Oleh
ESTER YENTINA
A24061038
RINGKASAN
ESTER YENTINA. Pengakaran Setek Batang Mawar Mini (Rosa hybrida L.)
Menggunakan Kombinasi Konsentrasi Auksin (IBA dan NAA) yang
Berbeda. Dibimbing oleh NURHAJATI ANSORI MATTJIK.
Mawar merupakan salah satu bunga yang paling terkenal di dunia.
Perbanyakan mawar dapat dilakukan melalui biji, setek, dan okulasi. Penampakan
tanaman yang disetek sama dengan induknya dan lebih menarik dibandingkan
dengan yang diokulasi. Pertumbuhan dari akar tanaman yang disetek dapat dipacu
dengan menggunakan hormon pengakaran yaitu auksin.
IBA (indole-3-butyric acid) dan NAA (naphthalene acetic acid)
merupakan dua macam auksin yang paling sering digunakan untuk pembentukan
akar adventif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi IBA dan
NAA yang tepat dan berpengaruh baik terhadap pengakaran setek batang mawar
mini (Rosa hybrida L.), serta mengetahui interaksi antara keduanya yang juga
akan berpengaruh baik terhadap pengakaran setek batang mawar mini (Rosa
hybrida L.)
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI)
Segunung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pelaksanaan
penelitian dimulai pada bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2010.
Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial, disusun dalam
rancangan lingkungan acak lengkap. Faktor pertama adalah IBA (indole-3-butyric
acid) dan faktor kedua adalah NAA (naphthalene acetic acid) masing-masing
dengan lima taraf konsentrasi yaitu 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm dan 400
ppm.
Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah mawar mini
kultivar Romantica Meilandina yang telah berumur 1 tahun. Bagian yang
digunakan adalah bagian tengah batang sehingga tidak terlalu tua maupun terlalu
muda. Bahan lain yang digunakan adalah IBA (indole-3-butyric acid) dan NAA
(naphthalene acetic acid). Pada awal tanam hingga 4 MST setek ditanam di
bedeng dengan menggunakan media arang sekam dan pada 4 MST setek
iv
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Ester Yentina
A24061038
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB
Tanggal Lulus:
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 1988 sebagai anak bungsu
dari tiga bersaudara, anak dari pasangan Bapak Edward Butarbutar dan Ibu
Lasminar Gultom.
Riwayat pendidikan penulis dimulai tahun 1994 di SD Negeri 11 Cibubur.
Setelah lulus penulis melanjutkan studi di SLTP Negeri 147 Jakarta hingga tahun
2003. Kemudian penulis melanjutkan studi di SMU Negeri 99 Jakarta hingga
tahun 2006.
Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah satu tahun
melalui Tingkat Persiapan Bersama (TPB), tahun 2007 penulis diterima di
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.
Selama di IPB penulis aktif mengikuti kegiatan Persekutuan Fakultas (PF)
Pertanian mahasiswa Kristen. Pada tahun 2008 penulis menjadi Bendahara
Persekutuan Fakultas Pertanian hingga tahun 2009. Penulis juga mengikuti
kegiatan magang di Indoflowers Nursery selama satu bulan. Penulis melakukan
penelitian dengan judul Pengakaran Setek Batang Mawar Mini (Rosa hybrida L.)
menggunakan kombinasi Konsentrasi Auksin (IBA dan NAA) yang Berbeda.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
hikmat, berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Pengakaran Setek Batang Mawar Mini (Rosa hybrida L.)
Menggunakan Kombinasi Konsentrasi Auksin (IBA dan NAA) yang
Berbeda”. Penelitian didasarkan pada kebutuhan informasi akan kombinasi
konsentrasi auksin (IBA dan NAA) yang tepat, yang akan berpengaruh baik
terhadap pengakaran setek batang mawar mini.
Penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam penulisan skripsi
ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Nurhajati Ansori Mattjik, MS. sebagai dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan bimbingan serta pengarahan sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Dewi Sukma, SP, MSi dan Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS. sebagai dosen
penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.
3. Willy B. Suwarno, SP, MSi sebagai pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan akademik.
4. Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI) yang telah menyediakan tempat
dan bahan penelitian.
5. Ir. Yoyo Sulyo, MS dan Yiyin Nsasihin, SP yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama penelitian ini berlangsung di BALITHI.
6. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan doa, semangat dan
dorongan selama ini.
7. Sadewi, Megaria, Hilaria, Diana, Fiona, Rara, Melisda, Yuli, Gladis, Rosi,
Zeny, Nehemia, Agus, dan semua rekan AGH atas bantuan dan motivasinya.
Semoga karya ilmiah ini berguna bagi semua pihak yang membutuhkan
dan sebagai informasi untuk penelitian selanjutnya.
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan.................................................................................................................. 3
Hipotesis .............................................................................................................. 3
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2006-2010………… 5
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Setek Mawar Mini di Lokasi Penelitian Umur 2 MST (a); Setek 16
Mawar Mini Umur 17 MST (b)…………………………………..
4. Dasar Setek Mawar saat Masih dalam Bentuk Kalus (1 MST) (a); 21
Akar Mawar Mini yang Sudah Terbentuk (2 MST) (b)…………..
10. Alat Sensor pada Irigasi Penyemprotan (a); Setek Umur 1 MST 29
yang disemprot dengan Irigasi Penyemprotan (b)………………..
PENDAHULUAN
Latar Belakang
yang paling sering digunakan untuk pembentukan akar adventif. Dalam penelitian
ini digunakan IBA dan NAA terhadap pengakaran setek batang mawar mini.
Tujuan
Hipotesis
1. Terdapat konsentrasi yang tepat dari IBA yang berpengaruh baik terhadap
pengakaran setek batang mawar mini (Rosa hybrida L.).
2. Terdapat konsentrasi yang tepat dari NAA yang berpengaruh baik terhadap
pengakaran setek batang mawar mini (Rosa hybrida L.).
3. Terdapat interaksi antara IBA dan NAA yang berpengaruh baik terhadap
pengakaran setek batang mawar mini (Rosa hybrida L.)
4
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Mawar
Mawar berasal dari dataran Cina, Timur Tengah dan Eropa Timur. Dalam
perkembangannya, menyebar luas di daerah-daerah beriklim dingin (sub-tropis)
dan panas (tropis) (Diamond, 1990). Terdapat ribuan varietas dari mawar, masing-
masing memiliki aroma yang berbeda-beda, jumlah petal yang berbeda, begitu
juga warna dan nama yang berbeda.
Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), mawar diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rosanales
Famili : Rosaceae
Genus : Rosa
Mawar termasuk tanaman tahunan (perennial) yang mempunyai struktur
batang berkayu keras, berduri, bercabang banyak, menghasilkan bunga dan biji
terus-menerus (Rukmana, 1995). Selama siklus hidupnya, tanaman mawar terus
tumbuh seolah-olah tidak terbatas dan masa produksinya berulang-ulang.
Mawar berdasarkan cara tumbuhnya dibedakan menjadi dua, yaitu
merambat dan semak. Tipe pertumbuhan semak dibagi dalam tiga kelompok yaitu
polyantha, floribunda dan hybrid tea (Dole dan Wilkins, 2005). Mawar mini
termasuk dalam kelompok polyantha.
Widyawan dan Prahastuti (1994) menyatakan bahwa Polyantha
merupakan jenis mawar taman yang sangat beraneka ragam, bunganya kecil
dengan garis tengah sekitar 5 cm dan di dekat pucuk cabangnya terdapat banyak
ranting yang masing-masing memiliki sekuntum bunga. Mattjik (2009)
menambahkan bahwa Polyantha merupakan tanaman semak pendek (50-60 cm),
memiliki ciri menghasilkan bunga terus-menerus, bunganya bergerombol dengan
5
ukuran kecil, diameter bunga ± 5 cm, daun bunga kelipatan 5 dan warna bunga
biasanya merah, kuning, putih, merah jambu, salmon dan orange.
Meskipun mawar memiliki sangat banyak jenis yang berbeda-beda, namun
hanya sedikit yang dapat dijadikan tanaman pot. Polyantha sejauh ini merupakan
kelompok yang paling baik untuk dijadikan tanaman pot berdasarkan ukuran
tanaman, bentuk dan tampilan bunganya (Hammer, 1992).
Mawar merupakan salah satu tanaman hias bunga yang paling terkenal di
dunia (Dole dan Wilkins, 2005). Permintaan tanaman hias mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Meningkatnya permintaan tanaman hias di
dalam negeri disebabkan oleh semakin meningkatnya kesejahteraan dan
tanggapan masyarakat terhadap kenyamanan dan keindahan lingkungan (Ashari,
1995).
tanaman hias dalam pot atau tanaman bedengan. Bunga merupakan hasil utama
tanaman mawar. Gardner et al. (1985) menyatakan bahwa proses pembungaan
sangat dikendalikan oleh lingkungan terutama fotoperiode, suhu dan faktor
genetik terutama pengatur tumbuhan, hasil fotosintesa dan pasokan hara.
Tanaman mawar dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi
di daerah tropis (Mattjik, N. A., 2009). Tanaman mawar yang dibudidayakan di
daerah yang beriklim sejuk (dataran tinggi) warna bunganya lebih cerah dengan
ukuran bunga yang lebih besar (Ashari, 1995). Mawar dapat ditanam di lapang
maupun di rumah kaca. Cahaya, suhu dan karbon dioksida merupakan faktor yang
perlu diperhatikan untuk mawar yang ditanam di rumah kaca. Karena cahaya,
suhu dan karbon dioksida merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan mawar yang tumbuh di dalam rumah kaca (Dole dan Wilkins,
2005).
Mattjik (2009) menyatakan bahwa tanaman mawar merupakan tanaman
terbuka (full sun), membutuhkan intensitas cahaya sampai 3000 fc, dengan lama
penyinaran 12 jam untuk daerah tropis. Cahyono (1990) menyatakan bahwa
tanaman mawar membutuhkan cahaya/penyinaran matahari penuh sepanjang hari,
karena bila tempatnya terlindung akan mudah terserang cendawan dan
pertumbuhannya kurang baik. Bila ditanam di rumah kaca intesitas cahaya yang
dibutuhkan antara 300-1000 fc (60-200 µmol m-2 s-1) (Dole dan Wilkins, 2005).
Mawar mini dapat tumbuh dengan baik pada suhu 18-24 °C, suhu yang baik untuk
pengakaran mawar yaitu 23-24 0C dan umumnya memerlukan karbon dioksida
700-1000 ppm (Dole dan Wilkins, 2005). Kelembaban udara yang baik untuk
tanaman mawar sekitar 60-75%.
Beberapa penyakit yang menjadi masalah bagi tanaman mawar adalah
bercak daun cendawan (Fungus leaf spot), Embun tepung (powdery mildew),
karat (Rust), dan tumor atau puru (Crown gall) (Mattjik, N. A., 2009). Sanitasi
dan pengendalian lingkungan merupakan hal yang mutlak diperlukan pada
produksi mawar pot (Dole dan Wilkins, 2005).
7
Setek
setek terlalu lunak dan muda, lebih mudah mengalami transpirasi dan tidak tahan
kebusukan dan jika jaringan terlalu tua diperlukan waktu yang lama untuk
pengakaran. Dole dan Wilkins (2005) menambahkan bahwa pengakaran akan
lambat dan perbanyakan akan tertunda jika setek terlalu tua.
Pembentukan akar adventif terdiri dari beberapa tahap, yaitu inisiasi
sel-sel meristematik, diferensiasi sel-sel meristematik tersebut menjadi akar
primordia, serta pertumbuhan dan perkembangan akar baru (Hartmann, 1990).
Pada masa pengakaran lingkungan tumbuh diusahakan untuk tetap terjaga
kelembabannya. Seringkali munculnya akar didahului oleh pembentukan kalus,
akan tetapi adanya kalus tak merupakan tanda bahwa setek dapat menghasilkan
akar (Hartman, 1990). Kalus adalah kumpulan sel parenkim yang bentuknya tidak
beraturan dalam tahap lignifikasi yang bervariasi. Pembentukan kalus dan
pembentukan akar tersendiri satu dengan lain, meskipun keduanya berhubungan
dengan pembelahan sel (Hartman, 1990).
Lakitan (1996) menambahkan bahwa pembentukan akar adventif dapat
timbul dari dua sumber: 1) jaringan kalus (wounded root). Akar yang keluar dari
jaringan kalus akan lebih kuat dan lebih baik daripada akar yang keluar dari setek
yang tidak berkalus. 2) bakal akar (morfologi atau akar primordial). Akar primer
dari kalus muncul di daerah kambium vaskular (Febrijanti, 1999).
Akar merupakan bagian tumbuhan yang biasanya tertanam di dalam tanah
sebagai penegak dan penyerap air dan hara. Fungsi dari akar adalah menyerap
unsur hara dan air yang diperlukan dalam metabolisme tanaman (Sitompul &
Guritno, 1995). Menurut Schuurman dan Goedewaagen (1971) bahwa jumlah
akar menunjukkan kemampuan dalam melakukan penyerapan unsur hara.
Tanaman dengan jumlah akar yang banyak akan meningkatkan penyerapan unsur
hara dan air yang dapat mendukung pertumbuhan dari tanaman pula.
Hartmann et al., (1997) menambahkan bahwa akar sebagai organ tumbuh
geotrofik, selain berfungsi sebagai penegak batang, juga berperan sebagai organ
penghisap hara dalam mendukung laju pertumbuhan. Perakaran yang baik akan
mampu menopang pertumbuhan dari tanaman.
Panjang akar menunjukkan batas kemampuan tanaman untuk menjangkau
wilayah tertentu dalam penyerapan unsur hara, sehingga semakin panjang akar
9
memungkinkan setek untuk menyerap unsur hara, mineral dan air lebih banyak
daripada akar yang pendek (Schuurman dan Goedewagen, 1971). Semakin
bertambah panjang akar maka tanaman akan lebih kokoh dan air serta garam-
garam mineral di dalam media tumbuh akan mudah diserap untuk disalurkan ke
batang dan daun (Darliah, et al., 1994).
Suhu dan kelembaban merupakan hal yang penting dalam pengakaran.
Salah satu hal yang dapat menjaga kelembaban tanaman adalah dengan
memberikan irigasi yang teratur. Irigasi semprot dan pengkabutan
menyemprotkan air langsung ke setek untuk mengurangi transpirasi dan menjaga
turgiditas setek sehingga memungkinkan perkembangan akar (Dole dan Wilkins,
2005).
Penyemprotan pada siang hari dapat menyebakan kelembaban yang
berlebihan, sehingga dapat menghambat pengakaran dan memacu perkembangan
pathogen (Dole dan Wilkins, 2005). Sanitasi dan pengendalian lingkungan
merupakan pencegahan terhadap perkembangan pathogen yang menyebabkan
penyakit. Penyakit harus dikendalikan pada semua tahap pertumbuhan.
Selanjutnya, karena setek diambil dari tanaman produksi, penyakit seringkali ikut
terbawa ke keturunan berikutnya (Dole dan Wilkins, 2005).
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang
dalam konsentrasi rendah (< 1 µM) dapat mendorong, menghambat atau secara
kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan (Wattimena, 1988). Ahli
biologi tumbuhan telah mengidentifikasi 5 tipe utama zat pengatur tumbuh yaitu
auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat, dan etilen.
Menurut Weaver (1972) terdapat 3 cara aplikasi zat pengatur tumbuh yang
sering digunakan yaitu: (1) commercial powder preparation (pasta), (2) dilute
solution soaking method (perendaman), dan (3) concentrated solution dip method
(pencelupan cepat). Pemakaian zat pengatur tumbuh pada setek dapat
menstimulasi akar, meningkatkan presentase pengakaran dan memberikan
keseragaman waktu perakaran. Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang
menstimulasi pengakaran.
10
Zat pengatur tumbuh yang paling baik untuk merangsang akar adalah IBA
dan NAA (Weaver, 1972). IBA memiliki aktivitas auksin yang lemah, zat kimia
bersifat stabil dan tetap berada pada daerah pemberian perlakuan, translokasinya
lemah berlangsung lebih lambat sehingga bahan aktifnya akan tertahan di dekat
tempat aplikasinya dan NAA memiliki sifat lebih beracun dari IBA dengan
penggunaan konsentrasi yang tinggi harus dihindari karena dapat menyebabkan
pelukaan pada tanaman (Weaver, 1972).
Auksin
Zong et al. (2008) menambahkan bahwa IBA dan NAA lebih tahan terhadap
degradasi mikroba dan tanaman, IBA dan NAA terlihat lebih baik dan efektif
lebih lama daripada IAA dan oleh karena itu digunakan secara lebih luas pada
industri hortikultura untuk perbanyakan tanaman.
Auksin pada konsentrasi rendah akan memacu pertumbuhan akar adventif
sedangkan pada konsentrasi tinggi mendorong terbentuknya kalus (Pierik, 1987).
Zong et al. (2008) menambahkan bahwa meskipun dibutuhkan dan berguna untuk
menginduksi akar primordial, auksin pada konsentrasi yang tinggi seringkali
menghambat pertumbuhan akar primordial dan pemanjangan akar pada setek
batang dan mikrosetek.
Arteca (2006) menyatakan bahwa auksin terlibat dalam banyak proses
fisiologi tanaman seperti menginduksi pemanjangan sel, fototropisme,
gravitropisme, dominansi apikal, inisiasi akar, produksi etilen, perkembangan
buah, ekspresi seks dan pengendalian gulma.
12
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah mawar mini
kultivar Romantica meilandina yang telah berumur 1 tahun. Bahan lain yang
digunakan adalah IBA (indole-3-butyric acid) dan NAA (naphthalene acetic acid),
aquades, arang sekam, pupuk kandang kuda, pasir malang, pupuk urea (25:7:7 &
16:16:16), Gandasil-B dan pestisida. Alat yang digunakan adalah pisau setek,
cutter, irigasi semprot, timbangan digital, oven, timer, dan penggaris.
Metode Penelitian
Pelaksanaan Penelitian
4. Perlakuan auksin
Pada setiap perlakuan, setek direndam dengan IBA atau NAA selama 15
menit. Setelah pengaplikasian tanam setek pada bak pengakaran sedalam 3
cm.
5. Pemindahan ke pot
Saat setek berumur 4 minggu, dilakukan pemindahan ke pot. Media yang
digunakan adalah arang sekam, pasir malang dan kotoran kuda dengan
perbandingan (2:1:1).
6. Pemeliharaan
Setek yang telah ditanam untuk irigasinya menggunakan irigasi semprot
otomatis. Pemupukkan dilakukan setelah pemindahan setek ke pot, dengan
dosis 1 gr/l, setiap pot memperoleh 300 ml setiap aplikasi. Pemupukan
NPK mutiara (25:7:7) dilakukan 2 minggu sekali saat 4–8 MST, kemudian
tanaman diberikan pupuk NPK mutiara (16:16:16) seminggu sekali pada
9-10 MST. Pada saat tanaman mulai memasuki fase generatif dan tanaman
dipupuk dengan gandasil-B pada 11-19 MST setiap minggunya untuk
mendukung fase generatif dari tanaman.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada 5-13 MST, diukur dari pangkal tunas hingga
ujung tunas.
6. Jumlah bunga
Pengamatan dilakukan pada 7-20 MST, merupakan akumulasi jumlah
bunga selama 13 minggu pengamatan.
7. Bobot basah akar
Pengamatan dilakukan pada 21 MST, merupakan bobot keseluruhan akar
setiap setek.
8. Bobot kering akar
Pengamatan dilakukan pada 21 MST, diperoleh dengan pengovenan akar
pada suhu 70 °C, selama 48 jam.
Pengamatan waktu munculnya akar, jumlah akar dan panjang akar bersifat
dekstruktif. Setek yang telah diamati tidak digunakan lagi sebagai bahan
pengamatan pada pengamatan berikutnya.
16
Keadaan Umum
(a) (b)
Gambar 1. Setek Mawar Mini di Lokasi Penelitian Umur 2 MST (a); Setek
Mawar Mini Umur 17 MST (b).
Pada saat pertengahan penelitian curah hujan cukup tinggi dan suasana di
dalam rumah kaca pun cukup lembab. Hal tersebut mengakibatkan tanaman
mawar terserang penyakit embun tepung yang disebabkan oleh cendawan
Oidium sp. Penyebaran penyakit tersebut relatif sangat cepat yang menyebabkan
rontoknya tunas-tunas muda, bahkan menimbulkan kematian setek. Pada beberapa
perlakuan yang seluruh seteknya mati dilakukan penyulaman, begitu juga pada
perlakuan-perlakuan yang jumlah seteknya tidak cukup untuk memenuhi
pengamatan selanjutnya. Penyulaman dilakukan pada minggu ketiga setelah
tanam.
Pupuk yang diberikan selama kegiatan pemeliharaan adalah pupuk NPK
mutiara (25:7:7), dilanjutkan dengan NPK mutiara (16:16:16) dan pupuk gandasil-
B pada saat tanaman sudah berbunga. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung
setiap fase pertumbuhan dari tanaman.
Pada saat tanaman berumur 4 minggu setelah tanam (MST), tanaman
dipindahkan ke pot. Media yang digunakan adalah arang sekam, kotoran kuda dan
pasir malang (2:1:1). Setelah tanaman dipindahkan ke pot pertumbuhan tanaman
menjadi lebih baik. Pengamatan berakhir setelah 21 minggu setelah tanam (MST).
18
Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Setek Mawar Mini (Rosa hybrida L.) pada
Berbagai Peubah Pengamatan
Umur
Peubah IBA NAA IBA*NAA KK (%) Respon
(MST)
Waktu munculnya akar 1-2 ** tn tn 31.80 K**
2 * tn tn 47.87 L**
Jumlah akar 3 tn tn tn 43.63 tn
4 tn tn tn 38.79 tn
2 ** tn tn 49.28 L**
Panjang akar 3 tn tn tn 45.13 tn
4 tn tn tn 45.12 tn
2 tn tn tn 34.01 tn
Persentase hidup
5 tn * tn 42.68 L**
Panjang tunas 5 tn tn * 26.22 tn
Jumlah bunga 7-20 tn tn tn 31.24 tn
Bobot basah akar 21 tn tn tn 58.51 tn
Bobot kering akar 21 tn tn tn 44.84 tn
Keterangan : * = Berbeda nyata pada taraf 5%
** = Sangat berbeda nyata pada taraf 1%
tn = Tidak berbeda nyata
L = Linier
K = Kuadratik
Seluruh data yang berbeda nyata kemudian diuji lanjut dengan DMRT
(Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%.
19
R² = 0,8778
12
10
8
6
4 IBA
2
0
0 100 200 300 400
Perlakuan IBA 200 ppm menunjukkan waktu munculnya akar yang paling
cepat yaitu selama 10.2 hari dan perlakuan IBA 0 ppm (tanpa auksin)
menunjukkan waktu munculnya akar yang paling lama yaitu selama 12.4 hari.
IBA berpengaruh terhadap waktu inisiasi akar dikarenakan sifat dari IBA yang
tetap berada pada daerah pemberian perlakuan, translokasinya lemah, berlangsung
lebih lambat sehingga bahan aktifnya akan tertahan di dekat tempat aplikasinya
(Weaver, 1972).
20
11,53 11,53
Waktu Munculnya Akar (hari)
11,6
11,4 11,33
11,2
11,2
11
10,8
10,8
10,6
10,4
N0 N1 N2 N3 N4
Perlakuan
yang satu dengan yang lain. Perlakuan NAA 100 ppm memiliki nilai rataan
terendah yaitu 10.8 hari dan perlakuan NAA 200 ppm dan NAA 400 ppm
memiliki nilai rataan tertinggi yaitu 11.53 hari.
(a) (b)
Gambar 4. Dasar Setek Mawar Saat Masih dalam Bentuk Kalus (1 MST) (a);
Akar Mawar Mini yang Sudah Terbentuk (2 MST) (b).
Pada saat minggu pertama setelah tanam yang terbentuk pada daerah
pengaplikasian auksin adalah kalus (Gambar. 4a). Kalus yang terbentuk kemudian
akan berdiferensiasi menjadi akar. Lakitan (1996) menyatakan bahwa
pembentukan akar adventif dapat timbul dari dua sumber: 1) jaringan kalus
(wounded root). 2) bakal akar (morfologi atau akar primordial). Akar primer dari
kalus muncul di daerah kambium vaskular (Febrijanti, 1999).
Meskipun dibutuhkan dan berguna untuk menginduksi akar primordial,
auksin pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan akar
primordial dan pemanjangan akar pada setek batang dan micro setek (Zong, et al.,
2008). Informasi mengenai konsentrasi yang tepat yang dapat mendukung
pertumbuhan dari setek tanaman mawar sangatlah dibutuhkan.
Jumlah Akar
Akar yang diamati adalah akar primer, dengan panjang minimal 2 mm.
Pengamatan dilakukan dari minggu kedua hingga minggu keempat setelah tanam
(2-4 MST). Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa pada minggu kedua
setelah tanam IBA berpengaruh nyata terhadap jumlah akar dengan respon linier
dengan persamaan Y = 0.012x + 6.26 dan nilai R² = 0.828.
22
12
10
Jumlah akar
8 y = 0,012x + 6,26
6 R² = 0,828
4
IBA
2
0
0 100 200 300 400
18 16
16 15,2
14,113,8 14
14 12,112,3 12,3 12,2
Jumlah Akar
12 10,9 11
9,1
N0
10 8,7
7,9
8 7,1 N1
6 N2
4
N3
2
0 N4
2 3 4
Minggu Setelah Tanam (MST)
menyerap unsur hara dan air yang diperlukan dalam metabolisme tanaman
(Sitompul & Guritno, 1995). Jumlah akar menunjukkan kemampuan dalam
melakukan penyerapan unsur hara (Schuurman dan Goedewaagen, 1971).
Tanaman dengan jumlah akar yang banyak akan meningkatkan penyerapan unsur
hara dan air yang dapat mendukung pertumbuhan dari tanaman pula. Hartmann et
al., (1997) menambahkan bahwa akar sebagai organ tumbuh geotrofik, selain
berfungsi sebagai penegak batang, juga berperan sebagai organ penghisap hara
dalam mendukung laju pertumbuhan. Perakaran yang baik akan mampu
menopang pertumbuhan dari tanaman.
Panjang Akar
2
Panjang akar (cm)
1,5
y = 0,001x + 1,108
1
R² = 0,429
0,5 IBA
0
0 100 200 300 400
Pada minggu kedua perlakuan IBA 200 ppm memiliki nilai rataan tertinggi
pada peubah panjang akar sebesar 1.87 cm. Panjang akar terendah pada minggu
kedua dimiliki oleh perlakuan IBA 0 ppm (tanpa auksin) yaitu 1.02 cm. Hal ini
sesuai dengan pernyataan dari Arteca (2006) bahwa auksin dapat menstimulasi
inisiasi akar dan panjang akar. Hartmann dan Kester (1983) menambahkan bahwa
IBA tidak menyebabkan racun pada tanaman karena mempunyai kisaran
konsentrasi yang lebar dan efektif dalam menstimulir akar pada sejumlah besar
spesies tanaman.
Pada minggu ketiga dan keempat pengamatan perlakuan perendaman IBA
tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar. Pada minggu ketiga sama seperti
halnya minggu kedua, nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan IBA 200 ppm
sebesar 3.5 cm. Pada minggu keempat, nilai rataan tertinggi terdapat pada
perlakuan IBA 0 ppm (tanpa auksin) yaitu 4.77 cm. Nilai rataan terendah baik
pada minggu ketiga maupun keempat terdapat pada perlakuan IBA 400 ppm,
sebesar 2.75 cm dan 3.69 cm.
Berdasarkan hasil uji lanjut diketahui juga bahwa NAA tidak berpengaruh
nyata dan tidak terdapat interaksi antara IBA dan NAA terhadap panjang akar.
Terlihat seperti pada gambar dibawah, bahwa nilai rataan pada masing-masing
perlakuan baik pada minggu kedua, ketiga maupun minggu keempat tidak berbeda
nyata. Pada minggu kedua dan keempat nilai rataan tertinggi terdapat pada
perlakuan NAA 200 ppm yaitu 1.6 cm dan 5.2 cm. Pada minggu ketiga, nilai
rataan tertinggi terdapat pada perlakuan NAA 100 ppm yaitu 3.7 cm.
26
6
5,2
4,8
5
Panjang Akar (cm)
4,3 4,2
4 3,7 3,6
3,1 3,1 N0
2,9 2,8
3 N1
2 1,5 1,3 1,6 1,3 N2
1,2
1 N3
0 N4
2 3 4
Persentase setek hidup menyatakan jumlah setek yang masih hidup saat
pengamatan terhadap jumlah setek awal penelitian yang dinyatakan dalam persen.
Pengamatan dilakukan pada minggu kedua dan minggu kelima. Pengamatan pada
minggu kedua dilakukan untuk mewakili persentase hidup setek saat masih berada
di bedengan dan pada minggu kelima untuk mewakili persentase hidup setek pada
saat setek sudah di pot. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa NAA
berpengaruh nyata terhadap persentase setek hidup pada minggu kelima dengan
respon linier dengan persamaan Y = 0.0027x + 60.667. Sehingga dapat dikatakan
bahwa konsentrasi NAA sampai dengan 400 ppm masih dapat meningkatkan
persentase setek hidup tanaman dan akan terus meningkat pada pemberian
konsentrasi yang lebih tinggi.
Pada minggu kelima nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan NAA
100 ppm sebesar 60% dan nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan NAA 300
ppm yaitu 40%. Terlihat pada tabel di atas bahwa perlakuan NAA pada minggu
kedua tidak berpengaruh nyata terhadap persentase setek hidup. Perlakuan NAA 0
ppm dan NAA 100 ppm memiliki persen setek hidup tertinggi yaitu sebesar 70%
dan perlakuan NAA 300 ppm memiliki nilai rataan terendah yaitu 60.67%.
80 74,67 71,33
Persentase Hidup (%)
62,67 62 59,33 I0
60
60 52 54,67 I1
45,33 45,33
40 I2
I3
20
I4
0
2 5
(a) (b)
Gambar 10. Alat Sensor pada Irigasi Penyemprotan (a); Setek Umur 1 MST
yang disemprot dengan Irigasi Penyemprotan (b).
Panjang Tunas
0,6 0,56
0,52 0,52
0,48
Perlakuan
Gambar 11. Panjang Tunas pada Berbagai Perlakuan Perendaman IBA pada 5
MST (Minggu Setelah Tanam)
Perlakuan
Gambar 12. Panjang Tunas pada Berbagai Perlakuan Perendaman NAA pada 5
MST (Minggu Setelah Tanam)
Berdasarkan hasil analisis data juga diketahui bahwa NAA tunggal tidak
mempengaruhi panjang tunas. Terlihat pada tabel di atas nilai rataan tertinggi
terdapat pada perlakuan NAA 0 ppm yaitu sebesar 0.55 cm dan nilai rataan
terendah terdapat pada perlakuan NAA 400 ppm yaitu sebesar 0.43 cm.
32
(a) (b)
Gambar 13. Pertumbuhan Tunas pada 8 MST (a); Pertumbuhan Tunas pada 9
MST (b).
Jumlah Bunga
Gambar 14. Mawar Mini pada saat Berumur 12 Minggu Setelah Tanam (MST)
4
3
2
1
0
I0 I1 I2 I3 I4
Perlakuan
Nilai rataan jumlah bunga tertinggi pada perlakuan perendaman IBA 400
ppm sebesar 4.75 dan nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan perendaman
IBA 300 ppm yaitu 3.81. Sedangkan, pada perlakuan perendaman NAA nilai
rataan tertinggi jumlah bunga terdapat pada perlakuan NAA 100 ppm sebesar 4.72
34
dan nilai rataan terendah jumlah bunga terdapat pada perlakuan NAA 200 ppm
yaitu 4.
4,8 4,72
4,55
4,6 4,46
Jumlah Bunga
4,4
4,21
4,2
4
4
3,8
3,6
N0 N1 N2 N3 N4
Perlakuan
Pengamatan bobot basah dan bobot kering akar dilakukan pada 21 MST
atau pada akhir penelitian. Akar sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu dengan
air untuk memisahkan akar dari sisa-sisa media, ditiriskan selama semalaman,
kemudian keesokan harinya ditimbang untuk memperoleh bobot basah akar.
Sedangkan bobot kering akar diperoleh dengan mengoven akar terlebih dahulu
sebelumnya pada suhu 70 0C selama 48 jam.
0,6 0,53 0,5
Bobot Basah (gram)
0,47 0,47
0,5
0,39
0,4
0,3
0,2
0,1
0
I0 I1 I2 I3 I4
Perlakuan
Gambar 17. Bobot Basah Akar pada Berbagai Perlakuan Perendaman IBA
Keterangan: I0 : IBA 0 ppm
I1 : IBA 100 ppm
I2 : IBA 200 ppm
I3 : IBA 300 ppm
I4 : IBA 400 ppm
Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa baik IBA, NAA maupun
interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap peubah bobot basah
akar. Pada perlakuan perendaman IBA, akar yang memiliki nilai rataan bobot
basah tertinggi terdapat pada perlakuan IBA 0 ppm (tanpa auksin) yaitu 0.53 gram
dan nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan IBA 300 ppm yaitu 0.39 gram.
36
Perlakuan
Gambar 18. Bobot Basah Akar pada Berbagai Perlakuan Perendaman NAA
Keterangan: N0 : NAA 0 ppm
N1 : NAA 100 ppm
N2 : NAA 200 ppm
N3 : NAA 300 ppm
N4 : NAA 400 ppm
Pada perlakuan perendaman NAA nilai rataan tertinggi bobot basah akar
terdapat pada perlakuan NAA 0 ppm dan NAA 300 ppm yaitu 0.5 gram.
Sedangkan, nilai rataan bobot basah akar terendah terdapat pada perlakuan NAA
400 ppm yaitu 0.43 gram. Pada peubah bobot kering akar seperti halnya pada
peubah bobot basah akar bahwa baik IBA, NAA maupun interaksi antara
keduanya tidak berpengaruh nyata.
3,5 3,01
Bobot Kering (gram)
3 2,79 2,68
2,47
2,5 1,97
2
1,5
1
0,5
0
I0 I1 I2 I3 I4
Perlakuan
Gambar 19. Bobot Kering Akar pada Berbagai Perlakuan Perendaman IBA
Pada perlakuan perendaman IBA nilai rataan tertinggi bobot kering akar
terdapat pada perlakuan IBA 0 ppm yaitu 3.01 gram dan nilai rataan terendah
terdapat pada perlakuan IBA 300 ppm yaitu 1.97 gram. Sedangkan, pada
37
perlakuan perendaman NAA nilai rataan tertinggi bobot kering terdapat pada
perlakuan NAA 200 ppm yaitu 2.82 gram dan nilai rataan bobot kering terendah
terdapat pada perlakuan NAA 100 ppm yaitu 2.19 gram. Semakin tinggi nilai
rataan bobot basah dan bobot kering akar suatu tanaman maka makin banyak juga
jumlah akar pada suatu tanaman yang akan membantu proses pertumbuhan dan
perkembangan dari tanaman. Tanaman akan memiliki kemampuan dalam
menyerap air, hara dan garam mineral lebih baik jika dibandingkan dengan
tanaman yang memiliki bobot basah dan kering akar yang lebih kecil.
2,41
2,5 2,19
2
1,5
1
0,5
0
N0 N1 N2 N3 N4
Perlakuan
Gambar 20. Bobot Kering Akar pada Berbagai Perlakuan Perendaman NAA
Pada saat kegiatan pencucian akar terjadi kehilangan bobot akar. Hal
tersebut tertutama terjadi pada akar-akar muda yang baru terbentuk. Kehilangan
bobot juga dikarenakan antara akar pada setek yang satu dengan akar pada setek
yang lain dalam satu pot sudah saling bertautan. Sehingga pada saat pemisahan
akar terdapat beberapa akar yang patah.
Media merupakan salah satu hal yang penting untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman. Media adalah salah satu sumber
makanan bagi tanaman. Media yang tepat dapat mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dengan baik. Penelitian ini menggunakan campuran
sekam, kotoran kuda dan pasir malang. Media tersebut memiliki aerasi yang baik
dan cukup memenuhi kebutuhan tanaman. Namun, media tersebut menjadi
kendala pada saat pengamatan peubah bobot basah dan bobot kering akar.
38
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2011. Data Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun
2006-2010. http//www.bps.go.id. [10 Mei 2011].
Diamond, D. 1990. The Complete Book of Flowers. Charles E. Tuttle Co. Inc.
Japan. 293 hal.
Febrijanti D. E. 1999. Pengaruh Dosis Rootone-F, Jenis Media dan Posisi Bahan
Setek terhadap Pertumbuhan Setek Batang Pulai Gading (Alstonia
scholaris R Br). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan. 51
hal.
Handayati, W. dan K. Effendie. 2003. Mawar mini balitihi. Warta Plasma Nutfah
Indonesia 14:1-3.
Konemann. 2004. The Ilustrated A-Z of Over 10.000 Garden Plants and How to
Cultivate Them. Random House Australia Pty Ltd. 1020 p.
Mattjik, N. A. 2009. Mawar, hal 103-117. Dalam Agus Purwito (Ed.). Budidaya
Bunga Potong dan Tanaman Hias. Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.