Anda di halaman 1dari 5

1.

Peran sebagai Coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebellumnya

di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdifferensiasi dan pembelajaran social

dan emosional

Pembelajaran pada modul 2 ini merupakan pembelajaran yang paling berkesan dan

memberikan begitu banyak pengetahuan baru bagi saya. Dimana pengetahuan tersebut

membuat saya semakin memantapkan persiapan dan bekal untuk menjadi seorang pemimpin

dalam pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran yang berpihak kepada murid.

Begitu beragamnya tantangan dan kendala yang saya lalui ketika mempelajari

rangkaian modul ini, namun saya tetap memantapkan niat untuk bisa mempelajari dan

menuntaskan modul ini samapai selesai. Dan Alhamdulillah, saya merasa senang dan bangga

karena diri saya mampu menyelesaikan dan mempelajari materi yang disediakan.

Pada modul coaching untuk supervisi akademik, saya sudah memahami bahwa coaching

merupakan sebuah proses kolaboratif yang memuat unsur kemitraan yang berfokus pada

solusi, berorientasi pada hasil dimana seorang coach memfasilitasi peningkatan atas

performa kerja, pengalaman hidup dan pertumbuhan pribadi coachee.

Proses coaching merupakan sebuah proses yang mampu memberdayakan potensi

yang dimiliki oleh sesuai sehingga potensi yang dimiliki ini bisa dimaksimalkan. Proses

coaching ini sejalan dengan filosofi KHD bahwa tugas mendidik untuk seorang guru adalah

memberikan tuntunan atau arahan sehingga seorang murid mampu mencapai kebahagian

lahir dan batinnya baik sebagai manusia pribadi maupun anggota masyarakat. Dengan

menerapkan coaching berarti seorang guru menjadikan dirinya sebagai seorang pamong

(orang yang selalu mendorong setiap potensi yang dimiliki).

Sebelum mempelajari modul ini, saya berpikir bahwa guru adalah orang yang

bertugas memberikan informasi terkait kompetensi yang ingin dicapai sesuai dengan

target kurikulum, namun ternyata memposisikan diri sebagai sang serba tahu menjadikan

kita mengabaikan banyak hal yang ada pada diri murid terutama memaknai keberagaman

perbedaan dan keunikan dimiliki yang otomatis menentukan perbedaan potensi yang akan

dimaksimalkan.

Dengan proses coaching maka kita akan menuntun murid untuk mengekspolorasi

potensi yang ada di dalam dirinya, dalam melakukan proses coaching seorang guru yang
memposisikan diri sebagai coachee harus memahami kompetensi inti dari coaching yang

terdiri dari kehadiran penuh, mendengarkan dengan aktif dan mengajukan pertanyaan

yang berbobot. Tujuan dari kompetensi ini adalah agar kita bisa menggiring coachee agar

mampu secara mandiri menemukan solusi dari permasalahan yang di alaminya.

Menilik keterkaitan modul ini dengan modul sebelumnya yaitu modul pembelajaran

berdifferensiasi dimana pada pembelajaran berdifferensiasi, seorang guru menyiapkan

pembelajaran yang mampu mengakomodir kebutuhan yang dimiliki oleh siswa. Dalam hal

pengakomodasikan ini, seorang guru memetakan semua data yang berkaitan dengan murid

mulai dari kesiapan belajar , minat belajar dan profil belajar. Tak jarang dalam memetakan

kebutuhan siswa tersebut guru menemukan persoalan-persolan yang dihadapi oleh

muridnya baik dalam menentukan minat dalam pembelajaran , bagaimana seorang murid

meningkatkan kesiapan dalam belajar. Dalam hal ini proses coaching tersebut dibutuhkan,

agar seorang murid mampu menemukan solusinya sendiri dan mampu menggali potensi

dirinya menjadi lebih baik lagi. Selain itu dengan proses coaching, guru sebagai coachee

akan mampu mendesain sebuah manajemen kelas yang efektif serta menciptakan

lingkungan yang mampu membuat murid belajar sepanjang hayat.

Dalam paradigma berpikir coaching, seorang coachee harus fokus pada coachee

yang akan dikembangkan, berpikir terbuka dan rasa ingin tahu, memiliki kesadaran yang

kuat dan mampu melihat peluang baru dan masa depan. Oleh karena itu, dengan melakukan

proses coaching maka kita akan mampu menjalin hubungan yang hangat antara coach dan

coahee tanpa ada pihak yang merasa diri lebih atau kurang dari yang lain. Hal ini sejalan

dengan pembelajaran pada modul yang sebelumnya yaitu modul Pembelajaran social dan

emosional. Sebagaimana yang dipahami bahwa terdapat 5 kompetensi social dan emosianal

yang perlu dikembangkan yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran social,

keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.

Kelima kompetensi social dan emosianal sangat diperlukan ketika melakukan proses

coaching. Sebagai contoh, seorang coach harus memiliki Paradigma pemikiran yang

terbuka dan rasa ingin tahu yang tentunnya terbebas dari asumsi terhadap coacheenya,

nah, agar seorang coach mampu melakukan tindakan tersebut, dia harus mempunyai

kompetensi kesadaran diri dan manjeman diri yang tangguh sehingga dia mampu
mengontrol dirinya akan hal yang mengganggu proses coachingnya. Ketika seorang coach

ingin mengembangkan kompetensi inti kediran penuh dan mendengarkan cara aktif maka

dia perlu belajar bagaimana cara mewujudkan kehadiran penuh dengan mindfulness

listening. Selain itu, seorang coachee juga akan dilatih 5 KSE nya pada saat seorang coach

melakukan proses coaching dengan menggunakan alur TIRTA ( Tujuan, indentifikasi,

rencana aksi dan tanggung jawab).

Jadi, dari ketiga modul dalam pembelajaran modul 2 ini saling memiliki keterkaitan

satu sama lainnya sehingga dengan mempelajari modul ini menjadikan pemahamn yang

dimiliki menjadi satu kesatuan yang utuh.

Bercermin dari pengalaman yang lalu, proses coaching sangat jarang saya lakukan,

selama mengabdikan tugas sebagai pendidik, saya lebih sering memposisikan diri sebagai

trainer, terkadang mentor atau terkadang konselor. Namun setelah saya dalami, ketiga

posisi yang saya lakukan tadi ternyata punya ruang kelemahan. Sebagai contohnya ketika

menjadi trainer proses yang terjadi cenderung satu arah saja, kemudian sebagai

mentoring dan konseling kita juga memberikan arahan solusi untuk permasalahang yang

dialami. Terkadang solusi yang diberikan tidak bisa dijalankan dengan optimal oleh

seseorang yang membutuhkan solusi. Disinilah proses coaching merupakan penyempurnaan

kelemahan tersebut. Hal ini dikarenakan proses coaching memfokuskan pada solusi dan

solusi yang dihasilkan itu berasal dari pribadi yang membutuhkan solusi, sehingga dengan

solusi yang berasal dari diri sendiri maka keterlaksanaan solusi tersebut akan mampu

berjalan dengan optimal.

2. Keterkaitan keterampilan Coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai

pemimpin pembelajaran.

Seorang guru harus mampu menjadi pemimpin dalam pembelajarannya. Menjadikan

diri sebagai seorang pemimpin pembelajaran tak cukup dengan hanya mengandalkan dan

berpikir bahwa kita sudah mampu memberikan pelayanan yang baik kepada murid. Namun

kita butuh melakukan refleksi diri yang rutin dan berkelanjutan. Dalam melakukan refleksi

diri pun tak cukup hanya dengan diri sendiri tapi sebaiknya harus menyertai semua

komponen yang terlibat agar mampu mendapatkan umpan balik yang holistic.
Terkait umpan balik, kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran akan berkembang

dengan baik apabila kita bisa mendapatkan umpan balik yang positif dan membangun.

Sekolah sebenarnya sudah memfasilitasi proses pengembangan diri sebagai seorang

pemimpin pembelajaran melalui program supervisi akademik.

Berdasarkan pengalaman saya, supervise akademik biasanya dilakukan sekali dalam

satu tahun pembelajaran oleh kepala sekolah. Dalam supervisi yang dilakukan kepala

sekolah meminta untuk menyiapkan segala perangkat pembelajaran yang dilakukan lalu

menyepakati waktu observasi kelas lalu masuk ke dalam kelas setelah itu kita diminta

menemui kepala sekolah lalu diberikan komentar terkait kekurangan yang ada kemudian

diminta menandatangai dokumennya.

Hal ini terkadang tidak memberikan umpan balik yang diharapkan untuk

mengoptimalkan pengembangan kemampuan diri. Supervisi yang selama ini ada cenderung

sebuah pembicaraan yang berlangsung satu arah dan terkadang hanya sebagai sebuah

program kerja yang harus dijalankan kepala sekolah. Paradigma ini cenderung membuat

kita sebagai orang yang disupervisi berada pada posisi yang kurang nyaman dan merasa

supervisi yang dilakukan hanya untuk keperluan adminisrasi saja.

Menurut saya, sebuah supervisi akademik yang dilakukan mampu mengembangkan

kemampuan seorang guru apabila proses supervisi akademik ini dilakukan dengan

keterampilan Coaching. Alasannya adalah coaching merupakan proses kolaboratif yang

dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan diman dengan proses coaching terjalin

suasana hangat dan akrab karena antara coach dan coachee terjalin sebuah kerjasama

dalam bentuk sebuah kemitraan. Dengan kemitraan posisi antara coach dan coachee

setara sehingga akan mampu menggiring komunikasi yang terbuka dan lebih luwes.

Selain itu, dengan proses coaching yang dilakukan berarti seorang coach

memberikan ruang yang terbuka terkait hal apa yang ingin diperbaiki dan dikembangkan

kemudian menggiring coachee menemukan secara mandiri ide baru yang dibutuhkannya

untuk penyelesaian permasalahan yang dimilikinya sehingga secara tidak langsung coachee

memunculkan sebuah potensi baru dari dalam dirinya yang mungkin belum terpikir

sebelumnya ketika dia hanya memendam permasalahan sendiri.


Ketika kita kembalikan pada proses supervise akademik, ketika dilakukan dengan

proses coaching maka proses ini akan memberikan kebermaknaan bagi seseorang yang

disupervisi. Pada tahap Pra-Observasi, maka seorang coach akan menggiring dan

memastikan kompetensi apa yang ingin dikembangkan dan diamati lalu strategi apa yang

sudah dipersiapkan. Pada tahapan ini, akan disepakati bersama fokus pengamatan dan

penilaian yang akan diobservasi berbeda dengan supervisi yang selama ini terjadi.

Supervisi yang selama ini, kita hanya diminta melengkapi perangkat dan langsung diberikan

blangko penilaian observasi tanpa ada pembicaraan mengani bagian mana yang akan lebih

difokuskan,

Kemudian lanjut pada tahap observasi, seorang coach akan mengamati proses

pembelajaran yang dilakukan dan mencatat data-data penting yang diperoleh tentunya

sesuai dengan kompetensi yang akan dikembangkan. Kalau dikaitkan dengan supervise yang

sudah dialami, pada tahap observasi cenderung melihat kekurangan orang yang disupervisi.

Pada tahap Pasca Observasi, seorang coach akan memberikan ruang untuk coachee

melakukan refleksi diri mengenai kegiatan yang dilakukan dan memberikan umpan balik

yang membangun berdasarkan data yang sudah diperoleh. Kemudian Coach akan

menggiring coachee untuk menukan ide atau kompetensi apa yang akan dikembangkan pada

supervise berikutnya. Kalua dikaitkan dengan supervise yang selama ini, pasca cenderung

hanya satu arah yaitu hanya mendengar tanggapan yag disampaikan oleh supervisor.

Jadi, dari paparan yang disampaikan tadi dapat disimpulkan bahwa supervise

akademik akan mampu mengembangkan kompetensi seorang guru menjadi pemimpin dalam

pembelajaran apabila proses supervise akademik dilakukan dengan keterampilan coaching.

Selain itu, supervisi harus bisa dilakukan rutin dan berkelanjutan sehingga lebih

mengoptimalkan pemberdayaan potensi guru.

Saya berharap, semoga saya pribadi mampu mengimplementasikan semua ilmu ini

baik kepada murid atau rekan sejawat sehingga mampu menciptakan lingkungan sekolah

yang membuat setiap komponen didalamnya menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Anda mungkin juga menyukai