A. Umum
Kabupaten Bombana merupakan salah satu kabupaten
di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Bombana memiliki
luas Daerah daratan seluas ± 3.316,16 km2 atau 331.616 ha. 1
Dengan kondisi alam yang bervariasi seperti perbukitan,
lembah, sabana sampai lautan menuntut pemerintah
kabupaten memiliki visi dan misi membangun wilayah dengan
target prioritas dan tepat guna sehingga pembangunan ke
depan harus dirancang dengan konsep ramah lingkungan agar
kesejahteraan rakyat dapat dicapai dengan arti yang
sesungguhnya. Salah satu alat untuk mengontrol
pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah
perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
seperti yang dituangkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Penyelenggaraan pemerintah di daerah bisa dikaji dalam
3 pendekatan yaitu pendekatan politik, pendekatan kebijakan
dan pendekatan legal, Namun yang lebih sering terjadi di
daerah justru kental dengan pendekatan politik yang pada
akhirnya memunculkan banyak ketidaksesuaian antara
realitas penyelenggaraan pemerintah daerah dengan tujuan
otonomi itu sendiri.
Ketidaksesuaian antara realitas penyelenggaraan
pemerintah daerah dengan tujuan otonomi daerah tersebut
antara lain ditunjukkan dengan banyak produk hukum
daerah, khususnya perda yang dibentuk bukan untuk
melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
1
BPS, Kabupaten Bombana Dalam Angka: 2019
kewenangan daerah, oleh karena itu dalam UU nomor 23
tahun 2014 tentang pemerintahan daerah disebutkan bahwa
ada 32 urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah, yang terdiri dari 6 urusan wajib pelayanan dasar, 18
urusan wajib non pelayanan dasar dan 8 urusan pilihan.
Berdasarkan hal terebut itu pemda Bombana dalam
menyusun produk peraturan daerah sangat memperhatikan
perintah perundang-undangan yang lebih tinggi, keselarasan
dengan rencana pembangunan daerah (RPJMD), keselarasan
dengan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan selaras
dengan aspirasi masyarakat. Serta hasil identifikasi,
pengukuran dan penetapan skala prioritas ini dijabarkan
dalam grand desain dan roadmap tema peraturan yang
disusun sebagai acuan tema perda apa yang akan
dipersiapkan selama 5 tahun.
Oleh karena itu untuk mewujudkan visi tersebut
pemerintah kabupaten Bombana pada tahun 2020 bermaksud
akan menyusun peraturan daerah diantaranya :
1. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Tentang Zonasi Tanah
2. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah tentang pemberian upah pungut PAD
3. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga di
Kabupaten Bombana
4. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Kabupaten Bombana.
B. Latar Belakang
1. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Tentang Zonasi Tanah
a. Pendahuluan
Persoalan penataan ruang di Indonesia pada
dasarnya berakar pada bagaimana pelaksanaan
pembangunan dilakukan. Dalam pelaksanaannya suatu
pengembangan kawasan seringkali tidak sejalan dengan
rencana tata ruang yang telah disusun dan menjadikan
keduanya sebagai suatu produk yang bertentangan.
Rencana tata ruang yang telah disusun akan tetap
menjadi suatu dokumen sedangkan pelaksanaan
pembangunan tetap berjalan berdasarkan permintaan
pasar.
Ketidaksesuaian antara rencana tata ruang yang
telah disusun dengan pelaksanaan pembangunan ini
membutuhkan apa yang disebut dengan pengendalian.
Dalam Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa
pengendalian merupakan bagian dari proses
penyelenggaraan penataan ruang yang berupaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang. Kegiatan ini dilakukan
dalam rangka memastikan bahwa proses pemanfaatan
ruang telah sesuai dengan rencana tata ruang yang
berlaku.
Dalam pelaksanaan peraturan perundang-
undangan seringkali kawasan yang seharusnya menjadi
kawasan pengembangan disalahgunakan oleh
masyarakat setempat. Oleh karenanya zonasi kawasan
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah menjadi
berkurang dan akhirnya ditetapkanlah Penambahan
Zonasi Pengembangan Kawasan.
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, bentuk pengendalian penyelenggaraan
penataan ruang pada dasarnya meliputi empat jenis
yaitu peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif
dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Peraturan
Zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona
peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana
rinci tata ruang Perizinan, merupakan upaya untuk
memperbolehkan atau tidak memperbolehkan suatu
kegiatan berlangsung pada suatu wilayah sesuai
dengan tata ruang, dengan mengeluarkan penerbitan
surat izin.
Pemberian Insentif dan Disinsentif, merupakan
upaya untuk mengarahkan pembangunan dengan
memberikan dorongan terhadap kegiatan yang sejalan
dengan rencana tata ruang dan memberikan upaya
menghambat terhadap kegiatan yang bertentangan
dengan rencana tata ruang.
Pengenaan Sanksi, merupakan upaya untuk
memberikan tindakan penertiban atas pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan
peraturan zonasi Dari semua bentuk pengendalian yang
ada, salah satu yang mencoba diperkenalkan dan
diterapkan di Indonesia adalah peraturan zonasi.
Peraturan zonasi ini sendiri dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan penataan ruang merupakan salah
satu alat untuk pengendalian pemanfaatan ruang yang
kedudukannya setara perizinan, insentif/disinsentif,
dan sansi.
Secara diagramatis kedudukan peraturan zonasi
berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dapat digambarkan sebagai berikut:
Peraturan Zonasi (Zoning regulation) yang
merupakan perangkat aturan pada skala blok yang
umum digunakan di negara maju potensial untuk
melengkapi RDTRK agar lebih operasional. Penggunaan
peraturan zonasi dapat dilakukan di negara-negara
maju (Amerika Serikat dan Eropa Barat) dikarenakan
pola ruang wilayah administratif pada negara-negara
tersebut didasarkan pada pola pengembangan blok.
Dengan pola ini, disertai dengan kelengkapan
instrumen data dan kelembagaan, maka peraturan
zonasi dapat ditegakkan sesuai dengan tujuan dari
peraturan zonasi itu sendiri.Untuk penggunaannya di
Indonesia, ternyata peraturan zonasi tersebut
memerlukan modifikasi tersendiri dikarenakan
pengembangan pola ruang di Indonesia terutama masih
didasarkan pada deliniasi administratif atau deliniasi
kawasan yang berfungsi sama.
Dengan berdasarkan hal ini, maka tentunya
pelaksanaan peraturan zonasi di Indonesia harus
berusaha diadopsikan dengan pola perencanaan di
Indonesia. Terhadap penerapan peraturan zonasi
seperti ini ternyata ditemui beberapa kesulitan
mendasar untuk langsung diadopsikan pada
perencanaan ruang di Indonesia. Permasalah-
permasalahan tersebut antara lain :
Varian terlalu banyak sehingga memerlukan
waktu dan biaya yang besar Pola ini membuat sistem
penataan ruang yang baru sama sekali terhadap pola
penaan ruang yang sudah berlaku saat ini Pengaturan
ruang sangat rigit sehingga kurang pas pada kota yang
dinamis dan sedang berkembang Dengan dilakukannya
adopsi ini maka penerapan peraturan zonasi dapat
memberikan dampak berikut terhadap perencanaan
ruang:
Varian yang ada diatur secara khusus sedangkan
yang tidak ditetapkan secara khusus diatur dalam tata
cara penataan ruang yang umum Pola ini menegaskan
terhadap sistem penataan ruang yang sudah
berkembang. Berdasarkan pola penerapan yang seperti
itu maka kedudukan peraturan zonasi dalam penataan
ruang di Indonesia tidak hanya sebagai “pelengkap
RDTR” tetapi dapat berfungsi sebagai arahan dalam
pembentukan RDTR yang merupakan turunan dari
RTRW dan juga dapat berguna sebagai arahan dalam
pembuatan rencana-rencana teknis lainnya yang
merupakan penjabaran dari RDTR.
Dengan posisinya yang unik tersebut, maka
sangat tepat apabila peraturan zonasi ditetapkan
sebagai perangkat pengendalian tidak hanya pada
tingkat RDTR, tetapi juga pada tingkat RTRW Nasional,
Provinsi dan Kota. gambar berikut merupakan aplikasi
RDTR dan Peraturan Zonasi.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada bagian
atas mengenai pentingnya peraturan zonasi dalam
pengendalian pemanfaatan ruang maka inovasi dari
Pihak Konsultan terhadap pemanfaatan peraturan
zonasi sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang
adalah.
Peraturan zonasi yang dihasilkan berlaku umum
untuk seluruh kota (wilayah studi), artinya; klasifikasi
zona dan klasifikasi kegiatan merupakan refleksi dari
keberadaan karakteristik kawasan kota. Matriks
perubahan pemanfaatan ruang dan Matriks kegiatan
pemanfaatan ruang sifatnya adalah Kebijakan dari
penataan ruang untuk kondisi kota yang bersangkutan.
Agar peraturan zonasi dapat dimanfaatkan pada
seluruh wilayah kota (tidak hanya terbatas pada bagian
/ kawasan tertentu saja pada suatu wilayah kota),
maka Pihak Konsultan merasa berkepentingan bagi
daerah untuk menetapkan peraturan zonasi untuk
seluruh skala kota di dalam suatu peraturan daerah
yang khusus mengatur mengenai peraturan zonasi itu
sendiri.
Peraturan zonasi pada dasarnya adalah suatu
alat untuk pengendalian yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya yang disusun untuk setiap blok/zona
peruntukan (UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang), dimana blok/zona peruntukan yang menjadi
acuan ditetapkan melalui rencana rinci tata ruang.
Peraturan zonasi ini lebih dikenal dengan istilah
populer zoning regulation, dimana kata zoning yang
dimaksud merujuk pada pembangian lingkungan kota
ke dalam zona-zona pemanfaatan ruang dimana di
dalam tiap zona tersebut ditetapkan pengendalian
pemanfaatan ruang atau diberlakukan ketentuan
hukum yang berbeda-beda2. Adapun peraturan zonasi
atau zoning regulation ini di beberapa negara lain
diberlakukan dengan istilah yang berbeda-beda, antara
lain zoning code, land development code, zoning
ordinance, zoning resolution, zoning bby law dan
sebaginya3.
Peraturan zonasi ini pada dasarnya mengatur
tentang klasifikasi zona, pemanfaatan lahan, dan
prosedur pelaksanaan pembangunan. Dalam UU No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, secara rinci
disebutkan bahwa peraturan zonasi berisi: Ketentuan
yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada
zona pemanfaatan ruang Amplop ruang (koefisien dasar
ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai
bangunan, dan garis sempadan bangunan).
Ketentuan lain yang dibutuhkan untuk
mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan, antara lain Keselamatan penerbangan
Pembangunan pemancar alat komunikasi
Pembangunan jaringan listrik tegangan tinggi.Dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan penataan ruang,
peraturan zonasi ini menjadi penting artinya terutama
yang berkenaan dengan upaya pemanfatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Selama ini
implementasi rencana tata ruang yang telah disusun
bukan merupakan suatu perkara yang mudah.
Kepentingan publik dengan kepentingan pribadi
seringkali berbenturan sehingga apa yang telah disusun
dan ditetapkan dalam suatu rencana tata ruang tidak
2
Barnet Jonathan,1982,an introduction to urban desing,Harper and row publishes, New York,hal 12
3
Zulkaidi, denny, 1999, pemahamanperubahan pemanfaatan lahan kota sebagai dasar bagi kebijakan
penanganannya,bandung,penerbit ITB, hal 15.
sejalan dengan pembangunan yang ada. Dalam kondisi
ini peraturan zonasi sebagai salah satu instrumen
dalam pengendalian pemanfaatan ruang menjadi
penting artinya, karena peraturan zonasi ini dapat
menjadi rujukan dalam perizinan, penerapan
insentif/disinsentif, penertiban ruang, menjadi
jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang
bersifat operasional, serta dapat menjadi panduan
teknis dalam pengembangan/pemanfaatan lana
(Zulkaidi, 2008). Dengan adanya acuan yang jelas dan
operasional mengenai bagaimana suatu rencana tata
ruang dapat diterapkan, maka persoalan penyimpangan
pembangunan terhadap rencana tata ruang setidaknya
dapat dihindari dan dicegah.
Dalam perkembangannya, penerapan peraturan
zonasi dalam suatu kawasan perlu untuk sedikit kritis,
terutama yang berkenaan dengan apa yang menjadi
dasar atau acuan dalam penyusunan peraturan zonasi.
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
telah secara eksplisit dijelaskan bahwa penyusunan
peraturan zonasi ini dilakukan berdasarkan rencana
rinci tata ruang yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hal ini maka rencana rinci tata
ruang yang benar dan tepat menjadi prasyarat utama
dalam penyusunan peraturan zonasi. Berkaitan dengan
kondisi ini, maka pertanyaan besar yang kemudian
muncul adalah siapakah yang dapat menjamin bahwa
rencana rinci tata ruang yang dijadikan acuan adalah
tepat atau sesuai untuk diterapkan dalam suatu
kawasan/wilayah.
Pertanyaan ini perlu menjadi bahan
pertimbangan bersama, terutamanya para pelaku
pembangunan, untuk menjadi lebih kritis terhadap
rencana tata ruang yang akan diterapkan dalam suatu
kawasan/wilayah, mulai dari proses penyusunan
sampai dengan proses legalisasi rencana tata ruang
tersebut. Saat ini,melalui Permen PU No. 11 / PRT / M
Tahun 2009 tentang Pedoman Persetujuan Subtansi
Dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, beserta
Rencana Rincinya, Pemerintah telah berupaya
melakukan pengontrolan terhadap kualitas dari
rencana tata ruang yang disusun dan diajukan oleh
pemerintah daerah.
Namun proses dan prosedur persetujuan
substansi ini masih belum cukup. Dalam hal ini
kepedulian dan pemikiran kritis dari semua pelaku
pembangunan diperlukan dalam proses penyusunan
rencana tata ruang dan peraturan zonasi tanah ini,
Kabupaten Bombana membutuhkan suatu zonasi tanah
karena secara teori zonasi tanah merupakan suatu
pengelolaan di suatu wilayah dengan pembagian
wilayah,sedangkan secara program zonasi tanah
memiliki pengertian suatu proses pengelompokan
wilayah yang sejenis sehingga ada ciri, karakteristik
dan kondisi yang dimiliki suatu kelompok atau zona
tertentu dan hal tersebut menjadi sangat penting dalam
kegiataan perencanaan wilayah, perkembangan daerah
dapat dilihat dari aspek zona-zona yang ada di wilayah
tersebut.
b. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penyusunan naskah akademik adalah
sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam
penyelenggara zonasi tanah di Kabupaten Bombana;
2. Merumuskan permasalahan hukum yang menjadi
pertimbangan landasan filosofis, yuridis dan
sosiologis dalam pembentukan peraturan daerah
tentang penyelenggaraan zonasi tanah di Kabupaten
Bombana;
3. Merumuskan sasaran, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan dan arah pengaturan Rancangan
Peraturan Daerah tentang zonasi tanah di
Kabupaten Bombana.
Kegunaan penyusunan Naskah Akademik sebagai
berikut:
1. Meningkatkan pengelolaan pemberian zonasi tanah
dalam rangka menciptakan ciri,karakteristik dan
kondisi tertentu yang dimiliki suatu wilayah;
2. Mendorong terciptanya penyelenggaraan
Pengelolaan zonasi tanah yang berbasis partisipatif,
kemanusiaan, kekeluargaan, berkeadilan,
berkesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum,
serta mewujudkan keseimbangan, keserasian dan
keselarasan;
3. Meningkatkan peranan pihak pemerintah daerah,
pengusaha dan masyarakat dalam zonasi tanah;
4. Mendorong terciptanya paradigma baru dalam
zonasi tanah yang tidak hanya berpikir tentang
pemanfaatan tanah tapi berpikir juga tentang
penataan jangka panjang yang pada akhirnya
bermanfaat bagi masyarakat Kabupaten Bombana.
4
I Gusti Ngurah Bagus, Hubungan Pariwisata dengan Budaya di Indonesia, Prospek, dan
Masalahnya dalam Kumpulan Makalah Kongres Kebudayaan 1991 (Depdikbud 1992/1993), hlm.
123.
5
Harry Waluyo (et al). Dukungan Budaya Terhadap Perkembangan Ekonomi (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 30.
kepercayaan pada diri sendiri.6 Rekreasi dan olahraga
yang merupakan bagian dari pariwisata termasuk
dalam program pembangunan nasional di Indonesia
sebagai salah satu sektor pembangunan ekonomi. 7 Oleh
karena itu, pembangunan pariwisata di Indonesia perlu
ditingkatkan. Melalui pariwisata pemerintah berusaha
untuk menambah penghasilan atau devisa negara,
terutama dengan masuknya wisatawan mancanegara.
Pada saat ini, kedudukan sektor pariwisata
menjadi salah satu sektor andalan yang dapat
meningkatkan devisa negara. Pengembangan sektor
pariwisata dilakukan karena mampu memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi penerimaan devisa
Negara. Sebagai industri yang prospektif, maka upaya
mengembangkan pariwisata untuk mendorong
kemajuan ekonomi bangsa dilakukan berbagai Negara,
tidak terkecuali Indonesia. Program pengembangan
pariwisata menjadi salah satu program pembangunan
nasional di Indonesia yang secara terus menerus
menjadi perhatian pemerintah pusat dan pemerintah
daerah serta menjadi salah satu andalan pemerintah
dalam memulihkan dari kondisi krisis bangsa.
Pengembangan pariwisata yang telah dilakukan
baik oleh pemerintah maupun swasta telah
meningkatkan jumlah kedatangan wisatawan dari satu
daerah ke daerah lain. Kunjungan wisatawan akan
merangsang interaksi sosial dengan penduduk di
sekitar tempat wisata dan merangsang tanggapan
masyarakat sekitarnya sesuai dengan kemampuan
6
Gamal Suwantoro, Dasar-Dasar Pariwisata (Yogyakarta: ANDI, 1997), hlm. 7.
7
Selo Soemardjan, “Pariwisata dan Kebudayaan”, dalam Prisma No. 1 Tahun III Feb 1974, hlm. 56.
mereka dalam beradaptasi baik di bidang
perekonomian, kemasyarakatan maupun kebudayaan
mereka.
Penyelenggaraan kepariwisataan dengan segala
aspek kehidupan yang terkait di dalamnya baik dari
sektor tempat rekreasi dan olahraga akan menuntut
konsekuensi dari terjadinya pertemuan dua budaya
atau lebih yang berbeda, yaitu budaya para wisatawan
dengan budaya masyarakat sekitar obyek rekreasi dan
olahraga. Budaya-budaya yang berbeda dan saling
bersentuhan itu akan membawa pengaruh yang
menimbulkan dampak terhadap segala aspek
kehidupan dalam masyarakat sekitar obyek wisata.
Pada hakikatnya ada empat bidang pokok yang
dipengaruhi oleh usaha pengembangan tempat rekreasi
dan olahraga sebagai bagian dari objek pariwisata, yaitu
ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup.
Dampak positif yang menguntungkan dalam bidang
ekonomi yaitu bahwa kegiatan pariwisata
mendatangkan pendapatan devisa negara, pendapatan
asli daerah dan terciptanya kesempatan kerja, serta
adanya kemungkinan bagi masyarakat di daerah tujuan
wisata untuk meningkatkan pendapatan dan standar
hidup mereka.
Dampak positif yang lain adalah perkembangan
atau kemajuan kebudayaan, terutama pada unsur
budaya teknologi dan sistem pengetahuan yang maju.
Dampak negatif dari pengembangan pariwisata tampak
menonjol pada bidang sosial, yaitu pada gaya hidup
masyarakat di daerah tujuan wisata. Gaya hidup ini
meliputi perubahan sikap, tingkah laku, dan perilaku
karena kontak langsung dengan para wisatawan yang
berasal dari budaya berbeda.8
Seiring dengan hal di atas, menurut IUOTO
(International Union of Official Travel Organization) yang
dikutip oleh Spillane (1993), 9 pariwisata mestinya
dikembangkan oleh setiap negara karena delapan
alasan utama seperti berikut ini:
1. Pariwisata sebagai faktor pemicu bagi
perkembangan ekonomi nasional maupun
internasional;
2. Pemicu kemakmuran melalui perkembangan
komunikasi, transportasi, akomodasi, jasa-jasa
pelayanan lainnya;
3. Perhatian khusus terhadap pelestarian budaya,
nilai-nilai sosial agar bernilai ekonomi;
4. Pemerataan kesejahteraan yang diakibatkan oleh
adanya konsumsi wisatawan pada sebuah destinasi;
5. Penghasil devisa;
6. Pemicu perdagangan internasional;
7. Pemicu pertumbuhan dan perkembangan lembaga
pendidikan profesi pariwisata maupun lembaga
yang khusus yang membentuk jiwa hospitality yang
handal dan santun, dan;
8. Pangsa pasar bagi produk lokal sehingga aneka-
ragam produk terus berkembang, seiring dinamika
sosial ekonomi pada daerah suatu destinasi.
Indonesia sebagai salah satu daerah tujuan
wisata, maka pembentukan peraturan-peraturan di
bidang kepariwisataan harus juga memperhatikan
8
Nyoman S. Pendit, Ilmu Pariwisata “Sebuah Pengantar Perdana” (Jakarta: PT. Pradana Paramita,
1990), hlm. 79-80.
9
Spillane, James.1993. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan prospeknya., Kanisius Yogyakarta.
aspirasi-aspirasi yang muncul dan berkembang di
dunia kepariwisataan internasional. Pentingnya peran
Pemerintah sebagai penyelenggara atau pengelola
kepariwisataan. Pada konferensi PBB mengenai
“Perjalanan Dan Pariwisata” di Roma pada tahun 1963,
mempertegas bahwa untuk menyakinkan pertumbuhan
kegiatan pariwisata yang mantap, sangat perlu
melimpahkan kepada Pemerintah, tanggungjawab
tertinggi pengelolaan kepaiwisataan. Adapun rumusan
resolusi yang dikeluarkan oleh Konferensi PBB tersebut,
sebagai berikut:
“Konfrensi berpendapat bahwa sudah menjadi
tugas pemerintah untuk mendorong dan
mengkoordinasi kegiatan pariwisata nasional, dan
Konfrensi merasa yakin bahwa secara menyeluruh
tugas ini dapat diemban melalui wahana
Organisasi Pariwisata Nasional”.
11
BPS, Kabupaten Bombana Dalam Angka: 2019
memiliki visi dan misi membangun wilayah dengan
target prioritas dan tepat guna sehingga pembangunan
ke depan harus dirancang dengan konsep ramah
lingkungan agar kesejahteraan rakyat dapat dicapai
dengan arti yang sesungguhnya. Salah satu alat untuk
mengontrol pembangunan yang berwawasan
lingkungan adalah perencanaan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup seperti yang dituangkan
dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH) merupakan instrumen
hukum dalam bidang perencanaan dan pengelolaan
lingkungan hidup, yang diatur dalam Pasal 9, 10, dan
11 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Definisi Rencana Perlindungan dan Pengeloalaan
Limgkungan Hidup (RPPLH) dalam Undang-Undang No.
32 tahun 2009 adalah perencanaan tertulis yang
memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta
upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu.
RPPLH sebagai instrumen perencanaan memiliki
fungsi penting untuk menyeleraskan kebijakan
lingkungan baik yang dibuat oleh lembaga yang secara
khusus diberi tugas mengelola ligkungan maupun
lembaga lain yang tugasnya juga terkait dengan
persoalan lingkungan hidup. Keserasian kebijakan ini
penting agar tindakan pemerintahan yang dilakukan
tidak saling tumpang tindih, tidak saling mengklaim
sebagai lembaga yang berwenang, dan tidak saling
lempar tanggungjawab jika terjadi masalah lingkungan.
Oleh karena itu menurut Pasal 10 ayat (3) Undang -
Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam penyusunan
RPPLH perlu diperhatikan adalah keragaman karakter
dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran
potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi
masyarakat, dan perubahan iklim.
Dalam Pasal 10 Ayat 4 dari Undang-Undang No.
32 Tahun 2009tersebut, dinyatakan bahwa RPPLH
mempunyai empat muatan, yaitu rencana tentang (1)
pemanfaatan/pencadangan sumber daya alam, (2)
pemeliharaan dan perlindungan kualitas/fungsi
lingkungan hidup, (3) pengendalian, pemantauan, serta
pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam, dan
(4) adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Dengan demikian penentuan materi muatan RPPLH
wajib dilakukan melalui (1) analisis dokumen
perencanaan yang terkait, (2) analisis dan telaah
ekosistem dan jasanya yang berbasis ekoregion, dan (3)
analisis tata ruang penentuan daya dukung dan daya
tampung yang berbasis ekoregion.
Dari uraian perencanaan di atas cukup jelas
bahwa untuk dapat melakukan upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, maka diperlukan
Kegiatan Penyusunan Raperda tentang Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH) yang berupa kegiatan perlindungan dan
pengeloalaan lingkungan hidup serta penetapan
ekoregion, sehingga penyusunan RPPLH menjadi hal
yang mendasar dan wajib dilakukan oleh pemerintah
daerah untuk menyongsong pembangunan ke depan.
Tujuan dilakukannya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup adalah untuk menjamin kualitas
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya yang
sungguh- sungguh dan konsisten dalam melaksanakan
pembangunan yang berkelanjutan agar lingkungan
hidup di Kabupaten Bombana tetap dapat menjadi
sumber dan penunjang hidup manusia dan makhluk
hidup lain. Adapun tujuan penetapan ekoregion adalah
menyusun dan mengelopokkan wilayah-wilayah
geografis suatu daerah yang memiliki kesamaan ciri
iklim, tanah, air, flora dan fauna asli, serta pola
interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan
integritas sistem alam dan lingkungan hidup yang
kesemuanya didasarkan pada hasil inventarisasi
lingkungan hidup. Atas dasar itulah dipandang perlu
menyusun payung hukum yang mengatur tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kabupaten Bombana.
b. Tujuan dan Kegunaan
KAK ini disusun sebagai risalah singkat yang
bertujuan untuk memberikan landasan
pemikiran/konsep awal terkait dengan akan
disusunnya naskah akademik dan selanjutnya
Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Bombana.
Secara khusus penyusunan naskah akademik
bertujuan:
1. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi
oleh pemerintah Kabupaten Bombana dalam rangka
penyelenggarakan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Kabupaten Bombana
2. Untuk menemukan permasalahan pokok yang
mendasari perlunya penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten
Bombana sebagai dasar pemecahan masalah;
3. Untuk mengetahui landasan filosofis, sosiologis dan
yuridis atas pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Kabupaten Bombana;
4. Untuk merumuskan sasaran yang akan
diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan
dan arah Rancangan Peraturan Daerah Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kabupaten Bombana.
Kegunaan dari penyusunan naskah akademik
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Bombana
adalah untuk memperoleh gambaran dan model
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di
Kabupaten Bombana, yang meliputi:
1. Dasar pembaharuan dan peran aktif dari
pemerintah daerah dalam menyusun Raperda
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kabupaten Bombana;
2. Sebagai bentuk ekspresi dan peran aktif pemerintah
daerah Kabupaten Bombana dalam rangka
mewujudkan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang baik dan sehat di
Kabupaten Bombana;
3. Sebagai kajian tentang urgensi peningkatan nilai
ekonomis dari potensi perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan melakukan penyelenggaraan Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten
Bombana
C. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
normatif empiris. Dengan menggunakan data primer dan data
sekunder, dimana data primer adalah data berwujud hasil
wawancara dari para informan serta beberapa data terkait
permasalahan mengenai zonasi tanah di Kabupaten Bombana
dan data sekunder meliputi sejumlah data yang diperoleh
melalui data pustaka yang meliputi buku-buku, artikel, dan
dokumen-dokumen, serta internet yang berkaitan dengan
objek penelitian. Metode pengumpulan data melalui studi
lapangan, wawancara dan studi kepustakaan. Setelah data
terkumpul kemudian dianalisis dengan metode analisis
kualitatif.
G. Penutup
Syukur Alhamdulillah, atas rahmat, karunia dan
hidayah Allah SWT, Kerangka Acuan Kerja (KAK) pekerjaan
Swakelola kegiatan penyusunan naskah akademik rancangan
peraturan daerah Kabupaten Bombana tentang Perda zonasi
tanah dapat juga disusun dan diselesaikan kami selaku
Pengguna Anggaran Sekretariat DPRD Kabupaten Bombana.
Kami berharap semoga KAK ini dapat dipahami dan dijadikan
panduan pokok oleh pelaksana swakelola.