Anda di halaman 1dari 7

Bioetika, Humaniora & Profesionalisme Kedokteran

PANDUAN MAHASISWA

“Devil’s advocate”
Sebagai Media Ajar Bioetika

AS MUSLIM INDON
ERSIT ESIA
UNIV

1954
MA
KA SSAR

DIBERIKAN PADA MAHASISWA SEMESTER I

FAKULTAS KEDOKTERAN UMI

DISUSUN OLEH :

Dr. dr. H. Nasrudin. A.M, SpOG(K), MARS


dr. Shulhana Mokhtar, M.Med.Ed
Dr. dr. Ida Royani, M.Kes
dr. Muhammad Mursyid Asikin

BLOK BIOETIKA, HUMANIORA DAN


PROFESIONALISME KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021

Fakultas Kedokteran UMI 1


Bioetika, Humaniora & Profesionalisme Kedokteran

PENGANTAR
Etika kedokteran merupakan bagian penting dari profesionalisme yang perlu
dikuasai oleh dokter. Pendidikan etika kedokteran seharusnya sudah didapatkan pada
masa pendidikan di fakultas kedokteran. Pada kenyataannya, etika kedokteran baru
mendapatkan porsi pendidikan kedokteran setelah keluarnya Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) yang mendasarkan pendidikan kedokteran pada standar
kompetensi yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun
2012. Dalam standar kompetensi tersebut, Etika Kedokteran menjadi satu dari tujuh
area kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang dokter, demikian pula pada SKDI
2012 menempatkan Profesionalisme yang luhur sebagai kompetensi yang pertama
sehingga materi Bioetika, Humaniora, dan Profesionalisme Kedokteran
diharapkan mampu menjawab tantangan untuk meningkatkan profesionalisme
lulusan pendidikan dokter di Indonesia.
Ketiadaan pendidikan etika kedokteran yang memadai di masa lalu tidak
berarti bahwa dokter Indonesia tidak beretika. Pun tidak adanya tuntutan terhadap
seorang dokter memastikan bahwa ia adalah dokter yang beretika.
Pembelajaran tentang Etika, Humaniora, dan Profesionalisme Kedokteran
untuk mahasiswa kedokteran dalam masalah yang prularistik seperti di Indonesia
merupakan tugas yang mendesak. Pembelajaran tentang etika kedokteran,
humaniora, dan Profesionalsme dapat membantu siswa mencapai kematangan
secara individual, meningkatkan kewaspadaan etika, mampu bersikap dalam
wilayah moral, yang nantinya akan menghasilkan dokter yang humanis dan
profesional dalam pelayanan kesehatan.
Dalam kegiatan Devil’s Advocate sebagai media ajar Bioetika ini,
dititikberatkan pada skenario yang mengandung dilema etik dan moral dalam
praktek pelayanan kesehatan sehari-hari. Diberikan beberapa skenario dan
selanjutnya akan dibahas oleh para mahasiswa berdasarkan konsep Devil’s
Advocate (pro dan kontra) dan analisa berdasarkan Kaidah Dasar Bioetik, prinsip
Etika Klinik menurut Jonsen AR-Siegler, dan prinsip dasar Etika Islam.
Pembahasan berhubungan dengan aktivitas Devil’s Advocate yang dilakukan oleh
para mahasiswa. Disamping diskusi, para mahasiswa juga mengasah keterampilan
sesuai dengan tujuan yaitu melatih keterampilan kedokteran dan sebagai
perkenalan terhadap berbagai permasalahan yang akan ditemukan para siswa
nantinya, khususnya dalam menjalin kepercayaan, komunikasi, dan hubungan
yang baik antara pasien dan dokter serta terampil dalam melakukan dan
menerapkan Prinsip / Kaidah Dasar Bioetik terhadap masalah dan keputusan etik
klinik serta masalah humaniora kesehatan, sebagai persiapan untuk terjun ke
masyarakat dan bertanggung jawab sebagai seorang dokter yang profesional.
Blok Bioetik, Humaniora, dan Profesionalisme Kedokteran ini disajikan
pada mahasiswa semester I Fakultas kedokteran Universitas Muslim Indonesia
dengan jumlah beban 4 SKS dan jadwal kegiatan perkuliahan selama 5 minggu.
Kami berterimakasih pada semua orang, bagian terkait dan segala pihak
yang telah membantu menyelesaikan modul ini. Saran dan kritik yang membangun
untuk meningkatkan isi modul ini sangat kami harapkan.
Makassar, September 2021
Penyusun

Fakultas Kedokteran UMI 2


Bioetika, Humaniora & Profesionalisme Kedokteran

PENDAHULUAN

A. PETUNJUK TEKNIS DEVIL’S ADVOCATE

Pada Devil’s Advocate sebagai media ajar Bioetika, terdapat 2 skenario


yang akan dibahas oleh para mahasiswa dalam 180 menit. Skenario akan
diselesaikan dalam 1 pleno Devil’s Advocate dengan durasi waktu 90 menit.

Mahasiswa dibagi dalam 2 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 70-80
mahsiswa yang dipandu oleh 2-3 instruktur sebagai fasilitator. Satu kelas dibagi 2
kelompok besar (Kelompok Pro dan Kontra)

Pada diskusi Devil’s Advocate dipilih seorang ketua dan sekretaris secara
bergantian sebagai panitia.

Panitia Devil’s Advocate :

 Konfirmasi kesediaan fasilitator


 Koordinasi sarana dan prasarana kegiatan kepada koordinator Blok
dan penanggung jawab kegiatan
 Distribusi lembar jawaban mahasiswa ke tiap mahasiswa (termasuk
panitia)
 Notulensi kegiatan tiap kelompok
Oleh Karena itu, semua aturan dan tugas harus dilaksanakan dengan baik untuk
mencapai tujan pembelajaran. Sebelum diskusi dimulai, seorang
instruktur/fasilitator akan membuka diskusi Devil’s Advocate dengan
memperkenalkan dirinya dan instruktur lain kepada para anggota kelompok dan
perkenalan antara satu kelompok (pro) dengan kelompok lainnya (kontra),
dilanjutkan dengan memimpin doa bersama sebelum diskusi Devil’s Advocate
dimulai. Setelah itu instruktur/fasilitator menjelaskan aturan dan tujuan
pembelajaran.

Instruktur / Fasilitator “Devil’s”:

- Mempunyai pengetahuan yang baik mengenai isu klinis yang akan


dijadikan topik

- Mempunyai kemampuan memfasilitasi debat terbuka

- Mampu bersikap netral, tidak diperkenankan untuk memberikan pendapat


pribadi selama menfasilitasi kegiatan.

- Memberikan penilaian kepanitiaan berdasarkan ketersediaan sarana


prasarana, ketepatan waktu, dan kelancaran acara

- Memberikan penilaian terhadap kemampuan diskusi mahasiswa


(individual) berdasarkan kesesuaian dengan peran kelompok dan
kesesuaian dengan tujuan pembelajaran

- Memberikan kesimpulan hasil kegiatan diakhir kegiatan.

Fakultas Kedokteran UMI 3


Bioetika, Humaniora & Profesionalisme Kedokteran

Tujuan Pembelajaran Devil’s Advocate :

 Mengetahui dan menjelaskan mengenai perbedaan pendapat antara aliran


pro-life dengan pro-choose (Kelompok Pro vs Kontra).

 Menuangkan pendapat dalam bentuk tertulis

 Melakukan silang pendapat mengenai perbedaan pendapat antara aliran


pro-life dengan pro-choose (Kelompok Pro vs Kontra).

 Memahami dan mampu mengambil sikap bijaksana sesuai dengan


pengetahuan, nilai-nilai yang dianut, etika (Kaidah dasar bioetika dan Etika
Klinik “the Four Box Method”), Humaniora, Profesionalisme,
sosisokultural dan hukum kesehatan yang berlaku dan pendapat pribadi
serta nilai nilai Islam.

Tehnik Pelaksanaan Devil’s Advocate :

1. Persiapan sebelum pelaksanaan :

Kewajiban Penanggung jawab Kegiatan:

 Menentukan fasilitatoir “Devil’s”, time keeper, dan Notulen

 Briefing mahasiswa : Skenario dan tehnis pelaksanaan kegiatan.

 Briefing fasilitator “Devil’s” yang ditunjuk : Skenario dan analisis


serta teknis pelaksanaan kegiatan.

Membagi kelompok mahasiswa (pro dan kontra) dan menentukan panitia untuk
kedua kelompok.Saat pelaksanaan

 Mahasiswa : diberikan 1 kasus Dilema etik

 Alokasi waktu 10 menit : untuk berdiskusi menyamakan persepsi


dan menulis pendapat di lembar jawaban mahasiswa

 Panitia (Time keeper) : memberitahukan fasilitator bahwa waktu 10


menit selesai, mengumpulkan lembar jawaban mahasiswa, dan
menyerahkannya lembar jawab mahasiswa kepada fasilitator

 Devil’s : memfasilitasi jalannya diskusi antar kedua kelompok (pro


dan kontra) dengan alokasi waktu 55 menit. Dan alokasi waktu 5
menit memberikan kesimpulan dari kegiatan (tidak diperkenankan
memasukkan pendapat pribadi)

 Notulen kegiatan memberikan lembar notulensi kepada fasilitator


terkahir hasil kegiatan devil’s advocate (pertanyaan, jawaban atau
komentar peserta)

 Fasilitator memberikan penjelasan terkait hasil kegiatan dengan


alokasi waktu 30 menit (total waktu untuk setiap sesi 90 menit)

Fakultas Kedokteran UMI 4


Bioetika, Humaniora & Profesionalisme Kedokteran

B. TOPIC TREE

Human as Biopschycosocial Creature

Ethics Environmental
Ethics &
Physician- Health Law
Medical Legislations
Colleagues
Research
Ethics Hospital Law
Physician- Regulations
Society Basic
principles of
medical
ethics Works Health
Ethics
Law
Physician-
Patients Medico-
ethico-
legal MEDICAL
BIOETHICS LAW
HEALTH
MEDICAL conflict LAW
ETHICS
KUHAP,
KUHP,
Ethical Code, Medical
Administration
KODEKI Forensic

Profession standard,
MEDICAL
Standard Operating
SCIENCE
Procedures
MEDICAL SCHOOL

Professional Physician

Fakultas Kedokteran UMI 5


Bioetika, Humaniora & Profesionalisme Kedokteran

C. SKENARIO

SKENARIO 1 UNTUK KELAS A

“TERMINASI KEHAMILAN PADA IBU DENGAN COVID-19 DAN


BAYI DENGAN KELAINAN KONGENITAL”

Seorang perempuan berusia 38 tahun G4P3A0 saat ini hamil dengan usia kehamilan
28 minggu (premature) dengan ibu terkonfirmasi Covid-19 setelah konfirmasi dengan
tes Swab PCR. Saat ini keluhan ibu ringan, dan oleh dokter disarankan untuk isolasi
mandiri saja dirumahnya sambil memantau kondisi perkembangan ibu selanjutnya.
Dari hasil pemeriksaan dokter ahli, didapatkan bahwa janin ibu tersebut terdapat
kelainan kongenital yaitu bagian perut depan terbuka dengan kondisi usus terurai
keluar (Omphalocele). Setelah mendapatkan penjelasan dari dokter mengenai kondisi
intra uterinnya, pasien dan keluarga meminta pada dokter untuk dilakukan terminasi
kehamilan saja. Pertimbangan dari pasien dan keluarganya adalah pertama, kondisi
janin juga mengalami kelainan kongenital. Yang kedua, anak ini adalah anak ke-4
yang tidak diharapkan karena gagal kontrasepsi. Dan yang ketiga, adalah karena
pertimbangan ibu saat ini mengalami covid-19 sehingga pasien dan keluarga sangat
khawatir bila kondisi tersebut akan memperburuk keadaan pasien nantinya. Dokter
kemudian menjelaskan bahwa kondisi ibu dengan Covid-19 dalam keadaan yang
stabil, tanpa gejala berat dan akan dipantau. Yang kedua, kelainan kongenital yang
dialami oleh janin bukan merupakan keadaan yang lethal atau merupakan kondisi
yang sesungguhnya dapat ditunggu hingga cukup bulan dan juga dapat dilakukan
perbaikan operasi pasca melahirkan. Tetapi keluarga dan pasien tetap bersikeras
untuk dilakukan operasi. Dilema ini kemudian menjadi masalah, apakah dokter tetap
mengikuti keinginan pasien dan keluarga untuk dilakukan terminasi dengan beberapa
pertimbangan tadi, atau dokter tetap berkomitmen secara profesional bahwa kondisi
janin tidak dapat diterminasi tanpa indikasi medis dan tetap harus dipertahankan.

Fakultas Kedokteran UMI 6


Bioetika, Humaniora & Profesionalisme Kedokteran

SKENARIO 2 UNTUK KELAS B

“PASIEN PASCA TRAUMA KEPALA DI ICU DENGAN KONDISI


MATI BATANG OTAK “

Seorang remaja laki-laki berusia 18 tahun dibawa ke IGD rumah sakit dengan kondisi
trauma pada kepala akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien dibawa ke IGD oleh petugas
kesehatan dan polisi tanpa keluarga. Dari hasil diagnosa dokter triase di IGD
didapatkan pasien mengalami penurunan kesadaran dengan curiga trauma kapitis
berat sehingga harus segera dilakukan tindakan operasi. Setelah beberapa saat, dokter
dan polisi menemukan identitas pasien dan berhasil menghubungi keluarga pasien.
Keluarga pasien kemudian hadir dan selanjutnya dokter menjelaskan bahwa pasien
harus segera dilakukan operasi kepala (trepanasi) untuk menghentikan perdarahan
intracranial dan menurunkan tekanan intracranial pasien. Setelah dilakukan tindakan
operasi, pasien tetap dalam kondisi tidak sadar akibat komplikasi perdarahan yang
masif dan akibat tekanan intracranial yang cukup lama, sehingga pasien
membutuhkan perawatan intensif di ICU dengan bantuan ventilator. Pasca operasi,
Dokter Ahli Bedah Saraf menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa kondisi pasien
tersebut sangat berat dan kritis karena perdarahannya berakibat langsung pada batang
otak sebagai pusat vital dalam tubuh, sehingga prognosis pasien sangat buruk yang
dapat berujung pada kematian batang otak yang permanen. Kondisi ICU RS hanya
memiliki 3 buah ventilator, seorang pasien dengan diagnosis penurunan kesadaran
karena stroke non-hemorhagic, diindikasikan untuk menggunakan ventilator oleh
Dokter Neurologi. Masalah yang muncul kemudian adalah, berdasarkan hasil diskusi
dokter penanggung jawab ICU (Anestesiologi), dokter Neurologi dan dokter Ahli
Bedah Saraf yang merawat pasien dengan trauma kapitis tadi, disimpulkan bahwa
kondisi pasien trauma kapitis dengan kematian batang otak adalah kondisi yang tidak
memiliki harapan besar dengan penggunaan ventilator di perawatan ICU. Sementara
pasien dengan Stroke non-hemorhagic memiliki harapan hidup yang lebih besar jika
dirawat dengan menggunakan ventilator. Kondisi pilihan tersebut kemudian
dijelaskan kepada keluarga pasien yang mengalami trauma capitis. Mereka menolak
untuk melepaskan ventilator dengan berbagai alasan dan bahkan mereka siap
membayar 2-3 kali lipat dari biaya perawatan pasien selama ventilator tidak
dilepaskan. Dokter kemudian kembali menjelaskan bahwa kondisi pasien tidak begitu
baik sementara ada pasien lain yang membutuhkan ventilator dengan harapan hidup
yang lebih baik. Komite medik kemudian memfasilitasi pembicaraan dokter dan
keluarga pasien dan diputuskan bahwa sebaiknya ventilator tersebut diberikan kepada
pasien stroke non-hemorhagic karena memiliki harapan hidup yang lebih baik
dibanding pasien pasca trauma tadi. Dilemanya kemudian adalah, apakah dokter
harus memutuskan untuk melepaskan ventilator yang digunakan oleh pasien trauma
capitis dan memberikan ventilator pada pasien stroke non-hemorhagic tersebut, atau
sebaliknya dokter tetap mempertahankan penggunaan ventilator pada pasien trauma,
dan tidak melakukan Tindakan apapun pada pasien stroke non-hemorhagic yang
berisiko pada perburukan pasien.

Sebagai catatan, 2 buah ventilator di ICU telah terpakai oleh pasien yang memiliki
harapan hidup lebih besar dari pasien trauma dan stroke tersebut.

Fakultas Kedokteran UMI 7

Anda mungkin juga menyukai