Anda di halaman 1dari 7

PANGGILAN HIDUP MEMBIARA

Hidup membiara adalah salah satu bentuk hidup selibat yang dijalani oleh mereka yang dipanggil untuk
mengikuti Kristus secara tuntas (total dan menyeluruh), dengan mengikuti nasihat Injil. Hidup membiara adalah
corak hidup, bukan fungsi gerejawi. Dengan kata lain, hidup membiara adalah suatu corak atau cara hidup yang di
dalamnya orang hendak bersatu dan mengikuti Kristus secara tuntas, melalui kaul yang mewajibkannya untuk hidup
menurut tiga nasihat Injil, yakni keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan (bdk. LG art. 44).
Dengan mengucapkan kaul keperawanan, orang membaktikan diri secara total dan menyeluruh kepada
Kristus; dengan mengucapkan kaul kemiskinan, orang berjanji akan hidup secara sederhana dan rela
menyumbangkan apa saja demi kerasulan; dan dengan mengucapkan kaul ketaatan, orang berjanji akan patuh
kepada pimpinannya dan rela membaktikan diri kepada hidup dan kerasulan bersama. Kaul-kaul tersebut bukan
merupakan inti hidup membiara. Inti hidup membiara adalah persatuan erat dengan Kristus melalui penyerahan diri
secara total dan menyeluruh kepada-Nya. Hal itu diusahakan untuk dijalani melalui ketiga kaul yang disebutkan di
atas.
Bentuk hidup selibat lainnya adalah hidup tidak menikah, yang dijalani oleh kaum awam, demi Kerajaan Surga.
Mereka memilih tidak menikah bukan karena menilai hidup berkeluarga itu jelek atau bernilai rendah, melainkan
demi Kerajaan Surga (bdk. Mat. 19:12). Dalam hidup tidak menikah mereka menemukan dan menghayati suatu nilai
yang luhur, yakni melalui doa dan karya memberikan cintanya kepada semua orang sebagai ungkapan kasih mereka
kepada Allah.
"Hidup membiara" dan "hidup selibat lainnya" adalah panggilan dari Tuhan, merupakan rahmat, pemberian
cuma-cuma dari Tuhan bagi orang- crang yang dipilih-Nya. Meskipun merupakan rahmat, kita bisa memohon hidup
semacam itu kepada Tuhan. Oleh karena itu, kalian sudah harus mulai —memikirkan pilihan cara hidup kalian
kelak, dan mulailah bertanya kepada diri sendiri, "Apakah Tuhan memanggilku untuk menjalani hidup membiara
atau hidup selibat lainnya?"

1 Mari Mengamati

Bacalah artikel berikut ini dengan saksama!

Jadi Biarawan, Tidak Lupa Asal-usul

"Latar belakang yang kurang baik hendaklah menjadi motivasi untuk maju. Dan hendaklah kita jangan malu
akan apa yang telah terjadi di belakang kita. Mari kita terus maju untuk semakin baik." Seuntai nasihat ini meluncur
dari mulut Romo Alexander Sapta Dwi Handoko, SCJ, Propinsial SCJ Indonesia, saat penerimaan novis, postulan,
kaul pertama, dan kaul kekal, Jumat (1/8) lalu, di gereja St. Pius X Gisting, Lampung.
Selanjutnya, Romo Sapta menandaskan bahwa seorang biarawan mesti selalu hidup sederhana. Biarawan mesti
hidup apa adanya. Tidak mencari-cari hal-hal yang melampaui dirinya. Ada keprihatinan banyaknya orang- rang
biara yang lupa akan asal-usulnya. Mereka seolah-olah tercabut dari akarnya. Banyak dari mereka berasal dari
keluarga miskin dan sederhana, tetapi begitu menjadi biarawan-biarawati, mereka tampak seperti orang-orang yang
punya segala-galanya. Mereka banyak menuntut entah dari komunitas maupun dari umat yang mereka layani. Gaya

i
hidup pun berubah.

Untuk itu, Romo Sapta mencontohkan dirinya


sendiri yang berasal dari desa. Ia berasal dari keluarga
sederhana. Ia tidak melupakan asal-usulnya. "Ayah saya
seorang lurah dan blantik sapi. Saya menerima ini. Saya
bangga terhadap keadaan ini. Untuk itu, saya mengajak
Anda untuk tetap setia pada panggilan Anda menjadi
biarawan-biarawan yang saleh, sederhana," kata Romo
Sapta dalam khotbahnya.
Ada kekhawatiran bahwa tema perayaan Aku
melupakan apa yang di belakangku dan mengarahkan
diri akan apa yang di hadapanku' (Flp. 3: 13) dapat
disalahartikan. Bisa jadi ungkapan 'yang di belakang' itu
yang miskin dan sederhana akan ditinggalkan, karena
hidup di biara itu serba terjamin. Karena itu, sangat diharapkan bahwa orang-orang biara tetap hidup sederhana dan
ugahari, meski gaya hidup sebagai orang-orang biara tentu berbeda dengan orang-orang biasa.
Ia berharap agar para postulan, novis, dan para frater yang mengikrarkan kaul pertama mempertimbangkan
sungguh-sungguh, apakah jalan ini pilihan terbaik mereka. "Semoga kita dapat mempertahankan niat kita ini. Untuk
itu, kita mesti berani menjadi semakin sempurna dalam ketulusan. Semoga masa lalu dan apa yang ada di belakang
menjadi motivasi untuk maju," tandas Romo Sapta yang pernah menjadi ekonom SCJ Indonesia ini.
Perayaan kali ini memang menjadi suatu perayaan
istimewa. Mengapa? Karena ada sepuluh calon SCJ yang
diterima untuk menjalani masa postulan selama satu
tahun. Lantas ada sepuluh postulan yang memasuki masa
novisiat setelah selama satu tahun mulai mengenal SCJ
dan cara hidup membiara. Lalu, ada pula sepuluh novis
yang mengikrarkan prasetya pertama. Mereka menjadi
anggota-anggota muda SCJ.
Dua orang frater mengikrarkan prasetya kekal
setelah menjalani proses penggemblengan selama hampir
Gambar 1.5 Para ftater novis SCJ meniarap sebagai tanda penyerahan sepuluh tahun. Mereka adalah Frater Antonius Suedi
diri kepada Iuhan Oky Kuncoro, SCJ dan Frater Yohanes Indri Iriyanto,
SCJ. Tanggung jawab mereka sebagai biarawan semakin
besar. Tantangan hidup membiara pun semakin besar. Oleh sebab itu, bukan hanya kepribadian vang lebih baik,
namun mereka juga dituntut untuk semakin teguh dalam iman. Lantas, pada perayaan itu secara khusus SCJ
Indonesia memberi perhatian bagi Bruder Jacobus Maria Logtens yang lima hari kemudian meninggalkan Indonesia.
Sudah empat puluh tahun ia bekerja di Indonesia sebagai misionaris. Ia ingin menikmati masa-masa tuanya di negeri
Kincir Angin.
Hal yang menggembirakan adalah ketertarikan kaum muda untuk melayani umat menjadi faktor utama dalam
menjawab panggilan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan senantiasa hidup dan bekerja di tengah-tengah
umat-Nya. Tuhan tidak membiarkan umat-Nya berjuang sendiri untuk menggapai keselamatan. Hadirnya kaum
muda ini menjadi generasi penerus jejak-jejak para misionaris. Diharapkan mereka dapat menjadi gembala-gembala
yang baik yang tangguh dan setia melayani umat.
"Saya berharap Anda sungguh-sungguh bersedia menjadi pelayan Tuhan. Bukan hanya ingin mencari sensasi
dengan kemauan yang kurang teguh," kata Romo Sapta.
Untuk itu, orang-orang biara mesti senantiasa menumbuhkembangkan se- mangat iman dalam konteks hidup
membiara. Orang-orang biara juga mesti me- laksanakan perutusannya dengan semangat rendah hati,
kesederhanaan, dan ke- tulusan. Berserah diri kepada Tuhan mesti menjadi sikap hidup yang selalu dihidupi orang-
orang biara. Artinya, orang-orang biara selalu mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Tidak mengandalkan

i
kerapuhan dirinya.
"Kita bekerja di bidang rohani, maka kita harus sungguh-sungguh mendalami hidup rohani kita. Dengan
demikian, kita semakin dapat memperdalam relasi kita, baik dengan Allah maupun dengan sesama. Saya berharap
Anda tetap mem-pertahankan kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan sebagai pelayan Tuhan dan umat.
Kemajuan teknologi jangan membuat Anda lupa akan kaul kemiskinan," kata Romo Sapta ketika memberikan
sambutan usai Perayaan Ekaristi.
Frater Oky, mewakili teman-temannya, mengungkapkan kesungguhan hati untuk menjalani hidup membiara.
"Kami yakin, dalam kelemahan kami Tuhan pasti akan membantu kami untuk semakin teguh dalam menjalani
perutusan ini. Tema perayaan ini 'Aku melupakan apa yang di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang
ada di hadapanku' dipililt karena kami berharap dapat belajar dari masa lalu untuk menggapai yang masih di depan."
kata Fr. Oky dalam kata sambutannya.
Ia berharap agar ia dan teman-temannya dapat semakin kuat dalam perjalanan panggilan sebagai biarawan-
biarawan SCJ. Untuk itu, relasi dengan Tuhan mesti terus-menerus dibangun. "Saya terkesan saat mengadakan
perenungan yang diadakan selama persiapan ini, yaitu bahwa kita harus memperdalam relasi kita, baik dengan
Tuhan maupun dengan sesama," tandas Fr. Oky yang berasal dari Tulang Bawang, Lampung ini.
Dalam sambutannya, Fr. Okv juga mengucapkan terima kasih kepada para orang tua yang merelakan anak-
anaknya untuk menjadi biarawan-biarawan SCJ. Mereka terlibat dalam proses panggilan ini sejak anak-anak mereka
masih kecil.
Perayaan Ekaristi yang berlangsung selama tiga jam ini dipimpin oleh Romo Sapta yang juga didampingi oleh
Romo Thomas Suratno, Superior SCJ Wilayah Lampung, dan Romo Blasius umaryo, SCJ, Magister Novis. **
Soeripno/Ndaru/ Frans/
Sumber: PAK SMA kelas XII "Menjadi utusan Murid Yesus/2010 (http:zvww.scy. or.id/indonesia2/index.html) dengan perubahan seperlunya

2 Mari Menanya

Buatlah kelompok beranggotakan 3-4 siswa! Diskusikanlah beberapa pertanyaan berikut ini! Kalian juga
dapat saling mengajukan pertanyaan dan pendapat tentang hal-hal yang ingin kalian ketahui berkaitan dengan artikel
di atas!
a. Apa yang dikisahkan dalam cerita itu?
b. Bagaimana kesanmu tentang kehidupan membiara?
c. Apa pendapatmu tentang panggilan hidup membiara saat ini?
d. Apa makna kaul dalam hidup membiara?
e. Apa yang menjadi inti dari kehidupan membiara?

i
3 Mari Mencari Informasi

Mari mengumpulkan informasi tentang panggilan hidup membiara dengan membaca uraian berikut ini!

Arti dan Inti Hidup Membiara

a. Arti dan makna hidup membiara


Status hidup tidak menikah yang kadang dipandang tidak sesuai dengan kodrat alam, juga memiliki nilai adikodrati.
Hal itu karena sangat dimungkinkan ada orang yang tidak menikah atas kemauannya sendiri demi Kerajaan Allah.

Injil Matius mengatakan:

"Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang
dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh
karena Kerajaan Surga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti". (Mat 19:12).

Berdasarkan kutipan Injil


tersebut, kita perlu memandang
secara wajar mereka yang hidup
membiara dan selibat. Mereka
sesungguhnya pengemban
panggilan luhur Allah, yakni
dengan menyerahkan hidupnya
secara total bagi Larva Allah.
Itulah keutamaan mereka yang
harus kita hormati pula.

b. Inti hidup membiara


Gambar 1.6 Biarawan Pertapaan Rowoseneng.
Inti kehidupan membiara
yang juga dituntut dari setiap orang Kristen, ialah persatuan atau keakraban dengan Kristus. Tugas ataupun karier
adalah soal tambahan. Tanpa keakraban tersebut, kehidupan membiara sebenarnya lak memiliki suatu dasar.
Seorang biarawan hendaknya selalu bersatu dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara
radikal bagi dirinya. Oleh karena itu, semboyan klasik hidup membiara ialah "Mengikuti -. ak Tuhan kita Yesus
Kristus", atau "Meniru Kristus" (Lumen Gentium Art. 42).
Ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan secara lahiriah saja. Mereka yang mengikuti Kristus berarti "meneladan
bentuk kehidupan-Nya" (Lumen Gentium Art. 44). Namun demikian, meneladan harus diusahakan sedemikian -jpa
sehingga mereka sungguh bersatu dan menyerupai Kristus. Untuk dapat menyerupai dan menyatu dengan Kristus,
orang harus sering berkomunikasi atau bertemu dengan Yesus Kristus. Pertemuan atau komunikasi yang efektif dan
yang paling sering dilakukan ialah doa. Seorang biarawan yang baik harus sering "tenggelam dalam doa", sebab doa
merupakan suatu daya atau kekuatan untuk dapat meneladan dan bersatu dengan Kristus. Di dalam doa orang selalu
bisa berbicara, mendengar, dan mengarahkan diri kepada Kristus.
Persatuan erat dengan Kristus itulah inti dan tujuan hidup membiara. Tugas atau karier adalah tambahan. Tanpa
persatuan dengan Kristus, hidup membiara akan rapuh karena tidak memiliki dasar. Seorang biarawan perlu

i
mengusahakan persatuan yang erat dengan Kristus dan menerima pola hidup Kristus secara radikal (sampai ke akar-
akarnya) bagi dirinya sendiri.
Inti hidup membiara didasarkan pada cinta Allah sendiri. Demi cinta-Nya kepada manusia, Allah mengutus Pu
tra-Nya ke dunia untuk mewartakan, menjadi saksi, dan melaksanakan karya keselamatan-Nya bagi manusia. Yesus
menjalankan tugas perutusan-Nya secara sempurna dan radikal dengan menyerahkan diri secara total kepada Bapa-
Nya, memiliki dan menggunakan harta benda hanya sejauh diperlukan untuk melaksanakan karya-Nya, dan taat
kepada Bapa-Nya sampai wafat di kayu salib. Pola hidup semacam itulah yang hendaknya dihayati oleh seorang
biarawan dalam hidupnya, sebagai tanda persatuannya dengan Kristus.

c. Kaul-kaul dalam hidup membiara


Persatuan yang erat dan penyerahan diri secara total serta menyeluruh dari orang yang hidup membiara
dilakukan dengan mengucapkan dan menghayati tiga kaul atau sumpah dalam hidupnya, yaitu kaul keperawanan,
kaul kemiskinan, dan kaul ketaatan.
1) Kaul kemiskinan
Memiliki harta benda adalah hak setiap orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul
kemiskinan, orang yang hidup membiara melepaskan hak untuk memiliki harta benda tersebut, la
hendak menjadi seperti Kristus yang dengan sukarela melepaskan haknya untuk memiliki harta benda.
Untuk dapat menghayati kaul kemiskinan dengan baik, diperlukan sikap batin rela menjadi miskin
seperti yang dituntut oleh Yesus dari murid-murid-Nya (Luk. 10:1-12; lihat pula Mat. 10: 5-15). Sikap
batin ini perlu diungkapkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan pengungkapan atau perwujudan kaul kemiskinan, ada dua aspek yang bisa
ditemukan, yaitu aspek asketik (gaya hidup vang sederhana) dan aspek apostolis. Orang yang
mengucapka kaul kemiskinan rela menyumbangkan bukan hanya harta bendanya demi kerasulan,
melainkan juga tenaga, waktu, keahlian, dan keterampilan; balikan segala kemampuan dan seluruh
kehidupan.
2) Kaul ketaatan
Kemerdekaan atau kebebasan adalah milikmanusia yang sangatber- harga. Segala usaha akan dilakukan
orang untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaannya. Dengan kaul ketaatan, orang
memutuskan untuk taat seperti Kristus (Yoh. 14: 23-24; Flp. : 7-8), melepaskan kemerdekaannya, dan
taat kepada pembesar (meletakkan kehendaknya di bawah kehendak pembesar) demi Kerajaan Allah.
Ketaatan religius adalah ketaatan yang diarahkan kepada kehendak Allah. Ketaatan kepada pembesar
merupakan konkretisasi ketaatan kepada Allah. Maka dari itu, baik pembesar maupun anggota biasa
perlu bersama-sama mencari dan berorientasi kepada kehendak Allah.
Di dalam kaul ketaatan pun dapat dibedakan aspek asketis dan aspek apostolis. Dari aspek asketis,
ketaatan religius dimengerti sebagai kepatuhan kepada pembesar, terutama guru rohani. Se- mentara,
dari aspek apostolis ketaatan religius berarti kerelaan untuk membaktikan diri kepada hidup dan
terutama kerasulan bersama.
3) Kaul keperawanan
Hidup berkeluarga adalah hak setiap orang. Dengan mengucapkan dan menghayati kaul
keperawanan, orang yang hidup membiara melepaskan haknya untuk hidup berkeluarga demi Kerajaan
Allah. Melalui hidup selibat ia mengungkapkan kesediaan untuk mengikuti dan meneladan Kristus
sepenuhnya, dan membaktikan diri secara total demi terlaksananya Kerajaan Allah. Dengan kaul
keperawanan, sikap penyerahan diri seorang Kristen dinyatakan dalam seluruh hidup dan setiap segi. Inti
kaul keperawanan bu-kanlah "tidak kawin", melainkan penyerahan secara menyeluruh kepada Kristus,
yang dinyatakan dengan meninggalkan segala-galanya demi Kristus dan terus-menerus berusaha
mengarahkan diri kepada Kristus, terutama melalui hidup doa.

Secara singkat, ketiga kaul itu dapat dikatakan sebagai suatu sikap radikal untuk mencintai Bapa
(keperawanan), pasrah kepada ke- hendak Bapa (ketaatan), serta bergantung dan berharap hanya kepada
Bapa (kemiskinan).

i
d. Bentuk kaul keperawanan (selibat) yang lain
Selain hidup membiara, masih ada bentuk hidup selibat lain yang dijalani oleh orang-orang yang memilih
hidup tidak menikah demi pengabdian mereka kepada sesama dan Tuhan. Misalnya ada perawat yang tidak menikah
karena ingin mengabdikan diri sepenuhnya bagi pelayanan orang sakit, ada guru yang memilih tidak menikah karena
ingin mengabdi anak didiknya secara penuh. Mereka tidak menikah bukan karena tidak memiliki cinta. Justru karena
mereka memiliki cinta kepada Allah dan sesama, dengan suka rela mereka meninggalkan hak mereka untuk
menikah, demi Kerajaan Surga. Yesus, seperti dicatat oleh Santo Matius dalam Injilnya, berkata demikian, "Ada
orang yang tidak dapat kawin ... ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena
Kerajaan Surga ..." (Mat. 19: 12). Orang semacam ini berusaha sepenuhnya, melalui doa dan karya, menghasilkan
buah dengan cara-cara yang kerap kali tidak bisa dilakukan secara bebas oleh orang yang tidak selibat. Hati orang-
orang selibat diberikan dengan banyak cara kepada berbagai macam orang, yang dalam dan melalui mereka orang-
orang selibat menemukan Allah.

e. Kaul-kaul adalah tanda Kerajaan Allah


Harta dan kekayaan, kuasa dan kedudukan, perkawinan dan kehidupan keluarga adalah sesuatu yang baik dan
sangat bernilai dalam hidup ini sehingga perlu diperjuangkan. Akan tetapi, hendaknya diingat bahwa semua nilai
tersebut relatif, artinya tidak absolut dan tidak abadi. Manusia hendaknya tidak terpaku pada nilai-nilai itu saja,
tetapi menyadari bahwa kehidupannya sendiri di atas dunia ini tidak abadi. Kita semua dalam perjalanan menuju
Rumah Bapa.
Dengan menghayati kaul-kaul kebiaraan itu, para biarawan menjadi tanda
1) yang memperingatkan kita supaya tidak terlalu "terpaku" pada kekayaan dan harta, kuasa dan
kedudukan, perkawinan dan kehidupan berkeluarga, walaupun semuanya itu sangat bernilai; dan
2) yang mengarahkan kita kepada Kerajaan Allah, yang sudah mulai terungkapkan kepada kenyataan yang
akan dating

Kesimpulannya adalah bahwa dengan kaul-kaul tersebut, biarawan dan rtarawati menjadi tanda yang
mengantarkan manusia kepada kepenuhan Kerajaan Allah.

Biara atau komunitas


Untuk menghayati kehidupan, khususnya kaul-kaul di atas, dibutuhkan suatu "suasana" dan "ruang lingkup"
yang sesuai, walaupun para biarawan liu tetap harus berada di tengah-tengah dunia ini untuk menjadi tanda. Suasana
dan ruang lingkup itu tercipta dalam suatu "tarekat". Tarekat menjadi konkret dalam kehidupan suatu "komunitas
biara", yang biasanya memiliki suatu rumah tertentu dengan anggota-anggota rumah tertentu, pimpinan, dan struktur
serta mekanisme hidup dan kerja yang tertentu pula. Nah, komunitas itulah yang menjadi "jalan" atau sarana bagi
seseorang untuk menjadi seorang biarawan atau biarawati yang baik!
Setelah menyimak uraian informasi tentang panggilan hidup membiara di atas, jawablah pertanyaan-
pertanyaan berikut ini!
1) Apakah kalian pernah mendengar tentang kaul-kaul? Apa arti kaul?
2) Apa yang kalian ketahui tentang arti kaul kemiskinan?
3) Apa yang kalian ketahui tentang arti kaul ketaatan?
4) Apa yang kalian ketahui tentang arti kaul keperawanan?
5) Apakah kaul-kaul, khususnya kaul keperawanan, hanya dapat dihayati dalam hidup membiara?
6) Menurut kalian, apakah kehidupan membiara masih dibutuhkan oleh Gereja dan dunia pada saat ini?

4 Mari Menyimpulkan dan Merefleksikan

i
Lakukanlah kegiatan berikut ini!
a. Tulislah kesimpulan atas materi pembelajaran yang telah kamu pelajari ini!
b. Tulislah sebuah refleksi pribadi tentang panggilan hidup membiara!

5 Mari Menginformasikan

Mari mengemukakan buah pikiran dan daya kreativitasmu di depan teman dan gurumu dengan penuh percaya
diri!
a. Laporkan atau presentasikan hasil kesimpulan yang telah kamu buat!
b. Bagikan (sharing) hasil tentang panggilan hidup membiara di ha-dapan teman kelas atau di kelompok
diskusimu masing-masing!

R Rangkuman

1. Hidup membiara merupakan ungkapan hidup manusia, yang menyadari bahwa hidupnya berada di hadirat Allah. Agar
hadirat Allah bisa diungkapkan secara padat dan menyeluruh, orang melepaskan diri dari segala urusan membentuk
hidup berkeluarga.
2. Inti kehidupan membiara, yang juga dituntut dari setiap orang Kristen, ialah persatuan atau keakraban dengan Kristus.
3. Seorang biarawan hendaknya selalu bersatu dengan Kristus dan me- nerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara
radikal bagi dirinya. Oleh karena itu, semboyan klasik hidup membiara ialah "Mengikuti jejak Tuhan kita Yesus
Kristus", atau "Meniru Kristus" {Lumen Gentium Art. 42).
4. Persatuan yang erat dan penyerahan diri secara total serta menyeluruh dari orang yang hidup membiara dilakukan
dengan mengucapkan dan menghayati tiga kaul atau sumpah dalam hidupnya, yaitu kaul keperawanan, kaul
kemiskinan, dan kaul ketaatan.
5. Untuk menghayati kehidupan, khususnya kaul-kaul di atas, dibutuhkan uatu "suasana" dan "ruang lingkup" yang
sesuai, walaupun para biarawan itu tetap harus berada di tengah-tengah dunia ini untuk menjadi tanda. Suasana dan
ruang lingkup itu tercipta dalam suatu "tarekat".

Anda mungkin juga menyukai