Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS DAMPAK AGLOMERASI TERHADAP KETIMPANGAN

REGIONAL PULAU JAWA

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Liolyta Damayanti
125020100111038

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ANALISIS DAMPAK AGLOMERASI TERHADAP KETIMPANGAN
REGIONAL PULAU JAWA

Liolyta Damayanti
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas#
Email: liolyta_d@yahoo.co.id

ABSTRAK

Ketimpangan Regional terjadi akibat adanya perbedaan sumberdaya, perbedaan faktor


produksi, dan kebijakan masing-masing daerah. Kegiatan ekonomi yang berbeda di tiap daerah
menimbulkan disparitas laju pertumbuhan ekonomi antar daerah sehingga terjadi pemusatan
konsentrasi industri pada wilayah tertentu membentuk aglomerasi industri. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menganalisis pengaruh aglomerasi industri terhadap ketimpangan regional di
Pulau Jawa. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari 6 Provinsi yaitu Provinsi Banten,
Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DIY, dan Provinsi
Jawa Timur dianalisis menggunakan Indeks Williamson, Indeks Hoover Balassa, dan Regresi Data
Panel dengan pendekatan efek tetap (Fixed Effect Model) dan Dummy Dependent Variable.
Penggunaan dummy wilayah dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat variasi kondisi
ketimpangan regional 6 provinsi di Pulau Jawa selama periode tahun 2009 hingga 2013.
Berdasarkan hasil estimasi Regresi Data Panel, ditemukan bahwa terdapat pengaruh variabel
aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan regional yang terjadi di Pulau Jawa.
Hasil estimasi Regresi Data Panel mengindikasikan adanya peningkatan aglomerasi industri
berdampak positif memperbaiki ketimpangan regional di Pulau Jawa (spread effect). Bentuk
spread effect aglomerasi salah satunya adalah migrasi penduduk ke kota-kota besar (urbanisasi)
dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang terampil dan mengurangi pengangguran di wilayah
belakang.
Dengan demikian, diperlukan adanya perluasan pusat-pusat pembangunan pengembangan
industri manufaktur yang merata pada daerah yang berpotensi meningkatkan daya saing industri.
Dengan menumbuhkan titik-titik konsentrasi baru maka industri baru dapat berkembang dan
terspesialisasi sehingga percepatan aglomerasi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi ketimpangan regional. Selain itu, peran pemerintah dibutuhkan untuk meningkatkan
sarana prasarana di berbagai bidang misalnya pendidikan, kesehatan, sarana transportasi untuk
memudahkan mobilitas masyarakat

Kata Kunci : Aglomerasi Industri, Ketimpangan Regional, Regresi Data Panel

A. PENDAHULUAN

Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-


perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial (Todaro, 2007).
Tujuan dari pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
meningkatkan pendapatan per kapita penduduk dalam jangka panjang dan meningkatkan
produktivitas. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan pertumbuhan
ekonomi (economic growth). Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan
sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Indikator
pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan masalah kemiskinan.
Pembangunan ekonomi wilayah yang berimbang ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang seimbang antar wilayah sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan masing – masing
wilayah. Pertumbuhan ekonomi cepat yang tidak diimbangi dengan pemerataan, akan
menimbulkan ketimpangan wilayah. Ketimpangan wilayah (regional disparity) terlihat dengan
adanya wilayah yang maju dengan wilayah yang terbelakang atau kurang maju. Pertumbuhan
ekonomi enam Provinsi di Pulau Jawa yaitu Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY,
dan Jawa Timur meningkat dari tahun ke tahun dengan skala angka pertumbuhan yang tinggi.
Sedangkan tingkat ketimpangan regional Pulau Jawa yang diidentifikasi menggunakan indeks
Williamson menunjukkan ketimpangan yang semakin tinggi dari tahun ke tahun seiring dengan
adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Gambar 1 Pertumbuhan Ekonomi Pulau Jawa Tahun 2009-2013


8
6
2009
4
2 2010
0 2011
2012
2013

Sumber : BPS, 2009-2013

Gambar 2 Ketimpangan Regional Di Pulau Jawa Tahun 2009-2013 Diidentifikasi


Menggunakan Indeks Williamson
0.950
0.900
0.850
0.800 2009
0.750
0.700
0.650 2010
0.600
0.550 2011
0.500
2012
2013

Sumber : BPS 2009-2013

Pengembangan sektor industri manufaktur yang merata merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pembangunan sektor industri
manufaktur merupakan titik awal pengembangan perekonomian daerah dalam rangka untuk
meningkatkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat maka terjadi pengembangan dan perluasan
sektor industri manufaktur di Pulau Jawa yang dapat dilihat melalui indeks Balassa.

Tabel 1 Aglomerasi Pulau Jawa Tahun 2009-2013 diindetifikasi menggunakan Indeks


Balassa
INDEKS BALASSA
WILAYAH
2009 2010 2011 2012 2013
BANTEN 1,6466 1,75792 1,98868 1,91705 1,82873
JAWA BARAT 1,33223 1,77462 1,85816 1,87018 1,82092
DKI JAKARTA 1,49459 1,83653 1,92234 1,89396 1,77571
JAWA TENGAH 1,43415 1,63968 1,70343 1,80128 1,64943
DI YOGYAKARTA 1,13275 1,28984 1,34346 1,3887 1,41197
JAWA TIMUR 1,49169 1,95529 2,10527 2,13217 1,9458
Sumber : BPS 2009-2013
Peningkatan nilai Indeks Hoover Balassa untuk suatu daerah-industri menunjukkan
peningkatan spesialisasi industri dalam daerah tersebut. Sebaliknya, penurunan nilai indeks untuk
suatu daerah industri menunjukkan penurunan spesialisasi industri pada daerah tersebut.
Spesialisasi yang tinggi pada suatu industri di daerah tertentu dapat mempercepat pertumbuhan
industri di wilayah tersebut.
Pemusatan kegiatan ekonomi akan memberikan dampak kepada wilayah dimana aktivitas
perekonomian itu berlangsung, maupun kepada wilayah–wilayah sekitar yang terkena imbasnya.
Pengaruh atau dampak tersebut terjadi secara langsung dan tidak langsung serta dapat berupa
dampak positif yang membawa keuntungan–keuntungan yang mendorong pertumbuhan ekonomi
wilayah maupun dampak negatif yang menimbulkan biaya dan atau kerugian sosial juga berupa
ketimpangan antar wilayah. Aglomerasi industri dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh
pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan regional yang terjadi.
Berdasarkan data dan uraian mengenai potensi adanya pengaruh aglomerasi industri
manufaktur terhadap hubungan pertumbuhan dan ketimpangan regional di Pulau Jawa maka
penelitian ini bermaksud untuk menganalisa pengaruh yang dapat ditimbulkan dari adanya
aglomerasi industri terhadap ketimpangan regional.

B. KAJIAN TEORI
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara
berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan
ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian
yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi
merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Menurut Richardson dalam J
Singgalinging (2008) aglomerasi menyebabkan efisiensi produksi perusahaan yang selanjutnya
akan berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan teori Harrod
Dhomar yang menyatakan bahwa pembentukan modal meningkatkan produktivitas maka
aglomerasi industri di derah terpusat mempercepat akumulasi modal menyebabkan efisiensi
produktivitas yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Aglomerasi industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan perekonomian,
karena menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di
daerah tersebut akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya. Di samping itu pola
pemusatan, dimana terdapat kumpulan berbagai jenis industri pada suatu tempat tertentu, sehingga
mengakibatkan timbulnya keuntungan eksternal yang dalam hal ini adalah penghematan
aglomerasi. Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki
fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan
berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di daerah tersebut, walaupun tidak ada interaksi
antar usaha-usaha tersebut (Tarigan, 2007: 115). Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan
yang terkosentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti : kota, pusat
perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman, atau daerah
modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan : daerah pedalaman, wilayah
belakang (hinterland), daerah pertanian, atau daerah pedesaan.
Aglomerasi memberikan dampak kepada wilayah dimana aktivitas perekonomian itu
berlangsung, maupun kepada wilayah–wilayah sekitarnya. Pengaruh atau dampak tersebut terjadi
secara langsung dan tidak langsung serta dapat berupa dampak positif yang membawa
keuntungan–keuntungan yang mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah maupun dampak negatif
yang menimbulkan biaya dan atau kerugian sosial juga berupa ketimpangan antar wilayah.
Aglomerasi industri dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh pertumbuhan ekonomi
terhadap ketimpangan regional yang terjadi. Pengaruh negatif (backward effect) diartikan sebagai
wilayah yang maju akan menghambat perkembangan wilayah yang lebih terbelakang, sedangkan
pengaruh positif (spread effect) memiliki pengertian bahwa wilayah yang lebih maju akan
menciptakan keadaan yang mendorong perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang.
Myrdal dalam Jhingan, (2012) mengemukakan pendapatnya, bahwa tingkat pembangunan
yang lebih tinggi akan akan semakin memperkuat dampak sebar (spread effect) dan cenderung
menghambat arus ketimpangan regional. Hal ini akan menopang pembangunan ekonomi dan
dalam waktu bersamaan akan menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kebijaksanaan–
kebijaksanaan yang diarahkan untuk mengurangi ketimpangan regional lebih lanjut. Pada
prinsipnya pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh semua wilayah jika disertai dengan
kecilnya kesenjangan ekonomi regional.

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode analisis deskriptif. Penelitian
ini dilakukan pada 6 Provinsi di Pulau Jawa yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur. Pengambilan sampel menggunakan total sampling (seluruh populasi
dijadikan sampel penelitian). Periode dalam penelitian ini dari tahun 2009 hingga tahun 2013
dengan mengidentifikasi data dari keenam provinsi di Pulau Jawa. Jenis data yang digunakan
adalah sekunder yakni data indeks williamson untuk mengidentifikasi ketimpangan regional, data
indeks balassa untuk menghitung aglomerasi industri, dan data laju pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DIY,
dan Provinsi Jawa Timur dari tahun 2009-2013. Metode analisis yang dilakukan adalah dengan
menggunakan regresi data panel. Metode regresi data panel menggabungkan data time series dan
cross section dapat mengakomodasi informasi dari variabel tempat dan waktu.
Estimasi dengan metode regresi data panel memiliki tiga metode yang bisa digunakan
untuk bekerja dengan data panel. Menurut Gujarati (2003), tiga metode tersebut adalah pendekatan
pooled least square (PLS) atau common effect model, pendekatan fixed effect (FE) dan pendekatan
random effect (RE).
Untuk menentukan model terbaik dalam pemilihan data, maka yang harus dilakukan adalah
melakukan uji F untuk memilih model mana yang terbaik diantara ketiga model tersebut dilakukan
uji Chow dan uji Hausman. Uji Chow dilakukan untuk menguji antara model common effect dan
fixed effect. sedangkan uji Hausman dilakukan untuk menguji apakah data dianalisis dengan
menggunakan fixed effect atau random effect. Dalam melakukan uji Chow, data diregresikan
dengan menggunakan model common effect dan fixed effect terlebih dahulu kemudian dibuat
hipotesis untuk diuji. Hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:
H0 : maka digunakan model common effect (model pool)
H1 : maka digunakan model fixed effects dan lanjut uji Hausman
Pedoman yang digunakan dalam pengambilan kesimpulan uji Chow adalah :
1. Jika nilai probability F ≥ 0,05 artinya Ho diterima ; maka model yang digunakan adalah
common effect.
2. Jika nilai probability F < 0,05 artinya Ho ditolak ; maka model yang digunakan adalah fixed
effect.
Apabila Ho ditolak maka dilakukan uji Hausman untuk memilih apakah menggunakan
model fixed effect atau metode random effect. Untuk menguji Hausman Test data juga
diregresikan dengan model random effect, kemudian dibandingkan antara fixed effect dan random
effect dengan membuat hipotesis:
H0 : maka digunakan model random effect
H1 : maka digunakan model fixed effect,
Pedoman yang digunakan dalam pengambilan kesimpulan uji Hausman adalah :
1. Jika nilai probability Chi-Square ≥ 0,05, maka Ho diterima, yang artinya model yang digunakan
adalah random effect.
2. Jika nilai probability Chi-Square < 0,05, maka Ho diterima, yang artinya model yang digunakan
adalah fixed effect.
Rancangan model yang akan diajukan adalah model data panel dengan dua variabel bebas.
Variabel independennya adalah Ketimpangan Regional. Model tersebut secara ekonometrika akan
menjadi:
Y= α+ β1X1 + β2X2 + e
Definisi operasional dari variabel di atas adalah sebagai berikut :
1. Variabel Y merupakan Ketimpangan Regional, yang menunjukkan kondisi dimana terjadi
ketimpangan regional antar wilayah yang dipicu oleh berbagai faktor antara lain perbedaan
sumber daya alam, sumber daya manusia, kondisi infrastruktur antar wilayah, konsentrasi
industri, dan kebijakan pemerintah daerah. Dalam penelitian ini ketimpangan regional dihitung
dengan menggunakan Indeks Williamson.
2. Variabel X1 adalah Pertumbuhan Ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi adalah hasil bagi dari
selisih antara PDRB pada tahun tertentu dengan PDRB pada tahun sebelumnya. Laju
pertumbuhan ekonomi diukur dengan indikator perkembangan PDRB dari tahun ke tahun
dinyatakan dalam persen, dalam hal ini PDRB yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga
konstan 2000.
3. Variabel X2 adalah Aglomerasi yang dihitung dengan menggunakan Indeks Balassa.
Selanjutnya, apabila dalam penelitian ini fix effect menjadi model terbaik, dalam
mebedakan satu subjek dengan subjek lainnya digunakan variabel dummy (Kuncoro,2012). Model
ini sering disebut dengan model Least Square Dummy Variables (LSDV). Untuk membandingkan
dampak pada Jawa Timur dan kelima provinsi lainnya, menggunakan variabel dummy. Dummy
variable sebagai sebuah variabel nominal yang digunakan di dalam regresi berganda dan diberi
kode 0 dan 1. Nilai 0 biasanya menunjukkan kelompok yang tidak mendapat sebuah perlakuan dan
1 menunjukkan kelompok yang mendapat perlakuan (Cooper dan Schindler, 2000).

D. PEMBAHASAN
Di berbagai wilayah di dunia, industrialisasi telah menjadi salah satu kekuatan utama
pembangunan ekonomi. Sejak masa orde baru telah dimulai proses industrialisasi pada tahun 1966,
dimana sektor industri manufaktur menjadi sektor yang potensial untuk meningkatkan
pertumbuhan di dalam negeri. Kebijakan pembangunan secara sektoral yang strategis adalah
pembangunan sektor industri. Bahkan secara umum dapat dikatakan bahwa hampir semua negara
cenderung mengutamakan sektor industri. Sektor industri dipandang sebagai sektor yang memiliki
tingkat produktivitas yang tinggi, sehingga dengan keunggulan sektor industri akan didapat nilai
tambah yang tinggi, yang pada akhirnya tujuan menciptakan kesejahteraan.
Jawa adalah pulau yang memiliki tingkat kemajuan pembangunan tertinggi di Indonesia.
Kegiatan ekonomi di Indonesia terkonsentrasi di wilayah ini. Kekayaan sumber daya alam,
angkatan kerja usia muda yang berpendidikan, pasar domestik yang luas yang tumbuh secara
cepat, digabungkan dengan kondisi sarana dan prasarana yang lengkap menjadi faktor keunggulan
Pulau Jawa. Pulau Jawa masih diandalkan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri
dalam jangka menengah maupun panjang. Hal ini karena dari sisi sumber daya manusia,
infrastruktur, dan sumberdaya alam, Pulau Jawa lebih siap menjadi lokasi pengembangan industri
dibandingkan pulau-pulau lainnya. Meskipun dalam jangka panjang ini, dominasi Pulau Jawa
dalam penyebaran industri akan semakin berkurang, yaitu menjadi 60% dan luar Pulau Jawa
menjadi 40%. Pulau Jawa juga akan tetap menjadi pusat pertumbuhan bagi industri padat karya
dan padat modal, seperti tekstil dan produk tekstil, alas kaki, serta elektronik dan otomotif beserta
industri komponen. Pertumbuhan tenaga kerja industri sebagai ukuran dari tingkat pertumbuhan
atau perkembangan industri di suatu daerah. Maka dapat digambarkan perkembangan industri pada
enam kelompok pulau besar di Indonesia dengan indikator presentase tenaga kerja industri

Gambar 3. Persentase Jumlah Tenaga Kerja Industri Menurut Pulau Tahun 2013
63.38%
60.00%
40.00%
17.64%
20.00% 5.18% 6.82% 5.23% 1.74%
PRESENTASE TENAGA
0.00%
KERJA

Sumber : BPS, 2013

Dapat dilihat pada gambar 3 Pulau Jawa merupakan daerah dengan konsentrasi industri
tertinggi di Indonesia yang diukur dari indikator jumlah tenaga kerja industri di Pulau Jawa.
Persentase penyerapan tenaga kerja sektor industri yang tinggi mencapai 63,38% di Pulau Jawa
menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan spesialisasi sektor industri. Industri cenderung
beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi
kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling
berdekatan. Kota umumnya menawarkan berbagai kelebihan dalam bentuk produktifitas dan
pendapatan yang lebih tinggi, menarik investasi baru, teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil
dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding perdesaan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di
Pulau Jawa berpengaruh pula pada perubahan struktur dan pola penataan ruangnya. Di Pulau Jawa,
perkotaan berkembang cepat, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan industri, perdagangan dan
jasa-jasa. Simpul-simpul produksi dan distribusi di Pulau Jawa telah berkembang menjadi kota-
kota dengan segala fasilitasnya. Perkembangan pemanfaatan ruang di Pulau Jawa makin mengarah
pada pertumbuhan kawasan perkotaan, perumahan dan permukiman, serta kegiatan industri di
sepanjang jaringan infrastruktur wilayah, khususnya jalan raya, sehingga membentuk urban belt
terutama di Pulau Jawa bagian utara. Kuncoro (2002), melakukan studi tentang dinamika spasial
industri manufaktur di Indonesia dengan tahun pengamatan 1976 sampai 1999. Studi ini
menegaskan bahwa aglomerasi industri besar dan sedang sangat berhubungan dengan konsentrasi
perkotaan di Jawa. Pusat konsentrasi industri manufaktur Indonesia terkumpul di pulau Jawa
dengan konsentrasi yang membentuk pola dua kutub (bipolar pattern). Aglomerasi industri
manufaktur dan populasi yang besar telah berkembang di ujung barat pulau Jawa yang meliputi
Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) dan Bandung. Sedangkan di ujung timur pulau
Jawa berpusat di kawasan Surabaya. Daerah-daerah tersebut menawarkan daya aglomerasi yang
kuat, yang pada akhirnya akan menarik baik orang maupun perusahaan-perusahaan. Di Pulau Jawa
terdapat enam provinsi dengan pusat konsentrasi kegiatan ekonomi masing-masing, wilayah yang
mendukung pengembangan aglomerasi industri dapat dilihat pada peta Pulau Jawa berikut ini.

Gambar 4. Peta Aglomerasi Industri Di Pulau Jawa

Sumber : penulis, 2017

Berdasarkan gambar 4 dapat diketahui wilayah yang menjadi pusat aglomerasi industri
terbesar di Pulau Jawa, pada Provinsi Banten meliputi wilayah Cilegon, Tangerang, dan Serang.
Provinsi DKI Jakarta meliputi Jakarta selatan, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur. Industri Provinsi
Jawa Barat meluas dari Bekasi, Karawang, Purwakarta, Cianjur Bandung, Bogor, Cirebon,
Indramayu. Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah meliputi Kota Semarang dan Cilacap, industri
yang diprioritaskan antara lain makanan dan minuman, logam, komponen otomotif, keramik,
tekstil, dan furnitur kayu. Di Yogyakarta, memfokuskan pengembangan industri batik, pengolahan
kulit, kerajinan dan pengolahan kayu. Provinsi Jawa Timur mencakup daerah Gerbangkertasusila
(Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Lamongan) yang selanjutnya meluas pada daerah Kota
Malang, Pasuruan, dan Kabupaten Tuban, pengembangan diprioritaskan untuk industri makanan
dan minuman, tekstil, perkapalan, garam, serta usaha kecil menengah sektor sandang, kerajinan
dan batu mulia. Pulau Jawa mengendalikan sekitar 60% aktivitas ekspor-impor nasional terutama
pada wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Pada wilayah ini
pengembangan ekonomi mengarah pada jasa nasional karena memiliki sarana dan prasarana yang
lengkap dan sangat menunjang. Daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi
memperoleh manfaat yang disebut dengan ekonomi aglomerasi (agglomeration economies).
Seperti yang dikatakan oleh Bradley and Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah
eksternalitas yang dihasilkan dari kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Selanjutnya adanya
ekonomi aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan
ekonomi. Sebagai akibatnya daerah-daerah yang termasuk dalam aglomerasi pada umumnya
mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan
aglomerasi.
Hasil statistik menunjukan pada koefisien (C) menunjukkan angka -0,121923 dapat
diartikan bahwa ketimpangan autonomous sudah cukup baik. Koefisien pertumbuhan ekonomi
menurunkan ketimpangan regional sebesar 0,757984 Sedangkan aglomerasi menurukan
ketimpangan regional sebesar 0,2310233.

Tabel 2. Hasil Estimasi


Persamaan :
iw = α+β1 ag + β2 g + d_btn + d_dki + d_jbr + d_jtg + d_diy
Variabel Koefisien Std. Error P>t R-Squared Prob F
Ag -0,2310233 0,0445851 *** 0,9973 0,0000
G -0,757984 0,0121482 ***
d_btn 0,0909606 0,0074073 ***
d_dki 0,0509449 0,0046923 ***
d_jbr 0,031953 0,0046799 ***
d_jtg 0,0072882 0,0059994 0.237
d_diy 0,0042447 0,0107973 0.698
_cons 0,0910246 0,0159972 ***
Catatan:
*** α < 0,01
** α < 0,05
*α < 0,1
Sumber: Eviews 9 (data diolah), 2017

Berdasarkan spesifikasi pengujian model fixed effects dengan signifikansi α = 0,05 maka
Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat menunjukkan adanya perbedaan
ketimpangan dengan Provinsi Jawa Timur dengan tingkat ketimpangan tertinggi di antara provinsi
lainnya yaitu untuk Provinsi Banten sebesar 0,0909606, ketimpangan tertinggi kedua Provinsi DKI
Jakarta sebesar 0,0509449, dan Provinsi Jawa Barat pada posisi ketiga dengan ketimpangan
sebesar 0,031953. Sedangkan pada Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY tidak signifikan
karena nilai koefisien berada di bawah tingkat signifikansi α = 0,05 dapat diartikan tidak ada
perbedaan yang terlalu jauh ketimpangan Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DIY, dengan Provinsi
Jawa Timur berada pada kategori ketimpangan rendah dibandingkan dengan tiga provinsi lainnya
di Pulau Jawa. Dengan koefisien R-squared sebesar 0,9973 dapat diartikan 99,73% variabel
independen dalam penelitian ini yaitu variabel pertumbuhan ekonomi dan aglomerasi dapat
menjelaskan keterkaitan dengan variabel dependen yaitu variabel ketimpangan regional,
sedangkan sisanya sebesar 0,27% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat di dalam model
penelitian ini.
Provinsi Banten tingkat ketimpangan regionalnya tinggi karena tingkat aglomerasinya
menurun dari tahun 2009-2013. Ditunjukkan oleh penurunan indeks ballasa dari tahun 2009-2013.
Padahal peningkatan indeks hoover balassa untuk suatu daerah industri menunjukkan peningkatan
spesialisasi industri di daerah tersebut dan mempercepat pertumbuhan industri. Semakin tinggi
angka indeks balassa semakin terpusat wilayah industrinya. Sedangkan pada provinsi Jawa Timur
terjadi peningkatan angka indeks balassa dari tahun 2009-2013, tingkat aglomerasi industri
semakin kuat, akibatnya ketimpangan regional Provinsi Jawa Timur menurun sehingga merupakan
provinsi dengan ketimpangan rendah di Pulau Jawa.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa aglomerasi industri yang terjadi di Pulau Jawa
cenderung berdampak positif terhadap ketimpangan regional. Percepatan aglomerasi dengan
memperluas kawasan industri mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah terpusat dan
pengaruhnya pada wilayah sekitar sehingga dapat memperbaiki ketimpangan regional. Terdapat
beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut.
Pertama, berdasarkan hasil penelitian Orjan Sjoberg dan Fredrik Sjoholm dengan judul
“Trade Liberalization and The Geography of Production : Agglomeration, Concentration, and
Dispersal in Indonesia’s Manufacturing Industry” menunjukkan aglomerasi industri berpengaruh
pada peningkatan hasil industri manufaktur yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah
terpusat dan wilayah sekitar. Sehingga terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi di seluruh
wilayah dan menurunkan angka ketimpangan regional.
Analisis dari hasil perhitungan yang menggunakan metode fix effect dengan dummy
variabel menunjukkan ketimpangan terendah di Pulau Jawa berada pada Provinsi Jawa Tengah,
DIY, dan Provinsi Jawa Timur. Sedangkan Provinsi Banten, DKI, dan Provinsi Jawa Barat lebih
tinggi tingkat ketimpangannya dari Provinsi Jawa Timur. Sesuai dengan teori Growth Spillover,
jika terdapat pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah maka terdapat peningkatan pertumbuhan
ekonomi di wilayah sekitar apabila mempunyai keterkaitan ekonomi yang kuat.
Pengembangan industrialisasi di Indonesia yang tercepat adalah di Pulau Jawa meliputi
enam provinsi yaitu Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa
Tengah, Provinsi DIY, dan Provinsi Jawa Timur dengan percepatan aglomerasi yang memperluas
kawasan industri sehingga terjadi perbaikan distribusi pendapatan, perekonomian lebih cepat
tumbuh, dan ketimpangan regional menurun. Semakin banyaknya kawasan industri, jumlah
perusahaan industri meningkat, permintaan tenaga kerja tinggi, karena pertumbuhan ekonomi
tinggi standar upah yang diberikan lebih tinggi, aktivitas ekonomi lebih cepat dan menguntungkan
daerah lainnya.
Menurut Richardson dalam J Singgalinging (2008), aglomerasi menyebabkan efisiensi
produksi perusahaan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Sejalan dengan teori Harrod Domar yang menyatakan bahwa pembentukan modal
meningkatkan produktivitas maka aglomerasi industri di daerah terpusat mempercepat akumulasi
modal menyebabkan efisiensi produktivitas yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Aglomerasi industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan perekonomian, karena
menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah
tersebut akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya.
Kedua, kondisi tersebut sesuai dengan teori Myrdal (ML Jhingan, 1993) bahwa tingkat
pembangunan yang lebih tinggi akan semakin memperkuat dampak sebar (spread effect) dan
cenderung menghambat arus ketimpangan regional. Hal ini akan mendukung pembangunan
ekonomi dan menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
diarahkan untuk mengurangi ketimpangan regional. Pembentukan kawasan industri yang
terintegrasi dengan infrastruktur memadai meningkatkan efisiensi produksi, logistik, dan daya
saing semakin meluas di Pulau Jawa. Pengembangan kawasan industri dapat menjadi solusi bagi
pemerataan ekonomi daerah apabila industri skala besar dapat bersinergi dengan industri lokal.
Kawasan industri sebuah wilayah terintegrasi yang seluruh aktivitas ekonomi dinilai
mampu menciptakan efek berganda (multiplier effect) dan pengaruh pengumpulan kekuatan
(polarisasi) lokal yang sangat besar. Di Indonesia, saat ini terdapat 232 kawasan industri dengan
luas total sekitar 78.976 ha. Dari jumlah itu, 110 kawasan industri berlokasi di bagian barat Pulau
Jawa, 19 di Jawa Tengah, 32 di Jawa Timur, dan sisanya tersebar di luar Jawa. Kawasan industri
memiliki sifat sharing economy dengan daerah terkait sehingga manfaatnya terasa bagi daerah itu
melalui peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Contohnya Bekasi yang memiliki
industri berskala besar, namun keuntungannya mengalir ke Jakarta. Guna mendorong
perekonomian lokal, industri skala besar harus bersinergi dengan industri skala kecil.
Berdasarkan hipotesis Kuznets dalam Todaro dan Smith (2006) tentang hubungan
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan regional membentuk kurva U terbalik menunjukkan awal
pembangunan ekonomi pendapatan perkapita masih rendah, pertumbuhan ekonomi rendah, dan
ketimpangan regional rendah. Ketimpangan regional semakin meningkat sejalan dengan
pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi meningkat setelah melampaui titik kulminasi
akan terjadi trickling down effect dan berdampak pada perbaikan ketimpangan regional. Sama
halnya dengan yang terjadi pada keenam provinsi di Pulau Jawa, ketimpangannya cenderung
rendah dan merata antar wilayah disebabkan tingkat ketimpangan regional, pendapatan perkapita,
dan pertumbuhan ekonomi meningkat setelah melampaui titik kulminasi sehingga terjadi trickling
down effect, antara wilayah pusat dan wilayah belakang terdapat ketergantungan dalam suplai
barang dan tenaga kerja. Pengaruh polarisasi adalah migrasi penduduk ke kota-kota besar
(urbanisasi) dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang terampil dan mengurangi pengangguran di
daerah belakang. Komplementaritas kuat terjadi proses penyebaran pembangunan ke daerah-
daerah belakang (trickling down effect).
Pulau Jawa menunjukkan pertumbuhan sektor manufaktur yang signifikan, letak
geografisnya yang mendukung serta pusat pemerintah yang berada di Pulau Jawa, menyebabkan
provinsi di Pulau Jawa berkembang lebih cepat daripada 38 provinsi lainnya. Sumberdaya utama
yang dimiliki oleh provinsi di Pulau Jawa dengan mendukung pembangunan industri manufaktur
dalam bentuk kluster ataupun terpisah. Sehingga aglomerasi industri di Pulau Jawa harus terus
dikembangkan agar dapat mendorong pertumbuhan sektor lain, dan meningkatkan pendapatan
negara.

E. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dampak aglomerasi industri terhadap ketimpangan
regional di wilayah Pulau Jawa pada periode tahun 2009 sampai dengan 2013 dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Aglomerasi industri berdampak positif memperbaiki ketimpangan regional di Pulau Jawa
(spread effect). Bentuk spread effect aglomerasi salah satunya adalah migrasi penduduk ke
kota-kota besar (urbanisasi) dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang terampil dan
mengurangi pengangguran di wilayah belakang.
2. Daerah dengan ketimpangan regional paling tinggi adalah Provinsi Banten karena tingkat
aglomerasinya rendah. Sedangkan ketimpangan regional yang paling rendah atau hampir
sama dengan Provinsi Jawa Timur yaitu Provinsi JawaTengah dan DIY.
3. Ketimpangan enam provinsi cenderung rendah dan merata antar wilayah disebabkan baik
tingkat ketimpangan regional, pendapatan perkapita, maupun pertumbuhan ekonomi
meningkat setelah melampaui titik kulminasi sehingga telah erjadi trickling down effect. Hal
ini dikarenakan komplementaritas kuat antara industri besar di wilayah pusat dan industri
lokal wilayah belakang terjadi proses penyebaran pembangunan ke daerah-daerah belakang.
Berdasarkan kesimpulan penelitian diatas maka dapat ditarik beberapa saran terkait dengan
pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan regional di Pulau Jawa sebagai berikut:
1. Perlu adanya perluasan pusat-pusat pembangunan pengembangan industri manufaktur yang
merata pada daerah yang berpotensi meningkatkan daya saing industri. Selain itu, dengan
menumbuhkan titik-titik konsentrasi baru maka industri baru dapat berkembang dan
terspesialisasi sehingga percepatan aglomerasi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi ketimpangan regional.
2. Peran pemerintah dibutuhkan untuk meningkatkan sarana prasarana di berbagai bidang
misalnya pendidikan, kesehatan, sarana transportasi untuk memudahkan mobilitas masyarakat.
Selain itu, sebaiknya pemerintah atau perencana ekonomi cepat tanggap pada permasalahan isu
ekonomi internasional yang berdampak pada perekonomian di Pulau Jawa sebagai antisipasi
terhadap eksternalitas yang ditimbulkan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN.
Yogyakarta.

Azis, I. J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta

Bradley, Rebecca & Gans, Joshua S. 1996. Growth in Australian Cities The Economic Record. The
Economic Society of Australia, Vol. 74 (226).

BPS. 2016. Industri Besar Sedang dan Tenaga Kerja Menurut Provinsi, 2009-2013.

BPS. 2016. Kemiskinan Menurut Provinsi, 2009-2013.

BPS. 2016. Laju Pertumbuhan PDRB ADH Konstan Menurut Pengeluaran, 2009-2013.

BPS. 2016. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Provinsi, 2009-2013.


Castells, David. Royuela, Vicente. 2011. Agglomeration, Inequality, and Economic Growth.
International Journal of Barcelona University Research Institute of Applied Economics
review. January 2011.

Dick, H., Fox, J. J., & Mackie, J. 1997. Pembangunan Yang Berimbang, Jawa Timur Dalam Era
Orde Baru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Geppert, Kurt. Happich, Michael. 2009. Regional Disparities In The European Union Convergence
And Agglomeration. International Journal of German Institute for Economic Research
review. December 2009.

Gujarati, Damodar. 2004. Basic Econometrics. Mc Graw Hill international Book Company.

Jhingan, M.L. 2012. Ekonomi Pembangunan Dan Perencanaan. Rajawali Pers. Jakarta

Kuncoro, Mudrajad. 2010. Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan (Edisi Kelima). UPP STIM
YKPN. Yogyakarta

Kuncoro, Mudrajat. 2002. Ekonomika Aglomerasi: Dinamika dan Dimensi Spasial Kluster
Industri Indonesia. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.

Kuncoro M, Wahyuni S. 2009. FDI Impact On Industrial Agglomeration: The Case of Java,
Indonesia. Journal of Asia Business Studies. 65-77

Myrdal, G. 1976. Bangsa-Bangsa Kaya dan Miskin, terjemahan Paul Sitoang, Gramedia. Jakarta.

Otsuka, Akihiro. Yamano, Norihiriko. 2008. Industrial Agglomeration Effects On Regional


Economic Growth : A Case Of Japanese Regions. International Journal of Central Research
Institute of Electric Power Industry review. August 2008.

Purwaningsih. 2011. Tren Konsentrasi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aglomerasi Industri
Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Sbergami, Federica. 2002. Agglomeration and Economic Growth: Some Puzzles. Geneva :
Graduate Institute of International Studies.

Sjoberg, Ojan. Sjoholm, Fredrik. 2002. Trade Liberalization and The Geography of Production :
Agglomeration, Concentration, and Dispersal In Indonesia’s Manufacturing Industry.
International Journal of Stockholm School of Economic review. August 2002.

Sigalingging, Artur J. 2008. Dampak Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan


Ekonomi dan Kesenjangan Wilayah. Skripsi, Universitas Diponegoro

Soepono, Prasetyo. 1990. Pengantar Ekonomi Regional: Teori Lokasi dan Pembangunan Regional.
PAU-UGM. Yogyakarta

Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi : Teori Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Tambunan, Tulus T.H. 2015. Perekonomian Indonesia Orde Lama Hingga Jokowi. Ghalia
Indonesia. Bogor

Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh, Erlangga.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai