Oleh :
NIM. C1221056
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Diajukan Oleh:
C1221056
(Ns. Sang Ayu Putu Eka Pradnyani, S.Kep) (Ns. Claudia Wuri Prihandini, M.Kep)
NIP.198401292009022004 NIK. 18.05.0126
Mengetahui
STIKES Bina Usada Bali
Program Studi Profesi Ners
Ketua
B. Definisi
Epilepsi adalah golongan penyakit saraf yang gejala-gejalanya timbul mendadak
dalam serangan-serangan berulang, pada sebagian besar disertai penurunan kesadaran,
dan dapat disertai atau tidak disertai kejang (Markam, Soemarmo, 2013).
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat sebagai suatu
ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh disfungsi otak sesaat
dimanifestasikan sebagai fenomena motoric, sensorik, otonomik, atau psikis yang
abnormal. Epilepsy merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan
kejang spontan yang berulang (Satyanegara, 2010) dalam Nurarif & Kusuma, 2016,
hal.193).
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan yang bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas yang berasal dari sekelompok besar
sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama (Sukarmin, dan Riyadi, 2012).
C. Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai
kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Malformasi vaskuler
d. Displasia
Kejang Umum:
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Faktor genetik
D. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau
satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang
paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi,
sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan
badan. Durasi kejang bias sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan
total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi
ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena
otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan
denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan
E. Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena
adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan
jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui akson dan
dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil,
akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk
merangsang atau menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam
munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak
yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan
dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan neuron.
2. Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional dan
struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi
kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan; atau perubahan biokimiawi pada
reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan
depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang.
3. Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan
fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion,
perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi
pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85%
selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+. Bagaimanapun,
kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K2+.
4. Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang sel
granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron
eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.
Mekanisme epileptogenesis
1. Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar K2+
ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+ akibat
hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan
angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang
diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari
ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang
dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel
penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis.
2. Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi GABAergik
dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
a. GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal)
pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari
pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien
ini mengalami penurunan inhibisi.
b. Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan
kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar
GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang,
konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang
non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat
ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).
F. Pathway
Terlampir
G. Klasifikasi
Pada tahun 1981 International Laegue Against Epilepsi (ILAE) membagi kejang
menjadi kejang umum dan kejang fokal/ parsial. Berdasarkan tipe bangkitan (diobservasi
secara klinis maupun hasil pemeriksaan elektrofisiologi), apakah aktivitas kejang dimulai
dari 1 bagian otak, melibatkan banyak area atau melibatkan kedua hemisfer otak. ILAE
membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang pasial dengan definisi sebagai berikut,
Kejang umum adalah gejala awal kejang dan/ atau gambaran EEG menunjukkan
keterlibatan kedua hemisfer; Kejang parsial (fokal) adalah gejala awal kejang dan/atau
gambaran EEG menunjukkan aktivitas pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja.
Klasifikasi epilepsi terus berkembang sejak tahun 1960 ILAE telah mengeluarkan
beberapa kali klasifikasi epilepsi. Klasifikasi epilepsi yang saat ini dianut adalah
klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017. Klasifikasi ini terdiri dari 3 dimana tingkatan
ini dirancang untuk melayani pengelompokan epilepsi dilingkungan klinis yang berbeda.
Klasifikasi ini memungkinan penentuan etiologi penyebab epilepsi sudah mulai
dipikirkan pada saat pertama kali kejang epilepsi didiagnosis.
Tabel Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017
1. Klasifikasi tipe kejang (dipergunakan bila tidak terdapat EEG, Imaging, video)
a. Onset Fokal
b. Onset General
c. Unknown Onset
2. Berdasarkan tipe epilepsi (dipergunakan pada fasilitas dengan akses pemeriksaan
penunjang diagnostik epilepsi)
a. Onset Fokal
b. Onset General
c. Combine focal and general onset
d. Unknown Onset
3. Berdasarkan sindrom epilepsi
Ditegakkan saat ditemukan secara bersamaan jenis kejang dengan gambaran EEG
atau imaging tertentu, bahkan sering diikuti dengan gambaran usia, variasi diurnal,
trigger tertentu, dan terkadang prognosis (Scheffer, 2017)
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis
epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
g e l o m b a n g tajam, paku (spike), paku- ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE)
2. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan
yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih
sensitive dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kiri dan kanan (Consensus Guidelines on the
Management of Epilepsy, 2014).
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal menurut (Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy, 2014) yaitu :
1. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang
setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk dibawa ke rumah sakit
2. Pengobatan epilepsy
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE)
terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini
mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit
maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila
hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan
intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan
sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi
terkontrol dengan obat- obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor
penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara
umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
3. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan
yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow)” akan
mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan
pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien
epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul
dibandingkan politerapi (Louis, Rosenfeld, Bramley, 2012). Pemilihan OAE yang
dapat diberikan dapat dilihat pada tabel.
Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Valproate
Kejang umum Topiramate Phenytoin
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Topiramate Phenobarbitone
Klonik (Consensus Guidelines
Sumber: Lamotrigine Levetiracetamof Epilepsy, 2014)
on the Management
3. Aspek-Aspek Perkembangan
Ada beberapa aspek perkembangan, yaitu:
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik sering dikaitkan dengan perkembangan motorik sehingga
dikenal dengan perkembangan fisik motorik. Tetapi, antaranya keduanya terdapat
berbeda. Perkembangan fisik lebih menunjukkan kepada perubahan yang terjadi pada
fisik secara keseluruhan atau tubuh dan fisik sebagai bagian-bagian, misalnya anggota
gerak (tangan, kaki) yang semakin besar atau panjang. Perkembangan motorik
merupakan suatu penguasaan pola dan variasi gerak yang telah bisa dilakukan anak.
Perkembangan motorik sebagai gerakan yang terus bertambah atau meningkat dari yang
sederhana ke arah gerakan yang komplek.
Perkembangan motorik terdiri dari dua macam, yaitu perkembangan motorik
kasar dan motorik halus.
1) Perkembangan Motorik Kasar
Perkembangan motorik kasar adalah kemampuan bergerak dengan menggunakan
otot – otot tubuh khususnya otot besar seperti otot di kaki dan tangan. Gerakan yang
tergolong motorik kasar, misalnya merayap, merangkak, berjalan, berlari, dan
melompat.
2) Perkembangan Motorik Halus
Perkembangan dalam motorik halus adalah kemampuan bergerak dengan
menggunakan otot kecil, seperti yang ada di jari untuk melakukan aktivitas, seperti
mengambil benda kecil, memegang sendok, membalikan halaman buku dan
memegang pensil atau krayon.
3) Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah suatu proses pembentukan kemampuan dan
keterampilan menggunakan alat berpikir. Perkembangan kognitif berkaitan dengan
aktivitas berpikir, membangun pemahaman dan pengetahuan, serta memecahkan
masalah.
4) Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa adalah suatu proses pembentukan kemampuan dan
keterampilan untuk menyampaikan ide, perasaan dan sikap kepada orang lain.
Perkembangan bahasa meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.
5) Perkembangan Sosial – Emosi
Perkembangan Sosial – Emosional merupakan gabungan dari perkembangan sosial
dan emosi. Perkembangan adalah suatu proses pembentukan kemampuan dan
keterampilan untuk bersosialisasi. Sedang perkembangan emosi berkaitan dengan
kemampuan memahami hal-hal yang berkaitan dengan perasaan-perasaan yang ada
pada diri sendiri, seperti perasaan senang ataupun sedih, apa yang dapat ia lakukan,
apa yang ingin ia lakukan, bagaimana ia bereaksi terhadap hal-hal tertentu, hal-hal
yang mana yang perlu dihindari, dan hal-hal yang mana yang didekati, kemandirian
dan mengendalikan diri. Perkembangan sosial-emosional merupakan proses pem-
bentukan kemampuan dan keterampilan mengendalikan diri dan berhubungan
dengan orang lain (Desmita, 2019)
3. Dampak Hospitalisasi
Anak yang dirawat di rumah sakit akan muncul tantangan-tantangan yang harus
dihadapinya seperti perpisahan, penyesuaian dengan lingkungan yang asing baginya dan
tenaga kesehatan yang menanganinya, pergaulan dengan anak-anak yang sakit serta
pengalaman mengikuti terapi yang menyakitkan (Wong, 2019).
Proses hospitalisasi dapat menimbulkan trauma atau dukungan, bergantung pada
institusi, sikap keluarga dan teman, respon staf, dan jenis penerimaan masuk rumah sakit
(Stuart, 2017).
Hospitalisasi pada anak banyak menyebabkan pengalaman yang menimbulkan
trauma. Anak yang mengalami hospitalisasi biasanya juga mengalami stres akibat
perubahan terhadap status kesehatan dan lingkungannya (Wong, 2019). Keadaan stres yang
dialami anak akan menimbulkan reaksi tubuh dalam menghantarkan rangsangan ke otak
dan mempengaruhi hipotalamus. Hipotalamus akan merangsang kelenjar hipofisis anterior
melepaskan Adreno Cortico Tropic Hormone (ACTH) yang berperan dalam pelepasan
kortisol secara cepat yang menyebabkan rangsangan susunan saraf pusat otak dan berakibat
tubuh menjadi waspada dan sulit tidur (Guyton & Hall, 2018).
A. Pengkajian
Pengkajian kegawatdaruratan pada pasien epilespi menurut Soemarmo (2015).
1. Pengkajian kondisi/kesan umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
2. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan berbicara
padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi
penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya. Pengkajian kesadaran dengan metode
AVPU meliputi :
a. Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya.
b. Velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat
c. Nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
d. Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri
ketika dicubit dan ditepuk wajahnya
3. Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam kehidupan). Pengkajian
berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
a. Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal :
b) Distres pernafasan
Pada fase ini, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga menghalangi
jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya
ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut
b. Breathing
Pada fase ini, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus, dan kulit
tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami apneu.
c. Circulation
Terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam keadaan tidak sadar.
d. Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari epilepsi
yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang
e. Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera tambahan
akibat kejang
4. Pengkajian sekunder
a. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama: Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit: Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual.
Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor
presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah
menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi
otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang,
atau mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain /
keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan
dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
d. Riwayat kesehatan
e. Riwayat keluarga dengan kejang
f. Riwayat kejang demam
g. Tumor intracranial
h. Trauma kepala terbuka, stroke
i. Riwayat kejang :
o Bagaimana frekwensi kejang. b) Gambaran kejang seperti apa
o Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal. d) Apakah ada kehilangan kesadaran
atau pingsan
o Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
o Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
j. Pemeriksaan fisik
B. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi adalah
(Nanda 2015-2017) :
a. Tekanan systole dan diastoledalam rentang f. Monitor tekanan intrkranial dan respon
yang diharapkan nerologis
a. Suhu tubuh dalam rentang normal c. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak e. Monitor WBC, Hb, dan Hct
ada pusing
f. Monitor intake dan output
i. Selimuti pasien
E. Evaluasi
Muttaqin, A. 2011. Buku Ajar Asuha Keperawatan Klien Dengan Gangguang Sistem
persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Nanda. 2015. Diagnosa keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta : EGC