Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mortar dan Material Penyusunnya

Menurut SNI 03-6825-2002 mortar didefinisikan sebagai campuran


material yang terdiri dari agregat halus (pasir), bahan perekat (tanah liat, kapur,
semen portland) dan air dengan komposisi tertentu. Bahan pengikat antara semen
dan air bereaksi secara kimia sehingga membuat suatu bahan yang padat dan juga
tahan lama. Syarat mortar untuk bahan adukan cukup plastis, sehingga mudah untuk
dikerjakan, dan dapat menghasilkan rekatan dan lekatan yang baik, dapat membagi
tegangan tekan secara merata serta tahan lama.
Fungsi utama mortar adalah menambah lekatan dan ketahanan ikatan
dengan bagian-bagian penyusun suatu konstruksi. Kekuatan mortar tergantung
pada kohesi pasta semen terhadap agregat halusnya. Mortar mempunyai nilai
penyusutan yang relatif kecil. Mortar harus tahan terhadap penyerapan air serta
kekuatan gesernya dapat menahan gaya-gaya yang bekerja pada mortar tersebut.
Jika penyerapan air pada mortar terlalu besar/cepat maka mortar akan mengeras
dengan cepat dan kehilangan ikatan adhesinya.

2.1.1 Semen Portland

Semen portland adalah suatu bahan konstruksi yang paling banyak dipakai
serta merupakan jenis semen hidrolik. Semen hidrolik yaitu suatu bahan pengikat
yang mengeras jika bereaksi dengan air serta menghasilkan produk yang tahan air.
Fungsi utama semen adalah mengikat butir-butir agregat hingga membentuk suatu
massa padat dan mengisi rongga-rongga udara di antara butir-butir agregat.
Menurut ASTM C-150, 1985 semen portland didefinisikan sebagai semen
hidrolik yang dihasilkan dengan menggiling klinker yang terdiri dari kalsium silikat
hidrolik, yang umumnya mengandung satu atau lebih bentuk kalsium sulfat sebagai
bahan tambahan yang digiling bersama-sama dengan bahan utamanya.
Standar ASTM C-150 membagi semen menjadi beberapa tipe, yaitu :

5 Institut Teknologi dan Sains Bandung


6

Tipe I : Semen portland yang dirancang untuk penggunaan normal,


yang diterapk pada keadaan lingkungan dan spesifikasi
teknis biasa.
Tipe IA : Semen portland berkarakter tipe I dengan air-entraining
admixture, yang juga diterapkan pada keadaan lingkungan
dan spesifikasi teknis biasa
Tipe II : Semen portland dengan karakter panas hidrasi dan ketahanan
sulfat yang moderat
Tipe IIA : Semen portland berkarakter tipe II dengan air-entraining
admixture
Tipe III : Semen portland yang dirancang untuk menghasilkan kekuatan
awal yang tinggi, atau disebut “semen-cepat-keras”
Tipe IIIA : Semen portland berkarakter tipe II dengan air-entraining
admixture
Tipe IV : Semen portland yang memiliki panas hidrasi rendah
Tipe V : Semen portland yang memiliki ketahanan sulfat tinggi.

Semen portland terdiri dari komponen senyawa kimia utama yaitu


3CaO.SiO2, 2CaO.SiO2, 3CaO.Al2O3, 4CaO.Al2O3.Fe2O3, serta gypsum.

Tabel 2.1 Senyawa Utama Semen Portland (Hasudungan;2007)


Nama
Rumus Kimia Nama Senyawa
Singkatan
C3S 3CaO.SiO2 Tricalsium Silicate (alite)
C2S 2CaO.SiO2 Dicalcium Silicate (belite)
Tricalcium Aluminate
C3A 3CaO.Al2O3
(aluminate)
Tetracalcium Aluminoferrite
C4AF 4CaO.Al2O2.Fe2O3
(ferrite)
CSH2 CaSO4.2H2O Gypsum

Institut Teknologi dan Sains Bandung


7

Masing-masing senyawa tersebut terdiri dari unsur oksida, berdasarkan


persamaan Bogue dapat ditulis sebagai berikut :
C3S = 4,07(CaO) – 7,6(SiO2) – 6,72(Al2O3) – 1,43(Fe2O3) – 2,85 (SO3)
C2S = 2,87(SiO2) – 0,754(C3S)
C3A = 2,65(Al2O3) – 1,69(Fe2O3)
C4AF = 3,04(Fe2O3)
Unsur yang berperan sebagai perekat hidraulis dalam semen portland
adalah unsur utama klinker, yaitu C3S, C2S, C3A, dan C4AF. Sedangkan gypsum
diperlukan sebagai zat untuk memperlambat proses pengerasan semen ketika
bereaksi dengan air. Adapun tujuan memperlambat proses pengerasan ini adalah
agar pasta yang terbentuk dari campuran semen, air, dan bahan yang lain,
memerlukan waktu lebih lama untuk menjadi keras sehingga mudah dalam
pengerjaannya.
Masing-masing senyawa memiliki fungsi dan pengaruh berbeda terhadap
sifat fisik benda coran. Pengaruh tersebut antara lain :

Tabel 2.2 Pengaruh Senyawa Penyusun Semen (Hasudungan;2007)

Sifat Kontributor Pengaruh


C3S Mengendalikan pengikatan normal
Pengikatan
C3A Memberikan kekuatan prematur
Kenaikan C3S Kontributor utama
panas
C3A Kontributor utama
hidrasi
Bertanggung jawab pada kekuatan
C3S
umur dini
Kekuatan
Bertanggung jawab pada kekuatan
C2S
masa yang panjang

Institut Teknologi dan Sains Bandung


8

2.1.1.1 Reaksi Hidrasi

Elemen utama pembentuk kekuatan adalah kelompok kalsium silikat, yang


bertanggung jawab 75-80% dari kekuatan total semen. Reaksi hidrasi dari senyawa
golongan silikat ini adalah sebagai berikut :
2C3S + 6H → C3S2H3 + 3Ca(OH)2 ΔH = - 502 J/g
2C2S + 4H → C3S2H3 + Ca(OH)2 ΔH = -260 J/g
Tanda negatif pada entalpi reaksi menunjukan bahwa reaksi yang terjadi
adalah reaksi eksotermik, dan menghasilkan panas hidrasi seperti yang telah
diuraikan. Jumlah calsium hydroxyde (CH) yang dihasilkan bergantung pada
jumlah relatif tricalcium dan dicalcium silicate (C3S dan C2S) dalam semen.
C3A + 6H → C3AH6

Senyawa C3A, tanpa kehadiran gypsum, akan bereaksi agresif dengan


air untuk memproduksi senyawa-senyawa hidrasi dalam umur dini. Reaksi ini
menyebabkan pengerasan awal yang mengganggu fluiditas pasta. Sehingga
pada aplikasi pembuatan mortar, pasta yang digunakan tidak boleh terlalu lama
didiamkan. Sebaliknya dengan kehadiran gypsum, C3A akan bereaksi
membentuk fasa ettringite, yang melapisi partikel C3A dan mencegah cepatnya
reaksi hidrasi berlangsung.
C3A + 3CSH2 + 26H → C6AS3H32; ∆H = -1350 J.g-1
(tricalcium aluminate + gypsum + air → ettringite)

Lapisan ettringite ini bersifat stabil, sepanjang gypsum dalam semen


tersedia cukup. Jika gypsum tersebut kurang secara stoikiometrik, maka fase
ettringite ini akan bereaksi lanjut dengan C3A menurut reaksi:
C6AS3H32 + 2C3A + 4H→3C4ASH12
(ettringite + tricalcium aluminate + air → monosilfualuminate)

Pada prinsipnya, fasa feritik (C4AF) juga akan mengalami reaksi dengan
gypsum yang mirip dengan reaksi C3A dengan gypsum di atas. Namun karena
senyawa C4AF tidak sereaktif C3A, maka fasa ini hanya akan sempat bereaksi
sedikit karena gypsum tersebut telah habis bereaksi dengan C3A tadi. Akibatnya,
reaksi antara C4AF dan gypsum menjadi tidak signifikan. Reaksi C4AF yang

Institut Teknologi dan Sains Bandung


9

terpenting adalah reaksinya dengan calcium hydroxide membentuk senyawa


ferric-aluminium hydroxide:
C4AF + 2CH + 14H → C4(A, F)H13 + (A, F)H3;

(Tetracalcium aluminoferrite + calcium hydroxide + air →


Tetracalcium aluminate hydrate + ferric-aluminum hydroxide)
Calcium hydroxide di atas diperoleh dari hidrasi senyawa tricalcium
silicate. Sedangkan tetracalcium aluminate hydrate merupakan fasa yang
secara struktur mirip dengan monosulfoaluminate, yaitu amorf.

Keempat reaksi kimia diatas (C3S/alite, C2S/belite, C3A/aluminate,


C4AF/ferrite) mempunyai kecepatan yang berbeda-beda, dan kekuatan
yang dihasilkan akibat proses hidrasi itu pun berbeda pula. Melalui gambar 2.1
dapat dilihat bahwa fasa C3A/aluminate dan C4AF/ferrite meskipun secara
kimia bersifat reaktif, namun menghasilkan kekuatan yang sangat rendah.
Dengan demikian pembentukan kekuatan pada semen dapat diasumsikan
hampir seluruhnya disumbangkan oleh hidrasi senyawa calcium silicates
(C3S/alite dan C2S/belite).

Gambar 2.1 Kenaikan Kekuatan Berbanding Waktu Empat Komponen


Kimia Semen Portland (Nugroho;-2007)

Apabila kita melihat pada gambar 2.2, senyawa C3S berdasarkan


tinjauan reaksi menghasilkan kecepatan hidrasi yang lebih tinggi daripada
C2S. Akibatnya pada umur dini, senyawa C3S inilah yang memiliki peran
terbesar dalam menyumbangkan kekuatan pada umur dini. Komponen utama
yang bertanggung jawab pada pembentukan kekuatan selama proses hidrasi
calcium silicates adalah C-S-H.

Institut Teknologi dan Sains Bandung


10

Gambar 2.2 Laju Hidrasi Empat Senyawa Utama Semen (Nugroho;2007)


Sehubungan dengan sifat dan karakter reaksi hidrasi di atas, sangatlah
perlu menaruh perhatian dan mengendalikan keadaan coran pada 24 jam
pertama.

Hal ini dikarenakan pada waktu krusial tersebut, sifat fluiditas, setting
time, dan kekerasan awal, amat ditentukan di sini. Juga karena semua reaksi
bersifat eksotermik (ditandai dengan lepasnya panas hidrasi), maka mulai saat
ini harus dijaga agar tak timbul retak panas atau disintegrasi semen dan mortar.
Lepasnya panas hidrasi ini tak bersifat linear, namun fluktuatif menurut gambar
2.3 berikut:

Gambar 2.3 Laju Evolusi Panas Selama Proses Hidrasi Semen Portland
(Nugroho;2007)

Grafik empiris tersebut membagi proses evolusi hidrasi menjadi lima


tahap. Tahap I, adalah tahap yang sangat singkat dimana panas hidrasi
langsung dikeluarkan pertama kali ketika semen berkontak dengan air pada
proses pencampuran. Kereaktifan C3A memainkan peranan penting dalam
naiknya panas hidrasi pada tahap ini. Kemudian, masih pada tahap ini, panas
hidrasi perlahan- lahan turun akibat turunnya gradien reaktifitas senyawa C3A

Institut Teknologi dan Sains Bandung


11

yang terlibat. Hingga pada tahap II, beberapa jam setelah tahap pertama, panas
hidrasi cenderung stabil dan rendah.
Pada tahap III panas hidrasi kembali mengalami kenaikan dengan laju
yang tinggi. Hal ini diakibatkan oleh fasa C3S yang terhidrasi. Dan pada tahap
ini pula, kekuatan awal yang signifikan timbul. Hal ini menunjukkan initial
setting mulai terjadi, dan final setting dicapai sesaat sebelum panas hidrasi
tahap ini mencapai puncaknya. Saat puncak telah tercapai, disinilah tahap
ketiga diakhiri dan memasuki tahapnya yang keempat.

Pada tahap IV terjadi pengurangan kadar gypsum di dalam reaksi. Hal


ini menyebabkan C3A kembali aktif dan bereaksi bersama ettringite dan air
membentuk monosulfoaluminate (lihat reaksi di atas). Reaksi ini terjadi tepat
ketika C3S mengalami perlambatan reaksi sehabis mencapai puncak panas
hidrasinya. Sehingga gradasi penurunan panas berkurang dan
perlambatan pembuangan panas terjadi. Grafik akan datar sejenak, lalu
kemudian kembali turun akibat reaksi hidrasi dari komponen-komponen
tersebut mengalami penurunan kecepatan.
Pada tahap V, semua reaksi telah benar-benar melambat dan produk-
produk hidrasi yang terbentuk telah menutup pori-pori dan rongga yang ada
dalam benda coran. Yang perlu diperhatikan dari seluruh sifat hidrasi semen
di atas adalah; dalam penerapan praktis hasil coran (dan bahkan juga hasil
mixing) akibat panas hidrasi yang ditimbulkan pun juga tidak pernah benar-
benar seragam pada tiap-tiap daerah coran. Hingga, risiko retak panas sangat
mungkin terjadi jika tidak dilakukan curing benda coran dengan benar,
mengingat nilai kalori eksotermik dari reaksi C3A dan C3S yang tinggi
(Nugroho;2007).

2.1.2 Agregat Halus

Sifat yang paling penting dari suatu agregat (batu-batuan, kerikil,


pasir) ialah kekuatan hancur, dan ketahanan terhadap benturan, yang dapat
mempengaruhi ikatannya dengan pasta semen, porositas dan karakteristik
penyerapan air yang mempengaruhi daya tahan terhadap agresi kimia serta

Institut Teknologi dan Sains Bandung


12

ketahanan terhadap penyusutan (shrinkage).


Akibat porositasnya, partikel agregat juga dapat menyerap air. Hal ini
akan mempengaruhi rasio semen-air (w/c ratio) dalam campuran mortar, yang
mengakibatkan kelecakan mortar yang didesain berubah. Selain itu, “hilangnya”
air akibat terserap oleh porositas agregat akan mengurangi jumlah air yang
dibutuhkan selam reaksi hidrasi berlangsung. Sehingga pada perencanaan
campuran (mix design), agregat perlu diuji kuantitatif untuk mengetahui sejauh
mana keadaan kelembaban itu dimilikinya. Agregat umum yang normal
mempunyai kelembaban sekitar 0,5 - 2,0%. Keadaan lembab agregat
dideskripsikan secara fisik dengan empat keadaan:
 Kering oven / oven dry (OD)
Seluruh air yang ada telah dihilangkan. Baik air yang ada di permukaan
maupun yang berada dalam pori. Pemanasan pada 105°C dilakukan
selama 24 jam untuk memperoleh kondisi ini, dan ditimbang hingga
mempunyai berat konstan.
 Kering udara / air dry (AD)
Seluruh air yang ada dipermukaan telah dihilangkan, namun masih
menyisakan air di dalam pori internalnya.
 Jenuh dengan permukaan kering / saturated sirface dry (SSD)
Seluruh pori masih terisi air, namun dengan permukaan yang kering.
Agregat pada permukaan ini tidak dapat mempengaruhi kadar air
dalam campuran mortar, sebab tak dapat lagi menyerap maupun
menyumbangkan air. Tipe agregat ini merupakan agregat yang ideal
untuk mix design dalam mortar.
 Basah / wet
Seluruh pori yang ada terisi air, dan mempunyai permukaan yang
berfilm air. Agregat ini tidak akan mampu lagi menyerap air, namun
akan menyumbang air pada proses pencampuran mortar. Hingga rasio
w/c dalam mortar berubah.

Institut Teknologi dan Sains Bandung


13

Bila keempat keadaan tersebut digambarkan maka akan seperti berikut:

Gambar 2.4 Keadaan Kelembaban Agregat (Simajuntak ; 2007)

2.1.3 Bahan Tambahan (Admixture)

Admixtures adalah bahan/komponen selain air, semen, maupun agregat,


yang ditambahkan pada tahap pencapuran untuk mengubah beberapa sifat
semen atau mortar. Admixtures digunakan untuk memodifikasi sifat dan
karakteristik dari mortar, misalnya untuk dapat dengan mudah dikerjakan,
penghematan, atau untuk tujuan lain seperti penghematan energy
(Amalia;2009).
Admixture dibagi menjadi dua yaitu chemical dan mineral admixture.
Chemical admicture adalah bahan-bahan tambahan yang dapat larut dalam air,
sedangkan yang tidak dapat larut dalam air digolongkan menjadi mineral
admixture yang berfungsi untuk meningkatkan sifat fisik mortar, contoh mineral
admixture yaitu slag, fly ash, dansilica fume. Untuk contoh chemical admixture
seperti pada tabel 2.2.

Tabel 2.3 Jenis- jenis chemical admixture (Amalia ; 2009)


Chemical
Fungsi Contoh
Admixture
Mempercepat proses pengerasan Calcium Chloride
Accelerator
pada mortar (CaCl2)
Set
Sodium Bicarbonate
Accelerating Mempercepat setting time
(Na2CO3)
Admixture

Institut Teknologi dan Sains Bandung


14

Gula (C12H22O11),
Set Retarder Memperlambat proses pengerasan
Garam seng (ZnCl2)
Untuk mengurangi kebutuhan air Water Glass
Water Reducer
yang diperlukan (Na2SiO3)

2.1.4 Air Campuran Mortar

Air merupakan komponen pada mortar yang memungkinkan semen


mengeras akibat reaksi hidrasi. Kadar air pada campuran mortar juga sangat
mempengaruhi kekuatan mortar dan kemudahan pengerjaan mortar. Syarat air
yang baik untuk digunakan pada campuran mortar adalah air yang bebas dari
pengotor seperti lumpur, lempung, bahan organik, dan pengotor lain. Pengotor
pada air dapat menghambat proses hidrasi semen sehingga kekuatan mortar
akan menurun (Achmadi;2009)
Air diperlukan pada pembuatan mortar untuk memicu proses kimiawi
semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pengerjaan.
Karena pasta semen merupakan hasil reaksi kimia antara semen dengan air,
maka bukan perbandingan jumlah air terhadap total berat campuran yang
penting, tetapi justru perbandingan air dengan semen atau yang biasa disebut
sebagai faktor air semen (water cement ratio). Air yang berlebihan akan
menyebabkan banyaknya gelembung air setelah proses hidrasi selesai,
sedangkan air yang terlalu sedikit akan menyebabkan proses hidrasi tidak
tercapai seluruhnya, sehingga akan mempengaruhi kekuatan.

2.2 Material Pozzolan

Berdasarkan standard yang ditetapkan dalam Annual Book of ASTM


Standards 1996 volume 04.02 designation : C 125 - 95a tentang Standard
Terminology Relating to Concrete and Concrete Agregates, pozzolan merupakan
“material berbasis silika atau alumina, yang tidak atau sedikit sekali mempunyai
sifat sementik, berbentuk padatan yang secara fisik terpisah dengan baik, dan
dengan kehadiran air dapat bereaksi secara kimia dengan calcium hydroxide pada
temperatur biasa membentuk senyawa-senyawa yang bersifat sementik.”

Institut Teknologi dan Sains Bandung


15

Ada berbagai contoh material pozzolan, yang semuanya digolongkan sebagai


bahan-tambah mineralik (mineral admixtures) dalam semen dan mortar. Antara lain; fly
ash (abu terbang, residu pembakaran batu bara), silica fume, dan slag (terak, residu
pembakaran biji besi dengan kokas dalam tanur tinggi). Semua jenis material pozzolan
tersebut mempunyai karakteristik yang sama, yaitu rektif secara umum, dan memiliki
struktur silika amorf yang dapat bereaksi dengan kapur (lime) hasil hidrasi menurut
persamaan:

2S + 2CH + 7H → C3S2H8
Calcium silicate hydrate yang terbentuk dari hasil reaksi tersebut sama
dengan calcium silicate hydrate yang terbentuk dari hasil reaksi hidrasi C3S dan
C2S. Atau dengan kata lain, pozzolan ini bertindak sebagai “C3S dan C2S lain”.

Reaksi pozzolanik tidak menghasilkan panas hidrasi dalam jumlah besar, yang
berarti secara umum reaksi tersebut berjalan lambat. Sebagian besar terjadi pada masa
28 hari pertama. Namun beberapa material pozzolan dapat bersifat sangat reaktif, yang
diakibatkan oleh tingginya luas permukaan kontak (specific surface area), misalnya pada
silica fume dan metakaolin.
Beberapa pozzolan juga dapat mengandung alumina. Reaksi hidrasi juga
terjadi jika senyawa alumina ini berada pada material-material yang mengandung silika
reaktif. Reaksi hidrasi yang dialami alumina adalah:
A + 4CH + 9H → C4AH13
C4AH13 yang dihasilkan mempunyai sifat yang sama dengan senyawa
C4ASH12, yaitu menaikkan kerentanan semen terhadap serangan sulfat. Sehingga,
pozzolan yang mengandung alumina tidak bisa digunakan dalam semen yang
membutuhkan ketahanan sulfat tinggi.
Material-material pozzolan yang dimanfaatkan sebagai bahan-tambah
mineralik (mineral admixture) dalam campuran semen, mortar, dan beton, memiliki
karakter kimia, sifat organik, dan kadar silika dan alumina yang bervariasi secara luas.
Sehingga, material-material tersebut perlu diverifikasi dulu sebelum diaplikasikan ke
dalam desain campuran (mix design) semen, mortar, dan beton.

2.3 Slag Hasil Pemurnian Baja

Slag adalah produk non-metal yang merupakan material berbentuk halus sampai
balok-balok besar, dari hasil pembakaran yang di dinginkan. (ASTM 1995,494).

Institut Teknologi dan Sains Bandung


16

Slag memiliki senyawa yang mirip dengan semen, yang menyebabkan reaksi
hidrasi dapat terjadi pada slag. Salah satu senyawa yang terdapat pada slag yang
dapat meningkatkan kekuatan mortar adalah senyawa SiO2. Senyawa ini akan
bereaksi dengan kapur sisa dari hasil reaksi hidrasi air dengan semen sehingga
membentuk senyawa CSH sebagai perekat (SiO2 + Ca(OH)2 → CSH). Semakin
banyak perekat yang terbentuk maka akan meningkatkan kekuatan pada mortar
(Kadhafi;2015).

Keuntungan penggunaan slag dalam campuran mortar adalah sebagai


berikut (Lewis-1982) :
 Meningkatkan kekuatan tekan mortar
 Meningkatkan ketahanan terhadap sulfat dalam air laut
 Mengurangi panas hidrasi dan menurunkan suhu

Gambar 2.5 Proses pemurnian baja PT Krakatau POSCO (PT Krakatau


POSCO; 2016)

Pada peleburan baja, bijih besi atau besi bekas dicairkan dengan kombinasi
batu gamping, dolomite atau kapur. Pembuatan baja dimulai dengan penghilangan
ion-ion pengotor baja, diantaranya alumunium, silicon, phosphor, dan sulfur. Ion-
ion tersebut dapat menyebabkan baja menjadi tidak keras dan rapuh atau sulit untuk
dibentuk lembaran-lembaran baja. Untuk menghilangkan ion pengotor tersebut
diperlukan kalsium yang terdapat pada batu kapur. Campuran kalsium dan alumina,
silikon dan phosphor membentuk slag. Slag mengambang pada cairan baja yang
kemudian dibuang. Slag terbentuk pada suhu 1580°C, berbentuk tidak beraturan

Institut Teknologi dan Sains Bandung


17

dan akan mengeras ketika dingin. Slag dapat berupa butiran halus sampai berupa
balok-balok besar yang sangat keras.

2.3.1 Slag Basic Oxygen Furnace

Basic oxygen furnace slag terbentuk dalam proses pemurnian logam panas
menjadi baja dalam tungku BOF (Basic Oxygen Furnace). Pada proses ini logam
panas diolah dengan cara meniupkan oksigen kedalamnya dengan tujuan untuk
menghilangkan karbon dan unsur lainnya yang memiliki afinitas tinggi terhadap
oksigen. Slag tersebut dihasilkan dengan menambahkan fluks seperti kapur atau
dolomit yang akan bergabung dengan silikat dan oksida untuk membentuk slag cair.
Beberapa jumlah scrap juga ditambahkan untuk mengendalikan suhu saat reaksi
eksotermal.

Ketika proses reaksi selesai, baja cair akan terkumpul dibagian bawah
tungku, sedangkan slag cair akan mengapung diatasnya. Baja cair dan slag
dituangkan ke ladle yang berbeda yang biasanya diatas suhu 1600°C. Setelah
dituangkan, slag cair dalam ladle selanjutnya dapat diolah dengan injeksi SiO2 dan
oksigen untuk meningkatkan stabilitas volume. Kemudian slag cair dituangkan ke
dalam lubang atau tanah dimana suhu udara akan menurun dibawah kondisi
terkontrol membentuk slag kristal.

Gambar 2.6 Tungku BOF (Dok. PT. Krakatau POSCO)

Institut Teknologi dan Sains Bandung


18

Gambar 2.7 Slag Basic Oxygen Furnace (BOF) (Dok. PT.Krakatau POSCO)

2.3.2 Slag Kanbara Reactor (KR)

Kanbara Reactor adalah sebuah tungku untuk Pretreatment hot metal


sebelum masuk ke tahapan secondary pada proses pembuatan baja. KR berfungsi
untuk menghilangkan senyawa sulfur yang terdapat dari besi cair.

Gambar 2.8 Slag Kanbara Reactor (Dok. PT. Krakatau POSCO)


Slag KR adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses desulfurisasi besi
leleh dengan proses pengadukan mekanis pembuatan baja pada tungku Kanbara
Ractor. KR memiliki impeller yang berfungsi untuk menyebarkan fluks
desulfururisasi sehingga fluks tersebar secara homogen. Dalam proses desulfurisasi
ini menggunakan reagen yang dialirkan melalui impeller yang berfungsi untuk
mengikat senyawa sulfat yang kemudian akan menjadi terak dan logam cair bebas
dari kandungan sulfat.

Institut Teknologi dan Sains Bandung


19

Gambar 2.9 Kanbara Reactor (Diamond Engineering;2017)

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Mortar

Sebelum berlanjut mengenai penggunaan slag pada mortar, ada beberapa


faktor penting yang perlu diketahui terkait dengan kekuatan tekan. kekuatan tekan
adalah kemampuan pasta dan mortar menerima gaya tekan persatuan luas. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan mortar adalah sebagai berikut :

2.4.1 Rasio Air Semen (w/c)

Raiso air semen adalah angka perbandingan antara berat air dan berat
semen dalam campuran pasta atau mortar. Rasio ini menggambarkan sejauh mana
ketersediaan air ada di dalam mortar untuk mendukung proses hidrasi. Tingginya
jumlah air menjamin ketersediaan yang cukup bagi berlangsungnya proses
hidrasi, dan meminimalkan residu anhidrat yang tak termanfaatkan menjadi pasta.
Namun dilain pihak, tingginya jumlah air juga akan menurunkan kuat tekan
mortar. Selain itu dengan nilai rasio yang rendah akan menyebabkan kesulitan
dalam pengerjaan, yaitu kesulitan dalam pelaksanaan pemadatan yang pada
akhirnya akan menyebabkan turunnya kualitas.

2.4.2 Jumlah Semen

Pada mortar dengan w/c yang sama, mortar dengan kandungan semen
lebih banyak belum tentu mempunyai kekuatan lebih tinggi. Hal ini disebabkan
karena jumlah air yang banyak akan mengahasilkan pasta yang banyak pula,

Institut Teknologi dan Sains Bandung


20

menyebabkan kandungan pori lebih banyak dari pada mortar dengan kandungan
semen yang lebih sedikit. Kandungan pori inilah yang mengurangi kekuatan mortar.
Jumlah semen dalam mortar mempunyai nilai optimum tertentu yang memberikan
kuat tekan tinggi.

2.4.3 Umur Mortar

Kekuatan mortar akan berubah seiring dengan bertambahnya umur,


dimana pada umur 28 hari mortar akan memperoloeh kekuatan yang tinggi.

2.4.4 Sifat Agregat

Sifat agregat yang berpengaruh terhadap kekuatan ialah bentuk, kekasaran


permukaan, kekerasan dan ukuran maksimum butir agregat. Bentuk dari agregat
akan berpengaruh terhadap interlocking antar agregat (Amalia ; 2009).

2.5 Pengaruh Penambahan Slag dan Umur Pada Kuat Tekan Mortar

Ketika slag ditambahkan pada campuran mortar, maka akan mengubah


sifat mekanik mortar tersebut. Hal disebabkan oleh reaksi hidrasi yang juga terjadi
pada slag. Berikut merupakan pengaruh penambahan slag pada campuran mortar
:

2.5.1 Pengaruh Slag Terhadap Kuat Tekan

Penelitian yang dilakukan oleh (Nofrizon, 2011) diperoleh manfaat adanya


alternatif pemanfaatan limbah slag baja dari PT Krakatau Steel untuk didaur ulang
menjadi bahan substitusi semen pada pembuatan mortar, sehingga dapat
mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Material yang digunakan dalam
penelitian ini adalah semen, agregat halus (pasir), dan slag baja yang dibuat menjadi
mortar dengan dimensi 5 cm x 5 cm x 5 cm mortar yang dibuat mempunyai
komposisi volume pasir : volume semen adalah 4 : 1. Slag baja digunakan sebagai
substitusi semen pada mortar tersebut dengan variavi volume 5%, 10%, 15%, 20%,
25%, 30%, 35%, 40%, 45%, 50%, 75%, dan 100%. Kuat Tekan mortar optimum
yang diperoleh pada mortar dengan 20% slag baja sebagai substitusi semen sebesar
36,72 MPa.

Institut Teknologi dan Sains Bandung


21

Penelitian yang dilakukan oleh (Bhongsuk Cho, 2015) bertujuan untuk


mengetahui sifat fisik dari beton yang menggunakan campuran GGBFS-KR Slag
sebagai pengikat. Proses pemurnian baja menggunakan KR telah berhasil
menghasilkan Ca(OH)2 yang berfungsi sebagai pengikat seperti semen untuk
meningkatkan sifat fisik. Variasi antara GGBFS : KR slag : semen yang digunakan
pada penelitian ini yaitu 10%:81%:9% ; 10%:78%:12% ; 10%:75%:15%. Kuat
tekan optimum yang diperoleh yaitu variasi 10%:75%:15% dengan 40 Mpa.

2.5.2 Pengaruh Umur Mortar Terhadap Kuat Tekan

Penelitian yang dilakukan oleh (Chia-Jung Tsai 2014) menggunakan


gabungan antara slag Blast Furnace (iron slag) dengan slag Basic oxygen Furnace
(steel slag). Dari penelitian ini dapat dilihat pada umur 28 hari mortar memiliki nilai
kuat tekan yang paling maksimum, kekuatan tekannya meningkat hingga 80-90%
dari umur 7 hari. Sedangkan untuk umur lebih dari 28 hari kekuatan mortar kembali
menurun.
Penelitian yang dilakukan oleh (Amrita Das, 2015) bertujuan untuk
mengetahui pengaruh umur mortar terhadap kekuatannya dengan campuran slag
blast furnace sebagai subtitutor semen. Dari penelitian kekuatan tekan yang
dihasilkan berbanding lurus dengan bertambahnya umur mortar. Kekuatan
optimum pada percobaan ini yaitu pada umur mortar 28 hari dengan nilai 50 Mpa.

Institut Teknologi dan Sains Bandung

Anda mungkin juga menyukai