Anda di halaman 1dari 8

REACTION PAPER

ANALISIS PEMBANGUNAN PUSAT PERTUMBUHAN MELALUI


PENINGKATAN KONEKTIVITAS KAWASAN INDONESIA TIMUR DALAM
MENGATASI KETIMPANGAN WILAYAH DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi komponen nilai Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Manajemen
Pertumbuhan Wilayah (MPW)

Dosen Pengampu : Dr. Sintaningrum Wiradinata, MT; Dr. Drs. Slamet Usman Ismanto, M.Si; Dr.
Ramadhan Pancasilawan, S.Sos., M.Si; Tomi Setiawan, S.IP., M.Si.

Disusun Oleh :

M. Rivaldy Rizky Alviansyah


170110170038
Administrasi Publik 2017/B

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
SUMEDANG
2020
Infrastruktur di Indonesia melingkupi infrastruktur utama bidang transportasi dan energi,
sedangkan mengenai sumber daya air, informasi serta komunikasi termasuk infrastruktur penunjang,
kemudian bidang perumahan, pendidikan dan kesehatan menajdi stimulus peningkatan produktivitas.
Transportasi dan energi memiliki peran besar dalam pembangunan karena transportasi dapat
menghadirkan aktivitas perdagangan atau distribusi antara satu wilayah tertentu dengan wilayah yang
membutuhkan juga energi memungkinkan lahirnya aktivitas produksi. Lalu sumber daya air, informasi
dan komunikasi akan membantu mempercepat dan mengefisienkan aktivitas perdagangan dan produksi.
Sementara kegiatan di bidang perumahan, pendidikan, dan kesehatan akan berperan dalam peningkatan
produktivitas mampu membantu akselerasi pertumbuhan ekonomi. Maka, Pemerintah Indonesia sadar arti
pentingnya kesungguhan dalam memperbaiki infrastruktur sehingga iklim investasi dan bisnis nasional
menjadi lebih menggeliat. Namun saat ini, tidak ada cukup banyak jalan, pelabuhan, bandara, dan
jembatan yang memiliki fungsi koneksi antar wilayah dengan kesamaan kualitas di seluruh wilayah
Indonesia. Artinya, asa pembangunan nasional yang memiliki tujuan pemerataan masih belum mampu
menghidupkan geliat ekonomi atau mengoptimasi potensi wilayah untuk membangun ekonomi pada
setiap wilayah penjuru di negeri.
Sejalan dengan pembangunan ekonomi yang semakin berorientasi pada mekanisme pasar dan
adanya dinamika struktur perekonomian, ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia adalah
hal yang sulit untuk dihindari. Kesenjangan antar daerah begitu melekat dalam paradigma tiap individu
terutama pada kasus timpangnya antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan hinterland dengan kawasan
perbatasan, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI), meliputi Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa
dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), meliputi Pulau Bali–Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua-
Kepulauan Maluku (Rahardjo, 2008). Beberapa bentuk ketimpangan yang timbul mencakup ketimpangan
tingkat kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Ketimpangan sangat erat kaitannya dengan aspek spasial
karena keterbatasan infrastruktur dasar akan memperlambat arus investasi, degradasi kualitas SDM akibat
buruknya aksesibilitas terhadap layanan pendidikan serta kesehatan, buruknya konektivitas antar wilayah
yang menyebabkan melambungnya biaya logistik, dan kurangnya pelayanan dasar untuk pemenuhan hak-
hak dasar sehingga berimbas pada rendahnya kualitas hidup. Kebijakan politik dan anggaran pemerintah
yang masih lebih bias ke KBI, juga dianggap sebagai faktor utama penghambat kemajuan KTI. Institusi
lokal dengan kapasitas minimum serta tidak akuntabel juga menyumbang bagi ketertinggalan KTI. Faktor
kultural juga seringkali dianggap sebagai elemen dasar yang integral terhadap keterbelakangan KTI.
BAPPENAS (2011) mengemukakan terdapat beberapa penyebab masih timpangnya KBI dengan
KTI yakni sebagai berikut; (1) Implementasi yang tidak efektif, karena untuk memberikan izin usaha
berdasarkan pelimpahan wewenang instansi terkait dalam rangka pelayanan satu atap masih tumpang
tindih. (2) Insentif tidak menarik, insentif fiskal yang ditawarkan pemerintah tidak menarik bagi investor.
(3) Birokrasi, proses perizinan usaha yang berbelit-belit, lambat, mahal, tidak transparan, serta banyaknya
peraturan daerah yang menghambat pengembangan dunia usaha. (4) Belum tepat sasaran, strategi
pengembangan kawasan andalan belum fokus pada industri apa yang hendak dikembangkan dan belum
jelas orientasi sasaran pasar yang dituju. (5) Pendekatan yang salah, penetapan lokasi KAPET, KEK,
maupun Kawasan Andalan terobsesi oleh posisi strategis kekayaan wilayah dan kurang memperhatikan
persoalan pasar.
Namun harus diakui bahwa membangun konektivitas antar wilayah di KTI bukanlah perkara yang
mudah. Terdapat kesan kuat bahwa setiap provinsi di KTI cenderung menonjolkan ego daerahnya
masing-masing. Sedangkan pada tingkat provinsi, kohesivitas (cohesiveness) antar kabupaten/kota juga
dalam kondisi tidak kondusif sebab setiap daerah lebih mengedepankan kepentingan jangka pendeknya
masing-masing (Dachlan et al., 2014). Contohnya, pada pembangunan kawasan metropolitan
Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa Gowa, dan Takalar) tidak berjalan sesuai harapan karena
rendahnya kohesivitas antar daerah. Oleh sebab itu, wawasan pembangunan regional perlu terus
dielaborasikan di KTI untuk menguatkan wawasan pembangunan sektoral dan mengikis ego setiap
daerah.
Terhitung selama hampir lebih dari 50 tahun, pemerintah telah mencoba meningkatkan
pembangunan di KTI dengan berbagai kebijakan dan strategi. Namun sayangnya, sejak tahun 1975
hingga kini kesenjangan ekonomi antara KTI dan KBI hampir tidak mengalami perbaikan padahal dalam
perencanaan pembangunan nasional, KTI selalu mendapatkan perhatian lebih dan menjadi prioritas.
Hingga kini pertumbuhan ekonomi, pemeratan hasil-hasil pembangunan dan kemampuan daerah di KTI
secara keseluruhan upaya disandingkan dengan hasil pembangunannya masih dikatakan tertinggal dengan
KBI pada umumnya. Hal ini pastinya dapat dimengerti karena mayoritas pusat perekonomian riil dan
pasar skala nasional beralokasi di KBI. Maka, dengan wilayah KTI yang luas serta melimpahnya
kandungan kekayaan alamnya, akan sangat ironis apabila KTI harus menghadapi ketertinggalan
pembangunan dan berkutik dalam masalah rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat bila dibandingkan
dengan KBI.
Kondisi riil yang terjadi saat ini adalah fenomena kesenjangan wilayah, dimana KBI banyak
dipandang lebih menikmati hasil pembangunan dibandingkan KTI. Ternyata benar saja, berdasarkan
besaran ketimpangan wilayah menggunakan indeks Williamson menyatakan bahwa ketimpangan di KBI
sebesar 0.2300 sedangkan KTI sebesar 0,31929. Tingkat ketimpangan yang tinggi di KTI ini tidak
terlepas dari banyaknya daerah-daerah yang belum mampu berdiri secara mandiri. Bahkan berdasarkan
data (BPS, 2020) sekitar 80,32% kontribusi wilayah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional
masih berasal dari KBI, dan 19,68% berasal dari KTI. Dengan rincian per pulau yakni Pulau Jawa sebesar
59%, Pulau Sumatera sebesar 21,32%, Pulau Kalimantan sebesar 8,05%, Pulau Sulawesi 6,33%, dan
Pulau Bali-Nusa Tenggara berkontribusi sebanyak 3,06%. Sedangkan Kepulauan Maluku dan Pulau
Papua mencatatkan kontribusi terkecil terhadap PDB nasional yakni hanya sebesar 2,24%, dengan
pertumbuhan mengalami kontraksi sebesar 7,4%. BPS pun mencatat faktor penyebab kecilnya angka
pertumbuhan ekonomi di Maluku-Papua karena kondisi pertumbuhan di Papua yang mengalami
kontraksi/minus sebesar 15,72%.
Permasalahan lain di KTI adalah minimnya pembangunan infrastruktur penunjang konektivitas
antara daerah pinggiran seperti daerah tertinggal dan kawasan perbatasan ke pusat pertumbuhan, dimana
pusat pertumbuhan sebagai proses hilirisasi dari pengolahan potensi unggulan yang berorientasi pada
keterkaitan kabupaten tertinggal dengan daerah pusat pertumbuhan lainnya. Dalam konteks
pengembangan

rantai industri strategis, hilirisasi potensi sumber daya alam akan dapat memperkuat basis ekonomi KTI
secara keseluruhan karena akan membantu menarik kawasan terbelakang yang berada di dekatnya.
Jadi sangat diperlukan upaya pembangunan dengan memanfaatkan berbagai potensi SDA, SDM,
sumber daya kelembagaan, sumber daya teknologi dan prasarana fisik secara efektif, optimal, dan
berkelanjutan. Pendekatan pembangunan pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan menetapkan
kota atau wilayah tertentu menjadi pusat pertumbuhan (growth pole). Pusat pertumbuhan merupakan
salah satu cara untuk menggerakkan dan memacu pembangunan sektoral guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Meskipun ketimpangan yang nantinya akan terurai belum menunjukkan
tendensi yang menurun, namun setidaknya akan menunjukkan pengurangan factor yang cukup signifikan,
sehingga masih memerlukan solusi pemecahan masalah secara tepat (Suradi, 2012). Muncul konsekuensi
logis akibat fenomena tersebut, yakni KTI kini menjadi fokus pembangunan infrastruktur pemerintah
pusat. Hal ini sebagai bagian dari amanah Nawa Cita yakni mengurangi disparitas KTI dengan KBI.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Badan Pengembangan
Infrastruktur Wilayah (BPIW) telah menyiapkan sejumlah program untuk percepatan pembangunan
infrastruktur di KTI.
Adanya fenomena ini, menjadikan dasar empiris penulis bahwa permasalahan ketimpangan antar
daerah terutama dalam simpul KBI dan KTI membuktikan masih terdapat ketidaktepatan sasaran
pembangunan di Indonesia khususnya pada KTI. Atas temuan fakta di atas, perlunya sebuah transformasi
cara berpikir dan berpijak pemerintah dan seluruh entitas yang ada di Indonesia bahwa kesamaptaan dan
kemerataan pembangunan penting kehadirannya di KTI melalui adanya perubahan paradigmatik
pembangunan nasional yang syarat pertaman perwujudannya yaitu membangun konektivitas. Dimana
dalam kaitannya antara konsep ketimpangan antar wilayah yang merupakan salah satu fokus kajian ilmu
Manajemen Pertumbuhan Wilayah (MPW) dengan revolusi mental dalam hal ini terdapat pada paradigma
pembangunan infrastruktur konektivitas wilayah sebagai sebuah masukan/input dalam proses formulasi
kebijakan percepatan pembangunan KTI seluruh sendi kehidupan. Sedangkan konsep pembangunan
infrastruktur konektivitas wilayah merupakan fase proses implementasi kebijakan yang dilakukan berupa
pengembangan pusat pertumbuhan baru di KTI sehingga dapat memberikan output dan outcome nyata
yakni adanya pengurangan ketimpangan antar wilayah di Indonesia dan meningkatkan kemampuan
daerah dalam memanfaatka potensinya agar dapat memberikan impact berupa kesejahteraan kepada
masyarakatnya. Revolusi mental melalui resiporsitas paradigmatik tidak hanya melibatkan pemerintah
namun juga masyarakat yang dewasa ini termasuk juga menjadi subjek dan objek kebijakan publik.
Untuk menunjang konsepsi di atas, diperlukan pengembangan ekonomi wilayah secara terintegrasi
dari aspek hulu dan hilir (keterkaitan sektor) dengan meningkatkan konektivitas antara daerah pinggiran
maupun daerah tertinggal dan kawasan perbatasan ke pusat pertumbuhan/kawasan strategis, maka
pemerintah melakukan berbagai macam upaya seperti pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET) di KTI serta pembentukan Kawasan Andalan sebagai kawasan budi daya strategis
nasional. Tentu saja semua ini juga perlu didukung oleh pengembangan otonomi daerah dan pemerintah

yang menyediakan infrastruktur, fasilitas, dan insentif serta kemudahan berinvestasi di kawasan-kawasan
tersebut. Pengembangan infrastruktur untuk mendukung konektivitas wilayah juga perlu terus
diupayakan.
Infrastruktur jalan, pelabuhan laut, bandar udara, dan energi lstrik perlu dikembangkan secara terintegrasi
dengan pusat-pusat perdagangan, kawasan industri, dan sentra-sentra produksi komoditas unggulan.
Ragam strategi lainnya pun dilakukan pemerintah yang dapat membangkitkan simpul-simpul
pertumbuhan ekonomi baru berbasiskan potensi/kekhasan KTI yakni kekayaan alam. Adanya
pengembangan interkoneksi antar simpul-simpul perekonomian, yang selanjutnya akan dipilih sebagai
transshipment point yang mampu menumbuhkan jalur-jalur pendukung sebagai bagian penting dalam
mata rantai logistik nasional (national logistic link), pengembangan pelabuhan-pelabuhan strategis serta
penataan jalur transportasi laut dengan cara menghubungkan simpul-simpul perekonomian yang tersebar
di berbagai wilayah Indonesia, dan penerapan konsep Pendulum Nusantara dan Sislognas yang
menghubungkan simpul-simpul perekonomian utama di enam koridor ekonomi Indonesia diyakini akan
mampu memberikan kontribusi optimal bagi terciptanya struktur biaya logistik yang wajar yang pada
akhirnya akan mampu meningkatkan daya saing logistik nasional. Hal ini didasari pada kondisi Indonesia
adalah negara kepulauan dan maritim terbesar dan 95% perjalanan perdagangan dunia terjadi melalui laut,
sudah sewajarnya untuk mengembangkan perdagangan antar pulau-pulau di Indonesia melalui
pengembangan pelabuhan-pelabuhan strategis dan penataan sistem angkutan laut (Dachlan et al., 2014).
Perroux (dalam B. Parr, 1973) mengemukakan sebuah Teori Pusat Pertumbuhan (growth pole)
yang diangkat berawal dari fakta bahwa pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah dalam waktu yang
sama, tetapi hanya terjadi di beberapa tempat yang disebut sebagai pusat pertumbuhan dengan intensitas
berbeda. Konsep dasar dari teori ini adalah bahwa kegiatan ekonomi di suatu daerah cenderung
beraglomerasi atau terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu yang mempunyai keuntungan lokal.
Pertumbuhan ekonomi di wilayah pusat pertumbuhan dapat memberikan manfaat atau spillover effect
positif terhadap hinterland, sehingga gap yang ada tidak terlalu besar. Dengan menentukan pusat
pertumbuhan serta memfokuskan pertumbuhan terutama perekonomian pada daerah tersebut, akan
menyebarkan efek yang menguntungkan bagi wilayah-wilayah di sekitarnya.
Pendekatan ini menekankan pada pengembangan pusat pertumbuhan dengan menguatkan daerah
penyangga khususnya daerah tertinggal seraya meningkatkan konektivitas antar wilayah melalui
pembangunan infrastruktur penunjang, guna mendorong pertumbuhan ekonomi baik di desa, kecamatan,
distrik, kawasan transmigrasi, maupun kawasan perbatasan. Pendekatan ini juga menekankan pada
pemerataan pembangunan dengan tetap memperhatikan karakteristik wilayah melalui perluasan akses
pelayanan dasar di daerah tertinggal, terutama bagi masyarakat dalam bidang pertanian, perikanan,
maupun usaha kecil dan menengah, sehingga dapat meningkatkan produksi, nilai tambah, dan
pendapatan. Implementasi dari penciptaan pusat pertumbuhan harus diikuti oleh dampak penetesan ke
bawah (trickle down effect) dan dampak penyebaran (spread effect) melalui aktivitas integrasi antara
pusat pertumbuhan dan basis sumber daya di wilayah belum berkembang terdekatnya (Gulo, 2015).

Sejalan dengan teori pusat pertumbuhan di atas serta keadaan ketimpangan yang telah hadir sejak
orde baru, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan yang mencoba memperbaiki paradigma bahwa
pembangunan harus dilakukan secara merata dan menyeluruh. Kemudian dibentuklah REPELITA II
tahun
1974-1978 menyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan melalui sistem regionalisasi atau
perwilayahan, dengan kota-kota utama sebagai kutub atau pusat pertumbuhan, dengan pengembangan
kota-kota pusat pertumbuhan nasional, wilayah pembangunan utama di Indonesia dibagi menjadi 4
regional utama (Sjafrizal, 2008) sebagai berikut, yaitu: Wilayah pembangunan utama A dengan pusat
pertumbuhan utama di Medan (meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau). Wilayah
pembangunan utama B dengan pusat pertumbuhan utama di Jakarta (meliputi Jambi, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Kalimantan Barat). Wilayah
pembangunan utama C dengan pusat pertumbuhan utama di Surabaya (meliputi Jawa Timur, Bali,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Wilayah pembangunan utama D dengan
pusat pertumbuhan di Makassar (meliputi NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Kepulauan Maluku, dan Papua).
Estafet komitmen pemerataan tersebut terus berlanjut dari masa ke masa bahkan hingga kinin,
dibuktikan melalui keluarnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional melakukan pembangunan di Kawasan Industri Arar dan Pelabuhan Seget, Kawasan
lndustri Teluk Bintuni, Kawasan Biak, Kawasan Pengembangan Ekonomi Saireri, Kawasan
Pengembangan Ekonomi Me Pago, Kawasan Pengembangan Ekonomi La Pago, Kawasan Pengembangan
Ekonomi Hanim, Kawasan Mifee dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Manta. Serta pengesahan
Peraturan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2018 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019 secara umum menyatakan arah kebijakan percepatan pembangunan
daerah tertinggal difokuskan pada pengembangan perekonomian masyarakat yang didukung oleh sumber
daya manusia yang berkualitas dan infrastruktur penunjang konektivitas antara daerah tertinggal dan
pusat pertumbuhan. Saat ini, dua belas dari 13 Kawasan Ekonomi Khusus yang Indonesia miliki berada
KTI, seperti contohnya di kota Palu, kota Morotai, dan kota Sorong, Papua Barat. Serta pembangunan
jalan tol Trans Papua, jembatan merah Youtefa, 10 Bandara dan 5 Pelabuhan di KTI, sejumlah bendungan
di NTT, Maluku, dan Papua, serta pembangunan infrastuktur kelistrikan dan akses air bersih di KTI.
Pada akhirnya dengan serangkaian permasalahan serta upaya penanganan yang dilakukan
pemerintah seluruhnya dan seutuhnya ditujukan terciptanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dalam
mencapai kemandirian KTI dalam segala bidang memanfaatkan potensi alam untuk masyarakatnya
sendiri dengan tidak mengenyampingkan fakta sejarah dan menyaptakan pandangan bersama bahwa KTI
adalah sama-sama bagian dari NKRI. Oleh karenanya, kita semua sudah sewajarnya belajar untuk
memahami serta berpikir secara komprehensif sehingga dapat mengubah cara pandang dan cara berpikir
atas suatu fenomena, menjadikan kita sebagai individu dewasa dan berpikir terbuka karena segalanya
dapat dengan cepat berubah jika paradigma organismik tiap individu terus berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

B. Parr, J. (1973). Growth Poles, Regional Development, and Central Place Theory. Papers of the
Regional Science Association. Vol. 3, No. 1, Hal. 173–212.

BAPPENAS. (2011). Evaluasi Akhir Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010.

BPS. (2020). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2019. In www.bps.go.id (Issue 17/02/Tahun.
XXIV). https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/02/05/1755/ekonomi-indonesia-2019-tumbuh-5-
02-persen.html

Dachlan, D., Sallatu, A. M., & Agussalim. (2014). Kinerja dan Tantangan Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Makassar: P3KM Unhas Press.

Gulo, Yarman. (2015). Identifikasi Pusat-Pusat Pertumbuhan Dan Wilayah Pendukungnya Dalam
Pengembangan Wilayah Kabupaten Nias. Widyariset. Vol. 18, No. 1, Hal. 37–48.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Peraturan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2018 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019.

Rahardjo, A. (2008). Pengembangan Wilayah Konsep dan Teori. Jakarta: Penerbit Graha Ilmu.

Sjafrizal. (2008). Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Niaga Swadaya.

Suradi. (2012). Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Informasi. Vol. 17, No. 03, Hal.
114–128.

Anda mungkin juga menyukai