Anda di halaman 1dari 16

A.

Definisi
1. Imunisasi: pemindahan atau transfer antibodi [bahasa awam: daya tahan tubuh]
secara pasif. Antibodi diperoleh dari komponen plasma donor yang sudah sembuh
dari penyakit tertentu.
2. Vaksinasi: pemberian vaksin [antigen dari virus/bakteri] yang dapat merangsang
imunitas [antibodi] dari sistem imun di dalam tubuh. Semacam memberi “infeksi
ringan”.

B. Pro-kontra imunisasi dan vaksin


Pendapat yang kontra: 
 Vaksin haram karena menggunakan media ginjal kera, babi, aborsi bayi, darah
orang yang tertular penyakit infeksi yang notabene pengguna alkohol, obat bius,
dan lain-lain. Ini semua haram dipakai secara syari’at.
 Efek samping yang membahayakan karena mengandung mercuri, thimerosal,
aluminium, benzetonium klorida, dan zat-zat berbahaya lainnya yg akan memicu
autisme, cacat otak, dan lain-lain.
 Lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya, banyak efek sampingnya.
 Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal
bagaimana menjaganya dan bergaya hidup sehat.
 Konspirasi dan akal-akalan negara barat untuk memperbodoh dan meracuni negara
berkembang dan negara muslim dengan menghancurkan generasi muda mereka.
 Bisnis besar di balik program imunisasi  bagi mereka yang berkepentingan.
Mengambil uang orang-orang muslim.
 Menyingkirkan metode pengobatan dan pencegahan dari negara-negara
berkembang dan negara muslim seperti minum madu, minyak zaitun, kurma, dan
habbatussauda.
 Adanya ilmuwan yang menentang teori imunisasi dan vaksinasi.
 Adanya beberapa laporan bahwa anak mereka yang tidak di-imunisasi masih tetap
sehat, dan justru lebih sehat dari anak yang di-imunisasi.
Pendapat yang pro:
 Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil
membawa virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan
janin. Bahkan bisa menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa
dicegah dengan vaksin.
 Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang
menjadi wabah seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus
flu burung yg telah mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas
kesahatan yang menangani. Jika tidak ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat.
Juga meresahkan masyarakat sekitar.
 Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang
yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di
zaman modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk
antisipasi terpapar penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.
 Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap
kondisi ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin
serta jadwal yang benar sesuai kondisi setiap orang.
 Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi
MMR menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan
dengan metodologi yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya.
Penyebab autis itu multifaktor (banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab
utamanya masih harus diteliti.
 Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-
kontra juga. Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi
kebebasan memilih. Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan
vaksin sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakatnya.
 Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi
tertentu atau tidak sama sekali ? Karena standar kesehatan mereka sudah lebih
tinggi, lingkungan bersih, epidemik (wabah) penyakit infeksi sudah diberantas,
kesadaran dan pendidikan hidup sehatnya tinggi. Mereka sudah mengkonsumsi
sayuran organik. Bandingkan dengan negara berkembang. Sayuran dan buah penuh
dengan pestisida jika tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat pengawet, pewarna,
pemanis buatan, mie instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita mau masuk
ke beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu. Karena
mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman penyakit dari negara kita.
 Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa
vaksin halal karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian
vaksinContohnya Fatwa MUI yang menyatakan halal. Dan jika memang benar
haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat keadaan darurat, daripada
penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus segera dicegah karena sudah
banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC.
Terlepas dari itu semua, kami tidak bisa memastikan dan mengklaim 100% pihak
mana yang benar dan pihak mana yang salah. Kami hanya ingin membagi kelegaan
hati kami berkaitan dengan syari’at. Berikut kami sajikan bagaimana proses dari
kebingungan kami menuju sebuah kelegaan karena kami hanya ingin sekedar berbagi.

C. Kewajiban taat terhadap pemerintah/waliyul ‘amr


Hal ini berkaitan dengan program “wajib” pemerintah berkaitan dengan imunisasi
-yang kita kenal dengan PPI [Program Pengembangan Imunisasi]- di mana ada lima
vaksin yang menjadi imunisasi “wajib”.
Sudah menjadi aqidah ahlus sunnah wal jamaah bahwa kita wajib mentaati
pemerintah. Berikut kami sampaikan dalil-dalil yang ringkas saja.
Allah Ta’ala berfirman,
 ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu.” [An Nisa’: 59]
Kita wajib taat kepada pemerintah baik dalam hal yang sesuai dengan syari’at
maupun yang mubah, misalnya taat terhadap lampu lalu lintas dan aturan di jalan
raya. Jika tidak, maka kita berdosa. Bahkan jika pemerintah melakukan sesuatu yang
mendzalimi kita, kita harus bersabar. Kita tidak boleh melawan pemerintah dengan
melakukan demonstrasi apalagi melakukan kudeta dan pemberontakan karena lebih
besar bahayanya dan juga akan menumpahkan darah sesama kaum muslimin.
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
ِ ‫اطي ِن فِى ج ُْث‬
‫مَان‬ َّ ُ‫وب‬bُ‫وبُهُ ْم قُل‬bbُ‫َاى َوالَ يَ ْستَنُّونَ بِ ُسنَّتِى َو َسيَقُو ُم فِي ِه ْم ِر َجا ٌل قُل‬
ِ َ‫ي‬b‫الش‬ َ ‫ُكونُ بَ ْع ِدى َأِئ َّمةٌ الَ يَ ْهتَدُونَ بِهُد‬
‫ َذ‬b‫رُكَ َوُأ ِخ‬b‫ظ ْه‬
َ ‫ب‬ ِ b‫ ُع لَِأل ِم‬b‫ك قَا َل « تَ ْس َم ُع َوتُ ِطي‬
ُ ‫ير َوِإ ْن‬b
َ ‫ ِر‬b‫ض‬ َ ِ‫ت َذل‬ُ ‫ت َك ْيفَ َأصْ نَ ُع يَا َرسُو َل هَّللا ِ ِإ ْن َأ ْد َر ْك‬
ُ ‫ قَا َل قُ ْل‬.» ‫س‬ ٍ ‫ِإ ْن‬
‫ك فَا ْس َم ْع َوَأ ِط ْع‬
َ ُ‫َمال‬
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku
(dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada
di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun
jasadnya adalah jasad manusia.“
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui
zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka
memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at
kepada mereka.” [HR. Muslim no. 1847]
Kita baru diperbolehkan untuk  tidak taat jika melihat pemerintah berada pada
kekufuran yang nyata, jelas, dan bukan kekufuran yang dicari-cari dan dibuat-buat.
‫ إال أن تروا كفراً بواحا ً عندكم عليه من هللا برهان‬،‫سمعوا وأطيعوا‬
“Mendengar dan taatlah kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian
melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah.”
[HR. Bukhari dan Muslim]
Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah sekarang kafir atau bukan negara
Islam sehingga tidak perlu taat, maka kami sarankan untuk banyak menelaah kitab-
kitab aqidah para ulama. Karena bisa jadi tuduhan itu kembali kepada yang menuduh.
Kemudian perlu kita bedakan antara pemerintah yang tidak bisa menjalankan hukum
syariat dan masih menganggap baik hukum Islam.  Dan di antara bukti negeri tersebut
masih muslim adalah masih membebaskan dijalankan syari’at-syari’at yang bersifat
jama’i seperti adzan, shalat berjama’ah dan shalat ‘ied.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ‫ك ِإاَّل َحا َر َعلَ ْي ِه‬ َ ‫َو َم ْن َدعَا َر ُجاًل بِ ْال ُك ْف ِر َأوْ قَا َل َع ُد َّو هَّللا ِ َولَي‬
َ ِ‫ْس َك َذل‬
 “Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau
“musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada
penuduh.” [HR. Bukhari no. 3317, 5698, dan Muslim no. 214.]
Inilah yang agak mengusik hati kami, yaitu jika kita tidak mengikuti program
imunisasi maka akan menyebabkan berdosa, karena pemerintah mengatakan “wajib”.
Walaupun hal ini bisa dibantah bagi mereka yang kontra, karena bahannya yang
haram dan bisa merusak tubuh.  Sehingga dalam hal ini pemerintah tidak perlu ditaati.
Karena kita dilarang merusak tubuh kita sendiri.
Allah Ta’ala berfirman,
‫وا بَِأ ْي ِدي ُك ْم ِإلَى التَّ ْهلُ َك ِة‬
ْ ُ‫َوالَ تُ ْلق‬
“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-
Baqarah: 195]
Sesuai dengan kaidah dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ‫ ِإنَّ َما الطَّا َعةُ فِى ْال َم ْعر‬، ‫ْصيَ ٍة‬
‫ُوف‬ َ َ‫ال‬
ِ ‫طا َعةَ فِى َمع‬
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan
hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” [HR. Bukhari no. 7257]

D. Wajib imunisasi bukan wajib secara mutlak


Secara ringkas, wallahu a’lam, yang kami dapatkan bahwa pernyataan “wajib”
pemerintah di sini bukanlah wajib secara mutlak dalam pelaksanaannya. Sebagaimana
wajib, ada yang wajib ‘ain dan wajib kifayah. wajib Karena ada beberapa alasan.
1. Memang ada UU no. 4 tahun 1894 tentang wabah penyakit menular dan secara
tidak langsung imunisasi masuk di sini karena salah satu peran imunisasi adalah
memberantas wabah. Ancaman bagi yang tidak mendukungnya, bisa dihukum
penjara dan denda.
Akan tetapi, pemerintah juga masih kurang konsisten dalam menerapkan
hukuman ini. Bisa dilihat pernyataan salah satu pemimpin kita.
 “Kita tidak bisa memberikan sanksi hukuman, tetapi kita hanya bisa
menghimbau kepada aparat, ibu-ibu, LSM, majelis taklim, ketua RT, dan lurah, agar
menggerakkan warganya ke pos-pos imunisasi. Mudah-mudahan Jakarta bebas
polio,,”
2. Belum ada peraturan pemerintah atau undang-undang khusus yang mengatur
secara jelas, tegas, dan shorih tentang kewajiban imunisasi, hukuman, serta
kejelasan penerapan hukuman.
3. Kalaupun mewajibkan lima imunisasi termasuk polio, maka bagaimana dengan
daerah yang terpencil, daerah yang tidak mendapatkan pasokan imunisasi seperti
beberapa daerah di Papua? Apakah mereka dipenjara semua? Atau didenda
semua? Haruskah mereka mencari-cari ke daerah yang ada imunisasi dan vaksin?
Bagimana dengan yang tidak mampu membayar imunisasi? Karena pemerintah
belum menggratiskan secara menyeluruh imunisasi. Walaupun ada yang murah,
tetapi tetap saja ada penduduk yang untuk makan sesuap nasi saja sulit.
4. Sampai sekarang, wallahu a’lam, kami belum pernah mendengar ada kasus orang
yang dihukum penjara atau denda hanya karena anaknya belum atau tidak
diimunisasi.
5. Cukup banyak mereka yang kontra imunisasi dan vaksin baik individu, LSM,
atau organisai tertentu mengeluarkan pendapat menolak imunisasi padahal ini
sangat bertentangan dengan pemerintah. Bahkan mereka menghimbau bahkan
memprovokasi agar tidak melakukan imunisasi. Tetapi, wallahu a’lam, kami
tidak melihat tindak tegas pemerintah terhadap mereka.
Atau kita bisa menganalogikan dengan program “WAJIB belajar sembilan
tahun”. Maka semua orang tahu bahwa “wajib “ di sini tidak bermakna wajib secara
mutlak.
Fatwa tentang bolehnya imunisasi dan vaksin serta menunjukkan bahwa semacam
imunisasi sudah ada dalam syari’at. Atau yang dikenal sekarang dengan imunisasi
syari’at.
Ketika Syaikh  Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hal ini,
 ‫ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟‬
 “Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa penyakit seperti
imunisasi?”
Beliau menjawab,
‫أس‬bb‫ببها فال ب‬bb‫داء بس‬bb‫وع ال‬bb‫ال بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وق‬
‫بح‬bb‫ «من تص‬:‫حيح‬b‫ديث الص‬b‫لم في الح‬b‫ه وس‬b‫لى هللا علي‬b‫بي ص‬bb‫ول الن‬b‫بتعاطي الدواء لدفع البالء الذي يخشى منه لق‬
‫ي‬b‫ذا إذا خش‬b‫ه فهك‬b‫ل وقوع‬b‫ع البالء قب‬b‫) » وهذا من باب دف‬1( ‫بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر وال سم‬
‫رض‬bb‫الج الم‬bb‫ا يع‬bb‫ كم‬،‫دفاع‬bb‫اب ال‬bb‫ذلك من ب‬bb‫أس ب‬bb‫ان ال ب‬bb‫د أو في أي مك‬bb‫من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البل‬
‫ يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه‬،‫النازل‬.
“La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan
tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah
menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang
artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak
akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”
Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika
dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan
penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah,
karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang
diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.
Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban
untuk masalah vaksin yang digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio. Dalam
masalah tersebut, Majelis Ulama Eropa memutuskan dua hal:
Pertama :
Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis.  Obat semacam
itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah.
Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan
menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan
pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit)
yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi
kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan
tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami
istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu
pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk
menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan
manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Kedua:
Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang
hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang
nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan
dengan dalil yang definitif (qoth’i).
Perlu diketahui juga bahwa di Saudi Arabia sendiri untuk pendaftaran haji
melalui hamlah (travel)  diwajibkan bagi setiap penduduk asli maupun pendatang
untuk memenuhi syarat tath’im (vaksinasi) karena banyaknya wabah yang tersebar
saat haji nantinya. Syarat inilah yang harus dipenuhi sebelum calon haji dari Saudi
mendapatkan tashrih atau izin berhaji yang keluar lima tahun sekali.
 Jangan meyebarluaskan penolakan imunisasi
Merupakan tindakan yang kurang bijak bagi mereka yang menolak
imunisasi, menyebarkan keyakinan mereka secara luas di media-media,
memprovokasi agar menolak keras imunisasi dan vaksin, bahkan menjelek-
jelekkan pemerintah. Sehingga membuat keresahan dimasyarakat.  Karena
bertentangan dengan pemerintah yang membuat dan mendukung program
imunisasi.
 Hendaknya ia menerapkan penolakan secara sembunyi - sembunyi.
Sebagaimana kasus jika seseorang melihat hilal Ramadhan dengan jelas dan
sangat yakin, kemudian persaksiannya ditolak oleh pemerintah. Pemerintah
belum mengumumkan besok puasa, maka hendaknya ia puasa sembunyi-
sembunyi besok harinya dan jangan membuat keresahan di masyarakat dengan
mengumumkan dan menyebarluaskan persaksiannya akan hilal, padahal sudah
ditolak oleh pemerintah. Karena hal ini akan membuat perpecahan dan keresahan
di masyarakat.
Islam mengajarkan kita agar tidak langsung menyebarluaskan setiap berita
atau isu ke masyarakat secara umum. Hendaklah kita jangan mudah termakan
berita yang kurang jelas atau isu murahan kemudian ikut-kutan
menyebarkannya padahal ilmu kita terbatas mengenai hal tersebut. Hendaklah
kita menyerahkan kepada kepada ahli dan tokoh yang berwenang untuk menindak
lanjuti, meneliti, mengkaji, dan menelaah berita atau isu tersebut. Kemudian
merekalah yang lebih mengetahui dan mempertimbangkan apakah berita ini perlu
diekspos atau disembunyikan.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
َ‫ُوا بِ ِه َولَوْ َر ُّدوهُ ِإلَى ال َّرسُو ِل وَِإلَى ُأوْ لِي اَأل ْم ِر ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َمهُ الَّ ِذين‬ ْ ‫ف َأ َذاع‬
ِ ْ‫َوِإ َذا َجاءهُ ْم َأ ْم ٌر ِّمنَ اَأل ْم ِن َأ ِو ْالخَ و‬
ً‫يَ ْستَنبِطُونَهُ ِم ْنهُ ْم َولَوْ الَ فَضْ ُل هّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُهُ الَتَّبَ ْعتُ ُم ال َّش ْيطَانَ ِإالَّ قَلِيال‬
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa: 83]
Sebaiknya kita menyaring dulu berita yang sampai kepada kita dan tidak semua
berita yang kita dapat kemudian kita sampaikan semuanya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ َكفَى بِ ْال َمرْ ِء َك ِذبًا َأ ْن يُ َحد‬ 
‫ِّث بِ ُكلِّ َما َس ِم َع‬
“Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia
dengar.” [HR. Muslim]
E. Vaksin
Belakangan ini menjadi buah bibir karena cukup meresahkan jama’ah haji yang
diwajibkan pemerintah Arab Saudi vaksin, karena mereka tidak ingin terkena atau ada
yang membawa penyakit tersebut ke jama’ah haji di Mekkah.
Banyak penjelasan dari berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt.,
MM, -Direktur Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah satu
perusahaan pembuat vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi
masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau
mengatakan,
“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran
dan najis, namun menjadi bersih dan halal stetalh diproses”. Beliau juga
mengatakan, “Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai
sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah
sel/protein]. Pada hasil akhirnya [vaksin], enzim tripsin yang merupakan unsur
turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses
pencucian, pemurnian dan penyaringan.”
Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena
minimal  bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa
memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram
dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci dalam
beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal tiga hari
dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya hilang.
Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan,
َ ‫ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر َأنَّهُ َكانَ يَحْ بِسُ ال َّد َجا َجةَ ثَاَل ثَةً ِإ َذا َأ َرا َد َأ ْن يَْأ ُك َل بَي‬
 ‫ْضهَا‬
 “Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma  bahwasanya beliau mengurung
[mengkarantina] ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari jika beliau
ingin memakan telurnya.” [Mushannaf Abdurrazaq no. 8717]
Kalau saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis -karena
makanannya kelak akan menjadi darah dan daging- saja bisa dimakan, maka jika
hanya sebagai katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan, lebih
layak lagi untuk dipergunakan atau minimal sama.
F. Perubahan benda najis atau haram menjadi suci
Kemudian ada istilah [‫“ ]استحالة‬istihalah” yaitu perubahan benda najis atau haram
menjadi benda yang suci yang telah berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah
jika kulit bangkai yang najis dan haram disamak, maka bisa menjadi suci atau jika
khamr menjadi cuka  -misalnya dengan penyulingan- maka menjadi suci. Pada enzim
babi vaksin tersebut telah berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya sebagai
katalisator pemisah, maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan masalah istihalah
‫ َو ِم ْن‬،‫ ِه‬b ‫ ْي ِء فِي نَ ْف ِس‬b ‫الش‬
َّ ‫ف‬ ْ ‫ َرةَ بِاَأْل‬b ‫ َواَل ِع ْب‬،‫ب‬
ْ ‫ بَلْ بِ َو‬،‫ ِل‬b ‫ص‬
ِ b‫ص‬ ِ ِّ‫يث ِم ْن الطَّي‬
َ ِ‫ث َو ْال َخب‬
ِ ‫ِّب ِم ْن ْال َخبِي‬
َ ‫ ِر ُج الطَّي‬b‫َوهَّللَا ُ – تَعَالَى – ي ُْخ‬
ُ‫زَال ا ْس ُمهُ َو َوصْ فُه‬ ِ ‫ال ُم ْمتَنِ ِع بَقَا ُء ُح ْك ِم ْال ُخ ْب‬،
َ ‫ث َوقَ ْد‬ ْ
“Dan Allah Ta’ala mengeluarkan benda yang suci dari benda yang najis dan
mengeluarkan benda yang najis dari benda yang suci. Patokan bukan pada benda
asalnya, tetapi pada sifatnya yang terkandung pada benda tersebut [saat itu].
Dan tidak boleh menetapkan hukum najis jika telah hilang sifat dan berganti
namanya.” [I’lamul muwaqqin ‘an rabbil ‘alamin 1/298, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah,
Beirut, Cetakan pertama, 1411 H, Asy-Syamilah]

G. Percampuran benda najis atau haram dengan benda suci


Kemudian juga ada istilah [‫“ ]استحالك‬istihlak” yaitu bercampurnya benda najis
atau haram pada benda yang suci sehingga mengalahkan sifat najisnya , baik rasa,
warna, dan baunya. Misalnya hanya beberapa tetes khamr pada air yang sangat
banyak. Maka tidak membuat haram air tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ِإ َّن اَ ْل َما َء‬
‫طهُو ٌر اَل يُنَ ِّج ُسهُ َش ْي ٌء‬
“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” [Bulughul Maram, Bab
miyah no.2, dari Abu Sa’id Al-Khudriy]
َ َ‫َكانَ اَ ْل َما َء قُلَّتَ ْي ِن لَ ْم يَحْ ِملْ اَ ْل َخب‬
ْ‫ – لَ ْم يَ ْنجُس‬:‫ث – َوفِي لَ ْف ٍظ‬
“Jika air mencapai dua qullah tidak mengandung najis”, di riwayat lain, “tidak
najis” [Bulughul Maram, Bab miyah no.5, dari Abdullah bin Umar]
Maka enzim babi vaksin yang hanya sekedar katalisator yang sudah hilang
melalui proses pencucian, pemurnian, dan penyulingan sudah minimal terkalahkan
sifatnya.

H. Jika kita memilih vaksin adalah haram


Berdasarkan fatwa MUI bahwa vaksin haram tetapi boleh digunakan jika darurat.
Bisa dilihat di berbagai sumber salah satunya cuplikan wawancara antara
Hidayatullah dan KH. Ma’ruf Amin selaku Ketua Komisi Fatwa MUI [halaman 23]
Berobat dengan yang haram
Jika kita masih berkeyakinan bahwa vaksin haram, mari kita kaji lebih lanjut.
Bahwa ada kaidah fiqhiyah,
‫الضرورة تبيح المحظورات‬
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Kaidah ini dengan syarat:
1. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.
2. Digunakan sekadar mencukupi saja untuk memenuhi kebutuhan.
Inilah landasan yang digunakan MUI, jika kita kaji sesuai dengan syarat:
1. Saat itu belum ada pengganti vaksin lainnya
Adapun yang berdalil bahwa bisa diganti dengan jamu, habbatussauda, atau madu
[bukan berarti kami merendahkan pengobatan nabi dan tradisional], maka kita
jawab bahwa itu adalah pengobatan yang bersifat umum dan tidak spesifik.
Sebagaimana jika kita mengobati virus tertentu, maka secara teori bisa sembuh
dengan meningkatkan daya tahan tubuh, akan tetapi bisa sangat lama dan banyak
faktor, bisa saja dia mati sebelum daya tahan tubuh meningkat. Apalagi untuk
jamaah haji, syarat satu-satunya adalah vaksin.
2. Enzim babi pada vaksin hanya sebagai katalisator, sekedar penggunaannya saja.
Jika ada yang berdalil dengan,
 ‫ وال تتداووا بحرام‬،‫ فتداووا‬،‫إن هللا خلق الداء والدواء‬
 “Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan
jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” [HR. Thabrani. Dinilai hasan oleh
Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1633]
Maka, pendapat terkuat bahwa pada pada asalnya tidak boleh berobat dengan
benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, dengan syarat:
 Penyakit tersebut adalah penyakit yang harus diobati.
 Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
 Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.

Berlandaskan pada kaidah fiqhiyah,


 ‫إذا تعارض ضرران دفع أخفهما‬.
”Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling
ringan.“
Dan Maha Benar Allah yang memang menciptakan penyakit namun pasti ada
obatnya. Kalau tidak ada obatnya sekarang, maka hanya karena manusia belum
menemukannya. Terbukti baru-baru ini telah ditemukan vaksin meningitis yang halal,
dan MUI mengakuinya.
Bisa dilihat pernyataan berikut,
“Majelis Ulama Indonesia menerbitkan sertifikat halal untuk vaksin meningitis
produksi Novartis Vaccines and Diagnostics Srl dari Italia dan Zhejiang Tianyuan
Bio-Pharmaceutical asal China. Dengan terbitnya sertifikat halal, fatwa yang
membolehkan penggunaan vaksin meningitis terpapar zat mengandung unsur babi
karena belum ada vaksin yang halal menjadi tak berlaku lagi.”
”Titik kritis keharaman vaksin ini terletak pada media pertumbuhannya yang
kemungkinan bersentuhan dengan bahan yang berasal dari babi atau yang
terkontaminasi dengan produk yang tercemar dengan najis babi,” kata Ketua MUI
KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (20/7).
Semoga kelak akan ditemukan vaksin lain yang halal misalnya vaksin polio,
sebagaimana usaha WHO juga mengupayakan hal tersebut. WHO yang dituduh
sebagai antek-antek negara barat dan Yahudi, padahal tuduhan ini tanpa bukti dan
hanya berdasar paranoid terhadap dunia barat.
I. Jika masih saja tidak boleh dan haram bagaimanapun juga kondisinya
Jika masih berkeyakinan bahwa vaksin itu omong kosong, haram dan tidak
berguna, maka ketahuilah, vaksin inilah yang memberikan kekuatan psikologis
kepada kami para tenaga kesehatan untuk bisa menolong dan mengobati masyarakat
umum. Jika kami -tenaga kesehatan- tidak melakukan vaksinasi hepatitis B,
seandainya mereka yang kontra vaksinasi terkena hepatitis B dan perlu disuntik atau
dioperasi, maka saya atau pun tenaga medis lainnya akan berpikir dua kali untuk
melakukan operasi jika mereka belum divaksin hepatitis B. Maka hati kami akan
gusar dalam menjalankan tugas kami, kita tidak tahu jika ada pasien yang luka,
berdarah, lalu kita bersihkan lukanya, kemudian ternyata diketahui bahwa dia
berpenyakis hepatitis B. Karena keyakinan sudah divaksinasi hepatitis B, maka hal itu
membuat kami bisa menjalaninya.
Begitu juga jika istri mereka hendak melahirkan dan terkena hepatitis B, bidan
yang membantu mereka akan berpikir dua kali untuk membantu persalinan jika dia
belum vaksin hepatitis B. Karena hepatitis B termasuk penyakit kronis dengan
prognosis buruk, belum ditemukan dengan pasti obatnya.
Benarkah konspirasi dan akal-akalan Barat dan Yahudi?
Untuk memastikan hal ini perlu penelitian dan fakta yang jelas, dan sampai
sekarang belum ada bukti yang kuat mengenai hal ini. Walapun mereka kafir tetapi
Islam mengajarkan tidak boleh dzalim tehadap mereka, dengan menuduh tanpa bukti
dan berdasar paranoid selama ini. Begitu juga WHO sebagai antek-anteknya.
Malah yang ada adalah bukti-bukti bahwa tidak ada konspirasi dalam hal ini,
beberapa di antaranya:
1. Pro-kontra imunisasi dan vaksin tidak hanya berada di Negara Islam dan Negara
berkembang saja, tetapi dinegara-negara barat dan Negara non-Islam lainnya
seperti di Filipina dan Australia.
Pro-kontra imunisasi sudah ada sejak Pasteur mengenalkan imunisasi rabies,
sampai keputusan imunisasi demam tifoid semasa perang Boer. Demikian juga
penentang imunisasi cacar di Inggris sampai membawanya di parlemen Inggris.
Para Ibu di Jepang dan Inggris menolak imunisasi DPT karena menyebabkan
reaksi panas (demam). [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal. 361]
2. Amerika melakukan imunisasi bagi pasukan perang mereka. Ini menjawab
tuduhan bahwa imuniasi hanya untuk membodohi Negara muslim dan sudah tidak
populer di Negara barat, bahkan mereka mengeluarkan jurnal penelitian resmi
untuk meyakinkan dan menjawab pihak kontra imunisasi. Salah satunya adalah
jurnal berjudul,  “Immunization to Protect the US Armed Forces: Heritage,
Current Practice, and Prospects” Sangat lucu jika mereka mau bunuh diri dengan
melemahkan dan membodohi pasukan perang mereka dengan imunisasi.
3. WHO juga sedang meneliti pengembangan imunisasi tanpa menggunakan unsur
binatang sebagaimana kita jelaskan sebelumnya.

J. Imunisasi tidak menjamin 100%


Tidak ada yang obat yang bisa menjamin 100% kesembuhan dan menjamin
100% pencegahan. Semua tergantung banyak faktor, salah satunya adalah daya tahan
tubuh kita. Begitu juga dengan imunisasi, sehingga beberapa orang mempertanyakan
imunisasi hanya karena beberapa kasus penyakit campak, padahal penderita sudah
diimunisasi campak.

K. Penelitian tentang kegagalan imunisasi dan vaksin yang setengah-setengah


Umumnya penelitian-penelitian ini adalah penelitian tahun lama yang kurang bisa
dipercaya, mereka belum memahami benar teori imunologi yang terus berkembang.
Kemudian tahun 2000-an muncul kembali yaitu peneliti Wakefield dan Montgomerry
yang mengajukan laporan penelitian adanya hubungan vaksin MMR dengan autism
pada anak. Ternyata penelitian ini tidak menggunakan paradigm epidemiologik, tetapi
paradigma imunologi atau biomolekuler yang belum memberikan bukti shahih. Bukti
juga masih sepotong-potong. Baik pengadilan London maupun redaksi majalah yang
memuat tulisan ini akhirnya menyesal dan menyatakan bukti yang diajukan lemah dan
kabur. [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal 366-367]

L. Keberhasilan vaksin memusnahkan cacar [smallpox] di bumi


Bukan cacar air [varicella] yang kami maksud, tetapi cacar smallpox. Yang
sebelumnya mewabah di berbagai negara dan sekarang hampir semua negara
menyatakan negaranya sudah tidak ada lagi penyakit ini.
“Following their jubilant announcement in 1980 that smallpox had finally been
eradicated from the world, the World Health Organization lobbied for the numbers of
laboratories holding samples of the virus to be reduced. In 1984 it was agreed that
smallpox be kept in only two WHO approved laboratories, in Russia and America”
“Setelah pengumuman gembira mereka pada tahun 1980 bahwa cacar akhirnya
telah diberantas dari bumi, WHO melobi agar jumlah laboratorium yang memegang
sampel virus bisa dikurangi. Pada tahun 1984, disepakati bahwa (virus) cacar hanya
disimpan di dua laboratorium yang disetujui WHO, yaitu di Rusia dan Amerika.”
Lihat bagaimana dua negara adidaya saat itu yang saling berperang berusaha
mendapatkan ilmu ini dengan menyimpan bibit penyakit tersebut. Jika ini hanya
main-main dan bohong belaka, mengapa harus diperebutkan oleh banyak negara dan
akhirnya dibatasi dua Negara saja. Lihat juga karena vaksinlah yang menyelamatkan
dunia dari wabah saat itu, dengan izin Allah Ta’ala.
M. Dukung Imunisasi Polio Pemerintah
Kita tidak boleh memaksa, kita hanya bisa mengarahkan. Sama dengan wabah
cacar, maka polio juga menjadi sasaran pemusnahan di muka bumi. Oleh karena itu,
semua orang harus ikut serta sehingga virus polio bisa musnah di muka bumi ini. Jika
ada beberapa orang saja yang masih membawa virus ini kemudian menyebar, maka
program ini akan gagal. Di Indonesia pemerintah mencanangkannya dengan
“Indonesia Bebas Polio”. Mengingat penyakit in sangat berbahaya dengan
kemunculan gejala yang cepat.
Mungkin kita harus belajar dari kasus yang terjadi di Belanda. Di sana, ada
daerah-daerah yang karena faktor religius, mereka menolak untuk divaksin, biasa
disebut “Bible Belt”, mereka tersebar di beberapa daerah di Belanda. Akibatnya,
terjadi outbreak (wabah) virus Measles antara tahun 1999-2000 dengan lebih dari
3000 kasus virus Measles dan setelah diteliti ternyata terjadi di daerah-daerah yang
didominasi oleh orang-orang Bible Belt. Padahal kita tahu, sejak vaksin Measles
berhasil ditemukan tahun 1965-an [sekarang vaksin MMR (Measles, Mumps,
Rubella)], kasus Measles sudah hampir tidak ada lagi.

N. Keberhasilan teori dimana teori tersebut menjadi dasar teori imunisasi


Imunisasi dibangun di atas teori sistem imunitas (sistem pertahanan tubuh)
dengan istilah-itilah yang mungkin pernah didengar seperti antibodi, immunoglubulin,
sel-B, sel-T, antigen, dan lain-lain. Teori inilah yang melandasi ilmu kedokteran barat
yang saat ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat dunia, dan sudah terbukti.
Bagaimanakah sebuah obat penekan sistem imunitas bekerja seperti
kortikosteroid, bagaimana obat-obat yang mampu meningkatkan sistem imun. Bahkan
habbatussauda pun diteliti dan sudah ada jurnal kedoktean resmi yang menyatakan
bahwa habbatussauda dapat meningkatkan sistem imun. Semua dibangun di atas teori
ini.

KESIMPULAN
Maka kesimpulan yang bisa diambil:
Imunisasi dan vaksin mubah, silahkan jika ingin melakukan imunisasi jika sesuai
dengan keyakinan. Silahkan juga jika menolak imunisasi sesuai dengan keyakinan
dan hal ini tidak berdosa secara syari’at.
DAFTAR PUSTAKA
[Pedoman Imunisasi di Indonesia hal. 7, cetakan ketiga, 2008, penerbit Depkes]
Bisa dilihat di: : http://medbook.or.id/news/other/170-uu-no-4-tahun-1984
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/05/tgl/31/time/115902/
idnews/371768/idkanal/10
http://www.binbaz.org.sa/mat/238]
http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203]
http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-
Vaksin]
http://imunisasihalal.wordpress.com/2008/03/13/wawancara-dengan-mui-vaksin-haram-tapi-
boleh-karena-darurat/
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/21/03395385/Tersedia.Vaksin.Meningitis.Halal
http://www.metrotvnews.com/ekonomi/news/2011/07/28/59298/Kelompok-Antivaksin-tak-
Hanya-Ada-di-Indonesia
http://epirev.oxfordjournals.org/content/28/1/3.full
http://www.bbc.co.uk/history/british/empire_seapower/smallpox_01.shtml
https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-vaksinasi.html

Anda mungkin juga menyukai