Anda di halaman 1dari 15

Review Gaharu

(Annisa Mifhtanti)

 Gaharu

Gambar 1. Pohon Gaharu Aquilaria Gambar 2. Daun Gaharu Aquilaria


Gaharu yang disebut juga dengan agarwood, oud, oodh, agar, atau
aloeswood merupakan salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
dengan nilai jual yang sangat tinggi, bahkan dibandingkan dengan HHBK lainnya.
Gaharu adalah pohon hutan yang bernilai ekonomi tinggi karena kayunya
mengandung damar wangi dan mengandung resin yang harum. Sejenis resin
beraroma ini berasal dari tanaman jenis Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus.
Permintaan terhadap gaharu terus meningkat dan perlu diadakannya penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui senyawa kimia yang terkandung, dan mengetahui
berbagai aktivitas farmakologi yang terdapat pada tanaman gaharu. (Ulfah et al.,
2021)

Gaharu merupakan salah satu produk minyak atsiri bernilai ekonomis tinggi,
menghasilkan kayu gubal berupa butiran kayu yang mengandung resin kuning-
coklat hingga hitam-cokelat. Resin dibentuk sebagai respon protektif pohon
gaharu terhadap gangguan seperti gangguan fisik, infeksi oleh patogen,
mikroorganisme atau perlakuan kimia. (T. Wahyuni & Yuliana, 2021). Resin ini
mengeluarkan aroma yang khas dan unik. Gaharu dapat dengan mudah ditemukan
di hutan alam dan kebun masyarakat di berbagai daerah seperti Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara. (Pasaribu et al.,
2013)

Gaharu di perdagangkan dengan harga yang cukup tinggi, harga tersebut


diperoleh dari kegiatan penebangan hutan alam. Populasi alami dan produktif
gaharu membuatnya diperdagangkan secara illegal. Terdapat cara untuk
membedakan asal usul dan perbedaan genetik populasi gaharu dengan
menggunakan penanda genetik, mikroatelit dan polimorfisme nukleotida tunggal
(SNP) untuk membandingkannya dengan pohon lain nya yang akan
diperdagangkan secara illegal. Populasi alami gaharu yang terbatas, mengurangi
keinginan masyarakat akan gaharu yang alami dan melakukan perdagangan
illegal, sehingga diperlukan penanda untuk membedakan genetik kayu gaharu
supaya tidak terjadi perdagangan ilegal. Maka dari itu, produsen gaharu lainnya
akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan gaharu yang legal, bukan secara
illegal apabila sudah ada penanda. (Wang et al., 2020)
 Jenis dan Klasifikasi Gaharu
Pohon gaharu memiliki banyak jenis, di dunia ada sekitar 27 jenis pohon
yang menghasilkan gaharu. Secara kolektif, tanaman ini milik famili
Thymeleaceae dan genus Aquilaria, Aetoxylon, Gonytilus, Gyrinops, Wikstroemia,
Enkkleia, Dalbergia dan Excoccaria. Di Indonesia, gaharu yang paling banyak
digunakan berasal dari genus Aquilaria dan genus Grynops. Genus Aquilaria
banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Maluku.
Sedangkan genus Grynops banyak ditemukan di NTT, NTB dan wilayah Maluku
dan Sulawesi. penawaran dengan harga jual yang sangat tinggi tergantung
kualitasnya. (Setyaningrum & Saparinto, 2014)

Di Vietnam, gaharu (Aquilaria spp.) merupakan kayu aromatik yang mahal


harganya. Hal ini digunakan untuk aromatik dan sifat fototerapi. Terpenoid
(seskuiterpen) dan flavonoid adalah komposisi kimia gaharu. Sifat aromatik dan
resin gaharu terpengaruh menurut spesies, dan sebaran geografis tumbuhan
Mengembangkan produk dan obat-obatan baru dari gaharu merupakan aspek
perdagangan yang penting dan menjanjikan. Oleh karena itu, beberapa negara
tertarik untuk menanam pohon Gaharu. Keberhasilan perkebunan ini tergantung
pada produksi cepat gaharu di pohon. Penanaman massal pohon Gaharu akan
mengatasi kekurangan Gaharu. Skrining bioaktivitas dan eksplorasi farmakologis
harus dilakukan dengan omposisi fitokimia gaharu supaya mendapatkan hasil
yang cukup baik. (Devi, 2021)

Genus Gyrinops dan Aquilaria memiliki berat jenis rata rata berkisar antara
0,31 hingga 0,35 sehingga termasuk dalam kategori kekuatan IV. Komposisi
kimia kayu gaharu G. versteegii mengandung 50,7% holoselulosa; 30,50% -
selulosa; 31,98% lignin; dan ekstrak 16,69%. G. versteegii memiliki panjang serat
yang lebih panjang, dengan diameter dan ketebalan serat serta pertumbuhan
panjang sel G. versteegii lebih kompleks dibandingkan dengan genus Aquilaria.
(Dwianto, 2019)

Klasifikasi gaharu dibagi menjadi 3 jenis: gubal, kemedangan, dan abu. Abu
adalah kayu hitam atau hitam kecoklatan dan diperoleh dari pohon penghasil
gaharu yang mengandung damar wangi yang sangat harum. Sedangkan
kemedangan adalah kayu gaharu damar wangi rendah dan aromatik rendah
dengan penampilan fisik berwarna coklat sampai abu-abu, berbutir kasar dan kayu
lunak. Klasifikasi terakhir adalah serbuk gaharu, yaitu serbuk gergaji yang
dikerok atau sisa-sisa gaharu yang dihancurkan. Kualitas gaharu sering ditentukan
oleh jumlah resin yang ada di jaringan kayu. Semakin tinggi kandungan resin,
maka akan semakin tinggi harga gaharu. (Womsiwor et al., 2018)

Di dalam gaharu terdapat struktur taksonomi dan struktur anatomi. Terdapat


perbedaan struktur anatomi dari berbagai jenis gaharu seperti Gaharu malaccensis,
Gaharu beccariana, Gaharu decipiens, Gaharu microcarpa dan Gyrinops
versteegii. Perbedaan tersebut dapat diamati pada daun, yaitu: jenis kristal, jumlah
sel tetangga, bentuk sel epidermis atas dan bawah. Selanjutnya, pada batang
(ranting): sinar menonjol dan bentuk cekung. Terdapat perbedaan yang signifikan
pada indeks stomata, dengan persentase tertinggi berada pada A. decipiens 8,7%,
diikuti oleh A. beccarana 6,73%; A. mikropartikel 3,8%; A. malaccensis 3,9% dan
tingkat terendah adalah G.versteegii 1,60%. (Widoyanti et al., 2017)

Untuk struktur taksonomi gaharu yang dijadikan contoh merupakan species


Aquilaria Malaccensis dengan kualitas jenis gaharu yang terbaik. (Janshen, 2016)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Sub Class : Dialypetalae

Famili : Thymelaeaceae

Genus : Aquilaria

Species : Aquilaria Malaccensis

Gaharu species Aquilaria termasuk salah satu jenis gaharu yang mudah
dilepaskan dari pelarut sehingga dapat menjadi bahan campuran dalam komponen
lain dan sebagai parameter dalam uji pemrosesan dan untuk mengetahui
temperature, dan juga waktu bagi suatu campuran tersebut untuk menjadi suatu
bahan yang dapat digunakan dalam proses kimia maupun dalam pengujian anova.
(Faibunchan et al., 2022)

Harga tiap gaharu berbeda-beda, misalnya gubal super gaharu di


Kalimantan Timur yang mencapai Rp 900.000/kg pada 1995-1996. Dua bulan di
hutan akan mendapat "keuntungan" besar jika berhasil memanen gubal gaharu
seberat 70 – 100 kg gubal gaharu. Anggota masyarakat setempat yang
memperoleh uang dari menjual gaharu dapat mengalokasikan uang yang mereka
belanjakan terutama untuk membangun rumah, mereka yang tunawisma dan
membangun rumah atau menyekolahkan anak ke perguruan tinggi. Namun,
pasokan gaharu mulai berkurang akibat penurunan produksi gaharu alam, karena
banyak kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang telah beralih fungsi
menjadi perkebunan (kelapa sawit), eksploitasi, dan hak pengelolaan hutan. HPH)
dan hutan tanaman industri. Hutan (HTI). Sektor pertanian, pertambangan dan
kehutanan lebih menguntungkan daripada produk NWFP, termasuk gaharu.
(Hidayat et al., 2020)
 Proses Pengolahan Gaharu
Kayu gaharu diperdagangkan dengan harga tinggi, apalagi dengan
kandungan minyak (resin) yang tinggi. Untuk mendapatkan minyak dan senyawa
aromatik yang terkandung di dalamnya, kayu gaharu diolah dengan cara
mengambil dan memisahkan minyaknya dari kayunya. (Catur et al., 2019).
Terdapat banyak teknik pengolahan yang bisa dilakukan, umumnya teknik
memanen pohon gaharu masih sederhana yaitu dengan cara ditebang dan dicabut,
sehingga perlu diperbaharui teknik panen pohon gaharu tersebut. Pemanenan
masih dilakukan dengan cara tradisional dengan alat sederhana seperti parang,
kapak dan keruk. Pohon gaharu yang biasa dimanfaatkan berdiameter 50 sampai
100 cm dan tinggi 50 - 70 m. Penebangan biasanya dilakukan dengan cara
memanjat dan mencabut. Panen dilakukan dengan mencabut semua tanaman.
Dalam ekstrak gaharu, gaharu biasanya terbentuk di bagian akar. Teknik
pemanenan juga dilakukan dengan menggali seluruh zona perakaran untuk
memperoleh mahoni dalam jumlah banyak. Kedua teknik ini merupakan teknik
panen yang digunakan oleh masyarakat untuk mencari gaharu (Kodey et al., 2021)

Selain cara pengolahan secara tradisional, terdapat juga pengolahan gaharu


yang telah diinovasi dengan teknologi. Metode pengolahan gaharu yang
menggunakan teknologi meliputi penyulingan dan ekstraksi. Metode penyulingan
adalah teknologi distilasi, merupakan teknologi yang ditemukan dan diterapkan
oleh para insinyur sejak lama untuk berbagai produk industri. Parameter suhu,
aliran, dan tekanan pada penyuling berbeda untuk bahan dan kualitas yang
berbeda. Teknologi ini harus diterapkan untuk mengatasi permasalahan
masyarakat produksi gaharu. Bagian terpenting dari penyulingan minyak atsiri
gaharu adalah autoclave, ini adalah ruang silinder tempat air menguap bersama
dengan biji gaharu di atasnya. Bahan autoclave harus tahan terhadap panas dan
tekanan akibat tekanan internal. (Catur et al., 2019).

Dua metode ekstraksi yang dilakukan yaitu microwave distillation dan


ekstraksi Soxhlet, microwave distillation memungkinkan ekstraksi minyak dari
pohon gaharu dengan rendemen 1,38% menggunakan 50 ml air suling, dalam
waktu ekstraksi 12 jam, dan dengan daya gelombang mikro 50W. Sedangkan
ekstraksi Soxhlet, metode ini berhasil mengekstraksi minyak dari pohon gaharu
dengan rendemen 1,67% dengan menggunakan 500 ml pelarut organik n-Heksana
selama 16 jam ekstraksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa cara yang
efektif untuk pengolahan gaharu ialah secara metode non konvensional. (Triesty,
2017).

 Proses Inokulasi Gaharu

Gambar 3. Inokulasi Gaharu Aquilaria


Dalam budidaya tanaman gaharu, beberapa langkah dilakukan, yaitu
menyediakan benih berkualitas, teknik permukaan dan tanam yang baik, teknik
pemupukan dan perawatan tahan hama, serta panen yang baik. Yang tidak kalah
pentingnya adalah inokulasi cendawan pembentuk gaharu yang baik untuk
menghasilkan kayu gubal gaharu dengan kualitas dan lokasi tertentu, karena
pohon yang berbeda dan tempat yang berbeda memerlukan jenis mikroorganisme
yang berbeda pula. Proses produksi gaharu alami sering terjadi karena pohonnya
terluka atau terinfeksi. Mekanisme proses fisiologis pembentukan kayu gubal
dimulai dari invasi mikroorganisme patogen ke dalam jaringan kayu, ketika
mikroorganisme menyerang jaringan pohon, mikroorganisme ini dianggap sebagai
benda asing, ketika pohon merespon dengan melepaskan penangkal (zat
kekebalan) dterbentuk fitoaleksin. Fitoaleksin adalah resin aromatik berwarna
coklat yang diproduksi oleh alkaloid intraseluler. (Mega et al., 2012)

Inokulasi dilakukan dengan memasukkan bioserum secara sengaja ke dalam


luka dapat mempercepat pembentukan gaharu, transplantasi hanya untuk menguji
bioserum gaharu. Tanaman yang ditransplantasikan ini tidak dapat digunakan
sebagai tanaman plus. (tanaman dengan kualitas terbaik untuk pembudidayaan).
Menurut informasi dari para ahli, transplantasi pada batang gaharu benar-benar
memberikan efek buruk pada tanaman. Tanaman yang ditransplantasikan akan
mati, penurunan hasil dalam produksi buah. Sedangkan penambahan pohon.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan tanaman yang menghasilkan biji dalam
jumlah besar besar. (Pangesti et al., 2020)

Jamur atau cendawan berperan penting dalam pembentukan gaharu,


terutama pada gaharu yang ditanam atau sengaja diinokulasi dengan jamur
berpenyakit untuk mempercepat pembentukan gaharu. Jamur yang umum
diketahui menyebabkan pembentukan gaharu termasuk dalam genus Fusarium.
Jamur ditemukan pada sembilan tanaman luka, jamur potensial yang paling
melimpah pada Aquilaria malaccensis adalah Fusarium sp., dengan optimasi
pertumbuhan yang tepat, Fusarium sp dapat menginduksi pembentukan gaharu
berkualitas tinggi. Jamur Fusarium bersifat heterotrof, sehingga membutuhkan
senyawa organik untuk makanannya. Jika jamur ini hidup pada senyawa organik
terlarut, maka jamur ini bersifat saprofit. (Rachmawaty et al., 2021).

Jamur Fusarium sp. pada isolat yang berbeda berpengaruh nyata terhadap
pembentukan gaharu kemedangan pada diameter batang Gyrinophs versteegii
yang berbeda, berpengaruh nyata terhadap variabel pengamatan permukaan
jaringan terinfeksi dan warna jaringan terinfeksi. Perlakuan terbaik terjadi pada
perlakuan dengan Fusarium sp. dari pohon pisang dapat membentuk kemedangan
gaharu pada diameter batang G. versteegii lebih besar dari 4 cm. (Irfandi et al.,
2017). Cendawan dalam proses inokulan gaharu tidak hanya fusarium, terdapat
cendawan lain yang dapat digunakan seperti Acremonium sp. sebagai
perbandingan, dapat dilihat persentase gugur daun pada semua perlakuan dengan
kombinasi media tumbuh dan inokulum Acremonium sp. lebih tinggi
dibandingkan dengan penurunan daun pada bibit yang disebabkan oleh Fusarium
sp., dan tingkat aroma pada perlakuan menggunakan Acremonium sp. cenderung
lebih tinggi dibandingkan Fusarium sp. (Triadiati. et al., 2016).

Pembentukan gaharu dengan kombinasi dua mikroorganisme yaitu


Fusarium dan Rhizopus sp. memberikan kualitas gaharu yang lebih baik daripada
inokulasi dengan jamur tunggal. Ada tiga jenis mikroorganisme yang dapat
diisolasi sebagai bioinokulan, yaitu genus Aspergillus, Fusarium dan
Saccharomyces. Konsentrasi probiotik 140 ml memberikan hasil terbaik dari segi
berat kayu, warna, aroma dan kandungan resin gaharu yang dihasilkan. Kualitas
gaharu yang dihasilkan probiotik selama 4 bulan selama inokulasi menghasilkan
kualitas gaharu kemedangan. (Selno et al., 2021)

Selain dari cawan dan penebangan, faktor keberhasilan gaharu lainnya


dapat dilihat dari diameter pohon dan jarak lubang tanam yang mempengaruhi
pembentukan gubal gaharu pada Aquilaria malaccensis. Berdasarkan hasil
analisis multivariat, diketahui bahwa diameter pohon 27 cm dengan jarak lubang
5 cm paling baik untuk pembentukan gubal pohon gaharu. (Try et al., 2017).
Perlakuan naungan berpengaruh besar terhadap pertambahan diameter, jumlah
daun dan kelangsungan hidup dari gaharu, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap
pertambahan tinggi gaharu pada umur 12 minggu. Perlindungan naungan yang
memberikan pengaruh paling baik dalam meningkatkan diameter dan
kelangsungan hidup tanaman adalah naungan tanaman paranet 60°n. Perlakuan
mikoriza tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman gaharu. Dengan
demikian, interaksi tanaman mikoriza di bawah naungan tidak berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan tanaman. (Fitriana et al., 2017)
 Pembudidayaan Gaharu
Gaharu dapat tumbuh dalam kondisi tanah apapun, termasuk tanah ultisol.
Penanaman gaharu (Aquilaria spp) menggunakan cocopeat dan pupuk kandang
pada tanah ultisol dapat mempercepat pertumbuhan tanaman gaharu. Dosis yang
baik dalam menanam gaharu pada tanah ultisol yaitu dengan pemberian cocopeat
sebanyak 50 gram dan pupuk kandang sebanyak 50 gram sehingga gaharu bisa
tumbuh dengan baik dan optimal. (Riana et al., 2017)
Gaharu banyak ditanam di beberapa daerah, salah satunya Lombok Utara.
Hal ini dilakukan karena motivasi petani di Genggelang terutama didorong oleh
motivasi ekonomi. Motivasi ini sangat ditentukan oleh persepsi terhadap hasil
yang diperoleh dari budidaya gaharu. Untuk itu, petani harus mendapatkan
informasi yang jelas tentang risiko dan manfaat yang akan diperoleh dari
menanam gaharu. Dengan demikian, petani akan dapat mengantisipasi
kemungkinan kerusakan dan dapat mengusulkan alternatif secara mandiri. Sampai
saat ini, bimbingan masih kurang sehingga petani tidak mendapatkan informasi
yang cukup untuk berhasil menanam gaharu. Dapat dikatakan panen gaharu ini
belum sesuai harapan karena harga yang dinilai dari batangnya, bukan gubalnya
atau hasil kemedangannya. Sementara itu, industri yang membeli per unit pohon
berdasarkan hasil panen pohon gaharu belum memenuhi target karena
ketidakmampuan gaharu untuk menghasilkan gaharu dan kemedangan seperti
yang diharapkan. Kondisi ini disebabkan oleh teknik inokulasi yang belum
sepenuhnya dikuasai. (Hasan et al., 2019)
Selain dengan pemberian pupuk dan cara inokulasi yang benar, terdapat satu
cara lagi untuk dapat meningkatkan budidaya gaharu, salah satu nya ialah kultur
jaringan. Teknik kultur jaringan adalah suatu cara untuk membiakkan protoplasma, sel,
jaringan dan organ pada media buatan dalam kondisi steril sehingga dapat beregenerasi
menjadi tanaman lengkap dengan ciri-ciri yang sama dengan induknya. Teknik kultur
jaringan ini akan memberikan alternatif dalam konservasi dan pengembangan gaharu di
masa mendatang. Kombinasi penggunaan zat pengatur tumbuh NAA dan BAP
berdampak pada pembentukan kalus pada pohon gaharu. Perlakuan terbaik untuk
pembentukan kalus adalah perlakuan dengan NAA 3,0 ppm, BAP 0,5 ppm. Tekstur kalus
yang diperoleh pada penelitian ini kompak dengan warna kalus yang berbeda yaitu
kuning, coklat keemasan dan coklat. (A. Wahyuni et al., 2020)
Di Makassar ditemukan pembudidayaan gaharu dengan cara yang berbeda, yaitu
Teknik Silvikultur. Penerapan teknik silvikultur untuk merawat lingkungan perkebunan
kelapa sawit, berkat pengaturan jarak tanam, untuk batubara, pengapuran dan pemupukan
dapat meningkat perkembangan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamrk.) tumpang sari.
Dengan jarak tanam kelapa sawit 4 m, hasilnya 5,0 kg arang/pohon atau 1,0 kg kapur
bubuk/pohon atau Pupuk NPK 159 g/tanaman, dapat meningkatkan secara signifikan
pertumbuhan tinggi dan diameter batang gaharu. (Suhartati, 2013)
Budidaya gaharu telah dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat.
Keberhasilan penanaman gaharu dapat dicapai dengan melindungi tanaman dari
kerusakan akibat serangan hama Heortia vitessoides, karena serangan tersebut
dapat mempengaruhi pertumbuhannya. Salah satu kendala pohon gaharu di
berbagai daerah adalah keberadaan ulat H. vitessoides Moore. Ulat ini memakan
daun muda dan tua untuk membuat tanaman botak dan mematikan tanaman
tersebut. Penanaman di lahan terbuka dengan jarak 3 x 2 m menerapkan sistem
monokultur karena gaharu mudah untuk meningkatkan frekuensi dan intensitas
serangan hama. Selain itu, pola serangan dan perilaku hama yang menyerang
sepanjang tahun dengan jumlah larva yang sangat banyak terdeteksi pada musim
kemarau mampu memakan seluruh daun, yang diduga menjadi faktor utama
penyebab angka kematian tersebut. kematian dari tanaman gaharu yang tinggi.
(Ngatiman & Erwin, 2020)
 Potensi Gaharu
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti gaharu merupakan komoditas yang
telah dikumpulkan secara teratur sejak manusia pertama kali menemukan hutan,
dan digunakan untuk berbagai tujuan. Hasil hutan bukan kayu merupakan hasil
komersial yang digunakan untuk melayani kebutuhan hidup, bahkan
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat. Adanya permintaan luar
negeri yang relatif tinggi terhadap gaharu khususnya Aquilaria malacensis
menyebabkan perburuan gaharu semakin meningkat dan tidak terkendali. Jenis
tanaman yang menghasilkan gaharu berbeda-beda di setiap daerah. Pohon gaharu
termasuk jenis dengan aroma khas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
wewangian, kemenyan, kemenyan, obat-obatan, sabun mandi, kosmetik dan
pengharum ruangan. (Putra et al., 2020).

Gaharu cukup meyebar di dunia, salah satu nya ialah di bagian Timur Laut
India. Petani pertanian di sana melakukan diversifikasi dengan gaharu untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga termasuk kayu, kayu bakar, dan tempat dupa.
Monokultur meningkatkan pendapatan petani, sedangkan polikultur dapat
meningkatkan manfaat sosial, ekologi dan lingkungan lainnya . Gaharu
merupakan salah satu varietas baik yang mencakup spesies pohon nomenklatur
dan memiliki berbagai kegunaan sebagai strategi konservasi keanekaragaman
hayati dan meningkatkan penghidupan petani. (Chandra et al., 2020)

Gaharu di Indonesia mulai dikenal masyarakat sekitar tahun 1200 M.


Perdagangan antara masyarakat Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat dengan
pedagang Cina. Saat itu gaharu digunakan sebagai pengharum tubuh dan ruangan
dengan cara dibakar. Masyarakat Hindu menggunakan gaharu sebagai pelengkap
ritual keagamaan. Secara tradisional, masyarakat Papua menggunakan daun, kulit
kayu dan akar pohon gaharu sebagai obat malaria dan perawatan kulit. Gaharu
juga dapat digunakan sebagai obat stres, gangguan ginjal, sakit perut, asma,
hepatitis, pembengkakan hati dan limpa, antibiotik untuk TBC, rematik, kanker,
malaria dan sakit maag. (Prastyaningsih et al., 2015). Potensi pohon gaharu
memiliki fungsi ekologis dari segi konservasi tanah dan air, karena pohon ini
memiliki akar yang lebat dan dalam. Sementara itu, daun gaharu telah digunakan
untuk mengobati sejumlah penyakit, termasuk hipertensi dan kanker, serta
digunakan sebagai obat malaria.(Yanti et al., 2020).

Daun gaharu yang diproduksi menjadi teh beraroma harum akibat


kandungan minyak atsiri yang ada di dalam nya. Melalui hasil skrining fitokimia
pada gaharu, terdapat jenis senyawa flavonoid, glikosida, tanin dan senyawa
steroid/triterpenoid yang merupakan senyawa dengan aktivitas antioksidan.
Sedemikian rupa sehingga dengan mengkonsumsi teh daun gaharu dipercaya akan
meningkatkan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. (Rahim et al., 2019)

Daun gaharu juga digunakan sebagai produk inovatif, seperti tepung daun
gaharu yang dapat digunakan untuk produk lainnya. Ekstrak daun gaharu (A.
malaccensis) mengandung metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, terpenoid,
steroid dan saponin serta berpotensi menjadi antioksidan dengan nilai konsentrasi
hambat (IC50) 50 ppm yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan tepung.
Proses dilakukan berdasarkan pedoman Cara Pembuatan yang Baik (CPPOB) atau
Good Manufacturing Practices (GMP), sehingga produk yang dihasilkan memiliki
kualitas yang terjamin dan aman bagi konsumen. .(Asta, 2018)

DAFTAR PUSTAKA

Asta, H. (2018). Proses Produksi Tepung Daun Gaharu Yang Berkorelasi


Dengan Standar Halal. 1(1), 1–10.

Catur, A. D., Sugiman, Sari, N. H., Sutanto, R., & Wiratama, I. K. (2019).
Penerapan Mesin Penyuling Pada Pengusaha Kayu Gaharu. 1(2), 57–64.

Chandra, P., Jyoti, A., Sileshi, G. W., & Kumar, A. (2020). Trees , Forests and
People Stand structure and functional attributes of agarwood ( Aquilaria
malaccensis Lam .) based smallholder farms in Northeast India. Trees,
Forests and People, 2(August), 100027.
https://doi.org/10.1016/j.tfp.2020.100027

Devi, G. (2021). AGARWOOD : THE PRECIOUS TREE. 9(July), 294–299.


https://doi.org/10.29121/granthaalayah.v9.i7.2021.4103

Dwianto. (2019). Anatomical observation and characterization on basic


properties of Agarwood ( Gaharu ) as an Appendix II CITES Anatomical
observation and characterization on basic properties of Agarwood
( Gaharu ) as an Appendix II CITES. https://doi.org/10.1088/1755-
1315/374/1/012062

Faibunchan, P., Yangthong, H., Nun-anan, P., Karrila, S., & Limhengha, S.
(2022). Effects of processing parameters on the properties of fully bio-based
poly ( butylene succinate-co-adept ) and epoxidized natural rubber blend
filled with agarwood waste : A taguchi analysis. Polymer Testing, 107,
107497. https://doi.org/10.1016/j.polymertesting.2022.107497

Fitriana, N., Muin, A., & Fahrizal. (2017). Pertumbuhan Tanaman Gaharu
(Aquilaria spp) Yang Diinokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Di
Bawah Tiga Kondisi Naungan. 5, 514–520.

Hasan, R. Al, Wahyuni, R., & Dharma. (2019). Potret Pembudidayaan Gaharu
Di Lombok Utara. 6(November), 517–525.

Hidayat, H., Siburian, R., & Yuliana, C. I. (2020). Gaharu Alam , Jaringan
Perdagangan , dan Gaharu Budidaya : Studi Kasus Kalimantan Timur.
16(1), 99–110. https://doi.org/10.47349/jbi/16012020/99

Irfandi, F., Hermiyanto, B., & Soedradjad, R. (2017). Inokulasi Cendawan


Fusarium sp . dari Berbagai Tanaman Inang dan Diameter Batang terhadap
Pembentukan Kemedangan Gaharu Jenis Gyrinophs versteegii Inoculation
of Fusarium sp . from Various Host Plants and Stems Diameter to Forming
Kemedangan Agarwood Type Gyrinophs versteegii. 10(1), 13–20.

Janshen, Y. R. (2016). Aktivitas antibakteri Ekstrak Daun Gaharu (Aquilaria


malaccensis Lamk.) Terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
auerus. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Kodey, R. L., Mofu, W. Y., & Dimara, P. A. (2021). Teknik Pemanfaatan


Tumbuhan Gaharu Pada Masyarakat Pencari Gaharu Di Kampung Merdey
Distrik Merdey Kabupaten Teluk Bintuni. 7(2), 219–228.

Mega, M., Suanda, D. K., Kasniari, D. N., Suena, W., & Parwata, M. A. O.
(2012). Formulasi inokulan jamur pembentuk gubal gaharu pada tanaman
ketimunan (Gyrinops versteegii). Agrotrop, 2(2), 139–144.

Ngatiman, & Erwin. (2020). Kematian Tanaman Gaharu Akibat Serangan Hama
Heortia vitessoides. 4(September), 124–131.

Pangesti, R. A. A., Bintoro, A., & Duryat. (2020). Seleksi dan Pengukuran
Kandidat Pohon Plus Gaharu ( Aquilaria malaccensis ) di Desa Krawang
Sari Kecamatan Natar. 4(1), 254–261.

Pasaribu, G., Waluyo, T. K., & Pari, G. (2013). Analisis Komponen Kimia
Beberapa Kualitas Gaharu Dengan Kromatografi Gas Spektrometri Massa.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(3), 181–185.
https://doi.org/10.20886/jphh.2013.31.3.181-185

Prastyaningsih, S. R., Ervayenri, E., & Azwin, A. (2015). Potensi Pohon


Penghasil Gaharu Budidaya Di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Wahana
Forestra: Jurnal Kehutanan, 10(2), 88–100.
https://doi.org/10.31849/forestra.v10i2.232

Putra, A., Prastiawan, A. D., & Prihanto, D. (2020). Menggali potensi dan
masalah pengembangan gaharu (Aquilaria spp) di Desa Putat Lor. Jurnal
Karinov, 3(2), 121–125.

Rachmawaty, Ashar, A., Ali, A., Pagarra, H., & Hiola, S. F. (2021). Pembentukan
Gaharu Pada Pohon Aquilaria malaccensis Lamk ., Menggunakan Inokulum
Fusarium sp . Jurnal Sainsmat, X(2), 178–188.

Rahim, A. F. A., Kadri, A., & Harun, N. M. (2019). The effect of enzymatic pre-
treatment in agarwood oil extraction. International Journal on Advanced
Science, Engineering and Information Technology, 9(4), 1317–1323.
https://doi.org/10.18517/ijaseit.9.4.3892

Riana, A., Muin, A., & Fahrizal. (2017). Penggunaan Campuran Cocopeat Dan
Pupuk Kandang Unt; Penanaman Gaharu (Aquilaria spp) Pada Tanah
Ultiso; Pak Laheng Kecamatan Toho. 5, 962–968.

Selno, S., Zakiah, Z., & Kurniatuhadi, R. (2021). Kualitas Gaharu Aquilaria sp.
dengan Pemberian Bioinokulan Fermentasi Batang Pisang. 11(2), 94–101.

Setyaningrum, H. D., & Saparinto, C. (2014). Panduan Lengkap Gaharu.

Suhartati. (2013). Budidaya Tanaman Gaharu ( Aquilaria malaccensis Lamrk.)


Di Lahan Kebun Kelapa Sawit Dengan Aplikasi Teknik Silvikultur. 10(1),
37–47.

Triadiati., Carolina, D. A., & . M. (2016). Induksi Pembentukan Gaharu


Menggunakan Berbagai Media Tanam dan Cendawan Acremonium sp. dan
Fusarium sp. Pada Aquilaria crassna. Jurnal Sumberdaya Hayati, 2(1), 1–6.
https://doi.org/10.29244/jsdh.2.1.1-6

Triesty, I. (2017). Ekstraksi Minyak Atsiri dari Gaharu ( Aquilaria Malaccensis )


dengan Menggunakan Metode Microwave Hydrodistillation dan Soxhlet
Extraction. 6(2).

Try, F. Y. L., Muin, A., & Idham, M. (2017). Pengaruh Diameter Pohon Dan
Jarak Lubang Inokulasi Terhadap Pembentukan Gubal Gaharu Pada
Tanaman Aquilaria Malaccensis. 5, 200–208.

Ulfah, Z., Prastiwi, R., & hayati, hayati. (2021). Review Tanaman Gaharu
(Aquilaria malaccensis Lam.) Ditinjau Dari Segi Farmakognosi, Fitokimia,
Dan Aktivitas Farmakologi. Farmasains : Jurnal Ilmiah Ilmu Kefarmasian,
8(2), 105–114. https://doi.org/10.22236/farmasains.v8i2.5407

Wahyuni, A., Satria, B., & Zainal, A. (2020). Induksi Kalus Gaharu dengan NAA
dan BAP Secara In Vitro. 22(1), 39–44.

Wahyuni, T., & Yuliana, H. (2021). Analisis Biaya Penyulingan Minyak Gaharu
Budidaya Di Tenggarong, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan,
39(2), 88–98. https://doi.org/10.20886/jphh.2021.39.2.88-98

Wang, Z., Cao, H., & Cai, C. (2020). Using genetic markers to identify the origin
of illegally traded agarwood-producing Aquilaria sinensis trees. Global
Ecology and Conservation, 22, e00958.
https://doi.org/10.1016/j.gecco.2020.e00958

Widoyanti, Prasetyorini, & Ismanto. (2017). Perbedaan Struktur Anatomi


Tumbuhan Penghasil Gaharu Aquilaria spp. Dan Gyrinops versteegii. 17(1),
1–6.

Womsiwor, D., Dimara, P., & Mofu, W. (2018). Klasifikasi Kualitas dan Nilai
Komersial Gaharu Pada Klaster Pedagang Pengumpul di Kabupaten Sorong.
Jurnal Kehutanan Papuasia, 4(1), 9–33.

Yanti, U. N., Sumping, A., Dandri, M., Dona, A., Secong, T. T., Sirhi, S., &
Setiawan, B. (2020). Pemanfaatan Daun Gaharu Sebagai Pengobatan Secara
Alami Penyakit Kanker Dan Hipertensi. Jurnal Pengabdian Masyarakat
Khatulistiwa, 3(2), 88–93. https://doi.org/10.31932/jpmk.v3i2.885

Anda mungkin juga menyukai