TINJAUAN PUSTAKA
Semen portland adalah suatu bahan konstruksi yang paling banyak dipakai
serta merupakan jenis semen hidrolik. Semen hidrolik yaitu suatu bahan pengikat
yang mengeras jika bereaksi dengan air serta menghasilkan produk yang tahan air.
Fungsi utama semen adalah mengikat butir-butir agregat hingga membentuk suatu
massa padat dan mengisi rongga-rongga udara di antara butir-butir agregat.
Menurut ASTM C-150, 1985 semen portland didefinisikan sebagai semen
hidrolik yang dihasilkan dengan menggiling klinker yang terdiri dari kalsium silikat
hidrolik, yang umumnya mengandung satu atau lebih bentuk kalsium sulfat sebagai
bahan tambahan yang digiling bersama-sama dengan bahan utamanya.
Standar ASTM C-150 membagi semen menjadi beberapa tipe, yaitu :
Pada prinsipnya, fasa feritik (C4AF) juga akan mengalami reaksi dengan
gypsum yang mirip dengan reaksi C3A dengan gypsum di atas. Namun karena
senyawa C4AF tidak sereaktif C3A, maka fasa ini hanya akan sempat bereaksi
sedikit karena gypsum tersebut telah habis bereaksi dengan C3A tadi. Akibatnya,
reaksi antara C4AF dan gypsum menjadi tidak signifikan. Reaksi C4AF yang
Hal ini dikarenakan pada waktu krusial tersebut, sifat fluiditas, setting
time, dan kekerasan awal, amat ditentukan di sini. Juga karena semua reaksi
bersifat eksotermik (ditandai dengan lepasnya panas hidrasi), maka mulai saat
ini harus dijaga agar tak timbul retak panas atau disintegrasi semen dan mortar.
Lepasnya panas hidrasi ini tak bersifat linear, namun fluktuatif menurut gambar
2.3 berikut:
Gambar 2.3 Laju Evolusi Panas Selama Proses Hidrasi Semen Portland
(Nugroho;2007)
yang terlibat. Hingga pada tahap II, beberapa jam setelah tahap pertama, panas
hidrasi cenderung stabil dan rendah.
Pada tahap III panas hidrasi kembali mengalami kenaikan dengan laju
yang tinggi. Hal ini diakibatkan oleh fasa C3S yang terhidrasi. Dan pada tahap
ini pula, kekuatan awal yang signifikan timbul. Hal ini menunjukkan initial
setting mulai terjadi, dan final setting dicapai sesaat sebelum panas hidrasi
tahap ini mencapai puncaknya. Saat puncak telah tercapai, disinilah tahap
ketiga diakhiri dan memasuki tahapnya yang keempat.
Gula (C12H22O11),
Set Retarder Memperlambat proses pengerasan
Garam seng (ZnCl2)
Untuk mengurangi kebutuhan air Water Glass
Water Reducer
yang diperlukan (Na2SiO3)
2S + 2CH + 7H → C3S2H8
Calcium silicate hydrate yang terbentuk dari hasil reaksi tersebut sama
dengan calcium silicate hydrate yang terbentuk dari hasil reaksi hidrasi C3S dan
C2S. Atau dengan kata lain, pozzolan ini bertindak sebagai “C3S dan C2S lain”.
Reaksi pozzolanik tidak menghasilkan panas hidrasi dalam jumlah besar, yang
berarti secara umum reaksi tersebut berjalan lambat. Sebagian besar terjadi pada masa
28 hari pertama. Namun beberapa material pozzolan dapat bersifat sangat reaktif, yang
diakibatkan oleh tingginya luas permukaan kontak (specific surface area), misalnya pada
silica fume dan metakaolin.
Beberapa pozzolan juga dapat mengandung alumina. Reaksi hidrasi juga
terjadi jika senyawa alumina ini berada pada material-material yang mengandung silika
reaktif. Reaksi hidrasi yang dialami alumina adalah:
A + 4CH + 9H → C4AH13
C4AH13 yang dihasilkan mempunyai sifat yang sama dengan senyawa
C4ASH12, yaitu menaikkan kerentanan semen terhadap serangan sulfat. Sehingga,
pozzolan yang mengandung alumina tidak bisa digunakan dalam semen yang
membutuhkan ketahanan sulfat tinggi.
Material-material pozzolan yang dimanfaatkan sebagai bahan-tambah
mineralik (mineral admixture) dalam campuran semen, mortar, dan beton, memiliki
karakter kimia, sifat organik, dan kadar silika dan alumina yang bervariasi secara luas.
Sehingga, material-material tersebut perlu diverifikasi dulu sebelum diaplikasikan ke
dalam desain campuran (mix design) semen, mortar, dan beton.
Slag adalah produk non-metal yang merupakan material berbentuk halus sampai
balok-balok besar, dari hasil pembakaran yang di dinginkan. (ASTM 1995,494).
Slag memiliki senyawa yang mirip dengan semen, yang menyebabkan reaksi
hidrasi dapat terjadi pada slag. Salah satu senyawa yang terdapat pada slag yang
dapat meningkatkan kekuatan mortar adalah senyawa SiO2. Senyawa ini akan
bereaksi dengan kapur sisa dari hasil reaksi hidrasi air dengan semen sehingga
membentuk senyawa CSH sebagai perekat (SiO2 + Ca(OH)2 → CSH). Semakin
banyak perekat yang terbentuk maka akan meningkatkan kekuatan pada mortar
(Kadhafi;2015).
Pada peleburan baja, bijih besi atau besi bekas dicairkan dengan kombinasi
batu gamping, dolomite atau kapur. Pembuatan baja dimulai dengan penghilangan
ion-ion pengotor baja, diantaranya alumunium, silicon, phosphor, dan sulfur. Ion-
ion tersebut dapat menyebabkan baja menjadi tidak keras dan rapuh atau sulit untuk
dibentuk lembaran-lembaran baja. Untuk menghilangkan ion pengotor tersebut
diperlukan kalsium yang terdapat pada batu kapur. Campuran kalsium dan alumina,
silikon dan phosphor membentuk slag. Slag mengambang pada cairan baja yang
kemudian dibuang. Slag terbentuk pada suhu 1580°C, berbentuk tidak beraturan
dan akan mengeras ketika dingin. Slag dapat berupa butiran halus sampai berupa
balok-balok besar yang sangat keras.
Basic oxygen furnace slag terbentuk dalam proses pemurnian logam panas
menjadi baja dalam tungku BOF (Basic Oxygen Furnace). Pada proses ini logam
panas diolah dengan cara meniupkan oksigen kedalamnya dengan tujuan untuk
menghilangkan karbon dan unsur lainnya yang memiliki afinitas tinggi terhadap
oksigen. Slag tersebut dihasilkan dengan menambahkan fluks seperti kapur atau
dolomit yang akan bergabung dengan silikat dan oksida untuk membentuk slag cair.
Beberapa jumlah scrap juga ditambahkan untuk mengendalikan suhu saat reaksi
eksotermal.
Ketika proses reaksi selesai, baja cair akan terkumpul dibagian bawah
tungku, sedangkan slag cair akan mengapung diatasnya. Baja cair dan slag
dituangkan ke ladle yang berbeda yang biasanya diatas suhu 1600°C. Setelah
dituangkan, slag cair dalam ladle selanjutnya dapat diolah dengan injeksi SiO2 dan
oksigen untuk meningkatkan stabilitas volume. Kemudian slag cair dituangkan ke
dalam lubang atau tanah dimana suhu udara akan menurun dibawah kondisi
terkontrol membentuk slag kristal.
Gambar 2.7 Slag Basic Oxygen Furnace (BOF) (Dok. PT.Krakatau POSCO)
Raiso air semen adalah angka perbandingan antara berat air dan berat
semen dalam campuran pasta atau mortar. Rasio ini menggambarkan sejauh mana
ketersediaan air ada di dalam mortar untuk mendukung proses hidrasi. Tingginya
jumlah air menjamin ketersediaan yang cukup bagi berlangsungnya proses
hidrasi, dan meminimalkan residu anhidrat yang tak termanfaatkan menjadi pasta.
Namun dilain pihak, tingginya jumlah air juga akan menurunkan kuat tekan
mortar. Selain itu dengan nilai rasio yang rendah akan menyebabkan kesulitan
dalam pengerjaan, yaitu kesulitan dalam pelaksanaan pemadatan yang pada
akhirnya akan menyebabkan turunnya kualitas.
Pada mortar dengan w/c yang sama, mortar dengan kandungan semen
lebih banyak belum tentu mempunyai kekuatan lebih tinggi. Hal ini disebabkan
karena jumlah air yang banyak akan mengahasilkan pasta yang banyak pula,
menyebabkan kandungan pori lebih banyak dari pada mortar dengan kandungan
semen yang lebih sedikit. Kandungan pori inilah yang mengurangi kekuatan mortar.
Jumlah semen dalam mortar mempunyai nilai optimum tertentu yang memberikan
kuat tekan tinggi.
2.5 Pengaruh Penambahan Slag dan Umur Pada Kuat Tekan Mortar