Anda di halaman 1dari 19

Vol.4(3) Desember 2020, pp.

266-284

ISSN : 2580-9059 (online)


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA 2549-1741 (cetak)

KEDUDUKAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI


ACEH MENURUT QANUN NOMOR 17 TAHUN 2013
Teuku Okta Randa1, Wahyu Ramadhani2
1,2) Fakultas Hukum, Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa

Info Artikel Abstrak


Diterima : 05/12/2020 Aceh merupakan salah satu daerah provinsi di Indonesia yang mendapatkan
Disetujui : 12/12/2020 status otonomi khusus. Pelaksanaan otonomi khusus di Aceh diselenggarakan
DOI : 10.24815/sklj.v4i3.18268 berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(selanjutnya disebut UUPA).. Pembentukan KKR di Aceh didasarkan pada Pasal
229 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006, kemudian dilegalkan dalam Qanun No.
17 Tahun 2013. Keberadaan KKR Aceh makin menimbulkan polemik setelah
Kata Kunci : Gubernur Aceh mengangkat beberapa anggota KKR Aceh berdasarkan pada
Kedudukan; Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 162/796/2016. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kedudukan KKR Aceh berdasarkan peraturan perundang-
Komisi Kebenaran;
undangan, untuk mengetahui Faktor-faktor apasajakah dibentuknya KKR Aceh
Rekonsiliasi; menurut Qanun No. 17 Tahun 2013, untuk mengetahui kendala dan upaya KKR
Qanun. Aceh dalam menjalankan kewenangannya menurut peraturan perundang-
undangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif
(yuridis normatif). Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau lebih di kenal dengan data sekunder
seperti buku-buku, peraturan perundangan atau bahan bacaan lainnya yang
berkaitan dengan pembahasan. Hasil Kedudukan KKR Aceh merupakan mandat
langsung dari ketentuan Pasal 229 UU Pemerintahan Aceh yang kemudian
diakomodir dalam Qanun No. 17 Tahun 2013. Hal ini dikuatkan dengan
penunjukan anggota KKR Aceh berdasarkan Keputusan Gubernur
No162/796/2016 Tentang Penetapan Anggota Komisi Kebenaran Dan
Rekonsiliasi Aceh Atas regulasi tersebut kedudukan KKRAceh merupakan
amanah dalam pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dalam menegakkan
pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Faktor-faktor dibentuknya KKR Aceh
menurut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 yaitu Menyelesaikan pelanggaran HAM
berat pada masa lalu di luar pengaduan, guna mewujudkan perdamaian dan
persatuan bangsa, dalam hal ini KKR di di tujukan agar dapat menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Kendala dan upaya KKR Aceh
dalam menjalankan kewenangannya menurut peraturan perundang-undangan,
maka dalam hal ini kendala KKR Aceh dalam menjalankan kewenangannya
yaitu pada komisi kebenaran dan rekonsiliasi tidak diatur secara khusus didalam
Qanun Nomor 17 Tahun 2013 maka dalam hal ini harus dibenahi oleh pejabat
terkait di pemerintahan Aceh. Adapun Upaya yang harus dilakukan mengenai
KKR Aceh itu sendiri adalah mengatur tentang dua hal yang luput diatur oleh
Qanun sebelumnya, yakni mengenai pola pengambilan keputusan dan pergantian
antar komisi.

This is an open access article under the CC BY license.

Corresponding Author:
Wahyu Ramadhani
Email: wahyu_ramadhani95@yahoo.com

266
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 267

I. PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 setelah
diamandemen ketiga disahkan 10 Nopember 2001. Penegasan ketentuan konstitusi ini bermakna,
bahwa segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa
berdasarkan atas hukum.
Untuk perwujudan negara hukum salah satunya diperlukan perangkat hukum yang digunakan
untuk mengatur keseimbangan dan keadilan di segala bidang kehidupan dan penghidupan rakyat
melalui peraturan perundang-undangan dengan tidak mengesampingkan fungsi yurisprudensi. Hal ini
memperlihatkan bahwa peraturan perundang-undangan mempunyai peranan yang penting dalam
negara hukum Indonesia.
Menurut Sri Soemantri, Suatu negara hukum harus memenuhi beberapa unsur, yaitu :
1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau
peraturan perundang-undangan.
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Aceh merupakan salah satu daerah provinsi di Indonesia yang mendapatkan status otonomi
khusus. Pelaksanaan otonomi khusus di Aceh diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UUPA). Keberadaan undang-undang
tersebut merupakan manifestasi dari butir-butir Perjanjian Damai Memorendum of Understanding
yang ditandatangani di Helsinki. UUPA merupakan politik hukum (legal policy) pemerintah pusat
untuk Aceh sebagai pengakuan daerah khusus, sesuai Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Meskipun
UUPA telah berdampak positif bagi perdamaian dan peningkatan pendapatan Aceh, namun masih
banyak kelemahan baik substansinya maupun implementasi kesejahteraan rakyat.
Menyangkut kebijakan politik hukum yang dimiliki sebagai daerah istimewa tentunya tidak
terlepas dari kebijakan politik pemerintahan pusat. Lahirnya lembaga-lembaga berbasiskan Syari’at di
Aceh seperti Mahkamah Syari’yah, Majelis Permusyawaratan Ulama, Lembaga Wali Naggroe,
Lembaga Adat yang terdiri dari Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim Imeum chik, Keuchik, Tuha
Peuet, Tuha Delapan, Imeum Meunasah, Keujreun Blang, Panglima laot, Pawang Glee, Peutua
Seuneubok, Syahbanda, Dinas Syari’at Islam, Wilayatul Hisbah, Peralihan BPN menjadi Badan
Pertanahan Aceh. Dimana kesemua lembaga tersebut merupakan salah satu bentuk politik hukum
pemerintahan daerah khususnya Aceh dalam membawa arah kebijakan politik yang mengarah kepada
bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan di berbagai segi atau aspek dalam kehidupan
bermasyarakat di Aceh.
Selain dari pada lembaga-lembaga yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa
lembaga lainnya yang merupakan bagian dari politik hukum Aceh dan dimuat dalam UUPA.
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 268

Lembaga yang dimaksud yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) dan
Pengadilan HAM. Apabila disimak keseluruhan lembaga yang diatur dalam UUPA, hanya KKR Aceh
dan Pengadilan HAM yang belum terealisasi.
Pembentukan KKR Aceh adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh menyebutkan tentang Pembentukan KKR Aceh (pada Pasal 229) dan Qanun
Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Menurut Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi
Aceh Pasal 3 KKR Aceh bertujuan:
a. Memperkuat perdamaian dengan mengungkapkan kebenaran terhdapa pelanggaran HAM
yang terjadi di masa lalu.
b. Membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM baik individu maupun
lembaga dengan korban; dan
c. Merekomendasikan reparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM, sesuai dengan
standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban.
Berdasarkan Pasal 4 KKR Aceh dalam mencapai tujuannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 berdasarkan pada prinsip kerja:
a. Partisipasi;
b. Transparansi;
c. Mengutamakan perlindungan dan pemulihan terhadap korban;
d. Menolak pengampunan (impunitas);
e. Hak jawab bagi pelaku;
f. Pembuktian yang berimbang;
g. Pertanggungjawaban individu dan institusi;
h. Pencegahan keberulangan (preventive);
i. Komplementer;
j. Pendekatan keberagaman;
k. Perspektif gender; dan
l. Profesionalitas.
Pembentukan KKR Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi Aceh mendapatkan perhatian khusus selama ini. Pro kontra pembentukan KKR Aceh
berdasarkan qanun tersebut mendapatkan penilaian beragam baik dari kalangan aktifis pegiat HAM
maupun akademisi. Wacana paling marak berkembang adalah gagasan pembubaran KKR Aceh
dengan alasan pembentukan KKR menurut Qanun No. 17 Tahun 2013 dinilai bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Salah satu kewenangan Pemerintah Aceh yang diamanatkan dalam Nota Kesepahaman antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Understanding
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 269

Between The Government of Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement Helsinki 15
Agustus 2005) dan perintah Pasal 229, Pasal 230, Pasal 259 dan Pasal 260 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), haruslah dibentuk sebagai sarana mencari
kebenaran dan keadilan terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu haruslah
diselesaikan dengan arif, bijaksana dan bermartabat. Dengan mencermati atas keinginan sungguh-
sungguh semua elemen masyarakat di Aceh untuk bisa menikmati kehidupan yang sejahtera di masa
damai, maka perjalanan sejarah Aceh dalam priode masa konflik yang meninggalkan konstruksi
sejarah dan pengalaman pahit haruslah segera diperbaiki guna mencapai sebuah Kebenaran atas
sejarah yang hakiki.
Penyelesaian permasalahan hak asasi manusia tersebut semata-mata dimaksudkan untuk
menghormati harkat dan martabat korban sebagai anugerah Tuhan yang mulia dan suci, disamping
dimaksudkan untuk menghapus dampak buruk dari akibat permasalahan masa lalu yang belum
selesai, serta menghilangkan permusuhan dan dendam antara sesama.
Didasari atas keinginan luhur tersebut, melalui KKR diharapkan akan mempererat ukhuwwah
dan silaturrahmi diantara sesama anak bangsa, karena melalui rekonsiliasi tersebut akan terjadi saling
maaf dan saling menghargai satu sama lain diantara sesama. Dalam rangka mewujudkan semua
komitmen luhur tersebut diperlukan suatu peraturan yang dapat mengatur mekanisme pelaksanaannya,
sehingga guna merealisasikannya haruslah diatur dalam Qanun Aceh.
Pada tahun 2000, proses institusionalisasi pembentukan KKR diwujudkan dengan mendorong
masuknya agenda penyelesaian masa lalu dalam agenda reformasi nasional. Pembentukan KKR
mendapatkan basis legalnya ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan ketetapan
mengenai pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) tahun 2000.
Ketetapan MPR ini menunjukkan adanya kesadaran bersama sebagai bangsa bahwa pada
masa lalu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang perlu
untuk diungkapkan demi menegakkan kebenaran. Selain itu, landasan hukum kedua tentang mandat
untuk pembentukan KKR juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan HAM sebagai sebuah mekanisme alternatif penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Amanat pembentukan KKR dengan undang-undang khusus ini kemudian berlanjut dengan
persiapan penyusunan naskah Rancangan Undang-undang (RUU) oleh Departemen Hukum dan
Perundang-undangan sejak tahun 2000. Serangkaian pertemuan untuk menyusun naskah undang-
undang KKR dilakukan dengan masukan dari berbagai kalangan termasuk kalangan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Terjadi beberapa kali perubahan draft RUU KKR sebelum akhirnya
diserahkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan ke Sekretariat Negara pada tahun
2003.
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 270

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Rekonsiliasi. Mahkamah


Konstitusi (MK) membatalkan keseluruhan undang-undang ini, melalui Putusan Nomor 006/PUU-
IV/2006, pada 7 Desember 2007. Dengan dinyatakannya Undang-undang KKR tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian
pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh
untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-
undang) yang serasi dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan
politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Selain itu, persoalan juga muncul dengan telah dibentuknya KKR Aceh berdasarkan Qanun
Pemerintah Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (Qanun
KKR Aceh) sebagai inisiaf Pemerintahan Daerah Provinsi Aceh untuk menjalankan amanat Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh) yang
memberikan mandat pembentukan KKR di Aceh. Qanun KKR Aceh sendiri dikritik oleh Pemerintah
Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, yang menyebutkan seharusnya menunggu UU KKR
nasional.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 162/796/2016 Tentang Penetapan
Anggota Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh Periode 2016-2021, Tanggal 17 Oktober 2016
menetapkan Afridal Darmi SH LLM (Ketua), Muhammad MTA (Wakil Ketua), serta lima anggota
yaitu Fajran Zein, Mastur Yahya, SH, MHum, Fuadi SHI MH, Evi Narti Zain SE, dan Ainal Madhiah
STP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan KKR Aceh berdasarkan peraturan
perundang-undangan,
Dengan demikian, rumusan masalah yang akan dibahas adalah Bagaimana Bagaimanakan
kedudukan KKR Aceh berdasarkan peraturan perundang-undangan, faktor-faktor apasajakah
dibentuknya KKR Aceh menurut Qanun No. 17 Tahun 2013, bagaimana kendala dan upaya KKR
Aceh dalam menjalankan kewenangannya menurut peraturan perundang-undangan.

II. METODE PENELITIAN


Penulisan penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan
melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder. Penelitian hukum normatif
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (kepustakaan) yang merupakan data sekunder, yang
ada dalam keadaan siap terbit, bentuk dan isinya telah disusun oleh peneliti-peneliti terdahulu dan
dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat. Setelah semua bahan hukum terkumpul maka
terhadap bahan hukum tersebut akan dilakukan interpretasi baik secara autentik, gramatikal, sistematis
dan sejarah (historis). Dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka tersebut
diharapkan dapat menemukan asas-asas yang terdapat dalam hukum positif dan juga pengertian-
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 271

pengertian dasar dari masalah yang diteliti sehingga dapat dijadikan dasar dalam menganalisis
permasalahan.
Sehubungan tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat normatif maka
peneliti menggunakan 4 (empat) spesifikasi penelitian ini yaitu undang-undang (statute), konseptual
(conceptual), sejarah (historical) serta filsafat hukum, teori-teori hukum dan asas-asas hukum.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
kepustakaan, karena data ini bersumber dari bahan-bahan pustaka. Jenis data ini digunakan, karena
penelitiannya adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yakni penelitian
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Bahan-bahan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri darin norma
dasar atau kaidah dasar yaitu Pancasila, pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, peraturan
dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, konvensi,
yurisprudensi dan traktat. Bahan hukum primer ini juga mencakup peraturan perundang-
undangan, konvensi-konvensi, putusan-putusan hakim atau putusan pengadilan, yurisprudensi
yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur tentang komisi kebenaran rekonsiliasi.
2. Bahan Hukum Sekunder.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitan, hasil karya dari
kalangan hukum dan pendapat para sarjana hukum. Bahan hukum sekunder juga mencakup
buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, berbagai artikel dan jurnal,
laporan-laporan penelitian, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang
dibahas dan lain sebagainya.
3. Bahan Hukum Tertier.
Bahan hukum tertier merupakan bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum yang dimaksud
diantaranya: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum,
internet, ensiklopedia dan lain sebagainya.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara library research (kepustakaan) yakni dengan
mengumpulkan bahan-bahan hukum berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan
dikaji menurut pengklasifikasian permasalahan menurut sumber dan hierarkinya secara komprehensif.
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif, artinya data yang diperoleh yang
mengarah pada kajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas, doktrin-doktrin hukum dan isi
kaidah hukum terlebih dahulu diuraikan secara sistematis, kemudian dilakukan analisis secara
kualitatif.
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 272

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


3.1. Kedudukan KKR Aceh berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas hukum dapat dijadikan pedoman
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,1 yang dalam pandangan Maria Farida Indrati
bahwa asas pembentukan peraturan perundang-undangan juga meliputi asas-asas hukum.2 Dalam hal
ini Sudikno Mertukusumo mendefinisikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah asas hukum yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam
bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam penggunaan metodenya, serta mengikuti proses dan
prosedur pembentukan yang telah ditentukan.3 Definisi serupa juga dikemukakan Maria Farida,
bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu pedoman atau rambu-
rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Qanun, sebagai salah satu produk peraturan perundang-undangan, kandungan materinya pada
pokoknya mencerminkan dua hal: pertama, pengaturan tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh;
kedua, pengaturan tentang hal yang berkaitan dengan kondisi khusus daerah dan kewenangan khusus
Aceh yang bersifat istimewa; ketiga, pengaturan tentang penyelenggaraan tugas pembantuan; dan
keempat, penjabaran lebih lanjut tentang peraturan perundang-undangan (Pasal 5 Qanun Aceh Nomor
5 Tahun 2011).
Pembentukan KKR di Aceh pada awalnya termaktub dalam perjanjian damai antara
Pemerintah RI dengan GAM. Hasil wawancara yang dilakukan Cut Nanda Maracilu dengan
Muhammad Nur Djuli, salah satu juru runding GAM saat proses MoU Helsinki berlangsung,
diketahui bahwa poin KKR merupakan usul dari Marti Ahtisaari sebagai fasilitator negoisiasi yang
juga mantan Presiden Finlandia.4 Ahtisaari menurut penuturan Nur Djuli melihat situasi nyata terakhir
pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh merupakan catatan buruk atas perlakuan negara di daerah
ujung barat pulau Sumatera itu.5
Pembentukan KKR Aceh sejak awal telah berhadapan dengan jalan terjal. Tiga bulan setelah
pengesahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU KKR dibatalkan
oleh MK. Perdebatan pun bergulir apakah pembentukan KKR Aceh harus menunggu pembentukan
KKR Nasional, yang berarti harus menunggu Pemerintah dan DPR membuat UU KKR yang baru.26

1
Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2009, hlm 65
2
Indrati, M. F.,Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius,
2007, hlm 12
3
Mertukusumo, S., Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. 2003 hlm 3
4
Maracilu, C. N.. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai Amanah Memorandum of
Understanding (MoU) dalam Konteks Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2011, hlm 34
5
Ibid,
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 273

Salah satu tugas penting yang diberikan Qanun kepada KKR Aceh adalah melakukan
penyelidikan dan mengumpulkan informasi dalam rangka pengungkapan kebenaran, reparasi dan
rekonsiliasi. Tugas ini menjadi dasar pemberian rekomendasi KKR Aceh kepada pemerintah. Dalam
konteks ini, Qanun KKR Aceh memberikan wewenang pada KKR Aceh untuk memastikan
pemerintah melaksanakan seluruh rekomendasinya. Wewenang ini penting untuk menjaga upaya
pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi tetap berjalan pada arah yang tepat.27
Tugas berat yang dipikul oleh KKR Aceh hendaknya tidak diperberat dengan pengaturan
yang tidak sejalan. Keberadaan KKR ini tidak boleh bersifat permanen. KKR adalah perantara bagi
negara yang sedang mengalami proses transisi. Oleh karenanya, eksistensi KKR hanyalah sementara
(temporary).
Meskipun terdapat kondisi sebagaimana digambarkan di atas, KKR Aceh masih sangat
memungkinkan untuk didirikan mengingat sejumlah argumentasi yang signifikan. Pertama, alasan
Konstitusionalitas Hak Asasi Manusia sebagaimana yang diatur dalam BAB XA UUD 1945. Dalam
BAB XA dinyatakan secara tegas bahwa hak untuk hidup, hak atas bebas dari penyiksaan dan hak
atas rasa aman merupakan hak yang mendasar dan tidak dapat dikurang-kurangi. Hak-hak tersebut
merupakan sejumlah hak yang banyak terlanggar di Aceh diwaktu yang lampau. Oleh karenanya,
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah (Pasal 28I ayat 4 UUD 1945).
Kedua, alasan adat. Bahwa Adat Aceh sangat kental dengan khas ke-Islam-an masyarakatnya.
Islam nyaris tak terpinggirkan dalam urusan tata hidup sehari-hari dimasyarakat Aceh (lihat huruf c
bagian menimbang dalam UUPA). Demikian pula dalam persoalan keadilan, masyarakat Aceh
mengenal mekanisme adat seperti diyat, suloh atau peumat jaroe. Hal ini juga merupakan mandat
UUPA dalam pasal 229 ayat 4 yang menyatakan bahwa dalam menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh dapat mempertimbangakan
prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat.
Ketiga, alasan sosial. Bahwa KKR Aceh tidak hanya menjadi alat pengungkapan kebenaran
atas kekerasan yang terjadi dimasa yang lalu, juga, sebagai cara memulihkan kepercayaan diri korban
dan keluarga korban. Melalui cara ini terbangun kondisi penyetaraan masyarakat di Aceh sehingga
komunikasi demokrasi menjadi berjalan. Penentuan masa depan Aceh ditentukan secara bersama-
sama, termasuk oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat. KKRA dan kondisi
Kesetaraan tersebut juga bisa membantu upaya rekonsiliasi ditingkatan komunitas yang dulu terpecah
dan dipaksa berkonflik.
Terakhir, keempat adalah alasan historis. Bahwa KKR Aceh merupakan bagian dari
perjanjian perdamaian 15 Agustus 2005 (butir 2.3). Sementara perjanjian perdamaian disusun
berdasarkan kesadaran pihak-pihak yang berkonflik, Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka,
bahwa penting untuk menciptakan Aceh yang berkemanusiaan dan adil serta demokratis. Dengan kata
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 274

lain kedua pihak berkonflik sepakat bahwa kekerasan dimasa lalu harus dihentikan dan salah satu
caranya melalui KKR. Perjanjian damai ini pula yang menjadi salah satu dasar pertimbangan
penyusunan UUPA.
Haris Azhar dalam tulisannya menyebutkan bahwa dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diubah dengan Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011, yang disebutkan aturan perundang-undangan salah satunya adalah
Peraturan Daerah. Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh dalam penyusunan peraturan
peraturan perundang-undangan, termasuk Perda, diantaranya soal kemanusiaan, keadilan, kepastian
hukum. Hal ini menandakan bahwa Perda pun bisa dijadikan sebagai kepanjangan tangan penjaminan
hak-hak asasi manusia yang dinyatakan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006.
Oleh karenanya Qanun, nama khusus Perda bagi Aceh, sangat memungkinkan dijadikan dasar hukum
bagi KKR Aceh. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 230 Undang-Undang No. 11 Tahun
2006 bahwa organisasi dan kerjanya diataur dalam Qanun. Yang dibutuhkan kemudian hanyalah
keberanian Pemerintahan Aceh untuk memenuhi hak-hak warga negara atas keadilan akibat kejahatan
kemanusiaan yang terjadi dimasa lalu.6
Mengutip pendapat Aryos Nivada bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
mengamanatkan dan menegaskan pembentukan KKR di Aceh, sebagaimana disebutkan dalam Pasal
229 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006. Sedangkan teknis pelaksanaan KKR Aceh diatur dengan
Qanun Aceh sebagaimana disebutkan pada Pasal 230 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006. Artinya,
pemerintah pusat mau tidak mau harus mengakomodir pembentukan KKR Aceh. Aryos juga
menjelaskan, meski payung hukum nasional yaitu UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR telah
dibatalkan MK. Akan tetapi Aceh masih tetap dapat mengacu kepada 3 (tiga) instrumen hukum
nasional. Instrumen hukum yang dapat digunakan yaitu TAP MPR N0 IV/1999, TAP MPR
No.V/2000 dan UU Pengadilan HAM.7

3.2. Faktor dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh


Komisi kebenaran dan rekonsiliasi terlebih dahulu kita harus mengetahui apa maksud dari hal
tersebut. Sejak dahulu, para filsuf telah memperdebatkan tentang apa itu kebenaran. Salah satu
definisi kebenaran yang paling elegan diberikan oleh filsuf Jerman Jürgen Habermas yaitu Kebenaran,
menurutnya, kita sadari dalam tiga aspek.8 Pertama, kebenaran bersifat faktual, berkaitan dengan

6
Haris Azhar, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas dan Reformasi Institusi KontraS, Anggota Tim
Perumus Konsep Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh Versi Masyarakat Sipil, “Prospek Hukum Komisi
Kebenaran & Rekonsiliasi Aceh”, http://www.kontras.org/index.php?hal=opini&id=17, diakses pada tanggal 23
September 2020
7
Aryos Nivada, “Wacana pembubaran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dikecam”,
http://www.hetanews.com/article/91808/wacana-pembubaran-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi-aceh-dikecam,
diakses pada tanggal 12 Oktober 2020
8
Jurgen Habermas, The Theory of Communication Action, Jilid I, Boston, 1984. hlm 12
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 275

sesuatu yang benar-benar terjadi atau ada. Kedua, kebenaran bersifat normatif, berkaitan dengan apa
yang kita rasakan adil atau tidak. Ketiga, kebenaran hanya akan menjadi kebenaran bila dinyatakan
dengan cara yang benar.
Rekonsiliasi secara semantik memiliki arti yaitu memulihkan kembali relasi dan kepercayaan
atas dasar penghormatan pada prinsip kemanusiaan di antara dua kelompok atau lebih yang dirusakan
oleh hubungan yang tak adil di masa lalu. Rekonsiliasi sebagai kata kunci dari pembentukan KKR
jelas terkait dengan usaha memperbaiki hubungan sosial, politik dan psikologis antarwarga negara
sebagai pribadi atau kelompok dengan negara akibat perlakuan atau tindakan negara yang tidak adil
dan tidak manusiawi. Rekonsiliasi itu diperlukan untuk membangun masa depan bangsa dan negara
yang demokratis di atas pilihan sikap memaafkan atau melupakan, dan bukan penuntutan pidana.
Rekonsiliasi mensyaratkan dilakukannya pengungkapan kebenaran. Di Afrika Selatan hal itu
merupakan prinsip dasar, dan perhatian internasional terhadap komisi ini menimbulkan anggapan
bahwa semua komisi kebenaran terutama dibentuk untuk mendorong rekonsiliasi. Dan rekonsiliasi
yang dimaksud adalah rekonsiliasi politik nasional, dan bukan rekonsiliasi individual. Keberhasilan
komisi kebenaran sebagian diperhitungkan dari seberapa besar kemampuan dan keberhasilannya
rekonsiliasi.
Meski demikian, menurut Priscilla Hayner,9 terdapat lima elemen yang dapat dikatakan
sebagai karakter umum KKR, yaitu:
1) fokus penyelidikannya pada kejahatan masa lalu,
2) terbentuk beberapa saat setelah rezim otoriter tumbang,
3) tujuannya adalah mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan hak
asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional pada suatu kurun waktu tertentu, dan
tidak memfokuskan pada suatu kasus, keberadaannya adalah untuk jangka waktu tertentu,
biasanya berakhir setelah laporan akhirnya selesai dikerjakan,
4) ia memiliki kewenangan untuk mengakses informasi ke lembaga apa pun, dan
mengajukan perlindungan untuk mereka yang memberikan kesaksian,
5) pada umumnya dibentuk secara resmi oleh Negara baik melalui Keputusan Presiden atau
melalui Undang-Undang, atau bahkan oleh PBB seperti KKR El Salvador.

Di samping dicirikan dengan elemen-elemen tersebut, sebuah lembaga dapat disebut KKR,
apabila telah menerbitkan laporan yang komprehensif mengenai kejahatan di masa lalu. Masyarakat
mempercayainya dan menganggapnya sebagai suatu usaha yang tulus untuk merekonstruksi apa yang

9
Lihat, Priscilla B. Hayner, Kebenaran, Elsam, Jakarta, 2005, halaman. 264. Dikutip dari Priscilla
Hayner, Fifteem Truth Commissions 1974-1994 Comparative Study dalam Human Rights Querterly, 16, hlm.
597-665.
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 276

sebenarnya terjadi dalam konteks kasus-kasus kejahatan hak asasi manusia yang terpola dan
sistematis.
1. Tujuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
KKR mempunyai keistimewaan dalam cakupan, ukuran, dan mandatnya seperti telah disebutkan
di atas. Banyak Komisi berupaya untuk mencapai beberapa atau keseluruhan dari tujuan berikut:10
1) Memberi arti kepada suara korban secara individu dengan mengizinkan mereka memberikan
pernyataan kepada Komisi dalam forum dengar pendapat berkaitan dengan pelanggaran hak
asasi manusia yang mereka derita.
2) Pelurusan sejarah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa besar pelanggaran hak asasi manusia
yang biasanya disanggah oleh penguasa atau merupakan sebuah subyek dari pertikaian atau
kontroversi, dan KKR dapat membantu menyelesaikan masalah itu dengan membeberkan
peristiwa lalu secara kredibel dan perhitungan data.
3) Pendidikan dan Pengetahuan Publik. Dengan begitu meningkatkan kewaspadaan umum
berkaitan dengan kerugian sosial dan individu akibat pelanggaran hak asasi. Proses pendidikan
publik ini juga memberikan sumbangan pada pengetahuan masyarakat tentang penderitaan
korban dan membantu menggerakkan masyarakat untuk mencegah peristiwa serupa terjadi di
masa depan.
4) Memeriksa pelanggaran hak asasi manusia sistematis menuju reformasi kelembagaan, terutama
akibat dan sifat dari bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang melembaga dan sistemik.
Sekali Komisi berhasil mengidentifikasikan pola pelanggaran hak asasi manusia atau lembaga
yang bertanggungjawab terhadap pelanggaran ini, maka Komisi dapat merekomendasikan
serangkaian program sosial atau kelembagaan dan reformasi legislatif yang dirancang untuk
mencegah timbulnya kembali pelanggaran hak asasi manusia.
5) Memberikan assesment tentang akibat pelanggaran hak asasi manusia terhadap diri korban, di
manaKomisi bisa merekomendasikan beberapa cara untuk membantu korban menghadapi dan
mengatasinya.
6) Pertanggungjawaban para pelaku kejahatan. Komisi mengumpulkan informasi yang berkaitan
dengan identitas individu pelaku kejahatan yang melanggar hak asasi manusia, dan bisa juga
mempromosikan sebuah sense ofaccountability atas penyalahgunaan kekuasaan oleh individu-
individu yang secara publik terindikasi dan lembaga-lembaga yang bertanggungjawab atas
penyalahgunaan itu, memberi rekomendasi bahwa para pelaku kejahatan perlu diberhentikan
dari jabatan publik, atau memberikan fakta-fakta atau bukti-bukti untuk pengajuan tuntutan ke
pengadilan.

10
Lihat Seri Kajian KKR, ELSAM, Nomor 1 Tahun 1, Juli 2000.
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 277

Fungai KKR Aceh berdasakan Qanun Nomor 17 Tahun 2013 yaitu Pasal 10 Untuk
menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, KKR Aceh berwenang:
a. mendapatkan akses pada semua sumber informasi yang diperlukan untuk penyelidikan dalam
bentuk dokumen tertulis ataupun keterangan lisan yang berasal dari institusi pemerintah
maupun non pemerintah;
b. mendapatkan keterangan atau pernyataan dari setiap orang atau institusi yang terkait dengan
peristiwa yang sedang diselidiki;
c. mendapatkan seluruh informasi dari semua proses pemeriksaan perkara, persidangan dan
putusan pengadilan untuk mendukung proses penyelidikan;
d. mendapatkan dukungan resmi terhadap pelaksanaan tugas komisi dari institusi negara dan
asistensi teknis yang diperlukan untuk pencapaian tujuan pembentukan komisi;
e. membangun dukungan kerjasama dengan institusi non negara baik nasional maupun
internasional untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tujuan pembentukan komisi;
f. menyebutkan nama-nama pelaku yang terkait dengan pelanggaran HAM;
g. melakukan pemulihan nama baik terhadap kekeliruan dalam penyebutan nama-nama pelaku;
h. menjaga dan menyimpan seluruh informasi yang diperoleh dalam penyelidikan untuk
kepentingan pemenuhan hak korban atau pelaku;
i. membuka informasi yang diperoleh dalam penyelidikan dalam hal dan kepada pihak-pihak
yang dalam pertimbangan komisi tidak merugikan korban dan pelaku;
j. mengundang korban, saksi dan atau institusi untuk mendukung proses penyelidikan;
k. meminta lembaga atau institusi yang berwenang untuk memberikan perlindungan bagi saksi,
korban dan pelaku yang mengaku;
l. merekomendasikan langkah-langkah reparasi yang adil bagi para korban;
m. merekomendasikan langkah-langkah legal dan administrasi guna mencegah tindakan-tindakan
keberulangan dari pelanggaran HAM masa lalu; dan
n. memastikan pemerintah melaksanakan seluruh rekomendasi komisi

Selanjutnya, asas-asas yang bersifat materil dalam pembentukan Qanun KKR Aceh dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Asas pengayoman, bahwa pembentukan Qanun KKR Aceh untuk memberikan ketentraman dalam
masyarakat Aceh yang hidup dalam suasana konflik puluhan tahun. Kehadiran qanun tersebut
menjadi sarana untuk memberikan perlindungan kepada para korban atas kerugian yang dialami,
baik kerugian yang bersifat psikis maupun materi.
2. Asas kemanusiaan. Tentu tak dapat dipungkiri bahwa pembentukan Qanun KKR amat kental
perspektif hak asasi manusia. Kehadiran Qanun KKR memberikan harapan kepada masyarakat
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 278

bahwa upaya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang pernah terenggut akibat konflik
berkepeanjangan di Aceh tidak hanya sekedar dalam tahap wacana semata.
3. Asas kebangsaan, bahwa pembentukan Qanun KKR Aceh bukanlah suatu upaya membuat produk
hukum yang sama sekali berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia,
melainkan suatu upaya untuk tetap menjaga prinsip negara kesatuan, bahwasanya dalam konsep
negara kesatuan desentralisasi yang menjadi ciri khas Indonesia merupakan penjelmaan
keseimbangan antara pusat dan daerah.
4. Asas kekeluargaan, bahwa Qanun KKR dilakukan dengan mendengar berbagai masukan dari
berbagai kalangan, termasuk korban pelanggaran HAM di Aceh dan dibentuk oleh DPRA
bersama-sama dengan Pemerintah Aceh.
5. Asas kenusantaraan, bahwa pada prinsipnya Qanun KKR dibentuk sebagai bentuk perhatian
kepada para korban konflik untuk mengetahui kebenaran yang terjadi dan rekonsiliasi sebagai
upaya menciptakan perdamaian dan persatuan bangsa.
6. Asas Bhinneka Tunggal Ika, bahwa dalam kaitannya dengan asas ini, Qanun KKR merupakan
kebutuhan khusus yang diperlukan oleh Aceh untuk menjawab persoalan mengenai tuntutan
keadilan oleh korban konflik. Dari sisi karakteristik qanun, mencerminkan bahwa dibentuknya
Qanun KKR sebagai bagian tak terpisahkan dari keinginan masyarakat Aceh untuk memperoleh
hak tahu atas apa yang terjadi pada diri mereka atas pengalaman pahit konflik.
7. Asas keadilan. Pembentukan Qanun KKR tidak terlepas dari adanya tuntutan keadilan oleh
masyarakat Aceh korban konflik. Prinsip yang dipegang dalam membentuk qanun tersebut bahwa
ada hak korban yang belum terpenuhi, terutama hak atas kebenaran, keadilan maupun hak untuk
mendapatkan reparasi dari negara atas berbagai kerugian yang dialami, termasuk jaminan atas
ketidakberulangan atas apa yang telah terjadi atas diri korban.
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa berbagai materi muatan yang
terdapat dalam Qanun KKR sesungguhnya menghendaki adanya suatu kesamaan kedudukan dalam
hukum. Qanun tersebut amat kental dengan persepektif korban yang seringkali dilupakan hak-
haknya setelah perdamaian berlangsung.
9. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwasanya kehendak dari pembentukan Qanun KKR
adalah untuk terciptanya ketertiban dalam masyarakat dengan berusahan memperbaiki tatanan
kehidupan masyarakat yang rusak akibat konflik berkepanjangan.
10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia, keberadaan Qanun KKR merupakan penghormatan dan perlindungan negara
atas tuntutan penegakannya melalui proses yang adil.
11. Asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Dalam Qanun KKR salah satunya adalah pengaturan terkait dengan hak-hak korban
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 279

yang diberikan, baik berupa reparasi maupun restitusi sebagai bentuk rasa tanggung jawab negara
melindungi segenap warga negaranya.

3.3. Kendala Dan Upaya Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh Dalam Menjalankan
Kewenangannya Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah fenomena yang timbul di era transisi politik dari
suatu rezim otoriter ke rezim demokratis, terkait dengan persoalan penyelesaian kejahatan
kemanusian yang dilakukan rezim sebelumnya. Pemerintahan transisi berusaha menjawab masalah
tersebut dengan mencoba mendamaikan kecenderungan menghukum di satu sisi dengan
kecenderungan memberi maaf atau amnesti di sisi yang lain. Sebagai “solusi atau pemecah
permasalahan” tentu saja upaya demikian tidak sepenuhnya memuaskan banyak pihak, terutama
korban, keluarga korban dan organisasi masyarakat sipil, tetapi itulah usaha pemerintahan transisi
yang dapat dilakukan, mengingat kejahatan kemanusian yang dilakukan rezim sebelumnya
mengandung dimensi politik, psikologis dan hukum yang sangat kompleks.
Kesadaran pentingnya mengusut, mengungkap kebenaran dan meminta pertanggungjawaban
rezim masa lalu yang melakukan kejahatan kemanusian, secara teoritis, diyakini banyak aktivis pro
demokrasi merupakan jalan menuju demokrasi. Tidak mungkin sebuah bangsa dapat hidup bersatu
padu dalam damai di atas sejarah penuh luka dan kekerasan. Proses transisi menuju demokrasi harus
berjalan di atas proses sejarah yang jujur, adil dan bertanggung jawab. Pemerintahan yang baru harus
menemukan jalan keluar untuk meneruskan detak nadi kehidupan, menciptakan ulang ruang nasional
yang damai dan layak dihuni, membangun semangat dan upaya rekonsiliasi dengan para musuh masa
lampau, dan mengurung kekejaman masa lampau dalam sangkar masa lampaunya sendiri.11
Kesulitan dan kekuatiran akan tidak bisa bekerjanya proses hukum formal menangani
kejahatan kemanusian masa lalu, ditambah kekuatiran jalan itu bisa menjerumuskan bangsa kembali
ke rezim otoriter, merupakan dorongan kuat perlunya mekanisme lain, atau model penyelesaian
alternatif, yang kemudian secara umum dikenal dengan “komisi kebenaran dan rekonsiliasi”: sebuah
jalan menghindar atau dalam istilah Tina Rosenberg, ”the dragon on the pation should not be
awakened” (naga pada pasien jangan sampai terbangun).12
Pada pembahasan di atas telah dijelaskan sifat independensi KKR Aceh disertai dengan ciri
teoretis suatu lembaga independen yang dihubungkan dengan karakteristik KKR Aceh sebagaimana
termaktub dalam Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh. Beberapa pasal didalam qanun
memang mengatur mengenai sifat independensi KKR Aceh, seperti: jumlah anggotanya yang ganjil,
proses pemilihan anggota komisi yang independen, pemilihan dan pemberhentian anggota komisi
diatur jelas serta memiliki kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri (self regulated bodies), akan

11
Ifdal Kasim, dkk (ed.), i, ELSAM, Jakarta, 2001, hlm. vi.
12
Martin Meredith, op. cit. hlm. 329
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 280

tetapi ada yang luput diatur dalam Qanun tersebut mengenai dua sifat independensi lainnya KKR
Aceh sebagai suatu lembaga independen.
Pertama, prosedur pengambilan keputusan kelembagaan yang berkaitan dengan tugas dan
fungsi komisi. Di dalam Qanun KKR, jika ingin dibaca secara komprehensif tidak ada satu pasalpun
yang mengatur tentang tata cara pengambilan keputusan di dalam lembaga tersebut.
Pengaturan tentang pengambilan keputusan sangat penting dalam setiap lembaga. Tentu kita
tidak menginginkan setiap anggota komisi berselisih dalam pengambilan keputusan, seperti prioritas
kasus mana yang terlebih dahulu ditangani maupun kasus mana yang dikesampingkan.
Memang problematika ini belum mengemuka, mengingat anggota komisi KKR Aceh baru
saja dilantik oleh Gubernur Aceh beberapa bulan yang lalu. Bukan tidak mungkin dalam menjalankan
tugasnya ke depan KKR Aceh dihadapkan pada berbagai persoalan yang menyangkut teknis atau tata
cara pengambilan keputusan di internal komisi.
Sejatinya, suatu lembaga independen memiliki model pengambilan keputusan secara kolegial
kolektif yang menjadi ciri eksistensinya. Mochtar mengemukakan bahwa secara teoretis memang sulit
untuk mengkategorikan suatu lembaga itu independen jika tidak memiliki ciri tersebut.13 Proses
kolegial kolektif sesungguhnya dimaksudkan untuk saling kontrol antar komisioner, meski pada sisi
lain dapat menghambat proses pengambilan keputusan, yang berakibat pada terhambatnya pekerjaan
kelembagaan. Akan tetapi, bila dikesampingkan begitu saja, akan berakibat pada cacat prosedural,
yang dapat melahirkan gugatan atas pengambilan keputusan dimaksud.
Masalah yang kerap muncul dalam pengambilan keputusan model ini adalah latar belakang
yang berbeda sering kali membuat proses pengambilan keputusan menjadi sangat panjang karena
adanya keragaman latar belakang. Akibatnya, memang bisa memakan waktu yang lebih panjang,
bahkan bisa berbelit dan tidak sesuai dengan nilai bersama ketika para komisioner berlatar majemuk.
Hal ini akan semakin rumit apabila aturan hukum yang mendasarinya tidak rapi didalam membedakan
kerja organisasi yang memerlukan stratifikasi jabatan dan pola kerja kelembagaan kolegial-kolektif
yang meniscayakan kebersamaan. Meski seorang ketua komisi menjadi pemegang kemudi, tidak
berarti ia menjadi primus inter pares yang lebih penting dan lebih kuasa dibanding komisioner
lainnya.14
Sistem kolegial-kolektif adalah salah satu cara demokritisasi dalam suatu lembaga
independen. Dengan model pengumpulan keputusan yang demikian, harapannya setiap keputusan
yang diambil, baik secara prosedural maupun akuntabilitas dan legitimasinya, akan lebih terjaga.15
Bahkan jika salah satu dari mereka tidak setuju keputusan yang diambil, mau tidak mau harus
menerima sebagai suatu keputusan yang sah, karena diambil dengan cara yang dianggap adil. Berasal

13
Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm. 159.
14
Ibid.
15
Ibid. hlm. 160
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 281

dari pengambilan keputusanyang terbuka dan inklusif, dengan proses yang transparan, setara dan
musyawarah.
Kedua, persoalan lain menyangkut independensi KKR Aceh yakni perihal pengisian jabatan
anggota komisi. Perihal tersebut tidak pula terdapat di dalam Qanun. Qanun KKR Aceh hanya sebatas
menentukan kualifikasi keanggotaan, seperti kriteria anggota, pemberhentian dan pergantian antar
waktu. Penggantian antar waktu pun tidak lagi melalui proses seleksi panitia independen, melainkan
diambil dari cadangan komisioner KKR Aceh berdasarkan nomor urut tertinggi pada waktu seleksi.
Pergantian komisi yang telah berakhir masa jabatannya dilakukan secara bersamaan dalam jangka
waktu lima tahun, bukan bertahap atau bergantian (staggered terms) sebagaimana lazimnya
pergantian anggota komisi suatu lembaga independen.
Pengisian jabatan secara bertahap (staggered terms) dalam suatu lembaga independen
dimaksudkan agar lembaga lainnya seperti eksekutif maupun legislatif tidak bisa menguasai secara
penuh kepemimpinan lembaga tersebut, karena periodesasinya tidak mengikuti periodesasi suatu
lembaga politik tertentu.16
Dengan karakter yang demikian, suatu lembaga independen relatif memiliki posisi yang
leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara
mutlak.17 Apalagi bagi KKR Aceh yang melaksanakan tugas mengungkap kebenaran dugaan
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh.
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa kehadiran KKR Aceh sebagai lembaga
independen tidak sepenuhnya mencerminkan sifatnya sebagai suatu lembaga yang independen.
Pengaturan yang tidak komprehensif di dalam Qanun KKR Aceh mengenai sifat
independensinya adalah salah satu penyebab tidak tercerminnya sifat sebagai lembaga independen.
Padahal sejatinya, bagi suatu lembaga yang memiliki tugas besar seperti KKR, pengaturan terhadap
sifat independensi lembaga tidak bisa diatur setengah hati atau asal jadi.
Hal ini dikarenakan banyak potensi upaya dari berbagai pihak untuk menyusupi
kepentingannya dalam rangka menghambat kinerja KKR, bahkan melalui komisi sekalipun. Hal ini
dapat berdampak pada lumpuhnya pergerakan lembaga tersebut. Apalagi jika lembaga tersebut
dibentuk untuk membongkar sejarah kelam masa lalu akibat kebijakan politik yang dihasilkan para
politisi pada era lalu. Bukan lagi pengungkapan kebenaran yang dilakukan KKR Aceh, melainkan
komisi menjadi sarana impunitas baru yang membebaskan para pelaku pelanggaran HAM berat di
masa lalu dari proses penghukuman. Apabila hal ini terjadi, keadilan bagi korban dan masyarakat
akan semakin jauh dari realitas.

16
Ibid., hlm 43.
17
Gunawan A. Tauda, 2012, Komisi Negara Independen: Eksistensi Independent Agencies sebagai
Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 97.
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 282

Atas berbagai kekurangan yang terdapat mengenai pengaturan tentang independensi KKR
Aceh, satu langkah yang paling penting dilakukan adalah membenahi regulasi Qanun KKR Aceh.
Dalam upaya itu, hal paling mendesak untuk dilakukan adalah mengatur tentang dua hal yang luput
diatur oleh Qanun sebelumnya, yakni mengenai pola pengambilan keputusan dan pergantian antar
komisi. Hal itu amat penting dilakukan agar kedudukan KKR Aceh tidak mudah disusupi oleh pihak-
pihak yang punya kaitan dengan pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.
Penyusupan demikian akan membahayakan keberadaan KKR Aceh karena lembaga tersebut
hanya sebatas menjadi alat seremonial bagi Pemerintah dan DPR Aceh untuk menunjukkan kepada
masyarakat akan keseriusannya menyelesaikan pelanggaran HAM di Aceh.

IV. KESIMPULAN
Legalitas KKR Aceh berdasarkan qanun dan Pasal 229 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
adalah sah menurut peraturan perundang-undangan. Hal ini dipahami bahwa KKR Aceh dibentuk
sebagai bagian dari politik hukum di Aceh yang diamanahkan oleh MoU Helsinki dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006. Kendala yang terjadi hanya pada aspek pelaksanaan kewenangan
dimana KKR Aceh terbentur dengan KKR Nasional yang telah dihapuskan. Apabila ditinjau dari
aspek asas peraturan perundang-undangan, tentu Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 merupakan lex
specialist bagi Aceh. Sehingga pelaksanaan tatanan pemerintahan di Aceh mengacu pada undang-
undang tersebut. Begitu juga halnya dengan KKR Aceh yang dibentuk menurut ketentuan Undang-
Undang No. 11 Tahun 2006. Kedudukan KKR Aceh merupakan mandat langsung dari ketentuan
Pasal 229 UU Pemerintahan Aceh yang kemudian diakomodir dalam Qanun No. 17 Tahun 2013. Hal
ini dikuatkan dengan penunjukan anggota KKR Aceh berdasarkan Keputusan Gubernur No 17 Tahun
2013 Atas regulasi tersebut kedudukan KKRAceh merupakan amanah dalam pelaksanaan otonomi
khusus di Aceh dalam menegakkan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh.
Faktor-faktor dibentuknya KKR Aceh menurut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 yaitu
Menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu di luar pengaduan, guna mewujudkan
perdamaian dan persatuan bangsa, dalam hal ini KKR di di tujukan agar dapat menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh.
Kendala dan upaya KKR Aceh dalam menjalankan kewenangannya menurut peraturan
perundang-undangan, maka dalam hal ini kendala KKR Aceh dalam menjalankan kewenangannya
yaitu pada komisi kebenaran dan rekonsiliasi tidak diatur secara khusus didalam Qanun Nomor 17
Tahun 2013 maka dalam hal ini harus dibenahi oleh pejabat terkait di pemerintahan Aceh. Adapun
Upaya yang harus dilakukan mengenai KKR Aceh itu sendiri adalah mengatur tentang dua hal yang
luput diatur oleh Qanun sebelumnya, yakni mengenai pola pengambilan keputusan dan pergantian
antar komisi.
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 283

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Fence M. Wantu Dkk, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, Reviva Cendekia, Jakarta, 2002

Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pementukannya, Kanisius: Jakarta,


1999

Irfan Islamy, M., Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2000 Ishaq,
Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Muhammad Siddiq Armia, Studi Epistemologi Perundang-Undangan. Teratai Publisher, 2011.

Otje Salman dan Anthon F.Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka
Kembali, PT.Refika Aditama, Bandung, 2008.

Pricilla B. Hayner, Kebenaran Tak Terbahasakan Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran,


Kenyataan dan Harapan, ELSAM, Jakarta, 2005.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Cet.
ke-3, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1989.

Samsidar, Tarik Ulur KKR Aceh: Pengungkapan Kebenaran dan Pemenuhan Keadilan di Antara
Dikotomi Hitam Putih dan di Atas Fondasi Impunitas, Dibawakan pada Seminar dan
Peluncuran Hasil Penelitian : Kebenaran dan Perdamaian di Aceh “Upaya Pemenuhan Hak
dan Pertanggungjawaban”, Kerja sama PUSHAM Unsyiah Kuala, KPK-Aceh dan ICTJ, Hotel
Permes Palace, Banda Aceh. 2007.

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Sinar Baru,
Bandung, 1983.

Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1994.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2006.

2. Artikel Jurnal dan Majalah


Abraham Utama, Jalan Terjal Pengesahan Qanun KKR Aceh, Opini, Koleksi Pusat Dokumentasi
ELSAM, tt,

Gunawan A. Tauda, Kedudukan Komisi Negara Independen dalam Struktur Ketatanegaraan Republik
Indonesia, Jurnal Pranata Hukum, Vol. 6, No. 2, Juli 2011

Maracilu, Cut Nanda, 2013, Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai Amanah
Memorandum of Understanding (MoU) dalam Konteks Penegakan Hukum terhadap
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh, Skripsi,UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta.
Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(3) Desember 2020
Teuku Okta Randa, Wahyu Ramadhani 284

Muhammad Siddiq Armia, "The Role of Indonesian Constitutional Court In Protecting Energy
Security." Jurnal Konstitusi 13.2 (2016): 241-258.

Muhammad Siddiq Armia, “Constitutional Courts And Judicial Review: Lesson Learned For
Indonesia,” Negara Hukum, Vol.8, No.1, June 2017, 107-130

Muhammad Siddiq, "Kegentingan Memaksa Atau Kepentingan Penguasa (Analisis Terhadap


Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU))." Jurnal Asy-
Syir’ah . 48.1 (2014).

Otto Syamsuddin Ishak, Ikhtiar Mencuci “Karpet martti” di Aceh, Jurnal dignitas Volume VIII No. 1
Tahun 2012 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasatkan Atas Hukum, Cet. II, Ghalia
Indonesia, Jakarta., 1986

Padmo Wahyono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, Forum Keadilan, No. 29


April 1991

Sparingga, Daniel, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Penyelesaian atas Warisan Rejim Otoritarian
dan Penyelamatan Masa Depan di Indonesia”, Makalah, Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Zaki Ulya, Eksistensi Badan Pertanahan Aceh sebagai Perangkat Daerah di Aceh dalam Aspek
Kepastian Hukum Bidang Pertanahan, Jurnal Konstitusi, Vol. 12 No. 3, 2015

Zaki Ulya, Refleksi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dalam Kaitan Makna Otonomi
Khusus Di Aceh, Jurnal Konstitusi, Vol. 11 No. 2, 2014

Anda mungkin juga menyukai