anak agar mereka mendapat kebahagian dan keselamatn dalam kehidupan mereka. Sejatinya
proses coaching adalah menuntun dan memaksimalkan potensi anak agar bisa menemukan
solusi dari permasalahan mereka. Coaching sebagai kerjasama (partnership) antara klien dan
coach dalam dialog untuk provokasi berpikir dan proses kreatif yang menginspirasi klien
untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesionalnya.. Coaching membantu siswa dan
individu untuk berpikir dalam tingkatan yang lebih dalam dan lebih tinggi. Ketimbang
menyuapi, seorang coach akan lebih berfokus untuk membantu individu terlibat secara
penuh dalam proses berpikir terkait dengan apa yang menjadi tujuan individu tersebut. Jika
dikaitkan dengan proses pendidikan secara umum, budaya coaching dalam institusi
pendidikan akan membantu mengubah pola pikir guru, dari “menyuapi” menjadi
“memberdayakan” siswa untuk menjadi individu pembelajar mandiri.
Proses coaching model TIRTa dilakukan mengalir seperti air sehingga coachee
bisa mendapatkan penyelesaian masalahnya dari pemikirannya sendiri, tugas coach
hanya menuntun sehingga coachee bisa menemukan potensi dari dalam dirinya.
Seorang coach menuntun dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif,
yaitu pertanyaan yang sifatnya terbuka dan mampu memancing coachee untuk
terbuka dan menyampaikan semua yang ada dalam pemikiranny.
Sebagai seorang coach, guru akan mampu membuat sisw nya nyaman memalalui
ketermpilan komunikasi yang simpatik sehingga terjalin hubungan saling
menghargai dan saling mendengar antara siswa dan guru. Kemampuan bertanya
dan menggali informasi yang simpatik akan membangun kesadaran murid betapa
mereka sangat bernilai dan berbakat yang berbeda dengan yang lain. Dari sisni
akan lahir siswa yang menghargai dirinya dengan tidak membandingkan dirinya
dengan orang lain namun mensykuri segala potensinya dan memngembangkannya
dalam bibmbingan guru. Hubungan komunikasi yang mengalir ini akan
menciptakan kemitraan. Kemitraan adalah suatu keadaan hubungan yang tidak
berjarak namun salaing menghargai status dan peosisi masing masing. Guru dekat
dengan muridntya dan begitu sebaliknya namun siswa mengerti posisi gurunya
demikian. Sekarang bukan zamannya guru jaga jarak dengan murid dan
meniptakan komunikasi serba formal. Bukan saatnya guru terlihat cerdas dan
murid dianggap tidak memiliki kemampuan. Namun kini saatnya siswa merdeka
berkreasi sesuai dengan bakat mereka.
Berangkat dari definisi KSE itu sendiri jika dikaitkan dengan pembelajaran Coaching
dan pembelajaran Berdiferensiasi sangat berkolerasi tinggi, penelitian menunjukkan bahwa
strategi berbasis sekolah yang dirancang untuk mempromosikan SEL murid menghasilkan
hasil yang paling sukses ketika Pembelajaran Sosial Emosional dimasukkan di dalam
kurikulum sehari-hari dan dihubungkan dengan kegiatan sekolah lainnya
(Greenberg.et.al.,2003). Disaat Guru melaksanakan pembelajaran Berdiferensiasi yang
disertai dengan adanya Bimbingan melalui pembelajaran Coaching, murid dan guru dapat
melakukan pembelajaran KSE ini, baik sebelum pembelajaran, di sela-sela pembelajaran
berlangsung, setelah selesai melakukan pembelajaran ataupun disaat Coach dalam hal ini
peran guru mengatasi permasalahan yang dihadapi Coachee(murid) untuk membuat
pertanyaan-pertantaan yang mengarahkan dalam penggalian ide-ide dan potensi yang dimiliki
coachee, sehingga mampu mengatasi masalahnya sendiri dari dirinya sendiri, Coach hanya
melancarkan sumbatan-sumbatan yang dialami Coachee(Guru).