Pembimbing :
dr. Komala, Sp.Rad
Disusun oleh :
Ni Luh Pricilia Sari Sudharsana (112021136)
IDENTITAS PASIEN
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sebelumnya pasien merasakan ada benjolan pada tulang belakang yang dialaminya
pada bulan februari 2021, benjolan tersebut menetap dan tidak berubah pada posisi tidur
maupun beraktivitas, benjolan yang dirasakan pasien keras dan nyeri, namun nyeri tersebut
lama-kelamaan mulai menghilang pada bulan januari 2022. Pada bulan februari 2022 pasien
mulai merasakan nyeri di daerah perut kiri, dan pada bulan mei 2022 nyeri yang dirasakan
menjalar dari perut kiri sampai pada paha kiri. Nyeri yang dirasakan seperti tertusuk, nyeri
lebih berat dengan aktivitas dan lebih ringan pada saat istirahat. Berat badan dirasakan mulai
menurun perlahan-lahan sejak bulan februari 2021.
± 1 bulan SMRS, os berobat ke RSUD Koja dengan keluhan demam hilang timbul,
disertai keringat banyak pada malam harinya. mual (+), muntah (+), nafsu makan dan minum
baik, BAK dan BAB lancar. Kemudian os didiagnosa TB dan sudah mengkonsumsi OAT
selama 18 hari. 2 minggu SMRS Os datang ke RSUD Koja dengan keluhan nyeri pada
punggung hingga pinggang memberat sejak ± 2 minggu SMRS, yang kejadiannya mendadak
pada saat berbaring. Keluhan disertai lemas, nafsu makan menurun, tidak dapat beraktifitas
seperti biasanya. Riwayat batuk lama (+), penurunan BB (+).
Riwayat Keluarga
ANAMNESIS SISTEM
Catat keluhan tambahan positif disamping judul – judul yang bersangkutan
Harap diisi: Bila ya (+), bila tidak (-).
Kulit
( - ) Bisul ( - ) Rambut ( + ) Keringat malam
( - ) Kuku ( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Sianosis
( - ) Lain - lain
Kepala
( - ) Trauma ( - ) Sakit kepala
( - ) Sinkop ( - ) Pusing
Mata
( - ) Nyeri ( - ) Radang
( - ) Sekret ( - ) Gangguan penglihatan
( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Ketajaman penglihatan
Telinga
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan pendengaran
( - ) Sekret ( - ) Kehilangan pendengaran
( - ) Tinitus
Hidung
( - ) Trauma ( - ) Gejala penyumbatan
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan penciuman
( - ) Sekret ( - ) Pilek
( - ) Epistaksis
Mulut
( - ) Bibir ( - ) Lidah
( - ) Gusi ( - ) Gangguan pengecap
( - ) Selaput ( - ) Stomatisis
Tenggorokan
( - ) Nyeri tenggorokan ( - ) Perubahan suara
Leher
( - ) Benjolan ( - ) Nyeri leher
Dada ( Jantung / Paru – paru)
( - ) Nyeri dada ( - ) Sesak napas
( - ) Berdebar ( - ) Batuk darah
( - ) Ortopnoe ( + ) Batuk kadang-kadang
Abdomen (Lambung/ Usus)
( - ) Rasa Penuh ( - ) Wasir
( - ) Mual ( - ) Mencret
( - ) Muntah ( - ) Tinja darah
( - ) Muntah darah ( - ) Tinja berwarna dempul
( - ) Sukar menelan ( - ) Tinja berwarna ter
( + ) Nyeri LLQ ( - ) Benjolan
( - ) Perut membesar
Saluran kemih / Alat kelamin
( - ) Disuria ( - ) Kencing nanah
( - ) Stranguri ( - ) Kolik
( - ) Polliuria ( - ) Oliguria
( - ) Polakisuria ( - ) Anuria
( - ) Hematuria ( - ) Retensi urin
( - ) Kencing batu ( - ) Kencing menetes
( - ) Ngompol (tidak disadari) ( - ) Penyakit prostat
BERAT BADAN
Berat badan rata-rata (Kg) : 60,5 kg
Berat tertinggi kapan (Kg) : 68 kg (tahun lalu)
Berat badan sekarang (Kg) : 53 kg
Tinggi badan : 165 cm
Turun (+)
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat lahir : ( - ) Di rumah ( - ) Rumah Bersalin ( - ) R.S. Bersalin
Ditolong oleh : ( - ) Dokter (+) Bidan ( - ) Dukun ( - ) lain - lain
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP ( ) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan ( ) Akademi
(+) D3 ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan : Tidak ada
Pekerjaan : Tidak ada
Keluarga : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
A. PEMERIKSAAN JASMANI
Tanggal : 24/10/2022 Jam : 11.00
Pemeriksaan umum
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 53 kg
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/80mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,0°C
Pernapasan (Frekuensi dan tipe) : 20x/menit
Keadaan gizi : 19,48 (normal/gizi baik)
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Habitus : -
Cara berjalan : dapat berjalan
Mobilisasi (Aktif / Pasif) : aktif
Umur menurut perkiraan pemeriksa : sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : wajar
Alam perasaan : biasa
Proses pikir : bagus
Kulit
Warna : Sawomatang Effloresensi : Tidak ada
Jaringan parut : Tidak ada Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : merata Pembuluh darah : Teraba
Suhu raba : normal Lembab / kering : Lembab
Keringat : umum Turgor : Kembali cepat
Ikterus : Tidak ada Lapisan lemak :-
Edema : Tidak ada
Kepala
Ekspresi wajah : Kesakitan Sedang Simetri muka : simetris
Rambut : hitam merata Nyeri tekan sinus paranasal : tidak ada
Mata
Exophthalmus : Tidak ada Enopthalmus : Tidak ada
Kelopak : Edema (-) Lensa : Jernih
Konjungtiva : Anemis (-) Visus : Tidak dilakukan
Sklera : Ikterik (-) Gerakan mata :-
Lapangan penglihatan : Tidak dilakukan Tekanan bola mata : Tidak dilakukan
Deviatio konjugae : Tidak ada Nystagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : Tidak dilakukan Selaput pendengaran : Tidak dilakukan
Lubang : Tidak dilakukan Penyumbatan : Tidak dilakukan
Serumen : Tidak dilakukan Perdarahan : Tidak dilakukan
Cairan : Tidak dilakukan
Mulut
Bibir : Normal Tonsil : Tidak dilakukan
Langit-langit : Normal Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Utuh Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak kotor
Leher
Tekanan vena Jugularis (JVP) :-
Kelenjar tiroid : Tidak dilakukan
Kelenjar limfe : Tidak dilakukan
Dada
Bentuk : Simetris, sela iga normal
Pembuluh darah : Tidak ada kelainan
Buah dada : Tidak ada kelainan
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Ictus cordis teraba pada sela iga ke-4, 2 jari lateral line midklavikularis
Palpasi
sinistra, ukuran 1 cm x 1 cm, kuat angkat.
Batas kanan : sela iga ke-4 linea parasternalis kanan
Perkusi Batas atas : sela iga ke-2 linea sternalis kiri
Batas kiri : sela iga ke-5, linea axilaris anterior kiri
Auskultasi BJ I-II normal, murni, reguler, murmur (-), gallop Mitral (-)
Paru – Paru
Depan Belakang
Kanan Pernapasan simetris saat statis Pernapasan simetris saat statis dan
dan dinamis, tidak ada retraksi dinamis, tidak ada retraksi sela iga,
sela iga, lesi (-), massa (-). lesi (-), massa (-).
Inspeksi
Kiri Pernapasan simetris saat statis Pernapasan simetris saat statis dan
dan dinamis, tidak ada retraksi dinamis, tidak ada retraksi sela iga,
sela iga, lesi (-), massa (-). lesi (-), massa (-).
Kanan Fremitus taktil simetris, nyeri Fremitus taktil simetris, nyeri tekan
tekan (-), massa (-), pernapasan (-), massa (-), pernapasan simetris
simetris saat statis dan dinamis, saat statis dan dinamis, tidak ada
tidak ada retraksi sela iga. retraksi sela iga.
Palpasi
Kiri Fremitus taktil simetris, nyeri Fremitus taktil simetris, nyeri tekan
tekan (-), massa (-), pernapasan (-), massa (-), pernapasan simetris
simetris saat statis dan dinamis, saat statis dan dinamis, tidak ada
tidak ada retraksi sela iga. retraksi sela iga.
Kanan Sonor diseluruh lapang paru. Sonor diseluruh lapang paru.
Perkusi
Kiri Sonor diseluruh lapang paru. Sonor diseluruh lapang paru.
Kanan Suara nafas vesikular, Suara nafas vesikular, wheezing (-),
wheezing (-), ronki (-). ronki (-).
Auskultasi
Kiri Suara nafas vesikular, Suara nafas vesikular, wheezing (-),
wheezing (-), ronki (-). ronki (-).
Pembuluh darah
Arteri Temporalis : Tidak dilakukan
Arteri Karotis : Tidak dilakukan
Arteri Brakialis : Tidak dilakukan
Arteri Radialis : Tidak dilakukan
Arteri Femoralis : Tidak dilakukan
Arteri Poplitea : Tidak dilakukan
Arteri Tibialis Posterior : Tidak dilakukan
Arteri Dorsalis Pedis : Tidak dilakukan
Perut
Inspeksi : perut datar, pelebaran vena (-)
Punggung
Inspeksi : tampak penonjolan pada tulang vertebra, bentuk kifosis.
Palpasi : teraba benjolan, konsistensi keras, tepi tumpul, nyeri tekan (+), ukuran 8-10
cm pada vertebral lumbal
Anggota gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot :
Tonus : Normal Normal
Massa : Tidak ada Tidak ada
Sendi : Normal Normal
Gerakan : Normal Normal
Kekuatan : +5 +5
Lain-lain : Tidak ada Tidak ada
Resume
Seorang laki-laki berusia 31 tahun datang ke IGD RSUD Koja pada tanggal 19 Oktober
2022 dengan keluhan nyeri pada punggung hingga pinggang memberat sejak ± 2 minggu
SMRS, yang kejadiannya mendadak pada saat berbaring. Keluhan disertai lemas, nafsu makan
menurun, tidak dapat beraktifitas seperti biasanya. Riwayat batuk lama (+), penurunan BB (+).
Sebelumnya pada tahun 2021, os memiliki riwayat adanya benjolan pada tulang belakang,
benjolan tersebut menetap dan tidak berubah pada posisi tidur maupun beraktivitas, benjolan
keras dan nyeri. Pada bulan februari 2022 os mulai merasakan nyeri di daerah perut kiri, seperti
tertusuk, nyeri lebih berat saat aktifitas. ± 1 bulan SMRS, os didiagnosa TB dan sudah
mengkonsumsi OAT selama 18 hari.
Hasil pemeriksaan fisik didapati nyeri LLQ (+), pada punggung tampak penonjolan
pada tulang vertebra, bentuk kifosis, konsistensi keras, tepi tumpul, nyeri tekan (+), ukuran 8-
10 cm pada vertebral lumbal. Hasil pemeriksaan penunjang didapati kalium 3.47 mEq/L. Hasil
pemeriksaan radiologi 1) pemeriksaan CT scan vertebra torakolumbal dengan kontras iodine
water-soluble secara intravena : Destruksi vertebra T6 hingga L1 (terutama T10 - T12 dengan
deformitas kifotik) disertai abses paravertebra T6 - T12 dan di m. iliopsoas kiri, suggestive
spondylitis TBC.
2) USG Abdomen : Lesi hypoechoic batas tegas tepi regular ukuran 11,3cm x 6,33cm x 4,95cm
dengan tak tampak vascularisasi intralesi menempel dengan muskulus psoas kiri dapat
merupakan gambaran massa muskulus psoas kiri suggestive TB.
Diagnosis kerja
Suggestive Spondilitis TB
Dasar diagnosis:
Pada klinis os, os merasa nyeri pada punggung hingga pinggang memberat. Os sedang
dalam pengobatan TB. Adanya penurunan berat badan, riwayat demam hilang-timbul, keringat
dingin dan batuk lama (+). Pada pemeriksaan fisik didapati nyeri LLQ (+), pada punggung
tampak penonjolan pada tulang vertebra, bentuk kifosis, konsistensi keras, tepi tumpul, nyeri
tekan (+), ukuran 8-10 cm pada vertebral lumbal. Pada pemeriksaan CT scan vertebra
torakolumbal dengan kontras iodine water-soluble secara intravena : Destruksi vertebra T6
hingga L1 (terutama T10 - T12 dengan deformitas kifotik) disertai abses paravertebra T6 - T12
dan di m. iliopsoas kiri, suggestive spondylitis TBC. 2) USG Abdomen : Lesi hypoechoic
batas tegas tepi regular ukuran 11,3cm x 6,33cm x 4,95cm dengan tak tampak vascularisasi
intralesi menempel dengan muskulus psoas kiri dapat merupakan gambaran massa muskulus
psoas kiri suggestive TB.
Diagnosis Banding
1. Spondilitis Piogenik
Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa
dengan spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa pemeriksaan
penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, Streptococcus, dan Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih
sering menyerang usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun. Hingga saat ini, prevalensi
spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan antibiotik,
tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak, jumlah kasus baru spondilitis TB
semakin berkurang dengan penggunaan OAT. Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang
lebih akut dengan gejala yang hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan
lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering menyerang
vertebra torakolumbal lebih dari satu vertebra.
Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah leukosit, dan hitung jenis
dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna
dibandingkan peningkatan LED, meskipun pada beberapa kasus dapat normal. Telah dilakukan
studi untuk membedakan kedua penyakit melalui MRI. Jung dkk menjabarkan beberapa
perbedaan temuan MRI secara rinci yang mengarahkan pada infeksi TB: 1) sinyal abnormal
paraspinal berbatas tegas. 2) dinding abses tipis dan halus. 3) adanya abses paraspinal dan
intraoseus. 4) penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra. 5) keterlibatan vertebra torakal. 6)
lesi multipel. Bila ada temuan radiologis selain yang disebutkan di atas, tampaknya diagnosis
infeksi piogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada dkk menambahkan bahwa adanya
sinyal abnormal pada sendi faset merupakan karakteristik infeksi piogenik. Kultur dan
pewarnaan Gram spesimen tulang yang diambil melalui biopsi perkutan/terbuka dapat
memastikan diagnosis, namun tindakan ini termasuk tindakan invasif.
Gambaran yang paling jelas membedakan spondilitis tuberkulosa dari piogenik adalah
relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis. Mycobacteria tidak memiliki enzim proteolitik
yang diumpai pada bakteri yang umumnya menyebabkan osteomielitis piogenik. Spondilitis
tuberkulosa juga dapat dibedakan dari ciri abses paravertebral. Beberapa penulis meyakini
bahwa semakin besar abses yang terbentuk, semakin besar kecenderungan bahwa tuberkulosa
adalah penyebabnya. Dinding abses tebal dan tampak enhancing secara ireguler pada gambaran
MRI, dan gambaran ini dianggap diagnostik untuk spondilitis tuberkulosa.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan foto polos, pada proses awal dapat ditemukan
gambaran dari penyempitan celah diskus. Hal ini disebabkan oleh karena penghancuran diskus
oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh bakteri dan diikuti dengan tepi end – plate yang
ireguler dari tulang yang hancur. Kerusakan tulang terus berlanjut seiring dengan perjalanan
penyakit. Pada minggu ke 8 – 12, tampak kerusakan tulang, berupa kolaps dari korpus vertebra
yang seringkali menyebabkan terjadinya kifosis. Adanya abses paraspinal dicurigai dari
gambaran bayangan jaringan lunak yang abnormal. Selain itu, pada kerusakan yang kronis,
dapat ditemui gambaran osteofit, pembentukan sclerosis, dan ankilosis, serta kifosis.
b. Gambaran MRI
Paraspinal abses pada spondylitis pyogenic memberikan gambaran dinding abses yang
tebal dan irregular. Hal ini dibedakan dengan paraspinal abses pada tuberculosa spondylitis
yang memiliki dinding abses yang tipis dan regular. Selain itu, gambaran kerusakan korpus
vertebra juga lebih banyak pada gambaran MRI tuberculosa spondylitis dibandingkan dengan
spondylitis pyogenic.
Mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang belakang yang mengakibatkan
kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor metastasik spinal pada usia di atas 50
tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu torakal, lumbar dan servikal. Neoplasma
dengan kecenderungan bermetastasis ke medula spinalis meliputi tumor payudara, prostat,
paru, limfoma, sarkoma, dan mieloma multipel. Metastasis keganasan saluran cerna dan rongga
pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan mamae lebih
sering melibatkan vertebra torakal. Lesi metastatik akibat malignansi sistemik merupakan
kelainan yang harus dibedakan dari spondilitis tuberkulosa. Metastatik memiliki ciri tidak
mengenai diskus, seperti halnya spondilitis tuberkulosa. Bahkan karena spondilitis tuberkulosa
juga tidak mengenai celah diskus dan dapat mengenai vertebra multipel, gambarannya dapat
disalahartikan sebagai metastatik malignansi. Faktor yang menunjukkan dan membedakan
spondilitis tuberkulosa dari neoplastik adalah adanya abses paravertebral dan penyebaran
subligamentosa. Walapun jarang, spondilitis fungal sulit dibedakan dengan spondilitis
tuberkulosa berdasarkan gambaran imejing dan gambaran klinis. Gambaran klinisnya mirip
dan mencakup relatif tidak terkenanya diskus dan lesi paravertebral. Tidak mungkin
menegakkan diagnosis tanpa melakukan prosedur biosi dengan panduan CT scan untuk
evaluasi histopatologis.
1. IVFD RL 20 tpm
2. Lanjutkan terapi OAT :
- Rifampicin tab 450mg (1x1)
- Isoniazid tab 300mg (1x1)
- Etambutol tab 500 mg (1x2)
- Pirazinamid tab 500 mg (1x2)
3. Inj. Metamizole 500 mg (k/p)
4. B complex tab (3x1)
Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad
Quo ad Functionam : Dubia ad
Quo ad Sanactionam : Dubia ad
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Spondilitis tuberculosis atau yang dikenal juga sebagai Pott’s Disease merupakan salah
satu presentasi umum pada tuberculosis ekstrapulmoner, yang terasosiasi secara signifikan
dengan morbiditas dan bisa berkomplikasi menjadi kelumpuhan fungsional yang parah.
Diagnosis dari spondylitis TB sangat umum menjadi terlambat dikarenakan oleh manifestasi
klinis awal yang non-spesifik atau kecurigaan derajat rendah. Pendekatan diagnosis harus
didasari dengan adanya nyeri kronis atau deformitas, pertimbangan epidemiologis, pencitraan
radiologis, dan presedur yang adekuat untuk mendapatkan sampel secara bacterial, patologis,
atau hingga molecular yang dapat menegakan adanya diagnosis TB spondilitis.1,2
TB Spondilitis atau Pott’s disease menjadi salah satu penyakit tertua yang
terdemonstrasi di sejarah manusia, dengan pertama kali terdokumentasi pada peninggalan
tulang belakang pada Iron Age di Eropa, preservasi mumi pada zaman Mesir kuno, dan pesisir
Pasifik di Amerika Selatan. Pada tahun 1779, Percivall Pott yang pertama kali mendeskripsikan
tuberculosis tulang belakang yang dideskripsikan sebagai deformitasi kifosis dan adanya
temuan defisit neurologis, yang dimana namanya dijadikan sebagai rujukan diagnosis pada
penyakit TB pada tulang belakang.1,2
Epidemiologi
Secara global, TB ekstrapulomonal mewakili 14% dari 6,4 juta kasus TB yang
dilaporkan pada tahun 2017, berentang dari 8% di wilayah Pasifik Barat hingga 24% di wilayah
Mediterania Timur. Frekuensi relatif global dari presentasi TB yang berbeda tidak lebih rinci
daripada paru/ekstrapulmoner. Di Amerika Serikat, proporsi kasus luar paru pada tahun 2017
adalah 20,8% (1.887 kasus). Dari jumlah tersebut, keterlibatan tulang dan sendi adalah yang
paling umum ketiga, terdiri dari 9,8% kasus, setelah penyakit limfatik dan pleura.1
Laporan WHO pada tahun 2013 memperkirakan bahwa ada 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012
dan di mana 1,1 juta orang (13%) adalah pasien dengan positif human immunodeficiency virus
(HIV). Prevalensi Tuberkulosis BTA positif di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 257 per
100.000 penduduk berusia 15 tahun ke atas. Pada tahun 2016, kejadian TB mencapai 391 per
100.000 penduduk. 20% pasien TB paru akan menyebar ke TB ekstra paru. 11% TB ekstraparu
adalah TB osteoartikular, di mana setengah dari kasus TB osteoartikular adalah TS.7
Etiologi
Infeksi menghasilkan reaksi inflamasi granulomatosa, yang biasanya ditandai dengan nekrosis
kaseosa, limfosit, sel epiteloid, dan sel raksasa tipe Langhans.3
Beberapa faktor risiko yang diketahui untuk TB termasuk kontak yang terlalu lama dengan
pasien yang terinfeksi, imunodefisiensi (HIV, alkohol, penyalahgunaan obat), kepadatan
penduduk, malnutrisi, kemiskinan, dan situasi sosial ekonomi yang lebih rendah.2,3
Patofisiologi
Kerusakan tulang yang progresif dapat menyebabkan kolaps vertebra dan kyphosis. Kanalis
spinalis dapat menyempit oleh abses, jaringan granulasi, atau invasi dural langsung yang
menyebabkan kompresi pada medula spinalis dan terjadi adanya defisit neurologis.2
Deformitas kyphotic disebabkan oleh adanya kolaps pada tulang belakang bagian anterior. Lesi
yang berada di tulang belakang torakal lebih mungkin menyebabkan kyphosis daripada di
tulang belakang bagian lumbar. Abses dapat terjadi jika infeksi meluas ke ligamen dan jaringan
lunak yang berdekatan. Abses di daerah lumbal dapat turun ke bawah selubung psoas ke daerah
trigonum femoralis dan akhirnya mengikis ke dalam kulit.2,4
Manifestasi Klinis
Cold Abscess
Abses ini biasanya tidak memiliki semua tanda inflamasi yang terlihat pada abses. Di
tulang belakang bagian leher, abses ini dapat bermanifestasi di ruang retrofaring, segitiga
anterior atau posterior leher, atau aksila. Di tulang belakang toraks dapat muncul sebagai abses
pravertebral atau paravertebral; atau di atas dinding dada. Di tulang belakang lumbar, mereka
dapat melacak di sepanjang otot psoas, Petit’s triangle, Scarpa’s triangle, atau daerah gluteal.2
Deformitas
Defisit Neurologis
Defisit neurologis dapat terjadi baik pada tahap aktif penyakit (sekunder akibat kompresi dari
abses, jaringan inflamasi, sequestrum atau instabilitas tulang belakang) atau selama tahap
penyembuhan (biasanya sekunder akibat traksi mekanis pada gibbus internal atau instabilitas
tulang belakang).2,3
Kompresi awal pada TB adalah sekunder dari kolaps korpus vertebra, yang menyebabkan
keterlibatan traktus spinalis anterior (refleks tendon dalam yang berlebihan dan tanda Babinski,
perkembangan lebih lanjut menjadi defisit motorik tipe Upper-Motor Neuron). Selanjutnya,
traktus spinalis lateral terlibat secara progresif (dengan hilangnya sentuhan kasar, nyeri, dan
suhu); diikuti oleh defisit kolumna posterior (gangguan sfingter dan kehilangan sensorik total).
Skor Frankel, dan ASIA yang awalnya dikembangkan untuk mengklasifikasikan defisit
neurologis pada cedera tulang belakang akut juga dapat digunakan untuk mengklasifikasikan
defisiensi neurologis pada tuberkulosis tulang belakang. Klasifikasi Tuli yang dimodifikasi
adalah klasifikasi yang paling berguna dari paraplegia Pott dengan keterlibatan sumsum tulang
belakang. Ada lima tahap paraplegia Pott:2
Meskipun sebagian besar defisit neurologis akan masuk ke dalam klasifikasi ini, defisit neuro
pada granuloma intraspinal, cauda equina, atau sindrom conus medullaris atau TB lokasi
atipikal lainnya mungkin tidak sesuai dengan salah satu tahapan yang disebutkan di atas.3
Pemeriksaan Penunjang
Standar emas dalam diagnosis tuberkulosis adalah kultur Mycobacterium, namun, basil TB
mempunyai sifat fastidious, dan satu-satunya acuan pada kultur dengan hasil positif untuk
diagnosis dapat dikaitkan dengan sensitivitas yang buruk.4
Gambaran Pencitraan
Radiografi polos (sensitivitas 15%): Tahap awal (penghancuran tulang belakang kurang dari
30%) tidak mempunyai banyak berperan terhadap diagnosis. Tahap selanjutnya (di atas 30%
destruksi vertebra) dapat muncul dengan pengurangan ruang diskus, penipisan endplate,
destruksi korpus vertebra, instability, dan deformitas tulang belakang. Rontgen dada juga
merupakan pemeriksaan penting, karena hingga sepertiga dari pasien dengan TB tulang
belakang ini juga dapat memiliki penyakit paru yang menyertai.1,2
Gambar 1. Xray oblique yang menunjukkan perubahan erosive pada korpus verebra 3
Computed tomography (CT) (sensitivitas 100%): Dapat membantu dalam diagnosis pada tahap
yang jauh lebih awal daripada x-ray biasa. Jenis lesi destruktif vertebra oleh CT pada TB tulang
belakang termasuk sklerosis fragmentaris, osteolitik, subperiosteal, dan lokal. CT scan juga
dapat membantu dalam biopsi yang dipandu untuk menegakkan diagnosis.3
Gambar 2. Tampak Axial pemeriksaan CT menunjukkan adanya erosi destruktif pada korpus vertebra
Gambar 3. A: CT Axial menunjukkan fragmentary bone pattern, B: abses jaringan lunak besar pada paraspinal
yang menunjukkan kalsifikasi awal
Gambar 4. Temuan radiografi atipikal. A: TB Multilevel menunjukkan sklerosis tulang luas dalam empat tingkat
dan penyakit infeksi intrasomatik L4 tanpa keterlibatan diskus. B: Pola tulang permeatif melibatkan sendi
costotransverse dan jaringan lunak yang berdekatan
Magnetic resonance imaging (MRI) (sensitivitas 100% dan spesifisitas 80%): MRI adalah
modalitas yang paling berguna dalam diagnosis TB tulang belakang. MRI paling baik
mendeteksi sejauh mana peningkatan jaringan lunak, lokasi abses dan kompromi kanal tulang
belakang. MRI yang ditingkatkan dengan Gadolinium dapat memberikan informasi tambahan
mengenai diagnosis. Skrining yang melibatkan seluruh tulang belakang juga dapat membantu
dalam mengidentifikasi keterlibatan tulang belakang yang tidak bersebelahan. MRI juga dapat
menilai respons terhadap pengobatan. Temuan MRI yang khas termasuk pengumpulan sub-
ligamen multi-segmen, terjadinya massa atau abses para / pra-vertebral yang jelas dengan
dinding abses yang relatif menebal, ruang diskus yang relatif terhindar sampai tahap penyakit
selanjutnya dan peningkatan heterogen dari tubuh vertebral dapat membantu dalam
membedakan spondylitis tuberkulosis dari infeksi piogenik lainnya.3,5
Gambar 5. Paradiskal pattern. A,B: Pencitraan pembobotan T2 sagital dan STIR menunjukkan sinyal hiperintens
pada korpus vertebra T9, menunjukkan edema sumsum tulang. C,D: Axial T2- dan T1-postcontrast weighted
imaging menunjukkan keterlibatan paradiskal dan infeksi menyebar ke ruang epidural (panah) dengan kompresi
sumsum tulang belakang
Gambar 6. Pola posterior. Pencitraan dengan pembobotan T2 aksial menunjukkan abses dingin besar (tanda
bintang) yang terletak di jaringan lunak dan infeksi tulang terkait yang melibatkan lengkung vertebra dan sendi
costovertebral (panah)
Gambar 7. Infeksi multisegmen. A, B: Sagittal T1-postcontrast weighted dan pencitraan STIR menunjukkan
tanda-tanda infeksi cervical lanjut dengan abses prevertebral yang besar (panah tipis) dan lesi skip awal dengan
peningkatan epidural yang melibatkan level T6 dan T7 (panah tebal). C, D: follow-up MRI 2 bulan kemudian
menunjukkan persistensi peningkatan kontras di badan vertebra serviks dengan resolusi abses prevertebral
Diagnosis
Diagnosis pada spondilitis TB dapat dibandingkan dengan konsiderasi adanya infeksi piogenik
dan jamur, serta adanya neoplastic. Secara umum, metastasis tulang belakang dan keganasan
tulang belakang primer hadir dengan keterlibatan korpus vertebra primer dan adanya ruang
diskus dibandingkan dengan TB dan infeksi lainnya. Tuberkulosis juga muncul dengan
jaringan lunak dan abses perivertebral, dibandingkan dengan tumor ganas.3,6
Pada pemeriksaan MRI, temuan perbedaan antara spondilitis TB dengan spondilitis piogenik
dapat dibedakan pada faktor berikut:6
Bony destruction yang lebih dari 50% Jarang terjadi, mild – Sering terjadi, severe
moderate
Tatalaksana
Kemoterapi
Manajemen Bedah
Tujuan intervensi bedah termasuk drainase abses, debridement jaringan yang terinfeksi,
stabilisasi vertebra dan koreksi deformitas. Basil tuberkel tidak menghasilkan biofilm apapun
dan oleh karena itu, infeksi tuberkulosis dapat distabilkan dengan implan. Prosedur bedah
biasanya melibatkan debridement dan fusi (berinstrumen atau tidak) melalui pendekatan
anterior, posterior atau gabungan. Abses dapat dikeringkan melalui pendekatan invasif
minimal atau terbuka.2
Prognosis
Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting dalam memastikan hasil yang baik pada tulang
belakang Pott.2,4
Secara umum, penyakit tulang belakang tuberkulosis yang komplikata (dengan deformitas
terkait, ketidakstabilan atau defisit neuro) memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan penyakit yang tidak rumit. Faktor prognostik penting lainnya termasuk usia (hasil yang
lebih buruk pada usia ekstrem), defisiensi imun (HIV, alkohol, penyalahgunaan obat),
kepadatan penduduk, malnutrisi, kemiskinan, dan situasi sosial ekonomi yang lebih rendah.
Kepatuhan yang buruk dan toleransi yang buruk terhadap ATT (termasuk gangguan fungsi
hati) merupakan faktor utama kegagalan obat pada TB.4
Kesimpulan
Pott Disease, juga dikenal sebagai spondilitis tuberkulosis, adalah komplikasi klasik
tuberkulosis ekstrapulmoner (TB). Hal ini terkait dengan morbiditas yang signifikan dan dapat
menyebabkan gangguan fungsional yang parah. Sejak munculnya obat antituberkulosis dan
perbaikan manajemen kesehatan masyarakat, tuberkulosis tulang belakang telah menjadi
langka di negara-negara maju, meskipun masih merupakan penyakit yang sering ditemukan di
negara berkembang. Tuberkulosis tulang belakang berpotensi menyebabkan morbiditas yang
serius, termasuk defisit neurologis permanen dan deformitas derajat tinggi. Perawatan medis
disertai kombinasi strategi tatalaksana obat dan bedah dapat mengendalikan penyakit pada
sebagian besar pasien.
Daftar Pustaka
1. Jose A Hidalgo, M. D. (2021, August 23). Pott disease (tuberculous [TB] spondylitis).
Background, Pathophysiology, Epidemiology. Retrieved November 9, 2021, from
https://emedicine.medscape.com/article/226141-overview.
2. Viswanathan VK, Subramanian S. Pott Disease. [Updated 2021 Aug 19]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538331/
3. Moorthy, S., & Prabhu, N. K. (2020). Spectrum of MR imaging findings in Spinal
tuberculosis. American Journal of Roentgenology, 179(4), 979–983.
https://doi.org/10.2214/ajr.179.4.1790979
4. Rivas-Garcia A, Sarria-Estrada S, Torrents-Odin C, Casas-Gomila L, Franquet E.
Imaging findings of Pott's disease. Eur Spine J. 2013;22 Suppl 4(Suppl 4):567-578.
doi:10.1007/s00586-012-2333-9
5. Jung, N.-Y., Jee, W.-H., Ha, K.-Y., Park, C.-K., & Byun, J.-Y. (2004).
Discrimination of tuberculous spondylitis from pyogenic spondylitis on MRI.
American Journal of Roentgenology, 182(6), 1405–1410.
https://doi.org/10.2214/ajr.182.6.1821405
6. Salam, H., El-Feky, M. Tuberculous spondylitis. Reference article, Radiopaedia.org.
(accessed on 08 Nov 2021) https://radiopaedia.org/articles/8759
7. Evayanti, L. G., Kalanjati, V. P., & Machin, A. (2018). A rare widespread
tuberculous spondylitis extended from the T5-T10 Levels – A case report. IOP
Conference Series: Materials Science and Engineering, 434, 012323.
https://doi.org/10.1088/1757-899x/434/1/012323