Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

Suggestive Spondilitis Tuberkulosis

Pembimbing :
dr. Komala, Sp.Rad

Disusun oleh :
Ni Luh Pricilia Sari Sudharsana (112021136)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA
RSUD KOJA JAKARTA
PERIODE 17 OKTOBER – 19 NOVEMBER 2022
STATUS ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:
SMF RADIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

Nama : Ni Luh Pricilia Sari Sudharsana Tanda Tangan


NIM : 11.2021.136
...............................
Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Komala Dewi, Sp.Rad
................................

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Tn. FU Jenis kelamin : Laki-laki


Usia : 31 tahun Suku Bangsa : Jawa
Status perkawinan : menikah Agama : Islam
Pekerjaan : - Pendidikan : D3
Alamat : - Tanggal masuk RS : 19 Oktober 2022

ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis dan Alloanamnesis (pasien dan ayah pasien)

Keluhan Utama

Nyeri pada punggung hingga pinggang memberat sejak ± 2 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Sebelumnya pasien merasakan ada benjolan pada tulang belakang yang dialaminya
pada bulan februari 2021, benjolan tersebut menetap dan tidak berubah pada posisi tidur
maupun beraktivitas, benjolan yang dirasakan pasien keras dan nyeri, namun nyeri tersebut
lama-kelamaan mulai menghilang pada bulan januari 2022. Pada bulan februari 2022 pasien
mulai merasakan nyeri di daerah perut kiri, dan pada bulan mei 2022 nyeri yang dirasakan
menjalar dari perut kiri sampai pada paha kiri. Nyeri yang dirasakan seperti tertusuk, nyeri
lebih berat dengan aktivitas dan lebih ringan pada saat istirahat. Berat badan dirasakan mulai
menurun perlahan-lahan sejak bulan februari 2021.

± 1 bulan SMRS, os berobat ke RSUD Koja dengan keluhan demam hilang timbul,
disertai keringat banyak pada malam harinya. mual (+), muntah (+), nafsu makan dan minum
baik, BAK dan BAB lancar. Kemudian os didiagnosa TB dan sudah mengkonsumsi OAT
selama 18 hari. 2 minggu SMRS Os datang ke RSUD Koja dengan keluhan nyeri pada
punggung hingga pinggang memberat sejak ± 2 minggu SMRS, yang kejadiannya mendadak
pada saat berbaring. Keluhan disertai lemas, nafsu makan menurun, tidak dapat beraktifitas
seperti biasanya. Riwayat batuk lama (+), penurunan BB (+).

Riwayat Penyakit Dahulu ( Tahun, diisi bila ya ( + ), bila tidak ( - ) )

( - ) Cacar ( - ) Malaria ( - ) Batu ginjal / Saluran kemih


( - ) Cacar air ( - ) Disentri ( - ) Burut (Hernia)
( - ) Difteri ( - ) Hepatitis ( - ) Penyakit prostate
( - ) Batuk rejan ( - ) Tifus Abdominalis ( - ) Wasir
( - ) Campak ( - ) Skrofula ( - ) Diabetes
( - ) Influensa ( - ) Sifilis ( - ) Alergi
( - ) Tonsilitis ( - ) Gonore ( - ) Tumor
( - ) Korea (-) Hipertensi ( - ) Penyakit Pembuluh
( - ) Demam Rematik Akut ( - ) Ulkus Ventrikuli ( - ) Perdarahan otak
( - ) Pneumonia ( - ) Ulkus Duodeni ( - ) Psikosis
( - ) Pleuritis ( - ) Gastritis ( - ) Neurosis

Riwayat Keluarga

Hubungan Umur Jenis Kelamin Keadaan Kesehatan Penyebab


( Tahun ) Meninggal
Kakek - Laki-laki Meninggal -
Nenek - Perempuan Meninggal -
Ayah 59 Laki-laki Sehat -
Ibu - Perempuan Meninggal -
Istri - - - -
Adakah kerabat yang menderita :
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi - -
Asma - -
Tuberkolosis - -
Artritis - -
Rematisme - -
Hipertensi - -
Jantung - -
Ginjal - -
Lambung - -

ANAMNESIS SISTEM
Catat keluhan tambahan positif disamping judul – judul yang bersangkutan
Harap diisi: Bila ya (+), bila tidak (-).
Kulit
( - ) Bisul ( - ) Rambut ( + ) Keringat malam
( - ) Kuku ( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Sianosis
( - ) Lain - lain
Kepala
( - ) Trauma ( - ) Sakit kepala
( - ) Sinkop ( - ) Pusing

Mata
( - ) Nyeri ( - ) Radang
( - ) Sekret ( - ) Gangguan penglihatan
( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Ketajaman penglihatan
Telinga
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan pendengaran
( - ) Sekret ( - ) Kehilangan pendengaran
( - ) Tinitus

Hidung
( - ) Trauma ( - ) Gejala penyumbatan
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan penciuman
( - ) Sekret ( - ) Pilek
( - ) Epistaksis
Mulut
( - ) Bibir ( - ) Lidah
( - ) Gusi ( - ) Gangguan pengecap
( - ) Selaput ( - ) Stomatisis
Tenggorokan
( - ) Nyeri tenggorokan ( - ) Perubahan suara
Leher
( - ) Benjolan ( - ) Nyeri leher
Dada ( Jantung / Paru – paru)
( - ) Nyeri dada ( - ) Sesak napas
( - ) Berdebar ( - ) Batuk darah
( - ) Ortopnoe ( + ) Batuk kadang-kadang
Abdomen (Lambung/ Usus)
( - ) Rasa Penuh ( - ) Wasir
( - ) Mual ( - ) Mencret
( - ) Muntah ( - ) Tinja darah
( - ) Muntah darah ( - ) Tinja berwarna dempul
( - ) Sukar menelan ( - ) Tinja berwarna ter
( + ) Nyeri LLQ ( - ) Benjolan
( - ) Perut membesar
Saluran kemih / Alat kelamin
( - ) Disuria ( - ) Kencing nanah
( - ) Stranguri ( - ) Kolik
( - ) Polliuria ( - ) Oliguria
( - ) Polakisuria ( - ) Anuria
( - ) Hematuria ( - ) Retensi urin
( - ) Kencing batu ( - ) Kencing menetes
( - ) Ngompol (tidak disadari) ( - ) Penyakit prostat

Saraf dan Otot


( - ) Anestesi ( - ) Sukar mengingat
( - ) Parestesi ( - ) Ataksia
( - ) Otot lemah ( - ) Hipo / Hiper-esthesi
( - ) Kejang ( - ) Pingsan
( - ) Afasia ( - ) Kedutan (’tick’)
( - ) Amnesia ( - ) Pusing (Vertigo)
( - ) lain – lain ( - ) Gangguan bicara (Disarti)
Ekstremitas
(-) Bengkak ( - ) Deformitas
( - ) Nyeri sendi ( - ) Sianosis

BERAT BADAN
Berat badan rata-rata (Kg) : 60,5 kg
Berat tertinggi kapan (Kg) : 68 kg (tahun lalu)
Berat badan sekarang (Kg) : 53 kg
Tinggi badan : 165 cm
Turun (+)

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran
Tempat lahir : ( - ) Di rumah ( - ) Rumah Bersalin ( - ) R.S. Bersalin
Ditolong oleh : ( - ) Dokter (+) Bidan ( - ) Dukun ( - ) lain - lain

Riwayat Imunisasi (Pasien tidak tahu)


( ) Hepatitis ( ) BCG ( ) Campak ( ) DPT ( ) Polio ( ) Tetanus
Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari :-
Jumlah / Hari :-
Variasi / Hari :-
Nafsu makan : penurunan

Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP ( ) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan ( ) Akademi
(+) D3 ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan : Tidak ada
Pekerjaan : Tidak ada
Keluarga : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada

A. PEMERIKSAAN JASMANI
Tanggal : 24/10/2022 Jam : 11.00
Pemeriksaan umum
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 53 kg
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/80mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,0°C
Pernapasan (Frekuensi dan tipe) : 20x/menit
Keadaan gizi : 19,48 (normal/gizi baik)
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Habitus : -
Cara berjalan : dapat berjalan
Mobilisasi (Aktif / Pasif) : aktif
Umur menurut perkiraan pemeriksa : sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : wajar
Alam perasaan : biasa
Proses pikir : bagus
Kulit
Warna : Sawomatang Effloresensi : Tidak ada
Jaringan parut : Tidak ada Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : merata Pembuluh darah : Teraba
Suhu raba : normal Lembab / kering : Lembab
Keringat : umum Turgor : Kembali cepat
Ikterus : Tidak ada Lapisan lemak :-
Edema : Tidak ada

Kelenjar getah bening


Submandibula : Tidak membesar Leher : Tidak membesar
Supraklavikula : Tidak membesar Ketiak : Tidak membesar
Lipat paha : Tidak membesar

Kepala
Ekspresi wajah : Kesakitan Sedang Simetri muka : simetris
Rambut : hitam merata Nyeri tekan sinus paranasal : tidak ada
Mata
Exophthalmus : Tidak ada Enopthalmus : Tidak ada
Kelopak : Edema (-) Lensa : Jernih
Konjungtiva : Anemis (-) Visus : Tidak dilakukan
Sklera : Ikterik (-) Gerakan mata :-
Lapangan penglihatan : Tidak dilakukan Tekanan bola mata : Tidak dilakukan
Deviatio konjugae : Tidak ada Nystagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : Tidak dilakukan Selaput pendengaran : Tidak dilakukan
Lubang : Tidak dilakukan Penyumbatan : Tidak dilakukan
Serumen : Tidak dilakukan Perdarahan : Tidak dilakukan
Cairan : Tidak dilakukan
Mulut
Bibir : Normal Tonsil : Tidak dilakukan
Langit-langit : Normal Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Utuh Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak kotor
Leher
Tekanan vena Jugularis (JVP) :-
Kelenjar tiroid : Tidak dilakukan
Kelenjar limfe : Tidak dilakukan
Dada
Bentuk : Simetris, sela iga normal
Pembuluh darah : Tidak ada kelainan
Buah dada : Tidak ada kelainan

Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Ictus cordis teraba pada sela iga ke-4, 2 jari lateral line midklavikularis
Palpasi
sinistra, ukuran 1 cm x 1 cm, kuat angkat.
Batas kanan : sela iga ke-4 linea parasternalis kanan
Perkusi Batas atas : sela iga ke-2 linea sternalis kiri
Batas kiri : sela iga ke-5, linea axilaris anterior kiri
Auskultasi BJ I-II normal, murni, reguler, murmur (-), gallop Mitral (-)

Paru – Paru
Depan Belakang
Kanan Pernapasan simetris saat statis Pernapasan simetris saat statis dan
dan dinamis, tidak ada retraksi dinamis, tidak ada retraksi sela iga,
sela iga, lesi (-), massa (-). lesi (-), massa (-).
Inspeksi
Kiri Pernapasan simetris saat statis Pernapasan simetris saat statis dan
dan dinamis, tidak ada retraksi dinamis, tidak ada retraksi sela iga,
sela iga, lesi (-), massa (-). lesi (-), massa (-).
Kanan Fremitus taktil simetris, nyeri Fremitus taktil simetris, nyeri tekan
tekan (-), massa (-), pernapasan (-), massa (-), pernapasan simetris
simetris saat statis dan dinamis, saat statis dan dinamis, tidak ada
tidak ada retraksi sela iga. retraksi sela iga.
Palpasi
Kiri Fremitus taktil simetris, nyeri Fremitus taktil simetris, nyeri tekan
tekan (-), massa (-), pernapasan (-), massa (-), pernapasan simetris
simetris saat statis dan dinamis, saat statis dan dinamis, tidak ada
tidak ada retraksi sela iga. retraksi sela iga.
Kanan Sonor diseluruh lapang paru. Sonor diseluruh lapang paru.
Perkusi
Kiri Sonor diseluruh lapang paru. Sonor diseluruh lapang paru.
Kanan Suara nafas vesikular, Suara nafas vesikular, wheezing (-),
wheezing (-), ronki (-). ronki (-).
Auskultasi
Kiri Suara nafas vesikular, Suara nafas vesikular, wheezing (-),
wheezing (-), ronki (-). ronki (-).

Pembuluh darah
Arteri Temporalis : Tidak dilakukan
Arteri Karotis : Tidak dilakukan
Arteri Brakialis : Tidak dilakukan
Arteri Radialis : Tidak dilakukan
Arteri Femoralis : Tidak dilakukan
Arteri Poplitea : Tidak dilakukan
Arteri Tibialis Posterior : Tidak dilakukan
Arteri Dorsalis Pedis : Tidak dilakukan
Perut
Inspeksi : perut datar, pelebaran vena (-)

Palpasi Nyeri tekan : LLQ (+)


Dinding perut : -
Hati :-
Limpa :-
Ginjal : Ballotement ( - )
Lain-lain : Tidak ada
Perkusi : Timpani pada seluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus ( + ) normal
Refleks dinding perut : Normal

Punggung
 Inspeksi : tampak penonjolan pada tulang vertebra, bentuk kifosis.
 Palpasi : teraba benjolan, konsistensi keras, tepi tumpul, nyeri tekan (+), ukuran 8-10
cm pada vertebral lumbal
Anggota gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot :
Tonus : Normal Normal
Massa : Tidak ada Tidak ada
Sendi : Normal Normal
Gerakan : Normal Normal
Kekuatan : +5 +5
Lain-lain : Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki


Luka : Tidak ada Tidak ada
Varises : Tidak ada Tidak ada
Otot (tonus dan masa) : Tonus normal Tonus normal
Tidak ada masa Tidak ada masa
Sendi : Normal Normal
Gerakan : Normal Normal
Kekuatan : +5 +5
Edema : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada Tidak ada
Flappingg Tremor : tidak dilakukan

B. LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA


Pemeriksaan Laboratorium di IGD RSUD KOJA pada 19/10/2022
Hematologi
Hemoglobin 16.1 g/dl 13.5 – 15.0
Hematokrit 46.2 % 42.0 – 52.0
Leukosit 6520 /uL 4.000 - 10.500
Trombosit 250.000 /uL 163.000 - 337.000
Kimia Klinik
Natrium (Na) 139 mEq/L 135 - 147
Kalium (K) 3.47 mEq/L 3.5 – 5.0
Clorida (Cl) 97 mEq/L 96 - 108
Ureum 16.8 mg/dL 16.6 – 48.5
Kreatinin 0.90 mg/dL 0.67 – 1.17
Glukosa sewaktu 97 mg/dL 70 – 200
Serologi
SARS-CoV-2 Antigen : negative
Elektrolit
SGOT 18 u/L L: <38 ; P:<32
SGPT 17 u/L L: 9-36 ; P: 9-43

1. Foto Thorax (19 dan 26/10/2022)


Pemeriksaan radiografi thorax proyeksi AP :
 Jantung tidak membesar (CTR < 50%).
 Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
 Trakea ditengah. Kedua hilus tidak menebal.
 Corakan bronkovaskular kedua paru baik.
 Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapangan paru.
 Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostophrenikus lancip.
 Tulang-tulang dinding dada kesan intak.
Kesan : tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru.

2. Foto Lumbosacral AP/Lateral (19/10/2022)

Pemeriksaan radiologi lumbosacral AP/Lateral :


- Kelengkungan dan kedudukan vertebra lumbosacral baik, tidak tampak listesis
- Struktur dan bentuk vertebra lumbosacral baik. Densitas vertebra lumbosacral baik.
- Pedikel intak. Tidak tampak tanda-tanda fraktur, destruksi, lesi litik/blastik.
- Tidak tampak formasi osteofit di korpus vertebra lumval
- Tidak tampak penyempitan celah diskus intervertebralis.
- Sendi-sendi vertebra lumbosacral dan sacroiliaca bilateral terlihat baik.
- Jaringan lunak paravertebrata lumbal kesan baik.
Kesan : Tidak tampak kelainan radiologis pada vertebra lumbosacral.
3. CT-Scan Vert. Thoracal dengan Kontras (21/10/2022)
4. CT-Scan Vert. Lumbal (21/10/2022)

Pemeriksaan CT scan vertebra torakolumbal dengan kontras iodine water-


soluble secara intravena :
 Tampak destruksi vertebra T6 hingga L1 (terutama T10 T12 dengan deformitas
kifotik), disertai lesi dengan rim enhancement di paravertebra kanan kiri setinggi T6 -
T12.
 Tampak lesi hipodens dengan rim enhancement di m. iliopsoas kiri setinggi L1 hingga
regio pelvis.
 Kedudukan vertebra torakolumbal baik, tidak tampak listesis.
 Tidak tampak formasi osteofit di korpus vertebra lumbal.
 Sendi sacroiliaca bilateral terlihat baik.
Kesan : Destruksi vertebra T6 hingga L1 (terutama T10 - T12 dengan deformitas kifotik)
disertai abses paravertebra T6 - T12 dan di m. iliopsoas kiri, sugestif spondylitis TBC.
5. Ultrasonografi Abdomen (24/10/22)

Hasil Pemeriksaan USG Abdomen :


 Hepar : normal
 GB : normal
 Lien : normal
 Pancreas : normal
 Ginjal kanan : normal
 Ginjal kiri : normal
 Buli : normal
 Tampak lesi hypoechoic batas tegas tepi regular ukuran 11,3cm x 6,33cm x 4,95cm
dengan tak tampak vascularisasi intralesi menempel dengan muskulus psoas kiri
 Tak tampak intensitas echo cairan bebas ektraluminal di cavum abdomen
Kesan : Lesi hypoechoic batas tegas tepi regular ukuran 11,3cm x 6,33cm x 4,95cm dengan
tak tampak vascularisasi intralesi menempel dengan muskulus psoas kiri dapat merupakan
gambaran massa muskulus psoas kiri suggestive TB.

Resume
Seorang laki-laki berusia 31 tahun datang ke IGD RSUD Koja pada tanggal 19 Oktober
2022 dengan keluhan nyeri pada punggung hingga pinggang memberat sejak ± 2 minggu
SMRS, yang kejadiannya mendadak pada saat berbaring. Keluhan disertai lemas, nafsu makan
menurun, tidak dapat beraktifitas seperti biasanya. Riwayat batuk lama (+), penurunan BB (+).
Sebelumnya pada tahun 2021, os memiliki riwayat adanya benjolan pada tulang belakang,
benjolan tersebut menetap dan tidak berubah pada posisi tidur maupun beraktivitas, benjolan
keras dan nyeri. Pada bulan februari 2022 os mulai merasakan nyeri di daerah perut kiri, seperti
tertusuk, nyeri lebih berat saat aktifitas. ± 1 bulan SMRS, os didiagnosa TB dan sudah
mengkonsumsi OAT selama 18 hari.
Hasil pemeriksaan fisik didapati nyeri LLQ (+), pada punggung tampak penonjolan
pada tulang vertebra, bentuk kifosis, konsistensi keras, tepi tumpul, nyeri tekan (+), ukuran 8-
10 cm pada vertebral lumbal. Hasil pemeriksaan penunjang didapati kalium 3.47 mEq/L. Hasil
pemeriksaan radiologi 1) pemeriksaan CT scan vertebra torakolumbal dengan kontras iodine
water-soluble secara intravena : Destruksi vertebra T6 hingga L1 (terutama T10 - T12 dengan
deformitas kifotik) disertai abses paravertebra T6 - T12 dan di m. iliopsoas kiri, suggestive
spondylitis TBC.
2) USG Abdomen : Lesi hypoechoic batas tegas tepi regular ukuran 11,3cm x 6,33cm x 4,95cm
dengan tak tampak vascularisasi intralesi menempel dengan muskulus psoas kiri dapat
merupakan gambaran massa muskulus psoas kiri suggestive TB.

Diagnosis kerja
Suggestive Spondilitis TB
Dasar diagnosis:
Pada klinis os, os merasa nyeri pada punggung hingga pinggang memberat. Os sedang
dalam pengobatan TB. Adanya penurunan berat badan, riwayat demam hilang-timbul, keringat
dingin dan batuk lama (+). Pada pemeriksaan fisik didapati nyeri LLQ (+), pada punggung
tampak penonjolan pada tulang vertebra, bentuk kifosis, konsistensi keras, tepi tumpul, nyeri
tekan (+), ukuran 8-10 cm pada vertebral lumbal. Pada pemeriksaan CT scan vertebra
torakolumbal dengan kontras iodine water-soluble secara intravena : Destruksi vertebra T6
hingga L1 (terutama T10 - T12 dengan deformitas kifotik) disertai abses paravertebra T6 - T12
dan di m. iliopsoas kiri, suggestive spondylitis TBC. 2) USG Abdomen : Lesi hypoechoic
batas tegas tepi regular ukuran 11,3cm x 6,33cm x 4,95cm dengan tak tampak vascularisasi
intralesi menempel dengan muskulus psoas kiri dapat merupakan gambaran massa muskulus
psoas kiri suggestive TB.
Diagnosis Banding
1. Spondilitis Piogenik
Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa
dengan spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa pemeriksaan
penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, Streptococcus, dan Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih
sering menyerang usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun. Hingga saat ini, prevalensi
spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan antibiotik,
tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak, jumlah kasus baru spondilitis TB
semakin berkurang dengan penggunaan OAT. Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang
lebih akut dengan gejala yang hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan
lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering menyerang
vertebra torakolumbal lebih dari satu vertebra.

Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah leukosit, dan hitung jenis
dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna
dibandingkan peningkatan LED, meskipun pada beberapa kasus dapat normal. Telah dilakukan
studi untuk membedakan kedua penyakit melalui MRI. Jung dkk menjabarkan beberapa
perbedaan temuan MRI secara rinci yang mengarahkan pada infeksi TB: 1) sinyal abnormal
paraspinal berbatas tegas. 2) dinding abses tipis dan halus. 3) adanya abses paraspinal dan
intraoseus. 4) penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra. 5) keterlibatan vertebra torakal. 6)
lesi multipel. Bila ada temuan radiologis selain yang disebutkan di atas, tampaknya diagnosis
infeksi piogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada dkk menambahkan bahwa adanya
sinyal abnormal pada sendi faset merupakan karakteristik infeksi piogenik. Kultur dan
pewarnaan Gram spesimen tulang yang diambil melalui biopsi perkutan/terbuka dapat
memastikan diagnosis, namun tindakan ini termasuk tindakan invasif.

Gambaran yang paling jelas membedakan spondilitis tuberkulosa dari piogenik adalah
relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis. Mycobacteria tidak memiliki enzim proteolitik
yang diumpai pada bakteri yang umumnya menyebabkan osteomielitis piogenik. Spondilitis
tuberkulosa juga dapat dibedakan dari ciri abses paravertebral. Beberapa penulis meyakini
bahwa semakin besar abses yang terbentuk, semakin besar kecenderungan bahwa tuberkulosa
adalah penyebabnya. Dinding abses tebal dan tampak enhancing secara ireguler pada gambaran
MRI, dan gambaran ini dianggap diagnostik untuk spondilitis tuberkulosa.

Contoh hasil pemeriksaan radiologi spondylitis pyogenic :


a. Foto Polos :

Pada pemeriksaan dengan menggunakan foto polos, pada proses awal dapat ditemukan
gambaran dari penyempitan celah diskus. Hal ini disebabkan oleh karena penghancuran diskus
oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh bakteri dan diikuti dengan tepi end – plate yang
ireguler dari tulang yang hancur. Kerusakan tulang terus berlanjut seiring dengan perjalanan
penyakit. Pada minggu ke 8 – 12, tampak kerusakan tulang, berupa kolaps dari korpus vertebra
yang seringkali menyebabkan terjadinya kifosis. Adanya abses paraspinal dicurigai dari
gambaran bayangan jaringan lunak yang abnormal. Selain itu, pada kerusakan yang kronis,
dapat ditemui gambaran osteofit, pembentukan sclerosis, dan ankilosis, serta kifosis.

b. Gambaran MRI

Paraspinal abses pada spondylitis pyogenic memberikan gambaran dinding abses yang
tebal dan irregular. Hal ini dibedakan dengan paraspinal abses pada tuberculosa spondylitis
yang memiliki dinding abses yang tipis dan regular. Selain itu, gambaran kerusakan korpus
vertebra juga lebih banyak pada gambaran MRI tuberculosa spondylitis dibandingkan dengan
spondylitis pyogenic.

2. Tumor Metastatik Spinal

Mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang belakang yang mengakibatkan
kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor metastasik spinal pada usia di atas 50
tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu torakal, lumbar dan servikal. Neoplasma
dengan kecenderungan bermetastasis ke medula spinalis meliputi tumor payudara, prostat,
paru, limfoma, sarkoma, dan mieloma multipel. Metastasis keganasan saluran cerna dan rongga
pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan mamae lebih
sering melibatkan vertebra torakal. Lesi metastatik akibat malignansi sistemik merupakan
kelainan yang harus dibedakan dari spondilitis tuberkulosa. Metastatik memiliki ciri tidak
mengenai diskus, seperti halnya spondilitis tuberkulosa. Bahkan karena spondilitis tuberkulosa
juga tidak mengenai celah diskus dan dapat mengenai vertebra multipel, gambarannya dapat
disalahartikan sebagai metastatik malignansi. Faktor yang menunjukkan dan membedakan
spondilitis tuberkulosa dari neoplastik adalah adanya abses paravertebral dan penyebaran
subligamentosa. Walapun jarang, spondilitis fungal sulit dibedakan dengan spondilitis
tuberkulosa berdasarkan gambaran imejing dan gambaran klinis. Gambaran klinisnya mirip
dan mencakup relatif tidak terkenanya diskus dan lesi paravertebral. Tidak mungkin
menegakkan diagnosis tanpa melakukan prosedur biosi dengan panduan CT scan untuk
evaluasi histopatologis.

Contoh hasil pemeriksaan radiologi tumor metastatik spinal :


(a) Radiografi lateral buruk dalam menggambarkan lesi metastasis tubuh vertebral L3, yang
muncul sebagai lusensi samar dengan margin sklerotik halus (panah kuning). (b) Lesi ini
lebih baik dilihat pada MRI sagital T1-weighted sebagai hipointensitas yang tidak jelas
(merah panah) di dalam sumsum L3.
Tatalaksana

1. IVFD RL 20 tpm
2. Lanjutkan terapi OAT :
- Rifampicin tab 450mg (1x1)
- Isoniazid tab 300mg (1x1)
- Etambutol tab 500 mg (1x2)
- Pirazinamid tab 500 mg (1x2)
3. Inj. Metamizole 500 mg (k/p)
4. B complex tab (3x1)

Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad
Quo ad Functionam : Dubia ad
Quo ad Sanactionam : Dubia ad
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Spondilitis tuberculosis atau yang dikenal juga sebagai Pott’s Disease merupakan salah
satu presentasi umum pada tuberculosis ekstrapulmoner, yang terasosiasi secara signifikan
dengan morbiditas dan bisa berkomplikasi menjadi kelumpuhan fungsional yang parah.
Diagnosis dari spondylitis TB sangat umum menjadi terlambat dikarenakan oleh manifestasi
klinis awal yang non-spesifik atau kecurigaan derajat rendah. Pendekatan diagnosis harus
didasari dengan adanya nyeri kronis atau deformitas, pertimbangan epidemiologis, pencitraan
radiologis, dan presedur yang adekuat untuk mendapatkan sampel secara bacterial, patologis,
atau hingga molecular yang dapat menegakan adanya diagnosis TB spondilitis.1,2

TB Spondilitis atau Pott’s disease menjadi salah satu penyakit tertua yang
terdemonstrasi di sejarah manusia, dengan pertama kali terdokumentasi pada peninggalan
tulang belakang pada Iron Age di Eropa, preservasi mumi pada zaman Mesir kuno, dan pesisir
Pasifik di Amerika Selatan. Pada tahun 1779, Percivall Pott yang pertama kali mendeskripsikan
tuberculosis tulang belakang yang dideskripsikan sebagai deformitasi kifosis dan adanya
temuan defisit neurologis, yang dimana namanya dijadikan sebagai rujukan diagnosis pada
penyakit TB pada tulang belakang.1,2

Epidemiologi

Secara global, TB ekstrapulomonal mewakili 14% dari 6,4 juta kasus TB yang
dilaporkan pada tahun 2017, berentang dari 8% di wilayah Pasifik Barat hingga 24% di wilayah
Mediterania Timur. Frekuensi relatif global dari presentasi TB yang berbeda tidak lebih rinci
daripada paru/ekstrapulmoner. Di Amerika Serikat, proporsi kasus luar paru pada tahun 2017
adalah 20,8% (1.887 kasus). Dari jumlah tersebut, keterlibatan tulang dan sendi adalah yang
paling umum ketiga, terdiri dari 9,8% kasus, setelah penyakit limfatik dan pleura.1

Laporan WHO pada tahun 2013 memperkirakan bahwa ada 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012
dan di mana 1,1 juta orang (13%) adalah pasien dengan positif human immunodeficiency virus
(HIV). Prevalensi Tuberkulosis BTA positif di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 257 per
100.000 penduduk berusia 15 tahun ke atas. Pada tahun 2016, kejadian TB mencapai 391 per
100.000 penduduk. 20% pasien TB paru akan menyebar ke TB ekstra paru. 11% TB ekstraparu
adalah TB osteoartikular, di mana setengah dari kasus TB osteoartikular adalah TS.7
Etiologi

Patogen yang mendasari tuberkulosis adalah kompleks genus Mycobacterium. Ada


sekitar 60 spesies, di antaranya M. tuberculosis adalah jenis yang paling umum. Organisme ini
adalah basil yang fastidious, tumbuh lambat dan aerobik. Spesies mikobakteri non-TB lainnya
yang mempengaruhi manusia termasuk Mycobacterium avium, Mycobacterium bovis,
Mycobacterium microti, dan Mycobacterium africanum. Basil TB mampu menjadi dorman
untuk waktu yang lama; namun ketika kondisi yang menguntungkan kembali contohnya pada
pasien dengan imunocompromised, mereka cenderung berkembang biak sekali setiap 15
sampai 20 jam.3

Infeksi menghasilkan reaksi inflamasi granulomatosa, yang biasanya ditandai dengan nekrosis
kaseosa, limfosit, sel epiteloid, dan sel raksasa tipe Langhans.3

Beberapa faktor risiko yang diketahui untuk TB termasuk kontak yang terlalu lama dengan
pasien yang terinfeksi, imunodefisiensi (HIV, alkohol, penyalahgunaan obat), kepadatan
penduduk, malnutrisi, kemiskinan, dan situasi sosial ekonomi yang lebih rendah.2,3

Patofisiologi

Spondilitis TB biasanya merupakan hasil dari sumber infeksi ekstraspinal dan


penyebaran hematogen. Penyakit ini bermanifestasi sebagai kombinasi osteomielitis dan
artritis yang biasanya melibatkan lebih dari 1 ruas vertebra, dimana aspek anterior korpus
vertebra yang berdekatan dengan lempeng subkondral biasanya terpengaruh. Tuberkulosis
dapat menyebar dari daerah tersebut ke diskus intervertebralis yang berdekatan. Pada orang
dewasa, penyakit diskus merupakan penyakit sekunder akibat penyebaran infeksi dari korpus
vertebra. Pada anak-anak diskus dapat menjadi tempat utama dikarenakan adanya
vaskularisasi.2,4

Kerusakan tulang yang progresif dapat menyebabkan kolaps vertebra dan kyphosis. Kanalis
spinalis dapat menyempit oleh abses, jaringan granulasi, atau invasi dural langsung yang
menyebabkan kompresi pada medula spinalis dan terjadi adanya defisit neurologis.2

Deformitas kyphotic disebabkan oleh adanya kolaps pada tulang belakang bagian anterior. Lesi
yang berada di tulang belakang torakal lebih mungkin menyebabkan kyphosis daripada di
tulang belakang bagian lumbar. Abses dapat terjadi jika infeksi meluas ke ligamen dan jaringan
lunak yang berdekatan. Abses di daerah lumbal dapat turun ke bawah selubung psoas ke daerah
trigonum femoralis dan akhirnya mengikis ke dalam kulit.2,4

Manifestasi Klinis

Presentasi klinis tuberkulosis tulang belakang bervariasi. Manifestasinya tergantung


pada durasi penyakit, keparahan penyakit, lokasi lesi, dan adanya komplikasi terkait termasuk
deformitas dan defisit neurologis. Pada penyakit tanpa komplikasi, pasien biasanya datang
dengan nyeri punggung; sedangkan presentasi yang terkait dengan penyakit tulang belakang
tuberkulosis yang rumit melibatkan deformitas, instabilitas, dan defisit neurologis. Nyeri
punggung pada tuberkulosis dapat berhubungan dengan penyakit aktif itu sendiri (sekunder
akibat inflamasi), destruksi tulang dan instabilitas. Nyeri saat istirahat adalah patognomonik
dan jarang, nyeri radikuler merupakan gejala yang paling utama. Gejala konstitusional
termasuk penurunan berat badan atau nafsu makan, demam, dan malaise/kelelahan lebih jarang
dikaitkan dengan tuberkulosis ekstrapulmoner dibandingkan penyakit paru.2,4

Cold Abscess

Abses ini biasanya tidak memiliki semua tanda inflamasi yang terlihat pada abses. Di
tulang belakang bagian leher, abses ini dapat bermanifestasi di ruang retrofaring, segitiga
anterior atau posterior leher, atau aksila. Di tulang belakang toraks dapat muncul sebagai abses
pravertebral atau paravertebral; atau di atas dinding dada. Di tulang belakang lumbar, mereka
dapat melacak di sepanjang otot psoas, Petit’s triangle, Scarpa’s triangle, atau daerah gluteal.2

Deformitas

Gambaran klinis deformitas kyphotic telah diklasifikasikan sebagai knuckle


(keterlibatan satu vertebra), gibbus (dua vertebra), dan kyphus bulat (lebih dari tiga vertebra).
Karena keterlibatan yang lebih besar dari tulang belakang anterior pada TB, tulang belakang
secara progresif mengembangkan orientasi kyphotic; terutama pada tulang belakang torakal
dan torakolumbalis. Sebuah teori menyatakan formula untuk memprediksi kyphosis akhir pada
populasi orang dewasa yang menderita TB tulang belakang: y = a + bx, di mana y adalah
kyphosis akhir, a dan b adalah konstanta masing-masing sama dengan 5,5 dan 30,5, dan x
adalah hilangnya awal tulang belakang tinggi badan, selanjutnya diamati bahwa deformitas
kyphotic lebih besar dari 60 derajat menyebabkan kecacatan yang signifikan dan berpotensi
menimbulkan defisit neurologis.2

Defisit Neurologis

Defisit neurologis dapat terjadi baik pada tahap aktif penyakit (sekunder akibat kompresi dari
abses, jaringan inflamasi, sequestrum atau instabilitas tulang belakang) atau selama tahap
penyembuhan (biasanya sekunder akibat traksi mekanis pada gibbus internal atau instabilitas
tulang belakang).2,3

Kompresi awal pada TB adalah sekunder dari kolaps korpus vertebra, yang menyebabkan
keterlibatan traktus spinalis anterior (refleks tendon dalam yang berlebihan dan tanda Babinski,
perkembangan lebih lanjut menjadi defisit motorik tipe Upper-Motor Neuron). Selanjutnya,
traktus spinalis lateral terlibat secara progresif (dengan hilangnya sentuhan kasar, nyeri, dan
suhu); diikuti oleh defisit kolumna posterior (gangguan sfingter dan kehilangan sensorik total).
Skor Frankel, dan ASIA yang awalnya dikembangkan untuk mengklasifikasikan defisit
neurologis pada cedera tulang belakang akut juga dapat digunakan untuk mengklasifikasikan
defisiensi neurologis pada tuberkulosis tulang belakang. Klasifikasi Tuli yang dimodifikasi
adalah klasifikasi yang paling berguna dari paraplegia Pott dengan keterlibatan sumsum tulang
belakang. Ada lima tahap paraplegia Pott:2

 Tahap 1: Defisit terlihat berdasarkan pemeriksaan klinis oleh klinisi (klonus


pergelangan kaki, refleks tendon dalam yang berlebihan dan Babinski atau ekstensor
plantar)
 Tahap 2: Pasien memiliki defisit motorik tipe UMN dengan spastisitas, namun masih
dapat berjalan. Skor motorik yang diantisipasi pada tetraparesis adalah 60 sampai 100
dan pada paraparesis adalah antara 80 dan 100; defisit sensorik melibatkan kolumna
lateral
 Tahap 3: Pasien terbaring di tempat tidur dan kejang. Skor motorik yang diantisipasi
pada tetraparesis adalah 0 sampai 30, dan pada paraparesis adalah antara 50 dan 80;
defisit sensorik melibatkan kolumna lateral
 Tahap 4: Pasien terbaring di tempat tidur dengan kehilangan sensorik/luka tekan yang
parah. Skor motorik yang diantisipasi pada tetraplegia adalah 0, dan pada paraplegia
adalah antara 50; defisit sensorik melibatkan kolumna posterior dan lateral
 Tahap 5: Mirip dengan tahap 4 +/- keterlibatan kandung kemih/motilitas usus +/-
spasme fleksor/ tetraplegia lembek/ paraplegia

Meskipun sebagian besar defisit neurologis akan masuk ke dalam klasifikasi ini, defisit neuro
pada granuloma intraspinal, cauda equina, atau sindrom conus medullaris atau TB lokasi
atipikal lainnya mungkin tidak sesuai dengan salah satu tahapan yang disebutkan di atas.3

Pemeriksaan Penunjang

Standar emas dalam diagnosis tuberkulosis adalah kultur Mycobacterium, namun, basil TB
mempunyai sifat fastidious, dan satu-satunya acuan pada kultur dengan hasil positif untuk
diagnosis dapat dikaitkan dengan sensitivitas yang buruk.4

Standar referensi laboratorium alternatif untuk diagnosis termasuk demonstrasi histopatologi


granuloma kaseosa klasik, pewarnaan apusan untuk mengidentifikasi basil tahan asam (BTA),
penanda inflamasi serologis, tes imunologi, dan modalitas diagnostik molekuler. Presentasi
klinis yang khas dengan bukti tidak langsung tambahan dari tes radiologi dan laboratorium
biasanya diperlukan untuk menegakkan diagnosis pada sebagian besar pasien.1,3

Gambaran Pencitraan

Radiografi polos (sensitivitas 15%): Tahap awal (penghancuran tulang belakang kurang dari
30%) tidak mempunyai banyak berperan terhadap diagnosis. Tahap selanjutnya (di atas 30%
destruksi vertebra) dapat muncul dengan pengurangan ruang diskus, penipisan endplate,
destruksi korpus vertebra, instability, dan deformitas tulang belakang. Rontgen dada juga
merupakan pemeriksaan penting, karena hingga sepertiga dari pasien dengan TB tulang
belakang ini juga dapat memiliki penyakit paru yang menyertai.1,2
Gambar 1. Xray oblique yang menunjukkan perubahan erosive pada korpus verebra 3

Computed tomography (CT) (sensitivitas 100%): Dapat membantu dalam diagnosis pada tahap
yang jauh lebih awal daripada x-ray biasa. Jenis lesi destruktif vertebra oleh CT pada TB tulang
belakang termasuk sklerosis fragmentaris, osteolitik, subperiosteal, dan lokal. CT scan juga
dapat membantu dalam biopsi yang dipandu untuk menegakkan diagnosis.3

Gambar 2. Tampak Axial pemeriksaan CT menunjukkan adanya erosi destruktif pada korpus vertebra
Gambar 3. A: CT Axial menunjukkan fragmentary bone pattern, B: abses jaringan lunak besar pada paraspinal
yang menunjukkan kalsifikasi awal

Gambar 4. Temuan radiografi atipikal. A: TB Multilevel menunjukkan sklerosis tulang luas dalam empat tingkat
dan penyakit infeksi intrasomatik L4 tanpa keterlibatan diskus. B: Pola tulang permeatif melibatkan sendi
costotransverse dan jaringan lunak yang berdekatan

Magnetic resonance imaging (MRI) (sensitivitas 100% dan spesifisitas 80%): MRI adalah
modalitas yang paling berguna dalam diagnosis TB tulang belakang. MRI paling baik
mendeteksi sejauh mana peningkatan jaringan lunak, lokasi abses dan kompromi kanal tulang
belakang. MRI yang ditingkatkan dengan Gadolinium dapat memberikan informasi tambahan
mengenai diagnosis. Skrining yang melibatkan seluruh tulang belakang juga dapat membantu
dalam mengidentifikasi keterlibatan tulang belakang yang tidak bersebelahan. MRI juga dapat
menilai respons terhadap pengobatan. Temuan MRI yang khas termasuk pengumpulan sub-
ligamen multi-segmen, terjadinya massa atau abses para / pra-vertebral yang jelas dengan
dinding abses yang relatif menebal, ruang diskus yang relatif terhindar sampai tahap penyakit
selanjutnya dan peningkatan heterogen dari tubuh vertebral dapat membantu dalam
membedakan spondylitis tuberkulosis dari infeksi piogenik lainnya.3,5

Gambar 5. Paradiskal pattern. A,B: Pencitraan pembobotan T2 sagital dan STIR menunjukkan sinyal hiperintens
pada korpus vertebra T9, menunjukkan edema sumsum tulang. C,D: Axial T2- dan T1-postcontrast weighted
imaging menunjukkan keterlibatan paradiskal dan infeksi menyebar ke ruang epidural (panah) dengan kompresi
sumsum tulang belakang

Gambar 6. Pola posterior. Pencitraan dengan pembobotan T2 aksial menunjukkan abses dingin besar (tanda
bintang) yang terletak di jaringan lunak dan infeksi tulang terkait yang melibatkan lengkung vertebra dan sendi
costovertebral (panah)
Gambar 7. Infeksi multisegmen. A, B: Sagittal T1-postcontrast weighted dan pencitraan STIR menunjukkan
tanda-tanda infeksi cervical lanjut dengan abses prevertebral yang besar (panah tipis) dan lesi skip awal dengan
peningkatan epidural yang melibatkan level T6 dan T7 (panah tebal). C, D: follow-up MRI 2 bulan kemudian
menunjukkan persistensi peningkatan kontras di badan vertebra serviks dengan resolusi abses prevertebral

Diagnosis

Diagnosis pada spondilitis TB dapat dibandingkan dengan konsiderasi adanya infeksi piogenik
dan jamur, serta adanya neoplastic. Secara umum, metastasis tulang belakang dan keganasan
tulang belakang primer hadir dengan keterlibatan korpus vertebra primer dan adanya ruang
diskus dibandingkan dengan TB dan infeksi lainnya. Tuberkulosis juga muncul dengan
jaringan lunak dan abses perivertebral, dibandingkan dengan tumor ganas.3,6

Pada pemeriksaan MRI, temuan perbedaan antara spondilitis TB dengan spondilitis piogenik
dapat dibedakan pada faktor berikut:6

Variabel Spondilitis Piogenik Spondilitis TB

Abses paraspinal / intraspinal Tidak ada Ada

Dinding abses Tebal dan iregular Tipis dan licin

Post-contrast paraspinal abnormal Sulit terlihat Mudah terlihat


signal margin
Abses dengan postcontrast rim Abses diskus Abses intraoseus
enhancement vertebra

Pola enhancement korpus vertebra homogen Heterogeny dan focal

Keterlibatan korpus vertebra <2 korpus vertebra Multiple

Regio umum Lumbalis Torakalis

Derajat kerusakan diskus Destruksi menengah Normal hingga


ke total kerusakan ringan

Bony destruction yang lebih dari 50% Jarang terjadi, mild – Sering terjadi, severe
moderate

Tatalaksana

Sangat penting untuk mengklasifikasikan penyakit TB tulang belakang menjadi


penyakit yang rumit dan tidak rumit, berdasarkan presentasi mereka. Sementara TB tulang
belakang tanpa komplikasi pada dasarnya adalah penyakit medis; pasien tulang belakang TB
pada tingkat lanjut memerlukan intervensi bedah selain kemoterapi.2,3,6

Kemoterapi

Pengobatan utama pada TB tulang belakang adalah kemoterapi (pengobatan


antitubercular / Anti-Tubercular Treatment [ATT]). Basil tuberkel ada dalam bentuk
intraseluler atau ekstraseluler, atau sebagai bentuk dorman, atau berkembang biak dengan
cepat. Oleh karena itu, pengobatan multi-durg sangat penting untuk menyerang basil dalam
berbagai tahap atau bentuk dan mengurangi kejadian resistensi obat. Durasi (6, 9, 12, atau 18
bulan) dan frekuensi pemberian ATT masih diteliti lebih lanjut. WHO merekomendasikan 6
bulan terapi anti-TB yang bersifat multi-drug, termasuk 2 bulan pengobatan empat atau lima
obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan/atau streptomisin) yang merupakan
fase inisiasi, diikuti oleh 4 bulan lanjutan terapi fase dengan rejimen dua obat termasuk
isoniazid dan rifampisin. American Thoracic Spine Society merekomendasikan rejimen yang
melibatkan 9 bulan pengobatan dengan obat yang sama (fase lanjutan yang diperpanjang untuk
jangka waktu 7 bulan). Canadian Thoracic Society merekomendasikan pengobatan untuk
durasi 9 sampai 12 bulan. Obat anti-TB lini kedua lainnya termasuk kanamisin, kapreomisin,
pirazinamid, amikasin, antara lain biasanya diindikasikan ketika ada resistensi atau toleransi
yang buruk terhadap obat lini pertama. Sebuah meta-analisis yang dilaksanakan belum
menunjukkan perbedaan antara pengobatan yang diberikan sendiri dan pengobatan yang
diamati secara langsung (Directly Observed Therapy, Short-Course [DOTS]); namun WHO
terus merekomendasikan Terapi DOTS untuk hasil yang optimal.2,5

Manajemen Bedah

Secara tradisional, TB diobati dengan debridement radikal melalui pendekatan anterior.


Namun, setelah hasil yang sukses dengan kemoterapi multidrug dan observasi, sebuah
penelitian memperkenalkan konsep "rejimen jalan tengah" dalam pengobatan tuberkulosis.
Rejimen ini merekomendasikan manajemen medis pada semua pasien, bersama dengan
manajemen bedah diperlukan dalam situasi berikut:2,6

 Kurangnya respons terhadap kemoterapi


 Penyakit berulang
 Kelemahan neurologis yang parah
 Defisit neuro statis atau progresif meskipun ada ATT
 Deformitas
 Rasa sakit yang melumpuhkan
 Instability

Tujuan intervensi bedah termasuk drainase abses, debridement jaringan yang terinfeksi,
stabilisasi vertebra dan koreksi deformitas. Basil tuberkel tidak menghasilkan biofilm apapun
dan oleh karena itu, infeksi tuberkulosis dapat distabilkan dengan implan. Prosedur bedah
biasanya melibatkan debridement dan fusi (berinstrumen atau tidak) melalui pendekatan
anterior, posterior atau gabungan. Abses dapat dikeringkan melalui pendekatan invasif
minimal atau terbuka.2

Prognosis

Clinico-Radiological Staging of Pott Spine (Prognostic Staging)


1. Tahap predestruktif; pelurusan kelengkungan, spasme otot perivertebral, hiperemia
pada scintiscan (Durasi kurang dari 3 bulan)
2. Tahap destruktif awal; pengurangan ruang diskus dan erosi paradiscal, knuckle kurang
dari 10 derajat, MRI menunjukkan edema sumsum, dan CT menunjukkan erosi atau
kavitasi (Durasi 2 - 4 bulan)
3. Kifosis sudut ringan; 2 sampai 3 vertebra yang terlibat dan kyphosis 10 - 30 derajat
(Durasi 3 - 9 bulan)
4. Kifosis sudut sedang; 2 hingga 3 vertebra yang terlibat dan kyphosis 30 hingga 60
derajat (Durasi 6 - 24 bulan)
5. Kifosis sudut parah; lebih dari 3 vertebra yang terlibat dan kyphosis lebih besar dari 60
derajat (Durasi lebih dari 24 bulan)

Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting dalam memastikan hasil yang baik pada tulang
belakang Pott.2,4

Secara umum, penyakit tulang belakang tuberkulosis yang komplikata (dengan deformitas
terkait, ketidakstabilan atau defisit neuro) memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan penyakit yang tidak rumit. Faktor prognostik penting lainnya termasuk usia (hasil yang
lebih buruk pada usia ekstrem), defisiensi imun (HIV, alkohol, penyalahgunaan obat),
kepadatan penduduk, malnutrisi, kemiskinan, dan situasi sosial ekonomi yang lebih rendah.
Kepatuhan yang buruk dan toleransi yang buruk terhadap ATT (termasuk gangguan fungsi
hati) merupakan faktor utama kegagalan obat pada TB.4

Kesimpulan

Pott Disease, juga dikenal sebagai spondilitis tuberkulosis, adalah komplikasi klasik
tuberkulosis ekstrapulmoner (TB). Hal ini terkait dengan morbiditas yang signifikan dan dapat
menyebabkan gangguan fungsional yang parah. Sejak munculnya obat antituberkulosis dan
perbaikan manajemen kesehatan masyarakat, tuberkulosis tulang belakang telah menjadi
langka di negara-negara maju, meskipun masih merupakan penyakit yang sering ditemukan di
negara berkembang. Tuberkulosis tulang belakang berpotensi menyebabkan morbiditas yang
serius, termasuk defisit neurologis permanen dan deformitas derajat tinggi. Perawatan medis
disertai kombinasi strategi tatalaksana obat dan bedah dapat mengendalikan penyakit pada
sebagian besar pasien.
Daftar Pustaka

1. Jose A Hidalgo, M. D. (2021, August 23). Pott disease (tuberculous [TB] spondylitis).
Background, Pathophysiology, Epidemiology. Retrieved November 9, 2021, from
https://emedicine.medscape.com/article/226141-overview.
2. Viswanathan VK, Subramanian S. Pott Disease. [Updated 2021 Aug 19]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538331/
3. Moorthy, S., &amp; Prabhu, N. K. (2020). Spectrum of MR imaging findings in Spinal
tuberculosis. American Journal of Roentgenology, 179(4), 979–983.
https://doi.org/10.2214/ajr.179.4.1790979
4. Rivas-Garcia A, Sarria-Estrada S, Torrents-Odin C, Casas-Gomila L, Franquet E.
Imaging findings of Pott's disease. Eur Spine J. 2013;22 Suppl 4(Suppl 4):567-578.
doi:10.1007/s00586-012-2333-9
5. Jung, N.-Y., Jee, W.-H., Ha, K.-Y., Park, C.-K., &amp; Byun, J.-Y. (2004).
Discrimination of tuberculous spondylitis from pyogenic spondylitis on MRI.
American Journal of Roentgenology, 182(6), 1405–1410.
https://doi.org/10.2214/ajr.182.6.1821405
6. Salam, H., El-Feky, M. Tuberculous spondylitis. Reference article, Radiopaedia.org.
(accessed on 08 Nov 2021) https://radiopaedia.org/articles/8759
7. Evayanti, L. G., Kalanjati, V. P., &amp; Machin, A. (2018). A rare widespread
tuberculous spondylitis extended from the T5-T10 Levels – A case report. IOP
Conference Series: Materials Science and Engineering, 434, 012323.
https://doi.org/10.1088/1757-899x/434/1/012323

Anda mungkin juga menyukai