Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Sebelumnya


Miyajima et al (2014) melakukan pengujian kekuatan geser untuk mengetahui nilai
kekuatan ikatan suatu material yang di roll bonding. Ada 3 pasang material yang di
lakukan roll bonding, yaitu yang pertama Cu dengan Al, yang kedua Cu dengan AA5052,
dan yang ketiga Cu dengan AA5083. Pada pengujian tersebut 3 pasang material tersebut
dirol dengan pengerjaan dingin atau cold rolling dengan kecepatan putar roll 21 rpm dan
diameter roll sebesar 250 mm dengan rasio reduksi 50% dan 75%. Pada pengujian
kekuatan geser ini, material dibentuk dengan panjang 30 mm, lebar pelat 5 mm dan tebal
pelat 1 mm. Setelah dilakukan pengujian Miyajima menunjukkan besar gaya akan
meningkat seiring meningkatnya luas bidang geser. Selain itu Miyajima menunjukkan
bahwa kekuatan geser dipengaruhi oleh rasio reduksinya, yaitu semakin besar rasio
reduksinya maka akan semakin besar pula nilai kekuatan gesernya.
Akroma (2011) melakukan penelitian accumulative roll bonding dengan material
aluminium komersil untuk bahan konstruksi atap. Pada pengujian ini, material yang akan
diuji berdimensi dengan spesifikasi ukuran lebar 4 cm dan kemudian proses accumulative
roll bonding dilakukan pada suhu 500 ℃ dengan
layer menggunakan
spesimen yaitu variasi
2 layer, 4 layer serta 8 layer untuk mendapatkan hasil deformasi sebesar 50%. Setelah
proses ARB selesai, ukuran dari spesimen kemudian disesuaikan dengan pengujian yang
akan dilakukan yang mana untuk pengujian tarik, kekerasan dan struktur mikro. Dari
penelitian tersebut didapatkan hasil yaitu kekuatan tarik pada aluminium komersil dapat
ditingkatkan dengan menggunakan Accumulative Roll-Bonding (ARB). Kekuatan tarik
sebelum diproses ARB adalah 111,147 MPa, setelah diproses ARB pada 8 layer meningkat
menjadi 123,438 MPa. Peningkatan kekuatan tarik yang terjadi sebesar 11,058 %.
Diameter butiran akan semakin mengecil seiring dengan banyaknya siklus ARB yang
dilakukan pada aluminum tersebut.
Irawan et al. (2006) meneliti tentang pengaruh rasio rolling, mikrostruktur dan
orientasi kristal pada jalan pertumbuhan crack yang diakibatkan oleh fatigue pada Cold-
Rolled plat aluminium murni anisotropik. Efek rasio rolling, struktur mikro dan orientasi
kristal pada retakan kelelahan yang tumbuh pada arah rolling karena retak campuran tipe I
+ II pada lembaran aluminium murni diselidiki dengan melakukan uji kelelahan. Spesimen
CCT digunakan dan dibuat dari lembaran aluminium murni canai dingin dengan rasio putar

5
6

50%, 75%, dan 90%. Ditemukan bahwa retak-retak tersebut tumbuh ke arah bergulir saat
mode campuran I + II retak pada spesimen dengan rasio rolling di atas 75%. Juga
dipastikan bahwa mikrostruktur pada spesimen rasio rolling tinggi lebih kecil dan lebih
memanjang ke arah rolling dibandingkan dengan rasio rolling yang lebih rendah. Namun,
tidak ada pengaruh ukuran mikrostruktur pada jalur fatigue cracks.

2.2 Aluminium
2.2.1 Definisi Aluminium
Aluminium memiliki sifat diantaranya tahan terhadap korosi karena aluminium
adalah logam yang reaktif sehingga mudah teroksidasi dengan oksigen sehingga
membentuk lapisan aluminium oksida. Selain itu aluminium bersifat ulet, mudah dibentuk
dan diberi perlakuan permesinan. Aluminium murni memiliki kekuatan tarik sekitar 4-5
kgf/mm2. Apabila aluminium dilakukan permesinan seperti di roll dingin maka kekuatan
tariknya meningkat hingga 15 kgf/mm2. Aluminium memiliki sifat konduktor listrik yang
baik. Aluminium memiliki daya hantar listrik 65% dari tembaga. Aluminium merupakan
logam non fero yang memiliki bobot paling ringan sehingga sering digunakan untuk
pembuatan produk yang kuat dan ringan.

2.2.2 Sifat- sifat Aluminium


Aluminium merupakan logam yang memiliki rumus kimia Al dengan nomor atom
13. Sifat-sifat fisik aluminium adalah aluminium merupakan logam berwarna putih
keperakan dengan struktur kristal yang berbentuk FCC. Aluminium memiliki densitas
sebesar 2.698x103kg/m3 ketika suhu 20 oC. Titik cair aluminium adalah pada suhu 660 oC.
Koefisien panas mulur kawat aluminium pada suhu 20o~100oC adalah 23.9x10-6/K.
Konduktivitas panas aluminium pada suhu 20o~400oC adalah 238 W/mK. Aluminium
memiliki tahanan listrik sebesar 2.69 x10-8 KΩm. Selain itu aluminium memliki modulus
elastisitas sebesar 70.5 GPa dan juga memiliki modulus kekakuan sebesar 26.0 GPa.
Aluminium merupakan logam konduktor yang baik. Nilai hantaran listrik
aluminium adalah sebesar 65% dari hantaran listrik tembaga, namun aluminium memliki
massa jenis hanya sepertiga dari tembaga sehingga memungkinkan untuk dilakukan
perluasan penampang, selain itu dapat juga digunakan untuk campuran kabel dan dalam
berbagai kebutuhan dapat kita jumpai aluminium dalam bentuk lembaran contohnya
aluminium foil, pada aluminium foil aluminium yang digunakan sebesar 99.0%.
7

2.2.3 Klasifikasi Aluminium


Aluminium diklasifikasikan menurut paduan yang membentuk. Tabel 2.1
menunjukkan klasifikasi dari aluminium.

Tabel 2.1
Klasifikasi Aluminium
Relative
Primary Alloying Series Relative Heat
Corrrosion
Element Number Strength Treatment
Resistance
Aluminium, 99 % dan Non-Heat-
1xxx Excellent Fair
lebih besar Treatable
Heat-
Copper 2xxx Fair Excellent
Treatable
Heat-
Manganese 3xxx Good Fair
Treatable
Varies by
Silicon 4xxx - -
Alloy
Non-Heat-
Magnesium 5xxx Good Good
Treatable
Heat-
Magnesium dan Silicon 6xxx Good Good
Treatable
Heat-
Zinc 7xxx Fair Excellent
Treatable
Sumber: Kissel, (2002 : 14)

2.2.4 Aluminium A1100


Aluminium A1100 merupakan aluminium seri 1xxx. Aluminium seri 1xxx memliki
kemurnian mencapai antara 99 % hingga 99.9 %. Aluminium ini memiliki sifat tahan
korosi, konduktivitas tinggi dan kekuatan yang rendah. Pada penelitian ini menggunakan
alumnium A1100. Berikut adalah data mengenai sifat fisik, sifat mekanik, dan komposisi
yang terdapat pada aluminium A1100.
8

Tabel 2.2
Sifat Fisik Aluminum Alloys 1100
Kemurnian Al (%)
Sifat-sifat
99,996 > 99,0
Massa jenis (20°C) 2,6989 2.71
Titik cair 660,2 653-657
Panas jenis (cal/g.°C) (100°C) 0,2226 0,2297
Hantaran listrik (%) 64,94 59 (dianil)
Tahanan listrik koefisien temperature
0,00429 0,0115
(/°C)
Koefisien pemuaian (20-100°C) 23,86 x 10-6 23,5 x 10-6
Jenis Kristal, konstanta kisi fcc, a = 4,013 kX fcc, a = 4,04 kX
Sumber: Surdia, (1999: 134)

Tabel 2.3
Sifat Mekanik Aluminum Murni
Kemurnian Al (%)
Sifat-sifat 99,996 > 99,0
Dianil 75% dirol dingin Dianil H18
Kekuatan tarik (kg/mm2) 4,9 11,6 9,3 16,9
Kekuatan mulur (0,2%) 1,3 11,0 3,5 14,8
(kg/mm2)
Perpanjangan (%) 48,8 5,5 35 5
Kekerasan Brinell 17 27 23 44
Sumber: Surdia, (1999: 134)

2.2.5 Aluminium 6061


Pada penelitian ini, Material aluminium yang digunakan adalah paduan Al-Mg-Si.
Paduan dalam seri ini mempunyai kekuatan kurang sebagai bahan tempaan dibandingkan
dengan paduan-paduan lainnya, tetapi sangat baik untuk mampu bentuk yang tinggi pada
temperatur biasa. Mempunyai mampu bentuk yang baik pada ekstrusi dan tahan korosi,
dan sebagai tambahan dapat diperkuat dengan perlakuan panas setelah pengerjaan. (Surdia,
1999 : 40). Berikut adalah data mengenai sifat fisik, sifat mekanik dan komposisi kimia
secara umum pada aluminium paduan 6061.
9

Tabel 2.4
Sifat Fisik Aluminum Alloys 6061
Aluminum Density Heat Capacity Thermal Conductivity
Alloys g/cm3 lb/in3 j/kg K cal ir /g.°C W/m.K cal ir /cm.s.°C
6061 2,70 0,098 963 0,23 172 0,41
Sumber : ASM Handbook Vol. 06 (1993)

Tabel 2.5
Sifat Mekanik Aluminum Paduan
Kekuatan Kekuatan Perpanjangan Kekerasan Batas
Aluminum
Tarik Mulur Lelah
Paduan
(Kgf/mm ) (Kgf/mm2)
2
(%) Brinell (Kgf/mm2)
6061 31,6 28,0 15 95 9,5
Sumber : Surdia, (1999 : 140)

Tabel 2.6
Komposisi umum A6061

Sumber : ASM Aero Space Metal Inc.

2.3 Metal Cladding


Metal cladding adalah proses penggabungan dua lembar plat atau lebih dimana
lembaran tersebut memiliki sifat berbeda sehingga menghasilkan lembaran yang memiliki
sifat lebih baik (Bralla, 2007) . Proses metal cladding tersebut bertujuan untuk
menambahan sifat tahan korosi, untk meningkatkan sifat material, atau yang lain, yang
tidak mampu diperoleh pada satu jenis logam. Contohnya uang koin U.S., sebelumnya koin
tersebut terbuat dari paduan perak, namun sekarang koin tersebut terbuat dari cladding
nikel dan tembaga. Hasil dari cladding nikel dan tembaga ini memiliki sifat yang sama
seperti perak namun biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan koin perak. Contoh
cladding pada aluminium adalah baian pesawat yang tidak dicat.
10

Cladding sering dicapai melalui cara mengekstrusi dua buah logam hingga
terdeformasi melalui proses penekanan atau rolling dengan bertekanan tinggi. Roll
bonding merupakan salah satu metode utama dalam membentuk metal cladding.

2.3.1 Roll Bonding


Roll bonding adalah proses penggabungan dua logam atau lebih yang dialakukan dalam
keadaan solid-state yang dilakukan dengan cara pengerolan sehingga menghasilkan plat
datar. Menurut (Ghanes, 2015) ada 5 hal dasar pada proses roll bonding yaitu
dimensioning, surface preperation, riveting atau clamping, preheating , dan rolling.
Gambar 2.1 menunjukkan skema dari proses roll bonding.

Gambar 2.1 Proses Roll Bonding


Sumber : Ganesh, (2014 : 356)

Proses pertama adalah dimensioning, dimensioning adalah pemotongan lembaran


logam sesuai dengan dimensi yang telah direncanakan, yaitu panjang kali lebar yang
dimana ketebalan lembaran harus dispesifikasikan. Namun nilai ketebalan final lembaran
roll bonding harus dipilih sebelum memulai pengerolan. Proses kedua adalah surface
preparation, Surface preparation adalah tahap kedua dan merupakan bagian penting dari
proses roll bonding, surface preparation bertujuan untuk menghilangkan lapisan
kontaminan yang ada di permukaan material yang akan di bonding yaitu dengan cara
menyikat permukaan material, mengamplas atau bisa juga dengan proses knurling. Pada
langkah ketiga, riveting dilakukan hanya dengan melipat lembaran logam di kedua sisi
yang akan di gabungkan. Atau bisa juga dengan cara clamping adalah dua plat tersebut di
gabungakan dengan bantuan kawat atau pin sebelum di roll. Keempat dan langkah yang
11

paling penting adalah preheating. Preheating adalah proses pemanasan material yang
dilakukan sebelum material di roll dengan menggunakan dapur listrik. Proses ini hanya
memeberikan panas pada material agar mudah di bentuk tidak sampai meleleh atau lunak
sekali. Dan yang terakhir adalah proses rolling. Dalam proses ini ada beberapa hal yang
harus di perhatikan sebelum material di rol yaitu kecepatan putar rol, jarak antara rol, tebal
material yang akan di rol dan tekanan yang harus di hasilkan selama proses rolling.

2.3.2 Mekanisme Bonding


Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi mekanisme roll bonding. Faktor-
faktor tersebut adalah mechanical interlocking, capitavating of energy barrier, ikatan atar
permukaan dan rekristalisasi selama proses annealing dari pelat bonding. Manesh dan
Taheri (2004), mengungkapkan bahwa lapisan kontak terdiri dari lapisan yang keras dan
lapisan yang relatif rapuh. Selama proses pengerolan, kedua permukaan pelat yang
berhadapan mengalami gesekan yang tinggi. Setelah itu, permukaan yang kasar mengalami
luluh dan membentuk pecahan-pecahan blok. Mechanical interlocking terjadi ketika logam
induk melewati pass roller. Lapisan yang kasar dan mengeras membelah dan pada waktu
yang bersamaan membentuk blok-blok koheren sepanjang permukaan lapisan Logam dasar
tersebar diantara blok-blok yang mengeras, lalu logam dasar melekat pada lapisan blok
yang mengeras (Wright et al., 1978).

Gambar 2.2 Mekanisme Bonding


Sumber : Lauvdal, (2011)
12

2.3.3 Gaya-gaya Pengerolan

Gambar 2.3 Gaya-gaya Pengerolan


Sumber : Dieter, (1988 : 594)

Dengan:
h o : tebal awal spesimen (mm)
h f : tebal akhir spesimen (mm)
Pr: gaya pengerolan (N)
F: gaya gesek (N)
Lp: panjang proyeksi busur rol daerah kontak (mm)
v o : kecepatan awal spesimen (rpm)
N: Titik Netral
v f : kecepatan akhir spesimen (rpm)
R: jari-jari rol (mm)

α: sudut terjadinya kontak antara roller dengan spesimen

X: titik awal kontak antara roller dengan spesimen

β : sudut antara titik netral dengan titik Y


13

θ : sudut antara titik pusat gaya dengan titik Y

Pada gambar 2.3 diatas memperlihatkan sejumlah hubungan antara geometri


pengerolan dengan gaya-gaya yang terlibat pada deformasi logam. Suatu lembaran dengan
ketebalan h 0 masuk melalui bidang masukan XX dengan kecepatan v 0 . Lembaran tersebut
melalui celah rol dan meninggalkan ujung YY dengan ketebalan h f . Anggaplah tidak terjadi
pelebaran, jadi penekanan logam ke arah vertikal berubah menjadi perpanjangan pada arah
pengerolan. Maka didapatkan persamaan:
bh 0 v 0 = b h f v f ..……............................................……………………......... (2-1)
Dengan:
b: lebar lembaran (mm)
h 0 : ketebalan plat sebelum melewati roll (mm)
h f : keteblan plat setelah melewati roll (mm)
v 0 : kecepatan pada ketebalan h 0 (rpm)
v f : kecepatan pada ketebalan h f (rpm)

Persamaan (2.1) memiliki persyaratan yaitu v f harus lebih besar dibandingkan v 0


sehingga kecepatan lembaran harus terus-menerus meningkat sejak lembaran dimasukkan.
Hanya pada satu titik di sepanjang permukaan kontak rol dan lembaran yang kecepatan
permukaan rol v f sama dengan kecepatan lembaran. Titik ini dinamakan no-slip point atau
titik netral. Pada gambar 2.2 dinyatakan sebagai N.
Pada titik A gambar 2.3 terdapat 2 buah gaya yang bekerja yaitu gaya radial P r dan
gaya tangensial F. Antara bidang masuk dan titik netral, lembaran bergerak lebih lambat
dibidang permukaan rol dan terjadi gesekan pada arah yang ditunjukkan pada gambar 2.2
sehingga logam tertarik diantara rol. Pada daerah kanan titik N, gerak lembaran lebih cepat
daripada permukaan rol sehingga arah gaya gesekan berbalik sehingga berfungsi sebagai
hambatan arah gerak lembar yang meninggalkan rol.
Titik P r dinamakan sebagai gaya pengerolan P. Gaya pengerolan adalah gaya rol
menekan logam. Karena gaya ini sama dengan gaya reksi dari logam yang mendorong rol
maka gaya ini juga disebut gaya pemisah.
Besarnya gaya pengerolan dapat dihitung melalui persamaan:
14

P= p.b.Lp……............................................…………………….............................. (2-2)

Dengan: P= gaya pengerolan (N),


p= tekanan pengerolan rata-rata (N/mm2)
b= lebar pelat (mm)
Lp= panjang proyeksi busur rol daerah kontak (mm)

Lp = √𝑅∆ℎ …….......................................………………………........................... (2-3)


Dengan: R= jari-jari roll (mm)
∆ℎ= selisih ketebalan awal dengan ketebalan akhir (mm)

Gaya pengerolan total diasumsikan terkonsentrasi pada satu titik dengan jarak a dari
sumbu rol dimana a=λ.Lp dan λ=0.5 (hot rolling) atau 0.45 (cold rolling). Jika frekuensi
putaran adalah n, maka daya pengerolan totalnya adalah:

4.𝜋.𝑎.𝑃.𝑛
N= ......……..........................................……………....…….................. (2-4)
60000

Dengan:
P : Gaya Pengerolan (N)
A : Setengah dari busur kontak pengerolan (mm)
n : Kecepatan Putar Roll (rpm)
N : Daya pengerolan (kW)

Distribusi tekanan rol di sepanjang busur kontak ditunjukkan pada gambar 2.4.
tekanan bertambah besar mencapai harga maksimum pada titik netral kemudian turun.
Distribusi tekanan tidak berupa puncak yang tajam pada titik netral seperti yang
dibutuhkan secara teoritis untuk suatu pengerolan, menyatakan bahwa titik netrat tidak
berupa garis pada pemukaan rol namun berupa luas permukaan. Daerah yang diarsir pada
gambar 2.4 adalah daerah yang menyatakan gaya yang dibutuhkan untuk mengatasi
gesekan antara rol dan lembara, sedangkan daerah dibawah garis putus-putus AB
menyatakan gaya yang dibutuhkan untuk membentuk logam.
15

Gambar 2.4 Distribusi Tekanan Rol Sepanjang Busur Kontak


Sumber : Dieter, (1988 : 595)

Sudut α antara bidang masuk dan garis pusat pengerolan dinamakan sudut kontak atau
sudut gigit (angle of bite). Gambar 2.3 menunjukkan bahwa komponen horizontal gaya
normal adalah P r sin α dan komponen horizontal gaya gesekan adalah F cos α. Agar benda
kerja dapat masuk pada celah rol maka gaya gesek yang mengarahkan ke celah rol harus
lebih besar atau sama dengan gaya normal yang cenderung menjauhkan benda kerja dari
celah rol. Syarat batas untuk memasukkan plat tanpa gaya luar adalah :
𝐹 cos 𝛼 = 𝑃 sin 𝛼................................…………………...................……………..(2.6)
𝐹 sin 𝛼
= = tan 𝛼.................................………………………………......................(2.7)
𝑃 cos 𝛼

𝐹 = µ 𝑃.................................………………………………………....................…(2.8)
µ = tan 𝛼.................................……………………...............……………………...(2.9)
Benda kerja tidak dapat dimasukkan ke celah rol, jka garis singgung sudut kontak
melebihi koifisien gesekan. Jika µ = 0, pengerolan tidak dapat terjadi, tetapi jika nilai µ
bertambah maka slab yang dimasukkan ke dalam rol bertambah besar. Untuk kondisi
gesekan yang sama, rol berdiameter besar akan memungkinkan masuknya slab yang
bertambah besar. Hal ini terjadi karena meskipun sudut antara pusat rol dengan bidang
masuk akan sama dalam kedua kasus (tan x) tetapi panjang busur kontak akan berbeda
cukup besar.

2.4 Pengujian Kekuatan Geser


Kekuatan geser merupakan tegangan yang bekerja sejajar atau menyinggung
permukaan benda kerja. Kekuatan geser yang bekerja pada permukaan positif suatu elemen
adalah positif apabila bekerja dalam arah positif dari salah satu sumbu-sumbu positif dan
negatif apabila bekerja dalam arah negatif dari sumbu-sumbu. Kekuatan geser yang bekerja
16

pada permukaan negatif suatu elemen adalah positif apabila bekerja dalam arah negatif
sumbu dan negatif apabila bekerja dalam arah positif.

Gambar 2.5 Arah Sumbu Kekuatan geser


Sumber : Dieter, (1988 : 18)
F
τ = ...............................................................................………………….....................(2.6)
A

Dengan:

τ : Kekuatan geser (N/mm2)

F : Gaya geser (N)

A : Luas bidang geser (mm2)

Nilai kekuatan geser pada plat yang telah di roll bonding dapat digunakan untuk
menentukan kekuatan antar kedua plat yang berikatan (Miyajima et. Al, 2014). Sifat-sifat
suatu bahan dalam keadaan geser dapat ditentukan secara eksperimental dari uji-uji geser
langsung (direct shear). Bagian awal dari diagram tegangan-regangan geser sebuah garis
lurus, seperti dalam keadaan tarik. Untuk daerah elastis linier, kekuatan geser berbanding
lurus dengan regangan geser, jadi diperoleh persamaan berikut bagi hukum Hooke untuk
keadaan geser.

Kekuatan geser pada permukaan-permukaan yang berhadapan besarnya sama tapi


arahnya berlawanan. Kekuatan geser pada permukaan-permukaan yang saling tegak lurus
besarnya sama tetapi memiliki arah-arah yang sedemikian rupa sehingga kedua tegangan
mengarah ke, atau menjauhi garis perpotongan kedua permukaan.
17

2.4.1 Skematik Pengujian Kekuatan geser


Pengujian geser atau tensile shear test pada plat roll bonding bertujuan untuk
mengetahui kekuatan ikatan pada plat yang menempel atau menyatu (Akdesir et. Al,
2017). Pada pengujian ini digunakan standart GB/T 6396-2008. Gambar 2.6 merupakan
skema geometri plat spesimen uji geser dimana pengujian dilakukan dengan cara
melakukan penarikan plat spesimen dengan menggunakan universal testing machine.

Gambar 2.6 Spesimen Pengujian Geser


Sumber: Akdesir et. Al. (2017)

2.5 Cacat Plat Hasil Roll Bonding


Menurut Dieter (1988), bahwa terdapat 2 aspek yang mempengaruhi bentuk lembaran
plat rol. Yang pertama adalah mengenai tebal seragam pada arah lebar dan panjang. Tebal
lembaran dapat diukur secara teliti. Yang kedua adalah kedataran permukaan (kerataan)
lembaran. Sulit untuk menentukan besaran ini secara teliti, khususnya lembaran bergerak
melalui mesin secara kontinu pada kecepatan yang tinggi.
1. Alligatoring
Alligatoring merupakan cacat plat hasil rol yang disebabkan oleh deformasi yang tidak
seragam yang terjadi pada plat selama proses rolling. Aligatoring juga bisa disebabkan
oleh buruknya kualitas bahan baku. Bentuk dari cacat ini menyerupai buaya yang sedang
membuka mulut.

Gambar 2.7 Alligatoring


Sumber: Kalpakjian dan Schmid (2009: 324)
18

2. Wavy edge
Wavy edge atau edge wrinkling disebabkan oleh roll bending. Wavy edges adalah cacat
hasil rol yang terjadi pada plat. Plat menjadi tipis pada bagian tepinya sedangkan bagian
tengahnya tidak bertambah panjang. Bagian tipis pada bagian tepi plat akan melengkung
disebabkan bagian plat yang bertambah panjang terhalang oleh bagian tebal yang tidak
berambah panjang.

Gambar 2.8 Wavy Edges


Sumber: Kalpakjian dan Schmid (2009: 324)

3. Side Cracks atau Middle Cracks


Side cracks atau middle cracks adalah cacat hasil pengerolan yang disebabkan oleh
buruknya sifat ductile pada material yang digunakan. Selain itu side cracks atau middle
cracks dapat disebabkan oleh desain rol yang kurang tepat sehingga selisih diameter bagian
tengah rol dan bagian tepi rol yang terlalu besar sehingga menyebabkan side cracks atau
middle cracks.

Gambar 2.9 Side Cracks


Sumber: Kalpakjian dan Schmid (2009: 324)
19

Gambar 2.10 Middle Cracks


Sumber: Kalpakjian dan Schmid (2009: 324)

4. Pembelahan Pusat Lembaran


Pembelahan pusat lembaran adalah cacat plat yang disebabkan oleh deformasi yang
tidak seragam pada arah pengerolan (Dieter, 1998). Karena pengurangan tebal pada bagian
pusat, maka lembaran mengalami pertambahan panjang, sementara sebagian pengurangan
tebal pada pinggiran akan menyebar ke arah tegak lurus pengerolan.

Gambar 2.11 Pembelahan Pusat Lembaran


Sumber: Dieter (1998: 604)

2.6 Hipotesis
Dari tinjauan pustaka yang telah dibahas diatas, hipotesis yang saya peroleh adalah
nilai kekuatan geser pada benda kerja akan meningkat sesuai dengan menurunnya
kecepatan putar roll. Hal ini disebabkan karena semakin rendah kecepatan putar roll maka
pembebanan yang diberikan roll pada plat semakin merata dan juga apabila putaran roll
semakin rendah maka waktu difusi atom di sekitar daerah antar muka plat semakin lama
sehingga menyebabkan celah yang terjadi antara material tersebut semakin kecil dan
kekuatan ikatan antar plat akan semakin meningkat, sehingga kekuatan geser pada plat
tersebut meningkat. Kerataan lembaran pelat mempengaruhi hasil pengerolan. Semakin
20

tinggi kecepatan putar roll maka semakin susah menentukan nilai kerataannya sehingga
semakin besar kemungkinan plat cacat.

Anda mungkin juga menyukai