Cinta berarti memberi. Cinta datang dengan spontan tanpa perlu alasan. Justru dari
sinilah semua bentuk alasan akan dibangun. Cinta melimpah dari “bahasa diam” dalam
keheningan. Sebab bahasa tidak akan cukup untuk menggambarkan Cinta. Cinta
mencakup semua kilasan pikiran pertama yang begitu kuat, tidak mudah dikemas
dengan kata, namun merupakan mata air dari semua pengetahuan dan tindakan
manusia.
Dari lahir, manusia telah memiliki beberapa “hipotesis bawaan”, namun tidak begitu saja
muncul ke permukaan. Apabila hipotesis bawaan tersebut muncul ke permukaan dan
dipadukan dengan tindakan yang membawa kebaikan, maka ia disebut dengan
“hikmah”. Hikmah, kata Nabi, merupakan kebenaran di luar kenabian. Siapa yang
dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebaikan yang berlimpah (QS 2:269).
“Hikmah adalah harta karun bagi orang-orang yang beriman, di mana pun
mendapatkannya, dia berhak memilikinya”, kata Ali bin Abu Thalib. Hikmah merupakan
konsep yang tidak mudah digambarkan secara tepat, namun mengajak kita untuk
mengalaminya secara langsung termasuk dalam ranah Cinta: diri sejati, spiritualitas,
kearifan, keindahan, moralitas, imajinasi, intuisi, panggilan jiwa, dan lain-lain.
Kekuatan Cinta terletak pada pengalaman bukan pada pembahasan dan pembahasaan.
“Cinta tidak sirna hanya disebabkan ketidakmampuan mengungkapkannya; sebab
bagian utama Cinta adalah hati, bukan rasio. Bayi mencintai susu dan susu menjadi
makanannya. Meskipun begitu bayi tidak dapat menjelaskan apa itu susu. Jiwanya
menghasratkannya namun mustahil bagi bayi mampu mengungkapkan dengan lisan
atas kepuasan yang diperoleh atau bagaimana dia menderita apabila diajuhkan dari
susu”, ujar Jalaludin Rumi.
Bahasa Cinta
Setiap orang lahir dalam asuhan Cinta. Hamil selama sembilan bulan mungkin tidak
akan tertahankan oleh calon ibu andaikata tidak ada Cinta di dalam hatinya. Kelahiran
pun tidak akan mengakhiri kesusahan ibu, justru merupakan babak baru kesusahan lain
dengan mengasuh bayi siang dan malam.
Hubungan Ibu-anak adalah paradoks yang aneh dengan Cinta yang sangat dalam dari
ibu kita masing-masing. Ironisnya dari setiap Cinta yang diberikan ibu untuk membantu
anaknya tumbuh pada akhirnya akan menjauhkan anak dari ibunya setelah mandiri dan
dewasa. Dengan Cinta seperti itulah sebenarnya manusia tumbuh secara sempurna.
Awal dari Cinta adalah membiarkan bahkan membantu orang yang kita cintai menjadi
dirinya sendiri, dan tidak mengubahnya menjadi imajinasi yang kita inginkan. Jika tidak
mungkin kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dirinya.
Cinta memang seakan-akan irasional, padahal tidak. Umumnya hati tergetar baru nalar
mencari-cari alasan logisnya. Hal itu karena Cinta tumbuh dari kodrat manusia sejak
lahir. Dia hadir jauh sebelum manusia belajar dan memiliki logika atau bahasa. Cinta
lebih alamiah daripada logika seperti halnya air mata lebih alamiah dari kata-kata.Cinta
hanya dapat dialami dan kalaupun diucapkan mungkin malah tidak tepat.
Pengorbanan orangtua kepada anak-anaknya selalu berulang dan tidak terhitung dalam
perjalanan sejarah manusia. Dari sisi nalar pengorbanan diri mereka sungguh tidak
rasional. Dua orang dewasa berjuang untuk bayi yang lemah. Ditilik dari hati, itulah satu-
satunya pilihan yang selalu dibuat. “Pengetahuan diperoleh dengan belajar;
kepercayaan dari keraguan; keterampilan dengan praktik; dan cinta dengan cinta”, kata
Thomas Szasz.
Meskipun kita perlu perhitungan dan penjelasan, Cinta tidak selalu didasarkan hal-hal
semacam itu. Cinta tidak bekerja dengan perhitungan dan penejelasan, justru keduanya
tumbuh dari Cinta. Cinta tidak bersifat irasional, tapi dia mengatasi rasionalitas.
Cinta sejati hanya muncul dari diri sejati. Kita tidak mungkin memberi Cinta sejati yang
murni tanpa pamrih apa pun, apabila tidak mengosongkan diri dari egoisme. Sebab
keakuan akan mengotori aliran kasih-sayang dari-Nya. Ego harus dibakar terlebih
dahulu agar kita sanggup melakukan kebaikan tanpa batas.
Cinta sejati menghendaki kebenaran yang utuh. Kita tidak dibenarkan berbuat benar di
satu tempat, lalu berbuat onar di tempat lain. Kita juga tidak dibenarkan berpuas diri
dengan kebaikan pada saat tertentu. Sebab, setiap momen menuntut
pertanggungjawaban tersendiri. Seorang pelacur bersusah payah memberi minum
anjing akan masuk surga. Sebaliknya muslimah yang mengurung kucing, boleh jadi
menjadi calon penghuni neraka. Sebab masalahnya bukan pada status dan bentuk
perbuatan yang dilakukan, melainkan pada kesadaran dibalik perbuatan itu. Tidak
mungkin hati seorang pelacur yang selembut itu kepada binatang kecuali hatinya
seorang ahli tobat. Dan tidak mungkin hati seorang muslimah yang taat sanggup
berbuat setega itu terhadap sesama makhluk Allah kecuali manusia yang berhati batu.
Kebaikan yang kita berikan dengan penuh Cinta akan berpulang kepada kita (QS
45:15). Dan Sebaliknya apaila kita pelit memberikan kebaikan kepada orang lain, kita
hanya pelit kepada diri kita sendiri (QS 47:38).
Referensi BI Religi