Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

Sebuah motor sport berwarna merah berhenti tepat di tempat parkiran yang luas. Pekikan dan
decakan kagum langsung menyambut lelaki itu begitu ia turun dari motornya. Tak ada satupun
sahutan dari lelaki tersebut, Ia menaruh helmnya dan setelah itu berjalan dengan langkah santai
sembari menenteng sebuah tas di bahu kirinya.

“WOI!” Teriakan lantang sosok lelaki lain membuat beberapa siswa dan siswi yang berada di
koridor menoleh dengan tatapan bingung dan aneh pada lelaki tersebut.

Lelaki tersebut tampak tak peduli dan malah berlari kecil menghampiri sosok sahabatnya yang
juga berhenti tepat di tengah-tengah koridor.

“Tumben datang pagi bos, biasa kesiangan mulu.” ucap lelaki yang tampak berpakaian urak-
urakan. Rio, lelaki yang menjadi sahabat Leon sejak masih duduk di bangku SMP.

“Nggak usah teriak!” desis Leon seraya melangkahkan kakinya menaiki tangga untuk menuju
kelasnya.

Rio justru menyengir lebar seraya mengusap tengkuknya dan kembali mengikuti langkah
sahabatnya sembari bersenandung ria. Ia memang suka sekali menyanyi walau suaranya
sumbang.

“Nggak bawa tas lagi?” tanya Leon dengan suara berat dan datar, ciri khasnya.

“Berat cuy, males banget gue.” Jawab Rio dengan santai. Leon menggeleng-gelengkan
kepalanya. Bagi semua orang terutama Leon, sudah biasa dengan sikap nakal dari Rio.
Langganan BK, itu sudah menjadi ciri khas Rio.

Keduanya tampak berjalan beriringan menuju kelas mereka. Baru saja mereka menampakkan
kaki di kelas mereka, tiba-tiba satu kelas mendadak hening. Selalu. Setiap Leon masuk ke kelas,
pasti mereka akan diam. Karena satu kelas tahu bagaimana bencinya Leon pada kebisingan.
Berbeda dengan kedua lelaki yang berada di pojok kelas. Mereka tengah meributkan sesuatu
yang entah itu apa. Leon dan Rio langsung menghampiri sahabatnya itu, Genta dan Marcell.

“Kantin yuk?” Rio bersuara. Sedangkan Leon hanya diam sambil memainkan ponselnya yang
sejak kapan sudah berada di genggamannya.

“Yuk! Gue juga lapar banget, mau ngisi perut!” seru Genta menyengir lebar dan berdiri dari
duduknya.

“Dylan mana?” tanya Leon. Ia berdiri dengan tatapan tajam dan suara datarnya. Sontak mereka
langsung menoleh dan menatap Leon.

“Nyebat di rooftop.” Sahut Marcell.

Tanpa berkata sepatah kata pun. Leon segera pergi meninggalkan ketiganya. Dengan langkah
lebar ia menyusuri koridor yang sedikit ramai dengan para siswa dan siswi. Langkahnya terhenti
saat melihat sosok perempuan, seperti sedang menunggunya.

Leon menghela nafas kasar dan kembali melanjutkan langkahnya, Walau rasanya enggan,
Apalagi melihat segerombolan perempuan yang menatapnya tanpa kedip. Para segerombolan
perempuan itu memekik tertahan saat Leon menatap mereka. Siapa yang tidak mengenal
Leonardo Saputra Agraham? Lelaki tampan di SMA Ganesha. Dengan bandana berwarna biru
yang selalu dililitkan pada kepalanya yang di kenal sebagai ciri khasnya, Kedua mata hazel yang
selalu menatap orang dengan tajam membuat ia sedikit di takuti, Apalagi ia merupakan seorang
ketua Gangster yang terkenal sadis.

Leon, lelaki dengan sifat yang cuek dan kejam terhadap siapapun, Ah kecuali perempuan. Ia tak
pernah menyakiti perempuan manapun, karena Leon tidak suka berurusan dengan seorang
perempuan. Baginya, itu sedikit menyusahkan.
Leon berusaha tersenyum tipis saat melewati para segerombolan perempuan itu. Lalu dengan
cepat pula ia mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar. Sebenarnya ia bukan tipe cowok yang
mudah tersenyum, mungkin karena pagi ini moodnya masih dalam keadaan baik. Jadi biarlah ia
membagikan senyuman yang jarang ia perlihatkan kepada siapapun. Ya, walau hanya senyuman
tipis.

Kedua matanya tanpa sengaja melihat dua lawan jenis yang tengah berada di koridor yang sepi.
Tentu ia mengenali siapa cowok itu, Dylan. Namun ia malah mengedikkan bahunya acuh dan
kembali menuju rooftop. Walau awalnya ia memang ingin menghampiri Dylan tetapi begitu
melihat Dylan dengan seorang perempuan membuat ia mengurungkan niatnya untuk
menghampiri Dylan.

Rokok. Ia mengambil sebungkus rokok dari sakunya sembari menatap hamparan luas area
sekolah yang mulai rame dengan siswa dan siswi yang baru datang. Namun kedua mata hazelnya
tanpa sadar berhenti pada satu objek yang membuatnya sedikit tertarik. Leon terus menatap
perempuan itu tanpa kedip. Leon memiringkan kepalanya dengan satu alis yang terangkat,
melihat bagaimana senyuman manis yang terus tercetak di bibir perempuan itu, tanpa sadar ia
ikut tersenyum.

“Suka lo?” Leon terlonjak kaget dan segera menoleh dengan cepat ke belakang.

Leon mendelik kesal, ”Ngagetin aja sih lo bangke!”

“Lo suka Aurora?”

Leon menggeleng, ”Nggak, baru juga gue liat.”

Dylan memilih tak menjawab dan kembali menatap bawah, menyusuri pandangannya, yang
dimana terlihat halaman luas area sekolah

“Lo tadi ngapain tu cewek?” pertanyaan Leon membuat Dylan seketika menoleh dengan cepat.
“Lo liat?”

“Hm,”

“Cewek gue itu,” ujar Dylan dengan santai.

Leon membelakkan matanya kaget, “Serius? Sejak kapan? Backstreet?”

Dylan mengangguk, “Gue ke kantin dulu,” Lalu Dylan melangkahkan kakinya keluar dari
rooftop. Sedangkan Leon hanya diam dengan pandangan bingung lalu setelah itu ia menggeleng
pelan, toh itu bukan urusannya.

Namun pandangannya kembali menyapu seluruh area halaman sekolah dan tanpa sadar ia
mengepalkan tangannya saat melihat perempuan yang tadi ia perhatikan kini tengah di ganggu
oleh beberapa siswa. Leon memejamkan matanya berusaha menahan emosi. Ia kembali
membuka matanya.

Leon menghela nafas kasar dan berbalik, menginjak rokok yang tadi ia hisap dan melangkah
pergi dari rooftop.

***
Kring Kring
Bunyi bel istirahat membuyarkan Aurora yang sedang hanyut membaca novel. Jam kosong?
Tidak, hanya saja Aurora terlalu bosan dengan matematika maka dari itu dia membaca novel
tanpa sepengatahuan dari bu Yuli, selaku guru matematika yang katanya killer itu.

"Kantin yuk?" Ajak Aurora sambil menengok ke arah Gita dan Vika. Kedua sahabat yang selalu
menemaninya dari bangku SMP. Sampai menginjak kelas sebelaspun mereka masih bersama-
sama.
"Gas!" Balas gita yang langsung menggandeng tangan Aurora dan Vika.
Selama mereka berjalan di koridor sekolah banyak tatapan mata siswa yang langsung mengarah
pada ketiganya. Terutama Aurora, ya siapa sih yang tidak mengenal Aurora Claretta Savero?
Gadis cantik dengan senyuman manis yang membuat para pria berani bertekuk lutut padanya.
Tak heran Aurora sering di juluki primadona SMA Ganesha. Ya apalagi sifat lembut dan ramah
yang melekat pada dirinya. Seperti sekarang, setiap ada yang menyapanya pasti Aurora
membalasnya dengan senyuman.

Gita selaku sahabat Aurora pun hanya diam walau terkadang Gita membalas sapaan mereka.
Kecuali Ravika, gadis yang di sapa Vika ini sama sekali tak pernah tersenyum pada pria
manapun. Vika akan sangat berbeda jika sudah bersama sahabatnya, ia akan banyak ngomong
dan sedikit bertingkah. Ingat, Hanya di depan sahabatnya saja ya.

Sesampainya di kantin. Mereka bertiga langsung saja memesan makanan. Tidak butuh waktu
lama, mereka sama-sama membawa sebuah nampan.

“Loh? Gue rasa tadi tuh meja kosong deh.” Gita berucap seraya memasang wajah cengo.

“Itu aja deh, yang ujung.” Aurora dan kedua sahabatnya langsung saja menghampiri meja pojok
kantin.

“Permisi kak, boleh numpang duduk di sini nggak?”

Rio mendongak dan tersenyum sopan, “Boleh, duduk aja.”

Ketiganya langsung duduk dan mulai menyantap makanannya dengan lahap. Posisi mereka tepat
sekali berhadapan dengan Rio. Sedangkan Rio sudah tak bisa menghilangkan senyuman
bahagianya. Bagaimana coba rasanya dikelilingi oleh perempuan? Cantik-cantik bagai bidadari
pula. Sungguh Rio benar-benar bahagia dan tanpa sadar ia terus memperhatikan ketiganya
dengan lekat. Biasalah, playboy mah gitu.
“RIO?! ASTAGA YO GUE TAU LO PLAYBOY, TAPI GAK GINI JUGA YO, TIGA ORANG
LAGI! ASTA—Hmptt!”

“Berisik Ta! Nggak usah lebay!” Marcell menatap sinis Genta dan melepas bekapan tangannya
dari mulut Genta.

“Ih jorok jangan deket-deket! Mulut Genta hama anjir!” sahut Rio dengan memasang wajah jijik
pada Marcell.

“Sembarangan lo! Gue sambelin tuh mulut!”

Sedangkan Leon dan Dylan hanya diam dan duduk tenang di hadapan ketiga perempuan itu.

Mereka kembali menyantap makanannya dengan lahap walau sedikit canggung. Apalagi Aurora,
bukan hanya merasa canggung, ia juga merasa tak nyaman. Seperti ada yang memperhatikannya.
Karena penasaran, Aurora pun segera mendongak menatap kelima lelaki di depannya. Satu yang
ia dapat, Leon lah yang memperhatikannya. Tiba-tiba saja Aurora merasa merinding apalagi
dengan tatapan datar Leon yang membuat Aurora seketika menciut dan tanpa sadar ia mulai
meremas roknya sendiri.

“Lo kenapa, Ra?” Aurora menggeleng.

“Nggak pa-pa, Git. Udah selesai kan? Ayo balik!” kata Aurora dengan sedikit tergesa-gesa.

Kelima lelaki yang tadi asik makan kini langsung menoleh pada Aurora dan kedua sahabatnya.

“Lho udah pada mau balik nih?” tanya Rio.

“Iya kak, lupa tadi ada guru yang panggil.” Ucap Aurora yang sepenuhnya memang berbohong.
Alasannya adalah menghindari tatapan kakak kelasnya itu, Leon.
Setelah kepergian tiga adek kelas perempuan itu, Leon dan sahabatnya mulai banyak berbicara
atau berceloteh. Terutama Genta, sampai rasanya Dylan yang berada di sebelah Genta ingin
sekali menyumpal mulutnya. Saat ada perempuan saja Genta barulah diam, apalagi kalo bukan
menjaga imagenya.

“Bolos kuy? Kita nongkrong di warmang bi minah!”

“Lu pad—“

“Berisik!” desis Dylan seraya menatap tajam Genta. Genta menyengir lebar dan mengangkat
kedua jarinya membentuk peace.

“Balik kelas yuk?”

Keempatnya mengangguk dan berdiri diikuti Marcell yang sudan berjalan duluan. Banyak
pasang mata yang menatap kelimanya namun kelimanya hanya diam. Kecuali Rio, ia terus
menebar pesonanya atau sesekali menggombali setiap perempuan yang ada didekatnya. Benar-
benar fuckboy.

Leon, ia berjalan dengan langkah santai namun tatapan tajamnya terus menyusuri koridor yang
ramai karena memang ini masih jam istirahat. Namun suatu objek membuat Leon seketika
berhenti. Otomatis Genta, Rio, dan Marcell yang berada di belakang Leon ikut berhenti. Dylan?
Ia berada di sebelah Leon, jadi lelaki itu anteng-anteng saja.

“Yon lo—" Ucapan Marcell terpotong ketika dengan santainya, Genta menjitak tepat
dikeningnya.

“Sakit bego! Kenapa sih?” Marcell mengusap-usap keningnya yang dijitak oleh Genta.

“Syuttt! Lo nggak liat tangan Leon tuh?” bisik Genta.


Marcell pun dengan segera melihat tangan Leon yang tengah mengepal, tandanya… Leon sedang
marah?

Dengan cepat Marcell mengikuti arah pandangan Leon, detik itu juga ia mengernyit heran. Yang
ia lihat hanya Aurora dengan seorang lelaki. Tentu ia juga tahu dan mengenal lelaki itu, seorang
ketos di SMA Ganesha.

“Bos, lo kenapa?” tanya Marcell dengan berhati-hati.

Leon menggeleng, “Gue ke rooftop, kalian duluan aja.”

Setelah itu Leon melenggang pergi dengan langkah besarnya seraya mengepalkan tangannya,
Leon terus mengingat bagaimana tawa perempuan itu dengan ketua osis itu. Saat sampai di
rooftop. Leon meninju tembok yang berada di depannya dengan keras, melampiaskan
amarahnya.

“Sialan! Gue kenapa sih?” Leon terus meninju tembok yang berada di depannya. Setelah itu
Leon memejamkan matanya dan berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah.

Lalu membuka mata dan langsung duduk di sofa usang yang berada dipojok rooftop seraya
menyenderkan badannya.

“Gue liat-liat lo merhatiin si Aurora mulu.” Celetuk seseorang membuat Leon dengan sigap
menoleh.

Genta duduk di sebelah Leon seraya mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakan pemantik
rokok itu. Genta kembali menoleh dengan pandangan yang sedang mengarah pada Leon yang
hanya diam.

“Lo kerasukan ya?”


Leon mendengus, “Kenapa emang kalo gue perhatiin dia?”

“Nggak pa-pa sih, tumben aja. Setau gue kan lo paling bodo amatan soal cewek.”

Tebakan Genta sangatlah benar. Ia memang terlalu tidak peduli terhadap perempuan. Namun,
Aurora… sedikit berbeda. Perempuan itu seperti mempunyai daya tarik tersendiri.

“Anak-anak di kelas?” tangan Leon mulai mengambil sebungkus rokok dari kantung bajunya.
Namun kembali ia urungkan.

“Pada ke warmang, habis dari sini juga gue mau ngikut mereka. Soalnya lo tau kan habis ini jam
si pak gentong, malas banget gue.”

“GENTA! KURANG AJAR SEKALI KAMU! KAMU NGATAIN SAYA?!” Leon dan Genta
langsung saja berdiri dan berbalik. Keduanya melotot kaget, “INI APA LAGI? KAMU
NGEROKOK?!”

“Leon, kamu balik ke kelas! Tapi tetap saja, tunggu hukuman kamu.” Perintah pak Radit dengan
tegas.

Tanpa berkata sepatah katapun, Leon langsung melangkah pergi. Sebelum itu, ia sempat menatap
Genta dan tersenyum mengejek. Melihat itu, Genta langsung mengepalkan tangannya kesal.

“Sialan!”

***

“Ah! Mau gila gue kerjain tuh tugas.”

“Bersabarlah.. ini ujian. Semangat bro, kita bantu doa kok.”


Genta mendengus, “Dasar pak Gentong! Pake pilih kasih segala.” Terdengarlah tawa dari para
anggota Rezgart, membuat Genta menendangi kaki mereka satu-satu. Siapa sih yang tidak kesal
sehabis dihukum? Oh, jangan Tanya. Genta sampai melampiaskan emosinya dengan mengomel
tak jelas pada anggota Rezgart, “Kampret lo semua! Bantuin kek, temennya lagi kesusahan gini
malah diketawain.” Genta mendengus saat mereka semakin tertawa.

“Mohon maaf nih, Ta. Tapi nistain lo seru juga!” sahut Rio dengan tawa kecilnya.

“Sialan!”

“Yon, markas kagak nih? Lo mau kita belumutan nunggu diparkiran, mana nih panas banget
lagi.” Celetuk Marcell. Leon hanya diam, memilih tak menanggapi ucapan Marcell.

Mereka tengah berada diparkiran sekolah, duduk dimotor dengan matahari yang serasa tepat
diatas mereka. Leon terlihat berkeringat dan kepanasan begitu juga dengan yang lain, namun
sayangnya, Leon tidak peduli. Matanya terus mengamati satu persatu murid yang keluar dari area
sekolah. Sampai akhirnya, orang yang ditunggu muncul. Leon langsung menegapkan tubuhnya,
ia turun dari motor dan segera menghampiri perempuan yang tengah berbincang dengan kedua
sahabatnya sembari berjalan keluar sekolah.

“Aurora?”

Aurora menoleh saat meras terpanggil, “Iya, kak Leon manggil saya?” Aurora meneliti wajah
Leon, ah benar-benar tampan.

“Ra!” Aurora tersentak saat lengannya di senggol. Ia menoleh pada Gita yang tengah
mengodenya. Seakan mengerti, Aurora langsung menoleh lagi pada Leon, tersenyum kikuk,
“Maaf, kenapa kak?”

“Boleh minta nomor lo?” Leon menyerahkan ponselnya dengan wajah datar. Leon menaikkan
sebelah alisnya saat melihat Aurora yang terdiam, “Lo nggak mau kasih?”
Aurora spontan mengambil ponsel Leon dan mengetikkan nomor telfonnya secepat mungkin lalu
setelah itu ponselnya bordering. Aurora langsung mengembalikan ponsel itu kepada sang
pemilik.

Leon menyimpan ponselnya lalu beralih menatap wajah Aurora, “Simpan kontak gue.” Aurora
mengangguk dengan cepat. Setelah itu, Leon berbalik dengan wajah datarnya. Ia sedikit
tersenyum tetapi tak bertahan lama, setelah melihat wajah teman-temannya yang seperti ingin
mengoloknya.

“Cie… langsung digas dong!”

“Leon udah gede ya bun.”

“Leon jatuh cinta dong… Ekhem! Pandangan pertama ya?”

“Bacot!”

Dylan terkekeh kecil melihat Leon yang mulai dijahili, “Nggak takut lo semua?”

“Sekali-kali, jahilin ketua.” Balas mereka serempak.

Sialan! Wajah Leon memerah, tentu saja karena kesal dan malu. Dengan cepat ia menaiki
motornya dan memasang helm. Melihat itu, seluruh temannya semakin menggodanya. Leon
langsung menjalankan motornya, dan melesat pergi.

Anda mungkin juga menyukai