Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyelenggaraan penataan ruang meliputi aspek-aspek pengaturan,

pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan, dimana untuk masing-masing aspek

tersebut merupakan suatu rangkaian kegiatan yang saling berkaitan dalam

mewujudkan ruang wilayah nasional, provinsi, kabupaten, kota atau kawasan.

Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang, maka perlu

dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan dan pelaksanaan

penataan ruang. Selain itu, perlu dilakukan kegiatan peninjauan kembali secara

berkala terhadap RTRW dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh dari

proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas perizinan, pengawasan

(pelaporan, pemantauan, dan evaluasi) dan penertiban. Pengendalian dilakukan

secara rutin, baik oleh perangkat pemerintah daerah, masyarakat, atau keduanya.

Dari ketiga tahap penataan ruang diatas, tahap pengendalian pemanfaatan

ruang merupakan tahap akhir atau ujung tombak yang sangat tergantung dari

seberapa jauh pemerintahan daerah dapat konsisten melaksanakan

RTRW(Rencana Tata Ruang Wilayah) daerahnya. Sebagai contoh suatu area yang

sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung atau ruang terbuka hijau, dapat tetap

dipertahankan meskipun banyak desakan dari investor untuk menjadikan wilayah

tersebut sebagai daerah komersial seperti mall, perkantoran, dan pemukiman.

Menurut Budihardjo (2009), pada umumnya konflik pemanfaatan ruang

yang biasa terjadi di suatu wilayah antara lain:

1
1. Peran serta maupun aspirasi masyarakat dalam proses tata ruang dan

lingkungan hidup masih terbatas;

2. Kekurangpekaan para penentu kebijakan dan perencana akan keadaan

lingkungan dan masyarakat setempat;

3. Penekanan perencanaan wilayah cenderung lebih mengutamakan pada

aspek lingkungan binaan dan kurang memperhatikan pendayagunaan atau

optimalisasi lingkungan alamiah.

Dalam rangka mewujudkan penataan ruang yang efektif dan efisien maka

penataan ruang yang terdiri dari tiga elemen utama yakni perencanaan,

pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang haruslah saling berkaitan satu

sama lain, seperti dijelaskan pada gambar berikut.

Gambar 1.1.
Siklus Penataan Ruang
Sumber: DepartemenPekerjaanUmum

Dari gambar siklus tersebut, dapat dijelaskan bahwa pemanfaatan ruang

adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan

rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta

pembiayaannya. Pemanfaatan ruang haruslah mengacu kepada rencana tata ruang

yang telah ditetapkan terutama rencana pola ruang wilayah. Rencana pola ruang

2
wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukkan ruang dalam

wilayah kabupaten yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung

dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

Secara fungsional wilayah Kota Yogyakarta telah tumbuh dan berkembang

melampaui batas wilayah administrasinya sehingga membentuk suatu aglomerasi

perkotaan yang dikenal sebagai Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) dengan

wilayah fungsionalnya terdiri dari Kota Yogyakarta, sebagian wilayah Kabupaten

Sleman dan Kabupaten Bantul yang berada disekitar Kota

Yogyakarta.Pengendalian pemanfaatan ruang di tingkat daerah kabupaten Sleman

dipengaruhi oleh kondisi kelembagaan dan peran serta masyarakat. Di sisi lain

pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang juga dipengaruhi aspek-aspek

lingkungan strategis globalisasi, desentralisasi dan demokratisasi. Pengenalan

aspek-aspek ini diperlukan karena tingkat kabupaten/kota merupakan ujung

tombak pelaksanaan pembangunan.

Kecamatan Depok memiliki potensi strategis yang mengalami

pembangunan pesat tergabung dalam Aglomerasi Perkotaan Kabupaten Sleman.

Aglomerasi Perkotaan Kabupaten Sleman terdiri atas Kecamatan Depok, Mlati,

Gamping, Godean, dan Ngaglik. Dari kelima kecamatan ini, Kecamatan Depok

mengalami perubahan lahan yang sangat cepat khususnya perubahan fungsi lahan

persawahan menjadi lahan terbangun.

Kawasan Seturan dan Babarsari yang terdapat di dalam Kecamatan Depok

dikembangkan sebagai kawasan pendidikan (campus estate) dan kawasan

komersial. Dari fungsi tersebut, maka hal terpenting dalam pemanfaatan ruang

3
adalah mempertemukan penggunaan lahan yang bervariasi dengan jumlah

ketersediaan lahan yang ada dimana tetap memperhatikan kesesuaian lahan untuk

tiap-tiap jenis pemanfaatan. Oleh karena itu, dalam menentukan suatu aktivitas

yang akan dilakukan pada suatu ruang perlu adanya perhatian dari sisi demand

dan supply yang bertujuan untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam

pemanfaatan ruang.

Tingginya permintaan atas pemenuhan kebutuhan hidup telah mendorong

para investor menanamkan investasi di kawasan Seturan-Babarsari. Sejak kurun

waktu beberapa tahun terakhir ratusan pemilik modal saling berlomba-lomba

membangun tempat usaha di sepanjang kawasan ini. Tidak terdapat data pasti

mengenai jumlah tempat usaha yang berdiri di seluruh kawasan tersebut. Hal ini

terjadi karena disinyalir banyak penduduk maupun pelaku usaha yang membuka

usaha mereka secara tidak resmi alias tanpa disertai izin. Pihak perangkat/aparatur

desa setempat sendiri tidak memiliki data pasti berapa jumlah tempat usaha yang

ada di wilayah mereka. Proses perizinan pendirian tempat usaha di Kabupaten

Sleman sedikit berbeda dengan proses perizinan di Kota Yogyakarta. Di wilayah

Seturan-Babarsari, proses pendirian tempat usaha skala besar seperti hotel, kafe,

tempat karaoke dan sebagainya ditangani langsung oleh pemerintah setingkat

Kabupaten. Sementara aparatur desa seperti dukuh maupun tingkat kelurahan

hanya mengurus perizinan HO (izin gangguan) serta sosialisasi kepada

masyarakat.

Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa dari aspek kelembagaan,

kesamaan komitmen dan sinergi kepala daerah, pemerintah daerah dan DPRD

4
untuk mengendalikan pemanfaatan ruang merupakan faktor yang sangat

menentukan, terutama dalam konteks kewenangan pemberian izin. Sedangkan

dari aspek peraturan, ketidaklengkapan instrumen pengendalian melalui

kelengkapan peraturan perizinan akan menyulitkan pengendalian. Kabupaten

Sleman sudah memiliki instrumen evaluasi, sehingga setidak-tidaknya dapat

memantau pelaksanaan tata ruang di daerahnya. Dari aspek peran serta

masyarakat dapat dikatakan bahwa keaktifan masyarakat dalam melakukan

kegiatan pelaporan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang, sangat

berkaitan erat dengan upaya yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam

sosialisasi maupun mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengendalian

pemanfaatan ruang itu sendiri.

Dalam hirarki rencana tata ruang di lingkup kabupaten, terdapat dua jenis

rencana tata ruang yaitu rencana umum dan rencana rinci. Rencana umum

biasanya dijabarkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten,

sedangkan rencana rinci merupakan penjabaran dari rencana umum dan biasanya

mewujud dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota (UU 26/2007 tentang

Penataan Ruang). Setiap rencana tata ruang mempunyai tujuan dan lingkup

aplikasi sendiri. Materi teknis RTRW lebih condong pada arahan pola ruang dan

struktur ruang untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sedangkan materi

teknis RDTR lebih condong pada penetapan zonasi untuk mengatur peruntukan

lahan pada suatu kawasan. Dengan demikian, dalam hal perijinan lokasi, RDTR

lebih aplikatif untuk dipakai sebagai acuan. Isi RTRW lainnya seperti arahan

rencana umum tataruang, arahan rencana umum kawasan budidaya, penetapan

5
kriteria rinci dan geometric pemanfaatan ruang, dan arahan rencana

pengembangan prioritas telah tercantum dalam RTRW Kabupaten Sleman namun

tidak ada penetapan kriteria rinci dan geometric pemanfaatan ruang. Demikian

juga dengan mekanisme proses perizinan, tindakan hukum, dan fungsi tugas

Dinas/Instansi tidak diatur dalam RTRW KabupatenSleman.

Dari segi teknis secara umum dapat ditemukan bahwa RTRW Kabupaten

Sleman terdapat kelemahan –kelemahan mendasar, yaitu :

a) Tidak memiliki kelengkapan penetapan kriteria rinci dan geometric bagi

pemanfaatan ruang.

b) Tidak memiliki instrument mekanisme atau tata kerja pelaksanaan dalam

rangka proses perizinan.

c) Tidak memiliki tindakan hukum (law enforcement) yang jelas dan kuat,

d) Tidak memiliki kejelasan fungsi tugas dinas/instansi yang seharusnya

memiliki kewenangan penuh dalam menindaklanjuti pelaksanaan

pengendalian pemanfaatan ruang.

Pada kenyataannya, draft RDTR Kecamatan Depok belumlah diperdakan

sehingga pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan Babarsari dan Seturan yang

mikro belumlah jelas. Jika draft RDTR Kecamatan Depok belum disahkan maka

acuan pemrosesan izin pemanfaatan ruang bisa menggunakan dasar Perda RTRW

Kabupaten Sleman sepanjang dibuat dengan prosedur yang benar. Masalah yang

ada adalah saat persetujuan substansi sudah diberikan, Pemda tidak

6
menuangkannya dalam perda sehingga ketika ada penyimpangan tidak disebut

melanggar Perda, karena belum ada adanya Perda.

1.2. PerumusanMasalah

Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan Babarsari dan

Seturan masih belum menggunakan acuan draft RDTR KecamatanDepok yang

belum diperdakan, sehingga kegiatan di dalamnya bepotensi melanggar aturan

secara formal dan legal. Hal ini tentu menjadi sebuah situasi yang dilematis

mengingat acuan RTRW Kabupaten Sleman yang digunakan merupakanacuan

yang masih bersifat luas, sedangkan draft RDTR Kecamatan Depok belum bias

dijadikan sebagai acuan sehingga kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang di

kawasan tumbuh cepat seperti kawasan Babarsari dan Seturan menjadi menarik

untuk dibahas. Berdasarkan latar belakang ini, maka pertanyaan penelitian adalah

untuk mengetahui:

Bagaimana praktik kebijakan, mekanisme dan implementasi pengendalian

pemanfaatan ruang pada kawasan Babarsari dan Seturan, Sleman sebagai kawasan

Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji praktik kebijakan, mekanisme dan

implementasi pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh Pemda

Kabupaten Sleman, dengan kawasan Babarsari dan Seturan sebagai obyek. Tujuan

penelitian ini adalah mengetahui sejauh mana pengendalian pemanfaatan ruang di

7
Kecamatan Depok terutama pada kawasan Babarsari dan Seturan yang dilakukan

oleh aparat pemerintah terkait.

1.4. ManfaatPenelitian

1. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang

dan rekomendasi mengenai kesesuaian antara kebijakan dan implementasi

pengendalian pemanfaatan ruang bagi pemerintah ataupun masyarakat,

pelajar, warga bahkan sampai tingkat komunitas.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu

pengetahuan, khususnya disiplin ilmu perencanaan kota, dan bagi peneliti

lainnya yang tertarik terhadap penelitian sejenis.

1.5. KeaslianPenelitian

Penelitian dengan topik tentang pengendalian pemanfaatan ruang relatif

banyak dilakukan. Suwarno meneliti tentang Kajian Terhadap Terjadinya

Kawasan Tumbuh Cepat Wilayah Perkotaan Yogyakarta. Penelitian dengan obyek

pengendalian pemanfaatan ruang juga dilakukan oleh Ester Fitrinika Herawati

mengenai Kajian Aspek-Aspek Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Daerah

(Studi Kasus: Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kota Denpasar, Kabupaten

Badung) dengan mengambil lokasi di Bogor. Endah Sri Widiastuti meneliti

tentang Pengendalian Peruntukan Pemanfaatan Tanah untuk Perumahan yang

dibangun Pengembang di kabupaten Sleman. Sedangkan Ernawati Ginting

8
meneliti tentang Implementasi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan

Aglomerasi Perkotaan Kabupaten Sleman pada Penggunaan Lahan Pertanian dan

Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Ignatius Sumarwoto meneliti tentang

Fenomena “Membangun Dulu Sebelum Izin” pada Kasus Pengembangan

Perumahan di Kabupaten Sleman. Terkait dengan pengendalian pemanfaatan

ruang, Fahril Fanani meneliti tentang Kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten

Sleman dalam Penerapan Peraturan Zonasi sebagai Instrumen Pengendalian

Pemanfaatan Ruang di Kawasan Perkotaan Yogyakarta.

Penelitian yang akan dilakukan dapat dikatakan tidak memiliki kesamaan

dengan penelitian diatas. Selain lokasi dan subyek yang berbeda, setting waktu

dan obyek penelitian secara spesifik juga berbeda. Penelitian pengendalian

pemanfaatan ruang pada koridor jalan Babarsari, Sleman dengan pendekatan

metode kualitatif sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Namun

demikian penelitian yang dilakukan ini tidak dapat lepas dan mungkin saja

mengacu kepada sumber-sumber dan literatur yang hampir sama. Akhirnya

dengan berbagai metode dan cara, maka penelitian yang dilakukan ini dapat

melengkapi penelitian yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Sebagai pembanding

dengan penelitian ini, diperlihatkan berbagai penelitian yang pernah dilakukan

antara lain sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1.1.
PenelitianYang PernahDilakukan

Peneliti Fokus Lokasi Metode


(1) (2) (3) (4)
Suwarno Kajian Terhadap Terjadinya Kawasan Kota Kualitatif
Tumbuh Cepat Wilayah Perkotaan Yogyakarta
Yogyakarta
2001

9
Ester Fitrinika Herawati Kajian Aspek-Aspek Pengendalian Kota Kualitatif
Pemanfaatan Ruang Di Daerah (Studi Yogyakarta,
Kasus: Kota Yogyakarta, Kabupaten Kabupaten
Sleman, Kota Denpasar, Kabupaten Sleman, Kota
Badung) Denpasar,
2008 Kabupaten
Badung
Endah Sri Widiastuti Pengendalian Peruntukan Kabupaten Kualitatif
Pemanfaatan Tanah untuk Perumahan Sleman
yang dibangun Pengembang di
Kabupaten Sleman
2008
Ernawati Ginting Implementasi Rencana Detail Tata Kabupaten Kualitatif
Ruang(RDTR) Kawasan Aglomerasi Sleman
Perkotaan Kabupaten Sleman pada
Penggunaan Lahan Pertanian dan
Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya
2010
Ignatius Sumarwoto Fenomena “Membangun Dulu Kabupaten Kualitatif
Sebelum Izin”pada Kasus Sleman
Pengembangan Perumahan di
Kabupaten Sleman
2011
Fahril Fanani Kesiapan Pemerintah Daerah Kawasan Kualitatif
Kabupaten Sleman dalam Penerapan Perkotaan
Peraturan Zonasi sebagai Instrumen Kabupaten
Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Sleman
Kawasan Perkotaan Yogyakarta
2014

1.6. Cakupan Penelitian

1.6.1. Cakupan Materi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduktif kualitatif

rasionalistik dan didukung dengan deskriptif kualitatif. Adapun teknik

pengumpulan data adalah dengan studi kepustakaan dan studi lapangan yang

terdiri dari observasi dan wawancara. Pendekatan kualitatif akan diterapkan untuk

membantu menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya

kawasan Babarsari dan Seturan, dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai

dampak dari perkembangan kawasan.

10
1.6.2 Cakupan Wilayah

Penelitian Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Babarsari dan

Seturan, Sleman dilakukan terhadap adalah kegiatan pengendalian yang dilakukan

dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan

pengawasan dan penertiban serta mekanisme perizinan yang berkaitan dengan tata

ruang di kawasan Babarsari dan Seturan, Sleman.

1.7. Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam penelitian ini selanjutnya akan terbagi dalam sistematika

pembahasan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Menjelaskan latar belakang, rumusan permasalahan dan pertanyaan penelitian,

tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup yang mencakup ruang lingkup

wilayah danruang lingkup materi, manfaat penelitian (secara teoritis maupun

praktis), serta sistematika pembahasan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Merupakan hasil studi literatur yang berupa dasar –dasar teori dan referensi yang

berkaitan dengan penelitian. Dalam tinjauan pustaka ini akan membahas teori

pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang.

Bab III Metode Penelitian

Menjelaskan tentang pendekatan, jenis penelitian, variabel penelitian, teknik

pengumpulan data, teknik analisa data, metode analisis yang digunakan dalam

penelitian, dan tahapan - tahapan penelitian. Metode penelitian yang digunakan

11
adalah deduktif yang bersifat deskriptif kualitatif melalui kerangka teori kemudian

diuji dengan fakta dilapangan yangdiperoleh melalui observasi dan wawancara

mendalam (in-depth interview).

Bab IV Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Mencakup data umum wilayah perkotaan Yogyakarta dan data khusus kawasan

tumbuh cepat Babarsari dan Seturan ditinjau dari aspek kependudukan,

ketersediaan prasarana ekonomi, sosial dan prasarana fisik kota serta konversi

lahan.

Bab V Hasil Penelitian dan Pembahasan

Mencakup analisis umum perkembangan wilayah perkotaan Yogyakarta dan

analisis khusus perkembangan kawasan tumbuh cepat Babarsari dan Seturan

ditinjau dari aspek kependudukan, ketersediaan prasarana ekonomi, sosial dan

prasarana fisik kota serta konversi lahan.

Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi

Memuat kesimpulan yang merupakan rangkuman dari seluruh pembahasan dalam

penelitian dan di dalamnya terdapat jawaban dari rumusan permasalahan

penelitian. Selain itu, juga memuat rekomendasi yang berupa saran berkaitan

dengan permasalahan dalam penelitian kepada pihak-pihak yang terkait.

12

Anda mungkin juga menyukai