Anda di halaman 1dari 3

Berketuhanan yang Welas Asih

Pada ranah pergaulan hidup kemasyarakatan, para pendiri bangsa ini telah banyak
mencontohkan kesejatiannya tentang paham Ketuhanan yang welas asih dan toleran dalam
kehidupan sehari-hari. Bung Hatta misalnya, wakil presiden pertama ini semasa hidupnya
menjalin hubungan saling mengasihi dengan salah seorang tokoh Ahmadiyah, Sayyid Shah
Muhammad Al-Jaeni. Ketika Soekarno-Hatta diasingkan ke Pulau Bangka, Bung Hatta
mendapat kiriman buku-buku terbitan Jamaah Ahmadiyah dari Sayyid. Tidak hanya itu, saat
Sayyid sakit jantung dan dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, Bung Hatta bersama istrinya
pun datang menjenguk. (Latif, 2014: 43-44)

Sikap beragama yang welah asih tercermin pula dari keseharian K.H. Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah. Tokoh ini sangat menekankan pada ajaran kesalehan sosial yang
berlandaskan Surah Al-Ma’un (QS 107: 1-7). Surah ini mengajarkan bahwa ibadah ritual
seperti salat, puasa, haji, dan lainnya tidak akan bermakna manakala tidak disertai semangat
welas asih dengan kerelaan saling berbagi. Lebih tegas surah ini menyebut mereka yang
menelantarkan anak yatim dan tidak membantu orang-orang fakir miskin sebagai “pendusta
agama”. (Latif, ibid.)

Dalam rangka menekankan ajaran welas asih, Kiai Dahlan selalu mengulang Surah Al-Ma’un
di atas hingga suatu hari salah satu muridnya merasa bosan lalu mempertanyakan alasan Sang
Kiai mengulang-ulang materi pelajaran yang sama. Mendengar pertanyaan muridnya, Kiai
Dahlan lantas bertanya, “Apakah kalian sudah paham surah ini? Apakah kalian sudah
mempraktikkannya?” Sang Kiai kemudian menugaskan murid-muridnya mencari orang yang
paling miskin di sekitarnya untuk memandikan dan menyuapinya. (Latif, ibid).

Sinar kasih yang menembus batas-batas agama terpancar begitu kuat dari jiwa Y.B.
Mangunwijaya. Meski berbeda keyakinan keagamaan, Abdurrahman Wahid tanpa ragu
menyebut sosok Romo Mangun – sapaan Y.B. Mangunwijaya – sebagai “pribadi yang
mampu memancarkan sinar kasih keimanan dalam kehidupan umat manusia.” Bagi Gus Dur,
cinta kasih keimanan Romo Mangun mampu menembus sekat-sekat formalisme dan
simbolisme. Dalam dirinya keimanan tidak sekadar terbelenggu dalam ritual agama atau
simbol-simbol semata.

Romo Mangun adalah seorang rohaniawan sekaligus seorang arsitek yang pernah belajar di
Jerman. Salah satu karya kemanusiaan yang digagas dan dijalankan Romo Mangun yakni
penataan permukiman kumuh di Kali Conde, Yogyakarta. Selain penataan fisik
perkampungan kumuh, ia juga melakukan penataan kehidupan sosial masyarakat miskin di
sana. Bagi Romo Mangun kabar baik tidak terutama disampaikan melalui khotbah, melainkan
melalui kesediaan berkotor dan bergulat langsung di pusat kemiskinan, tempat orang-orang
sering merasa kehilangan harapan. Baginya, membangun kemanusiaan tujuannya adalah
mengembangkan kebaikan dan menjadikan manusia sebagai manusia yang baik. (Latif, 2014:
48-49)

Toleransi
Sikap ketuhanan yang penuh toleransi dengan menghargai beragam keyakinan diperlihatkan
oleh Bung Karno antara lain dalam hubungannya dengan Ahmadiyah. Meski banyak
perbedaan paham dengan ajaran Ahmadiyah, ia tetap menghormati keberadaan mereka dan
menghargai beberapa sumbangannya bagi keislaman dan kemanusiaan.
Dalam suratnya yang dikirim ke surat kabar Pemandangan pada 25 November 1936, Bung
Karno menulis tentang hubungannya dengan Ahmadiyah. Berikut penggalan-penggalan
pernyataan pokoknya:

Saya bukan Ahmadiyah. Jadi Mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiyah atau menjadi
propagandisnya, apalagi “buat bagian Celebes!” Sedangkan pelesir ke sebuah pulau yang
jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh tidak boleh!

Sikap saling menghormati diyakini para pendiri negara ini sebagai bagian dari kekuatan
bangsa. Dalam toleransi terdapat persahabatan dan hubungan sosial yang saling memuliakan.
Sikap saling menghormati yang tulus mampu menembus batas keyakinan, ideologi, ras, dan
etnis. Pemimpin Partai Masyumi yang terkenal sebagai tokoh Islam puritan, Mohammad
Natsir, diketahui memiliki hubungan persahabatan akrab dengan tokoh-tokoh Katolik dan
Kristen seperti I.J. Kasimo, Herman Johannes, AM Tambunan, dan Johannes Leimana. (Latif,
2014: 46).

Natsir juga bisa minum teh bersama tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit di
kantin parlemen. Bahkan setelah berdebat panas di konstituante, Natsir dan Aidit bisa makan
sate bersama di kantin. Padahal kita tahu paham politik keduanya sangat berbeda tajam, bagai
minyak dan air. Namun sebagai sesama manusia, keduanya saling menghormati dan saling
menghargai dalam ikatan persahabatan. (Latif, 2014: 68-69).

Sikap yang sama diperlihatkan pula oleh K.H. Wahid Hasjim. Salah satu tokoh NU ini
mampu berdiskusi berjam-jam hingga larut malam dengan seseorang yang disapa “Paman
Husein” yang tak lain adalah Tan Malaka yang berhaluan kiri. Wahid Hasjim menghormati
Tan Malaka, begitu juga sebaliknya. Meski berbeda pandangan politik tapi tidak membuat
keduanya saling menjauh apalagi membenci, justru mereka saling menghargai satu sama lain.
Wahid Hasjim juga mengembangkan toleransi positif dengan proaktif menjalin pergaulan
lintas aliran, lintas ideologi. Ia juga sering mengajak anak-anaknya berkunjung ke rumah
Soebardjo, atau menyambangi tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Prawoto
Mangkusasmita. Lebih dari itu, Wahid Hasjim juga rajin berkunjung ke rumah tokoh yang
berbeda paham, misalnya Mohammad Yamin dan Mr. Sartono dari Partai Nasional Indonesia.
Menurut Salahuddin Wahid, – salah seorang putra Wahid Hasjim – “Bapak hendak
menunjukkan kepada kami, ia tidak pernah membeda-bedakan orang” (Tempo, 2011: 32
dalam Latif, ibid.).

Dalam menerapkan sikap saling menghargai, Kiai Hasjim bisa menentukan secara dewasa
kapan bisa berbeda dan kapan bisa tetap bersaudara. Urusan politik tidak dicampuradukkan
dengan urusan pribadi. Beliau pernah menegur istrinya, Solehah, lantaran menolak memberi
tumpangan kepada seorang anggota Konstituante yang menyudutkan Kiai Hasjim dalam
sidang. Dengan jernih beliau mengingatkan istrinya, “Urusan pekerjaan dan pribadi tak bisa
dicampur-aduk,” ujarnya (Tempo, 2011: 58-59 dalam Latif, 2014: 70).

Abdurrahman Wahid – putra sulung Kiai Hasjim – dikenal sebagai pemimpin Muslim yang
sangat toleran dan menjalin pergaulan lintas agama. Bhikkhu Jayamedho berkisah tentang
kedekatan Gus Dur dengan komunitas Buddha dan menjalin persahabatan erat dengan
Bhikkhu Pannyavaro. “Setiap kali menjumpai umat Buddha selalu bertanya tentang
Pannyavaro. Presiden ini juga sangat suka humor. Salah satunya demikian, ‘Orang yang
berani masuk istana denganbertelanjang kaki tanpa sepatu hanyalah bhikkhu,’ katanya. Bante
Vin Vijano pernah ke istana dengan bertelannjang kaki” (Jayamedho, 2013: 208 dalam
Latif, ibid.).

Sikap saling menghargai dan menghormati dengan budaya silaturrahmi juga terjalin dengan
sesama muslim. Bung Hatta dan A. Wahid Hasjim biasa berbincang-bincang seusai salat
Jumat di masjid Matraman (Barton, 2012: 37 dalam Latif, ibid.). Pada masa revolusi fisik,
Kiai Hasjim yang berlatarbelakang NU menjadi penasihat pribadi Panglima Besar Soedirman
yang merupakan tokoh Muhammadiyah. Bahkan Gus Dur, ketika sekolah di Yogyakarta
dititipkan pada K.H. Juneidi, seorang tokoh Muhammadiyah yang menjadi anggota Majelis
Tarjih Muhammadiyah.
Toleransi yang dicontohkan para tokoh bangsa ini menunjukkan apa yang dinyatakan Natsir
sebagai “senantiasa mencari titik persamaan”. Karena itu, toleransi bersifat aktif. Prinsip
toleransi yang beliau kemukakan ini, pertama dipublikasikan dalam sebuah artikel berjudul
“Keragaman Hidup Antar Agama” yang terbit dalam majalah Masyumi, Hikmah, edisi
Februari 1945. Tentang hal ini, Natsir lebih jauh menulis:

Toleransi yang diajarkan oleh Islam itu, dalam kehidupan antar-agama, bukanlah suatu
toleransi yang bersifat pasif, ia itu aktif! Aktif dalam menghargai dan menghormati
keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari persamaan antara
bermacam-macam perbedaan. Bukan itu saja! Kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim
adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri. Apabila
kemerdekaan beragama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan beragama bukan bagi
orang yang beragama Islam, maka seorang Muslim diwajibkan untuk melindungi
kemerdekaan ahli agama tersebut agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan
menurut agamanya masing-masing, dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya.
(Yudi Latif, 2014: 71).

Anda mungkin juga menyukai