Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN, ASUHAN KEPERAWATAN DAN SPSK

PADA An. A DENGAN ENSEFALOPATI HIPERTENSI EC GNAPS+HT


GRADE II+SEPSIS+ISK+HEMATURIA EC GNAPS +CONVULSI EC KRISIS
HT+EPILEPSI+EDEMA CEREBRI+OBESITAS
DI RUANG DURIAN (ANAK)
RSUD KABUPATEN KLUNGKUNG
TANGGAL 7-9 NOVEMBER 2021

Oleh :

NI LUH INDRI ASTUTI, S.KEP

NIM. C1221056

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES BINA USADA BALI

2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN, ASUHAN KEPERAWATAN, DAN SPSK

PADA PASIEN An. A DI RUANG DURIAN (ANAK)

RSUD KABUPATEN KLUNGKUNG

TANGGAL 7-9 OKTOBER 2021

Diajukan Oleh:

Ni Luh Indri Astuti, S.Kep

C1221056

Telah Disahkan Sebagai Laporan Praktik

Stase Keperawatan Anak di Minggu Kedua

Preseptor Klinik Preseptor Akademik

(Ns. Sang Ayu Putu Eka Pradnyani, S.Kep) (Ns. Claudia Wuri Prihandini, M.Kep)
NIP.198401292009022004 NIK. 18.05.0126

Mengetahui
STIKES Bina Usada Bali
Program Studi Profesi Ners
Ketua

(Ns. I Putu Artha Wijaya, S.Kep.,M.Kep)


NIK. 11.01.0045
BAB I
KONSEP DASAR

A. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf

Gambar 2.1 Anatomi sistem saraf

Menurut Mutaqqin (2011), anatomi fisiologi sistem saraf terdiri dari:


1. Otak
Otak terdiri dari otak besar yaitu disebut cerebrum, otak kecil disebut cerebellum
dan batang otak disebut brainstem.Beberapa karakteristik khas otak orang anak yaitu
mempunyai berat lebih kurang 2% dari berat badan dan mendapat sirkulasi
darah sebanyak 20 % dari cardiac output dan membutuhkan kalori sebesar 400 kkal
setiap hari.
Otak mempunyai jaringan yang paling banyak menggunakan energi yang
didukung oleh metabolisme oksidasi glukosa.Kebutuhan oksigen dan glukosa otak
relatif konstan, hal ini disebabkan oleh metabolisme otak yang merupakan proses yang
terus menerus tanpa periode istirahat yang berarti.Bila kadar oksigen dan glukosa
kurang dalam jaringan otak maka metabolisme menjadi terganggu dan jaringan saraf
akan mengalami kerusakan. Secara struktural,cerebrum terbagi menjadi bagian korteks
yang disebut korteks cerebri dan sub korteks yang disebut struktural
subkortikal.Korteks cerebri terdiri atas korteks sensorik yang berfungsi untuk
mengenal,interpretasi inpuls sensorik yang diterima sehingga individu
merasakan,menyadari adanya suatu sensasi rasa/indera tertentu.Korteks sensorik
juga menyimpan sangat banyak data memori sebagai hasil rangsang sensorik selama
manusia hidup.Korteks motorik berfungsi untuk memberi jawaban atas
rangsangan yang diterimanya.
a. Cerebrum (otak besar)
Cerebrum terdiri dari dua belahan yang disebut hemispherium cerebri dan
keduanya dipisahkan oleh fisura longitudinalis. Hemisperium cerebri terbagi
hemisper kanan dan kiri.Hemisper kanan dan kiri ini dihubungkan oleh bangunan
yang disebut corpus callosum.Hemisper cerebri dibagi menjadi lobus - lobus
yang diberi nama sesuai dengan tulang diatasnya,yaitu:
1) Lobus Frontalis,bagian cerebrum yang berada dibawah tulang frontalis
2) Lobus Parietalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang parietalis
3) Lobus Occipitalis,bagian cerebrum yang berada dibawah tulang occipitalis
4) Lobus Temporalis,bagian cerebrum yang berada di bawah tulang
temporalis.
b. Cerebelum (otak kecil)
Cerebelum (otak kecil) terletak di bagian belakang cranium menempati
fosa cerebri posterior dibawah lapisan durameter tentorium cerebelli.Dibagian
depannya terletak batang otak. Berat cerebellum sekitar 150 gr atau 88 % dari berat
batang otak seluruhnya. Cerebellum dapat dibagi menjadi hemisper cerebelli
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Vermis. Fungsi cerebellum pada umumnya
adalah mengkoordinasikan gerakan-gerakan otot sehingga gerakan dapat
terlaksana dengan sempurna
c. Batang otak atau brainstern
Batang otak terdiri atas diencephalon, midbrain, pons dan medulla oblongata
merupakan tempat berbagai macam pusat vital seperti pusat pernapasan, pusat
vasomotor, pusat pengatur kegiatan jantung dan pusat muntah. Menurut syaifuddi
(2012) batang otak terdiri dari :
1) Dianzefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara cerebellum
dengan dengan meansefalon. Kumpilan dari sel-sel yang terdapat di bagian
lobus temporal terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
2) Meansefalon, terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 disebelah atas
disebut korpus kudrigeminus inferior serat saraf okulomotorius berjalan ke
ventrikel bagian medial, serat nervus troklearis berjalan kea rah dorsal garis
tengah ke sisi lain.
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan meansefalon dengan
pons varoli
4) Medulla oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah
yang menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis.
d. Medula Spinalis
Medula spinalis merupakan perpanjangan modulla oblongata ke arah kaudal
di dalam kanalis vertebralis cervikalis I memanjang hingga setinggi cornu
vertebralus lumbalias I-II. Terdiri dari 31 segmen yang setiap segmenya terdiri
dari satu pasang saraf spinal. Dari medulla spinallis bagian cervical keluar 8
pasang, dari bagian thorakal 12 pasang, dari bagian lumbal 5 pasang dan dari
bagian sakral 5 pasang serta dari coxigeus keluar 1 pasang saraf spinalis. Seperti
halnya otak,medula spinalis pun terbungkus oleh selaput meningen yang
berfungsi melindungi saraf spinal dari benturan atau cedera.
Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai
pusat refleks. Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansi grisea medula
spinalis. Refleks adalah jawaban individu terhadap rangsang melindung tubuh
terhadap berbagai perubahan yang terjadi baik di lingkungan eksternal. Kegiatan
refleks terjadi melalui suatu jalur tertentu yang disebut lengkung refleks.
Fungsi medula spinalis:
1) Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu di kornu motorik atau kornu ventralis.
2) Mengurus kegiatan refleks spinalis dan reflek tungkai
3) Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
4) Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
Fungsi Lengkung Reflek:
1) Reseptor : penerima rangsang
2) Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat
(ke pusat refleks)
3) Pusat Refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis substansia grisea
) tempat terjadinya sinap(hubungan antara neuron dengan neuron dimana
terjadi pemindahan/penerusan impuls)
4) Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor. Bila
sel efektornya berupa otot,maka eferen disebut juga neuron motorik (sel
saraf/penggerak)
5) Efektor : sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban
refleks.Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos atau otot rangka), sel
kelenjar.
2. Sistem Saraf Tepi
Kumpulan neuron di luar jaringan otak dan medula spinalis membentuk sistem saraf
tepi (SST). Secara anatomik di golongkan ke dalam saraf-saraf otak sebanyak 12
pasang dan 31 pasang saraf spinal. Secara fungsional, SST di golongkan ke dalam :
a. Saraf sensorik (aferen) somatik : membawa informasi dari kulit, otot rangka dan
sistem saraf pusat
b. Saraf motorik (eferen) somatik : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke
otot rangka
c. Saraf sensorik (aferen) viseral : membawa informasi dari dinding visera ke sistem
saraf pusat
d. Saraf motorik (aferen) viseral : membawa informasi dari sistem saraf pusat ke
otot polos, otot jantung dan kelenjar.
e. Saraf eferen viseral di sebut juga sistem saraf otonom

B. Definisi
Epilepsi adalah golongan penyakit saraf yang gejala-gejalanya timbul mendadak
dalam serangan-serangan berulang, pada sebagian besar disertai penurunan kesadaran,
dan dapat disertai atau tidak disertai kejang (Markam, Soemarmo, 2013).
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat sebagai suatu
ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh disfungsi otak sesaat
dimanifestasikan sebagai fenomena motoric, sensorik, otonomik, atau psikis yang
abnormal. Epilepsy merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan
kejang spontan yang berulang (Satyanegara, 2010) dalam Nurarif & Kusuma, 2016,
hal.193).
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan yang bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas yang berasal dari sekelompok besar
sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama (Sukarmin, dan Riyadi, 2012).

C. Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai
kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Malformasi vaskuler
d. Displasia
Kejang Umum:
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Faktor genetik

D. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau
satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang
paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi,
sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan
badan. Durasi kejang bias sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan
total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi
ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena
otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan
denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan

E. Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena
adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan
jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui akson dan
dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil,
akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk
merangsang atau menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam
munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak
yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan
dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan neuron.
2. Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional dan
struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi
kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan; atau perubahan biokimiawi pada
reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan
depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang.
3. Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan
fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion,
perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi
pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85%
selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+. Bagaimanapun,
kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K2+.
4. Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang sel
granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron
eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.
Mekanisme epileptogenesis
1. Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar K2+
ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+ akibat
hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan
angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang
diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari
ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang
dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel
penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis.
2. Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi GABAergik
dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
a. GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal)
pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari
pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien
ini mengalami penurunan inhibisi.
b. Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan
kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar
GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang,
konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang
non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat
ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).

F. Pathway
Terlampir
G. Klasifikasi
Pada tahun 1981 International Laegue Against Epilepsi (ILAE) membagi kejang
menjadi kejang umum dan kejang fokal/ parsial. Berdasarkan tipe bangkitan (diobservasi
secara klinis maupun hasil pemeriksaan elektrofisiologi), apakah aktivitas kejang dimulai
dari 1 bagian otak, melibatkan banyak area atau melibatkan kedua hemisfer otak. ILAE
membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang pasial dengan definisi sebagai berikut,
Kejang umum adalah gejala awal kejang dan/ atau gambaran EEG menunjukkan
keterlibatan kedua hemisfer; Kejang parsial (fokal) adalah gejala awal kejang dan/atau
gambaran EEG menunjukkan aktivitas pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja.
Klasifikasi epilepsi terus berkembang sejak tahun 1960 ILAE telah mengeluarkan
beberapa kali klasifikasi epilepsi. Klasifikasi epilepsi yang saat ini dianut adalah
klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017. Klasifikasi ini terdiri dari 3 dimana tingkatan
ini dirancang untuk melayani pengelompokan epilepsi dilingkungan klinis yang berbeda.
Klasifikasi ini memungkinan penentuan etiologi penyebab epilepsi sudah mulai
dipikirkan pada saat pertama kali kejang epilepsi didiagnosis.
Tabel Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017
1. Klasifikasi tipe kejang (dipergunakan bila tidak terdapat EEG, Imaging, video)
a. Onset Fokal
b. Onset General
c. Unknown Onset
2. Berdasarkan tipe epilepsi (dipergunakan pada fasilitas dengan akses pemeriksaan
penunjang diagnostik epilepsi)
a. Onset Fokal
b. Onset General
c. Combine focal and general onset
d. Unknown Onset
3. Berdasarkan sindrom epilepsi
Ditegakkan saat ditemukan secara bersamaan jenis kejang dengan gambaran EEG
atau imaging tertentu, bahkan sering diikuti dengan gambaran usia, variasi diurnal,
trigger tertentu, dan terkadang prognosis (Scheffer, 2017)

Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against


Epilepsi (2017):
1. Bangkitan parsial
a. Bangkitan parsial sederhana
1) Motorik
2) Sensorik
3) Otonom
4) Psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
1) Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
2) Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
a) Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik
b) Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum
tonik-klonik
2. Bangkitan umum
a. Absans (lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik
g. Tak tergolongkan

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis
epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
g e l o m b a n g tajam, paku (spike), paku- ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE)
2. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan
yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih
sensitive dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kiri dan kanan (Consensus Guidelines on the
Management of Epilepsy, 2014).

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal menurut (Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy, 2014) yaitu :
1. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang
setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk dibawa ke rumah sakit
2. Pengobatan epilepsy
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE)
terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini
mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit
maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila
hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan
intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan
sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi
terkontrol dengan obat- obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor
penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara
umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
3. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan
yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow)” akan
mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan
pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien
epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul
dibandingkan politerapi (Louis, Rosenfeld, Bramley, 2012). Pemilihan OAE yang
dapat diberikan dapat dilihat pada tabel.
Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya

Tipe kejang Lini pertama Lini kedua


Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam

Oxcarbazepine Phenobarbitone
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Valproate
Kejang umum Topiramate Phenytoin
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide

Topiramate Phenobarbitone
Klonik (Consensus Guidelines
Sumber: Lamotrigine Levetiracetamof Epilepsy, 2014)
on the Management

4. Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan meningkatkan
kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter
apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2
OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi medikamentosa
menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi
dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa
mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya (Consensus
Guidelines on the Management of Epilepsy, 2014).
BAB II
KONSEP TUMBANG DAN HOSPITALISASI

A. Konsep Pertumbuhan Usia


1. Pengertian Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam arti
sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel tubuh dan juga karena
bertambah besarnya sel yang berarti ada pertambahan secara kuantitatif seperti
bertambahnya ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala.
Secara umum, pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki.Kematangan
pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung lebih dahulu, kemudian secara
berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian bawah.Pada masa fetal pertumbuhan kepala
lebih cepat dibandingkan dengan masa setelah lahir, yaitu merupakan 50 % dari total
panjang badan. Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan bertambah secara teratur.
Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang teori-teori pertumbuhan dan
perkembangan anak.
a. Kartini Kartono membagi masa perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi 5, yaitu:
1) 0 – 2 tahun adalah masa bayi
2) 1 – 5 tahun adalah masa kanak-kanak
3) 6 – 12 tahun adalah masa anak-anak sekolah dasar
4) 12 – 14 adalah masa remaja
5) 14 – 17 tahun adalah masa pubertas awal
b. Aristoteles membagi masa perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi 3, yaitu :
1) 0 – 7 tahun adalah tahap masa anak kecil
2) 7 – 14 tahun adalah masa anak-anak, masa belajar, atau masa sekolah rendah
3) 14 – 21 tahun adalah masa remaja atau pubertas, masa peralihan dari anak menjadi
dewasa (IDAI, 2018).
2. Ciri-ciri Pertumbuhan
Bahwa seseorang dikatakan mengalami pertumbuhan bila terjadi perubahan ukuran
dalam hal bertambahnya ukuran fisik, seperti berat badan, tinggi badan/panjang badan,
lingkar kepala, lingkar lengan, lingkar dada, perubahan proporsi yang terlihat pada proporsi
fisik atau organ manusia yang muncul mulai dari masa konsepsi sampai dewasa, terdapat
ciri baru yang secara perlahan mengikuti proses kematangan seperti adanya rambut pada
daerah aksila, pubis atau dada, hilangnya ciri-ciri lama yang ada selama masa pertumbuhan
seperti hilangnya kelenjar timus, lepasnya gigi susu, atau hilangnya refleks tertentu
(Hidayat, 2018)
Periode Pertumbuhan
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu:
a. Faktor Internal (Genetik)
Faktor internal (genetik) antara lain termasuk berbagai faktor bawaan yang
normal dan patologis, jenis kelamin, obstetrik dan ras atau suku bangsa. Apabila
potensi genetik ini dapat berinteraksi dengan baik dalam lingkungan maka
pertumbuhan optimal akan tercapai.
b. Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain keluarga,
kelompok teman sebaya, pengalaman hidup, kesehatan lingkungan, kesehatan
prenatal, nutrisi, istirahat, tidur dan olah raga, status kesehatan, serta lingkungan
tempat tinggal (Supariasa,2011).

B. Konsep Perkembangan Usia


1. Pengertian Perkembangan
Perkembangan adalah pola perubahan yang dimulai sejak pembuahan dan berlanjut
di sepanjang rentang kehidupan individu. Perkembangan sebagian besar melibatkan
pertumbuhan, namun juga melibatkan kemunduran akibat adanya proses penuaan
(Santrock, 2017).
Perkembangan merupakan bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, serta sosialisasi
dan kemandirian pada individu (Fida & Maya, 2012).
2. Tahap-Tahap Perkembangan Anak
Hockenberry dan Wilson (2019) mengelompokkan anak menurut fase
perkembangannya. Fase perkembanan anak terdiri dari fase prenatal, fase neonatal, fase
infant, fase toddler, fase prasekolah, fase sekolah dan fase remaja.
Fase prenatal mencakup masa kehamilan sampai anak dilahirkan. Fase neonatal
merupakan masa saat bayi lahir sampai usia 28 hari. Fase infant adalah fase saat bayi
berusia 1 bulan sampai 12 bulan. Fase toddler merupakan saat anak berusia 1-3 tahun.
Setelah fase ini akan memasuki fase pra sekolah yaitu saat anak memasuki usia 3-6 tahun.
Fase sekolah merupakan fase anak berusia 6-12 tahun, dan terakhir fase remaja yaitu saat
anak memasuki memasuki usia 13-18 tahun (Hockenberry & Wilson 2019)

3. Aspek-Aspek Perkembangan
Ada beberapa aspek perkembangan, yaitu:
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik sering dikaitkan dengan perkembangan motorik sehingga
dikenal dengan perkembangan fisik motorik. Tetapi, antaranya keduanya terdapat
berbeda. Perkembangan fisik lebih menunjukkan kepada perubahan yang terjadi pada
fisik secara keseluruhan atau tubuh dan fisik sebagai bagian-bagian, misalnya anggota
gerak (tangan, kaki) yang semakin besar atau panjang. Perkembangan motorik
merupakan suatu penguasaan pola dan variasi gerak yang telah bisa dilakukan anak.
Perkembangan motorik sebagai gerakan yang terus bertambah atau meningkat dari yang
sederhana ke arah gerakan yang komplek.
Perkembangan motorik terdiri dari dua macam, yaitu perkembangan motorik
kasar dan motorik halus.
1) Perkembangan Motorik Kasar
Perkembangan motorik kasar adalah kemampuan bergerak dengan menggunakan
otot – otot tubuh khususnya otot besar seperti otot di kaki dan tangan. Gerakan yang
tergolong motorik kasar, misalnya merayap, merangkak, berjalan, berlari, dan
melompat.
2) Perkembangan Motorik Halus
Perkembangan dalam motorik halus adalah kemampuan bergerak dengan
menggunakan otot kecil, seperti yang ada di jari untuk melakukan aktivitas, seperti
mengambil benda kecil, memegang sendok, membalikan halaman buku dan
memegang pensil atau krayon.
3) Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah suatu proses pembentukan kemampuan dan
keterampilan menggunakan alat berpikir. Perkembangan kognitif berkaitan dengan
aktivitas berpikir, membangun pemahaman dan pengetahuan, serta memecahkan
masalah.
4) Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa adalah suatu proses pembentukan kemampuan dan
keterampilan untuk menyampaikan ide, perasaan dan sikap kepada orang lain.
Perkembangan bahasa meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.
5) Perkembangan Sosial – Emosi
Perkembangan Sosial – Emosional merupakan gabungan dari perkembangan sosial
dan emosi. Perkembangan adalah suatu proses pembentukan kemampuan dan
keterampilan untuk bersosialisasi. Sedang perkembangan emosi berkaitan dengan
kemampuan memahami hal-hal yang berkaitan dengan perasaan-perasaan yang ada
pada diri sendiri, seperti perasaan senang ataupun sedih, apa yang dapat ia lakukan,
apa yang ingin ia lakukan, bagaimana ia bereaksi terhadap hal-hal tertentu, hal-hal
yang mana yang perlu dihindari, dan hal-hal yang mana yang didekati, kemandirian
dan mengendalikan diri. Perkembangan sosial-emosional merupakan proses pem-
bentukan kemampuan dan keterampilan mengendalikan diri dan berhubungan
dengan orang lain (Desmita, 2019)

C. Konsep Hospitalisasi Usia


1. Pengertian
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di
rumah sakit.Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan
lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor
stressor bagi anak baik terhadap anak maupunorang tua dan keluarga (Wong, 2019).
Hospitalisasi adalah suatu proses saat masuknya seseorang penderita ke dalam suatu
rumah sakit dan selama masa dirawat di rumah sakit (Dorlan, 2012).
Supartini (2004) dalam Jurnal Ilmiah WIDYA menjelaskan bahwa hospitalisasi
merupakan suatu proses dimana karena alasan tertentu atau darurat mengharuskan anak
untuk tinggal di RS, menjalani terapi perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah (Utami, 2014)

2. Reaksi anak terhadap Hospitalisasi


Hospitalisasi bagi anak dianggap sebagai pengalaman yang mengancam dan stresor,
sehingga anak akan mudah mengalami krisis karena: (1) mengalami stres akibat perubahan
baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dan (2) anak memiliki sejumlah
keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-
kejadian yang bersifat menekan (Nursalam, 2018).
Wright (2018) dalam penelitiannya tentang efek hospitalisasi pada perilaku anak
menyebutkan bahwa reaksi anak pada hospitalisasi secara garis besar adalah sedih, takut
dan rasa bersalah karena menghadapi sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya, rasa
tidak aman, rasa tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialami dan sesuatu
yang dirasakan menyakitkan.
Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan timbulnya kecemasan pada semua
tingkat usia. Wong (2018) mengatakan reaksi anak terhadap krisis-krisis saat hospitalisasi
dipengaruhi oleh usia perkembangan, pengalaman sebelumnya dengan penyakit,
perpisahan, keterampilan koping yang mereka miliki, keparahan diagnosis, dan sistem
pendukung yang ada. Berikut ini reaksi anak terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit
sesuai dengan tahapan perkembangan anak (Wong, 2018) :
1) Masa Bayi (0 sampai 1 tahun)
Masalah yang utama terjadi adalah sebagai dampak dari perpisahan dengan orang tua
sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia
lebih dari enam bulan dapat mengalami stranger anxiety atau cemas apabila
berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya. Reaksi yang sering muncul pada
anak usia ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap
stranger anxiety. Bila ditinggalkan ibunya, bayi akan merasakan cemas dan
ditunjukkan dengan menangis keras. Munculnya perilaku menangis juga merupakan
respon terhadap nyeri atau adanya perlukaan. Perilaku lain yang dapat diamati adalah
adanya pergerakan tubuh yang banyak dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
2) Masa Toddler (2 sampai 3 tahun)
Anak usia toddler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya.
Sumber stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak terdisi
dari beberapa tahapann, yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada
tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil
orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa,
perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang
menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap
pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima
perpisahan, membina hubungan secara dangkal dan anak mulai terlihat menyukai
lingkungannya. Anak juga akan kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan
anak menjadi tergantung pada lingkungan oleh karena adanya pembatasan terhadap
pergerakannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada kemampuan sebelumnya
atau regresi. Reaksi lainnya yang ditunjukkan anak usia toddler terhadap perlukaan
yang dialami atau nyeri yang dirasakan oleh karena mendapatkan tindakan invasif
seperti injeksi, infus, pengambilan darah dapat berupa meringis, menggigit bibirnya,
memukul, menunjukkan lokasi rasa nyeri dan mengomunikasikan rasa nyerinya.
3) Masa prasekolah (3 sampai 6 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang
dirasakannya aman, penuh kasih sayang serta menyenangkan, seperti lingkungan
rumah, permainan dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan yang
ditunjukkan anak usia prasekolah seperti menolak makan, sering bertanya, menangis
walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Perawatan
di rumah sakit mengharuskan adanya pembatasan aktivitas sehingga membuat anak
kehilangan kontrol terhadap dirinya dan merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan
yang dijalani sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga
anak akan merasa malu, bersalah, bahkan takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan
muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedur yang dilakukan mengancam
integritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah
dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata–kata marah, tidak mau
bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua.
4) Masa Sekolah (6 sampai 12 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan yang
dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya. Hal ini dapat
menimbulkan kecemasan pada anak usia sekolah. Kehilangan kontrol juga terjadi
akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan kontrol
tersebut berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok
sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan
takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan
ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal karena anak sudah
mampu mengomunikasikannya. Anak usia sekolah sudah mampu mengontrol
perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan memegang sesuatu
dengan erat.
5) Masa Remaja (12 sampai 18 tahun)
Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah sakit menyebabkan timbulnya
perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman sebayanya. Anak akan merasa
kehilangan dan timbul perasaan cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan
aktivitas di rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya dan
menjadi bergantung pada keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang
sering muncul terhadap pembatasan aktivitias ini adalah dengan menolak perawatan
atau tindakan yang dilakukan padanya, anak tidak mau kooperatif dengan petugas
kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan
(isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan menimbulkan respons
anak bertanya-tanya, menarik diri dari lingkungan atau menolak kehadiran orang lain.

3. Dampak Hospitalisasi
Anak yang dirawat di rumah sakit akan muncul tantangan-tantangan yang harus
dihadapinya seperti perpisahan, penyesuaian dengan lingkungan yang asing baginya dan
tenaga kesehatan yang menanganinya, pergaulan dengan anak-anak yang sakit serta
pengalaman mengikuti terapi yang menyakitkan (Wong, 2019).
Proses hospitalisasi dapat menimbulkan trauma atau dukungan, bergantung pada
institusi, sikap keluarga dan teman, respon staf, dan jenis penerimaan masuk rumah sakit
(Stuart, 2017).
Hospitalisasi pada anak banyak menyebabkan pengalaman yang menimbulkan
trauma. Anak yang mengalami hospitalisasi biasanya juga mengalami stres akibat
perubahan terhadap status kesehatan dan lingkungannya (Wong, 2019). Keadaan stres yang
dialami anak akan menimbulkan reaksi tubuh dalam menghantarkan rangsangan ke otak
dan mempengaruhi hipotalamus. Hipotalamus akan merangsang kelenjar hipofisis anterior
melepaskan Adreno Cortico Tropic Hormone (ACTH) yang berperan dalam pelepasan
kortisol secara cepat yang menyebabkan rangsangan susunan saraf pusat otak dan berakibat
tubuh menjadi waspada dan sulit tidur (Guyton & Hall, 2018).

4. Pencegahan Dampak Hospitalisasi


a. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga
Dampak perpisahan dari keluarga, anak mengalami gangguan psikologis seperti
kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang, gangguan ini akan menghambat proses
penyembuhan anak dan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
b. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan pada anak
Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak diharapkan anak mampu
mandiri dalam kehidupannya. Anak akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas
sehari-hari, selalu bersikap waspada dalam segala hal. Serta pendidikan terhadap
kemampuan dan keterampilan orang tua dalam mengawasi perawatan anak.
c. Mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak psikologis)
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam keperawatan
anak. Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi
dapat dikurangi melalui berbagai teknik misalnya distraksi, relaksasi, imaginary.
d. Tidak melakukan kekerasan pada anak
Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti
dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada saat anak dalam proses tumbuh kembang
maka kemungkinan pencapaian kematangan akan terhambat, dengan demikian tindakan
kekerasan pada anak sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat kondisi anak.
e. Modifikasi Lingkungan Fisik
Melalui modifikasi lingkungan fisik yang bernuansa anak dapat meningkatkan
keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi lingkungan anak sehingga anak selalu
berkembang dan merasa nyaman di lingkungannya (Supartini, 2017)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian kegawatdaruratan pada pasien epilespi menurut Soemarmo (2015).
1. Pengkajian kondisi/kesan umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
2. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan berbicara
padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi
penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya. Pengkajian kesadaran dengan metode
AVPU meliputi :
a. Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya.
b. Velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat
c. Nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
d. Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri
ketika dicubit dan ditepuk wajahnya
3. Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam kehidupan). Pengkajian
berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
a. Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal :

a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas

b) Distres pernafasan

c) Adanya kemungkinan fraktur cervical

Pada fase ini, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga menghalangi
jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya
ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut

b. Breathing
Pada fase ini, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus, dan kulit
tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami apneu.
c. Circulation
Terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam keadaan tidak sadar.
d. Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari epilepsi
yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang
e. Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera tambahan
akibat kejang
4. Pengkajian sekunder
a. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama: Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit: Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual.
Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor
presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah
menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi
otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang,
atau mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi dengan orang lain /
keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan
dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
d. Riwayat kesehatan
e. Riwayat keluarga dengan kejang
f. Riwayat kejang demam
g. Tumor intracranial
h. Trauma kepala terbuka, stroke
i. Riwayat kejang :
o Bagaimana frekwensi kejang. b) Gambaran kejang seperti apa
o Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal. d) Apakah ada kehilangan kesadaran
atau pingsan
o Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
o Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
j. Pemeriksaan fisik

B. Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi adalah
(Nanda 2015-2017) :

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi


mucus
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
peningkatan sekresi mucus
3. Ketidakefekifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia
5. Hipertermi berhubungan dengan infeksi mikroorganisme
6. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran sekunder
terhadap kejang
7. Resiko trauma pada saat serangan berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
dan kejang
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosis keperawatan Tujuan dan kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)

1 Ketidakefektifan bersihan jalan NOC : Airway Management


napas berhubungan dengan
Respiratory status: airway patency Setelah a. Auskultasi bunyi nafas tambahan;
peningkatan sekresi mucus
diberikan askep selama ……jam, diharapkan
ronchi, wheezing.
bersihan jalan nafas klien kembali efektif
dengan kriteria hasil: b. Berikan posisi yang nyaman untuk
mengurangi dispnea.
a. Frekuensi pernapasan dalam batas
normal (16-20x/mnt) c. Bersihkan sekret dari mulut dan

b. Irama pernapasn normal trakea; lakukan penghisapan sesuai


keperluan.
c. Kedalaman pernapasan normal
d. Anjurkan asupan cairan adekuat.
d. Klien mampu mengeluarkan sputum
secara efektif e. Ajarkan batuk efektif

a. Auskultasi sura nafas sebelum dan


Airway suctioning

a. Informasikan kepada keluarga mengenai


tindakan suction

b. Gunakan universal precaution, sarung tangan,


goggle, masker sesuai kebutuhan

c. Gunakan aliran rendah untuk


menghilangkan sekret (80-100 mmHg pada
dewasa)

d. Monitor status oksigen pasien (SaO2 dan SvO2)


dan status hemodinamik (MAP dan irama
jantung) sebelum, saat, dan setelah suction
2 Pola napas tidak efektif NOC : Respiratory monitoring
berhubungan dengan kerusakan
a. Respiratory status : Ventilation a. Pantau rate, irama, kedalaman, dan usaha
neuromuskuler, peningkatan
respirasi
sekresi mucus b. Respiratory status : Airway patency
b. Perhatikan gerakan dada, amati simetris,
c. Vital sign Status
penggunaan otot aksesori, retraksi otot
Kriteria Hasil : supraclavicular dan intercostal

a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara c. Monitor suara napas tambahan


nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
d. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea,
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,
hyperventilasi, napas kussmaul, napas cheyne-
mampu bernafas dengan mudah, tidak ada
stokes, apnea, napas biot’s dan pola ataxic
pursed lips)

b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien


tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)

c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal


(tekanan darah, nadi, pernafasan)
3 Ketidakefekifan perfusi NOC: Peripheral Sensation Management
jaringan perifer berhubungan
a. Circulation status (Manajemen sensasi perifer)
dengan
b. Tissue Perfusion : cerebral a. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
Kriteria Hasil :
b. Monitor adanya paretese
Mendemonstrasikan status sirkulasi yang
ditandai dengan : c. lnstruksikan keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi
a. Tekanan systole dan diastole dalam
rentang yang diharapkan d. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
b. Tidak ada ortostatik hipertensi
e. Batasi gerakan pada kepala, leher dan
c. Tidak ada tanda tanda peningkatan
punggung
tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15
mmHg) f. Kolaborasi pemberian analgetik
4 Ketidakefektifan perfusi NOC a. Monitor TTV
jaringan serebral berhubungan
a. Circulation status b. Monitor AGD, ukuran pupil, ketajaman,
dengan hipoksia
kesimetrisandan reaksi
b. Neurologic status
c. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur,
c. Tissue Prefusion : cerebral
nyeri kepala
Setelah dilakukan asuhan selama………
d. Monitor level kebingungan dan orientasi
ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
teratasi dengan kriteria hasil : e. Monitor tonus otot pergerakan

a. Tekanan systole dan diastoledalam rentang f. Monitor tekanan intrkranial dan respon
yang diharapkan nerologis

b. Tidak ada ortostatikhipertensi g. Catat perubahan pasien dalam merespon


stimulus
c. Komunikasi jelas
h. Monitor status cairan
d. Menunjukkan konsentrasi danorientasi
i. Tinggikan kepala 0-45 tergantung pada kondisi
e. Pupil seimbang dan reaktif
pasien dan order medis
f. Bebas dari aktivitas kejang

g. Tidak mengalami nyeri kepala


5 Hipertermi berhubungan NOC : Fever treatment
dengan infeksi
Thermoregulation a. Monitor suhu sesering mungkin
mikroorganisme
Kriteria Hasil: b. Monitor warna dan suhu kulit

a. Suhu tubuh dalam rentang normal c. Monitor tekanan darah, nadi dan RR

b. Nadi dan RR dalam rentang normal d. Monitor penurunan tingkat kesadaran

c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak e. Monitor WBC, Hb, dan Hct
ada pusing
f. Monitor intake dan output

g. Berikan anti piretik

h. Berikan pengobatan untuk mengatasi


penyebab demam

i. Selimuti pasien

j. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila


D. Implementasi

Pelaksanaan rencana keperawatan adalah kegiatan atau tindakan yang diberikan


kepada klien sesuai dengan rencana keperawatan yang telah ditetapkan tergantung
pada situasi dan kondisi klien saat itu.

E. Evaluasi

Suatu penilaian terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan atau


dilaksanakan dengan berpegang teguh pada tujuan yang ingin dicapai. Pada bagian
ini ditentukan apakah perencanaan sudah tercapai atau belum, dapat juga timbul
masalah baru.
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca,Fransisca. 2013. Asuhan Keperawatan pada Klien Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Doenges, M E., et al. 2011. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC

Jhon. 2013. Emergency Departement Design Guidelines. Third Edition.


Australian College for Emergency

Kartika, Unoviana. 2015. Penyakit Epilepsi Makin Banyak Terdeteksi.


http://health.kompas.com/read/2013/06/27/1730364/Penyakit.Epilepsi.Ma
kin.Banyak.Terdeteksi. Diakses pada tanggal 21 Januari 2019.

Markam, Sumarmo. 2013. Penuntun Neurologi. Tangerang Selatan : Binarupa Aksara

Muttaqin, A. 2011. Buku Ajar Asuha Keperawatan Klien Dengan Gangguang Sistem
persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Nanda. 2015. Diagnosa keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC

Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta : EGC

Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2015. Penegakan Diagnosis Pada


Pasien Epilepsi. Jakarta : PERDOSSI

Anda mungkin juga menyukai