“ MENGETIK ”
DISUSUN OLEH :
2022
BAB VII
Tanah terdiri dari komposisi kimia inorganik dari hasil pelapukan batuan
dan kimia organik dari hasil dekomposisi bahan organik. Tanah yang berfungsi
sebagai selimut bumi secara geologis terletak di permukaan bumi yang proses
pembentukannya dipengaruhi oleh bahan induk, iklim ,topografi, makhluk hidup
terutama vegetasi termasuk biota tanah dan waktu pembentukan tanah. Secara
fisik, tanah terdiri dari fase padat (inorganik dan organik) cair, dan gas. Komposisi
kimia tanah yang lengkap yang terdapat di dalam tabel periodik (gambar 7.1)dan
tiga fase fisiknya memungkinkan tanah sangat cocok untuk media tumbuhan
tanaman seperti (1) menjadi jangkar akar tumbuhan sehingga tumbuh tegak, (2)
tempat pemasok air baik untuk proses kimia, fisik dan biologi dalam tanah
maupun transportasi massa dari dalam tanah naik ke bagian atas tumbuhan, (3)
menyediakan unsur hara Untuk pertumbuhan tanaman dan (4) menyediakan udara
dengan berbagai fungsinya untuk pertumbuhan tanaman.
Sifat kimia tanah menggambarkan karakteristik bahan kimia tanah dalam
lingkungannya yang sangat penting untuk memprediksi fungsi tanah dari sudut
pandang kelarutan dan ketersediaan unsur dalam tanah. Proses kimia tanah
merupakan semua proses reaksi kimia yang dapat meningkatkan atau menurunkan
tingkat ketersediaan unsur hara tanaman di satu pihak dan toksisitas/kontaminan di
pihak lain.Reaksi-reaksi ini meliputi absorpsi/desorpsi, pengendapan, polimerisasi,
pelapukan, komplikasi, dan oksidasi/reduksi.Reaksi-reaksi ini kurang mendapat
perhatian para ilmuwan lain yang terlibat dengan rehabilitasi lingkungan dengan
memahami proses kimia tanah kita dapat lebih memprediksi ketersediaan unsur
yang berguna dan mengatasi kelarutan kontaminan yang bersifat racun untuk
makhluk hidup yang berfungsi untuk kesejahteraan masyarakat secara
berkelanjutan sifat fisik tanah seperti besar butir (tekstur), susunan dan komposisi
butir dalam agregat termasuk pori tanah di dalamnya (struktur), dan ketersediaan
udara dan air di dalam tanah semuanya itu sangat erat hubungannya dengan sifat
kimia tanah dan dapat mempengaruhi proses kimia didalam tanah
GAMBAR 7.1 Susunan unsur kimia dalam table periodic yang memuat unsur kimia
yang dapat bermanfaat dan merugikan bagi makhluk hidup.
7.2 GENESIS DAN MINERALOGI KLEI SILIKAT
Mineral klei silikat umum dijumpai pada semua tanah. Klei hidrous oksida
dijumpai pada tanah-tanah berbahan induk yang berasal dari batuan intermedier dan
basaltik, serta telah mengalami pelapukan lanjut. Alofan banyak dijumpai pada tanah
tanah yang berasal dari abu vulkanik, berada di daerah pegunungan, dan lembab.
Larutan yang bersifat asam akan bereaksi dengan permukaan batuan dan
cende rung melarutkan ion K+ dan silika pada (misalnya) mineral feldspar. Akhirnya,
hasil reaksi larutan tersebut dengan feldspar menyebabkannya berubah menjadi
kaolinit.
Di dalam tanah terdapat tiga jenis liat/klei yaitu liat/klei aluminum silikat, klei
hidrous oksida terutama besi dan alumunium, dan alofan. Mineral klei alumino silikat
umum dijumpai pada semua tanah. Klei hidrous oksida dijumpai pada tanah tanah
berbahan induk yang berasal dari batuan intermedier dan basaltik, serta telah
mengalami pelapukan lanjut. Alofan banyak dijumpai pada tanah-tanah yang berasal
dari abu vulkanik, berada di daerah pegunungan, dan lembab.
Lapisan pertama disebut lapisan tertrahedral yang terdiri dari SiO, yang
disebut lapisan silika atau filosilikat (Gambar 7.2). Setiap satu atom silika dikelilingi
oleh 4 oksigen sehingga membentuk tetrahedral (tetra = 4; hedra = muka) (Gambar
7.3). Silika yang terkoordinasi di dalam tetrahedral sangat kuat terikat dengan ikatan
ko valen, di mana elektron dari silika dan oksigen dimiliki bersama. Atom oksigen
ber tautan satu sama lain hingga terbentuk lapisan yang disebut basal oxygen.
Lapisan satu lagi yang menyusun mineral silika adalah lapisan oktahedral. Di
dalam struktur ini satu kation dikoordinasikan oleh 6 atom oksigen atau hidroksil di
dalam bentuk oktahedral polihedra (Gambar 7.3). Sama seperti pada tetrahedral,
kation (biasanya Al, Fe, atau Mg) ini juga terikat dengan ikatan kovalen dan juga
membentuk basal oksigen atau hidroksil dan oksigen di dalam oktahedral juga ter
paut dengan oksigen dari tertrahedral.
GAMBAR 7.2 OH Susunan tetrahedral dan oktahedral Sumber. dari public domain
Wikipendia, diunduh Feb 2012).
Mineral liat/klei silikat di dalam tanah dapat berasal dari pelapukan batuan se
dimen, seperti batu liat/klei, dapat berasal dari bahan induk hasil deposisi, misalnya
pada tanah Aluvial, atau dapat berasal dari bahan yang dimuntahkan oleh aktivitas
gunung berapi yang berasal dari dinding volkano.
Mineral klei silikat yang umum dijumpai adalah hasil pelapukan fisik dan
kimia, serta hasil dekomposisi dan rekristalisasi (sintesis). Mika misalnya, merupakan
mineral primer filosilikat di mana antar unit kristal diikat oleh kation, umumnya
kalium yang tidak dapat dipertukarkan. Melalui pelapukan, kalium yang tidak dapat
dipertukarkan ini akan berubah menjadi kalium yang dapat dipertukarkan. Proses ini
disebut dengan pelapukan atau alterasi fisik dan kimia atau disebut juga transformasi.
Dalam proses ini struktur kristal tidak berubah, tetapi terjadi perubahan nama
mineral. Tergantung pada jumlah muatan per satuan kristalnya, hasil transformasi
mika akan membentuk mineral liat/klei aluminosilikat smektit atau vermikulit.
Pada kondisi lain, mineral primer akan dilapuk menjadi ion-ion, terutama ion
silikat dan alumunium. Bahan-bahan ini akan saling bereaksi dan berekristalisasi
membentuk mineral sekunder. Tergantung pada rasio Si:Al maka akan terbentuk mi
neral liat/klei aluminosilikat yang berbeda. Pada bahan dengan rasio Si:Al tinggi dan
pH di atas netral maka akan terbentuk mineral liat/klei silikat tipe 2:1. Jika rasio Si:Al
= 1, maka akan terbentuk mineral liat/klei silikat tipe 1:1. Jika bahan tersebut miskin
akan silikat, maka akan terbentuk mineral bauksit.
7.2.3 Jenis Mineral Klei Silikat
Mineral klei silikat bersifat kristalin. Setiap unit kristal terdiri dari lempeng Si
tetrahedral dan lempeng Al-oktahedral. Tergantung pada jumlah lempeng Si-tetra
hedral dan lempeng Al-oktahedral untuk membentuk satu unit kristal, maka mineral
klei silikat dibagi dalam tipe 1:1, tipe 2:1 mengembang, tipe 2:1 tidak mengembang,
dan tipe 2:1:1.
Mineral klei silikat tipe 1:1 (Gambar 7.4) tersusun dari satu lempeng Si-tetra
hedra dan satu lempeng Al-oktahedra membentuk satu unit kristal. Antar unit kris tal
diikat oleh ikatan hidrogen untuk membentuk partikel. Ikatan ini kuat dan man tap,
sehingga air tidak mampu menyusup ke dalam ruang antar-unit kristal, sehingga
mineral tipe ini tidak mengembang. Mineral ini juga memiliki muatan yang rendah
karena minim substitusi isomorfik sehingga daya jerap terhadap air dan kation ren
dah. Salah satu contoh mineral tipe ini adalah kaolinit. Kaolinit memiliki KTK 3-15
me/100g klei.
GAMBAR 7.4 Tipe mineral 1:1 yang menggambarkan satu lapis tetrahedral dan 1
lapis tetrahedral dan 1 lapis oktahedral Sumber: Lumbanraja, 2012
Mineral klei silikat tipe 2:1 mengembang tersusun dari dua lempeng Si-
tetrahed ral yang mengapit satu lempeng Al-oktahedra (Gambar 7.5). Antar unit
kristal diikat oleh kation yang dapat dipertukarkan. Ikatan ini lemah sehingga air dan
juga kation dari larutan tanah mampu menyusup ke dalam ruang antar unit kristal,
sehingga partikel mineral tipe ini akan mengembang atau lebih tebal bila basah.
Karena ada nya penyusupan air atau kation ke ruang antar unit kristal, maka
dikatakan bahwa mineral tipe ini memiliki permukaan dalam lempeng. Sebaliknya,
bila kering, atau air keluar lagi dari ruang antar unit kristal, maka mineral ini
menyusut ke keadaan sebelum basah. Mineral ini memiliki muatan yang tinggi
sebagai hasil dari substitusi isomorfik. Kombinasi dari kepemilikan substitusi
isomorfik dan permukaan dalam, maka mineral ini memiliki daya jerap akan air dan
kation yang tinggi. Salah satu contoh mineral tipe ini adalah montmorilonit.
Montmorilonit memiliki KTK 80-100 cmol kg' klei.
GAMBAR 7.5 Tipe mineral 2:1 yang menggambarkan dua lapis tetrahedral dan satu
lapis oktahedral Sumber. Lumbanraja, 2012.
Mineral klei silikat tipe 2:1 tidak mengembang memiliki struktur yang sama
dengan tipe 2:1 mengembang, kecuali antar unit kristal diikat oleh kation yang tidak
dapat dipertukarkan (contoh mineral ilit) atau kation yang dapat dipertukarkan tetapi
muatan klei tinggi (contoh mineral vermikulit). Ikatan ini kuat, sehingga air dan
kation dari larutan tanah tidak mampu menyusup ke dalam ruang antar unit kristal,
atau mineral ini tidak memiliki permukaan dalam. Akibatnya mineral tipe ini tidak
mengembang bila dibasahi. Mineral ini memiliki KTK 15-40 cmol/kg klei Mineral
silikat klei tipe 2:1:1 tersusun dari dua lempeng tetrahedral dan dua oktahedral yang
saling berselang-seling (Gambar 7.6). Contoh mineral tipe lempeng ini adalah khlorit.
GAMBAR 7.6 Tipe mineral 2:1:1 yang menggambarkan dua lapis tetrahedral dan
satu lapis oktahedral dalam molekul dan satu lapis oktahedral antar lapisan Sumber.
Lumbanraja, 2012.
7.3 TIPE DAN SIFAT KOLOIDAL TANAH
Koloid tanah adalah partikel berukuran kurang dari 1 um. Terdapat dua jenis
koloid yaitu koloid anorganik dan koloid organik. Koloid anorganik diwakili oleh
mineral klei, tapi tidak semua klei berukuran koloid. Bila dibandingkan dengan klei
yang berukuran < 2 µm, maka sebagian dari klei berukuran koloid. Mineral klei
silikat kaolinit umumnya berukuran besar sehingga sedikit yang berukuran koloid,
sedangkan mineral klei silikat montmorilonit lebih sering berukuran koloid. Koloid
organik diwakili oleh humus.
Sifat dan ciri koloid anorganik yang akan dibicarakan adalah struktur, bentuk,
permukaan, muatan, dan substitusi isomorfik.
a. Struktur
Koloid anorganik bersifat kristalin, yang terdiri dari unit kristal yang
masing masing unit kristal tersusun dari lempeng tetrahedral dan lempeng
oktahedral. Ber dasar tata cara penyusunan lempeng tetrahedral dan lempeng
oktahedral ini, maka terdapat berbagai mineral klei silikat. Setiap unit kristal
diikat oleh gaya yang berbe da tergantung pada tipe mineralnya membentuk
partikel klei.
b. Bentuk
d. Muatan
Peptisasi atau flokulasi akan terjadi tergantung pada jumlah air dan
jenis kation yang terjerap koloid. Bila jumlah air banyak atau dengan kata lain
konsentrasi kation rendah, maka akan terjadi peptisasi. Bila jumlah air sedikit
atau konsentrasi - kation tinggi, maka akan terjadi flokulasi. Selain itu, ion
natrium yang terjerap akan menyebabkan peptisasi, sedangkan ion alumunium
yang terjerap akan menyebabkan koloid terflokulasi.
e. Substitusi Isomorfik
GAMBAR 7.7 Tipe mineral 2:1 yang menggambarkan dua lapis tetrahedral dan tanpa
substitusi satu lapis octahedral Sumber: Lumbanraja, 2012.
GAMBAR 7.8 Tipe mineral 2:1 yang menggambarkan dua lapis tetrahedral dan satu
lapis oktahedral dengan 2 atom substitusi menyebabkan muatan permanen klei
manjadi 2 Sumber: Lumbanraja, 2012.
7.4 SUMBER MUATAN DAN PENJERAPAN KATION/ANION
7.4.1 Pendahuluan
Terdapat dua sumber muatan negatif koloid anorganik, yaitu substitusi isomor
fik (lihat 7.2.2.) dan patahan pinggiran kristal mineral. Muatan yang berasal dari
substitusi isomorfik disebut juga sebagai muatan tetap (permanent charge), karena
tidak akan berubah dengan berubahnya pH tanah (Gambar 7.8).
Pada patahan pinggiran kristal mineral klei silikat terdapat gugus silanol (-Si
O-H) dan aluminol (-Al-O-H). Bila terdapat kenaikan pH, maka gugus silanol dan
aluminol akan mengalami hidrolisis:
Terlihat pada kedua reaksi tersebut (7.3 dan 7.4) bahwa muatan negatif akan
muncul (dalam bentuk-Si-O- dan Al-O-) sebagai reaksi atas meningkatnya pH dan
muatan positif muncul dalam bentuk -Al+- sebagai reaksi menurunnya pH larutan
tanah. Oleh karena itu, muatan yang dihasilkan melalui mekanisme ini disebut
sebagai muatan tergantung pH (pH dependent charge). Semakin tinggi kenaikan pH,
maka semakin banyak gugus silanol dan aluminol yang berhidrolisis sehingga
semakin tinggi muatan yang dihasilkan. Sebaliknya bila pH rendah, di bawah pKa s
tersebut, maka jenis muatan ini tidak akan muncul. Dengan demikian, pada pH tanah
di bawah pKa gugus tersebut maka mineral klei silikat hanya memiliki muatan
permanen.
mineral klei silikat tipe 2:1 memiliki kedua sumber muatan tersebut, sedankan
mineral klei silikita tipe 1:2 hanya memiliki muatan tergantung pH.
Muatan negatif koloid organik sebagian besar berasal dari hidrolisis dari
karboksil dan fenol: gugus
Dari reaksi 7.6 dan 7.7 terlihat bahwa muatan negatif akan muncul sebagai
reaksi dari peningkatan pH. Bila terjadi penurunan pH, maka muatan tersebut akan
mengikat kembali OH dan menimbulkan muatan positif. Secara umum, muatan ne
gatif koloid organik mengandung muatan tergantung pH. Semakin tinggi pH maka
semakin banyak gugus karboksil dan fenol berhidrolisis. Bila pH sangat tinggi maka
dimungkinkan gugus alkohol pun terhidrolisis. Sebaliknya, bila pH tanah di bawah
pKa gugus-gugus tersebut, maka muatan ini tidak muncul, atau dengan kata lain
koloid organik bermuatan nol.
7.4.4 Penjerapan Kation
Koloid tanah yang bermuatan negatif akan selalu dikelilingi oleh kation
(Gambar 7.9). Kation-kation ini dijerap dengan kekuatan yang berbeda-beda.
Kekuatan penjerapan dipengaruhi oleh valensi kation dan daya hidrasi kation.
Semakin ting gi valensi kation maka semakin kuat kation dijerap koloid. Berkaitan
dengan daya hidrasi, semakin rendah daya hidrasi kation maka semakin kuat kation
dijerap ko loid. Secara umum urutan kekuatan kation dijerap koloid adalah sebagai
berikut: Al>Ca>Mg>K>Na, bila kation-kation tersebut berada pada konsentrasi yang
sama.
7.5.1 Pendahuluan
Kapasitas tukar kation adalah jumlah maksimum kation yang sanggup dipertu
karkan oleh koloid. Jumlah ini dinyatakan dalam jumlah miliequivalen kation yang
dapat dipertukarkan setiap 100 gram koloid atau bahan disingkat dengan cmolc/k atau
cmol kg'.
Bila suatu tanah memiliki KTK cmol, kg', di antara kation yang dijerapnya
adalah H* =1 cmol, ion hidrogen ini dapat digantikan oleh miliequivalen yang sama
kation lain. Bila Ca2+ yang digunakan, maka diperlukan 20 mg setiap 100 gram
tanah. Bila ion kalium yang digunakan maka diperlukan 39 mg K+ setiap 100 gram
tanah Perhitungan ini dapat juga digunakan untuk menghitung kebutuhan pupuk. Bila
kita ingin meningkatkan kejenuhan kation K satu miliequivalen, maka kita harus
menambahkan 39 mg K' pada setiap 100 gram tanah. Kebutuhan kation ini bisa
diperhitungkan per hektare dengan mengalikan dengan bobot tanah per hektare.
GAMBAR 7.10 Pertukaran kation di permukaan internal dan eksternal koloid liat
tanah
Distribusi Ca2+ dan K+ antara yang berada dalam larutan tanah dan fase
terjerap tergantung pada koefisien pertukaran selektivitas.
Sumber alami kation dalam larutan tanah yang diserap adalah (pelapukan
kimia) mineral primer. Di sisi lain, ada penyediaan H⁺ yang terus-menerus dari
H₂CO₃ dan asam organik. Dengan demikian, jika ada curah hujan yang cukup untuk
pencucian, kation basa-basa cenderung habis dan diganti dengan kation asam. Oleh
karena itu, kecenderungan jangka panjang adalah menuju pengasaman tanah
(hilangnya kation basa). Hal ini diperburuk oleh fakta bahwa kesetimbangan
pertukaran yang melibatkan H⁺ dan Al³⁺ mendukung penggantian kation basa dengan
kation yang bersifat asam. Juga, ditambah dengan pelapukan mineral liat dengan yang
lebih rendah dan lebih rendah KTK yang mengarah ke kesuburan yang makin rendah
dan kemasaman tanah makin tinggi (pH rendah). Al³⁺, Ca²⁺ dan H⁺ yang merupakan
kation dominan terabsorpsi pada koloid tanah. Hal ini mencerminkan kerugian jangka
panjang karena pencucian kation basa yang digantikan dengan kation asam tropika
beriklim basah. Sebaliknya, Ca²⁺, Mg²⁺, K⁺, dan Na⁺ adalah terjerap pada tanah
beriklim kering lebih banyak dijumpai.
Reaksi tanah alkalin akan menyebabkan hidrolisis gugus silanol, aluminol, kar
boksil, dan fenol. Hidrolisis demikian akan meningkatkan muatan negatif dan se
kaligus meningkatkan KTK tanah. Semakin tinggi pH, maka semakin tinggi KTK.
Sebaliknya, pada pH yang rendah hidrolisis tidak terjadi sehingga KTK rendah. Pe
ningkatan KTK akibat peningkatan pH akan sangat besar pada tanah yang didomi
nasi oleh koloid yang sumber muatannya tergantung pada pH. Pada tanah demikian,
pH tanah mendekati pKa akan menyebabkan KTK tanah mendekati nol. Fenomena
peningkatan KTK akibat peningkatan pH tidak sehebat pada tanah yang didominasi
oleh mineral klei silikat yang memiliki muatan tetap.
Tiga jenis mineral klei silikat telah dikemukakan, yaitu montmorilonit, ilit,
dan kaolinit. Ketiga mineral ini memiliki KTK yang berbeda-beda. Setiap 100 gram
mon tmorilonit memiliki muatan 80-100 me, setiap 100 gram ilit memiliki muatan
15-40 me, dan setiap 100 gram kaolinit memiliki 3-15 me (Tabel 7.1). Tanah-tanah
yang didominasi montmorilonit memiliki KTK lebih tinggi daripada tanah yang
didomi nasi ilit. Demikian juga, tanah-tanah yang didominasi ilit memiliki KTK lebih
tinggi daripada tanah yang didominasi kaolinit. Kadar montmorilonit yang tinggi
suatu akan menyebabkan KTK tanah tersebut lebih tinggi daripada tanah dengan
kadar montmorilonit lebih rendah, bila komposisi bahan lainnya sama.
Humus memiliki KTK yang tinggi, yang melebihi KTK montmorilonit. Tergan
tung pada tingkat pelapukannya humus memiliki KTK 200 cmol, kg’, bahkan bisa
mencapai 600 cmol, kg”. Dengan demikian, semakin tinggi kadar humus suatu ta nah
maka semakin tinggi pula KTK tanah tersebut.
Kadar dan komposisi koloid dapat digunakan untuk menduga KTK tanah.
Mempunyai, setiap 1 kg tanah mengandung 5% bahan organik, 20% pasir, 40% debu,
dan40% klei (yang terdiri dari 60% kaolinit dan 40% montmorilonit) akanKTK
sebagai berikut:
5/100 x 1 kg x 200 cmol kg’ KTK yang berasal dari bahan organik = 5/100 x
1 kg X 200 cmol kg¹= 10 cmol
60/100 x 0,95 kg x 10 cmol kg’ KTK yang berasal dari kaolinit = 60/100 x
0,95Kg x 10 cmol kg’= 5,7 cmol
40/100 x 0,95kg x 100 cmol kg¹ KTK yang berasal dari montmorilonit =
40/100X 0,95 kg x 100 cmol kg = 38 cmol
Maka KTK tanah = 10 + 5,7 + 38 cmol = 53,7 cmol, kg (dilakukan
penyederhanaan KTK bahan organik = 200 cmol, kg’, kaolinit = 10 cmol kg,
dan montmorilonit = 100 cmol, kg’).
Berbagai kation dijerap pada permukaan koloid. Terdapat dua jenis kation yaitu
kation-kation basa (K, Na, Ca”, dan Mg2+) dan kation yang tidak bersifat basa (H
dan Al³). Susunan kation dominan akan berbeda antara daerah yang kering dan da
erah yang basah. Di daerah kering, kompleks jerapan didominasi oleh Ca², sedang
kan di daerah basah didominasi oleh H. Untuk menggambarkan dominasi suatu
kation di dalam kompleks jerapan dinyatakan dengan kejenuhan kation. Kejenuhan
kation adalah perbandingan jumlah miliequivalen suatu kation terhadap KTK tanah
yang dinyatakan dalam persen. Suatu tanah dengan KTK 20 me 100¹g yang
mengandung 1 me Ca”, berarti tanah tersebut memiliki kejenuhan Ca²+=5%.
7.7.1 Pendahuluan
Jika aktivitas elektron meningkat maka akan terjadi reduksi (reaksi 7.13. berge
rak ke kanan). Jika aktivitas elektron menurun, maka akan terjadi oksidasi (reaksi
7.13. bergerak ke kiri). Dalam hal reaksi 7.14, kelebihan elektron akan mereduksi ion
feri menjadi ion fero, demikian sebaliknya bila kekurangan elektron, maka ion fero
dioksidasi menjadi ion feri. Ketersediaan elektron di dalam tanah dinyatakan dengan
istilah potensial redoks, yang dinyatakan dengan m Volt. Semakin tinggi potensial
redoks maka tanah memiliki kemampuan oksidasi yang tinggi. Sebaliknya semakin
rendah potensial redoks maka tanah memiliki kemampuan oksidasi yang rendah atau
tanah tereduksi.
7.7.2 Proses Reduksi
Elektron yang berada dalam tanah merupakan hasil dekomposisi bahan organik.
Dengan demikian elektron hanya akan dihasilkan bila ada bahan organik dan ada
proses dekomposisi atau dengan kata lain tanah mengandung organisme perombak
bahan organik.
Reaksi 7.15 merupakan reaksi kebalikan dari proses fotosintesis. Setiap reaksi
dekomposisi bahan organik menghasilkan elektron.
Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam tanah diperlukan untuk menjaga kemam
puan tanah menyediakan oksigen. Bila difusi oksigen dari atmosfer ke dalam tanah
terhalang, umpamanya oleh genangan air, maka elektron akan ditangkap oleh oksi
gen yang masih tersisa di dalam tanah. Bila oksigen dalam tanah habis maka oksi.
dator lain di dalam tanah (di antaranya MnO,, Fe, NO, SO,2) akan menangkap
elektron.
7.8.1 Pendahuluan
Berdasar pada Gambar 7.11, tanah bisa bereaksi masam, netral, atau alkalin.
Reaksi tanah berpengaruh terhadap produksi tanaman dan cara pengelolaan tanah,
karena reaksi tanah merupakan perwujudan dari kondisi kimia yang terdapat di dalam
tanah. Setiap perangkat kondisi tanah akan menyebabkan tanah memiliki reaksi
tertentu, yang selanjutnya akan memengaruhi pertumbuhan tanaman dengan cara
menekan kelarutan beberapa unsur hara atau meningkatkan kelarutan unsur yang lain.
Oleh karena itu, reaksi tanah dapat dianggap sebagai gejala dari kondisi kimia
tertentu, yang dapat menunjukkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman.
GAMBAR 7.11 Kisaran pH Tanah atau Klas Reaksi Tanah Sumber: Brady, 1974
Dikenal dua istilah kemasaman, yaitu kemasaman aktif dan kemasaran poten
sial. Kemasaman aktif ditentukan oleh ion H+ yang ada dalam larutan tanah. Ke
masaman potensial ditentukan oleh terutama ion H+ yang berada dalam kompleks
japan. Ion H’ dalam kompleks jerapan dapat digantikan oleh kation lain dalam proses
pertukaran kation sehingga ion H+ akan berada dalam larutan. Kemasaman ini
disebut sebagai kemasaman potensial. Selain ion H+, ion Al* dalam kompleks
jerapan juga sebagai sumber kemasaman potensial bila ion ini dilepaskan ke dalam
larutan tanah dan berhidrolisis.
7.8.3 Proses Kemasaman
Faktor eksternal yang bisa menimbulkan kemasaman tanah adalah curah hujan
yang tinggi yang melebihi evapotranspirasi, vegetasi yang menghasilkan serasah
banyak untuk periode yang singkat, bahan induk tanah miskin akan mineral mudah
lapuk, akumulasi bahan organik, penggunaan pupuk masam, dan akhirnya waktu
Semua faktor-faktor tersebut memberi peluang menurunnya jumlah basa-basa dan
hara pada tanah-tanah berdrainase baik.
Magnesium yang dibebaskan dalam reaksi 7.19. tersebut akan menambah jum
lah basa-basa dalam larutan tanah dan dapat digunakan oleh tanaman, dijerap koloid
tanah, atau hilang tercuci oleh air drainase. Pada reaksi tersebut terlihat pula adanya
pelepasan OH. Jadi dapat dikatakan bahwa proses pelapukan adalah proses pembe
basan kation-kation (terutama kation basa) dan terjadinya peningkatan pH aktual,
disebut sebagai pH abrasi. Peningkatan pH ini muncul akibat sebagian konsentra si
H+ dari air berkurang karena digunakan untuk menggantikan Mg yang semula berada
di dalam struktur mineral, yang berakibat konsentrasi OH lebih tinggi dari
konsentrasi H+ dalam larutan tanah. Ion H yang terjerap, dalam reaksi tersebut ber
ada dalam bentuk Si(OH),, merupakan sumber dari kemasaman potensial. Ion H ini
akan dilepaskan kelak ke dalam larutan tanah bila jumlah kation basa dalam larutan
tanah berkurang akibat pencucian.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa suatu tanah yang masih muda dan
berasal dari bahan yang banyak mengandung mineral mudah lapuk akan memiliki pH
yang tinggi dan kejenuhan basa yang tinggi pula. Melalui pencucian, jumlah kation
basa dalam larutan tanah semakin berkurang. Untuk menjaga keseimbangan dalam
per tukaran kation, maka kehilangan kation basa akan digantikan oleh ion H yang ber
ada dalam kompleks jerapan. Semakin lama dan intensif pencucian, maka semakin
rendah jumlah basa-basa atau kejenuhan basa dan semakin rendah pula pH tanah.
Dengan demikian, tanah-tanah tua yang sudah tidak memiliki lagi cadangan mine ral
mudah lapuk akan mempunyai pH yang rendah atau berada dalam keseimbangan
dengan jenis bahan yang ada.
Berdasar pada reaksi 7.20, terlihat bahwa semua pupuk yang mengandung N
dalam bentuk amonium akan menghasilkan H bila ditambahkan ke dalam tanah yang
berdrainase baik. Pemupukan amonium dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan penurunan pH tanah. Untuk mencegah penurunan pH tanah, maka
harus ditambahkan sejumlah bahan kapur mengiringi pemupukan amonium. Dalam
ilmu tanah, kemampuan kemasaman dari pupuk dapat dinyatakan dengan nilai yang
menunjukkan berapa kilogram CaCO, yang perlu ditambahkan untuk menetralkan
kemasaman yang ditimbulkan oleh setiap 20 kg nitrogen yang ditambahkan. Nilai
nilai tersebut untuk:
Amonium sulfat = 107
Amofos =100
Amonia cairan = 3364
Urea = 36
Amonium nitrat = 36
Tepung biji kapas =29
Tepung biji jarak =18
Sampah =15
Dari reaksi 7.21. terlihat bahwa oksidasi pirit akan menghasilkan ion H.
Semakin tinggi kadar pirit dalam tanah, maka oksidasinya akan menghasilkan pH
yang rendah, bisa <3. Bila telah terjadi oksidasi pirit, maka tanah demikian disebut
dengan tanah sulfat masam. Pada beberapa keadaan, bilamana terdapat K atau Na+
Adanya kemampuan tertukarnya ion H+ dan Al’ dalam kompleks jerapan se.
Perti yang disebutkan dalam Subbab 7.5.2. akan menentukan kemampuan sanggaan
tanah. Sifat sanggaan tanah adalah sifat tanah untuk meredam perubahan pH tanah.
Sifat demikian dapat dijelaskan sebagai berikut. Bila terjadi pengurangan konsentrasi
ion H’ dalam larutan tanah (bisa sebagai akibat upaya pengapuran dalam
meningkatkan pH), maka akan terjadi pelepasan ion H+ dari kompleks jerapan
sebagai kompensasi pengurangan H*. Melalui proses ini maka pH tanah akan stabil.
Begitu pula bila ada upaya penurunan pH, atau bertambahnya ion H+ dalam larutan
tanah, maka sebagi an ion H* akan dijerap oleh koloid tanah. Melalui mekanisme ini
maka pH tanah juga akan stabil. Semakin banyak ion H+ dan Al³ dalam kompleks
jerapan, maka sema kin tinggi kemampuan sanggaan suatu tanah. Semakin tinggi
kemampuan sanggaan tanah, maka semakin sulit terjadi perubahan pH tanah. Reaksi
tanah akan mudah berubah bilamana tidak ada lagi ion H+ dan Al³ yang tertinggal
dalam kompleks jerapan.
Jumlah ion yang berada dalam kompleks jerapan, menunjukkan akan semakin
tingginya muatan koloid tanah. Dengan demikian, tanah organik akan mempunyai
kemampuan sanggaan yang lebih tinggi daripada tanah mineral. Demikian juga tanah-
tanah yang didominasi klei tipe 2:1 mengembang memiliki kemampuan sanggaan
tanah lebih tinggi dibandingkan tanah yang didominasi klei tipe 1:1.
Seperti telah diungkapkan pada Subbab 7.8.3 bahwa tanah sulfat masam akan
memiliki pH yang sangat rendah, keadaan demikian akan membawa pengaruh pada
sifat kimia tanah yang lain.
Kemasaman yang tinggi pada tanah sulfat masam akan melarutkan CaCO, (bile
terdapat dalam tanah) membentuk CaSO,. Bila tidak terdapat CaCO,, maka klei sill
kat akan diserang dan dihancurkan oleh kemasaman. Penghancuran klei silikat akan
membebaskan kation-kation dari struktur mineral yang kemudian bisa tercuci, ter
utama katio basa. Selain itu, kemasaman yang tinggi dapat mempercepat pertukaran
kation. Proses ini pun merupakan proses yang memungkinkan pencucian kation
Dengan demikian, pada tanah-tanah sulfat masam akan terjadi pencucian basa-basa
yang hebat yang menyebabkan pemiskinan tanah (Sudarsono, 1991). Di lain pihak,
kation Al dan Fe sulit tercuci dan akan menumpuk di dalam profil tanah yang akan
menyebabkan kejenuhan Al dan Fe dalam kompleks jerapan tinggi. Kejenuhan Al
yang tinggi akan mengurangi produksi tanaman seperti yang diungkapkan oleh
Kamprath, (1980). Dia menyatakan bahwa produksi tanaman akan banyak berku rang
bila kejenuhan Al mencapai > 60% dan cenderung berproduksi optimum bila
kejenuhan Al mendekati nol.
Tanah sulfat masam muda (Sulfaquept) umumnya terlalu masam untu pertum buhan
tanaman, sedangkan perbaikannya tidak ekonomis. Tanah sulfat masamta (Sulfic
Tropaquept) biasanya sesuai marginal untuk padi sawah, tetapi bisa diperbaiki (van
Breemen, 1980).
Tanah masam yang lain adalah tanah organik atau tanah gambut. Tanah organik
di daerah tropika umumnya sangat masam dan mempunyai pH antara 3,5 dan 4,0
(Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976). Secara umum dapat dikatakan bahwa tanah
gambut, terutama yang ombrogenous di daerah tropika tidak cocok untuk pertanian,
dengan hambatan kimiawi berupa kesuburan yang sangat rendah akibat defisiensi
hampir seluruh unsur makro dan mikro. Rendahnya unsur hara ini merupakan faktor
yang kritis dibandingkan kemasamannya. Keadaan demikian makin terasa bila
gambut tebal terletak di atas substratum pasir kuarsa. Tanah gambut yang terletak di
atas substratum klei umumnya lebih subur, apalagi bila substratum tidak mengandung
pirit dan terletak pada daerah jangkauan akar.
Tanah-tanah lain yang bersifat masam dan berdrainase baik adalah Ultisol,
Oxisol, dan Andisol.
Ultisol merupakan ordo tanah yang terluas yang terdapat di Indonesia. Tanah
ini, di masa lalu banyak digunakan untuk usaha tani ladang berpindah. Pemberaan
untuk beberapa tahun pada tanah ini mampu mengembalikan kesuburannya. Namun,
bila digunakan untuk pertanian menetap, diperlukan pemupukan, penambahan bahan
organik, dan pemupukan (Buurman dan Dai, 1976), bila tidak dilakukan maka
kerusakan tanah akan terjadi (Driessen, Buurman dan Permadhy, 1976). Indayati
(1995) mengemukakan bahwa Ultisol yang digunakan terus-menerus sebagai lahan
pertanian tanpa input akan kehilangan produktivitasnya setelah empat tahun.
Ultisol merupakan ordo tanah yang terluas yang terdapat di Indonesia. Tanah
ini, di masa lalu banyak digunakan untuk usaha tani ladang berpindah. Pemberaan
untuk beberapa tahun pada tanah ini mampu mengembalikan kesuburannya. Namun,
bila digunakan untuk pertanian menetap, diperlukan pemupukan, penambahan bahan
organik, dan pemupukan (Buurman dan Dai, 1976), bila tidak dilakukan maka
kerusakan tanah akan terjadi (Driessen, Buurman dan Permadhy, 1976). Indayati
(1995) mengemukakan bahwa Ultisol yang digunakan terus-menerus sebagai lahan
pertanian tanpa input akan kehilangan produktivitasnya setelah empat tahun.
Tinggi daripada Ultisol dengan mineral klei tipe 1:1. Mineral klei tipe 2:1 yang
terdapat pada horizon B menjadi tidak stabil pada KB yang rendah dan dapat melepas
kan alumunium. Alumunium dalam larutan tanah akan mengontrol pH larutan tanah
dan kadar alumunium. Alumunium yang tinggi akan memfiksasi fosfat sehingga fos
fat tidak larut atau tidak tersedia. Beberapa sugroup Ultisol mengandung besi oksida
yang juga dapat memfiksasi fosfat. Upaya mengatasi fiksasi fosfat adalah
menetralkan alumunium dan besi melalui pengapuran menjadi bentuk hidroksida.
Namun, upaya pengapuran pada tanah demikian malah meningkatkan jerapan P
(Muurman dan Pe ech, 1969; Idris, 1990; Sarno, 1992) karena terbentuknya polimer
hidroksida Al yang bersifat aktif mengikat P (Amarasiri dan Olsen, 1973; Haynes,
1984).
Andisol umumnya terdapat pada daerah vulkanik dengan curah hujan yang
tinggi. Mineral klei pada tanah ini didominasi oleh alofan yang mempunyai daya
fiksasi terhadap P yang sangat tinggi. Fiksasi ini dapat dihindari dengan penambahan
silikat atau bahan organik (Syarif, Widjaja, dan Darmawan, 1993).
7.11 PENGELOLAAN REDOKS DAN KEMASAMAN TANAH
Fe³⁺ HO ↔ Fe(OH)₃ + 3 H+
Semakin banyak ion feri yang berhidrolisis, maka semakin rendah pH tanah.
Lon feri dan feri hidroksida dapat mengikat fosfat membentuk endapan fosfat yang
tidak tersedia bagi tanaman. Reduksi ion feri akan menghasilkan ion fero. Ion fero
tidak mudah berhidrolisis dan tidak mudah membentuk hidroksida, sehingga tidak
mudah mengikat fosfat. Oleh karena itu, penggenangan tanah sering dilakukan untuk
meningkatkan ketersediaan fosfat.
Reaksi tanah yang ekstrem, terlalu tinggi atau terlalu rendah, akan tidak meng
untungkan bagi pertumbuhan tanaman. Reaksi tanah yang ekstrem ini perlu dikelola ⁻
r tanah dapat digunakan untuk keperluan usaha tani. Terdapat tiga tindakan
yang agar dilakukan agar r tanah demikian dapat digunakan untuk pertanian yaitu
pemi lihan tanaman yang toleran tanah masam, pengapuran tanah masam, atau
pemberi dapat an belerang pada tanah alkalin.
Pemilihan Tanaman Toleran Tanah Masam. Tanaman teh, azalea,
rhododendron, dan nanas merupakan tanaman yang toleran terhadap kemasaman
tanah. Tanaman kedelai merupakan tanaman yang tidak toleran terhadap kemasaman
tanah. Pengapuran Tanah Masam. Di antara bahan kapur yang mudah didapat, murah,
dan mudah diaplikasikan adalah dalam bentuk CaCO, Penambahannya ke dalam
tanah, CaCO, akan terurai menjadi:
Dari reaksi 7.23 dan 7.24 terlihat bahwa hidrolisis karbonat akan menghasilkan
hidroksil yang mampu menurunkan kemasaman tanah.
Hidrogen di dalam larutan tanah, tetapi juga ion Al3+ yang terdapat dalam
kompleks jerapan atau Al dapat dipertukarkan, yang disingkat dengan Al-dd.
Sejumlah miliequivalen Al-dd akan dinetralkan oleh jumlah miliequivalen CaCO,
yang sama. Pemberian Belerang. Tanah alkalin dapat diturunkan pH-nya dengan
penam bahan belerang, Oksidasi belerang akan menghasilkan H seperti yang
digambarkan pada reaksi pirit pada tanah berpirit.
RINGKASAN
Terdapat tiga jenis klei di dalam tanah yaitu klei silikat, klei hidrous oksida besi
dan alumunium, dan alofan. Ketiga klei tersebut menyusun jenis koloid anorganik di
dalam tanah, selain koloid organik. Klei silikat umumnya bermuatan negatif, yang
berasal dari substitusi isomorfik (muatan tetap) dan yang berasal dari pinggiran
patatahan kristal (muatan bergantung pH atau muatan tidak tetap). Muatan negatif
kolo id akan dinetralkan oleh kation. Kation yang dijerap dapat dipertukarkan oleh
kation lain, yang jumlahnya dinyatakan dengan Kapasitas Tukar Kation. Berdasar
muatan ini dikenal tiga jenis klei silikat yang umum dijumpai yaitu montmorilonit
(tipe 2:1 mengembang) yang memiliki KTK 80-100 cmolc/kg, ilit (tipe 2:1 tidak
mengem bang) yang memiliki KTK 15-40 cmolc/kg, dan kaolinit (tipe 1:1) yang 1
memiliki KTK 3-15 cmolc/kg. Koloid organik memiliki KTK 200 cmolc/kg yang
seluruhnya berasal dari hidrolisis gugus karboksil dan fenol. Seluruh muatan koloid
organik merupakan muatan bergantung pH.
Terdapat dua jenis kemasaman di dalam tanah, yaitu kemasaman aktual dan
kemasaman potensial. Kemasaman aktual berasal dari ion hidrogen yang ada dalam
larutan tanah. Kemasaman potensial berasal dari ion hidrogen dan alumunium yang
ada dalam kompleks jerapan. Kemasaman aktual dan kemasaman potensial berada
dalam keseimbangan.
PERTANYAAN
1. Setiap 100 g tanah mengandung bahan organik 10%, dan dari analisis tekstur
tanah sebagai berikut: debu 30%, klei 60% yang terdiri dari kaolinit 20%, dan
montmorilonit 40%. Berapakah KTK tanah tersebut? (KTK bahan organik
=200 cmolc/kg, KTK kaolinit = 10 cmolc/kg, KTK montmorilonit = 100
cmolc/kg).
2. 2. Berapa kg Ca yang harus ditambahkan ke dalam 1 ha lahan setebal 20 cm
denganBI = 1 g cm³ bila kita ingin meningkatkan kadar Ca sebesar 0.5
cmolc/kg?
3. 3. Tanah seluas 2 ha mempunyai reaksi tanah tergolong masam, bobot isi = 1
g cm³, dikapur dengan bahan kapur CaCO,. Kadar Al tanah tersebut adalah 2
me Al 100g. Pengapuran dilakukan berdasarkan Al-dd dan disebarkan merata
ke dalam tanah sampai kedalaman 20 cm. BA Al= 27, C= 12, O=16, Ca = 40
dan Mg= 24. Berapa jumlah kapur yang diperlukan?