Anda di halaman 1dari 5

Cerpen S Prasetyo Utomo (Suara Merdeka, 08 November 2020)

Langit Senja Laksmita ilustrasi Suara Merdeka

Tergagap bangun fajar dini hari, Laksmita tak melihat suaminya, Ki Broto, tidur di sisinya.
Menjelang tengah malam Ki Broto meninggalkan padepokan, mendaki gunung dalam senyap
seorang diri. Langkah kakinya belum mencapai puncak, ia melewati rumah-rumah runtuh sisa
tersapu awan panas yang ditinggalkan penghuni. Ia juga melewati rumah almarhum juru
kunci gunung yang dinaungi keramat keraton. Rumah itu terbengkelai, kelelawar-kelelawar
beterbangan dan bersarang di dalamnya.

Di atas hamparan padang rumput dan perdu terdapat lempengan batu besar yang senyap, di
sisinya bekas rumah kayu Abah Ajisukmo yang terbakar. Ki Broto duduk bersila, meniup
seruling pemberian Abah Ajisukmo, guru mengajinya, sebelum meninggal. Lama ia terdiam.
Mengenang Abah Ajisukmo yang hidup seorang diri dalam kesunyian di rumah terpencil
sampai ajal. Zikir, sampai dingin embun turun dari langit membintik di atas lempengan batu.

Masih senyap ketika Ki Broto turun dari lempengan batu. Menyusuri lereng gunung,
menuruni jalan setapak mencapai padepokan, menjelang subuh. Ia mendekati musala.
Mengambil air wudu. Ia salat seorang diri, dengan pakaian lembap embun. Tak ada lagi
penari yang tinggal di padepokan. Semua penari pulang. Mereka takut atas kematian yang
terus-menerus berjangkit pada orang-orang lereng gunung.

Laksmita sudah menunggu Ki Broto di pendapa dengan secangkir kopi panas, singkong
goreng, dan dalam diam, mereka minum, tanpa percakapan. Mereka menunggu kedua anak
mereka: yang sulung Bagas, wartawan, dan adiknya, Dewanti, baru saja diwisuda sebagai
dokter, cum laude, yang berangkat bekerja.
Dalam pikiran Laksmita, dua anak itu sungguh aneh. Bagas selalu tampak santai dan akan
mencari ibunya ke mana pun untuk berpamitan.

Dewanti selalu berbicara dengan ayahnya. Apa pun yang ingin dia lakukan, selalu meminta
pertimbangan ayahnya. Laksmita jadi teringat seluruh kehidupan masa lalunya: hanya berdua
dengan ayahnya. Ia merasa jauh dari anak gadisnya. Ingin berdekatan dengan anak gadisnya.
Namun Dewanti selalu membatasi diri pada ibunya. Tercipta sekat batin tak tertembus.
Dewanti selalu berangkat lebih pagi. Wajahnya tenang, penuh kepercayaan diri. Gadis itu tak
banyak bicara. Laksmita tak bisa mengutarakan kecemasan pada anak gadisnya yang bertugas
pada masa wabah, ketika banyak dokter dan perawat terjangkit virus dari pasien dan
meninggal.

Laksmita tak bisa menyembunyikan kecemasan, tiap kali Dewanti membawa mobil
meninggalkan pelataran padepokan. Anak gadisnya itu baru pulang menjelang senja, atau
ketika malam hari. Laksmita selalu memandangi suaminya, yang senantiasa berwajah tenang,
dan tidak menampakkan kecemasan sama sekali atas kehidupan anak gadis mereka.

Agak siang, barulah Bagas berangkat, dan hampir selalu menghabiskan kopi Laksmita yang
masih tersisa setengah gelas. Bagas akan meninggalkan rumah joglo setelah Laksmita
mengusap-usap rambutnya.

***

Laksminta sungguh tak tega melihat suaminya setelah kopi yang diminum tinggal endapan
hitam. Biasanya Ki Broto segera berlatih tari dengan para penari dan penabuh gamelan.
Namun sejak beberapa bulan ini, ketika wabah penyakit berkembang, para penari
meninggalkan padepokan. Ki Broto tak lagi memperoleh kesempatan mempergelarkan
pertunjukan. Ia menghabiskan waktu ke ladang sayuran bersama Seto. Begitu setia Seto
mendampingi Ki Broto, dan seperti tak ingin meninggalkan: mengolah ladang-ladang sayur,
tidur di gubuk tengah ladang, dan tak pernah terdengar mengeluh.

Setelah makan siang, Laksmita melihat suaminya berada di gedung pertunjukan yang kosong.
Ia masih mencipta tari. Seorang diri, dengan iringan kendang. Jendro, lelaki muda tampan
yang setia, tak mau meninggalkan padepokan. Jendro selalu mengingat peristiwa: di Dukuh
Turgo, ketika ia kanak-kanak, berlari-lari mencari kedua orang tuanya, sementara di
belakangnya bergemeretak awan panas bergulung menghanguskan tanaman, rumah, manusia,
dan binatang ternak. Ki Broto membopong lelaki kecil yang jatuh tersungkur itu dan
melarikan dengan mobil ke barak pengungsi, untuk dipertemukan dengan orang tuanya.
Setelah tumbuh sebagai perjaka, ia penabuh kendang dalam pergelaran kuda lumping. Ia
bertemu Ki Broto, dan menjadi penabuh kendang di padepokan, menggantikan Lik Kirjo
yang lenyap setelah peristiwa awan panas menyapu Dukuh Kinahrejo.
Hanya berdua dengan Jendro yang menabuh kendang, Ki Broto menciptakan tari. Jendro
selalu memainkan kendang dengan mata terpejam. Namun, sungguh aneh, dengan mata
terpejam itu, irama entakan kendang selaras dengan gerakan tari Ki Broto. Rupanya Jendro
selalu bisa menemukan gerak tari Ki Broto dengan mata hati.

Wajah Ki Broto menampakkan kegelisahan. Ia masih mencari-cari gerak yang selaras


entakan kendang.

***

Langit senja menyibak awan, menampakkan puncak gunung. Laksmita duduk di pendapa,
seorang diri dengan secangkir kopi hangat. Ki Broto masih menari di gedung pertunjukan,
hanya berdua dengan Jendro, yang terus menabuh kendang. Bagas yang baru pulang duduk di
sisi Laksmita.

Lelaki muda itu meminum setengah gelas kopi yang sudah Laksmita teguk, dan berbisik,
“Ibu, sampaikan pada Ayah, untuk melamar gadis pujaanku.”

Laksmita memandangi anak lelakinya yang gagah berkumis, bermata jenaka. “Siapa?”

“Sekar.”

“Putri sang profesor?”

“Bukankah Ibu hanya mengenal dia sebagai gadis pilihan hatiku?”

Langit senja yang cerah itu kini merah tembaga. Senyap. Laksmita merasakan kekosongan. Ia
bakal ditinggalkan anak lelaki kesayangannya. Bagas akan segera menikah. Anak sulung itu
akan meninggalkan padepokan.

Mendadak Laksmita merasakan padepokan yang senyap. Dewanti, anak gadis itu, lebih dekat
dengan ayahnya.

Duduk seorang diri di pendapa, Laksmita merasakan kekosongan hati. Ia tak pernah menduga
Bagas akan segera melamar Sekar, putri sang profesor, dan menikahinya. Memang sudah dua
puluh enam umur Bagas. Bahkan sudah memiliki rumah di kota, di sebuah perumahan, yang
diangsur tiap bulan. Tentu sebuah rumah kecil, tak seluas padepokan. Namun rupanya Bagas
menikmati tinggal di rumah itu. Ia tak terlalu jauh mencapai kantor redaksi.

Ki Broto sudah berhenti menari. Memasuki pendapa. Duduk di sisi Laksmita. Menikmati
kopi yang dingin. Ia tak ingin menegur istrinya yang terdiam memandangi langit lereng
gunung yang merah tembaga. Ki Broto masuk kamar, mengambil seruling pemberian Abah
Ajisukmo. Ia meniup seruling itu pelan, mengenang kematian Abah Ajisukmo dan seluruh
kebaikan yang pernah dilakukan. Tiupan seruling itu tipis, pelan, dan menyentuh hati
Laksmita.

“Tadi Bagas berpesan padaku, dia meminta kau melamarkan Sekar,” kata Laksmita, pelan,
ketika tiupan seruling Ki Broto berhenti.

Ki Broto mengangguk. Tersenyum. Ia sudah sangat mengenal sang profesor dan anak
gadisnya, Sekar, yang sesekali menabuh gamelan di padepokan. Ia tak menduga bila mesti
melamar Sekar, anak gadis yang memikat, dan akan menjadi besan sang profesor. Dia
melanjutkan meniup seruling.

Seekor burung perkutut terbang dari dahan pohon randu alas hinggap di pangkuan Laksmita.
Begitu jinak. Laksmita teringat, dulu, ketika mengandung Bagas, seekor burung perkutut
hinggap di pangkuannya. Perkutut itu dia tangkap, dia masukkan ke dalam sangkar. Hingga
burung perkutut itu terbang lagi meninggalkan sangkar ketika Bagas lahir.

Kini Bagas ingin menikahi Sekar, dan tentu bakal meninggalkan orang tua, kembali datang
seekor burung perkutut.

“Kau tak ingin menangkap perkutut itu?” tanya Ki Broto.

Lama Laksmita memandangi perkutut di pangkuannya, bimbang, dan menggeleng. “Biar dia
hidup bebas di alam.”

Burung perkutut lama bertengger di pangkuan Laksmita, turun ke lantai pendapa, dan terbang
ke pelataran. Burung itu mengepakkan sayap, hinggap di dahan pohon randu alas. Langit
senja merah tembaga pelan-pelan surut. Suara seruling Ki Broto dari pendapa terus terdengar
hingga rumah-rumah di luar padepokan. Suara seruling itulah yang menggugah perasaan
kehilangan Laksmita, yang bakal ditinggalkan anak lelaki kesayangan.

Anda mungkin juga menyukai