Anda di halaman 1dari 12

NILAI-NILAI KEJUANGAN YANG DILAKUKAN PANGERAN HIDAYATULLAH

UNTUK TANAH BANJAR

Desy Dahrina Fitri

Program Studi Pendidikan IPS, FKIP Universitas Lambung Mangkurat

1910128120018@ulm.ac.id

ABSTRAK

Sultan Adam menominasikan Pangeran Hidayatullah sebagai Sultan Banjar untuk


menggantikan dirinya dan melanjutkan kekuasaan Kesultanan Banjar (Sultan Adam). Dari
tahun 1859 hingga 1862, Pangeran Hidayatullah adalah satu-satunya pemimpin rakyat Banjar.
Pangeran Hidayatullah juga dikenal menyebarkan agama Islam sebagai ulama. Selama
pemerintahan Belanda di Kalimantan, Pangeran Hidayatullah adalah seorang Sultan Banjar
yang taat yang terkenal karena penentangannya yang gigih terhadap kolonialisme Belanda.
Banyak orang mengidentifikasi Pangeran Hidayatullah karena memiliki karakter patriotik,
yaitu cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan rasa
hormat yang tinggi terhadap tanah airnya, khususnya Banjar. Fakta bahwa nama Pangeran
Hidayatullah diabadikan pada sejumlah sarana dan prasarana menggambarkan pentingnya
dirinya. Pangeran Hidayatullah lahir di Martapura,1822 dan wafat 24 November 1904 pada
umur 82 tahun di Cianjur, Jawa Barat.

Kata Kunci: Nilai kejuangan, Pangeran Hidayatullah, tanah Banjar

PENDAHULUAN

Dalam konteks artikel ini, nilai perjuangan setara dengan nilai patriotisme dan
nasionalisme (Zen, M. 2012). Kedua prinsip ini akan dibahas dalam rangka memberikan
landasan pemahaman tentang nilai-nilai perjuangan Pangeran Hidayatullah. Ada tiga macam
kata patriot menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005): patriot, patriotik, dan
patriotisme. Jika patriot diartikan sebagai pecinta dan pembela tanah air, patriotik diartikan
sebagai pecinta tanah air, dan patriotisme diartikan sebagai semangat cinta tanah air.

Di Indonesia, patriotisme diwujudkan melalui konkretisasi nilai, seperti "kebebasan


atau kematian"; "jangan menyerah"; "rawe-rawe rantas, Malang-malang putung" (Jawa);
“waja sampai kaputing” (Banjar: kerja/pertempuran dari awal sampai akhir, sampai tetes
darah terakhir), dan seterusnya. Aksi Komposer seperti “Halo-halo Bandung”, “Maju Tak
Gentar”, “Sepasang Bola Mata”, dan lain-lain, dengan menghasilkan lagu-lagu perjuangan
yang membakar semangat perjuangan, seperti “Halo-halo Bandung”, "Maju Tanpa Gentar",
"Sepasang Mata Bola", dan seterusnya. Chairil Anwar dan penyair lainnya muncul di dunia
sastra dengan puisi yang menekankan kemerdekaan, kebebasan, dan anti-kolonialisme. Jika
patriotisme diartikan sebagai keseluruhan karakter suatu bangsa, maka istilah tersebut
memiliki arti penting. Tujuannya adalah untuk memiliki semangat juang demi kenikmatan
permainan (Budiyono, K. 2007).

Nilai perjuangan sering diartikan sebagai nilai kepahlawanan, yang menggambarkan


seseorang atau sekelompok pahlawan yang menjadi teladan dalam bentuk keberanian,
kesediaan untuk berkorban, pantang menyerah, kebersamaan, dan kesetaraan, sebagai wujud
cinta terhadap sesama. tanah air (patriotisme) dan bangsa (nasionalisme). Selain itu, salah
satu tanggung jawab kita sebagai penerus adalah menanamkan kesadaran sejarah. Akibatnya,
semakin besar pemahaman sejarah masyarakat, maka semakin besar pula partisipasinya,
khususnya dalam pembangunan untuk mencapai tujuan nasional. Meningkatkan kesadaran
publik melibatkan tidak hanya menanamkan pemahaman publik tentang situasi, tetapi juga
menciptakan keterlibatan dalam keberlanjutan jangka panjang masalah. Yang dibutuhkan
adalah komunitas yang aktif untuk mengawasi masalah tersebut. (Handy, M. R. N., 2015).

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode studi
literatur. Studi literatur merupakan metode dalam mempelajari hasil penelitian yang telah ada
dengan tujuan untuk mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Metode ini
mengutamakan segi kualitas data yang mana sumber–sumber yang didapat diperoleh dari
jurnal penelitian dan buku–buku dan sumber-sumber lainnya yang relevan. Tujuan dari
metode studi literatur ini ialah untuk membuat deskripsi tentang fakta dan penjelasan teori
dari jurnal penelitian tersebut ke dalam teks konseptual ini. Teknik pengumpulan data
dilakukan secara induksi yaitu dengan cara menarik kesimpulan dari kenyataan-kenyataan
yang bersifat individual. Hasil dari analisis ini akan lebih menekankan pada makna daripada
generalisasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam arti luas, patriotisme didefinisikan oleh Kementerian Pendidikan Nasional


(2010) sebagai gaya berpikir, bertindak, dan bertindak yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
budaya bangsa. lingkungan politik. Pentingnya pertempuran Pangeran Hidayatullah akan
dijelaskan menggunakan konsep ini. Berikut rangkuman prinsip-prinsip yang menjadi ciri
perjuangan Pangeran Hidayatullah dan mencontohkan patriotisme, yaitu nilai-nilai cinta
tanah air yang diungkapkan melalui nilai-nilai agama, nilai-nilai persatuan (patriotisme), dan
nilai-nilai persahabatan (cinta damai).

A. Nilai Religius
Nilai-nilai religius dapat diartikan sebagai segala pikiran, perkataan, dan
tindakan seseorang yang dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agama
(Aqib, Z. dan Sujak. 2011). Pangeran Hidayatullah telah dididik dalam pendidikan
agama Islam sejak kecil, dan ia dikenal memiliki moral yang kuat dan pemahaman
yang mendalam tentang agamanya, Islam. Beliau adalah seorang jamaah yang
beriman dengan reputasi yang baik yang sangat disukai oleh para ulama dan
masyarakat Banjar. Dia menggunakan strategi amal untuk memerangi perang Islam.
Dia juga seorang yang taat beibadat, berakhlak terpuji dan disenangi kalangan luas
kaum ulama dan masyarakat Banjar. Ia mengorbankan perang jihad dengan taktik
beratib-beramal.
Sultan Adam memilih Pangeran Hidayatullah sebagai penguasa agama. Sifat
religius dan keahlian Pangeran Hidayatullah terlihat jelas dari keputusan ini. Karakter
Pangeran Hidayatullah-lah yang membuat Sultan Adam Al Wasik Billah
mengangkatnya sebagai raja agama, dengan seluruh perkebunan kesultanan dan
daerah perburuan sebagai warisannya.
Pangeran Hidayat adalah seorang pecinta bangsa yang berbakti, selain berbakti
dan religius dalam beribadah (patriot). Dia juga orang pintar yang senang membantu
orang lain, membuatnya dihargai semua orang (H.G. Mayur. 1979). Cita-cita
keagamaan Hidayatullah adalah suka menolong, berakhlak mulia, dan mencintai
bangsanya, yang semuanya itu mengangkatnya ke posisi yang tinggi, terutama sebagai
"sultan" bagi orang Banjar.
Semangat keagamaan Hidayatullah terlihat saat ia menolak tawaran uang dari
Belanda. Belanda berpikir bahwa uang akan membujuk Hidayatullah untuk berubah
pikiran tentang Belanda. Hal ini ditunjukkan oleh informasi dari Middelburgschte
Courant (13 Maret 1861), yang menyatakan bahwa setelah dua tahun pertempuran,
banyak orang tewas, tetapi tidak ada hasil pasti yang dicapai. Beberapa tentara
Belanda menjadi kecewa dan putus asa. Belum ada komandan yang ditangkap;
Hidayatullah, Antasari, Tumenggung Surapati, dan Demang Lehman semuanya masih
hidup dan berjuang untuk menggulingkan Belanda. Kegagalan Belanda membujuk
Hidayatullah untuk menyerah sangat mengecewakan dan menyakitkan, dan akibatnya
Belanda sendiri dipermalukan.
Pangeran Hidayatullah adalah seorang Muslim yang taat dan teguh pendirian
dalam isu-isu agama (istiqomah). Hal itu terlihat saat ia menolak bekerja sama dengan
Belanda meski ditawari jabatan yang menggiurkan. "....hardnekkig blijft volharden
om zich te onttekkren aan iedere samenwerking met den vertegenwoordiger van het
Nederlansch-Indisch Gouvernment...", seperti dicatat Van Rees. (ia menahan tengkuk
/ kaku untuk menolak kerjasama apapun dengan perwakilan Pemerintah Hindia
Belanda) (Rees, W.A. Van. 1865).
Dalam perjuangannya, Pangeran Hidayatullah adalah orang yang tidak pernah
berniat untuk membuat kesepakatan dengan pemerintah Belanda, sampai ia dijebak,
disesatkan, ditangkap, dan dibuang ke Cianjur, menurut informasi Van Rees.
Pangeran Hidayatullah telah bersumpah untuk mengobarkan jihad melawan Belanda.
Dia memerintahkan orang-orang untuk memerangi orang-orang kafir dalam Perang
Sabil, menjanjikan kesyahidan jika mereka melakukannya (Belanda).
Dalam Islam, perang sabil mengacu pada pertempuran atas nama Allah.
Mereka yang mati dalam pertempuran dijamin keselamatan kekal. Pemahaman yang
besar tentang Hidayatullah tidak diragukan lagi merupakan titik awal perjuangan jihad.
Ia memercayai janji Tuhan kepada umatnya yang sedang mengalami masa-masa sulit.
Hidayatullah memiliki nilai-nilai agama dalam konteks ini, yakni seseorang yang
mengamalkan agama karena pemahaman agamanya yang luas.
Pangeran Hidayatullah diberi gelar "pendeta berjubah kuning" saat diasingkan
di Cianjur. Ia menciptakan masyarakat Cianjur, khususnya daerah pengasingan,
selama di pengasingan melalui ajaran agama Islam. Dia melakukan ceramah agama
dan berpartisipasi dalam berbagai acara keagamaan di Masjid Agung Cianjur secara
teratur. Menurut beberapa sumber, Hidayatullah membangun pesantren saat
diasingkan di Cianjur.
Kegiatan keagamaan dilanjutkan setelah Hidayatullah wafat di Cianjur, dan
dijalankan oleh anak-cucunya. Beberapa di antaranya membuat panti jompo dan
membangun madrasah ibtidaiyah (MI) (sejak ditutup). Mereka juga memberikan
bingkisan kepada anak yatim dan dhuafa pada kesempatan kedatangan Pangeran
Hidayatullah.
B. Nilai Cinta Tanah Air (Patriotisme)
Patriotisme adalah cara berpikir, bertindak, dan berperilaku yang
menunjukkan pengabdian, kepedulian, dan kekaguman yang besar terhadap
lingkungan bahasa, fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa (Syaharuddin,
S., 2020). Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan komitmen Hidayatullah terhadap
politik, serta kepedulian dan penghargaannya yang tinggi terhadap politik.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Pangeran Hidayatullah adalah orang
sentral dan simbol kekuatan rakyat, dan cita-cita perjuangan Pangeran Hidayatullah
dalam aspek nilai-nilai patriotisme dapat dilihat dalam perjuangannya. Kata-kata
Pangeran Ali Basah termasuk dalam karya Van Rees: "Jika Hidayat lenyap, kita tidak
akan lagi memiliki matahari dan bulan, karena Hidayat adalah payung kita." Hidayat
adalah tokoh pemersatu selama Perang Banjar, sebagaimana tersirat dalam garis ini.
Dia adalah penerus sah Sultan Adam, dan dengan kepergiannya, orang-orang yang
memberontak kehilangan pilar dukungan mereka; dia adalah seorang pemimpin
agama, dan dengan kepergiannya, para pemimpin kehilangan senjata paling ampuh
mereka untuk menghasut rakyat; dan dengan kepergian Hidayat, hilang semua cita-
cita untuk mengembalikan Kesultanan. Dengan kepergian Pangeran Hidayat hilanglah
semua cita-cita, Hasrat suci berlebihan yang mendorong semangat dan penyebab dari
perang.
Pernyataan Van Hengst yang menyiratkan bahwa Hidayat adalah orang yang
cenderung menentang pemerintah Belanda, juga mengungkapkan pandangan patriotik
Pangeran Hidayatullah. Dia terang-terangan anti-Belanda. Ungkapan ini menunjukkan
bahwa Hidayat sejak awal tidak menyukai Belanda. Bahkan, ketika Van Hengst pergi
ke Martapura suatu hari dan melihat sebuah perahu milik Pangeran Hidayatullah, ia
merasa terhina. Dia terkejut ketika melihat bendera Belanda disampirkan di atas
bendera Sultan. Hidayatullah bermaksud menetapkan bahwa orang Banjar memiliki
kedudukan yang lebih baik daripada orang Belanda dalam analisis semiotika.
Hidayatullah juga mengambil posisi melindungi sejumlah besar buruh
hukuman rantai yang telah meninggalkan tambang batu bara Belanda di wilayahnya.
Dia hanya membuat komitmen kosong untuk mengekstradisi mereka ke Residen.
Hidayatullah dikatakan tidak memiliki keahlian dalam pemerintahan dan hanya
bersembunyi di Karang Intan, tidak pernah berusaha untuk mendapatkan perhatian
pemerintah, menurut sumber lain (Kielstra, E.B. 1910). Pernyataan ini menunjukkan
sikap keras dan berani Hidayatullah terhadap Belanda, terlihat dari penolakannya
untuk bekerja sama dengan mereka dalam hal apapun.
Beberapa tindakan Hidayatullah cukup untuk menunjukkan betapa ia
mencintai tanah airnya (patriotisme) di hadapan bangsa lain (Belanda) yang berusaha
menguasai. Akibatnya, berbagai metode memerangi Belanda digunakan. Dimulai
dengan sikap seseorang terhadap perlawanan senjata api.
Pada masa perang Banjar, Hidayatullah secara paksa menolak ultimatum
Nieuwenhuijzen pada 13 Maret 1860. Ia berpegang teguh pada keyakinan kakeknya
Sultan Adam bahwa ia adalah satu-satunya yang berhak atas takhta Kesultanan
Banjarmasin, sebagaimana tercantum dalam wasiat kakeknya. "...Saya tidak ingin
negara saya hancur dan rakyat saya tidak bahagia" (Sjamsuddin, Helius. 2001).
Hidayatullah adalah pribadi yang patriotik, menurut kalimat ini. Seseorang yang
memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah airnya dan menderita akibat tindakan
sewenang-wenang penjajah. Karena itu, ia terus berupaya membuat rakyatnya senang.
Hidayatullah, menurut Meijer, mendapat dukungan yang cukup besar dari elit
bangsawan (elite prinsen) dan otoritas keagamaan (de geestelijkheid) Islam, yang
keduanya cukup menonjol di kalangan masyarakat umum. Mereka hanya bisa
menerima Hidayatullah sebagai Sultan karena orang tuanya berasal dari kalangan
bangsawan, bukan saudara tirinya Tamjidillah (stiefbroer), yang adalah "pangeran
bajingan" (basterdprins) yang ibunya dari kaum tani (Tichelman, G.L. 1949).
Hidayatullah menjadi perekat warga Banjar, demikian komentar Meijer.
Dibandingkan dengan Tamjidillah, ia memperoleh posisi yang memperkuat
Hidayatullah karena faktor genetik, mencegahnya menjadi pangeran, apalagi sultan.
Belanda mengantisipasi bahwa Pangeran Hidayatullah yang saat itu dianggap
mangkubumi dapat menjadi "perisai" atau "perunding" yang tangguh bagi perdamaian
kedua belah pihak ketika pecah perang Banjar. Hidayatullah, di sisi lain,
meninggalkan Martapura (istana) dan bergabung dengan pejuang lain di Hulu Sungai
(Bondan, Amir Hasan Kiai. 1953). Dia mengobarkan perkelahian rakyat di semua
sektor kekuatan tempur, termasuk Martapura, Banua Lima, Tanah Laut, dan Barito,
selama di Hulu Sungai (Jumri, 1975). Hidayatullah adalah pemain kunci dalam
perlawanan Banjar selama konflik. Dia bergabung dengan komandan pemberontak
lainnya dan orang-orang Hulu Sungai setelah meninggalkan Martapura (Benua Lima).
"Amuntai menjadi inti kekuatan musuh," kata Van Rees lagi (“Amoenthay, het
centrum der vijandelijke magt”).
Partisipasi Hidayatullah sangat penting baik sebelum dan selama konflik
Banjar, seperti yang dapat ditunjukkan. Bersama Pangeran Antasari, ia berada di
jantung perlawanan Perang Banjar. Karena keberadaannya di Hulu Sungai, daerah
tersebut, khususnya Amuntai, menjadi titik fokus pasukan pemberontak Perang
Banjar.
Ketika Pangeran Hidayatullah diangkat menjadi Sultan Banjar di Hulu Sungai,
nilai-nilai persatuan tampak jelas. Bagi masyarakat Banjar, ia telah menjadi nilai
pemersatu. Pangeran Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Banjar, menurut sumber
Koloniaal Verslag. Penobatan sudah dilakukan sebelum rombongan yang dipimpin
Syarif Husin tiba di Amuntai pada November 1859. Penobatan itu diselenggarakan
oleh para sesepuh (pemuka masyarakat dan peziarah). Hidayatullah adalah seorang
Sultan Banjar yang mendukung para pejuang. Bahkan Antasari pun mengakuinya.
Kesultanan Banjarmasin resmi dibubarkan pada tanggal 11 Juni 1860, ketika
Nieuwenhuijzen mengeluarkan proklamasi yang menyatakan kepunahan Kesultanan.
Dari sudut politik, kerajaan Banjar ditempatkan di bawah yurisdiksi langsung
pemerintah Belanda. Kesultanan, bagaimanapun, terus ada untuk tentara Banjar di
bawah Sultan Hidayatullah. Di Kalimantan Selatan dan Tengah, mereka akan terus
berperang dan mengobarkan perang gerilya yang sudah berlangsung lama.
Menurut pandangan ini, Pangeran Hidayatullah adalah tokoh utama dalam
perlawanan perang Banjar. Bagi masyarakat Banjar, ia menjadi sosok pemersatu.
Keputusan Belanda untuk membubarkan Kerajaan Banjar menyulut keinginan
masyarakat Banjar untuk menentang "sultan" yang mereka miliki sebagai penguasa
mereka, Hidayatullah.
Perang Banjar telah dimulai. Ada dua medan pertempuran besar. Medan
pertempuran pertama, dipimpin oleh Hidayatullah sendiri, membentang di Hulu
Sungai, Riam Kanan dan Kiri, dan Tanah Laut. Dia mendapat banyak bantuan dari
banyak pemimpin perlawanan dan pengikut mereka, termasuk Demang Lehman,
"jenderalnya". Pertempuran kedua terjadi di tanah hulu Dusun Hulu di sepanjang
Sungai Barito, dipimpin oleh Antasari dan anak-anaknya, termasuk iparnya
Temenggung Surapati dan anak-anaknya.
Sebagaimana dinyatakan dalam keterangan tersebut, keterlibatan Pangeran
Hidayatullah dalam Perang Banjar dapat dibenarkan karena ia merupakan tokoh
perang Banjar bersama Pangeran Antasari pada masa perlawanan Belanda. Dalam
melakukan perlawanan, ia menjadi pemimpin kekompakan masyarakat Banjar. Nilai-
nilai kebersamaan Hidayatullah sangat terlihat. Ia menjadi kekuatan pendorong di
balik perang Banjar. Saat itu, masyarakat Kalsel perlu membangun semangat juang.
Pangeran Hidayatullah melanjutkan pertempuran dengan melakukan
perjalanan antara Maret 1860 dan Desember 1861. Ia menempuh jarak 300 kilometer
antara Lima Benua dan Tanah Laut. Dalam beberapa kesempatan, ia diyakini berada
di perbatasan kerajaan kecil Kusan, Cantong, Bangkalan, dan Pasir di pantai timur
Kalimantan. Dia juga dikatakan telah bersama Antasari dan pemimpin pemberontak
lainnya termasuk Pangeran Aminullah dan Demang Lehman (waktu Mei 1860). Nilai-
nilai perjuangan Hidayatullah terlihat jelas ketika ia terus berjuang meski harus
menempuh jarak yang sangat jauh untuk menghindari pengawasan Belanda, kemudian
menyusun strategi perang dengan tokoh perlawanan lainnya seperti Pangeran
Aminullah dan Demang Lehman.
Pengorbanan Hidayatullah adalah untuk membantu membiayai perang sebagai
tanda cinta tanah airnya. Karena tidak punya waktu untuk menanam padi, ia
menawarkan emas untuk membeli senjata dan komoditas lainnya. Tentara Belanda
sengaja membakar lumbung, bersama dengan beras atau beras, merampas makanan
para pejuang. Mereka menggunakan perang gerilya atau membangun benteng untuk
mempertahankan diri, tetapi mereka selalu ditangkap atau toko makanan mereka
dibakar. Akibatnya, Anda dapat berasumsi bahwa mereka sangat kesakitan, tidak
hanya karena diburu sebagai mangsa, tetapi juga karena kelaparan. Hidayatullah juga
telah dikejar atau diusir dari tempat persembunyiannya.
Aspek menarik ketiga dari peran Hidayatullah sebagai panglima perang Banjar
adalah setelah ia ditahan dan akan diasingkan ke Cianjur, ia melarikan diri sebagai
bukti bahwa ia adalah seorang individu yang gigih yang tidak pernah menyerah dan
terus berperang melawan Belanda sebagai manifestasi waja sampai kaputing.
Menurut laporan itu, di bawah pengaruh Demang Lehman, rakyat dan kepala
daerah Martapura yang lebih rendah sepakat bahwa berperang dan mati lebih baik
daripada membiarkan Hidayatullah meninggalkan negari itu.
Akhirnya, Koch melaporkan situasi itu kepada Verspijck di Banjarmasin
dalam sebuah surat. Verspijck berangkat dari Banjarmasin setelah menerima surat
dari Koch, namun sudah terlambat karena ia sampai di Martapura pada pukul 14. pada
3 Februari, Hidayatullah telah menghilang.
C. Nilai Bersahabat (Cinta Damai)
Nilai persahabatan (cinta damai), menurut Depdiknas (2010), merupakan
tindakan yang menunjukkan rasa senang dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan
bekerjasama dengan orang lain. Pangeran Hidayatullah memiliki kepribadian yang
damai yang tercermin dari kesiapannya bekerja sama dengan orang lain untuk
menjaga tanah airnya. Beberapa di antaranya bekerja bersama Pangeran Antasari,
Datu Aling, dan Tumenggung Jalil, serta Temenggung, untuk bersama-sama melawan
Belanda.
Ketika Pangeran Hidayatullah memercayai Pangeran Antasari untuk
berkolaborasi dengan Panembahan Muda Datu Aling, Ketua Gerakan Muning di
Kabupaten Muning, ia menunjukkan semangat perdamaiannya. Sementara itu,
Hidayatullah mengambil alih komando wilayah Banua Lima yang dipimpin oleh Jalil.
Pemberontakan Jalil di Banua Lima pada September 1958 dipicu oleh keengganannya
membayar pajak kepada Adipati Danu Raja, penguasa daerah Banua Lima. Pangeran
Hidayatullah sebagai Mangkubumi diperintahkan menangkap Jalil, tetapi
Mangkubumi Pangeran Hidayatullah setelah tiba di Amuntai bukan menangkap Jalil,
tetapi justru menyusun kekuatan dan memperkuat kedudukan Jalil. Jalil diberi gelar
Kiai Adipati Anom Dinding Raja. Sebagai tindak lanjut dari pemberian gelar ini,
Mangkubumi mengukuhkan jabatan tersebut dengan memberikan tanda kebesaran
kerajaan berupa bendera kuning, payung kuning, sebuah tombak balilit dan sebuah
pedang (Usman, A. Gazali. 1995). Setelah Jalil menjadi pengikut Mangkubumi
Pangeran Hidayatullah, maka selanjutnya Hidayatullah melakukan rapat- rapat rahasia
bersama-sama pemimpin gerakan yang menentang Belanda.
Pasukan Pangeran Hidayatullah yang telah tersebar di seluruh Barabai
kemudian bergabung dengan pasukan Tumenggung Jalil dan mampu melawan
manuver tentara Belanda di Pantai Hambawang. Kapten de Jong seorang kapten
Belanda, tewas dalam pertempuran Lampihong.
Menurut Sjamsuddin (2014), perang Banjar adalah cerita dimana Hidayatullah,
tokoh utama, bekerja sama dengan Antasari untuk melawan Belanda. Di bawah
bimbingan Pangeran Hidayatullah, wilayah Hulu Sungai, Riam Kanan dan Kiri, dan
Tanah Laut tercakup. Dia mendapat banyak bantuan dari banyak pemimpin oposisi
dan pengikut mereka, seperti Demang Lehman. Tanah di sepanjang sungai Barito
hulu hingga Dusun Hulu itu dipimpin oleh Pangeran Antasari, termasuk Temenggung
Surapati dan putra-putranya.
Hidayatullah terlihat memiliki nilai karakter kooperatif di bagian ini, yang
memungkinkan dia untuk menyatukan elemen-elemen yang berbeda. Hidayatullah, di
sisi lain, adalah sosok pemersatu di Banua Banjar yang berpotensi mempertemukan
pemimpin-pemimpin yang berbeda.
Bantuan pasukan Belanda tiba pada tanggal 15 Mei 1860. Kemudian kembali
ke Sungai Tabalong. Tentara Belanda diserang oleh penduduk setempat di sepanjang
sungai yang mereka lalui sebelum mencapai Tabalong. Terjadi pertempuran dengan
Pasukan Tumenggung Jalil ketika mereka tiba di daerah Tabalong. Perlawanan rakyat
begitu kuat sehingga pasukan Belanda terpaksa mengungsi ke kabupaten Kalua dan
Amuntai. Belanda berhasil merebut Tabalong pada bulan Juni 1860. Pasukan Hidayat,
pasukan Jalil, dan pasukan Pangeran Antasari, Tumenggung Surapati yang terletak di
Tanah Dusun, melawan tentara Belanda.
Nilai gotong royong Hidayatullah terlihat jelas ketika ia mampu bekerja sama
dengan pasukan Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati yang ditempatkan di
Tanah Dusun untuk melawan Belanda. Yuwono (2019) dalam tesisnya menyatakan
bahwa penangkapan Pangeran Hidayatullah oleh pemerintah Belanda pada puncak
perang Banjar memacu rakyat Banjar untuk melawan perlawanan Belanda dalam
waktu yang lama, membutuhkan banyak tenaga dan uang bagi Belanda untuk
melakukan perlawanan. akhir untuk itu. Banyak pemimpin pemberontak dari sekte
Barito di pedalaman Kalimantan yang jelas-jelas masih berorientasi dan pengikut
Hidayatullah. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa nilai-nilai kerjasama
Hidayatullah jelas terlihat dalam upaya kerjasamanya dengan beberapa tokoh di
sepanjang aliran Sungai Barito dan Hulu Sungai.
Demikian pula pernyataan Subiyakto (2019) tentang pentingnya kerjasama
Hidayatullah selama masa perlawanan kolonial, bahwa ia melakukan banyak
kemitraan selama perlawanan, terutama dengan Pangeran Antasari, disebutkan di
bawah ini:
“Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari adalah saudara,” kata narator.
Karena hubungan darah, keduanya masih berhubungan. Mereka berdua tahu bahwa
dalam hal suksesi kekuasaan, nenek buyut mereka menghadapi gesekan, jika bukan
konflik langsung. Namun, tidak ada satu pun yang menyebutkan tentang hubungan
mereka sepanjang sejarah mereka, terutama selama Perang Banjarmasin. Mereka
menunjukkan keintiman, saling menghormati, dan kerja tim yang sangat baik. Tidak
pernah ada permusuhan atau persaingan di antara mereka. Yang tak terduga adalah
bahwa keturunan mereka mengalami "perpecahan" pada periode ini. Karena ada
pihak-pihak yang sengaja membandingkan keduanya secara diametral, ini
kemungkinan. Satu pihak menentang Pangeran Hidayatullah, sementara pihak lain
mendukungnya Pangeran Antasari. Hal ini harus segera disadari dan di akhiri”.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kedua tokoh tersebut memiliki peran
yang sama dalam Perang Banjar, bahkan menunjukkan suatu bentuk kerjasama (cinta
damai) di antara mereka, oleh karena itu sungguh ironis jika ada dua kelompok
masyarakat di banua ini yang justru menarasikan kedua tokoh tersebut justru saling
berlawanan.

SIMPULAN

Pada masa Perang Banjar, nilai-nilai perjuangan Pangeran Hidayatullah


tergambar secara detail melalui nilai-nilai agama, nilai-nilai persatuan (patriotisme),
dan nilai-nilai persahabatan (cinta damai), yang kesemuanya identik dengan nilai
kerjasama dengan para pejuang lainnya seperti Antasari, Demang Lehman,
Tumenggung Surapati, dan lain-lain (1859-1860). Nilai-nilai yang ditemukan
menegaskan bahwa Pangeran Hidayatullah memiliki karakter patriotik, yang
didefinisikan sebagai cara berpikir, bertindak, dan berperilaku yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan rasa hormat yang tinggi terhadap tanah airnya (Banjar).
Tentu karakter ini penting ketika bangsa ini tengah mengalami degradasi moral,
khususnya nilai-nilai kebangsaan, patriotisme, dan kesatuan (integration). Pengusulan
Pangeran Hidayatullah menjadi pahlawan nasional menjadi penting dalam konteks ini
untuk memberikan inspirasi bagi generasi muda bangsa saat ini melalui narasi peran
Pangeran Hidayatullah dalam melawan imprealisme dan kolonialisme barat pada
akhir abad 17.

DAFTAR PUSTAKA

Aqib, Z. dan Sujak. 2011. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung:
Yrama Widya.

Bondan, Amir Hasan Kiai. 1953. Suluh Sejarah Kalimantan. Banjarmasin: Fadjar.

Budiyono, K. 2007. Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia.


Bandung: Alfabeta
H.G. Mayur. 1979. Perang Banjar. Banjarmasin: C.V. Rapi.

Handy, M. R. N. (2015). Pendidikan Sejarah dan Isu Kebangsaan.

Jumri. Sejarah Kerajaan Banjar. Singapura: Alahmadiah Press.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2005. Semarang: CV. Widya Karya.

Kielstra, E.B. 1910. De Bandjermasinsche Sultanspartij. Harleem: Bohn.

Rees, W.A. Van. 1865. De Bandjermasinche Krijg van 1859- 1863. Jilid II. Arnhem:
D.A. Thieme.

Sjamsuddin, Helius. 2001. Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan
Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906.
Jakarta: Balai Pustaka.

Syaharuddin, S. (2020). Turnitin-Nilai-Nilai Nasionalisme Perjuangan Hassan Basry


Sebagai Sumber Belajar Sejarah.

Tichelman, G.L. 1949. Blanken Op Borneo. Amsterdam: A.J.G. Strengholt.

Usman, A. Gazali. 1995. Kerajaan Banjar Sejarah Perkembangan Politik Ekonomi


Perdagangan dan Agama Islam. Banjarmasin: Lambung Mangkurat University
Press.

Zen, M. 2012. “Nilai Kejuangan Bangsa Indonesia sebagai Perekat Negara Kesatuan
dalam Peningkatkan Keberdayaan Masyarakat Nelayan di Daerah Perbatasan
dan Pulau- Pulau Kecil Terluar”. Ttp.

Anda mungkin juga menyukai