Anda di halaman 1dari 22

Pendidikan dan Pergerakan Nasional

sejarahyogja.wordpress.com

Adakah pengaruh pendidikan dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme? Sebuah tesis yang
membutuhkan jawaban cukup rumit karena latar belakang pendidikan di Indonesia tidak bisa lepas
dari sejarah kolonialisme. Di balik sistem kolonialisme telah membonceng sistem ekonomi kapitalis
yang bertujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia sehingga
Belanda mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Politik Etis (Ethische Politiek), khususnya di
bidang pendidikan, adalah kebijakan kolonial yang bertujuan untuk melestarikan kekuasaan dan
kultur kolonial di bumi jajahan. Sedangkan sistem kapitalis meraih keuntungan besar lewat
kebijakan politik etis karena berhasil mendapatkan sumber daya manusia terdidik dan terlatih
dengan harga murah. Di luar narasi sejarah kolonialisme dan kepentingan kapitalisme, politik etis
justru menjadi titik awal dari kebangkitan kaum pribumi. Lahirnya para elite terdidik dari kalangan
pribumi telah menumbuhkan “kesadaran baru” dalam kehidupan berbangsa. Kesadaran baru dalam
kehidupan berbangsa mengantarkan para elite terdidik untuk menyusun kekuatan dengan
pendekatan baru, yaitu pergerakan nasional menggunakan wadah organisasi. Para pendiri
organisasi-organisasi pergerakan nasional memiliki ternyata latar belakang Pendidikan modern.

Tulisan ini mengangkat topik “pendidikan dan pergerakan nasinal” dalam rangka membangun
kesadaran nasionalisme berbangsa lewat peran organisasi-organisasi yang pernah berdiri di
Yogyakarta dalam rentang tahun 1908-1922. Kajian ini difokuskan pada organisasi Budi Oetomo
(1908), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), dan Taman Siswa (1922).

Lahirnya Elite Terdidik Bumiputra

Awal mula proses perubahan sosial, budaya, dan politik di tanah air pada awal abad 20 ketika rezim
kolonial mencanangkan kebijakan Politik Etis (1901) yang meliputi tiga bidang: pengairan,
transmigrasi, dan pendidikan (M.C. Ricklefs, 2005: 320). Dalam bidang pendidikan, kebijakan Politik
Etis dipandang sebagai upaya mendidik kaum bumiputra untuk meningkatkan kemakmuran di tanah
jajahan. Robert van Niel dalam buku Munculnya Elite Modern Indonesia (2009: 102)
menulis, “Mendidik massa besar bangsa Indonesia adalah juga bagian yang pokok dari politik etis
kolonial dengan pemberantasan buta huruf dan menaikkan kemakmuran sebagai tujuan utama.”

Barangkali van Niel benar, di antara tujuan Politik Etis adalah upaya mendidik bangsa Indonesia
lewat pemberantasan buta huruf untuk tujuan kemakmuran kaum bumiputra. Akan tetapi, analisis
tersebut datang dari seorang sejarawan yang secara individual memiliki ikatan ideologis-historis
dengan politik kolonialisme Belanda. Narasi yang ia hadirkan jelas mengisyaratkan bahwa di balik
kolonialisme Belanda terdapat political will untuk memajukan kaum bumiputra. Dengan demikian,
kaum bumiputra pun harus merasa berutang budi kepada bangsa Belanda, sekalipun mereka telah
menindas dan mengeksploitasi bangsa dan hasil bumi selama tiga setengah abad lamanya.
Argumentasi semacam ini jelas sulit diterima oleh nalar sehat kaum bumiputra yang telah kenyang
menghadapi penindasan dan eksploitasi kaum kolonial.

Latar belakang munculnya kebijakan Politik Etis berawal dari situasi politik di parlemen Kerajaan
Belanda yang dikuasai oleh kubu sosialis. Kemenangan Partai Liberal yang berhaluan sosialis di
bawah pimpinan van Kol telah mengubah paradigma baru sikap kolonialisme Belanda terhadap
tanah jajahan, terutama di Hindia-Belanda. Dalam pidato kenegaraan tahun 1901, Ratu Wilhelmina
telah memerintahkan kepada pemerintah kolonial Belanda lewat Menteri Urusan Jajahan supaya
mengadakan penyelidikan tentang kesejahteraan masyarakat bumiputra, terutama di tanah Jawa,
sebagai dasar pengambilan kebijakan tersebut. Berperan sebagai implementor kebijakan adalah
Menteri Urusan Jajahan yang dijalankan oleh Inspektur Pendidikan Bumiputra (1902) di bawah
pengawasan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ricklefs dalam bukunya, Sejarah Indonesia
Modern (2005: 320) mencatat, dalam rangka menjalankan kebijakan Politik Etis, pemerintah kolonial
Belanda telah menganggarkan sekitar 40 juta gulden.

Ada yang unik pada waktu itu karena posisi Menteri Urusan Jajahan tengah kosong pasca wafat
T.J.A. van Asch van Wijk, sehingga diisi oleh A.W.F. Idenburg yang juga menjabat sebagai Gubernur
Jenderal Hindia Belanda (Van Niel, 2009: 55-56). Idenburg adalah politikus dari Partai Kristen yang
bersebarangan haluan dengan kaum sosialis di bawah pimpinan Van Kol. Pada level elite, kebijakan
Politik Etis mengalami tarik ulur kepentingan. Pada level praktis, proses implementasi kebijakan ini
juga terpecah dalam beberapa friksi dan kepentingan.
Van Deventer—dikenal sebagai “Bapak Politik Etis”—G.P. Rauffaer, E.B. Kielstra, dan Dirk Fock adalah
tokoh-tokoh Sosialis yang menghendaki pendekatan populis dalam penerapan Politik Etis.
Sebaliknya, C. Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon adalah tokoh-tokoh dari Partai Kristen yang
menghendaki pendekatan elite dalam penerapan Politik Etis. Ketika Dirk Fock menjabat sebagai
Menteri Urusan Jajahan (1905-1908), kebijakan Politik Etis di bidang pendidikan lebih
mengutamakan penyelenggaraan sekolah-sekolah teknik dan kejuruan. Hurgronje dan Abendanon
justru berseberangan dengan Fock. Keduanya lebih memilih untuk mendekati kaum elite, yaitu anak-
anak kaum bangsawan Jawa (priyayi), untuk masuk di sekolah-sekolah kolonial yang bersifat
profesional dan mengusahakan beasiswa untuk studi di negara Belanda (Van Niel, 2009: 59-60).

Menurut sejarawan Riklefs (2005: 336), sesungguhnya pemerintah kolonial Belanda memiliki motif-
motif politik dan ekonomi di balik penyelenggaraan kebijakan Politik Etis. Situasi politik pada waktu
itu memang mengharuskan pemerintah kolonial Belanda mengambil kebijakan strategis, khususnya
di bidang pendidikan, pengairan, dan transmigrasi. Van Niel pun tidak dapat menyangkal lagi motif
ekonomi di balik kebijakan Politik Etis. Pemerintah kolonial melihat Indonesia sebagai pasar
potensial yang perlu ditingkatkan standar hidup warganya. Kebutuhan eksploitasi sumber daya alam
mentah membutuhkan tenaga-tenaga cakap dan terampil tetapi dengan gaji yang murah. Dalam hal
ini, kebijakan Politik Etis di bidang pendidikan memiliki motif ekonomi dan sekaligus politik. Dengan
meningkatkan standar hidup warga bumiputra, pemerintah kolonial Belanda berharap kepada anak-
anak bumiputra terpelajar agar tahu berterima kasih dan menunjukkan loyalitas kepada mereka
(Riklefs, 2005: 337).

Dalam proses implementasinya, penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda


memang tidak bisa berjalan secara adil dan merata. Pada kenyataannya, kebijakan ini hanya
diperuntukkan bagi kalangan warga Belanda, kelas bangsawan, dan kaum priyayi. Sekalipun kelas
bangsawan dapat dikategorikan sebagai kaum priyayi, tetapi mereka berbeda karena berada pada
posisi elite. Banyak pula anak-anak dari kaum “priyayi rendahan” dapat mengakses pendidikan
kolonial. Justru dari kelas priyayi rendahan inilah nantinya banyak melahirkan tokoh-tokoh
pergerakan nasional. Adapun warga bumiputra dari kelas menengah ke bawah hanya sedikit yang
bisa mengakses pendidikan kolonial, termasuk kesempatan belajar ke negeri Belanda. Akan tetapi,
para elite terpelajar bumiputra dari kalangan priyayi rendahan dan kelas menengah ke bawah inilah
yang nantinya melahirkan kaum intelektual yang mengubah sejarah bangsa. Mereka kemudian sadar
dan bangkit melawan penjajahan yang membawa ketidakadilan di tanah air. Para student bumiputra
yang menempuh studi di negeri Belanda pun tergugah rasa nasionalisme mereka. Di negeri Belanda,
mereka membentuk perhimpunan (vereeniging) yang bertujuan untuk memupuk kesadaran
nasionalisme.

Seiring perubahan zaman, kebijakan Politik Etis justru menjadi bumerang bagi kepentingan kolonial
Belanda. Kebijakan tersebut ternyata hanya sedikit melahirkan kaum intelektual bumiputra yang
loyalis kepada kolonial Belanda. Sekelompok elite terpelajar dari kalangan priyayi rendahan merasa
tergugah untuk membela kaum bumiputra yang selama berabad-abad telah dijajah oleh kolonial
Belanda. Kelahiran kaum terpelajar bumiputra inilah yang pada akhirnya nanti melahirkan semangat
kebangsaan baru. Mereka mulai memikiran masa depan bangsa yang sudah sekian abad lamanya
dijajah oleh bangsa asing.
Robert van Niel dan Frances Gouda tidak dapat memungkiri peran kaum intelektual bumiputra dalam
proses kebangkitan nasional Indonesia. Van Niel (2009: 55-56) menyadari bahwa praktek Politik Etis
di bidang pendidikan mengalami tarik ulur kepentingan antara kelompok Sosialis yang mendominasi
di parlemen Belanda dengan Menteri Urusan Jajahan selaku implementor kebijakan. Menurut Gouda
dalam bukunya, Dutch Culture Overseas  (1995: 52), kebijakan tersebut hanya melahirkan ironi yang
menyedihkan karena merupakan strategi kolonialisme baru di Hindia-Belanda. Sekalipun kebijakan
ini telah melahirkan semangat nasionalisme kaum bumiputra lewat peningkatan penyelenggaraan
pendidikan, tetapi agenda-agenda di balik kebijakan ini tidak pantas dijalankan oleh bangsa yang
telah berabad-abad mengeksploitasi kekayaan alam Hindia-Belanda.

Pendekatan Hurgronje membuahkan hasil ketika Achmad Djajadiningrat, seorang putra bangsawan
di Banten, berhasil dibimbing untuk menyelesaikan Sekolah Menengah di Batavia. Adiknya, yakni
Hoessein Djajadiningrat, malah berhasil melanjutkan studi ke Leiden berkat bimbingan Hurgronje.
Abendanon melakukan reformasi institusi pendidikan dengan mengubah Sekolah Dokter Jawa di
Weltevreden menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dan Hoofdenscholen di
Bandung, Magelang, dan Probolinggo diubah menjadi Opleiding School voor Inlandsche
Ambtenaren (OSVIA) (Riklefs, 2005: 330).

STOVIA merupakan salah satu institusi pendidikan yang menjadi pilot project kebijakan Politik Etis di
bidang pendidikan. Kampus ini telah melahirkan banyak intelektual bumiputra, seperti: Soetomo,
Soelaeman, Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirdjo, M. Soewarno,
Muhammad Saleh, Soeradji, Goembreg, Radjiman Wedyodiningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo,
Soewardi Soerjaningrat, Tirtoadisoerjo, Wahidin Soedirohoesodo, dan lain-lain. Tokoh yang
disebutkan terakhir tergolong senior.

Bermula ketika Wahidin Soedirohoesodo, lulusan sekolah Dokter Jawa, yang merasa prihatin atas
kemunduran orang-orang Jawa. Pada tahun 1901, menurut sumber Riklefs (2005: 343), dia
menerbitkan surat kabar Retnadoemilah di Yogyakarta. Dia menghimpun dana beasiswa (studiefond)
untuk menyekolahkan anak-anak priyayi Jawa agar dapat mengenyam pendidikan Barat. Pada tahun
1907, Wahidin berkunjung ke almamaternya, STOVIA, dalam rangka penggalangan dana. Pertemuan
Wahidin dengan para mahasiswa di STOVIA berhasil mencapai kesepakatan untuk membentuk
sebuah perkumpulan (organisasi) yang akan memajukan kaum priyayi di tanah Jawa. Soetomo dan
kawan-kawan sangat antusias mendengar gagasan Wahidin sehingga mereka sepakat membentuk
sebuah organisasi untuk memajukan kaum bumiputra, khususnya kaum priyayi Jawa. Rasa
nasionalisme mereka mulai tergugah setelah mengenyam pendidikan modern di STOVIA. Pada hari
Rabu pagi tanggal 20 Mei 1908 di aula kampus STOVIA, mereka mendeklarasikan sebuah
perkumpulan bernama Boedi Oetomo (BO) (Gamal Kamandoko, 2008: 8).

Selain Soetomo dan kawan-kawan, di antara tokoh-tokoh nasional lulusan STOVIA adalah Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara. Tjipto Mangoenkoesoemo adalah
aktivis Insulinde dan Indische Partij. Pemikirannya yang revolusioner sulit diterima di kalangan aktivis
BO yang cenderung elitis. Dia akhirnya hengkang dari BO lalu membentuk Insulinde dan Indische
Partij bersama Douwes Dekker. Sedangkan Ki Hajar Dewantara, selain aktif di BO dan bergabung
dalam Insulinde dan Indische Partij, dia mendirikan Perguruan Taman Siswa.
Kampus OSVIA di Bandung, Magelang, dan Probolinggo juga banyak melahirkan kaum intelektual
bumiputra. Khusus untuk OSVIA di Magelang, misalnya, institusi pendidikan kolonial produk Politik
Etis ini telah melahirkan sosok H.O.S. Tjokroaminoto, president Centraal Sarekat Islam (CSI). Salah
seorang guru bumiputra yang mengajar pelajaran budi pekerti di OSVIA Magelang adalah K.H.
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Arah Baru Politik Pergerakan

Sebelum munculnya elite terpelajar bumiputra di tanah air, perjuangan melawan kolonialisme
Belanda cenderung menggunakan perlawanan fisik dan berlangsung secara sporadis. Perlawanan
rakyat Aceh dipimpin Teuku Umar, perlawanan rakyat Sulawesi dipimpin Pattimura, perang rakyat
Minangkabau dipimpin Tuanku Imam Bonjol, perlawanan rakyat Madura dipimpin Trunojoyo, perang
rakyat Jawa dipimpin Pangeran Diponegoro, adalah bentuk-bentuk perjuangan kaum bumiputra
melawan kolonialisme Belanda. Perjuangan mereka cenderung menggunakan kekuatan fisik dan
bersifat kedaerahan. Dengan mudah pasukan Belanda menumpas gerakan-gerakan perlawanan
yang berusaha melepaskan diri dari kolonialisme.

Setelah lahir kaum elite terpelajar bumiputra, strategi perjuangan tidak lagi mengandalkan kekuatan
fisik. Kaum intelektual menggunakan wawasan dan pengetahuan mereka untuk membangun
kesadaran kolektif akan masa depan bangsa yang terus ditindas secara sistemik oleh bangsa
Belanda. Lahirnya gerakan-gerakan kaum bumiputra yang terorganisasi secara sistematis berawal
dari kesadaran yang terbangun secara kolektif untuk tujuan persatuan bangsa.  Pergerakan nasional
mulai menemukan strategi dan arah baru menuju cita-cita yang lebih luhur di atas kepentingan
kelompok tertentu.

Eksistensi STOVIA dan OSVIA dalam praktek penyelenggaraan Politik Etis di bidang pendidikan
memang sangat signifikan dalam proses pembentukan kelompok intelektual (terpelajar) baru di
tanah air. Pendekatan Hurgronje dan Abendanon memang tampak nyata ketika keduanya berhasil
menyakinkan para bangsawan dan priyayi rendahan untuk menyekolahkan anak-anak mereka di
STOVIA dan OSVIA. Takashi Shiraishi (2005: 38) mencatat, pada tahun 1900, jumlah mahasiswa di
STOVIA dan OSVIA 376 orang. Lima belas tahun kemudian (1915), jumlah mahasiswa di kedua
kampus tersebut sudah mencapai 1.470 orang. Lima tahun kemudian (1920), jumlah mahasiswa di
kedua kampus tersebut sudah mencapai 3.917 orang. Mereka inilah yang kemudian mengawal
proses perubahan sosial di tanah air dalam rangka membentuk tatanan masyarakat baru.

Pada mulanya, kaum muda lulusan sekolah-sekolah Belanda di Weltevreden, Bandung, Probolinggo,
dan Magelang tidak saling mengenal secara individu-individu. Kasta sosial telah membatasi
pergaulan antara anak-anak keturunan bangsawan dan priyayi rendahan, apalagi dari kelas
menengah ke bawah. Pola interaksi di antara anak-anak keturunan bangsawan dibatasi oleh norma-
norma adat Jawa yang penuh prestise.

Setelah terbentuk organisasi BO, masing-masing menyadari bahwa bangsa mereka yang tercerai-
berai dalam kondisi yang amat memprihatinkan. Sekalipun mereka dapat mengakses pendidikan
modern ala Barat, tetapi pada kenyataannya sumber daya manusia bumiputra tidak dapat
disejajarkan dengan orang-orang Belanda. Mereka tetap menempati kasta sosial kedua. Kondisi
seperti inilah yang menyebabkan beberapa intelektual bumiputra protes terhadap sistem pendidikan
kolonial.

Sejak pembentukan organisasi BO, kaum intelektual bumiputra mulai tergugah. Kesadaran
“nasionalisme” mulai tumbuh sejak mereka berinteraksi dengan yang lain sehingga terbentuklah
suatu gagasan tentang pandangan hidup, nasib kaum bumiputra, dan masa depan. Pertemuan-
pertemuan diskusi di antara mahasiswa-mahasiswa di Weltevreden (STOVIA), Bandung,
Probolinggo, dan Magelang (OSVIA) melahirkan kesadaran baru akan nasib dan masa depan kaum
bumiputra di bawah sistem kolonialisme Belanda. Dari sinilah embrio nasionalisme terbentuk lewat
segelintir kaum intelektual bumiputra yang pernah mengenyam pendidikan model Barat.

Meskipun bukan organisasi bumiputra pertama,  BO telah memainkan peran sosial-politik yang
cukup signifikan dalam sejarah kebangkitan nasional. Gerakan-gerakan nasional pasca kelahiran BO
bersifat modern, mengutamakan pemberdayaan masyarakat bumiputra, dan diselenggarakan oleh
kaum terpelajar. Dalam konteks sosial, gerakan BO mengorganisasi dan menyelenggarakan sekolah-
sekolah bagi kaum bumiputra. Dalam konteks politik, BO bersama Sarekat Islam dan organisasi-
organisasi bumiputra yang lain terlibat dalam pembentukan Parlemen Rakyat (volksraad). Faktor
terakhir inilah yang menyebabkan organisasi BO pecah hingga akhirnya bubar menyisakan
persoalan-persoalan organisasi yang tidak pernah terselesaikan.

Kelahiran organisasi Muhammadiyah yang secara tidak langsung terinspirasi oleh gerakan BO,
kemunculan Sarekat Islam, Insulinde, Indische Partij, ISDV, Korps Arbeidsleger (Tentara Buruh),
Taman Siswa, Kongres Perempuan, Princess Bond, Wal Fajri, ‘Aisyiyah, dan organisasi-organisasi lain
di Yogyakarta pada awal abad 20 merupakan model baru pergerakan nasional dengan karakter
masing-masing. Organisasi-organisasi tersebut dibentuk secara modern dengan struktur pengurus
terdiri dari kalangan kaum terpelajar lulusan sekolah-sekolah kolonial. Masing-masing memiliki
konsep atau gagasan yang berbeda tentang nasionalisme bumiputra.

Sekalipun memiliki konsep atau gagasan yang berbeda tentang nasionalisme, masing-masing
memiliki persamaan, yakni setiap organisasi dibentuk sebagai respons atas kolonialisme Belanda
yang melahirkan ketidakadilan. Penindasan sistemik (kolonialisme) tidak lagi dilawan dengan
kekuatan fisik secara sporadis, tetapi lebih menggunakan pendekatan politik dalam arti luas. Yaitu,
pendekatan politik yang berusaha memengaruhi, menyadarkan, dan memberdayakan kaum
bumiputra agar menyadari kondisi dan masa depan bangsa. Tujuannya adalah mempersatukan
elemen-elemen masyarakat yang telah tersekat-sekat dalam sistem sosial-politik di bawah
kolonialisme Belanda. Strategi penyadaran dan pemberdayaan menjadi corak khas organisasi-
organisasi modern tersebut. Gagasan “persatuan” menjadi cita-cita bersama yang akan memupus
kasta-kasta sosial sehingga kaum bangsawan dan priyayi dapat bersatu bersama rakyat jelata.
Dengan persatuan terbentuklah kekuatan. Meminjam teori Paulo Freire (2008: 197), “para pemimpin
harus menyerahkan dirinya bagi usaha tanpa kenal lelah bagi persatuan kaum tertindas—dan
persatuan para pemimpin dan kaum tertindas—untuk mencapai pembebasan.”

Boedi Oetomo (1908)

“Kaum muda membentuk kesadaran “nasional” mereka sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak
bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas…” tulis
Takashi Shiraishi (2005: 41). “Kaum muda” dalam pandangan Shiraishi adalah para lulusan sekolah-
sekolah kolonial yang telah mengenal gaya hidup modern dan memiliki wawasan pengetahuan yang
cukup. Salah satu misi kebijakan Politik Etis di bidang pendidikan adalah mengangkat kehidupan
kaum bumiputra dan menuntun mereka menuju modernitas. Boedi Oetomo lahir sebagai dampak
dari kebijakan politik tersebut.

Pertama kali digagas, BO belum memiliki nama resmi. Namun, dasar pemikiran untuk melahirkan
sebuah organisasi sudah terbentuk. Ketika Wahidin Sudirohusodo mempresentasikan gagasannya
di depan para mahasiswa STOVIA, secara spontan Soetomo berkomentar, “Punika satunggaling
pandamelan sae sarta nelakaken budi utami” (Ini merupakan perbuatan baik serta mencerminkan
keluhuran budi). Soeradji, salah seorang mahasiswa STOVIA yang menjadi salah satu dari sembilan
pemuda perintis BO, langsung menggunakan dua kata terakhir yang diucapkan Soetomo untuk
memberi nama organisasi tersebut (Kamandoko, 2008: 45).

BO dideklarasikan di aula kampus STOVIA pada hari Rabu sekitar pukul 09.00 WIB tanggal 20 Mei
1908. Struktur pertama menempatkan sosok Soetomo sebagai ketua dengan wakilnya Soelaeman.
Jabatan sekretaris I dipegang oleh Soewarno, sedangkan sekretaris II dipegang oleh Goenawan
Mangoenkoesoemo. Sedangkan, jabatan bendahara dipegang oleh Angka Prodjosoedirdjo. Empat
tokoh yang lain, yakni M. Soewarno, M. Moehammad Saleh, Soeradji, dan Goembreg, menduduki
posisi sebagai komisaris. Tujuan BO, sebagaimana diutarakan Soewarno dalam surat kabar De
Locomotief (24 Juli 1908), adalah sebagai berikut: “Meringankan beban perjuangan hidup bangsa
Jawa melalui perkembangan yang harmonis dan kerohanian.”

Ketika dideklarasikan di aula kampus STOVIA, para pengurus BO telah mengundang delapan
perwakilan sekolah-sekolah kolonial dari berbagai daerah. Namun, dari delapan sekolah tersebut
hanya tiga sekolah yang bersedia mendirikan cabang BO. Ketiga daerah tersebut adalah OSVIA
Magelang, Kweekschool Yogyakarta, dan Hogere-burgerschool Surabaya. Khusus untuk cabang BO
di Yogyakarta menggunakan Kweekschool di Jetis (sekarang SMK Negeri 3 Yogyakarta) sebagai
kantor cabang. Tetapi, pasca kongres pertama BO, Yogyakarta ditetapkan sebagai kantor pusat
organisasi ini.

Kongres pertama BO diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Wahidin
Soedirohoesodo dipercaya sebagai ketua panitia kongres. Dalam kongres, Wahidin mengungkapkan
pendapatnya tentang pentingnya kaum bumiputra, khususnya para priyayi Jawa, mendapat
pendidikan model Barat. Perdebatan dalam kongres akhirnya mengerucut antara perlu tidaknya
kaum bumiputra mendapat pendidikan gaya Barat (Kamandoko, 2008: 60-62). Mas
Mangoenhoesodo, dokter kraton Kasunanan Surakarta, berpendapat bahwa warga pribumi tidak
pantas mendapat pendidikan model Barat karena bertentangan dengan norma-norma adat.
Pendapat Mas Mangoenhoesodo dibantah oleh Raden Ngabehi Wediodipoero (dikenal dengan nama
Radjiman Wedyodiningrat). Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soetomo sejalan dengan pendapat
Wahidin Soedirohoesodo. Akan tetapi, Tjipto Mangoenkoesoemo (kakak kandung Goenawan
Mangoenkoesoemo) justru menyerang pendapat Wahidin dan melayangkan protes sekaligus
terhadap budaya feodalisme kaum bangsawan di Jawa. Tjipto tidak sendirian. Dia mendapat
dukungan dari Soerjodipoetro.
Perdebatan di tubuh elite BO memang telah muncul sejak pertama kali organisasi ini dideklarasikan.
Ketika kongres pertama berlangsung, Tjipto Mangoenkoesoemo menghendaki organisasi ini tidak
hanya sebatas untuk kalangan priyayi Jawa, tetapi untuk seluruh penduduk bumiputra tanpa
mengenal kasta sosial. Cita-cita persatuan bumiputra adalah tujuan akhir organisasi ini
sebagaimana gagasan Tjipto Mangunkusumo. Perdebatan akhirnya dimenangkan oleh kubu
Wahidin Soedirohoesodo. Dalam kongres pertama BO disepakati tujuan organisasi ini sebagai
berikut: “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa
dan Madura secara harmonis” (Kamandoko, 2008: 79).

Selain memutuskan program kerja, kongres pertama BO juga berhasil menetapkan pengurus baru
dengan struktur sebagai berikut: R.A.A. Tirtokoesoemo (ketua), Wahidin Soedirohoesodo (wakil
ketua), M. Ng. Dwidjosewojo (sekretaris I), R. Soesrosoegondo (sekretaris II), R.M.P. Gondoatmodjo
(bendahara), R.M. Soerjodipoetro, Tjipto Mangoenkoesoemo, R. Djajasoebrata, dan R.M.P.
Gondosoemarjo (komisaris). Karena faktor senioritas, kesembilan mahasiswa STOVIA yang menjadi
perintis dan pengurus pertama BO digantikan oleh kaum tua dari kelas bangsawan. Soetomo,
Soelaeman, Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirdjo, M. Soewarno,
Muhammad Saleh, Soeradji, dan Goembreg hanya menjadi anggota biasa sambil meneruskan studi
mereka di STOVIA.

Kepemimpinan Tirtokoesoemo terlalu lemah ketika menghadapi gejolak dalam tubuh BO. Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soerjodipoetro memutuskan keluar dari organisasi ini karena berbeda
konsep secara mendasar. Tjipto menghendaki BO terlibat langsung dalam kancah politik
pergerakan, tetapi kubu kaum tua lebih mengutamakan pemberdayaan kaum priyayi Jawa,
khususnya lewat pendidikan model Barat.

Dalam kongres BO kedua yang diselenggarakan pada tanggal 10-11 Oktober 1909 di Yogyakarta,
perdebatan intelektual tidak tampak karena tokoh-tokoh revolusioner telah hengkang lebih dahulu.
BO tak ubahnya paguyuban kaum priyayi Jawa yang sudah tidak memiliki kekuatan sebagai mesin
perubahan. Satu catatan yang cukup berarti dalam kongres BO kedua adalah gagasan agar bahasa
Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi organisasi (Kamandoko, 2008: 88). BO sempat mengajukan
usul kepada Volksraad agar bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi selain bahasa Belanda.

Pasca kepemimpinan Tirtokoesoemo, BO dipimpin oleh Pangeran Ario Notodirodjo, putra Pakualam
V, pada tahun 1912. Notodirodjo dinilai sangat liberal, tetapi dia berhasil memajukan pendidikan
kaum priyayi Jawa. Kepemimpinannya didukung penuh oleh Kraton Surakarta dan Yogyakarta
sehingga memudahkan baginya untuk mendapatkan dana yang melimpah.

Pada tahun 1923, Soetomo baru saja pulang ke tanah air setelah menyelesaikan studi di negeri
Belanda. Dia membentuk Indonesische Studie Club (ISC) di Surabaya pada tahun 1924. ISC
kemudian berubah menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Setahun kemudian (1925), kantor
pusat BO dipindah ke Semarang (Kamandoko, 2008: 135-136). Sejak saat itulah, BO mulai
dikendalikan oleh kaum muda revolusioner. Namun, sepak terjang para aktivis BO masih tetap pada
garis kebijakan organisasi, yakni bersifat kooperatif, bahkan layalis kepada pemerintah kolonial
Belanda. Ketika geliat kaum muda semakin revolusioner, terutama setelah muncul gerakan Indische
Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) di Semarang, pengurus pusat BO mengeluarkan
keputusan untuk menarik diri dari politik. Kongres BO terakhir pada tahun 1935 memutuskan
penggabungan organisasi ini dalam Partai Indonesia Raya (Parindra) pimpinan Dokter Soetomo.
Dengan leburnya BO ke dalam Parindra, maka habislah riwayat organisasi ini.

Sarekat Islam (1911)

Kelahiran Sarekat Islam (SI) termasuk dalam mata rantai kebangkitan nasional di tanah air.
Sekalipun cikal-bakal organisasi ini berupa perkumpulan ronda dari para pengusaha batik di
kampung Laweyan (Surakarta), tetapi setelah mendapat suntikan gagasan segar dari seorang
lulusan STOVIA, perkumpulan tersebut berkembang pesat. Menurut Deliar Noer, dalam
bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (1996: 115), perkumpulan ronda tersebut
bernama Rekso Roemekso, berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905 atau sekitar tiga tahun sebelum
berdiri BO. Latar belakang pendirian perkumpulan ini disebabkan karena dominasi para pedagang
Tiongkok dan akibat tekanan dari para pejabat kraton (Van Neil, 2009: 135). Pendirinya Haji
Samanhoedi, seorang pedagang batik kelahiran Sondokoro, Karanganyar, Surakarta. Adapun tokoh
lulusan STOVIA yang membantu membesarkan perkumpulan ini adalah R.M. Tirtoadisurjo.

Setelah organisasi BO berdiri, organisasi-organisasi pergerakan bumiputra bermunculan. Pada tahun


1909, Tirtoadisurjo mendirikan Sarekat Dagang Islamiah (SDI) di Batavia untuk membantu
pedagang-pedagang muslim di tanah air (Riklefs, 2005: 347). Pada tahun 1911, Tirto mendorong
Samanhoedi untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam di Surakarta. Cabang-cabang SDI lainnya pun
segera didirikan. Di Surabaya, Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto menjadi pimpinan organisasi
tersebut. Organisasi ini kemudian menjadi lambang solidaritas kelompok yang didorong oleh
perasaan tidak suka kepada orang-orang Tiongkok, pejabat-pejabat priyayi, dan kolonial Belanda.

Cikal-bakal SDI Surakarta adalah perkumpulan Rekso Roemekso yang telah didirikan oleh


Samanhoedi. Dengan kapasitas intelektualnya, Tirtoadisurjo membantu menyusun anggaran dasar
(statuten) dan merancang perkumpulan ini sebagai sebuah organisasi modern. Dia
merancang statuten (anggaran dasar) organisasi ini dan diajukan kepada pemerintah kolonial
Belanda. Pada tanggal 11 November 1912 (Noer, 1996: 115), SDI Surakarta resmi berdiri. Ketika SDI
di bawah pimpinan Samanhoedi, organisasi ini tidak terlalu populer. Faktor kepemimpinan
Samanhoedi memang kurang dapat dirasakan oleh para anggotanya, sehingga SDI kurang
berkembang. Samanhoedi memang bukan intelektual lulusan sekolah Belanda sehingga tipikal
kepemimpinannya dapat dikatakan tradisionalis.

SDI cabang Surabaya semakin maju, tetapi pemerintah kolonial justru membekukan organisasi ini.
Sepak terjang Tjokroaminoto dinilai terlalu membahayakan stabilitas pemerintah kolonial sehingga
surat izin SDI cabang Surabaya dicabut. Tidak patah arang, Tjokroaminoto tetap berjuang lewat SDI
cabang Surakarta. Dalam pertemuan di Yogyakarta pada tanggal 18 Februari 1914, bersamaan
dengan perubahan SDI menjadi Sarekat Islam (SI), kepengurusan baru terbentuk dengan
menempatkan sosok Tjokroaminoto sebagai ketua dan Samanhoedi sebagai “ketua kehormatan.”

Dalam pertemuan tahun 1914 di Yogyakarta, struktur baru terbentuk atas nama Centraal Sarekat
Islam (CSI). Tjokroaminoto berhasil menduduki posisi sebagai ketua dengan wakilnya Goenawan
dan Abdoel Moeis, keduanya lulusan STOVIA. CSI dibentuk seolah-olah setara dengan sarekat lokal.
Tjokroaminoto sendiri yang menyusun Anggaran Dasar CSI pada tanggal 26 Juli 1915. Pada
kenyataannya, CSI inilah yang berfungsi mewadahi sarekat-sarekat lokal.
Sosok Tjokroaminoto yang lulusan OSVIA Magelang dikenal sebagai seorang politikus andal. Dia
adalah guru politik kebangsaan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional pada masa
pergerakan. Abikoesno Tjokrosoejoso (tokoh PSII), Soekarno (tokoh PNI), Semaoen, Alimin, Moeso
(ketiganya tokoh PKI), Haji Agoes Salim (tokoh SI), Kartosoewirjo (tokoh DI/TII), Herman
Kartowisastro, dan K.H. Mas Mansur (tokoh Muhammadiyah) adalah sederetan tokoh nasional yang
pernah menimba ilmu politik dari Tjokroaminoto. Di bawah kepemimpinannya, CSI digiring terjun ke
dalam politik pergerakan nasional. CSI atau SI berhasil menjadi salah satu kekuatan politik umat
Islam yang sangat diperhitungkan pada masanya. Bahkan, BO tidak mampu menyaingi popularitas
SI. Sejak perubahan nama SDI menjadi SI, peraturan keanggotaan tidak hanya dibatasi para
pedagang muslim, tetapi seluruh umat Islam di tanah air dapat masuk dan beraktivitas atas nama
organisasi ini.

Gagasan Pan-Islamisme yang diusung oleh Jamaluddin al-Afghani pada awal abad 19 menjadi


wacana mainstream di tubuh CSI. Ambisi Tjokroaminoto untuk menyatukan umat Islam di seantero
Hindia-Belanda tercermin lewat penyelenggaraan Congres al-Islam yang diprakarsai CSI didukung
Muhammadiyah dan al-Irsyad. Akan tetapi, setelah para kader ISDV melakukan infiltrasi ideologi
Marxisme ke dalam SI, terutama lewat SI cabang Semarang, konflik dalam tubuh organisasi ini tidak
kunjung usai. Sneevliet dan Adolf Baars berhasil mendidik seorang kader bumiputra bernama
Semaoen untuk mempropagandakan ideologi Marxisme lewat SI cabang Semarang. Selain
Semaoen, kader-kader ISDV yang berhasil duduk dalam kepengurusan SI adalah Alimin dan Darsono.
Perpecahan tidak dapat dielakkan lagi ketika SI berubah menjadi dua kubu: SI-Merah dan SI-Putih.
Tokoh-tokoh yang berada di gerbong SI-Merah adalah: Semaoen, Alimin, Darsono, dan Haji Misbach.
Adapun tokoh-tokoh yang berada di gerbong SI-Putih adalah: Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, dan
Agoes Salim. Para tokoh Muhammadiyah yang duduk dalam struktur CSI, seperti K.H. Ahmad
Dahlan (penasehat) dan Haji Fachrodin (bendahara) berada di kubu Tjokroaminoto.

Pasca kongres di Randublatung (Pekalongan) pada tahun 1926, Tjokroaminoto selaku ketua CSI
mengeluarkan kebijakan perubahan SI menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Selain mengubah nama
dan haluan organisasi, partai baru ini mengeluarkan kebijakan disiplin partai untuk mengatasi
dualisme keanggotaan yang menjadi biang kekisruhan di tubuh SI. Sebelumnya, dalam tubuh SI
terdapat faksi-faksi yang berseberangan haluan politik. SI cabang Semarang dikuasai oleh kader-
kader ISDV. SI cabang Yogyakarta dikuasai oleh kader-kader Muhammadiyah. Kebijakan disiplin
partai menjadi titik kemunduran PSI karena kader-kader ISDV dan Muhammadiyah harus memilih
antara bertahan sebagai pengurus SI atau keluar dari keanggotaan. Kader-kader ISDV kemudian
keluar dari SI dan mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI). Adapun kader-kader Muhammadiyah
yang dikeluarkan dari SI kemudian membentuk Partai Islam Indonesia (PII).

Muhammadiyah (1912)

Sosok Wahidin Sudirohusodo, tokoh yang membidani kelahiran BO, adalah penganut gerakan
teosofi. Sebagai priyayi Jawa, Wahidin merasa prihatin atas kondisi kaumnya yang hidup
terbelakang. Dalam pengamatannya, sebab-sebab kemunduran bangsa Jawa akibat kolonialisme
dan faktor kedatangan Islam di tanah Jawa (Kamandoko, 2008: 33). Dengan demikian, Wahidin
memandang Islam sebagai sumber kemunduran bangsa Jawa. Beruntunglah Wahidin dapat
bertemu dengan seorang khatib Masjid Besar Yogyakarta yang dikenal sangat modernis. Sang
khatib mampu mengenalkan ajaran Islam dan tata cara hidup Islami secara modern. Khatib tersebut
adalah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Ketika kantor BO pindah ke Yogyakarta (Syujak, 2009: 56), K.H. Ahmad Dahlan tertarik untuk masuk
dalam organisasi ini. Akan tetapi, sang khatib ini tidak memiliki relasi dengan jajaran pengurus
organisasi ini. Setelah melihat sepak terjang pengurus BO, K.H. Ahmad Dahlan terinspirasi untuk
mendirikan sebuah perkumpulan umat Islam, tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Atas
jasa Mas Djojosoemarto, pendiri Muhammadiyah ini mendapat undangan untuk mengikuti
perkumpulan yang diselenggarakan oleh BO.

Pertama kali bertemu Wahidin Soediro Hoesodo, K.H. Ahmad Dahlan memberikan pandangan-
pandangannya tentang umat Islam. Wahidin kemudian memberikan apresiasi positif karena
pandangan keagamaan sang khatib cukup modernis. Bahkan, K.H. Ahmad Dahlan diberikan
kesempatan untuk mengisi pengajian agama di Kweekschool Jetis. Hubungan harmonis antara
pendiri Muhammadiyah ini dengan pengurus BO cabang Yogyakarta telah mengantarkannya menjadi
seorang tenaga pengajar di OSVIA Magelang.

K.H. Ahmad Dahlan tidak hanya dekat dengan Wahidin Sudirohusodo, tetapi juga akrab dengan
jajaran pengurus BO yang lain, seperti M. Ng. Dwidjosewojo dan R. Soesrosoegondo. Dwidjosewojo
yang menjabat sebagai sekretaris I BO memberikan dukungan kepada K.H. Ahmad Dahlan untuk
membentuk sebuah perkumpulan Islam. Soesrosoegondo juga memberikan dukungan kepada sang
khatib, bahkan dialah yang merancang draf statuten (anggaran dasar) Muhammadiyah. Bentuk
dukungan Soesrosoegondo bukan hanya sebatas membuatkan draf statuten Muhammadiyah, tetapi
dia juga bergabung dalam Muhammadiyah mengurusi Bagian Sekolahan. Demikian seperti dinukil
dari sumber Berita Tahoenan Moehammadijah Hindia Timoer 1927 (1927: 90).

Dengan didukung oleh pemuda-pemuda Kauman dan beberapa anggota BO, K.H. Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah perkumpulan yang kemudian dikenal dengan nama ”Muhammadiyah.” Nama
Muhammadiyah dipilih sebagai bentuk penisbatan kepada Nabi Akhir Zaman, Muhammad saw,
sehingga dapat diartikan perkumpulan ini mengikuti ”Jalan Muhammad.” Perkumpulan ini didirikan
pada tanggal 18 November 1912 Masehi atau 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah (Mustafa Kamal Pasha dan
Ahmad Adabi Darban, 2000: 116).

K.H. Ahmad Dahlan meminta bantuan pengurus BO untuk mengajukan rechtspersoon (badan


hukum) atas nama Muhammadiyah kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sebelumnya, sang
khatib harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan BO. Raden Mas Boedihardjo dan Raden
Dwidjosewojo bersedia mengurus proses legalisasi perkumpulan tersebut jika didukung oleh
minimal tujuh orang. Mereka juga harus menjadi anggota BO terlebih dahulu. Para pemuda Kauman
yang telah menjadi murid-murid K.H. Ahmad Dahlan menyatakan bersedia menjadi anggota
organisasi ini agar dapat membantu meluluskan rechtspersoon pendirian Muhammadiyah. Ketujuh
pemuda Kauman tersebut adalah: R.H. Sjarkawi, H. Abdoelgani, H. Sjuja’, H. Hisjam, H. Fachrodin, H.
Tamim, dan K.H. Ahmad Dahlan sendiri. Dengan ikhlas, murid-murid Ketib Amin bersedia membayar
iuran anggota BO sebesar f. 0,25 tiap bulan (Syujak, 2009: 86).

Dibutuhkan sekitar 20 bulan bagi pemerintah kolonial untuk


mengeluarkan rechtspersoon Muhammadiyah. Ketika Statuten Muhammadiyah (versi draf pertama)
diajukan, disebutkan pada artikel 2, 4, dan 7 bahwa wilayah gerak dan sasaran organisasi meliputi
”Jawa dan Madura.” Pada 15 Juni 1914, dalam rapat anggota Muhammadiyah, diputuskan untuk
mengubah ruang lingkup perkumpulan ini, yang sebelumnya bergerak di ”Jawa dan Madura”,
menjadi hanya bergerak di lingkungan ”Residensi Yogyakarta” saja. Proses surat menyurat selama
20 bulan inilah yang kemudian menghasilkan besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Hindia
Belanda tanggal 22 Agustus 1914. Pada tahun 1914, dalam statuten Muhammadiyah kedua (1914),
ruang lingkup gerakan Muhammadiyah sudah meliputi seluruh tanah ”Hindia-Nederland”
(Statuten Muhammadiyah 1914 artikel 2). Keanggotaan Muhammadiyah sudah semakin luas, karena
mencakup umat Islam di Hindia-Nederland (Statuten Muhammadiyah 1914 artikel 4).

Ketujuh tokoh perintis Muhammadiyah adalah anggota BO yang memiliki latar belakang pendidikan
berbeda-beda. K.H. Ahmad Dahlan, sekalipun tidak pernah mengenyam pendidikan model Belanda,
tetapi dia berperan sebagai guru etika di Kweekschool Jetis dan OSVIA Magelang. Kedua lembaga
pendidikan ini milik pemerintah kolonial Belanda. R.H. Sjarkawi dikenal sebagai
seorang anemer (insinyur) lulusan pendidikan kolonial. H. Hisyam, sekalipun lulusan pondok
pesantren, dia pernah menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda di Magelang. Selebihnya, H.
Abdoelgani, H. Sjuja’, H. Fachrodin, dan H. Tamim adalah lulusan pesantren.

Perubahan struktur Hoofdbestuur Muhammadiyah pada tahun 1918 telah mengubah wajah gerakan


Islam modernis ini secara radikal. Masuknya kaum intelektual bumiputra lulusan sekolah kolonial,
seperti M. Ng. Djojosoegito, Moh. Hoesni, Singgih, R.M. Prawirowiworo, dan R. Sosrosoegondo
(Junus Salam, 1969: 45), telah membawa Muhammadiyah setara dengan gerakan-gerakan
bumiputra lainnya, seperti BO, SI, dan lain-lain.

Tujuan Muhammadiyah, sebagaimana dalam statuten tahun 1912, disebutkan: ”(a) menyebarkan


pengajaran Igama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam kepada penduduk Bumiputera
di dalam residensi Yogyakarta, dan (b) memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya”
(Statuten Muhammadiyah 1912 artikel 2).  Adapun rumusan tujuan Muhammadiyah sejak tahun
1914 adalah: ”(a) Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia
Nederland, dan; (b) memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan
agama Islam kepada lid-lidnya” (Statuten Muhammadiyah 1912 artikel 2). Dari konsep tersebut
lahirlah paham “Islam Berkemajuan” yang menjadi mainstream pada waktu itu.

Taman Siswa (1922)

Ketika Soetomo mendeklarasikan Boedi Oetomo di kampus STOVIA, seorang mahasiswa turut
menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut. Dia seorang pangeran dari Pakualaman yang juga
mengikuti pergulatan wacana dalam tubuh organisasi ini. Ketika Tjipto Mangoenkoesoemo
melontarkan kritik tajam terhadap rumusan tujuan BO yang terlalu sempit, mahasiswa tersebut
berada di belakangnya. Tjipto tajam mengkritik gaya feodalisme kaum priyayi Jawa, sehingga dia
harus keluar dari BO karena tidak sehaluan dengan para pendiri organisasi ini. Ketika Tjipto
Mangoenkoesoemo mendirikan Insulinde dan Indische Partij, mahasiswa tersebut turut bergabung
dan menjadi salah satu tokoh penggerak organisasi. Dialah R.M. Soewardi, putra Pangeran
Surjaningrat dari Pakualaman, Yogyakarta. Soewardi adalah adik Soerjopranoto, tokoh SI yang
dikenal sebagai “jago mogok.”
Sepuluh tahun setelah berdiri Muhammadiyah atau empat belas tahun pasca berdiri BO, Soewardi
Soerjaningrat—kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara—mendirikan perguruan Taman
Siswa. Sebelumnya, Soewardi Soerjaningrat telah terlibat aktif dalam dunia pergerakan nasional.
Setelah bergabung dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi),
Soewardi terlibat dalam politik pergerakan nasional lewat Insulinde dan Indische Partij. Dalam
catatan sejarah nasional Indonesia, Soewardi Soerjaningrat bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan
Douwes Dekker dikenal sebagai “tiga serangkai” (Abdurrachman Surjomihadrjo, 2008: 97).

Sebelum mendirikan Perguruan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara telah aktif dalam pertemuan
diskusi dengan tokoh-tokoh Keraton Pakualaman, pengurus BO, dan para lulusan sekolah-sekolah
Belanda dalam forum “Selasa Kliwon.” Sumber Abdurrachman Surjomihadrjo dalam bukunya, Kota
Yogyakarta Tempo Doeloe (2008: 99) menyebutkan bahwa Ki Hajar Dewantara yang berstatus
sebagai tenaga pengajar di HIS Adidharma mulai tertarik dengan metode pembelajaran Montessori-
Tagore dan berupaya mengembangkan serta menerapkannya dalam konteks pendidikan kaum
bumiputra. Setelah mendalami gagasan-gagasan Montessori dan Tagore, Ki Hajar Dewantara keluar
dari HIS Adidharma dan mendirikan sekolah sendiri.

Dalam naskah pidato Beginsel Verklaring (Pernyataan Asas Taman Siswa), Ki Hajar Dewantara


merumuskan suatu filosofi pendidikan yang berbasis pada kebudayaan bangsa sendiri. Pada 3 Juni
1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Onderwijs Instituut Taman Siswa (Institut Perguruan Taman
Siswa) di Yogyakarta (Kamandoko, 2006: 174). Tokoh nasional ini tidak menghendaki model
pendidikan seperti yang diterapkan BO, HIS Adidharma, dan Muhammadiyah. Dia menghendaki
filosofi pendidikan yang dibangun dari akar historis dan nilai-nilai budaya untuk kemajuan bangsa.
Taman Siswa tidak menolak konsep pendidikan Barat, tetapi selektif menerimanya untuk
memajukan kebudayaan bangsa sendiri.

Nasionalisme Indonesia: Suatu Pergumulan Intelektual            

Kesadaran nasional lahir dari kaum terpelajar bumiputra yang telah mengenyam pendidikan kolonial.
Boedi Oetomo (BO) sebagai organisasi modern yang didirikan kaum bumiputra pada tahun 1908 di
kampus STOVIA merupakan sebuah gerakan yang membentuk kesadaran nasionalisme sekalipun
dalam arti sempit. Organisasi ini didirikan oleh para priyayi Jawa yang telah mengenyam pendidikan
modern ala Barat. Mereka yang telah menguasai kemampuan akademik dengan wawasan keilmuan
yang luas tergugah rasa nasionalismenya. Bangsa Jawa, khususnya kaum priyayi, mengalami
kemunduran dari segi ekonomi, politik, dan kebudayaan. Mereka merasa menjadi orang lain di negeri
sendiri karena tidak mampu menentukan nasib sendiri. Kondisi tersebut telah menggugah
kesadaran seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa untuk melakukan perubahan lewat jalur pendidikan.
Dalam hal ini, pendidikan bukan hanya dimaknai sebagai alat perubahan sosial, tetapi pendidikan itu
sendiri adalah proses perubahan. Dengan membentuk organisasi BO, proses perubahan sosial di
kalangan bangsa Jawa sedang berlangsung untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Perdebatan sengit dalam kongres BO pertama (1908) dan kedua (1909) menjadi sorotan dalam hal
ini karena kedua momentum tersebut sangat strategis dalam proses pembentukan organisasi.
Ruang lingkup gerakan BO yang hanya sebatas kaum priyayi Jawa terlalu sempit untuk konteks
kesadaran nasionalisme. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soerjodipoetro paling keras menyanggah
rumusan tersebut. Tjipto bersikeras bahwa kaum bumiputra yang berhak mendapatkan pendidikan
adalah seluruh penduduk Hindia-Belanda, bukan hanya sebatas kaum priyayi. Elitisme BO makin
jelas ketika gagasan Wahidin Soediro Hoesodo yang disepakati dengan mengesampingkan
pemikiran Tjipto Mangoenkoesoemo.

BO sebagai organisasi modern kaum terpelajar bumiputra pertama yang dinilai telah mengubah pola
dan arah politik pergerakan nasional belum mencerminkan konsep nasionalisme secara
menyeluruh. Lewat penyelenggaraan pendidikan bagi kaum bumiputra, para priyayi Jawa berusaha
memperbaiki nasib mereka. Kelahiran organisasi ini juga telah menginspirasi organisasi-organisasi
lain, misalnya Muhammadiyah dan Taman Siswa.

Kesadaran nasionalisme yang dibentuk lewat pergumulan gagasan dalam wadah organisasi modern
ini masih sebatas kelompok kaum priyayi Jawa. Memang pengaruh organisasi ini cukup besar
dalam konteks pertumbuhan organisasi-organisasi modern bumiputra, akan tetapi gagasan
nasionalisme yang diusung masih sektarian.

Robert van Niel (2009: 88) telah menetapkan kelahiran BO sebagai titik tonggak kebangkitan
nasional Indonesia. Ketika para sejarawan di tanah air sepakat bahwa kelahiran BO ebagai titik
tonggak sejarah kebangkitan nasional Indonesia, Ahmad Syafii Maarif (2008) justru berbeda
pendapat. Menurutnya, kebangkitan nasional harus dimaknai secara luas sebagai kebangkitan
Indonesia, bukan kebangkitan salah satu suku bangsa Indonesia (Jawa dan Madura). Dengan
parameter tersebut, maka Syafii Maarif berpendapat bahwa gerakan BO tidak tepat dimaknai
sebagai titik tonggak kebangkitan nasional. Sejalan dengan Syafii Maarif, Rr. Berar Fathia (2008),
koordinator Indonesia Satu, menyatakan bahwa BO bukan titik tonggak kebangkitan nasional.
Menurutnya, kelahiran BO hanya untuk lingkup yang terbatas. Koordinator Indonesia Satu ini lebih
yakin jika kelahiran R.A. Kartini pada 21 April 1879 lebih relevan dijadikan sebagai titik tonggak
sejarah kebangkitan nasional Indonesia.

Jika BO bersifat kooperatif dan loyal terhadap pemerintah kolonial Belanda, maka Sarekat Islam (SI)
cenderung akomodatif. SI mampu menghubungkan kepentingan umat Islam dengan pemerintah
kolonial Belanda, sehingga dinilai akomodatif. Sekalipun demikian, setelah Tjokroaminoto
membentuk Centraal Sarekat Islam (CSI), organisasi ini semakin revolusioner. Tjokro menggiring CSI
terjun dalam pentas perpolitikan nasional sehingga organisasi ini menjadi satu-satunya saluran
aspirasi politik umat Islam pada waktu itu.

Setelah perubahan nama dari Sarekat Dagang Islamiah (SDI) menjadi Sarekat Islam (SI), organisasi
ini bukan hanya menjadi wadah bagi kaum saudagar muslim saja, tetapi kaum santri, intelektual,
birokrat, dan politikus muslim dapat masuk menjadi anggota. Ruang lingkup organisasi ini lebih luas
dibanding BO. Hanya saja, sektarianisme masih tampak karena organisasi ini hanya menerima
anggota dari kalangan muslim saja.

Faktor kepemimpinan Tjokroaminoto sebagai seorang intelektual dan politikus muslim menjadi daya
tarik tersendiri. Dia tidak hanya bisa merancang organisasi Islam modern, tetapi juga mampu
menggaet kelompok-kelompok muslim, baik dari kalangan modernis maupun tradisional. Dalam
struktur CSI, Tjokroaminoto menempatkan K.H. Ahmad Dahlan
(president Hoofdbestuur Muhammadiyah) sebagai adviseur (penasihat). Dengan cara begitu, banyak
aktivis Muhammadiyah yang aktif di SI atas kesadaran sendiri, seperti Haji Fachrodin, Abdul Hamid
BKN, Mochtar Boechari (Solo), dan lainnya. Abdoel Moeis dan Soerjopranoto juga tercatat dalam
struktur CSI sebagai komisaris. Nama yang disebutkan terakhir dikenal sebagai kakak Ki Hajar
Dewantara. Dia berkolaborasi dengan Haji Fachrodin pada tahun 1920 menggerakkan para buruh
pabrik tebu untuk melakukan aksi pemogokan massal di Yogyakarta.

Kepemimpinan Tjokroaminoto memang memiliki daya tarik yang kuat. Selain piawai berpidato
dengan suara baritonnya, Tjokroaminoto memiliki visi yang jauh ke depan. Gagasan-gagasannya
tentang kebangsaan mampu menyadarkan para ulama dan tokoh Islam di daerah-daerah untuk
bergabung dalam SI. Salah satu tokoh nasional yang bergabung dengan SI karena faktor
kepemimpinan Tjokroaminoto adalah Haji Agus Salim. “…saya menjadi berkenalan betul dengan
pergerakan SI, istimewanya dengan pemimpinnya Tjokroaminoto, dan kenal itu sampai menyebabkan
pula saya sampai masuk dalam SI”, demikian kesaksian Agus Salim (Bendera Islam edisi 2 Mei
1927). Pada tahun 1906-1909, dia menjabat sebagai Konsulat Belanda di Jeddah. Rasa
nasionalisme telah mendorong dirinya keluar dari kehidupan mapan untuk berjuang membela
bangsanya lewat jalur SI.

Gagasan nasionalisme yang diusung SI adalah Pan-Islamisme. Konsep yang diusung oleh
Jamaluddin al-Afghani pada awal abad 19 ini menjadi wacana mainstream di tubuh SI. Pan-
Islamisme adalah sebuah gagasan persatuan seluruh umat Islam di seantero jagad ini di bawah
sebuah imperium Islam. Konsep ini sebenarnya lahir sebagai antitesa gagasan nasionalisme Arab
yang cenderung chauvinistik.

Gagasan nasionalisme yang tercermin dalam konsep Pan-Islamisme sebenarnya terlalu sektarian
untuk konteks bangsa Indonesia yang plural. Berbagai upaya SI untuk menyatukan kelompok-
kelompok Islam di tanah air telah dilakukan. Salah satu upaya terbesar SI menyatukan umat Islam di
seantero tanah air adalah dengan penyelenggaraan Congres al-Islam yang diprakarsai CSI didukung
Muhammadiyah dan al-Irsyad. Pada kenyataannya, upaya SI untuk menyatukan umat Islam di tanah
air selalu gagal. Konsep nasionalisme Islam selalu mentah jika dihadapkan pada realitas penduduk
bumiputra yang multikultural.

Konsep kesadaran nasionalisme juga ditawarkan oleh Muhammadiyah. Sewaktu Muhammadiyah


dideklarasikan, nusantara masih dalam kondisi tercerai-berai. Bangsa Indonesia belum terbentuk.
Dengan demikian, Muhammadiyah belum mengenal konsep ”bangsa” (nation) dan ”negara” (state),
apalagi ”negara-bangsa” (nation-state). Sejak BO (20 Mei 1908), K.H. Ahmad Dahlan sudah tergerak
untuk membentuk sebuah perkumpulan yang bercita-cita menyatukan umat Islam bumiputra. BO
adalah organisasi bumiputra pertama yang mengusung nasionalisme, sekalipun ruang lingkupnya
masih terbatas (Jawa dan Madura).

Di mata K.H. Ahmad Dahlan, ikhtiar BO memajukan kaum bumiputra menggunakan jalur pengajaran
memang cukup mengesankan. Akan tetapi, pendiri Muhammadiyah ini menghendaki sebuah
organisasi yang ruang lingkupnya lebih luas, yaitu umat Islam di seantero Hindia-Belanda. Pada
tahun 1911, dalam pertemuan di Langgar Duwur, K.H. Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya
mendiskusikan rencana pembentukan perkumpulan yang di kemudian hari dikenal dengan nama
“Muhammadiyah.”
Dalam artikel ”Tali Pengikat Hidup Manusia” (Album Muhammadiyah Tahun 1923), K.H. Ahmad
Dahlan menyadari akan pentingnya persatuan umat manusia. Menurutnya, latar belakang persatuan
manusia disebabkan oleh dua faktor, yaitu persamaan sebagai keturunan Nabi Adam dan
kebersamaan sebagai makhluk yang hidup di dunia. Sebagai keturunan Nabi Adam, sesungguhnya
semua manusia sedarah dan sedaging. Sebagai makhluk yang hidup di dunia, sesungguhnya setiap
manusia butuh kebersamaan dengan yang lain. Dua faktor fundamental inilah yang mengikat
manusia untuk hidup bersatu dalam kebersamaan harmonis.

Persatuan manusia, khususnya kaum bumiputra, merupakan gagasan utama K.H. Ahmad Dahlan
dalam upaya meraih hidup merdeka dan bermartabat. Dokumen Soewara Moehammadijah tahun
1922 memuat sebuah artikel penting dengan judul ”Kamardikan” (Soewara Moehammadijah no. 1
tahun 1922). Artikel yang ditulis dalam bahasa Jawa-Melayu mengulas makna ”kebebasan manusia”
ini dimuat beberapa bulan sebelum KH Ahmad Dahlan meninggal dunia (Jum’at 23 Februari 1923).

Gagasan ”kamardikan” (kemerdekaan) di sini memang belum mengisyaratkan arti kemerdekaan


bagi sebuah bangsa. Sebab, gagasan ini memang ditujukan kepada individu-individu
(pembaca Soewara Moehammadijah) agar menyadari bahwa kolonialisme Belanda telah merenggut
makna kemerdekaan hakiki yang dimiliki setiap orang. Dengan demikian, makna kemerdekaan di sini
baru sebatas kebebasan tiap individu untuk hidup mandiri secara bermartabat. Namun demikian,
gagasan ini cukup efektif untuk memengaruhi kesadaran kolektif kaum bumiputra sebagai kelompok
manusia dalam jumlah besar agar dapat hidup merdeka dan bermartabat. Proses ini jelas
membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika kesadaran ini telah terbentuk, maka kaum bumiputra
akan bangkit untuk merebut kembali kehidupan yang merdeka dan bermartabat.

Dalam proses menuju kemerdekaan, sebuah bangsa akan terus melakukan proses identifikasi diri.
Sebuah dokumen penting cukup menyadarkan warga Muhammadiyah, bahwa sejak awal tahun
1925, pada kover Soeara Moehammadijah (bandingkan dengan ejaan dokumen tahun 1922) telah
menggunakan istilah ”Indonesia” untuk mengganti nama ”Hindia-Belanda” (Soeara
Moehammadijah no. 1 tahun 1925). Tokoh yang memiliki andil besar dalam penggunaan istilah baru
ini adalah Soemodirdjo, kepala redaksi (hoofdredacteur) Soeara Moehammadijah pasca
kepemimpinan Haji Fachrodin (1922-1924).

Soemodirdjo memang telah mengenalkan istilah Indonesia untuk mengganti nama Hindia-Belanda.
Dia juga telah menulis sebuah artikel penting dengan judul: ”Anak Indonesia, Awas” (Soeara
Moehammadijah no. 1 tahun 1925). Tetapi penggunaan istilah baru ini memang belum konsisten
dalam penerbitan Soeara Moehammadijah tahun 1925. Sebab, beberapa artikel di dalam majalah ini
masih sering menggunakan istilah Hindia-Belanda atau Hindia-Nederland. Soemodirdjo telah
mengawali proses identifikasi bangsa ini dengan menggunakan nama yang kemudian dikukuhkan
dalam momentum Sumpah Pemuda pada 1928.

Sedangkan konsep kesadaran nasionalisme yang diusung Taman Siswa memiliki corak tersendiri.
Tidak kebaratan (sekuler), juga tidak ketimuran (religius/Islam), kurang lebih begitulah konsep
pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam membangun kesadaran nasionalisme bumiputra. Perguruan
Taman Siswa didirikan di atas pondasi pemikiran pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur
budaya bangsa. Berbeda dengan konsep pendidikan Muhammadiyah yang berbasis nilai-nilai Islam,
Taman Siswa lahir sebagai upaya menjadi bangsa sendiri yang tumbuh dan berkembang berbasis
pada nilai-nilai budaya sendiri. Ki Hajar Dewantara yang melihat kegagalan BO dalam menjalankan
konsep westernisasi pendidikan bagi kaum priyayi mulai mengkaji spirit budaya Jawa. Jika Wahidin
Soedirohoesodo menganggap Islam sebagai salah satu sebab kemunduran bangsa Jawa, maka Ki
Hajar Dewantara dapat menerima budaya Islam dan juga budaya lain yang bernilai positif sebagai
alat/metode untuk memajukan bangsa sendiri.

Nasionalisme berbasis budaya sendiri merupakan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang telah
memberikan kontribusi besar dalam proses membangun kesadaran nasionalisme Indonesia.
Penelitian Dyah Nuraini (2012) tentang konsep pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hajar
Dewantara, sekalipun dengan latar belakang dan konsep yang berbeda, pada dasarnya memiliki
tujuan yang sama, yakni membentuk karakter sebagai sebuah bangsa yang merdeka, mandiri, dan
bermartabat. Dengan demikian, baik sekolah-sekolah Muhammadiyah maupun sekolah-sekolah
Taman Siswa telah memberikan kontribusi besar dalam proses pembentukan kesadaran
nasionalisme di tanah air.

Dengan menghadirkan narasi alternatif sejarah kolonialisme, terutama lewat peran kebijakan Politik
Etis, dihubungkan dengan munculnya elite terpelajar bumiputra yang membangun kesadaran
nasionalisme baru lewat organisasi-organisasi pergerakan, setidak-tidaknya dapat ditarik benang
merah sebagai berikut: pertama, kebijakan Politik Etis pemerintah kolonial Belanda pada awal abad
20, di samping dengan motif ekonomi dan politik, juga membawa dampak positif bagi kemajuan
kaum bumiputra. Kaum terpelajar bumiputra yang telah mengenyam pendidikan kolonial tergugah
rasa nasionalisme mereka untuk membela bangsanya. Dengan kapasitas intelektual yang cukup,
para intelektual bumiputra mengubah pola dan arah politik pergerakan nasional yang terorganisasi
secara modern, dilakukan secara serentak (tidak sporadis), dengan strategi pemberdayaan
masyarakat, dan menggunakan diplomasi politik yang elegan.

Kedua, kaum terpelajar bumiputra berhasil mendirikan organisasi-organisasi pergerakan nasional


dalam rangka memperjuangkan nasib bangsa Indonesia dari kolonialisme Belanda. Lewat
organisasi-organisasi bumiputra yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat
menyelenggarakan sekolah-sekolah untuk memajukan kaum bumiputra. Lewat organisasi-
organisasi pergerakan nasional dan lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan kaum
terpelajar bumiputra, upaya menumbuhkan kesadaran nasionalisme menjadi bagian dari proses
pendidikan.

Ketiga, kesadaran nasionalisme kaum bumiputra tercipta lewat dialektika gagasan dan dinamika
politik yang terjadi dalam tubuh organisasi-organisasi pergerakan nasional. Konsep nasionalisme
yang lahir dari dinamika intelektual di tubuh organisasi-organisasi pergerakan nasional memiliki
bentuk yang berbeda-beda, sehingga ketika digunakan untuk membaca semangat nasionalisme
Indonesia saat ini masih dalam perdebatan yang belum selesai.
Sumpah Pemuda

Gedung Museum memperingati Kongres Pemuda II

Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar
ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.
Yang dimaksud dengan "Sumpah Pemuda" adalah keputusan Kongres Pemuda Kedua[1] yang
diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-
cita akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia". Keputusan ini juga
diharapkan menjadi asas bagi setiap "perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan agar "disiarkan dalam
berbagai surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan".
Istilah "Sumpah Pemuda" sendiri tidak muncul dalam putusan kongres tersebut, melainkan diberikan
setelahnya.[2] Berikut ini adalah bunyi tiga keputusan kongres tersebut sebagaimana tercantum pada
prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda[3]. Penulisan menggunakan ejaan van Ophuijsen.
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia.
atihan Juventus jelang lawan Dynamo Kiev tanpa Cristiano Ronaldo, bagaimana peluang skuat Andrea Pirlo?
Klik di sini!

Latar Belakang Sumpah Pemuda  


Pada tahun 1908, ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo yang di prakarsai oleh Dr.
Sutomo, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan EFE. Douwes Dekker, mulainya kebangkitan bangsa
Indonesia. Tujuan utama dari berdirinya organisasi ini adalah untuk membangun kehidupan bangsa
yang lebih baik, memajukan bidang pendidikan, pertanian, peternakan dan kebudayaan yang selama
ini telah di batasi pada masa penjajahan. Kemudian muncullah berbagai organisasi-organisasi
kepemudaan seperti Tri Koro Darmo (Jong Java), Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, Jong Betawi
dan sebagainya. Organisasi tersebut yang menjadi cikal bakal lahirnya sumpah pemuda, dengan salah
satunya yang  gencar mengumandangkan persatuan bangsa adalah organisasi Perhimpunan Indonesia
(PI). Dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan dimulailah pertemuan demi pertemuan untuk
menemukan kata mufakat. Pada 15  November 1925 diadakanlah kongres pemuda untuk membentuk
sebuah kepanitiaan pelaksanaan kesepakatan bersama, hingga pada 30 April 1926 terlaksanalah
Kongres Pemuda I.  

Hasil dari rapat tersebut merumuskan dasar dasar pemikiran bersama, yaitu :  

1. Kemerdekaan Indonesia dari penjajah merupakan cita cita bersama seluruh  pemuda Indonesia

2. Seluruh organisasi pemuda bertujuan untuk menggalang persatuan.  

Hingga kemudian di selenggarakannya Kongres Pemuda II yang di pelopori oleh Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPPI). Kongres tersebut diadakan selama 3 hari yaitu pada tanggal 26 – 28 Oktober 1928 di
Jakarta. Adapun panitia Kongres Pemuda II terdiri dari :

a. Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)  

b. Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)  

c. Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)  

d. Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)  

e. Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)  

f. Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)  

g. Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)  

h. Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)  

i. Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)  

j. Dan peserta pemuda dari bebagai daerah.  

Hasil rapat dari kongres pemuda II menghasilkan kesepakatan bersama yaitu sebagai  berikut :  

a. Ikrar sumpah pemuda.  

b. Lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.  

c. Bendera merah putih sebagai bendera Negara.  


d. Indonesia merdeka harus menjadi cita-cita semua pemuda Indonesia.  

e. Semua organisasi pemuda harus disatukan dalam wadah tunggal.  

Dalam kongres pemuda II diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia untuk pertama kalinya,
penciptanya adalah W.R. Supratman. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dipublikasikan untuk pertama
kalinya tahun 1928, di surat kabar Sin Po dengan dicantumkannya teks lagu yang menegaskan bahwa
lagu itu adalah lagu kebangsaan Indonesia.  

Memahami Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda merupakan suatu pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia yang dilakukan oleh
para pemuda-pemudi Indonesia dengan menyatakan janji satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
Janji dalam Sumpah Pemuda tersebut membangkitkan semangat rakyat Indonesia, terurama para anak
muda untuk menegaskan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sumpah Pemuda memiliki cerita sejarah dan tujuan yang sakral bagi Bangsa Indonesia. Sumpah
Pemuda merupakan sebuah tekad dan semangat para pemuda-pemudi Indonesia dalam menegakkan
kemerdekaan Bangsa Indonesia dari penjajahan negara asing.
Sejarah tersebut yang membuat Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober. Hari
spesial dan bersejarah di mana para pemuda dan pemudi menggelorakan semangat untuk meraih
kemerdekaan pada 1928.
Di sisi lain, dalam isi Sumpah Pemuda terdapat kandungan makna yang dalam bagi Bangsa
Indonesia. Itulah mengapa perlunya setiap warga Indonesia mengetahui makna Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda juga mengandung nilai-nilai yang perlu diketahui. Apa saja nilai-nilai yang
terkandung dalam Sumpah Pemuda?
1. Nilai Cinta Bangsa dan Tanah Air
Nilai dalam Sumpah Pemuda yang pertama ialah cinta bangsa dan tanah air. Mengapa demikian?
karena dalam ikrar Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 1928, terdapat makna satu tanah, satu
bangsa, dan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia.
Hal tersebut yang menjadi wujud dari adanya rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air Indonesia.
Memiliki rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air Indonesia, itu berarti bahwa setiap warga Indonesia
wajib untuk setia serta bangga terhadap bangsa dan negara Indonesia.
2. Nilai Sikap Rela Berkorban
Adanya nilai cinta bangsa dan tanah air, tak lepas dari nilai akan sikap rela berkorban dalam Sumpah
Pemuda. Rela berkorban berarti ikhlas atau rela untuk memberikan apa pun yang dimilikinya demi
kepentingan bangsa dan negara.
Meski, kondisi tersebut dapat menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri. Hal ini juga ditunjukkan
demi memperkuat persatuan dan kesatuan para pemuda Bangsa Indonesia dalam berjuang
memperebutkan kemerdekaan Indonesia.
Itulah mengapa semangat juang para pemuda dalam peristiwa Sumpah Pemuda menciptakan nilai akan
sikap rela berkorban demi bangsa dan negara Indonesia
3. Nilai Persatuan
Selanjutnya, Sumpah Pemuda juga mengandung nilai persatuan. Hal tersebut bisa dilihat dari dasar
Sumpah Pemuda, yang dirumuskan dan diikrarkan pemuda dari berbagai daerah, suku, agama, hingga
golongan yang berbeda-beda.
Meski terdapat perbedaan, justru tidak menghalangi para pemuda untuk dapat merasakan persatuan.
Terutama dalam satu kesatuan Bangsa Indonesia yang ditunjukkan dari perjuangan bersama saat
melawan penjajah demi merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Perjuangan tersebut mencerminkan adanya sikap dan perilaku persatuan, terutama bagi bangsa dan
negara. Tanpa adanya rasa persatuan dari seluruh pemuda dan pemudi bangsa Indonesia, penjajahan
akan terasa sulit dikalahkan. Itulah mengapa Sumpah Pemuda juga memiliki nilai persatuan di
dalamnya
4. Nilai Menerima dan Menghargai Perbedaan
Nilai menerima dan menghargai perbedaan, yaitu menerima dan menghargai siapa saja untuk bisa
beraktivitas dalam lingkungan tanpa membedakan status seseorang. Hal tersebut sesuai nilai yang
terkandung dalam Sumpah Pemuda.
Walau berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda, tidak menyurutkan semangat para
pemuda Indonesia untuk tetap bersatu dan menjunjung tinggi nilai persatuan demi mencapai cita-cita
bersama.
Berbagai perbedaan latar belakang tersebut bukan merupakan hal untuk dipermasalahkan, tetapi perlu
diterima dan dihargai satu sama lain sebagai satu di antara kekuatan bangsa Indonesia.
Para pemuda dapat menerima dan menghargai akan adanya perbedaan demi terciptanya satu bangsa,
yaitu Bangsa Indonesia.
5. Nilai Mengutamakan Kepentingan Bangsa
Nilai lain yang terkandung dalam Sumpah Pemuda ialah nilai akan mengutamakan kepentingan
bangsa di atas kepentingan lainnya. 
Hal itu berarti dalam ikrar Sumpah Pemuda dan perjuangan pemuda dalam merebut kemerdekaan
Indonesia, tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri maupun kepentingan golongan masing-
masing.
Para pemuda mengutamakan kepentingan bangsa demi bisa bersatu melawan para penjajah dan
merebut kemerdekaan Indonesia.
6. Nilai Semangat Persaudaraan
Nilai semangat persaudaraan juga ada di dalam Sumpah Pemuda. Hal itu dilandasi adanya semangat
kekeluargaan antarsesama. Semangat kekeluargaan tersebut dapat dilihat dari adanya sikap saling
menyayangi dan bertanggung jawab satu sama lain.
Semangat persaudaraan di dalam diri para pemuda juga mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang
satu, yaitu satu Bangsa Indonesia. Maka dari itu, perlu menjunjung semangat persaudaraan
antarsesama warga Indonesia agar terhindar dari perpecahan.
7. Nilai Meningkatkan Semangat Gotong Royong
Gotong royong atau bekerja sama demi mencapai satu tujuan yang sama merupakan suatu kebudayaan
yang kuat dalam Bangsa Indonesia.
Nilai gotong royong dan kerja sama, yaitu saling bantu membantu dalam berbangsa dan bernegara.
Dengan begitu, tugas-tugas yang dikerjakan bisa diselesaikan dengan baik dan cepat.
Gotong royong merupakan satu di antara usaha atau upaya yang dilakukan bersama-sama tanpa
pamrih atau mengharapkan suatu imbalan.
Nilai gotong royong ini terdapat dalam Sumpah Pemuda, di mana para pemuda berjuang bersama-
sama, saling bahu-membahu satu sama lain demi kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia. akhirnya menjadi bukti bahwa gotong royong atau kerja sama menjadi nilai
yang kuat dalam upaya mencapai tujuan yang sama pada masa Sumpah Pemuda tersebut.

Anda mungkin juga menyukai