Anda di halaman 1dari 16

Nama Fitriani Wulandari

NIM 12130224649
Kelas IAT 5C
Mata Pelajaran Hadis Sosial Budaya

1. TOLERANSI BERAGAMA MENURUT BUYA HAMKA

Hamka berpendapat bahwa semua manusia diberikan kebebasan oleh Allah

SWT untuk memeluk agama apapun tanpa adanya paksaan Oleh karena itu, sesuai

dengan kandungan yang terdapat dalam QS AlKahfi Ayat 29, bahwa keimanan itu

adalah pilihan merdeka, atas persetujuan hati nurani dan akal sendiri, bukan

merupakan paksaan dari luar. Pilihan keimanan adalah pilihan atas kebenaran yang

berasal dari Tuhan.

Umat Islam menurut Hamka juga dilarang mencaci-maki sesembahan yang

disembah oleh orang Kafir karena itu akan menyebabkan mereka akan balik memaki

Allah dengan tanpa ilmu. Lebih baik ditunjukkan saja kepada mereka alasan yang

masuk akal bagaimana keburukan menyembah berhala atau tuhan selain Allah.

Hamka menjadikan Q.S. AlMumtahanah ( ) : 7-9 sebagai pedoman bagi umat Islam

untuk bergaul dan berinteraksi sehari-hari dengan komunitas lain di luar Islam. Umat

Islam dipersilahkan untuk bergaul dengan akrab, bertetangga, saling tolong-

menolong, bersikap adil dan jujur kepada pemeluk agama lain. Tetapi jika ada bukti

bahwa pemeluk agama lain itu hendak memusuhi, memerangi dan mengusir umat

Islam, maka semua yang diperbolehkan itu menjadi terlarang.

Batasan toleransi berdasarkan QS. AlMumtahanah (60) : 7-9 ini, pernah

disampaikan langsung oleh Hamka selaku ketua MUI kepada Presiden Soeharto pada

tanggal 17 September 1975. Hal ini berkaitan dengan peliknya hubungan antar agama

di Indonesia pada saat itu terutama antara Islam dan Kristen.


Hamka pernah menolak secara tegas ide tentang perayaan Natal bersama yang

digulirkan oleh pemerintah Orde Baru pada waktu itu dengan tujuan menjaga

kerukunan antar umat beragama. Hamka yang ketika itu masih menduduki jabatan

sebagai ketua umum MUI kemudian memfatwakan haram bagi kaum Muslim ikut

merayakan Natal Bersama. Akibatnya, karena berbeda pendapat dengan pemerintah,

Hamka kemudian lebih memilih untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum

MUI setelah menjabat hanya kurang dari dua bulan, karena mempertahankan

prinsipnya itu dengan tidak mau mencabut kembali fatwanya tentang haramnya

merayakan Natal bersama bagi kaum Muslim.

Hamka mengharamkan umat Islam merayakan Natal karena Natal adalah

kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah

akidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia

melakukan perbuatan yang tergolong musyrik, terang Hamka, “Ingat dan katakan

pada kawan yang tak hadir di sini, itulah akidah kita!”. Kemudian dalam masalah

pernikahan pada tanggal 1 Juni 1980 Hamka yang saat itu menjabat sebagai ketua

MUI menfatwakan bahwa haram pernikahan antara wanita Muslimah dengan laki-

laki non-Muslim. Hal ini karena perempuan tidaklah memiliki kekuasaan atas rumah

tangga, apalagi dalam agama lain tidak ada jaminan kebebasan yang luas bagi

perempuan sebagaimana dalam agama Islam.

Buya Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar pada QS. Yunus(10) 40-41,


menafsirkan ayat tersebut yakni umat Islam secara muamalah, masih diperbolehkan

berinteraksi dengan mereka. Namun dalam masalah aqidah, tak boleh ada kerja sama.

Dalam masalah ibadah, tak boleh ada kerja sama. Di atas kejahatan dan kerusakan

yang mereka lakukan, kaum Muslimin harus melepaskan diri dari mereka. Meskipun

mereka mendustakan Rasulullah ‫ﷺ‬, Allah ‫ ﷻ‬tidak memerintahkan memusuhi

mereka dengan kekerasan. Allah‫ﷻ‬hanya memerintahkan untuk melepaskan diri dari


apa yang mereka kerjakan.

2. PENDIDIKAN TOLERANSI MENURUT HADRATUS SYEKH KIAI H.


HASYIM ASY’ARI

Bicara toleransi tentu kita akan teringat dengan sosok ulama yang sangat santun dan

kharismatik yaitu KH. Hasyim Asy‟ari. Sikap toleransi yang ditunjukkan Kiai
Hasyim Asy‟ari adalah buah dari pengaruh Kiai Saleh Darat Semarang yang sangat
kental dalam mengedepankan sikap tasamuh, meskipun akhirnya Kiai Hasyim

Asy‟ari mendirikan organisasi Nahdlatul „Ulama (NU) yang tidak menolak tradisi
sebagai bagian dari ajaran Islam.

Hadratus Syekh Kiai Haji Hasyim Asy’ari lahir dengan nama Mohammad

Hasjim Asy’arie, tepatnya di Kabupaten Jombang pada tanggal 14 Februari 1871.

Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari sepuluh bersaudara dengan sosok ayah

bernama Kiai Asy’ari, pengasuh Pesantren Keras di Jombang sebelah Selatan.

Toleransi merupakan suatu sikap atau perilaku manusia yang mengikuti

aturan, dimana seseorang dapat menghargai, menghormati terhadap perilaku orang

lain. Istilah toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama berarti sikap dan

perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang

berbeda dalam suatu masyarakat, seperti toleransi dalam beragama, dimana kelompok

agama yang mayoritas dalam suatu masyarakat, memberikan tempat bagi kelompok

agama lain untuk hidup di lingkungannya. Namun demikian, kata toleransi masih

kontroversi dan mendapat kritik dari berbagai kalangan, mengenai prinsip-prinsip

toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif. Akan tetapi, toleransi antarumat

beragama merupakan suatu sikap untuk menghormati dan menghargai kelompok-

kelompok agama lain.


Pendidikan toleransi menurut KH. Hasyim Asy‟ariadalah salah satu upaya
untuk memahamkan seseorang akan pentingnya hidup dalam komunitas yang

berbeda. Baik dalam suku, ras maupun berkeyakinan, seseorang harus paham dan

menjunjung tinggi toleransi. Akan tetapi, pendidikan toleransi saat ini disalahartikan

oleh beberapa pihak. Mereka ingin melebur keyakinan setiap anak dalam satu bingkai

toleransi perspektif multikulturalisme. Dengan asumsi bahwa manusia hidup harus

menghargai perbedaan (termasuk dalam berkeyakinan). Meskipun dalam kesesesatan,

seseorang harus tetap menghormati pendapat atau pilihan orang lain. Bahkan,

seseorang diarahkan untuk meyakini kebenaran agama selain Islam. Ini merupakan

doktrin yang berbahaya bagi Islam.

-Toleransi KH. Hasyim Asy’ari Terhadap Sesama

Bentuk Perilaku Toleransi KH. Hasyim Asy’ari Terhadap Sesama dan Agama
Lain. Nama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‟ari sangat masyhur di seluruh
masyarakat Indonesia. Bahkan hampir di setiap kota, namanya diabadikan sebagai

jalan besar. Akan tetapi tampaknya belum banyak yang mengetahui sikap

toleransinya kepada umat beragama. Berikut adalah point penting toleransi KH.

Hasyim Asy’ari berdasarkan analisis historis dari kepustakaan yang ada.

1. Umat Muslim

Pelarangan menabuh kenthongan sebagai penanda waktu shalat. KH.

Abdurrahman Wahid pernah menceritakan bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun

1928 ketika KH.Hasyim Asy’ari menuliskan fatwa tersebut di jurnal ilmiah bulanan

NU. Kemudian pendapat Rois Akbar itu disanggah oleh Wakil Rois Beliau, Kyai
Faqih Maskumambang Gresik yang menyatakan hokum boleh karena dianalogikan

dengan bedhug. Meski demikianhubungan keduanya tetap terjalin harmonis, bahkan

sebagai penghormatan jika Kyai Hasyim Asy’ari ke kota Gresik, semua masjid disana

menyembunyikan kenthongan dan diganti dengan bedhug. Sebaliknya pun demikian

ketika Kyai Faqih Maskumambang berkunjung ke Jombang. Alasan Hadratussyaikh


KH. Hasyim Asy’ari melarang kenthongan karena kelangkaan hadits Nabi SAW,
biasanya disebut sebagai tidak adanya teks tertulis (dalil naqlil) dan tasyabuh atau

menyerupai agama lain, dimana Beliau khawatir dengan menyamakan budaya itu

nanti akan membuat agama lain tersinggung karena budayanya telah di curi. Dengan

sangat tolerannya itulah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‟ari melarang kenthongan


bagi umat muslim demi menjaga keharmonisan antar umat beragama. Kemudian

hukum mendirikan masjid.

Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari menghimbau kepada masyarakat muslim

mendirikan satu masjid di wilayahnya masing-masing adalah fardlu kifayah.

Sebainya jangan terlalu banyak, cukup satu wilayah satu. Alas an mengeluarkan

fatwa tersebut tak lainagar umat Islam tetap erat dan tidak terbagi menjadi beberapa

kelompok hanya karena masjid. Disamping itu, juga takut dengan banyaknya masjid

nanti justru mengganggu tetangga-tetangga non-muslim dengan nyaringnya suara

adzan dimana-mana. Fatwa tersebut yang mewajibkan mendirikan masjid satu di

setiap wilayah sangat mengandung makna toleransi umat beragama yang tinggi.

2. Toleransi KH. Hasyim Asy‟ari Terhadap Non-Muslim

Bukti konkrit tasamuh atau toleransi yang ditunjukkan oleh KH. Hasyim

Asy‟ari terhadap agama lain adalah ketika anak administrator Pabrik Gula (PG)
Tjoekir yang sedang sakit keras, yang notabenya adalah orang Belanda beragama

Kristen. Dokter dan banyak dukun sudah diundang untuk menyembuhkan dan gagal.

KH. Hasyim Asy‟ari pun diminta tolong dan hanya dengan media air putih, anak
tersebut akhirnya sembuh. Administrator pun heran dan ingin mengetahui lebih dekat

rahasia kesaktian KH. Hasyim Asy’ari. Beberapa hari kemudian administrator datang

ke Pesantren Tebuireng dan ditemui KH. Hasyim Asy’ari penuh keakraban. Dialog di

antara keduanya pun terjadi beberapa kali. Lambat laun administrator akhirnya

memahami ajaran Islam yang harus menghormati dan menolong umat lain, meski

berbeda agama. Keterbukaan Islam dalam memandang the other ini mendorong
administrator berkeyakinan untuk pindah agama, masuk ke dalam agama Islam.

Setelah menyelesaikan masa tugas di Pabrik Gula Tjoekir, administrator

kembali ke negeri Belanda. Anak-anaknya pun ikut memeluk agama Islam. Bahkan

korespondesi melalui surat tertulis terus dilakukan oleh anak cucu administrator

dengan KH. Yusuf Amin, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng antara tahun 1965

sampai tahun 2006.

3. TOLERANSI MENURUT WALISONGO

A. Biografi

Maulana malik ibrahim (sunan gresik), atau makdum Ibrahim As-

Samarqandy, yang dalam Babad Tanah Jawi disebut Makdum Brahim Asmara, dan

sesekali disebut Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-

Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi.

Dalam buku The History of Java, Stamford Raffles menyatakan bahwa


menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal

berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu raja Chermen (sebuah

negara Sabrang), telah menetap bersama masyarakat Muslim lainnya yang lebih

dahulu tinggal di Desa Leran di Jang'gala.

Dalam cerita rakyat kadang-kadang Maulana Malik Ibrahim disebut sebagai

Syeikh Maghribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara

dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan

Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia,

bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarqand. Maulana Jumadil

Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi
Muhammad SAW.
Menurut tradisi, Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa,

Vietnam Selatan, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri

raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan

Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah

ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti

jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Dalam prasasti nisan makam Maulana Malik Ibrahim , pada baris kelima

tersebut kata “Kashan”. Kata “Kashan” adalah nama sebuah kota di Iran, hingga kini

terkenal dengan kota industry. Ungkapan tulisan itu dalam prasasti makam Maulana

Malik Ibrahim di desa Gapura Wetan, Gresik mengindikasikan sangat kuat, bahwa ia

berasal dari Iran.

Maulana Magribi datang ke Jawa tahun 1404 M. Beberapa versi menyatakan

bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali

yakni desa Sembalo, saat itu masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa

Sembalo sekarang, dalam wilayah administratif daerah Leran, kecamatan Manyar, 9

kilometer utara kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara

membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah.

Jika upaya membuka warung sebagai salah satu strategi dakwahnya, setidaknya untuk

merangkul masyarakat bawah - kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka

sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang

ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.

Menurut tradisi, setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim

kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan (dalam wilayah

administrative Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). Raja Majapahit meskipun tidak

masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang


tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama

desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran;

mengingat saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak

orang Asing termasuk dari Asia Barat.

Menurut tradisi, Malik Ibrahim seorang yang ahli pertanian, dan sejak berada

di Gresik, hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Ia juga dikenal ahli

pengobatan, menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Orang-

orang yang sakit banyak disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu. Sebagai

tabib, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar

kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Sifatnya lemah lembut, belas kasih dan ramah kepada semua orang, baik

sesama muslim atau non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat

yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati

penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong dengan suka rela untuk

masuk agama Islam dan menjadi pengikut yang setia. Malik Ibrahim menetap di

Gresik dengan mendirikan mesjid dan pesantren untuk mengajarkan agama Islam

kepada masyarakat sampai ia wafat.

Maulana Malik Ibrahim wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal 822 H/ 1419
M, dan dimakamkan di Gapura Wetan (Gapurosukolilo), Gresik, Jawa Timur. Pada

nisannya terdapat tulisan Arab yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang

penyebar agama yang cakap dan gigih.10 Hingga saat ini, setiap malam Jumat Legi,

masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau

haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada

prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan

(pembacaan riwayat Nabi Muhammad).

B. Wayang sebagai Sarana Membangun Konstruksi Toleransi


Wayang sebagai Media kreatif yang diadopsi dari kebudayaan Hindu-budha

oleh Walisong, kemudian digunakan sebagai media untuk mempererat tali

persaudaraan dikalangan masyarakat Jawa, dengan tetap mengadopsi lakon atau

cerita sebelumnya, namun sudah disisipi muatan ajaran Islam. Sebagaimana

seperti cerita Mahabarata atau Ramayana yang notabene merupakan saduran dari

kitan suci agama Hindu di desain ulang dengan memasukan unsur-unsur ajaran

Islam dengan tetap menggunakan plot cerita tersebut. Walisongo sebagai pendesain

ulang Wayang tetap mempertahankan budaya Hindu. Sunan Kalijaga lebih

mengutamakan menghormati kebudayaan Hindu, namun sedikit demi sedikit ajaran

Islam dapat tersampaikan kepada msayarakat di Jawa. Nilai toleransi antar beragama

sangat terlihat jelas antara Walisongo yang beragama Islam dengan masyarakat yang

non Islam. Dengan pertunjukan wayang siapapun yang melihat atau menonton baik

orang Islam maupun non Islam melebur menjadi satu.

Wayang sebagai pertunjukan purwarupa budaya Hindu tetap dilanjutkan oleh

Walisongo, namun isi muatan bernuansa Islam. Hal ini terlihat dari penggunaan

Instrumen Hindu yang tetap digunakan namun muatan isinya berbeda adalah tentang

reka ulang semboyan “Jimat Kalima Shada” Pada prinsipnya, kalimat tersebut

instrument telogi Hindu yang berarti “jimat kali maha usada” namun oleh Walisongo

kalimat ini didesain menjadi “azimah kalimat syahadah”. Frase yang terakhir

merupakan pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah,

dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Keyakinan tersebut merupakan spirit

hidup dan penyelamat kehidupan bagi setiap orang. Hal itu menjelaskan bahwa

Walisongo walaupun mempunyai misi untuk mendakwahkan Islam, namun tetap

menghormati budaya-budaya Islam dengan cara tetap memakai istilah- istilah budaya

Hindu, namun muatannya diganti dengan ajaran Islam.

Walisongo juga menggunakan kesenian wayang dalam merekonstruksi

tatanan sosial masyarakat Jawa, yang sebelumnya sering terjadi peperangan diantara

satu kerajaan Hindu dengan kerajaan Hindu lain ataupun kerjaan budha, sering terjadi
keributan sosial. Dengan seni pertunjukan wayang, Walisongo membangun

masyarakat yang beradab dan berbudaya. Untuk membangun arah yang berbeda dari

pakem asli pewayangan, Walisongo menambahkan dalam cerita pakem pewayangan

dengan plot yang berisi visi sosial kemasyarakat Islam, yang didalamnya terdapat

muatan saling menghormati antar sesama, walaupun berbeda bahasa, budaya, suku,

bahkan agama. Sejak dahulu masyakarakat pulau Jawa cenderung majemuk. Selain

agama Hindu, Budha, Cinapun sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Budha.

Sehingga nilai-nilai toleransi antar umat beragama sudah di tanamkan Walisongo

kepada masyarakat di Pulau jawa. Figur-figur tokoh dalam pewayanganpun

dikembangkan oleh Walisongo dalam menyemai sikap toleransi masyarakat di Pulau

jawa. Diantaranya, selain Pandawa lima, juga ada figur punakawan (Semar, Nala

Gareng, Petruk, dan Bagong). Karakteristik figure pewayangan tersbut mencerminkan

representasi dari orang yang supel, tidak egois, dan berkepribadian.

4. TOLERANSI MENURUT KH. AGUS SALIM

Nama asli dari KH. Agus Salim adalah Mashudul Haq, yang berarti “Pembela

Kebenaran”. Agus Salim lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 8
Oktober 1884. Putra keempat dari seorang jaksa pengadilan negeri bernama Sultan

Moehammad Salim ini berkesempatan untuk menempuh pendidikan dasar di

Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa. Kemudian


pedidikannya berlanjut ke Hoogere Burger School (HBS) di Batavia—sekarang
Jakarta—dan berhasil meraih predikat lulusan terbaik di tiga kota yakni Surabaya,

Semarang dan Jakarta.

Salim muda tumbuh dengan kecerdasan dan ketekunan. Tercatat dalam sejarah, pada

usianya yang sangat muda (sekitar 25 tahun), ia berhasil menguasai sekurangnya 7

bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Jepang, Jerman, Prancis dan Turki. Pasca-lulus,

Agus Salim awalnya ingin sekali masuk sekolah kedokteran di Belanda. Namun
karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan, ia akhirnya mengajukan

permohonan beasiswa ke pemerintah. Nahasnya, permohonan tersebut ditolak. Agus

Salim muda pun patah arang, tetapi ada satu tokoh yang tertarik dan kagum dengan

kecerdasannya, yaitu R.A. Kartini. Akhirnya Kartini yang mendapat kesempatan

untuk sekolah di Belanda pun berinisiatif menuliskan rekomendasi kepada

pemerintah agar mengalihkan beasiswanya kepada Agus Salim.

Alasan Kartini adalah kondisi dirinya dan adat budaya Jawa yang pada waktu itu

masih tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk menempuh pendidikan

tinggi. Kartini menyebutkan kalau Agus Salim muda tidak dapat ke Belanda karena

kondisi keuangan dan menyarankan pemerintah agar memberikan jatah beasiswanya

kepada Agus Salim—sebesar 4.00 gulden. Tetapi respon Agus Salim justru berbeda.

Ia tersinggung dengan sikap pemerintah yang dinilainya diskriminatif. Apakah karena

Kartini adalah anak bangsawan Jawa yang memiliki hubungan baik dengan para

pejabat Hindia-Belanda, sehingga Kartini mudah memperoleh beasiswa? Dengan

sedikit kecewa, Agus Salim pun batal ke Belanda dan memilih pergi ke Jedah, Arab

Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di Konsulat Belanda. Di sanalah, sambil

bekerja, ia belajar Islam kepada Syekh Ahmad Khatib, Imam Masjidil Haram yang

sekaligus adalah pamannya sendiri—guru dari KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim

Asy’ari.

Sepulangnya dari Tanah Arab, Agus Salim mendirikan sekolah HIS


(Hollandsche Inlandsche School) yang kelak melahirkan banyak tokoh bangsa. Tidak

hanya di bidang pendidikan, Agus Salim muda sudah aktif menulis sejak remaja. Ia

pernah menjadi jurnalis di Harian Neratja, redaktur di Harian Moestika (Yogyakarta),

dan pendiri Surat Kabar Fadjar Asia. Ia juga mulai terjun ke ranah politik dengan

bergabung ke Sarekat Islam yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. Dari sinilah sepak

terjang dan kontribusi Agus Salim terhadap bangsa Indonesia sangat berpengaruh.

Agus Salim ikut andil secara langsung dalam peristiwa bersejarah “Sumpah Pemuda

Indonesia” pada 1928. Dalam mempersiapkan kemerdekaan pun, Agus Salim


tergabung bersama tokoh-tokoh nasional ke dalam Panitia Persiapak Kemerdekaan

Indonesia (PPKI).

Kepandaiannya dalam berdiplomasi dan kepiawaiannya berbahasa asing,

dengan tubuh yang kecil, Menteri Luar Negeri pertama kita ini dijuluki “The Grand

Old Man”. Apalagi sifat jenakanya yang sering mewarnai forum-forum penting

kenegaraan, menjadikannya sosok kharismatik, tegas dan penuh wibawa tapi

sekaligus ramah dan bersahaja.

Dalam urusan keagamaan, Agus Salim tipe orang yang toleran dan berjiwa

besar. Bahkan dalam keluarganya sendiri, ada satu anggota keluarga kandungnya

yang berpindah agama. Dialah sosok adik kandungnya sendiri, Chalid Salim. Adik H.

Agus Salim yang lahir pada 24 November 1902 ini, semasa muda sempat dituduh

komunis. Pernah suatu kali Chalid menulis dengan kritis di Pewarta Deli atas sikap

polisi kolonial Belanda yang menumpas pemberontakan komunis pada tahun 1926.

Sikap tersebut dinilai pemerintah Hindia-Belanda sebagai sikap pro-komunis.

Terlebih lagi catatan karier Chalid Salim yang pernah tergabung di media Mingguan

Halilintar Hindia yang berpusat di Pontianak. Media ini mengadopsi asas komunis.

Maka akibatnya Chalid Salim divonis pemerintah sebagai ‘membahayakan bagi

ketentraman dan ketertiban negeri’.

Akhirnya Chalid pun diciduk dan dikirim ke pembuangan Digul. Di sana ia

mengalami perubahan sikap, dari yang semula menjadi gandrung akan ajaran teosofi

dan kemudian justru tertarik pada Katholik. Belakangan, diketahui bahwa adik Agus

Salim tersebut telah memeluk ajaran Katholik sebagai agamanya. Pernah suatu ketika

H. Agus Salim ditanya oleh seorang Belanda, “Zeg Salim, bagaimana itu, adik Anda
masuk agama Katholik?”

“God zij dank, Alhamdulillah, ia sekarang lebih dekat dengan saya,” jawab Agus
Salim dengan ringan. Orang Belanda itu pun keheranan, lalu bertanya kembali,
“Kenapa Anda malah berterima kasih kepada Tuhan?” Haji Agus Salim tersenyum
lantas menguraikan penjelasannya. “Dia dulu kan orangnya tidak percaya Tuhan,

sekarang dia percaya Tuhan,” tuturnya tanpa beban. Pilihan yang diambil Chalid

Salim ternyata tidak dipermasalahkan oleh sanak keluarganya.

Dalam suatu kesempatan dahulu, sewaktu H. Agus Salim berkunjung ke

Belanda, ia menemui adiknya dengan sukacita. Ia mengungkapkan kegembiraannya

kepada Chalid. “Aku bersyukur bahwa kau akhirnya percaya pula kepada Tuhan.

Dan pilihanmu itu tentu sudah menjadi takdir ilahi,” ujar H. Agus Salim kepada adik
kandungnya.

Dari cuplikan kisah tokoh bangsa kita di atas, menunjukkan betapa pentingnya

bagi kita untuk saling menghargai keputusan orang lain dengan tanpa menghakiminya

secara tidak adil. Setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya. Toleransi dan

saling menghormati lah yang mampu menyambungkan tali persaudaraan antar-

sesama manusia.

5. Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid

Toleransi adalah suatu yang sangat ditekankan dari pemikiran dan gaagasan-

gagasan Gus Dur. Berbicara tentang toleransi tidak lepas dari pluralisme. Karena

toleransi adalah bentuk sikap dari pluralism itu sendiri. Gus Dur adalah seorang

pahlawan pluralis sejati karena berani melawan arus utama (mainstream) yang

bersuara tak kalah nyaring untuk yang mengharamkan pluralisme. Meski ia sendiri

banyak dikritik karena usahanya, namun ia tetap berani dan jalan terus untuk

menyuarakan kebenaran. Tidak diragukan bahwa ia berkarakter pluralis karena

memiliki insight pemahaman agama- agama yang benar dan juga cinta yang tulus

pada bangsa Indonesia. Gus Dur bukan hanya menjadi pahlawan pluralisme

melainkan juga ikon perjuangan pluralisme di Indonesia yang dibangun dalam


tatanan demokrasi yang plural, artinya sebuah kesadaran dan keterbukaan untuk

menerima dan mengakui perbedaan yang ada sembari mengolahnya dalam sikap

saling menghormati. Gus Dur telah memberi sebuah jejak perjuangan politik inklusif

di tanah air sehingga pluralisme tidak hanya sebatas wacana, sebatas obrolan politis,

atau rencana belaka, melainkan dalam aksi dan tindakan nyata.

Seorang pluralis adalah dia yang menghormati dan menghargai sesama manusia

dalam kekhasan identitasnya, dan itu juga berarti dalam perbedaannya. Sementara

sikap pluralis menunjuk pada kesadaran dan keterbukaan untuk mengakui bahwa cara

hidup dan cara beragama memiliki perbedaan satu sama lain. Sikap pluralis tidak

menyangkal adanya fakta mayoritas dan minoritas. Justru sebaliknya seorang pluralis

sejati menerima kenyataan itu sebagai sesuatu yang wajar. “Gitu aja kok repot,” kata

Gus Dur. Intinya, konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi

jika setiap individu mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka

lahirlah pluralisme itu. Dalam konsep pluralisme bangsa Indonesia yang beraneka

ragam ini mulai dari suku, agama, ras, dan golongan dapat menjadi bangsa yang satu

dan utuh. Sedangkan ketika membicarakan teologi hanya menyentuh pada aspek

ketuhanan saja, akan banyak sekali tindakan yang mengatasnamakan Tuhan, tetapi

praktek dan dampaknya justru menodai nilai-nilai kemanusiaan. Maka dari itu, Gus

Dur memformulasikan konsep iman tidak hanya dalam domain ketuhanan saja, tetapi

juga dalam domain kemanusiaan. Manusia sebagai individu maupun kelompok

mempunyai kedudukan yang sama dimata hukum negara maupun agama. Semasa

hidupnya Gus Dur selalu konsisten terhadap tiga hal, yaitu demokrasi, hak asasi

manusia, dan pluralisme. Indonesia telah memilih demokrasi sebagai sistem politik

yang digunakan dalam pemerintahan, maka implikasinya tidak ada diskriminasi. Hal

ini berkaitan erat dengan konsep hak asasi manusia dan pluralisme sebagai kenyataan

bahwa Indonesia beragam.

Pemikiran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur telah memberikan warna tersendiri

dalam dinamika intelektual muslim di Indonesia. Bagi sebagian kalangan, ia


ditempatkan sebagai intelektual muslim progresive, kritis, bahkan terkesan paradoks,

inkonsisten, banyak mengundang kontroversi, namun menjadi inspirator bagi banyak

intelektual muda, terutama NU. Pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid bukan

muncul dalam ruang kosong, tetapi terlahir dan dibesarkan dari proses dialektik

dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Proses dialektik ini dilalui dengan tiga

proses yang saling berkesinambungan. Pertama, ekternalisasi berupa ekspresi diri ke

dalam dunia, di mana manusia berusaha menemukan dirinya dalam suatu dunia.

Kedua, objektivasi, yakni suatu proses yang menghasilkan realitas objektif yang bisa

jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di

luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, internalisasi, berupa

penyerapan kembali dunia objektif dalam kesadaran sehingga subjektifitas individu

dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.

Toleransi merupakan istilah populer yang selalu dilekatkan dengan kondisi

masyarakat yang plural. Secara kebahasaan, kata toleransi berasal dari bahasa latin

tolerare yang berarti bertahan tau memikul. Toleran disini diartikan dengan saling

memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang

lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat.

Abdurrahman Wahid menempatkan toleransi dalam bertindak dan berfikir,

sikap toleransi tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan, tetapi persoalan

hati dan perilaku. Orang yang bersikap toleran tidak mesti memiliki kekayaan,

bahkan semangat toleransi justru sering dimiliki oleh orang yang tidak pintar, tidak

kaya, yang biasanya disebut “orang-orang terbaik

Abdurrahman Wahid merupakan tokoh yang sangat gigih dalam

memperjuangkan toleransi beragama dalam masyarakat majemuk. Bagi Wahid,

toleransi bukan persoalan epistemologi sehingga membutuhkan definisi, tetapi

aksiologi dari konsep-konsep yang bersifat normative dalam Islam. Sebagai seorang
muslim, gagasan toleransi Abdurahman Wahid tidak terlepas dari dimensi normatif
dalam Islam yang tertuang dalam ayat berikut: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu,

melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang toleransi agama tidak hanya

menggunakan produk-produk pemikiran Islam tradisional, tetapi juga menekankan

pada penggunaan metodologi (manhaj), teori hukum (ushul fiqh), dan kaidah-kaidah

hukum (Qawa‟id Fiqhiyah) dalam kerangka pembuatan suatu sintesa untuk


melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahanperubahan aktual di

masyarakat sehingga konflik antar agama bisa terhindari. Dengan demikian pengaruh

pemikiran toleransi Abdurrahman Wahid yang terlihat dalam konteks keindonesiaan

di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Persoalan Terorisme di Indonesia;

2. Kasus Ahmadiyah;

3. Mencap kafir kelompok Nasrani dan Yahudi;

4. Masalah pengharaman mengucapkan selamat hari Natal;

5. Mengecam keras acara megah Sidang Raya Dewan Gereja-gereja


Indonesia (DGI, sekarang PGI) di Manado tahun 1980;

Anda mungkin juga menyukai