi di Kampung Pasiripis adalah sebagai
berikut :
1. Pertanian dan Peternakan
Wilayah Pasiripis merupakan wilayah agrobisnis dipadukan
dengan peternakan sapi perah. Potensi ini akan menjadi wahana
pembelajaran bagi masyarakat umum untuk mengenal dan bersentuhan
langsung dengan dunia pertanian dan peternakan.
Wahyu Gunawan, dkk.| 185

2. Hutan Alami
Pasiripis berada di kawasan pinggiran
hutan pinus dikelola oleh Perhutani,
berbatasan langsung dengan hutan
alami yang kaya dengan tumbuhan
pegunungan dan masih terjaga
keasrianya, hal ini akan menjadi daya
tarik bagi pengunjung untuk
mempelajari ekosistem hutan alami.
Di dalamnya kaya akan flora dan
fauna dan masih terjaga habitatnya, udara sejuk dan lingkungan nyaman
menjadi daya tarik masyarakat yang jenuh dengan keramaian dan rutinitas
untuk refresh dengan semangat back to nature.

3. Sumber Mata Air dan Air Terjun


Di lembah Pasiripis terdapat
beberapa titik mata air alami dengan
debit masih cukup besar dan
beberapa air terjun diantaranya
dikenal oleh masyarakat. Adanya dua
potensi sumber air ini akan menjadi
paduan harmonis bagi pengunjung
untuk mempelajari tentang
pentingnya menjaga sumber mata air
dan memelihara keaslian
lingkungannya. Dari sumber mata air
ini, merupakan sumber air yang
digunakan oleh warga Kampung Pasir
186 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

ipis untuk memenuhi kebutuhan air untuk minum dan keperluan sehari-
hari di perkampungan.

4. Potensi Biologi

Pasiripis merupakan
rangkaian perbukitan
sisa dari dari
meletusnya Gunung
Sunda, berada tepat
dibawah kaki Gu-
nung Tangkuban
Perahu. Dari Pasir
Ipis terlihat hampa-
ran Kota Bandung,
dulunya merupakan
danau purba bahkan
kawah gunung berapi yang meletus jutaan tahun yang lampau. Dari
ketinggian Pasiripis dapat terlihat pula jajaran gunung di sekitarnya
merupakan bukti dari letusan gunung berapi. Dari Pasiripis dapat
dipelajari adanya sisa-sisa batuan lahar yang membeku, terhampar
didataran rendah seperti sungai,dan lain-lain. Adanya kandungan geologi
ini menjadi media untuk mempelajari aktifitas vulkanik yg masih terjadi
di Gunung Tangkuban Perahu.

5. Potensi Sejarah
Di Pasiripis terdapat
Benteng peninggalan
Belanda yang didirikan
pada masa perang dunia
kedua. Benteng di
Pasiripis merupakan
rangkaian dari benteng-
benteng Belanda yang
terdapat di dua bukit
lainnya yaitu Bukit Pasir
Malang dan Gunung
Putri. Keberadaan
Wahyu Gunawan, dkk.| 187

Benteng peninggalan Belanda di Pasiripis sudah diketahui oleh


masyarakat umum namun belum dikaji oleh lembaga terkait. Adanya
benteng peninggalan Belanda ini akan menjadi point interest bagi
pengunjung untuk mempelajari sejarah pada masa perang kemerdekaan.
Dalam mengeksplorasi benteng peninggalan Belanda ini kami dari
Perhimpunan Pemuda Lembang dibantu oleh LSM Trapawana Jawa
Barat selama beberapa bulan untuk menentukan koordinat luasan area
benteng ini. Hingga saat tulisan ini di buat, kami tinggalkan sejenak
karena berbagai alasan.
Setelah melihat dan menyimpulkan apa-apa saja potensi yang ada
di Kampung Pasiripis, maka langkah selanjutnya adalah memikirkan
bagaimana bersama-sama para pemuda dan masyarakat sekitar dapat
berkumpul bersama untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan
apa yang menjadi tujuan bersama.

❖ Inisiasi Taman Bacaan Masyarakat


Kami menyadari bahwa tanpa adanya ilmu pengetahuan tak akan
mampu kami dapat mengetahui apapun, maka kami membangun tempat
untuk menggali ilmu pengetahuan tersebut dengan mendirikan Taman
Baca Masyarakat pada bulan Februari 2014, sebagai tempat belajar dan
menunjang kegiatan kami, sekaligus menjadi sekretariat awal kami.
Bertempat di halaman rumah salahsatu anggota Karang Taruna yang juga
biasa dipakai tempat kegiatan Posyandu menimbang balita pada setiap
bulannya oleh ibu-ibu kader PKK Kampung Pasiripis.
Bangunan yang terbuat dari bambu, dibangun ala kadarnya
dengan cara swadaya para pemuda dan warga masyarakat Kampung
Pasiripis, berukuran 3x4 meter persegi. Buku-buku bacaan bantuan dari
Pemerintah Desa Jayagiri merupakan modal awal koleksi Taman Baca
Pasiripis, berjumlah 100 eksemplar terdiri dari buku pengetahuan umum,
pendidikan, peternakan, pertanian, agama, kesehatan, keterampilan, dan
juga buku bacaan untuk anak-anak. Taman Bacaan Masyarakat tidak
hanya sebagai tempat membaca buku, namun juga sebagai tempat untuk
berdiskusi, mengadakan pertemuan-pertemuan maupun rapat-rapat
kecil.
188 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Inventarisir buku bacaan


bantuan hibah dari
Pemerintah Desa Jayagiri Diskusi dan brainstorming
untuk Taman Baca Pasiripis pemuda Kampung Pasiripis

❖ Tahapan Awal Kegiatan


Pada bulan Desember 2013, kami mengundang warga masyarakat
Kampung Pasiripis yang terdiri dari pengurus RW 06, pengurus RT 01
sampai dengan RT 05, tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta anggota
Karang Taruna Unit RW 06 untuk mempresentasikan rencana
pengembangan Kampung Wisata di Pasiripis yang bertempat di Gedung
SD Negeri Pasiripis. Pertemuan terebut berlansung dalam tiga kali
pertemuan, dan mencapai kata sepakat dan mendukung bahwa seluruh
warga masyarakat menyetujui adanya rencana Kampung Pasiripis akan
dijadikan sebagai Kampung Wisata dengan tujuan melestarikan
lingkungan hutan yang terdapat mata air yang dijadikan sumber
kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

❖ Perkenalan Dengan Program Studi Sosiologi Universitas


Padjajaran
Pada sekitar bulan Januari 2014, lewat pertemuan yang tidak
sengaja kami diperkenalkan oleh Kang Roni Sakti Alamsyah, salah
seorang warga Lembang yang peduli akan pergerakan kami di wilayah
Kecamatan Lembang. Pertemuan dengan Bapak Wahyu Gunawan yang
pada waktu itu masih menjabat sebagai Ketua Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran,
menanyakan apa saja yang sedang kami garap di Kampung Pasiripis.
Kemudian dari pertemuan tersebut disepakatilah dari Program Studi
Wahyu Gunawan, dkk.| 189

Sosiologi Universitas Padjadjaran akan membantu bagaimana cara


mengembangkan Kampung Wisata Pasiripis dengan pola pelibatan
masyarakat.
Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan kunjungan, tim
berjumlah 6 orang yang di pimpin oleh Bapak Wahyu Gunawan dari
Program Studi Sosiologi Universitas Padjadjaran. Dalam Program
"Community Development" memberikan pendampingan, bimbingan dan
arahan kepada para pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna RW
06 Kampung Pasiripis Desa Jayagiri Kecamatan Lembang pada hari
Kamis Tanggal 13 Februari 2014 perihal menjaga, menata dan merawat
lingkungan sekitar tempat tinggal mereka agar dapat berdaya guna bagi
masyarakat sekitar. Beberapa potensi yang ada seperti pertanian,
peternakan, potensi pariwisata agrowisata dan sejarah, sumber daya alam
yang dapat di manfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di Kampung Pasiripis Desa Jayagiri Kecamatan Lembang Kabupaten
Bandung Barat.
Maka sebagai tindak lanjut dari kunjungan tersebut, kemudian
disusunlah rencana program bagaimana membangun Kampung Pasiripis
agar dapat menjadi Kampung Wisata yang dapat mendatangkan manfaat
dalam meningkatkan kesejahteraan bagi warga masyarakat. Perhimpunan
Pemuda Lembang yang berfungsi sebagai agent of development di Kampung
Pasiripis kemudian mengajukan surat permohonan kepada Program
Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Padjajaran untuk dapat menjadi mitra dalam pengembangan Kampung
Wisata Pasiripis.
Sementara tim Community Development Program Studi Sosiologi
menyusun dan merancang pola pengembangan Kampung Wisata
Pasiripis, kami dari Perhimpunan Pemuda Lembang bersama anggota
Karang Taruna Unit RW 06 dan masyarakat terus melakukan berbagai
macam cara bagaimana dapat menata kawasan sekitaran hutan agar dapat
dijadikan sebagai entry point kunjungan, salahsatunya menata lahan yang
dikuasakan pengelolaannya oleh Perhutani (sebelumnya telah
mengajukan ijin kepada Perhutani untuk dapat mengelola salah satu blok
di kawasan hutan yang mekanismenya berada dalam naungan LMDH
Jayagiri), tak jauh berbatasan dengan perkampungan warga RT 05.
Kendala yang dihadapi adalah masalah pendanaan untuk membiayai
pergerakan, selain mengeluarkan dana dari pribadi kami masing-masing,
juga swadaya dari warga sekitar. Kemudian pada sekitar bulan Juni 2014
190 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

mengajukan proposal kepada salah satu anggota DPRD Kabupaten


Bandung Barat (Bapak Asep Dindin Diana) dari dana aspirasi dewan
lewat Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat untuk penataan camping
ground (tempat berkemah) sebesar Rp. 25,000,000,- (dua puluh lima juta
rupiah) atas nama Karang Taruna Unit RW 06 Kampung Pasiripis Desa
Jayagiri Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.

Bapak Wahyu Gunawan dan Tim Community Development Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Sifat hakikat masyarakat Kampung Pasiripis pada dasarnya adalah


suka bekerja dan menilai tinggi terhadap kegiatan bekerja. Maka tidak
perlu adanya motivasi untuk menambah kegiatan bekerja bagi masyarakat
disini, tetapi perlu adanya pengarahan agar mereka mempunyai kegiatan
bekerja yang efektif dan efisien serta berkelanjutan, jangan sampai terjadi
masa-masa kosong bekerja karena adanya perubahan musim (misalnya
musim penghujan dan musim kemarau).
Umumnya anggota masyarakat memiliki kepentingan pokok yang
hampir sama, maka untuk mencapai kepentingan-kepentingan tersebut
biasanya mereka mengerjakannya dengan bekerjasama saling tolong
menolong. Misalnya ketika membangun rumah, upacara perkawinan,
perbaikan jalan desa,pembuatan saluaran air, dan lain sebagainya, dalam
hal-hal tersebut mereka selalu bahu membahu menyelesaikan semuanya
Wahyu Gunawan, dkk.| 191

dengan bekerjasama. Kegiatan keejasama tersebut biasa disebut dengan


istilah gotong royong, atau dalam masyarakat saat ini lebih dikenal
dengan sebutan kerja bakti seperti untuk kegiatan bersih-bersih selokan,
perbaikan jalan, menjaga keamanan desa atau ronda malam, dan lain
sebagainya.
Sedangkan mengenai pekerjaan gotong royong atau kerja bakti itu
terdapat dua macam, yaitu:
a) Kerjasama atas usulan atau inisiatif yang berasal dari masyarakat
itu sendiri.
b) Kerjasama atas usulan atau inisiatif yang berasal dari pihak luar
atau berasal dari atas atau pimpinan masyarakat.

Dalam praktiknya, kerjasama jenis pertama biasanya lebih


sungguh-sungguh dikerjakan masyarakat dan dirasakan kegunaannya bagi
mereka sendiri, sedangkan kerjasama jenis kedua biasanya seringkali
kurang dipahami kegunaannya.

❖ Penataan Camping Ground


Pada bulan Desember 2014, proposal yang kami ajukan pada
bulan Juni 2014 disetujui dan terjadilah proses pencairan dana yang di
transfer ke rekening Karang Taruna Unit RW 06 Pasiripis. Dan mulailah
kami mulai membangun fasilitas dengan apa yang diajukan
peruntukannya dalam proposal tersebut. Yaitu membangun Toilet/MCK
yang berjumlah dua pintu, satu saung/bangunan untuk berkumpul dan
berteduh, serta penataan lahan untuk tempat berkemah. Pengerjaannya
memakan waktu sekitar satu bulan, dari pertengahan bulan Desember
2014 sampai dengan bulan Januari 2015, dikerjakan secara swadaya oleh
para anggota Karang Taruna dan masyarakat Kampung Pasiripis.
Memasuki periode tahun 2015 dan 2016, mulailah Program Studi
Sosiologi Universitas Padjadjaran menurunkan mahasiswa nya untuk
membantu pendampingan di Kampung Pasiripis, beberapa kegiatan
seperti simulasihomestay, workshop, penelitian, dan berbagai kegiatan lainya
di uji cobakan untuk mengukur sampai jauh mana Kampung Wisata
Pasiripis layak dan siap untuk dijadikan sebagai destinasi kunjungan
wisata.
192 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Penataan akses jalan masuk menuju ke lokasi Wanawisata Pasiripis


di lingkungan RT 05 RW 06 Kampung Pasiripis Desa Jayagiri Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat

Tahapan pembangunan Toilet/MCK, penataan lahan camping ground dan


pembuatan saung yang dananya bersumber dari aspirasi anggota DPRD
Kabupaten Bandung Barat (Bpk. Asep Dindin Diana) melalui Dinas Sosial
Pemerintah Kabupaten Bandung Barat
Wahyu Gunawan, dkk.| 193

DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, Haji.(2009).Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Blog Alam Priangan, Kaliandra Merah – Tanaman Anti Gulma
Serbaguna. t.t https://alampriangan.com/kaliandra-merah-anti-
gulma/ (diakses pada 14 Januari 2018)
Ismayanti.(2010).Pengantar Pariwisata. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia. 2010.
Nuryanti, Wiendu.(1993). Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian
dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nyoman S. Pendit.(2002).Ilmu Pariwisata : Sebuah Pengantar Perdana.
Jakarta: Pradnya Paramita.
194 | Tahapan Pembangunan Masyarakat
DESA WISATA BERBASIS
10 BUDAYA LOKAL
Budi Sutrisno

PENDAHULUAN
Sektor pariwisata terus mengalami perkembangan pesat. Data
statistik menunjukan capaian pembangunan pariwisata untuk periode
Januari-Desember 2016 mampu mencapai target yang telah ditetapkan.
Secara kumulatif jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia
pada periode tersebut mencapai 12.023.971 kunjungan dengan tingkat
pertumbuhan sebesar 15,54%. Capaian tersebut lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara
di beberapa negara tetangga ASEAN seperti Thailand 9,7% (periode
Januari-November 2016); Singapura 7,9% (periode Januari-November
2016), dan Malaysia 4,4% (periode Januari-Oktober 2016).
Adapun kunjungan wisatawan mancanegara tersebut
berkontribusi terhadap penerimaan devisa sebesar Rp 176-184 triliun
rupiah (prognosa), dari target 2016 sebesar 172 triliun rupiah.
Peningkatan pencapaian devisa tersebut justru terjadi ketika devisa dari
komoditi batubara dan migas cenderung mengalami penurunan, seperti
diproyeksikan melalui grafik berikut.35 Berdasarkan data tersebut, maka
diproyeksikan pada tahun 2020 sektor pariwisata merupakan
penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.
Secara garis besar terdapat empat jenis obyek wisata yang biasa
dikunjungi oleh para wisatawan yaitu wisata alam, wisata bahari, wisata
budaya dan wisata buatan. Wisata buatan merupakan jenis wisata yang
paling diminati sampai saat ini terutama oleh wisatawan nusantara.

35
Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pariwisata Tahun 2016

195
196 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Grafik 10.1 Penerimaan Devisa Berdasarkan Sektor Utama


Sumber : Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pariwisata, 2016:1

Grafik 10.2 Jenis Obyek Wisata Yang Dikunjungi Periode Januari-Juni 2016
Sumber : Kajian Data Pasar Wisatawan Nusantara, 2016:82

Wisata budaya merupakan salah satu jenis obyek wisata yang


meskipun secara statistik terendah tetapi dipandang menarik
keberadaannya. Jenis wisata ini dipandang unik dan khusus karena
memiliki karakteristik yang cukup berbeda dengan obyek wisata lainnya.
Oleh karena itu, artikel ini secara khusus membahas mengenai wisata
Wahyu Gunawan, dkk.| 197

budaya baik secara umum maupun terkait dengan kampung wisata Pasir
Ipis yang berada di Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang.
Keberadaan wisata budaya cukup diminati meskipun tidak sebesar
obyek wisata lainnya. Wisatawan yang berkunjung pun tidak hanya
wisatawan nusantara (Wisnus) tetapi juga wisatawan mancanegara
(Wisman). Berdasarkan data statistik, profil wisatawan mancanegara yang
melakukan perjalanan wisata budaya dari berbagai wilayah dunia
ditunjukan oleh Grafik10.3 berikut ini

Grafik10.3 Distribusi Wisman Menurut Negara Tempat Tinggal


dan Jenis Aktivitas Wisata Budaya yang Dilakukan Tahun 2016
Sumber : Statistik Profil Wisatawan Mancanegara, 2016:87

Para turis budaya tersebut juga cukup beragam dari segi pekerjaan
dan yang menarik adalah sebagian besar dari mereka adalah ibu rumah
tangga, pelajar dan pensiunan.36

36
Statistik Wisatawan Mancanegara 2016
198 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Tabel 10.1Distribusi Wisman Menurut Pekerjaan Utama dan Jenis


Aktivitas Wisata Budaya yang Dilakukan, Tahun 2016
Jenis Aktivitas Wisata Budaya yang
Dilakukan
Pekerjaan Wisata Wisata Wisata
Utama Sejarah, Budaya Perkotaan
Religi dan dan dan
Syariah Kuliner Pedesaan
Profesional 32.76 42.38 83.08
Manajer 22.19 35.87 74.32
Peg Pem/PBB 37.44 43.31 83.92
Militer 36.46 38.54 88.54
Karyawan 26.48 42.11 82.16
Ibu RT 32.21 47.44 94.15
Pelajar 39.21 47.59 90.18
Pensiunan 32.94 42.17 89.84
Lainnya 33.30 42.03 81.24
Rata-rata 30.65 41.85 82.73
Sumber : Statistik Wisatawan Mancanegara, 2016:88

❖ Budaya : Definisi dan Signifikansinya


Istilah “budaya” tidak memiliki definisi yang bersifat universal dan
diterima secara umum. Namun, sebagian besar interprestasi yang ada
menyoroti konsep yang sama yaitu budaya sebagai hubungan antara
dunia ciptaan (termasuk manusia itu sendiri di dalamnya) dengan dunia
dimana kita tinggal didalamnya. Definisi yang lebih luas menyatakan
budaya sebagai ciri khas pembeda antar negara dan kebangsaan termasuk
seluruh nilai dan aset yang ada didalamnya baik yang bersifat nyata
(tangible) maupun tidak nyata (intangible).Dalam hal ini, budaya mencakup
keseluruhan praktik sosial, seni dan aktivitas intelektual dan sistem
pembeda sepanjang hayat yang diciptakan oleh individu dan atau
masyarakat. Dalam hal ini, budaya memberikan pedoman tentang standar
umum dan nilai-nilai didalam kehidupan sehari-hari.
UNESCO mendefinisikan budaya sebagai aset yang ditambahkan
oleh manusia. Menurut definisi ini budaya mencakup faktor-faktor nilai,
pola perilaku individu, hubungan kekeluargaan, keamanan, standar
moral, ekspresi kreativitas,seni, kerajinan tangan, tradisi, ritual, gaya
Wahyu Gunawan, dkk.| 199

hidup masyarakat dan lembaga kemasyarakatan. Dengan demikian,


budaya tidak hanya mencakup seni dan tulisan, tetapi juga gaya hidup,
hak asasi manusia, sistem nilai, tradisi dan keyakinan (UNESCO, 1982).
Konsep lainnya mencakup budaya masyarakat (community culture),
pendidikan, adat-istiadat, tradisi, moral dan terkadang bahasa.
Mengacu kepada konsep terbaru, istilah “budaya” terdiri dari
lingkaran dalam dan lingkaran luar. Lingkaran yang lebih dalam (inner
cycle) mencakup seni,musik, tarian, tulisan/literatur dan aset warisan
budaya (bangunan, monumen). Dalam interpretasi yang lebih luas,
budaya mencakup berbagai elemen gaya hidup (adat-istiadat, tradisi,
agama, kuliner) dan industri kreatif (fashion, film, industri hiburan,
desain) (WTO-ETC, 2005).
Dalam wisata budaya –dan juga wisata lainnya-- kontak dengan
orang luar menjadi tidak terhindarkan. Dalam hal ini, kontak budaya
dapat terjadi dan menjadi hal biasa disebabkan para turis berasal dari
wilayah yang memiliki budaya berbeda. Menurut Cusick (1998:4), kontak
budaya adalah ketika suatu kelompok berinteraksi dengan orang luar
serta keinginan untuk mengendalikan interaksi tersebut. Schortman dan
Urban (1998) mendefinisikan kontak budaya sebagai setiap peristiwa
jangka panjang dimana terjadi pertukaran langsung antar anggota didalam
unit sosial yang tidak memiliki identitas yang sama. Mengacu kepada
Gosden (2004) budaya yang terisolir keberadaannya tidak pernah ada
karena seluruh bentuk kebudayaan secara esensial berhubungan satu
dengan lainnya dan dengan demikian maka kontak kebudayaan
merupakan sebuah elemen mendasar didalam kehidupan manusia.

PEMBAHASAN
❖ Definisi Wisata Budaya
Keberadaan wisata budaya mengalami perubahan secara dramatis
sejak pertama kali diakui pada akhir tahun 1970-an atau awal tahun 1980-
an. Pariwisata budaya muncul dan diakui sebagai kategori produk yang
berbeda ketika di akhir tahun 1970-am para pelaku wisata menyadari
bahwa banyak individu yang melakukan perjalanan khusus untuk
mendapatkan pemahaman mengenai budaya secara mendalam
(Tighe,1986). Pada awalnya mereka dianggap sebagai wisatawan khusus
yang hanya terdiri dari orang-orang berpendidikan dan makmur yang
sedang mencari sesuatu selain 3S (sand, sun, sea).
200 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Pada awal tahun 1980-an, wisata budaya telah diakui secara


terpisah dari wisata yang bersifat rekreasional. Namun demikian masih
belum ada satu definisi tentang “wisata budaya” yang dapat diterima
secara universal (Dolnicar, 2002; Hughes, 2002). Reisinger (1994)
mendefinisikan wisata budaya sebagai bentuk ketertarikan khusus
berdasarkan pengalaman atau pencarian budaya yang bersifat estetis,
intelek, emosional dan psikologis. Silberberg (1995) memberikan definisi
mengenai wisata budaya secara lebih luas yaitu kunjungan oleh orang luar
terhadap suatu masyarakat/komunitas yang dimotivasi sepenuhnya atau
sebagiannya oleh ketertarikan terhadap sejarah, seni, keilmiahan atau gaya
hidup sebagai bentuk warisan yang ada di masyarakat, wilayah atau
lembaga sosialnya. Dengan demikian maka destinasi wisata budaya dapat
berupa kunjungan ke museum, mengikuti festival, arsitektur bangunan
serta yang terkait dengan kuliner, bahasa dan keagamaan (Stylianou-
Lambert, 2011). Richards (1996:24) mengemukakan definisi yang bersifat
umum dan teknis. Konsepsi umum dari wisata budaya menurut Richard
mengacu kepada pergerakan individu dari tempat tinggal mereka yang
normal dengan maksud untuk mengumpulkan informasi dan
pengalaman baru yang dapat memuaskan mereka. Sementara definisi
teknis wisata budaya adalah pergerakan individu ke tempat-tempat atraksi
budaya tertentu seperti situs warisan budaya, seni artistik, pertunjukan
drama di luar lingkungan tempat tinggal mereka yang normal.
Berdasarkan berbagai definisi tersebut, wisata budaya merupakan
produk wisata yang mempertimbangkan keunikan, keberlanjutan dan
pemasaran dengan penekanan pada kepuasan tuntutan intelektual.
Berwisata ke wilayah Jawa Tengah untuk melihat Candi Prambanan atau
ke wilayah yang memiliki produk khas tertentu bisa dianggap sebagai
pengalaman intelektual baru bagi sebagian orang. Dalam kasus tersebut,
wisatawan memperoleh pengalaman yang membuat mereka lebih dekat
dengan budaya lokal. Sedangkan, dalam pendekatan yang lebih sempit,
wisata budaya merupakan sebuah perjalanan dengan motivasi untuk
mengenal budaya baru, mengikuti sebuah acara budaya atau menyaksikan
atraksi budaya dalam konteks dimana pertunjukan tersebut
merepresentasikan sesuatu yang unik dan merupakan budaya khusus dari
destinasi wisata yang didatangi. Definisi dari Organisasi Pariwisata Dunia
(WTO) juga hampir sama yaitu pariwisata budaya sebagai pergerakan
individu ke tempat-tempat atraksi budaya yang jauh dari tempat tinggal
mereka dengan maksud untuk mengumpulkan informasi dan
Wahyu Gunawan, dkk.| 201

pengalaman baru untuk memuaskan kebutuhan mereka akan budaya


(WTO-ETC, 2005).

❖ Keunggulan, Dampak Positif dan Negatif


Keberadaan wisata budaya memiliki keunggulan berikut dampak
positif maupun negatif. Salah satu keuntungan dari pariwisata budaya
adalah sebagai wahana pengembangan ekonomi (Richards, 1996). Wisata
budaya biasanya berada di pusat-pusat kota yang dengan demikian dapat
menghidupkan kembali berbagai aktivitas di perkotaan dengan
meremajakan kembali fasilitas budaya yang ada, menciptakan pusat
budaya baru dan menjadikan kota lebih menonjol dibandingkan daerah
lain serta mengubah citra kota itu sendiri (Bianchini, 1990; Herrero et.al.,
2005; Myerscough, 1988). Dampak lanjutannya maka investasi akan
masuk ke wilayah perkotaan. Dalam hal ini batasan kemudian menjadi
semakin kabur antara aspek budaya dan ekonomi karena ketika berbicara
mengenai pariwisata juga sekaligus membicarakan masalah pekerjaan dan
pendapatan (Richards dan Bonink, 1995). Dari sisi wisatanya sendiri,
wisata budaya memiliki keunggulan karena relatif tidak bergantung
kepada musim.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gordon dan Raber (2000),
Xie (2006), Hall dan Lew (2009) yang menyatakan bahwa wisata budaya
kini menjadi alat pengembangan ekonomi yang kuat dan dapat
menciptakan lapangan keraja baru, mendorong investasi serta membantu
revitalisasi kondisi masyarakat yang sedang terpuruk. Peranan wisata
budaya sebagai pendongkrak ekonomi tersebut menjadi penting terutama
bagi komunitas kecil di pedesaan, penduduk pribumi atau etnis minoritas
yang pilihannya cukup terbatas didalam mengembangkan perekonomian.
Dalam hal ini mereka dapat terlibat menjadi pemilik objek wisata, toko,
rumah makan, restoran, tempat penginapan/wisma, menjadi pemandu
wisata atau berperan didalam memproduksi serta memasarkan produk
kerajinan tangan, karya seni, souvenir untuk dijual kepada wisatawan.
Peluang usaha tersebut sangat menarik karena memiliki hambatan yang
rendah dan apabila dikembangkan secara intensif akan memberikan
pengalaman unik bagi para wistawan.
Selain itu, “turis budaya” dianggap kondisinya lebih baik karena
berpendidikan tinggi, kaya-raya sehingga mampu menempuh perjalanan
jauh dan umumnya mewakili jenis pengunjung kelas atas yang sangat
dinantikan (Holcomb, 1999). Kapodini-Dimitradi (1999) berpendapat
202 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

bahwa wisata budaya dipandang oleh para pembuat kebijakan sebagai


jenis wisata yang ”berkualitas” karena mampu menarik konsumen
berpenghasilan tinggi.
Namun dibalik keunggulan serta dampak positif tersebut
keberadaan wisata budaya juga dapat menjadi pedang bermata dua. Di
satu sisi dapat meningkatkan pertumbuhan di wilayah-wilayah tertentu
tetapi di sisin lain akan meningkatkan persaingan antar wilayah yang
kemudian menjadikan tingkat kedatangan turis menjadi berkurang untuk
wilayah lainya (Sdrali and Chazapi, 2007). Selain itu, dengan adanya
persaingan tersebut maka kemampuan untuk menciptakan “keunikan”
produk budaya yang ditawarkan juga semakin berkurang (Richards and
Wilson, 2006). Dampak lainnya yang juga tidak kalah berbahaya adalah
wisata budaya berpotensi menghancurkan aset warisan budaya. Berikut
ini beberapa dampak negatif dari wisata budaya apabila tidak diantisipasi.
Dampak negatif yang akan terjadi yaitu ketika terjadi beban
berlebih (over-use) akibat membanjirnya wisatawan yang dapat
menyebabkan terjadinya degradasi fisik, rusaknya nilai/budaya yang
kemudian mengurangi keunikan pengalaman dari wisatawan itu sendiri
(Shackley, 1998; du Cros, 2007). Hal ini terutama untuk area wisata yang
berada di lingkungan masyarakat/komunitas kecil dan kekurangan
insfrastruktur untuk menampung pengunjung dalam jumlah yang besar
(Vogt et. al., 2008). Lerkplien et. al. (2013) mencatat telah terjadi
kemunduran di berbagai situs budaya yang ada di Thailand sebagai
dampak dari penggunaan lahan yang tidak tepat, penyediaan sarana
transportasi dan komunikasi di tempat-tempat wisata, terjadinya polusi
baik udara, air, suara akibat sampah yang menumpuk. Levi dan Kocher
(2013) juga melaporkan bahwa akibat terlalu banyaknya wisatawan yang
berkerumun serta aktivitas komersial lainnya di sekitarnya dapat
mengganggu kegiatan ritual di tempat-tempat suci.
Dampak negatif lainnya adalah ketika terjadi penyalahgunaan
fungsi tempat yang dianggap suci oleh masyarakat sekitar atau melakukan
kegiatan yang tidak sesuai dengan nilai/norma. Brooks (2003) mencatat
bahwa pengunjung yang tidak menghormati tempat-tempat suci yang
biasa dipakai untuk kegiatan spiritual maupun acara tradisi dapat
memberikan dampak buruk pada tempat dan masyarakat di sekitarnya.
Salah satu contoh perilaku yang cukup sederhana tetapi memberikan
dampak buruk tersebut seperti mengotori tempat ibadah atau mengambil
foto saat diminta untuk tidak melakukannya sampai yang paling serius
Wahyu Gunawan, dkk.| 203

seperti merusak, menghilangkan artifak atau dengan tidak menunjukan


penghormatan terhadap budaya/tradisi lokal.

KAMPUNG PASIR IPIS DAN WISATA BUDAYA


Kampung Pasir Ipis khususnya dan Desa Jayagiri umumnya
memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata budaya
selain wisata alam, wisata bahari dan wisata buatan. Seperti yang telah
disampaikan pada bab terdahulu di Pasir Ipis terdapat benteng bersejarah
peninggalan Belanda yaitu benteng Pasir Ipis. Benteng tersebut cukup
luas dan berada di wilayah dataran tinggi. Tetapi sayangnya benteng
tersebut sebagian besar masih tertutup tanah dan bebatuan dan hanya
sebagian kecil saja yang nampak di permukaan.
Benteng Pasir Ipis dapat menjadi objek wisata budaya apabila
dilakukan penggalian dan restorasi sehingga keberadaan benteng menjadi
utuh kembali. Hal ini tentunya memerlukan perhatian berbagai pihak
terutama pemerintah daerah Kabupaten Bandung Barat. Selain itu juga
perlu ditelusuri mengenai sejarah serta fungsi benteng tersebut. Cerita
sejarah yang menarik merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan
yang berkunjung ke objek-objek wisata budaya.
204 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Selain Benteng, di Desa Jayagiri juga terdapat sebuah tempat


bersejarah yaitu Taman Junghuhn. Didalam taman ini terdapat tugu
tempat pemakaman seorang warga negara yang masuk ke Indonesia
bersama kolonial Belanda. Selain itu, di tempat ini juga terdapat pohon
kina tanaman langka yang dapat digunakan untuk pengobatan. Cagar
alam Junghuhn merupakan salah satu potensi wisata yang dimiliki Desa
Jayagiri. Cagar alam ini berada di RW. 07 yang memiliki lokasi strategis
dan mudah dijangkau oleh para wisatawan. Nama Junghuhn sendiri
diambil dari nama orang berkebangsaan Jerman yang bernama Dr. Franz
Wilhelm Junghuhn, ahli botani kelahiran Mansfeld Prusia yang pertama
kali menanam pohon kina. Cagar alam ini mulanya memiliki luas 2.5 Ha,
namun dewasa ini luasnya hanya berkisar 1 Ha yang mana kurang lebih
1.5 Ha digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Cagar alam Junghuhn memiliki beraneka ragam jenis pohon


namun yang lebih dominan adalah pohon Kina yang memiliki banyak
khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Cagar alam
Junghuhn ini masih menjadi milik pusat dan belum menjadi milik Desa
Jayagiri.Di taman Junghun terdapat bangku-bangku taman agar
pendatang yang berkunjung bisa bersantai sambil menikmati keindahan
taman. Apabila pengunjung berkunjung ke Taman Junghuhn,
pengunjung akan melihat tugu taman Junghuhn di dekat pintu masuk.
Wahyu Gunawan, dkk.| 205

Taman ini sering dikunjungi oleh warga negara asing terutama dari
Belanda dan Jerman. Mereka yang berkunjung ke tempat ini merupakan
keturunan dari Franz Wilhem Junghuhn, selain juga oleh wisatawan
domestik. Taman Junghuhn juga sering dijadikan tempat studi sejarah
oleh para pelajar dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Sejarah
Junghun juga telah diabadikan dalam bentuk tulisan yaitu buku yang
berjudul “Junghun Kembali ke Tangkuban Perahu” yang dikarang oleh
sejarawan Universitas Indonesia.
Franz Wilhem Junghun sendiri sebenarnya merupakan Warga
Negara Jerman. Namun pada masa penjajahan kolonial Belanda
Junghuhn ditugaskan untuk membantu Belanda oleh sekutu sebagai
dokter pada masukan militer. Awal Junghuhn masuk di Indonesia beliau
ditugaskan di daerah Sumatera, namun kemudian Junghuhn ditarik
kembali ke Jerman. Kemudian Junghuhn kembali ditugaskan di daerah
nusantara tepatnya di Bandung. Setelah menetap di Bandung, beliau
memiliki rasa kecintaan terhadap daerah Bandung. Kemudian Junghun
menikah dengan puteri bangsawan Belanda dan menetap di Bandung
sampai akhir hayatnya. Selama hidupnya, beliau mengembangkan
berbagai perkebunan dan budidaya di daerah Jawa Barat. Akan tetapi
yang paling terkenal adalah budidaya pohon Kina. Kina sendiri
merupakan salah satu tanaman yang berasal dari hutan Amazon Brazil
dan Junghuhn mengembangkan Kina dengan membawa bibitnya dari
hutan Amazon.
Selain sebagai dokter, Junghuhn juga dikenal ahli dalam
perkebunan dan pertanian karena sejak kecil Junghuhn memiliki
kesenangan terhadap perkebunan dan pertanian. Meskipun profesinya
sebagai dokter, namun junghun selalu belajar di bidang pertanian dan
perkebunan. Pendidikan dokter diperolehnya karena paksaan dari orang
tua, namun selama masa pendidikan dokter, Junghuhn kurang begitu
antusias dan bahkan beliau lebih condong untuk belajar di bidang
pertanian dan perkebunan. Selain itu juga selama bertugas di Jawa,
Junghuhn selalu melintas alam di Jawa dan membuat peta geografis Jawa.
Peta tersebut sampai sekarang masih dijadikan acuan untuk melihat
kondisi georafis Pulau Jawa. Berdasarkan historis tersebut maka Taman
Junghuhn dapat dijadikan objek wisata yang memiliki daya tarik bagi
wisatawan domestik maupun mancanegara.
Situs sejarah lainnya terdapat di RW.10 yaitu situs Batu Tumpang.
Dalam hal ini Batu Tumpang bukan sekedar batu yang bertumpuk-
206 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

tumpuk, tetapi batu yang memiliki nilai sejarah asli mengenai cerita
Sangkuriang menendang perahu dan cerita dayang sumbi bersembunyi
dari orang jahat. Tetapi sayangnya tanah tempat situs ini berada telah
dibeli oleh seseorang yang berprofesi sebagai pesulap sehingga
menjadikan situs ini sulit untuk diakses dan hanya dibuka untuk umum
ketika tahun baru.
Selain objek wisata budaya yang bersifat tangible tersebut di Jayagiri
juga terdapat objek wisata yang bersifat intangible yaitu Festival
Tangkuban Perahu yang digelar di alun-alun Lembang. Kegiatan tersebut
melibatkan seniman, budayawan, pegiat seni tradisional, instansi
pemerintah, Polri, TNI, pelajar, komunitas masyarakat dan sejumlah
stakeholders pariwisata. Para peserta mengikuti karnaval menyajikan
atraksi seni dan budaya sambil berjalan kaki melintasi alun-alun
Lembang. Pada tahun 2016, kegiatan tersebut berlangsung pada tanggal
24-25 Mei 2016. Karnaval dengan diiringi pementasan seni dan budaya
dapat dilakukan sebagai salah satu upaya mempromosikan pariwisata
kepada para turis baik domestik maupun
mancanegara.(https://travel.detik.com/travel-news/d-
3216446/festival-tangkuban-perahu-kembali-digelar-di-alun-alun-
lembang, diakses tgl 25 Januari 2018, Pkl. 20.45)

PENUTUP
Wisata budaya pada dasarnya bertujuan untuk menyatukan
keuntungan ekonomi dan konservasi nilai. Pariwisata budaya merupakan
produk wisata mandiri yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
akan pentingnya menjaga nilai-nilai masa lalu serta bagaimana warisan
budaya serta penghormatan terhadap bangunan dan alam yang kemudian
memperkuat identitas.
Kampung Pasir Ipis dan Desa Jayagiri memiliki potensi wisata
budaya yang apabila dikelola dengan baik dapat menghasilkan kentungan
baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat lokal. Berbagai produk
budaya yang telah terkomodifikasi tersebut dapat “dijual” yang kemudian
dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian wisata
budaya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Tetapi dibalik berbagai keuntungan tersebut dampak negatif yang
akan muncul harus tetap diantisipasi. Alih-alih keberadaan wisata budaya
mensejahterakan malah memunculkan konflik di masyarakat. Dalam hal
Wahyu Gunawan, dkk.| 207

ini diperlukan adanya pengendalian sosial terhadap aktivitas wisata


sehingga tidak bersifat destruktif baik terhadap lingkungan fisik, sosial
dan budaya itu sendiri.
208 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA
Kementrian, B. P. D. K. S. (2016). Pariwisata, Laporan Akuntabilitas
Kinerja Kementrian Pariwisata Tahun 2016. Biro Perencanaan dan
Keuangan Kementrian Pariwisata RI. Jakarta, 147.
Badarudin, Ida A. Fitriyani dan Diana I.(2016). Kajian Data Pasar
Wisatawan Nusantara 2016 dalam Statistik Profil Wisatawan
Nusantara Tahun 2016.Jakarta:BPS.
Bianchini, F. (1990). Cultural Policy and Urban Development: The
Experience of West European Cities. Paper delivered at the
conference: Cultural Policy and Urban Regeneration: The West
European Experience, Liverpool, 30-31 October.
Brooks, G. (2003) Heritage at Risk from Tourism, Paris: ICOMOS.
Available at:
http://www.international.icomos.org/risk/2001/tourism.htm
(diakses tgl 15 Januari 2018, pkl.15.00 Wib).
Dolnicar, S. (2002). A review of data-driven market segmentation in
tourism. Journal of Travel & Tourism Marketing, 12(1), 1–22.
du Cros, H. (2007) Too much of a good thing? Visitor congestion
management issues for popular World Heritage tourist attractions,
Journal of Heritage Tourism 2(3): 225–238.
Gordon, R. and Raber, M. (2000). Industrial Heritage in Northwest
Connecticut: A Guide to History and Archaeology. New Haven:
Connecticut Academy of Arts and Sciences.
Gosden, C. (2004). Archaeology and colonialism: Cultural contact from
5000 BC to the present. Vol. 2. Cambridge University Press.
Hall, C. M. and Lew, A. (2009). Understanding and Managing Tourism Impacts:
An Integrated Approach. New York: Routledge.
Herrero, L.C., Sanz, J.A., Devesa, M., Bedate, A. and Del Barrio, M.J. (2006).
The economic impact of cultural events: a case-study of Salamanca
2002, European capital of culture. European Urban and Regional
Studies, Vol. 13 (1), pp.41-57.
Hidayah, S. Awal&I. D. Gede.(2016). Statistik Profil Wisatawan
Mancanegara 2016.Jakarta: Kementerian Pariwisata.
Holcomb, B. (1999). Marketing cities for tourism. In D. Judd, and S. Fainstein
(Eds.), The Tourist City (pp. 54–70). New Haven: Yale University
Press.
Hughes, H. (2002). Culture and tourism: A framework for further analysis.
Managing Leisure, Vol. 7, No.3, pp.164-175.
Wahyu Gunawan, dkk.| 209

Introduction. In J. G. Cusick (Ed.). Studies in Culture Contact: Interaction,


Culture Change, and Archaeology (pp. 1–20). Center for
Archaeological Investigations: Southern Illinois University.
Kapodini-Dimitradi, E. (1999). Developing Cultural Tourism in Greece. In M.
Robinson and P. Boniface (Eds.) Tourism and Cultural Conflicts
(pp.113-127), Wallingford: CABI.
Lerkplien, W., Rodhetbhai, C. and Keeratiboorana, Y. (2013) The
management style of cultural tourism in the ancient monuments
of Lower Central Thailand, Asian Social Science 9(1): 112–118.
Levi, D. and Kocher, S. (2013) Perception of sacredness at heritage
religious sites, Environment and Behavior 45(7): 912–930.
Myerscough, J. (1988). The Economic Importance of the Arts in Britain.
London: Policy Studies Institute.
Reisinger, Y. (1994). Tourist—Host contact as a part of cultural tourism.
World Leisure & Recreation, 36(2), 24–28.
Richards, G. & Bonink, C. (1995). Marketing European cultural tourism.
Journal of Vacation Marketing, Vol. 1, pp.173-180.
Richards, G. & Wilson, J.C. (2006). Developing creativity in tourist
experiences: A solution to the serial reproduction of culture? Tourism
Management, Vol. 27, pp.1209-1223.
Richards, G. (1996).Cultural Tourism in Europe. Oxford: CAB
International.
Schortman, E. M., & Urban, P. A. (1998). Culture contact structure and
process. Studies in Culture Contact: Interaction, Culture Change, and
Archaeology, 102–125.
Sdrali, D. & Chazapi, K. (2007). Cultural tourism in a Greek insular
community: The residents‟ perspective. Tourismos, Vol. 2, No.2,
pp.61-75.
Shackley, M. (ed.) (1998). Visitor Management: A Strategic Focus.London:
Focal Press
Silberberg, T. (1995). Cultural tourism and business opportunities for
museums and heritage sites. Tourism Management, 16(5), 361–365
Stylianou-Lambert, T. (2011). Gazing from home: Cultural tourism and art
museums.Annals of Tourism Research, 38(2), 403–421.
Tighe, A. J. (1986). The Arts/Tourism Partnership, Journal of Travel
Research, 24 (3): 2–5.
UNESCO (1982): Mexico City Declaration on Cultural Policies. World
Conference on Cultural Policies. Mexico City, 26 July – 6 August, 1982.
210 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Vogt, C. A., Kah, A., Chang, H. and Leonard, S. (2008) Sharing the
heritage of Kodiak Island with tourists: views from the hosts. In
Prideaux, B., Timothy, D. and Chon, K. (eds) Cultural and
Heritage Tourism in Asia and the Pacific, Abingdon: Routledge,
pp. 118–133.
WTO – ETC (2005). City tourism and culture. The European Experience.
Brussels, February 2005.
Xie, P. F. (2006) Developing industrial heritage tourism: a case study of
the proposed Jeep Museum in Toledo, Ohio, Tourism
Management 27: 1312–1330.
PEMBANGUNAN
KAWASAN STRATEGIS
11 NASIONAL : Optimalisasi
melalui Manajemen
Lingkungan Hidup
Muhamad Fadhil Nurdin
Agung Mahesa Himawan Dorodjatoen

PENDAHULUAN
Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, sistem perencanaan ruang
di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan yang diakibatkan oleh
penerapan desentralisasi pada tahun 2001. Selain memberikan
kewenangan lebih pada pemerintah daerah dalam penyusunan rencana
tata ruang (Rukmana, 2015, Firman, 2009), perubahan tersebut juga
ditandai dengan dipromosikannya nilai akuntabilitas, kepatuhan pada
hukum (rule of law) dan diakuinya peran penting dari sektor swasta dan
masyarakat umum (Hudalah & Woltjer, 2007; Hudalah, D., Firman, T.,
Woltjer, J. (2014). Namun demikian, penelitan terkait bagaimana
perubahan dalam sistem perencanaan ruang tersebut mempengaruhi
upaya manajemen lingkungan hidup di Indonesia masih sangat jarang.
Padahal, salah satu tujuan awal pembentukan sistem perencanaan ruang
adalah untuk mengatasi penurunan kualitas lingkungan akibat
pertumbuhan sporadis permukiman penduduk, khususnya di kawasan
perkotaan (Roosmalen, 2008, Kementerian Pekerjaan Umum, 2008).
Tulisan ini memberikan penjelasan terkait perubahan pendekatan
perencanaan ruang di Indonesia dan implikasinya bagi upaya konservasi
lingkungan hidup. Tulisan ini terdiri dari; bagian pertama, menjelaskan
tujuan yang ingin dicapai studi. Kedua, memberikan landasan teori bagi
pembahasan di bagian-bagian selanjutnya. Ketiga, menguraikan secara
singkat metodologi yang digunakan di dalam studi ini. Keempat,
memberikan narasi sejarah terkait perubahan pendekatan perencanaan
211
212 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

ruang di Indonesia. Kelima, membahas mengenai upaya konservasi


lingkungan di dalam sistem perencanaan ruang di Indonesia yang secara
garis besar terbagi ke dalam upaya umum dan upaya khusus. Bagian
terakhir menyajikan refleksi temuan studi berdasarkan tujuan penelitian
dan kerangka teori yang digunakan. Mengingat data yang digunakan
masih sangat minim, studi ini diharapkan dapat menjadi pembuka bagi
penelitian lanjutan terkait peran rencana tata ruang dalam manajemen
lingkungan hidup.

PENDEKATAN MANAJEMEN LINGKUNGAN HIDUP


DALAM PERENCANAAN RUANG
Perencanaan ruang modern di Indonesia dimulai sejak tahun 1992
yang ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Penataan Ruang
(UUPR) 24/1992. Sebelum periode tersebut, perencanaan ruang di
Indonesia menggunakan peraturan perundangan warisan pemerintah
kolonial Belanda yang berfokus pada pengembangan kota-kota besar
(Roosmalen, 2008). UUPR 24/1992 adalah titik kulminasi dari
problematika kesenjangan yang terjadi antara wilayah perkotaan dan
wilayah di luar perkotaan (Kementerian Pekerjaan Umum, 2008). UUPR
24/1992 memberikan solusi terhadap kesenjangan tersebut dengan
memberlakukan hirarki perencanaan – tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten – dan melalui pendekatan distribusi pertumbuhan ekonomi
lintas wilayah (wawancara, PPPU 5). Sehubungan dengan ditetapkannya
sistem desentralisasi pada tahun 2001, UUPR 24/1992 mengalami
transformasi menjadi UUPR 26/2007 guna mengakomodasi semangat
pendekatan perencanaan bottom-up dan partisipasi masyarakat. Melalui
perubahan ini, UUPR 26/2007 berbeda dengan UUPR 24/1992 yang
lebih bernuansa otokratis dan bersifat top-down.
Terkait manajemen lingkungan hidup, perencanaan ruang modern
di Indonesia membagi kawasan Indonesia menjadi kawasan budidaya dan
kawasan lindung. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam dan buatan, sementara itu Kawasan
Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan sumber daya buatan (UUPR 26/2007). Pembagian ini
sudah ada sejak UUPR 24/1992 dan relatif tidak mengalami perubahan
meskipun pranata perundangan di bidang penataan ruang berganti.
Wahyu Gunawan, dkk.| 213

Perubahan justru dapat diamati di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah


Nasional (RTRWN), yang merupakan penjabaran strategi pemanfaatan
ruang skala nasional untuk jangka waktu 20 tahun, yang diterbitkan
melalui Peraturan Pemerintah. RTRWN I tahun 1997 (PP 47/1997) tidak
memberikan batasan secara rinci terkait luasan kawasan lindung yang
harus disediakan pemerintah. Ini berkebalikan dengan RTRWN II tahun
2008 (PP 26/2008), yang ditetapkan setelah terbitnya UUPR 26/2007.
Pada RTRWN II, pemerintah diwajibkan menyediakan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di kawasan perkotaan dengan luas minimal 30% dari
kawasan perkotaan tersebut dan menjaga ketersediaan kawasan lindung
di wilayah kepulauan seluas minimal 30% dari luas pulau tersebut. Upaya
perbaikan lingkungan hidup ini juga senafas dengan terbitnya beberapa
peraturan perundangan lain yang juga memprioritaskan pendekatan
ruang dalam upaya konservasi lingkungan. Beberapa di antaranya adalah
UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (PWP3K) dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (P2LH). UU PWP3K 27/2007
memberikan garis-garis besar perlindungan wilayah pesisir yang
seringkali dibudidayakan tanpa mengindahkan aspek keselamatan. Di sisi
lain, UU P2LH 32/2009 memperkenalkan instrumen Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS) sebagai analisis awal terkait dampak positif dan
negatif pembangunan skala besar. Kedua peraturan perundangan ini
bermuara pada rencana tata ruang wilayah sebagai alat kontrol
pemanfaatan ruang. Di sisi lain, pada wilayah kehutanan, yang memang
selalu menjadi prioritas konservasi, meskipun UU Kehutanan 41/1999
tidak mengalami perubahan, peraturan pelaksanaannya dan implementasi
penentuan kawasan hutan mengalami dinamisasi pasca penetapan UUPR
26/2007.
Selain penetapan luasan minimal kawasan konservasi, semenjak
RTRWN I, rencana tata ruang wilayah telah mengadopsi pendekatan
klaster dalam upaya konservasi lingkungan. RTRWN I mengenal adanya
kebijakan Kawasan Tertentu, kawasan yang diprioritaskan
perencanaannya karena nilai strategis ekonomi maupun nilai kritis
lingkungan. RTRWN II mengadopsi hal yang sama melalui penetapan
Kawasan Strategis Nasional (KSN), yang secara substansi tidak jauh
berbeda dengan kebijakan Kawasan Tertentu. Studi ini akan memberikan
evaluasi awal terkait penerapan kebijakan ini dan capaiannya, melalui
beberapa indikator lingkungan hidup. Perhatian khusus akan diberikan
214 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

pada kawasan hutan karena mayoritas kawasan yang diberi status


prioritas dari aspek lingkungan adalah hutan di dalam RTRWN.

PERUBAHAN SISTEM PERENCANAAN RUANG


Pada RTRWN I ditetapkan 6 (enam) kawasan konservasi yang
diprioritaskan penataan ruangnya melalui kebijakan Kawasan Tertentu.
Tiga kawasan tersebut kemudian juga diberi status prioritas pada
RTRWN II melalui kebijakan Kawasan Strategis Nasional. RTRWN II
sendiri secara signifikan memperbanyak jumlah kawasan prioritas
lingkungan hidup menjadi 18. Daftar lengkap kawasan-kawasan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 11.1.

Tabel 11.1 Daftar Kawasan Strategis dalam RTRW Nasional


RTRWN I 1997 RTRWN II 2008 Jenis
No (Kawasan (Kawasan Strategis Nasional) Kawasan
Tertentu)
1 Kawasan Danau Toba dan sekitarnya (Sumatera Danau
Utara)
2 Kawasan Kerinci Seblat (Sumatera Barat, Jambi, Hutan
Bengkulu, Sumatera Selatan)
3 Kawasan Taman Nasional Berbak (Jambi) Hutan
4 Kawasan Bopunjur Kawasan Ekosistem Leuser Hutan
(Jakarta, Jawa (Aceh)
Barat)
5 Kawasan Riam Kawasan Hutan Lindung Hutan
Kanan dan Riam Bukit Batabuh (Riau dan
Kiwa (Kalimantan Sumatera Barat)
Selatan)
6 Kawasan Timika Kawasan Hutan Lindung Hutan
(Papua) Mahato (Riau)
7 Kawasan Pangandaran – Daerah
Kalipuncang – Segara Anakan Aliran
– Nusakambangan Sungai
(Pacangsanak) (Jawa Barat – (DAS)
Jawa Tengah)
Wahyu Gunawan, dkk.| 215

RTRWN I 1997 RTRWN II 2008 Jenis


No (Kawasan (Kawasan Strategis Nasional) Kawasan
Tertentu)
8 Kawasan Taman Nasional Hutan
Gunung Merapi (Jawa Tengah
- DIY)
9 Kawasan Taman Nasional Hutan
Ujung Kulon (Banten)
10 Kawasan Taman Nasional Hutan
Komodo (NTB)
11 Kawasan Gunung Rinjani Hutan
(NTB)
12 Kawasan Taman Nasional Hutan
Betung Kerihun (Kalimantan
Barat)
13 Kawasan Taman Nasional Hutan
Tanjung Puting (Kalimantan
Tengah)
14 Kawasan Konservasi dan Daerah
Wisata DAS Tondano Aliran
(Sulawesi Utara) Sungai
15 Kawasan Kritis Lingkungan Daerah
Balingara (Sulawesi Tengah) Aliran
Sungai
16 Kawasan Kritis Lingkungan Daerah
Buol Lambunu (Sulawesi Aliran
Tengah) Sungai
17 Kawasan Taman Nasional Hutan
Rawa Aopa-Watumohai dan
Rawa Tinondo (Sulawesi
Tenggara)
18 Kawasan Konservasi Kepulauan
Keanekaragaman Hayati Raja
Ampat (Papua Barat)
19 Kawasan Taman Nasional Hutan
Lorents (Papua)
Sumber: PP 24/1997 dan PP 26/2008
216 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa mayoritas kawasan


khusus yang diprioritaskan dalam perencanaan ruang adalah kawasan
hutan, seperti dapat dilihat pada Tabel 2. Pelaksanaan RTRWN I 1997
sendiri belum optimal karena adanya gejolak politik dan ekonomi pada
tahun 1998/1999. Sesuai catatan Kementerian Pekerjaan Umum, secara
formal hanya ada satu Perpres terkait Kawasan Tertentu yang berhasil
disusun, yaitu kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur) (wawancara,
PPATR 1). Kebijakan terkait lima kawasan tertentu lain tidak secara
formal dapat ditemukan, walaupun sepanjang tahun 1997 hingga
diterbitkannya UUPR 26/2007, pemerintah pusat dan daerah masih
menjadikan daftar kawasan tertentu dalam RTRWN I sebagai acuan
pembangunan (Wawancara, PPATR 2, PPATR 3).
Pelaksanaan RTRWN II 2008 agak berbeda dengan RTRWN I
1997 dalam dua hal. Pertama, upaya penentuan lokasi Kawasan Strategis
Nasional (KSN) melibatkan pemerintah daerah sehingga dihasilkan
daftar yang lebih banyak dibandingkan RTRWN I 1997. Selain itu,
penyusunan kebijakan terkait KSN juga secara intensif melibatkan
berbagai pemangku kepentingan, lintas hirarki administrasi dan lintas
sektor. Hal ini menyebabkan proses penyusunan kebijakan menjadi lebih
lama. Sesuai catatan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
(BKPRN), hingga saat ini baru dua kawasan dari total 18 kawasan,
sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.1 di atas, yang telah memiliki
kebijakan formal dalam bentuk Peraturan Presiden terkait pemanfaatan
ruang di kawasannya. Kedua kawasan tersebut adalah Taman Nasional
Gunung Merapi dan kawasan Danau Toba.
ANALISIS
Meskipun belum ada Peraturan Presiden terkait pemanfaatan
ruang di seluruh KSN yang ditetapkan dalam RTRWN II 2008, namun
penetapan kawasan-kawasan tersebut sudah mempertimbangkan
karakter dasar wilayah tersebut. Nilai konservasi sudah menjadi perhatian
khusus sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai KSN. Kebijakan
KSN bukan hanya memberi perlindungan tambahan bagi kawasan
tersebut, tetapi juga telah membantu pengambil kebijakan di daerah
untuk bertindak sesuai dengan koridor yang diberikan oleh RTRWN II.
Pasca penetapan RTRWN II 2008, pembahasan dan penyusunan rencana
tata ruang wilayah skala provinsi, kabupaten dan kota secara masif
dilakukan oleh pemerintah daerah (wawancara, PPATR 5). Oleh sebab
itu, pemerintah daerah yang didalamnya terdapat KSN sebagaimana
Wahyu Gunawan, dkk.| 217

ditetapkan di dalam RTRWN II 2008 diasumsikan sudah mengambil


kebijakan-kebijakan yang relevan dengan arahan nasional tersebut.

Tabel 11.2 Laju Deforestasi per Provinsi 2012-2013


Area
Penggu- Keberada-
Kawasan
naan Total an
No Provinsi Hutan
Lain (ha) KSN
(ha)
(APL)
(ha)
1 Aceh 7.323,2 25.184,9 32.508,1
2 Sumatera Utara 10.180,8 9.326,9 19.507,7
3 Riau 520,5 5.292,2 5.812,7
4 Sumatera Barat 7.663,9 9.429,6 17.093,5
5 Jambi 73.401,5 17.846,8 91.248,3
6 Sumatera 1.550,3 5.813,1 7.363,4
Selatan
7 Kep. Bangka -531,6 385,2 -146,4
Belitung
8 Bengkulu 9.400,4 4.151,5 13.551,9
9 Lampung 1.416,6 126,4 1.543
10 Kepulauan Riau 1.497,9 1.413,1 2.910,9
11 Banten
12 DKI Jakarta 0,8 0,8
13 Jawa Barat -344,3 -90,9 -435,1
14 Jawa Tengah 1.009,8 382,3 1.392,1
15 D.I. Yogyakarta -102,8 68,6 -34,2
16 Jawa Timur 2.891,7 452,7 3.344,4
17 Kalimantan 113.040, 160.314, 273.355
Barat 4 6
18 Kalimantan 9.412 -104,5 9.307,5
Selatan
19 Kalimantan 68.493 18.805,4 87.928,4
Tengah
20 Kalimantan 22,3 83.367,4 83.389,7
Timur
21 Sulawesi Utara 10,8 2,5 13,3
218 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Area
Penggu- Keberada-
Kawasan
naan Total an
No Provinsi Hutan
Lain (ha) KSN
(ha)
(APL)
(ha)
22 Gorontalo 1.128,6 3.927,6 5.056,2
23 Sulawesi 10.431,7 21.260,8 31.692,5
Tengah
24 Sulawesi 1.516,6 1.779 3.295,6
Tenggara
25 Sulawesi Barat 1.351,2 1.052,6 2.403,9
26 Sulawesi Selatan 2.554,4 657,3 3.211,7
27 Bali 26,4 36,3 62,7
28 Nusa Tenggara 749,2 50,8 800
Barat
29 Nusa Tenggara 1.767,2 -111,7 1.655,5
Timur
30 Maluku Utara 3.410,2 2.272,6 5.682,8
31 Maluku 1.113,1 141,7 1.254,8
32 Papua 2.106,3 11.113,9 13.220,2
33 Papua Barat 6.466,1 4.154,1 10.620,6
Indonesia 339.477, 388.503, 727.981,
3 9 2
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, 2014

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, fokus penelitian ini adalah


KSN yang berupa kawasan hutan. Berdasar laju deforestasi yang
tercantum pada Tabel 11.2 di atas, diketahui bahwa tiga provinsi dengan
laju deforestasi tertinggi justru provinsi-provinsi yang di dalamnya ada
KSN (lihat Tabel 11.1): Kalimantan Barat (KSN TN Betung Kerihun),
Kalimatan Tengah (KSN TN Tanjung Puting) dan Jambi (KSN Kerinci
Seblat dan KSN TN Berbak). Selain itu, provinsi-provinsi yang memiliki
KSN juga mencatat laju deforestasi yang lebih besar dibandingkan
provinsi-provinsi yang tidak memiliki KSN.
Dalam perbincangan KSN di atas, dimensi sosial kebijakan
pembangunan memerlukan perhatian dengan fokus berasaskan ruang
Wahyu Gunawan, dkk.| 219

sosial dan kesejahteraan, yaitu mempertimbangkan keseimbangan


pembangunan kesejahteraan manusia. Bagaimanapun, integrasi sosial
dan khususnya kebijakan merupakan penyatuan mekanisme yang amat
berpengaruh di dalam pembangunan; digunakan untuk memajukan atau
merusak sebuah masyarakat dan Negara. Fungsi negatif dan positif
ingtegrasi kebijakan seharusnya diutamakan dalam konteks sosial di mana
kebijakan sosial itu wujud serta di dalam kerangka kebijakan sosial itu
ditujukan untuk siapa (whose social policy?). Apa pun pandangan masyarakat
terhadap makna dan fungsi kebijakan sosial, perlu digunakan oleh
pemerintah guna pembangunan Negara. Tujuan dan hakikatnya adalah
untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang maju, harmoni dan sejahtera
dari semua aspek sosial, ekonomi dan politik (Siti Hajar Abu Bakar Ah,
Abd. Hadi Zakaria, Muhd Fadhil Nurdin, 2013).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Keberadaan provinsi-provinsi yang memiliki KSN kawasan hutan
pada daftar teratas laju deforestasi dan laju emisi CH4 tidak secara
langsung membuktikan bahwa kebijakan KSN di dalam RTRWN II
2008, atau kebijakan Kawasan Tertentu di dalam RTRWN I 1997, telah
menemui kegagalan. Setidaknya dua hal dapat menjadi alasan. Pertama,
kebijakan KSN hanya berfokus sebagian kecil dari wilayah provinsi.
Sementara data laju deforestasi mencerminkan kinerja pembangunan
lingkungan hidup secara agregat pada tingkat provinsi. Kedua,
sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini belum semua KSN,
khususnya kawasan hutan, yang telah memiliki panduan formal penataan
dan pemanfaatan ruang.
Namun demikian, uraian di atas sekurang-kurangnya dapat
menjadi indikasi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahwa
provinsi dengan KSN kawasan hutan seyogyanya mampu memanfaatkan
kebijakan konservasi tersebut untuk mencegah laju deforestasi. Apalagi
pada beberapa provinsi, luasan KSN kawasan hutan cukup signifikan
sebagai representasi tutupan hutan di provinsi tersebut. Selain itu,
masuknya provinsi-provinsi yang memiliki KSN ke dalam peringkat atas
laju deforestasi dapat menjadi indikasi kuat nilai kritis lingkungan yang
telah dimiliki provinsi tersebut (misalnya: Provinsi Jambi yang masuk ke
dalam 3 besar pada Tabel 3.2).
Sebagaimana dikemukakan oleh Brockhaus et. al. (2012), bahwa
kebijakan pemanfaatan ruang di Indonesia didominasi oleh konflik
220 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

kepentingan sektoral, kurangnya koordinasi dan pemberian keistimewaan


pada pembangunan ekonomi skala besar di kawasan hutan. Upaya
penerapan KSN dalam rangka konservasi kawasan hutan juga seringkali
diwarnai konflik antar peraturan perundangan sektoral (wawancara,
PPATR4). Secara prosedur, penyusunan panduan formal pelaksanaan
KSN, dalam bentuk dokumen rencana tata ruang, memang memakan
waktu lama, sebagaimana digariskan di dalam UUPR 26/2007. Namun,
dengan adanya konflik peraturan lintas sektor, waktu yang dibutuhkan
untuk memproduksi rencana tata ruang KSN menjadi lebih lama.
Padahal, dengan fungsi yang diembannya, KSN dapat menjadi
instrument potensial dalam upaya konservasi, khususnya kawasan hutan.
Oleh sebab itu, tiga hal yang patut menjadi perhatian pengambil
kebijakan. Pertama, apabila disepakati bahwa rencana tata ruang adalah
instrument kontrol kawasan konservasi, maka seyogyanya kepentingan
sektoral dapat bermuara pada dokumen tersebut. Penyelarasan peraturan
perundangan lintas sektor yang membutuhkan waktu lama dapat
dipercepat dengan melakukan konsensus pada dokumen rencana tata
ruang. Kedua, sebagai alternatif, apabila proses pada butir pertama juga
susah dan memakan waktu lama, nilai strategis lingkungan hidup yang
diemban KSN hendaknya dapat diadopsi dan diterjemahkan secara lebih
dinamis oleh pemerintah daerah melalui instrument kebijakan daerah,
semisal rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Ketiga,
dimensi sosial pembangunan dengan berazaskan ruang sosial dan
kesejahteraan sosial – penting untuk diperhatikan sebagai fokus
keseimbangan pembangunan kesejahteraan manusia. Diharapkan dengan
ketiga jalan ini implementasi KSN dalam rangka mendukung
pembangunan berkelanjutan dapat dimulai dengan segera.
Wahyu Gunawan, dkk.| 221

DAFTAR PUSTAKA

Adams, N., Alden, J, Harris, N. (2006). Introduction: regional development and


spatial planning in an enlarged European Union. In N. Adams, Alden,
J, Harris, N (Ed.), Regional development and spatial planning in an
enlarged European Union (pp. 3-16). Aldershot: Ashgate.
Brockhaus, M., Obidzinski, K., Dermawan, A., Laumonier, Y., &
Luttrell, C. (2012). An overview of forest and land allocation policies in
Indonesia: is the current framework sufficient to meet the needs of
REDD+?. Forest policy and economics, 18, 30-37.
Crawford, J., and French, W. A low-carbon future: Spatial planning's role in
enhancing technological innovation in the built environment. Energy
Policy 36.12 (2008): 4575-4579.
Firman, T. (2009). Decentralization Reform and Local‐Government Proliferation
in Indonesia: Towards a Fragmentation Of Regional Development. Review
of Urban & Regional Development Studies 21.2‐3 (2009): 143-
157.
Friedmann, J. (1963). Regional planning as a field of study. Journal of the
American Institute of Planners, 29(3), 168-175.
Harris, N. (2006). Increasing and spreading prosperity: regional development,
spatial planning and the enduring "prosperity gap" in Wales. In N. Harris,
Alden, J, Adams, N (Ed.), Regional development and spatial planning in
an enlarged European Union (pp. 87-106). Aldershot: Ashgate.
Haughton, G., Counsell, D. (2004). Regions and sustainable development:
regional planning matters. Geographical Journal, 170(2), 135-145.
Hudalah, D., Firman, T., Woltjer, J. (2014). Cultural cooperation, institution
building and metropolitan governance in decentralizing Indonesia.
International Journal of Urban and Regional Research, 38(6),
2217-2234.
Hudalah, D., Woltjer, J. (2007). Spatial planning system in transitional
Indonesia. International Planning Studies, 12(3), 291-303.
Indonesia Climate Data Explorer, (http://cait.wri.org/indonesia), diakses
tanggal 9 September 2016
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014, Statistik
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
(www.menlhk.go.id/downlot.php?file=STATISTIK_2014.pdf) d
iakses 9 September 2016
222 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

Matthew, F., & Alden, J. (2006). Balanced regional development and the national
spatial strategy: addressing the challenges of economic growth and spatial
change in Ireland. In N. Harris, Alden, J, Adams, N (Ed.), Regional
development and spatial planning in an enlarged European Union (pp. 129-
154). Aldershot: Ashgate.
Ministry of Public Works (2006). Sejarah Penataan Ruang (The history of
spatial planning), Jakarta, http://www.penataanruang.net/01-
1.asp (diakses 19 Oktober 2015)
Muhamad Fadhil Nurdin, et.al., 2015, Sociology and Welfare
Development., Samudera Biru, Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional
Peraturan Pemerintah 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional
Petrişor, A., and Petrişor, L.E. The shifting relationship between urban and
spatial planning and the protection of the environment: Romania as a case
study. Present Environment and Sustainable Development 7.1
(2013): 268-276.
Roosmalen, P.K.M. van (2008). For Kota and Kampong: The Emergence of
Town Planning as a Discipline. In For Profit and Prosperity: The
Contribution Made by Dutch Engineers Public Works in Indonesia (pp.
272-307).
Rukmana, D. The Change and Transformation of Indonesian Spatial Planning
after Suharto's New Order Regime: The Case of the Jakarta Metropolitan
Area. International Planning Studies 20.4 (2015): 350-370.
Silver, C. Spatial Planning for Sustainable Development: An Action Planning
Approach for Jakarta. Journal of Regional and City Planning 25.2
(2014): 115-125.
Siti Hajar Abu Bakar Ah, Abd. Hadi Zakaria, Muhd Fadhil Nurdin, Dasar
Sosial Transformatif: Rekonstruksi Makna dan Strategi Kesejahteraan
Sosial, Prosiding - Konvensyen Kebangsaan: Kepimpinan Institusi
Pengajian Tinggi dan Kesejahteraan Sosial: Merealisasikan
Transformasi Ke Arah Masyarakat Sejahtera, Kuala Lumpur,
2013.
Tassinari, P., Torreggiani, D., & Benni, S. (2013). Dealing with agriculture,
environment and landscape in spatial planning: a discussion about the Italian
case study. Land Use Policy, 30(1), 739-747
Undang-Undang Penataan Ruang 24/1992
Wahyu Gunawan, dkk.| 223

Undang-Undang Penataan Ruang 26/2007


Wilson, E. Adapting to climate change at the local level: the spatial planning
response. Local Environment11.6 (2006): 609-625.
224 | Tahapan Pembangunan Masyarakat

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai