Anda di halaman 1dari 3

TAJUK RENCANA

Menindak Koruptor Bansos Covid-19

Sabtu, 11 Juli 2020 10:34 WIB

Penyaluran bantuan sosial (bansos) bagi warga terdampak pandemi


Covid-19 masih menimbulkan persoalan hingga kini. Padahal
penyaluran bansos akan terus berlangsung hingga kondisi pandemi
benar-benar bisa ditanggulangi.

Keluhan masyarakat terus mengalir dari mana saja, baik lewat media
massa seperti surat kabar, televisi, radio, berita online, media sosial
maupun sumber-sumber lain, termasuk dari mulut ke mulut antar-
warga. Bahkan berbagai aduan terkait bansos disampaikan warga juga
secara resmi kepada Ombudsman RI yang membuka pengaduan
khusus warga terdampak Covid-19 sejak 29 April 2020.

Ombudsman mencatat, sejak 29 April hingga 29 Mei, ada 817 aduan


warga yang berkaitan dengan bansos dari total 1.004 pengaduan yang
masuk.

Sementara itu KPK menerima 621 keluhan soal penyaluran bansos


tersebut. Keluhan disampaikan masyarakat melalui aplikasi JAGA
Bansos. Hingga 3 Juli 2020, diterima total 621 keluhan. Plt Jubir KPK Ipi
Maryati mengungkap, aplikasi pertama kali diluncurkan pada Mei 2020.

Aduan warga antara lain terkait soal penyaluran bantuan yang tidak
merata dan prosedur penerimaan bantuan yang tidak jelas. Selain itu,
banyak warga terdaftar yang tidak menerima bantuan. Beberapa warga
juga mengalami kesulitan mendapatkan bantuan karena tidak memiliki
KTP setempat.

Bahkan lebih parahnya lagi, Ombudsman RI menemukan adanya


dugaan manipulasi data penerima bansos.Temuan kasus itu terjadi di
Jambi dan Papua.
ManipulasiManipulasi data tersebut tidak hanya mengurangi atau
menambah jumlah penerima bantuan sosial, tetapi juga mengganti
nama penerima yang asli dengan penerima lain yang justru tidak tepat
sasaran.

Ketua Ombudsman Amzulian Rifai juga mengungkap, Ombudsman


menerima laporan adanya pemotongan nominal jumlah bansos yang
dilakukan oknum yang tidak bertanggungjawab. Laporan pemotongan
jumlah bansos tersebut terjadi di Sulawesi Barat.

Pemotongan jumlah bantuan sosial yang awalnya Rp 600.000 menjadi


Rp 300.000, kata Rifai.

Melihat kondisi ini seharusnya pemerintah cepat mengevaluasi tata


cara penyaluran bansos ke masyarakat. Salah satunya dengan
menggantikan bantuan sembako dengan uang tunai, agar tidak ada lagi
manipulasi timbangan dan persekongkolan harga. Lagi pula, dengan
uang tunai penyalurannya bisa lebih cepat dan hemat biaya.

Kemudian terkait penyaluran yang tidak tepat sasaran, pemerintah


harus menanggapi aduan masyarakat dengan mengecek kebenaran di
lapangan. Segera ambil tindakan bila si penerima bukanlah orang yang
berhak. Supaya ada rasa malu bagi masyarakat untuk tidak mengambil
bagian yang bukan haknya.

Bagi yang memanipulasi data, jangan lagi diberi ampun. Lakukan


tindakan hukum yang tegas dan publikasi atau pampangkan nama-
nama pelaku agar menjadi efek jera untuk yang lain.

Ketua KPK pernah menyatakan akan menghukum seberat-beratnya


pelaku curang terhadap bantuan Covid-19. Dalam hal ini KPK harus
membuktikan dengan tindakan nyata karena ratusan pengaduan
masyarakat itu bukan main-main. Tidak mungkin ada asap kalau tak
ada api.

Kondisi keprihatinan di tengah pandemi Covid-19 sebaiknya dijadikan


momen yang tepat untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Pelaku
korupsi dana bencana memang benar-benar sudah tidak punya rasa
kemanusiaan lagi, sehingga sangat layak untuk dihukum seberat-
beratnya. Tindakan hukuman berat juga agar aparat dan masyarakat
tidak bisa lagi bermain-main dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN).

Namun sayangnya, hingga saat ini pemberitaan ditangkap atau


dihukumnya pelaku korupsi bansos terdampak Covid sangat minim.

TidakTidak seimbang dengan banyaknya jumlah pengaduan


masyarakat. Sehingga masyarakat bertanya-tanya, apakah aparat
lambat bertindak atau laporan pengaduan yang tak terbukti. Untuk ini
pemerintah diminta transparan dan mendorong tindakan hukum yang
nyata. Supaya harapan Indonesia bebas korupsi, setelah berakhirnya
era pandemi, bisa terwujud.(HarianSIB.com)

Anda mungkin juga menyukai