Tata ruang erat kaitannya dengan perencanaan, untuk melihat struktur ruang pada kota.
Pengertian tata ruang, diambil dari buku Pengantar Hukum Tata Ruang (2016) karya Yunus
Wahid, merupakan ekspresi geografis yang merupakan cermin lingkup kebijakan yang dibuat
masyarakat terkait dengan ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Di Indonesia, konsep perencanaan tata ruang dikembangkan dari masa ke masa. Dengan
gagasan bahwa pembangunan infrastruktur akan mampu mempercepat terjadinya
pengembangan wilayah. Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk
mengatasi kesenjangan wilayah.
Rencana Tata Ruang Wilayah memuat arahan struktur ruang dan pola ruang.
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana
dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional, sedangkan pola ruang adalah
distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Pembangunan
bidang Cipta Karya harus memperhatikan arahan struktur dan pola ruang yang tertuang
dalam RTRW, selain untuk mewujudkan permukiman yang layak huni dan
berkelanjutan juga dapat mewujudkan tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang
yaitu keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan,
keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia, serta pelindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Jangka waktu perencanaan tata ruang wilayah nasional adalah 20 tahun. Selama lima
tahun sekali akan dilakukan peninjauan. Rencana tata ruang wilayah nasional memuat:
Akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Kualitas dan
jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan
sumber daya air. Pola ruang wilayah nasional memiliki tiga bagian, yaitu kawasan
lindung, kawasan budi daya, dan kawasan strategis nasional. Dengan tujuan sebagai
berikut:
Rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah provinsi. Dalam penyusunan harus
mengacu pada rencana tata ruang wilayah nasional. Pedoman tersebut dalam bidang
penataan ruang dan rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Tujuan penataan ruang wilayah provinsi merupakan arahan perwujudan ruang wilayah
provinsi yang diinginkan pada masa yang akan datang. Beberapa fungsi dari penataan
ruang wilayah provinsi adalah:
Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 11 Ayat 2,
pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah
kabupaten. Penataan tersebut meliputi perencanaan tata ruang wilayah kabupaten,
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
kebupaten. Fungsi rencana tata ruang wilayah kabupaten atau kota di antaranya:
4. Acuan lokasi investasi dalam rilayah kabupaten atau kota yang dilakukan
pemerintah, masyarakat, dan swasta.
Rencana tata ruang wilayah memuat arahan struktur ruang dan polar uang
a. Struktur ruang adalah susunan pusat pusat pemukiman dan system jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai bentuk pendukung kegiatan social
ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
b. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya
C. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) merupakan bagian dari rencana rinci tata ruang. Di Indonesia,
terdapat dua jenis perencanaan utama yaitu Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang
(RTR) yang menjadi pedoman bagi pemerintah untuk mencapai target pembangunan dalam
jangka waktu dan lingkup tertentu. Rencana tata ruang terbagi menjadi 2, yakni rencana umum
yang terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW
Kabupaten/Kota dan rencana rinci yang terdiri dari RTR Pulau, RTR Kawasan Strategis Nasional
dan RDTR Kabupaten dan Kota).
Penyusunan RDTR sendiri telah diamanatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang serta
diatur lebih jauh di dalam peraturan menteri yang diterbitkan pada tahun 2011 dan diperbaharui
pada tahun 2018. Pada peraturan tersebut diatur mengenai hal-hal serta muatan substansi yang
harus dipenuhi dalam menyusun dokumen RDTR, yang terdiri dari dokumen RDTR dan
Peraturan Zonasi (PZ). Adapun yang menjadi muatan substansi dari RDTR adalah tujuan
penataan Bagian Wilayah Perkotaan (BWP); rencana struktur ruang; rencana pola ruang;
penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya; dan ketentuan pemanfaatan ruang.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menggantikan peraturan
sebelumnya yang berkaitan dengan penyusunan substansi RDTR. Pada peraturan baru, terdapat
perubahan susunan materi substansi dari dokumen RDTR. Pada peraturan yang baru, dokumen
RDTR secara keseluruhan terdiri dari 7 bab, yang juga mengubah sub bab ketentuan khusus dan
standar teknis menjadi materi wajib yang harus ada di dalam dokumen RDTR. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Di dalam peraturan yang mengatur mengenai RDTR, secara umum penyusunan RDTR memiliki
fungsi sebagai berikut:
a. penentu lokasi berbagai kegiatan yang mempunyai kesamaan fungsi dan lingkungan
permukiman dengan karakteristik tertentu;
b. alat operasionalisasi dalam sistem pengendalian dan pengawasan pelaksanaan
pembangunan fisik kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah
daerah, swasta, dan/atau masyarakat;
c. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk setiap bagian wilayah sesuai dengan
fungsinya di dalam struktur ruang kabupaten/kota secara keseluruhan; dan
d. ketentuan bagi penetapan kawasan yang diprioritaskan untuk disusun program
pengembangan kawasan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya pada tingkat BWP atau
Sub BWP.
RDTR juga berfungsi untuk menentukan kesesuaian dokumen perencanaan dengan implementasi
pembangunan di lapangan. RDTR merupakan dasar acuan dari diterbitkannya dokumen
perizinan terkait bangunan. Tanpa adanya dokumen RDTR maka dokumen tersebut tidak dapat
dikeluarkan. Jika sebelumnya untuk mendirikan bangunan diperlukan IMB, maka kini telah
berganti menjadi PBG (Persetujuan Bangunan Gedung). Meskipun telah berganti istilah, namun
tetap memiliki fungsi yang sama.
Dokumen RDTR belum seluruhnya tersedia pada setiap kabupaten/kota di Indonesia. Dokumen
RDTR umumnya disusun apabila dokumen RTRW yang telah ada tidak memiliki substansi yang
mampu mencakup informasi detail. Keberadaan dokumen RTRW juga belum sepenuhnya
tersedia, meskipun jumlahnya tidak lebih sedikit dari kekurangan dokumen RDTR.
Jika ketersediaan dokumen RTRW di Indonesia sudah mencapai 95% maka ketersediaan
dokumen RDTR di Indonesia bahkan tidak mencapai lebih dari 5%. Hal ini tentu sangat
disayangkan dan sangat penting untuk menjadi perhatian pemerintah.
Terdapat beberapa faktor yang juga menjadi penyebab dari kontrasnya ketersediaan dokumen
RDTR di Indonesia, salah satunya adalah ketersediaan peta dasar dengan skala 1:5.000 untuk
penyusunan RDTR. Peta dasar yang disediakan haruslah mendapat persetujuan substansi dari
Badan Informasi Geospasial.
Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi
Geospasial. Di samping itu, dibutuhkan pula validasi mengenai kajian lingkungan hidup strategis
yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Untuk mempercepat proses ini guna menyediakan dokumen RDTR di seluruh Indonesia, maka
pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN tengah menggenjot program penyusunan RDTR
melalui RDTR Bimbingan Teknis, RDTR Bantuan Teknis Reguler, dan RDTR Online Single
Submission (OSS). Diharapkan dengan adanya program ini maka ketersediaan dokumen RDTR
dapat segera terpenuhi di seluruh Indonesia.
1. Pemantauan & Evaluasi Pemanfaatan Ruang
Rencana Tata Ruang Wilayah (“RTRW”) adalah hasil perencanaan tata ruang pada wilayah yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan
Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (“Perka BPN No. 6/2017”), RTRW dapat ditinjau kembali.
Peninjauan kembali RTRW harus dilakukan minimal lima tahun sekali sejak tanggal
diundangkannya RTRW tersebut. Peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari sekali dalam 5
tahun, dengan ketentuan terdapat kondisi:
Peninjauan kembali dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu (i) penetapan pelaksanaan
peninjauan kembali, (ii) pelaksanaan peninjauan kembali dan (iii) perumusan rekomendasi hasil
pelaksanaan peninjauan kembali. Keseluruhan tahapan tersebut harus dilakukan dalam waktu 1
tahun terhitung sejak diterbitkannya keputusan penetapan pelaksanaan peninjauan kembali
(“Keputusan Pelaksanaan Peninjauan Kembali”). Keputusan Pelaksanaan Peninjauan Kembali
diterbitkan oleh (i) Menteri Agraria dan Tata Ruang (“Menteri”) untuk peninjauan kembali
RTRW Nasional, (ii) Gubernur untuk peninjauan kembali RTRW Provinsi dan (iii) Bupati/Walikota
untuk peninjauan kembali RTRW Kabupaten/Kota. Selain itu, Menteri, Gubernur atau
Bupati/Walikota juga menetapkan Tim Pelaksana untuk melakukan peninjauan kembali.
Anggota Tim Pelaksana berasal dari unsur pemerintahan di bidang tata ruang, akademisi dan
lembaga peneliti.
Pelaksanaan peninjauan kembali dilakukan melalui (i) pengkajian, (ii) evaluasi dan (iii) penilaian.
Pengkajian dilakukan untuk melihat pelaksanaan tata ruang terhadap kebutuhan
pembangunan. Tim Pelaksana akan melakukan pengkajian melalui (i) pengumpulan data dan
informasi dan (ii) penyusunan matriks kesesuaian. Tim Pelaksana akan melihat kondisi aktual
pembangunan sebagai pertimbangan sumber pengkajian. Setelah Tim Pelaksana memperoleh
hasil dalam tahap pengkajian, Tim Pelaksana akan melakukan evaluasi untuk mengukur
kemampuan RTRW sebagai acuan dalam pembangunan dengan (i) kualitas RTRW, (ii)
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan dan (iii) pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Selanjutnya, hasil evaluasi akan digunakan dalam menentukan rumusan rekomendasi hasil
pelaksanaan yang dilakukan baik dengan metode kuantitatif maupun metode kualitatif, untuk
menghasilkan (i) tingkat kualitas RTRW, (ii) tingkat kesesuaian dengan peraturan perundang-
undangan dan (iii) tingkat kesesuaian pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Latar belakang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota diatur dalam
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 1 Tahun
2018 (“Permenag No. 1/2018”). Permenag No. 1/2018 ini mulai berlaku sejak tanggal 20 Maret
2018. Permenag No. 1/2018 diterbitkan dengan latar belakang untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, dan sebagai pedoman bagi Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah (“RTRW”) Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Ruang lingkup Permenag No.
1/2018 meliputi tata cara penyusunan dan muatan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.
Penyusunan RTRW diselesaikan dalam waktu paling lama 15 bulan. Penyusunan RTRW
melibatkan pemangku kepentingan dan masyarakat. Yang dimaksud sebagai masyarakat adalah
perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi dan/atau pemangku
kepentingan nonpemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Berdasarkan Permenag No. 1/2018, keterlibatan masyarakat dilakukan dalam beberapa tahapan,
di antaranya:
Pada tahapan persiapan, masyarakat akan terlibat secara pasif dengan dilakukannya
pemberitaan mengenai informasi penyusunan RTRW, di antaranya dengan dilakukannya
pertemuan terbuka dengan masyarakat/kelompok masyarakat;
Pada tahapan pengumpulan data dan informasi, masyarakat dan pelaku usaha akan
diperkenankan untuk memberikan aspirasinya melalui angket, forum diskusi public,
wawancara, kotak aduan, dan metode lainnya.
Pada tahapan pengumpulan data dan informasi, masyarakat juga akan terlibat secara aktif
dalam bentuk:
o permintaan data dan informasi perorangan dan/atau kewilayahan yang
diketahui/dimiliki oleh masyarakat;
o permintaan masukan, aspirasi dan opini awal usulan rencana penataan ruang; dan
o penjaringan informasi terkait potensi dan masalah penataan ruang.
Pada tahapan penyusunan konsep RTRW, masyarakat akan terlibat secara aktif dalam dialog
yang dilakukan pada konsultasi publik, workshop, dan focus group discussion.
Pada tahapan penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan daerah, dimana masyarakat
dapat mengajukan usulan, keberatan dan sanggahan terhadap naskah rancangan peraturan
daerah.
Rencana struktur ruang meliputi (i) sistem perkotaan untuk wilayah provinsi atau kabupaten dan
sistem pusat pelayanan untuk wilayah kota, dan (ii) sistem jaringan prasarana wilayah daerah
provinsi, daerah kabupaten atau kota. Rencana pola ruang meliputi (i) kawasan lindung; dan (ii)
kawasan budidaya.
Penetapan kawasan strategis merupakan penetapan bagian wilayah daerah provinsi, daerah
kabupaten atau kota yang penataan ruangnya diprioritaskan. Arahan pemanfaatan ruang
merupakan arahan pembangunan atau pengembangan wilayah daerah provinsi, daerah kabupaten
atau kota untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang.
indikasi arahan peraturan zonasi untuk wilayah daerah provinsi dan ketentuan umum peraturan
zonasi untuk wilayah daerah kabupaten atau kota;
arahan perizinan untuk wilayah daerah provinsi dan ketentuan perizinan untuk wilayah daerah
kabupaten atau kota;
arahan insentif dan disinsentif untuk wilayah daerah provinsi dan ketentuan insentif dan
disinsentif untuk wilayah daerah kabupaten atau kota; dan
arahan sanksi untuk wilayah daerah provinsi, daerah kabupaten atau kota.