Anda di halaman 1dari 15

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kunir Putih (Curcuma mangga Val.)

Tanaman kunir putih (Curcuma mangga Val.) merupakan tanaman semak

berumur tahunan. Tingginya mencapai 50-70 cm, bentuk batang semu yang tersusun

dari pelepah-pelepah daun. Daun warna hijau, berbentuk seperti mata lembing bulat

lonjong di bagian ujung dan pangkalnya. Panjang daun 30-60 cm dan lebar daun 7,5-

12,5 cm, tangkai daunnya panjang sama dengan panjang daunnya. Permukaan atas

dan bawah daun agak licin, tidak berbulu. Tanaman ini mempunyai bunga majemuk

berbentuk bulir yang muncul dari bagian ujung batang. Mahkota bunga berwarna

kuning muda atau hijau keputihan, panjang 2,5 cm. Kunir putih (Curcuma mangga

Val.) memiliki rimpang berbentuk bulat, renyah, dan mudah dipatahkan. Kulitnya

dipenuhi semacam akar serabut yang halus hingga menyerupai rambut. Rimpang

utamanya keras, bila dibelah tampak daging buah berwarna kekuning-kuningan di

bagian luar dan putih kekuningan di bagian tengahnya. Rimpang berbau aromatis

seperti bau mangga, dan rasanya mirip mangga sehingga masyarakat menyebutnya

temu mangga (Syukur, 2003).

Rimpang kunir putih dapat dimanfaatkan sebagai lalapan yang dapat dimakan

bersama nasi dan dapat diolah menjadi makanan maupun minuman fungsional. Selain

sebagai makanan maupun minuman kunir putih juga dimanfaatkan sebagai obat

tradisional seperti obat sakit perut, penguat lambung, penurun panas badan dan

5
mengobati penyakit kulit seperti bintik-bintik merah karena gatal. Tanaman ini juga

dapat digunakan untuk mengobati luka memar dan keseleo (Darwis dkk, 1991).

Tanaman kunir putih (Curcuma mangga Val.) sebagai berikut

Divisi : Spermathophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma mangga Val.

Gambar 1. Kunir putih (Curcuma mangga Val.)

Kunir putih (Curcuma mangga Val.) mengandung minyak atsiri, tannin, guls

dan dammar (Fauziah, 1999). Kandungan kunir putih (Curcuma mangga Val.) yang

juga sangat penting adalah pigmen kurkuminoid yang berwarna oranye. Pigmen ini

6
merupakan campuran dari tiga komponen analog yaitu kurkumin, demotiksi

kurkumin dan bisdemotoksi kurkumin (Tonnesen, 1986). Adapun komposisi kimia

kunir putih dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia kunir putih dan bubuk kunir putih dalam 100 g
bagian yang dapat dimakan

Komponen Kunir putih Bubuk kunir putih


Energi 349,00 390
Air (g) 13,10 5,80
Protein 6,30 8,60
Lemak (g) 5,10 8,90
Total karbohidrat (g) 69,40 69,90
Serat Kasar (g) 2,60 6,90
Abu (g) - 6,80
Kalsium (g) 0,15 0,20
Fosfor (g) 0,28 0,26
Natrium (g) 0,03 0,01
Kalium (g) 3,30 2,50
Besi (g) 18,60 47,50
Tiamin (mg) 0,03 0,09
Riboflavin (mg) 0,05 0,19
Sumber : Lukman, 1984 dalam Pujimulyani, 2010

7
B. Antioksidan

Antioksidan merupakan suatu senyawa yang memiliki kemampuan untuk

bereaksi dengan radikal bebas, menghasilkan suatu radikal bebas yang stabil dengan

cara menerima atau menyumbangkan elektronnya (Dwiyanti, 2014), memiliki

kemampuan atau mencegah proses oksidasi, sehingga dapat melindungi bahan

pangan, terutama yang mengandung lemak dari oksidasi (Hudson, 1990),

mempertahankan mutu produk, mencegah ketengikan, perubahan nilai gizi,

perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain yang diakibatkan oleh reaksi

oksidasi (Widjaya, 2003). Di dalam tubuh, antioksidan memperkecil kerusakan

oksidatif sel-sel hidup (Pujimulyani, 2010). Antioksidan yang dihasilkan tubuh

manusia tidak cukup untuk melawan radikal bebas, sehingga tubuh memerlukan

asupan antioksidan dari luar (Darlimartha dan Soedibyo, 1999).

Berdasarkan mekanismenya dalam menghambat oksidasi antioksidan

dibedakan menjadi dua, yaitu antioksidan primer dan sekunder. Antioksidan primer

dapat bereaksi dengan radikal lipid dengan membentuk produk yang lebih stabil.

Antioksidan primer berperan sebagai pemutus rantai atau donor hidrogen. Anti

oksidan primer meliputi senyawa fenolik dan senyawa-senyawa alami flavonoid.

Antioksidan sekunder bekerja dengan cara menurunkan kecepatan tahap inisiasi

dengan berbagai mekanisme, yaitu mengikat ion logam, mengikat oksigen, mengubah

hidroperoksida menjadi bentuk non radikal, menyerap radiasi sinar UV atau

inaktivasi oksigen. Antioksidan sekunder meliputi vitamin C (Asam askorbat),

8
askorbil palmitat, asam eritrobat,dan natrium eritrobat yang dapat menstabilkan

lemak (Hudson, 1990).

Jenis antioksidan terdiri dari dua, yaitu antioksidan sintesis dan antioksidan

alami Antioksidan sintesis yaitu butil hidroksilanisol (BHA), butil hidroksi toulen

(BHT), propigallat, dan etoksiquin (Cahyadi, 2006). Sedangkan antioksidan alami

terdapat pada tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran dan buah-buahan (Winarsi, 2007).

Antioksidan alami telah lama diketahui menguntungkan untuk digunakan

dalam bahan pangan karena umumnya derajat toksisitasnya rendah (Cahyadi,2006).

Antioksidan sintesis memang mempunyai efektivitas tinggi namun kurang aman bagi

kesehatan jika melebihi batas yang dianjurkan (Pujimulyani, 2010).

Aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain komposisi

lipid, konsentrasi antioksidan, temperatur, tekanan oksigen adanya antioksidan dan

prooksidan lain serta komponen dalam makanan seperti air dan protein. Selain itu

dipengaruhi oleh faktor lain seperti struktur kimia antioksidan, cahaya, jenis substrat,

dan aktivitas radikal peroksil. Faktor tersebut secara garis besar digolongkan menjadi

3 yaitu faktor fisik, faktor substrat, dan faktor fikokimia (Pokorny dkk., 2001).

Antioksidan memang secara alami terdapat pada sebagian besar bahan

pangan, namun senyawa-senyawa tersebut mengalami penurunan fungsi selama

proses pengolahan (Pujimulyani dkk., 2006).

9
C. Antioksidan Kunir Putih

Penelitian terdahulu terhadap kandungan kunir putih melaporkan bahwa kunir

putih mengandung kurkumanoid (Sudewo, 2004) sebesar 132 ppm (Pujimulyani,

2003), tanin (Pujimulyani dan Sutardi, 2003) yang terbukti dapat menurunkan laju

oksidasi lemak. Kurkumanoid merupakan pigmen penting yang terdapat pada

beberapa tanaman famili Zingeberaceae. Kurkumin berbentuk serbuk kristalin, rasa

sedikit pahit dengan aroma khas dan memilki pigmen oranye. Pigmen ini merupakan

campuran dari 3 komponen analog yaitu, kurkumin, demetoksi kurkumin dan

bisdemetoksi kurkumin (Tonnesen, 1985). Rimpang dan daun mengandung saponin

dan flavonoid, disamping itu daunnya mengandung polifenol (Hutapea, 1993).

Penelitian Pujimulyani (2010), mengenai aktivitas antioksidan kunir putih blanching

terjadi peningkatan kadar fenol total, flavonoid, tannin terkondensasi, katekin,

epigalokatekingalat, dan munculnya aglikon kuersetin yang semula tidak terdeteksi.

Pada kunir putih diketahui mengandung minyak atsiri yang terdiri atas

curdione dan curcumol yang berkhasiat sebagai antioksidan yang mencegah

kerusakan gen penyebab timbulnya kanker serta dapat meningkatkan sel darah merah.

Menurut hasil penelitian American Institue Cancer Report (New York Time, 1999)

pusat penelitian Obat Tradisional (PPOT) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,

Curcuma mangga Val. Mengandung Ribosome Inactivating Protein (RIP) yang salah

satu aktivitasnya menonaktifkan perkembangan sel kanker (Suharmiati dkk., 2002).

10
Pujimulyani dan Wazyka (2005) melakukan penelitian mengenai potensi

kunir putih sebagai sumber antioksidan alami untuk pengembangan produk makanan

fungsional, sperti sirup kunir putih, bubuk instan tablet effervescent. Pengujian

aktivitas antioksidan pada produk olahan tersebut dilakukan metode DPPH, metode

FTC dan TBA. Hasil penelitian tersebut menunjukkan aktivitas antioksidan.

D. Uji Aktivitas Antioksidan DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl)

Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa metode

diantaranya dengan CUPRAC, DPPH, dan FRAP. Prakash dkk. (2007) dalam

Herman (2010), metode DPPH merupakan metode pengukuran aktivitas antioksidan

yang cepat, mudah dan sederhana, selain itu metode ini terbukti akurat, reliabel, dan

praktis. Kelebihan dari metode pengujian DPPH adalah telah banyak digunakan di

dunia dan mudah diterapkan karena senyawa radikal yang digunakan bersifat relatif

stabil dibanding metode lainnya Digunakan untuk menguji kemampuan suatu

senyawa untuk bertindak sebagai penangkap radikal bebas atau pendonor hidrogen

sehingga aktivitas suatu senyawa dapat dihitung.

DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) adalah suatu radikal bebas yang cukup

stabil dengan memberikan warna ungu yang diserap pada panjang gelombang dengan

nilai absorbansi DPPH berkisar antara 515-520 nm (Vanselow, 2007). Menurut

Milauskas (2004), ketika radikal DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) bereaksi

dengan suatu senyawa antioksidan yang dapat mendonorkan radikal hidrogen, radikal

11
DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) tersebut akan tereduksi, dan warnanya akan

berubah menjadi kuning dan membentuk DPPH-H (diphenylhydrazine). Mekanisme

penghambatan radikal DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme penghambatan radikal DPPH

Cara pengukuran aktivitas antioksidan terhadap radikal bebas DPPH (2,2-

diphenyl-1-picrylhydrazyl) dilakukan dengan mereaksikan larutan sampel dengan

radikal DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) yang dilarutkan dalam metanol, setelah

beberapa waktu diinkubasi pada suhu kamar larutan diukur panjang gelombang

maksimal dengan spektrofotometer UV-Vis. Hasil perhitungan aktivitas antioksidan

dinyatakan dalam % aktivitas antioksidan dari nilai % aktivitas antioksidan tersebut,

bisa dicari nilai IC50 (Inhibitor Concentration 50%) atau biasa disebut juga nilai

EC50 (Efficient Concentration 50%). IC50 adalah besarnya konsentrasi senyawa uji

yang mampu menangkap radikal bebas sebesar 50%. Nilai IC50 diperoleh

dengan menggunakan persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan antara

12
konsentrasi senyawa uji dengan aktivitas penangkap radikal rata-rata. Senyawa

yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi akan mempunyai nilai IC50 yang

rendah.

Tabel 2. Sifat antioksidan berdasarkan nilai IC50 ( Molineux (2004) dalam Tristantini
(2016).

Nilai IC50 (µg/mL atau Sifat Antioksidan


ppm )
< 50 µg/Ml Sangat kuat
50 µg/mL-100 µg/mL Kuat
100 µg/mL-150 µg/mL Sedang
150 µg/mL-200 µg/mL Lemah

E. Serat Pangan

Serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan

bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang

memilki sifat resistan terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus

manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar

(Anonim, 2001). Silalahi dan Hutagalung (2000) menyebutkan bahwa serat pangan

adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim

pencernaan. Lebih lanjut Trowell dkk. (1985), Hermaningsih (2010) mendefinisikan

serat pangan adalah sisa dari dinding sel tumbuhan yang tidak terhidrolisis atau

tercerna oleh enzim pencernaan manusia yaitu meliputi hemiselulosa, selulosa, lignin,

oligosakarida, pektin, gum, dan lapisan lilin. Sedangkan Meyer (2004)

13
mendefinisikan serat sebagai bagian integral dari bahan pangan yang dikonsumsi

sehari-hari dengan sumber utama dari tanaman, sayur-sayuran, sereal, buah-buahan,

dan kacang-kacangan.

Berdasarkan kelarutannya serat pangan terbagi menjadi dua yaitu serat pangan

yang terlarut (soluble dietary fiber) seperti pektin dan gum merupakan bagian dalam

sel pangan nabati (banyak terdapat pada buah dan sayur) dan tidak terlarut (insoluble

dietary fiber) seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin (banyak ditemukan pada

serelia, kacang-kacangan dan beberapa sayuran).

Sifat serat yang terlarut diantaranya membentuk larutan viscous, kemampuan

mengikat air lebih rendah tetapi kemampuan mempertahankan air lebih besar dan

sulit difermentasi. Pektin adalah polimer asam galakturonat dengan rantai samping

terdiri ari sejumlah gula seperti glukosa, galaktosa, dan ramnosa. Pektin mempunyai

kemampuan membentuk gel dan kemampuan mengikat ion yang kuat. Selulosa

merupakan polimer linier dari beberapa ratus glukosa dan ikatan Beta 1,4 glikosidik.

Mempunyai kemampuan kekuatan mekanik yang tinggi serta tahan terhadap bahan

kimia, mesikipun demikian selulosa masih dapat terdegradasi sebagian oleh

mikroflora dalam usus besar manusia. Hemiselulosa adalah polimer yang umumnya

terdiri dari berbagai struktur, mempunyai sifat mirip dengan selulosa namun dalam

usus besar dapat terdegradasi lebih banyak, serta mempunyai efek bulking. Lignin

merupakan serat pangan yang tidak termasuk polisakarida, penyusunnya terdiri dari

dinding tanaman yang paling resisten sehingga tidak terhidrolisis dengan asam kuat

maupun alkali (Burkit dan Trowell, 1975).

14
Menurut Schneeman (1986), serat pangan mempunyai beberapa sifat fisik

meliputi kemampuan serat didegradasi oleh bakteri, kemampuan menahan air,

kemampuan mengikat molekul organik dan kemampuan menukar ion.

Beberapa manfaat serat pangan untuk kesehatan (Nainggolang dan Adimunca,

(2005), Koswara (2010), Tensiska(2008), Silalahi dan Hutagalung (2010), Anonim

(2010a), Anonim (2010b), Hermaningsih (2010) ) yaitu : Mengontrol berat badan,

mencegah gangguan gastrointestinal, menangulangi penyakit diabetes, mencegah

kanker kolon, mengurangi tingkat kolestrol dan penyakit kardiovaskuler.

Serat kasar merupakan salah satu komponen polisakarida non-pati, merupakan

nutrient khas penyusun dinding sel tanaman, yang sebagian besar adalah selulosa

(Mulyono, 2009). Serat kasar atau crude fiber tidak identik dengan serat makanan.

Serat kasar adalah komponen sisa hasil hidrolisis suatu bahan pangan dengan asam

kuat selanjutnya dihidrolisis dengan basa kuat sehingga terjadi kehilangan selulosa

sekitar 50% dan hemiselulosa 85%. Sementara itu serat makanan masih mengandung

komponen yang hilang tersebut sehingga nilai serat makanan lebih tinggi daripada

serat kasar (Tensiska, 2008).

Kadar serat pangan pada kunir putih dan bubuk kunir putih dalam 100 g yaitu

2,6 g dan 6,90 g (Lukman, 1984). Selanjutnya penelitian Ghozin (2014), kadar serat

kasar kunir putih yang mealui proses pengolahan penggilingan yang berulang

mengalami peningkatan walau tidak signifikan sebesar 3,4% sampai 4,15%.

15
F. Angka Peroksida

Hampir semua bahan pangan mengandung lemak dan minyak dengan jumlah

yang berbeda-beda. Pada tanaman, lemak disintetis dari satu molekul gliserol dengan

tiga molekul asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam

proses respirasi. Proses pembentukan lemak dalam tanaman dapat dibagi menjadi tiga

tahap, yaitu pembentukan gliserol, pembentukan molekul asam lemak, kemudian

kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak (Winarno, 1989). Pada

tanaman kunir putih bentuk bubuk kandungan lemak pada setiap 100 bagian tanaman

yang dapat dimakan sebesar 8,90 gr (Lukman, 1984). Seperti pada umumnya pada

bahan pangan yang mengandung minyak dan lemak, bahan pangan tersebut akan

mengalami kerusakan lemak akibat proses ketengikan dan oksidasi. Hal ini

disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak.

Ootoksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh

faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak

atau hiperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin

seperti hematitin, hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase. Uji

ketengikan dilakuan untuk menentukan derajat ketengikan dengan mengukur

senyawa-senyawa hasil oksidasi. Menurut Sudarmadji, dkk (1989) untuk mengetahui

tingkat kerusakan lemak dinyatakan sebagai angka peroksida. Angka peroksida

menggambarkan jumlah oksigen dalam miliequivalen peroksida yang terdapat dalam

1 kilogram minyak (Weiss, 1983), angka peroksida menunjukkan tingkat ketengikan

dan merupakan tanda permulaan kerusakan bahan pangan. Kenaikan angka atau

16
bilangan peroksida menunjukkan terjadinya reaksi oksidasi lemak membentuk

peroksida atau hidroproksida dan merupakan indikator serta peringatan bahwa

minyak atau bahan pangan berlemak akan mengalami ketengikan (Ketaren, 2008).

G. Penyimpanan

Menurut Depkes (2007) penyimpanan bahan makanan merupakan suatu tata

cara menata, menyimpan, memelihara keamanan bahan makanan kering dan basah

baik kualitas maupun kuantitas di gudang bahan makanan kering dan basah serta

pencatatan.

Secara umum penanganan pascapanen pada rimpang kunyit terutama pada

penyimpanan yaitu kondisi gudang harus dijaga agar tidak lembab dan suhu tidak

melebihi 30 oC dan gudang harus memiliki ventilasi baik dan lancar, tidak bocor,

terhindar dari kontaminasi bahan lain yang menurunkan kualitas bahan yang

bersangkutan, memiliki penerangan yang cukup (hindari dari sinar matahari

langsung), serta bersih dan terbebas dari hama gudang

H. Perubahan Selama Penyimpanan

Pengolahan kunir putih menjadi bubuk, adalah salah satu cara untuk

mempermudah dalam pemanfaatan kunir putih lebih praktis. Bubuk kunir putih

dibuat melalui proses pengeringan. Andarwulan dan Haryadi (2004), menyatakan

proses pengeringan pangan pada industri komersial umumnya bertujuan

memperpanjang masa simpan mengubah atau meningkatkan karakteristik produk

17
(warna, cita rasa, tekstur), mempermudah penanganan dan distribusi. Walaupun

memang nilai gizi bahan makanan akan mengalami penyusutan atau penurunan

apabila bahan tersebut mengalami pengolahan (Furnawanthi, 2002). Pengolahan

Kunir putih melalui proses pemanasan dapat menyebabkan perubahan fisik dan

kimia. Dalam kondisi penyimpanan tertentu produk pangan akan mencapai tingkat

degradasi mutu tertentu. Sejalan dengan hal itu menurut Buckle dkk. (2013) dalam

Pangestuti (2016) menyatakan semua bahan pangan mudah rusak dan ini berarti

bahwa setelah jangka waktu penyimpanan tertentu, ada kemungkinan untuk

membedakan antara bahan pangan segar dengan bahan pangan yang telah disimpan

selama jangka waktu tersebut diatas.

Ada enam faktor utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu

produk pangan, yaitu massa oksigen uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau

bantingan, bahan kimia toksik atau out flavor (Floros dan Gnanasekharan, 1993).

Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu lebih lanjut,

seperti oksidasi lipida, kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, reaksi

pencoklatan, perubahan unsur organoleptik, dan kemungkinan terjadinya racun.

Penelitian sebelumnya pada bahan pangan yang mengandung antioksidan selama

penyimpanan mengalami perubahan seperti penurunan kadar vitamin C sebesar 50%

pada brokoli selama beberapa hari penyimpanan (Safaryani dkk., 2007). Rimpang

benih temu mangga (Curcuma amada Roxb.) mengalami perubahan fisiologi dan

biokimia selama penyimpanan, yang dicirikan dengan pertunasan, peningkatan

senyawa fenol, serta penurunan kadar air, bobot, aktivitas antioksidan, dan

18
kandungan protein, (Policegoudra dan Aradhya, 2007). Sementara itu, pada rimpang

jahe ditandai dengan penyusutan bobot dan penurunan kadar air (Sukarman dkk.,

2007).

I. Hipotesis

Variasi lama penyimpanan pada rimpang segar diduga mempengaruhi sifat

antioksidan dan kadar serat kasar bubuk kunir putih (Curcuma mangga Val.)

19

Anda mungkin juga menyukai