Anda di halaman 1dari 9

Di susunan anak tangga beton yang menghubungkan lantai

satu dan lantai dua gedung, terlihat seorang wanita berlarian


saat menuruni anak tangga.

“Jane…, Jane…,” wanita itu menghampiri teman kerjanya di


meja receptionis.

“Apaan, sih. Jane, Jane. Nama gue Jein.” Jane, wanita di meja
receptionis itu menyahut. Ia protes dengan nama panggilan
yang salah.

“Ya, kan tulisannya Jane.”

“Tapi bacanya Jein. J-E-I-N. Nggak pernah belajar Bahasa


Inggris, ya?” Jane tak mau kalah. “Lagian gue heran, hari ini
hari lari sedunia, apa? Perasaan dari pagi orang-orang
hobinya lari-lari. Nggak Mbak Bian, Mbak Re, Elo.”

“Oke, Je’in.”

“J-E-I-N! Nggak usah ada penekanan!” sergah Jane. Gadis


keturunan tionghoa ini memang fanatik dengan nama. Ia
akan protes keras jika ada yang salah vokal saat menyebut
namanya. Namun, teman-teman kantornya termasuk Nicole,
lebih senang menggodanya dengan memanggil sesuai nama
yang tertulis di ID Card. Jane.

“Terserah, deh. Eh, lo mau dengar gosip nggak?” Nicole


tersenyum seringai.

“Hah, apaan?” tanya Jane, antusias. Jika menyangkut gosip,


ia bisa memaklumi segalanya. Lupakan sejenak problematika
penyebutan nama.

“Sepertinya di atas lagi perang dingin, deh.” Nicole setengah


berbisik sambil menunjuk ke atas.
“Perang dingin?” Jane menanggapi.

“Iya, tadi tuh gue lihat Mbak Re naik ke lantai tiga. Mukanya
bete’ gitu.”

“Terus, terus?”

“Terus, Mbak Bian nyusul. Dia minta kopi yang tadi aku bawa.
Katanya biar dia aja yang ngantar. Mukanya kayak bete’ juga.
Nah, karena tingkat kekepoan gue tinggi, gue ngikutin deh ke
lantai tiga. Dan, lo tahu apa yang terjadi?”

“Apa?” Jane makin penasaran.

“Mbak Bian di usir sama Mbak Re dari ruangannya,” jawab


Nicole, wajahnya berubah serius.

“Serius?” Wajah Jane menegang karena kaget.

Nicole mengangguk. “Iya.”

“Sampe segitunya, padahal Mbak Re tuh sabar banget


orangnya. Kira-kira masalah apa, ya?” tanya Jane lagi.

Nicole mengangkat bahu. “Nggak tahu. Tapi kayaknya soal


masa lalu gitu deh.”

“Apa mungkin mereka rebutan cowok? Oh, astaga!” Jane


berseru sesaat lalu kedua tangannya menutup mulutnya yang
mengaga.

“Atau bisa jadi mantannya Mbak Re naksir Mbak Bian.


Sekarang kan jamannya kayak gitu. Naksir teman mantan.”
Nicole tak kalah heboh berhipotesis.

Seketika wajah Jane berubah masam. “Itu masalah pribadi


gue kenapa di bawa-bawa?”

Nicole terkekeh puas.


***

Di dalam ruang kerja Feby yang beseberangan koridor


dengan ruang kerja milik Re, Rio tengah berbaring di sofa
sambil melahap roti lapis daging. Ruangan berukuran 5x5 itu
terasa begitu sesak. Seperangkat sofa sepanjang dua meter
melintang di sudut kanan depan. Dua lemari kaca berisi buku-
buku novel kesukaan Sang Pemilik teronggok sempurna di
sudut kiri. Meja kerja ukuran besar berada satu gari sejajar
dengan sofa. Nyaris tidak ada tempat kosong.

“Dia ada masalah apa sih sama Hartanto?” Rio bertanya pada
Bian. Rio mengenal ketiga orang itu baru beberapa tahun,
tepatnya saat ia di tawari pekerjaan oleh Alfa. Wajar saja jika
Rio sama sekali tidak mengetahui masa lalu Re.

“Re punya dendam pribadi.” Feby yang duduk di balik meja


kerja menjawab sekenanya.

“Dendam apaan?”

“Lo pengen tahu?”

Rio langsung bangkit terduduk. “Iya. Jangan bilang Re itu


mantan pacar anaknya Pak Hartanto?”

“Tanya sendiri ke orangnya.” Jawab Bian.

“Huuuft.” Rio mendengus. “Pantesan Re nggak pernah


ngeliat gue. Seleranya tinggi ternyata.”

Seketika Bian terbahak-bahak. “Lo kenapa? Mending urusin


server sana.”

Rio kembali terbaring lesu. Setengah hati ia melahap roti


lapis dagingnya.
Dia memang menyukai Re sejak pertama kali mereka
bertemu. Bahkan, Re adalah alasannya mau bergabung
dengan Omikron. Padahal, saat itu banyak perusahaan besar
yang menawarinya pekerjaan IT seperti Gojek dan Tokopedia
yang saat ini sudah melebur saham. Tujuannya bergabung
dengan Omikron yang tergolong baru adalah untuk lebih
dekat dengan Re. Sial, perasaannya tak pernah tersambut.
Beberapa kali ia coba menunjukan ketertarikannya pada Re,
namun selalu di tepis oleh Re yang berdalih “we are nothing
more than friend, Rio”.

Rio memutuskan keluar dari ruangan Bian dan kembali ke


wilayah teritorinya. Lantai tiga bukanlah daerah kekuasaan
Rio.

“Jangan gantung diri, Lo!” Bian berseru dan di ikuti bahak


tawa yang semakin kencang.

Rio menatapnya sebal.

Gedung tiga lantai tanpa fasilitas lift ini menyisakan empat


ruangan besar di lantai atas. Tiga di antaranya di gunakan
untuk ruang kerja para founder Omikron. Alfa, Bian dan Re.
Satu ruangan lagi di jadikan living room yang terhubung
langsung ke rooftop. Living room berbatas langsung dengan
ruangan Re yang menghadap ke laut Jakarta Utara. Living
room ini biasanya di gunakan untuk makan siang bagi
karyawan yang malas makan di luar.

Daerah kekuasaan Rio berada di lantai dua. Selain sepetak


ruang meeting yang tersempil di ujung selasar, lantai ini di
peruntukan khusus Departemen IT. Ruang server dan gudang
data berada di lantai itu. Di sanalah Rio dan selusin
anggotanya bekerja tiap hari.

***
Tok…Tok…

“Re.” Terdengar panggilan namanya sesaat setelah dua


ketukan pintu. Re tahu siapa pemilik suara itu.

“Masuk.” Jawab Re.

Seorang pria berbadan tegap mengenakan setelan kemeja


berwarna blue navy berlengan panjang yang di lipat hingga
sikut dengan seutas tali menyangga lipatan. Dua saku di
depan dada dengan tulisan ‘Omikron’ di atas saku sebelah
kiri. Kanan kiri lengan terdapat bordiran logo perusahaan
Omikron. Celana chino berbahan katun berwarna cream
menghiasi bagian bawah di lengkapi dengan sepatu delta
boot berwarna senada.

Re sedang bersandar di kursinya saat Alfa memasuki ruang


kerjanya. Tangan kirinya asyik mengurut-urut pelipis dengan
sikutnya bertumpu di atas meja. Tangan kanannya sibuk
memainkan tetikus tanpa kabel. Klik klik klik. Matanya fokus
tertuju pada layar laptop yang menampilkan game solitaire.
Re tampak berfikir keras.

“Kalau nggak ada kerjaan mending lo pergi ngopi daripada


buang-buang waktu untuk bujuk gue, Alfa.” Tanpa menoleh
ke arah Alfa, Re langsung menyergah sebelum Alfa bahkan
berucap satu katapun.

Alfa tersenyum lebar. Seperti tanpa dosa dia melangkah


santai memasuki ruangan. Meski berukuran sama dengan
ruangan Bian, ruangan Re terasa lebuh lengang. Hanya
terdapat seperangkat krsi sofa sepanjang dua meter, di
depannya ada meja kaca dengan bawahan akuarium lengkap
dengan ikan-ikan berwarna warni yang berenang riang.
Dinding ruangan di penuhi lukisan-lukisan aesthetic yang
sama sekali tidak memakan tempat. Tidak ada lemari, hanya
ada tiga rak dinding hexagonal yang di susun membentuk
piramida. Sebatang tanaman kaktus tumbuh di pot yang
terselip di sudut kiri ruangan. Tidak jauh bergeser, terdapat
pintu toilet.

Meja kerja pemilik ruangan terletak di sudut kanan tepat


berhadapan dengan sofa dalam posisi melintang. Siapapun
tamu yang duduk di sofa akan bertatap muka langsung
dengan pemilik ruangan.

Alfa merebahkan tubuhnya di sofa lalu menyandarkan


punggungnya. Tangannya di rentangkan di pundak sandaran
sofa lalu ia menaikan satu kakinya ke atas lutut kaki lainnya.
Ia memasang senyum seringai.

“Aku bisa batalin proposal itu,” ucap Alfa.

Re menatap malas ke arah Alfa sebelum sesaat kemudian lalu


memicingkan bibir. Mengendus sebal.

“Bagus deh.” Re menyahut dengan nada datar.

“By the way, apartemen kamu masih kosong, ‘kan?” Alfa


mencoba berbasa-basi.

“Masih.” Re menjawab sekenanya. Pandangannya kembali


tertuju ke layar.

Re memiliki satu unit apartemen di kawasan Taman Sari,


Jakarta Barat. Ia membelinya tiga tahun lalu setelah lulus
kuliah. Uang hasil kerja paruh waktu semasa kuliah di New
York. Namun semenjak Ayahnya meninggal dunia dua tahun
lalu, Re memilih tinggal di toko roti bersama Ibunya. Dan,
apartemennya kosong sejak hari itu.

“Niat di kontrakin nggak?” Alfa bertanya lagi.


“Kalau ada.”

“Ada sepupuku dari Medan yang baru mau masuk kuliah di


Jakarta, dia minta tolong untuk di carikan kontrakan. Dan,
apartemen kamu sepertinya strategis. Tempatnya nggak
terlalu jauh.”

“Urus aja.” Re masih tidak bergeming.

“Hmmm. Okay.” Alfa kehabisan akal.

“Udah?” Re bertanya dingin.

Alfa mengangguk. Senyumnya memudar. Tak kalah dingin, ia


menjawab, “Udah.”

Re menatap ke arah Alfa lalu dengan gerakan cepat


kepalanya menoleh ke arah pintu lalu kembali menatap Alfa.
Isyarat bahwa Alfa sudah di perbolehkan keluar dari ruangan.

Alfa mengatupkan bibir. Mengangguk samar. Kemudian ia


berdiri dari duduknya dan melangkah keluar. Sebelum
membuka pintu, Alfa sempat menoleh ke arah Re yang sudah
kembali fokus ke layar laptop.

“Coretan kamu sudah hampir penuh, nih,” celetuk Alfa


sambil menunjuk gambar yang menempel di dekat pintu.
Gambar yang tampak berbeda dengan lukisan-lukisan abstrak
lainnya di ruangan itu. Gambar seorang pria dalam kemasan
warna hitam putih.

Gambar berukuran kertas HVS A4 berwarna dasar hitam


putih tanpa bingkai itu menempel di dinding dan hanya
menggunakan lakban transparan di bagian atas dan bawah
sebagai perekatnya. Tampilannya nyaris penuh dengan
coretan berwarna merah yang tergaris dalam berbagai
bentuk. Ada tanda silang besar, garis lintang yang
bergelombang, traffic detak jantung, hingga coretan tak
beraturan yang warnanya sangat tebal.

“Aku bantu selesaikan?” Alfa menyeringai sambil meraih


stabilo warna merah dari rak dinding hexagon.

Re mendongak dan menatap Alfa tajam-tajam. Tanpa


bersuara.

“Ehm. Oke. Nggak jadi.” Alfa menggaruk kepalanya yang tidak


gatal. Ia pun meletakan kembali satabilo ke tempat semula.

“Saat jam makan siang, semoga hati kamu udah baikan, ya,”
celetuk Alfa di sertai cekikikan kecil.

“Isssh!” Re berdecak. Ia melemparkan bolpoin ke arah Alfa,


namun sahabat lelakinya itu sudah duluan keluar.

Re bangkit dari duduknya untuk mengambil bolpoin yang


baru saja melayang. Bolpoin itu jatuh tepat di bawah gambar
hitam putih bercoretan merah. Sesaat lalu, Re
memperhatikan gambar itu dalam dalam.

“Brengsek!”

Bolpoinnya bertinta biru namun cukup bagus untuk di


padukan dengan warna merah. Gambar itu sekarang punya
kombinasi warna baru. Merah-Biru.

Seseorang di dalam gambar itu bernama Hartanto. Mahluk


bumi yang sangat di benci oleh Re. Dia sengaja memasang
gambar itu di dekat pintu agar bisa memberi coretan setiap
kali ia melewati punti itu. Entah itu masuk ataupun keluar.

Coretannya pun beragam. Jika suasana hatinya sedang baik,


Re akan berkreasi di dengan tanda silang besar, garis lintang
yang bergelombang, traffic detak jantung, bahkan bertanda
tangan. Namun jika suasana hatinya sedang buruk, Re
mencoretnya tanpa bentuk dengan menekan stabilo sekuat
mungkin hingga menimbulkan warna tebal seperti yang baru
saja ia lakukan.

Seperti cerita Sisifus yang melegenda dalam mitologi Yunani.


Di kisahkan Sisifus adalah seorang pendosa yang di hukum
oleh para dewa untuk mendorong batu karang ke puncak
gunung, namun pada akhirnya batu itu akan bergulir jatuh
kembali ke bawah. Lalu Sisifus akan mulai mendorongnya lagi
ke puncak dan batu itu tetap akan menggelinding ke bawah.
Re terlalu bersemangat untuk memberi coretan pada gambar
itu agar cepat penuh hanya supaya ia bisa menggantinya lagi
dengan gambar yang baru. Lalu Re akan bersemangat lagi
untuk mulai mencoret-coret. Begitu seterusnya hingga
kutukan Sisifus di tarik oleh para dewa.

Anda mungkin juga menyukai