Anda di halaman 1dari 3

Nama : Fadlan Galih Pramudha

NPM : 1212021010

Program Studi : Akuntansi

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

Ijma’
1. Definisi Ijma’

Secara bahasa Kata ijma berasal dari kata (Al-ijma’) merupakan bentuk masdhar dari kata
kerja (Ajma’a-Yujmi’u) yang memiliki dua arti yaitu:
 Azam, niat dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan memutuskannya.
‫ عل(الشيء ى العزم‬Contohnya sebagaimana disebutkan Allah dalam surat  Yunus : 71
ketika menceritakan tantangan Nabi Nuh kepada kaumya yang  membangkang. 

“…karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu sekutumu (untuk


membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu  dirahasiakan, lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi  tangguh kepadaku.”

 Ittifaq, Kesepakatan beberapa orang untuk melakukan sesuatu. (‫ االتفاق‬.(Contohnya: ‘(


‫( كذا على القوم أجمع‬artinya kaum itu bersepakat mengenai  hal ini. 

Perbedaan dari dua makna/arti tersebut yaitu pada jumlah pelaku. Pada makna azam
menyebutkan bahwa pelakunya adalah seseorang, sedangkan pada makna ittifaq
pelakunya ada beberapa orang.
Adapun definisi Ijma’ secara istilah syar’i menurut mayoritasulama ushul fiqih yaitu:
“Kesepakatan para mujtahid dari ummat Muhammad saw. setelah wafatnya beliau pada
suatu masa mengenai hukum syar’i.”

Definisi Ijma’ secara Syariah, menurut mayoritas ulama ushul fiqih adalah :

“Kesepakatan para mujtahid dari ummat Muhammad –shallallahu ‘alahi wa 


sallam- setelah wafatnya beliau pada suatu masa mengenai hukum syar’i.”
2. Syarat Terjadinya Ijma’
 Adanya kesepakatan, semua peserta ijma’ harus sepakat atas satu pendapat.
 Para Mujtahid, Orang yang melakukan ijma’ harus ada di derajat mujtahid, artinya
tidak semua ulama diperhitungkan pendapatnya dalam sebuah ijma’.
 Menguasai ilmu Al-Qur’an, mengetahui kandungan makna alqur’an baik dari sisi
bahasa maupun sisi syar’i.
 Menguasai ilmu As-Sunnah, baik penguasaan terhadap sanad maupun matannya.
 Mengetahui adanya Ijma’ sebelumnya, untuk menghindari fatwa yang menyelisihi
Ijma’ sebelumnya.
 Menguasai ilmu ushul fiqih, agar bisa mengambil kesimpulan yang benar darisuatu
dalil syar’i, sehingga hukumnya memiliki landasan yang kuat.
 Menguasai ilmu Bahasa Arab, sebagai alat untuk memahami dua sumber utama(Al-
Qur’an dan As-Sunnah)
 Ummat nabi Muhammad, para ulama sepakat orang kafir tidak dianggap pendapatnya,
begitu juga ummat-ummat nabi sebelum nabi Muhmmad.
 Setelah wafatnya Rasulullah, Ijma’ di jaman Rasulullah tidak dianggap karena jika
rasulullah sepakat terhadap ijma’ tersebut berarti hujjahnya ada di sabda Rasulullah.
Jika Rasulullah tidak setuju maka Ijma’ tesebut tidak ada artinya.
 Dalam suatu masa tertentu, hal ini karena mustahil jika dibuat kesepakatan seluruh
ummat manusia disemua masa dalam satu permasalahan.

Kehujjahan Ijma’ 
Salah satu dalil syar’i yang bisa dijadikan sebagai hujjah, baik dari Al-Qur’an  maupun As-
Sunnah. Antara lain: 
a. Al-Qur’an  
Salah satu dalil ayat Al-Qur’an yang menjadi legitimasi ijma’ adalah ayat berikut  ini :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan  mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa  terhadap kesesatan
yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam  Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115) 
b. As-Sunnah 
Selain dalil dari Al-Qur’an ada hadits yang dijadikan oleh para ulama’ sebagai  dalil
kehujjahan Ijma’. Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah ` bersabda:

“Sungguh Allah tidak akan mengumpulkan ummatku –atau ummat Muhammad `- dalam
kesesatan. Tangan Allah bersama Jama’ah siapa yang menyendiri, dia akan  menyendiri
menuju neraka.”

Anda mungkin juga menyukai