Judul:
DETERMINAN KEBAHAGIAAN PADA ANAK
Diusulkan Oleh
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmatNya
laporan akhir penelitian ini dapat selesai sebagaimana mestinya. Tak lupa peneliti
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya terhadap Rektor Universtas
Negeri Yogyakarta, atas kesempatan dan dukungannya, kepada Ketua LPPM
Universitas Negeri Yogyakarta atas bimbingannya. Dekan Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta atas segala dukungan yang diberikan.
Tak lupa peneliti ucapkan kepada anggota dan tim pendukung penelitian, tempat
penyelenggaraan penelitian serta seluruh partisipan penelitian. Peneliti menyadari
masih banyak kekurangan dalam penelitian ini, peneliti mengharapkan masukan
membangun demi perbaikan terhadap penelitian ini.
ii
ABSTRAK
Kata kunci : situasi dan pihak yang membuat bahagia, anak usia dini, anak sekolah dasar
iv
Determinants of Happiness for Children
Abstract
Halaman
BAB I. Pendahuluan..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Tujuan Penelitian..................................................................... 3
Daftar Pustaka............................................................................................... 56
Lampiran ...................................................................................................... 70
v
DAFTAR TABEL
Halaman
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
B. Tujuan Penelitian
A. Kesejahteraan Psikologis
1. Definisi
Kebahagiaan merupakan salah satu motivasi terbesar dari perilaku
manusia (Diener, 2009). Namun dalam beberapa dekade, psikolog lebih
banyak mengeksplor mengenai ketidakbahagiaan dan mengesampingkan
mengenai kesejahteraan psikologis (Diener, 2009). Literature mengenai
kesejahteraan psikologis berfokus pada mengapa dan bagaimana manusia
menjalani hidupnya dengan cara yang positif, baik secara kognitif dan reaksi
afektif.
Kesejahteraaan psikologis terdiri atas evaluasi individu akan
kehidupannya, termasuk di dalamnya afek positif, jarang merasakan emosi
yang negative, dan kepuasan hidup. Penelitian dari Tov & Diener (2008)
menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis dapat dibandingkan antar
budaya, tetapi terdapat pola spesifik yang membedakan kesejahteraan antara
satu budaya dengan budaya yang lainnya.
Kesejahteraan merupakan sebuah konsep yang imateri, kesejahteraan
merupakan sebuah konsep inner of mind, yang mana kesejahteraan ialah
buah dari olah pikir seseorang. Kesejahteraan tidak dapat dikur dari
kepemilikan atas benda-benda bersifat materi. Terdapat orang-orang yang
dipandang orang lain memiliki materi berlebih dan dipandang sejahtera,
tetapi justru merasa tidak sejahtera. Hal sebaliknya pun berlaku. Seseorang
dipandang kurang secara materi, tetapi selama ia merasa sejahtera, maka
iapun sejahtera (Diener, Lucas, & Oishi, 2005).
Terdapat dua sudut pandang untuk memaknai kesejahteraan. Kedua
pandangan tersebut ialah hedonik dan eudaimonia (Keyes, 2009). Tradisi
hedonic memandang kesejahteraan sebagai emosi positif. Sementara tradisi
eudaimonia melihat kesejahteraan sebagai indikator dari potensi seseorang
untuk berfungsi dengan lebih positif (Keyes, 2009).
Seligman (2011) mendefinisikan kesejahteraan sebagai merasakan
5
B. Anak
Untuk memudahkan pemahaman, perkembangan anak biasanya
dideskripsikan dalam pola periode usia. Anak terbagai menjadi beberapa
periode perkembangan yaitu periode prenatal, infancy, masa kanak-kanak
awal, tengah dan akhir. Berikut penjelasan masing-masing tahapan:
1. Masa prenatal terjadi dari masa konsepsi hingga kelahiran.
2. Masa infancy ialah periode perkembangan yang terjadi dari lahir hingga
anak berusia 18 sampai 24 bulan. Pada masa ini anak berada pada masa
ketergantungan yang tinggi terhadap orang dewasa di sekitarnya. Anak
masih berada pada tahap belajar berbicara.
3. Masa kanak-kanak awal adalah periode pekembangan yang terjadi dari
akhir masa infancy hingga berusia 5 atau 6 tahun. Masa ini disebut pula
sebagai masa pra sekolah. Pada masa ini anak belajar peduli akan
dirinya, dan membangun kesiapan sekolah. Waktu mereka habis untuk
bermain dan bersama dengan rekan sebaya. Masa pra sekolah berakhir
ketika anak masuk sekolah dasar.
4. Masa kanak-kanak tengah dan akhir. Masa kanak-kanak awal dan akhir
terjadi antara usia 6 hingga 11 tahun atau disebut juga masa sekolah
dasar. Anak-anak menguasai kemampuan dasar membaca, menulis dan
aritmatik (Santrock, 2011).
afiliasi atau mempunyai banyak teman sebesar 2,22%. Afeksi positif mendapatkan
respon paling tinggi karena kebahagiaan memang sering digambarkan dalam wujud
afeksi positif dan kepuasan hidup (Singh & Jha, 2008; Kuppens, Realo, Diener, 2008;
Diener, 1984). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hasil
penelitian ini selaras dengan temuan Aloia dan Brecht (2014) yang menyatakan bahwa
afeksi positif berkorelasi positif dengan kebahagiaan, kesehatan mental, dan harga diri;
serta berhubungan negatif dengan depresi dan stres.
Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan ekspresi (tertawa dan tersenyum) dan
tidak ada emosi negatif (tidak sedih dan tidak menangis), emosi positif merupakan
afeksi positif yang paling menonjol. Emosi positif berperan penting dalam kebahagiaan
karena emosi positif umumnya dianggap sebagai cara yang baik untuk meningkatkan
kesejahteraan secara lebih luas (Bastian, Kuppens, Roover, & Diener, 2014). Secara
lebih rinci, dalam komponen emosi positif sendiri, aspek kesenangan merupakan aspek
yang mendapatkan respon paling besar dibandingkan aspek yang lainnya dengan
persentase sebesar 17,78%. Hasil tersebut mendukung penelitian Eryılmaz (2012) yang
menunjukkan bahwa jika individu memiliki lebih banyak pengalaman yang
memberikan kesenangan dan kepuasan, dan juga lebih sedikit pengalaman tidak
menyenangkan, maka mereka dianggap sebagai individu yang bahagia.
Sementara itu, apabila definisi bahagia ditinjau dari segi aktivitas, maka aktivitas
bermain (20%) merupakan aktivitas terfavorit dibandingkan bepergian (4,44%),
membantu orang tua (2,22%), dan belajar (2,22%). Jadi, berdasarkan hasil analisis data
yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa arti bahagia menurut pemahaman anak
usia 4-6 tahun adalah memiliki emosi positif senang dan bermain. Penelitian yang
dilakukan oleh Nairn & IPSOS MORI Social Research Institute (2011) yang
membandingkan kehidupan anak-anak di Inggris, Swedia, dan Spanyol
mengungkapkan bahwa Inggris menduduki peringkat paling rendah dibandingkan dua
negara lainnya dalam kaitannya dengan kesejahteraan anak. Hal tersebut dikarenakan:
(1) anak-anak di Inggris memiliki lebih sedikit kesempatan untuk kegiatan luar ruangan
yang menyenangkan, (2) adanya keputusan pemerintah yang memotong pendanaan
untuk ruang bermain lokal yang tentu saja merugikan untuk kesejahteraan anak-anak,
terutama untuk anak-anak dari kelompok sosial ekonomi rendah, serta (3) kurangnya
12
dukungan orang tua, dimana orang tua Inggris memiliki lebih sedikit waktu luang untuk
menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka, karena pekerjaan dan komitmen
lainnya. Penelitian tersebut adalah salah satu bukti persuasif tentang peran bermain
untuk kebahagiaan dan kesejahteraan anak-anak secara keseluruhan.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa anak-anak memang suka bermain (Ogunyemi
& Ragpot, 2015). Bermain adalah suatu kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial yang
penting bagi perkembangan dan kesejahteraan individu dan komunitas yang sehat,
dimana unsur-unsur bermain biasanya meliputi kesenangan, rasa kebebasan, maupun
konstruksi bersama melalui penggunaan aturan atau ritme tertentu (Singer, 2015;
Playwork Principles Scrutiny Group (2005) dalam Gleave & Cole-Hamilton, (2012)).
Anak usia dini suka bermain, selain karena merupakan fitur dasar yang tertanam dalam
pendidikan mereka, juga karena bermain adalah naluri alamiah yang sudah ada dalam
diri mereka masing-masing (Singer, 2015; Ejieh, 2006). Ide anak dalam bermain
umumnya berpusat pada melakukan kegiatan yang menyenangkan secara bebas, berada
di luar ruangan, dan bersama teman-teman (Singer, 2013).
Berdasarkan temuan dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan, aktivitas
bermain terbukti menyenangkan bagi anak karena selain sebagai alat untuk pemenuhan
kebutuhan anak, bermain juga dapat menghasilkan emosi positif, melepaskan kelebihan
energi, memperkuat empati dan kepekaan terhadap orang lain (toleransi) melalui
pengambilan perspektif, mengoptimalkan pertumbuhan otak, mengasah imajinasi dan
kreativitas, serta meningkatkan kesehatan jangka panjang serta perkembangan kognitif-
motorik-emosional-sosial-mental anak (Sharif, 2014; Singer, 2013; Goldstein, 2012;
Whitebread, Basilio, Kuvalja, & Verma, 2012; Gleave & Cole-Hamilton, 2012; Veitch,
Salmon, & Ball, 2010; Haney & Bissonnette, 2011; Bell, Pellis, & Kolb, 2010; Kuo,
et.al., 2008; Apache, 2005; Casby, 2003). Kurangnya kesempatan bermain pada anak-
anak, atau adanya larangan bermain pada anak dapat membuat anak menderita baik saat
ini maupun dalam jangka panjang, misalnya akan berdampak pada faktor psikososial
seperti harga diri, mengurangi kapasitas mereka untuk berkomunikasi sehingga akan
mengakibatkan anak cenderung agresif dan terlibat kekerasan (Goldstein, 2012; Veitch,
Salmon, & Ball, 2010; Almon, 2003). Dengan adanya dukungan orang dewasa, ruang
bermain yang memadai, dan berbagai macam bahan permainan, anak-anak memiliki
13
kesempatan terbaik untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih sehat, bahagia, dan
produktif (Goldstein, 2012).
Kedua, terkait situasi seperti apa yang dapat membuat anak merasa bahagia. Hasil
analisis sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 2. menunjukkan bahwa situasi yang
membuat anak merasa bahagia adalah aktivitas sebesar 70,54% dimana aktivitas yang
paling menonjol adalah aktivitas sehari-hari sebesar 36,61% yang meliputi belajar di
taman kanak-kanak (11,61%), jalan-jalan (9,82%), makan (7,14%), membaca buku
(1,79%), serta membantu ibu, menulis cerita, menggambar, bersih-bersih, menyiram
bunga, bercermin, dan makan minum masing-masing memiliki persentase yang sama
besar yakni 0,89%. Kemudian aktivitas lain seperti bepergian bersama keluarga atau
mudik sebesar 0,89%; bermain sebesar 20,54%; hiburan sebesar 9,82% yang meliputi
liburan (6,25%), baca komik (2,68%), dan menonton (0,89%); serta olahraga (2,68%)
yang meliputi bermain bola dan bermain badminton berturut-turut sebesar 1,79% dan
0,89%. Situasi lain yang dapat membuat anak bahagia selain aktivitas adalah
mendapatkan sesuatu atau diberi hadiah (12,50%), teknologi atau bermain gadget/hp
(8,04%), afiliasi atau interaksi sosial (4,46%) berupa disayang ayah (1,79%),
berkumpul dengan keluarga (0,89%), banyak orang tersenyum (0,89%), dan bercanda
(0,89%); hari spesial berupa hari ulang tahun (2,68%), dan pecapaian atau prestasi
(1,79%) berupa di puji guru dan di surga yang masing-masing sebesar 0,89%.
Berdasarkan paparan di atas, aktivitas belajar di taman kanak-kanak adalah aspek
dari aktivitas sehari-hari yang merupakan situasi yang paling dapat membuat anak
merasa bahagia. Hal ini dikarenakan dalam perspektif pendidikan, kebahagiaan anak
memang banyak ditemukan terkait dengan program kegiatan belajar dan dukungan dari
guru melalui praktik dan metode pengajaran positif yang dilakukan guru, selain dapat
meningkatkan kemampuan akademik dan prestasi belajar anak, juga dapat
meningkatkan kesejahteraan anak (NSW Goverment, 2015; Eryilmaz, 2015; Cheng &
Furnham, 2002; Ash & Huebner, 2001). Oleh sebab itu, sekolah sebaiknya selalu
berusaha untuk memadukan proses kegiatan pembelajaran dengan pengembangan
kesejahteraan psikologis anak secara paralel, terintegrasi, dan lengkap karena kegiatan
pembelajaran di sekolah dapat mengasah keterampilan anak, sehingga nantinya dapat
membantu untuk mengelola lingkungan anak secara efektif (NSW Goverment, 2015;
14
Baker, Dilly, Aupperlee, & Patil, 2003). Sementara itu, aspek pencapaian atau prestasi
yang berupa dipuji guru dan di surga merupakan aspek yang mendapatkan nilai
terendah (hanya direspon oleh 2 anak) karena anak usia dini belum menganggap
prestasi merupakan hal yang membuat mereka bahagia. Anak usia dini umumnya
sangat aktif (misalnya terus berlarian) sehingga menghabiskan waktu di sekolah bukan
untuk berprestasi, namun untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan aktivitas fisik
seperti bermain (berlarian, melompat, melempar), menulis, menyulam, dan sebagainya
(Sharif, 2014; Reunamo, et.al., 2014; Pate, et.al., 2013; Tucker, 2008). Kegiatan berupa
aktivitas fisik tersebut terbukti memberikan dampak langsung pada kesehatan dan
kesejahteraan anak-anak dan berfungsi sebagai strategi yang kuat untuk mencegah atau
meminimalkan terjadinya penyakit kronis di kemudian hari (Tremblay, Boudreau-
Lariviere, & Cimon-Lambert, 2012).
Hasil penelitian ketiga, terkait siapa yang membuat anak bahagia. Hasil analisis
sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa pihak yang paling
membuat anak bahagia adalah pihak keluarga sebesar 77,92% yang terdiri dari keluarga
besar (3,90%) dan keluarga inti (74,03%). Sementara itu, pihak lain yang meliputi
bukan keluarga (guru dan teman), tuhan, maupun mainan hanya mendapatkan respon
berturut-turut sebesar 19,48%; 1,30%; dan 1,30%. Temuan yang ada dalam penelitian
ini semakin memperkuat penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa keluarga
memang memiliki hubungan positif (mempengaruhi) kesejahteraan anak-anak (Ruini,
Vescovelli, Carpi, & Masoni, 2017; Gilligan, et.al., 2017; Pannilage, 2017; Stradzdins,
et.al., 2011; Holder & Coleman, 2007). Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga
merupakan bagian integral dari masyarakat dalam menumbuhkan rasa bahagia pada
anak (Botha & Booysen, 2013). Keluarga yang berfungsi dengan baik sangat penting
dalam memastikan setiap anak yang tumbuh dapat memiliki masa kecil yang baik,
peluang hidup yang positif, serta mengoptimalkan kinerja dan produktivitas anak,
sehingga pada akhirnya akan meningkatkan perasaan bahagia pada anak itu sendiri
(Botha & Booysen, 2013; The Children’s Society, 2012).
Penelitian tentang pengaruh keluarga terhadap kesejahteraan atau kebahagiaan
anak sebenarnya telah berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir. Penelitian
yang dilakukan Pannilage (2017) misalnya, telah berhasil menemukan bahwa anak-
15
dibandingkan dengan mereka yang tidak (Indumathy & Ashwini, 2017; Stafford, et.al.,
2016; Botha & Booysen, 2013; Mallers, 2010; Bowlby, 2008; Amato, 1994).
Selain itu, anak yang dipedulikan dan memiliki hubungan responsif dengan orang
tua sejak bayi, juga akan cenderung lebih dekat dengan orang tua dan merasa aman
bersama mereka, serta beresiko lebih rendah mengalami gangguan kesehatan dan
gangguan psikologis saat mereka dewasa nanti (Mallers, 2010; Bowlby, 1988).
Menurut The Children’s Society (2012), untuk meningkatkan kebahagiaan anak, orang
tua dapat mulai berperan aktif dalam pengambilan keputusan yang dapat
mempengaruhi kehidupan mereka, menjalin hubungan yang peduli dan penuh cinta,
serta meluangkan waktu bersama mereka. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara anak dan orang tua dalam keluarga memang sangatlah penting karena
hubungan tersebut adalah sumber cinta, kepercayaan, keintiman dan keamanan yang
diberikan orang tua kepada anak (Indumathy & Ashwini, 2017; Botha & Booysen,
2013). Secara naluriah, anak-anak menginginkan dan membutuhkan hubungan yang
positif dan penuh cinta dengan orang-orang terdekat mereka (The Children’s Society,
2012). Hubungan yang sehat yang dibentuk anak dengan orang tua sedari dini ini dapat
membuat kenangan kebahagiaan anak pada masa usia dini tersebut berlangsung dimasa
yang akan datang.
Pada akhirnya, berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui makna kebahagiaan pada anak
usia dini, situasi seperti apa yang dapat membuat anak merasa bahagia, dan siapa yang
membuat anak bahagia. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa anak yang bahagia
akan berhasil di berbagai domain kehidupan, termasuk pernikahan (keluarga),
persahabatan (sosial), kesehatan (fisik), pendapatan dan pekerjaan, serta memiliki usia
yang panjang (Manago & Vaughn, 2015; Saphire-Bernstein & Taylor, 2013; Boehm &
Lyubomirsky, 2008; Grant, Christianson, & Price, 2007; Lyubomirsky, Sheldon, &
Schkade, 2005; Seligman, Steen, Park, & Peterson, 2005; Dush & Amato, 2005;
Lyubomirsky & King, 2005; Diener & Biswas-Diener, 2002; Danner, Snowdon, &
Friesen, 2001). Oleh sebab itu, studi tentang kebahagiaan pada anak-anak terutama
pada usia dini memiliki beberapa manfaat. Misalnya, mengembangkan metode untuk
menilai kebahagiaan pada anak-anak dapat memberikan sarana untuk menilai dampak
17
2. Hasil Studi Dua: Makna Kebahagiaan Pada Kategori Anak Tengah (Usia
Sekolah Dasar)
Penelitian ini mencoba untuk menggali makna SWB menurut anak dari tiga
dimensi:
A. Apa yang dimaknai SWB;
B. Situasi apa yang menimbulkan SWB; dan
C. Siapa yang membuat anak mengalami SWB.
Berdasarkan hasil analisis data secara tematik, untuk dimensi A, diperoleh 5
kategori mayor yang menjadi indikator kebahagiaan bagi anak-anak masa kanak-kanak
pertengahan, yaitu: (1) adanya afeksi positif (69,23%), (2) melakukan aktivitas
(12,82%), (3) mendapatkan sesuatu (10,26%), (4) ada pencapaian (5,13%), dan (5)
adanya kondisi fisik positif (2,56%).
Kategori pertama ialah “adanya afeksi positif” terdiri dari emosi positif
(33,33%), ekspresi wajah (30,77%), tidak adanya emosi negatif (2,56 %) dan terkesan
(2,56%). Respon afeksi positif antara lain:“senang, gembira”, “tersenyum, tertawa”,
“tidak menangis”, “suka sesuatu”. Kategori kedua ialah “melakukan aktivitas” yang
terdiri dari bermain (7,69%) dan berpiknik (5,13%). Adapun respon “melakukan
aktivitas” antara lain seperti berikut: “ bermain bola”, “jalan-jalan liburan”. Kategori
18
ketiga ialah “mendapatkan sesuatu”, terdiri dari diberi sesuatu (7,69%) dan sesuatu yang
baik (2,56%). Contoh respon “mendapatkan sesuatu” ialah:“Dibelikan sepatu”, “Diberi
hadiah”, “Ada sesuatu yang baik”. Kategori keempat ialah “ada pencapaian” terdiri dari
bisa naik surga (2,56%) dan mendapat nilai baik (2,56%). Respon yang diberikan untuk
kategori ini ialah: “ bisa naik surga”, “mendapat nilai 100”, Kategori terakhir ialah
“kondisi fisik positif” terdiri dari satu kategori minor saja pada level koding axial, yaitu
bersih (2,56%). Respon yang diberikan untuk ketegori ini ialah: “rumah bersih”.
Dengan demikian, dari dimensi makna, anak-anak usia masa kanak-kanak
pertengahan menandai makna kebahagiaan dengan indikator adanya afeksi positif,
melakukan aktivitas, mendapatkan sesuatu, ada pencapaian serta pada kondisi
lingkungan fisik yang positif. Hasil analisis secara tematik untuk dimensi makna
kebahagiaan dapat dilihat pada Tabel 4.
19
bus”, “berenang”, Kategori kedua ialah “mendapatkan sesuatu” yang terdiri dari satu
kategori minor, yaitu “diberi” (11,11%). Adapun respon “mendapatkan sesuatu” antara
lain seperti berikut. “ dibacakan cerita”, “diberi hadiah”. Kategori ketiga ialah “adanya
afiliasi”, juga terdiri dari satu kategori minor saja, yatu interaksi sosial (3,70%). Contoh
respon “afiliasi” ialah: “Banyak teman”, “Disayang ayah”, “Kumpul dengan keluarga”,
Kategori keempat ialah “melakukan aktivitas keagamaan” terdiri dari satu kategori
minor, yaitu aktivitas keagamaan (3,70%). Respon yang diberikan untuk kategori ini
ialah: “ketika mengaji”, “katika sholat”. Kategori terakhir ialah “hari spesial” terdiri dari
satu kategori minor saja dengan nama yang sama, yaitu pada hari special (2,56%).
Respon yang diberikan untuk ketegori ini ialah: “ketika hari raya lebaran”.
Dengan demikian, dari dimensi ini, anak-anak usia perkembangan masa kanak-
kanak pertengahan menandai situasi yang menimbulkan kebahagiaan dengan indikator
ketika melakukan aktivitas, mendapatkan sesuatu, adanya afiliasi, melakukan aktivitas
keagamaan, dan pada hari spesial. Hasil analisis secara tematik untuk dimensi situasi
yang menimbulkan kebahagiaan dapat dilihat pada Tabel 5,.
Tabel 5. Hasil Analisis secara Tematik untuk Dimensi Situasi
yang Menimbulkan Kebahagiaan
Kategori Peresentase
Ketika melakukan aktivitas 80,25%
Aktivitas 29,63%
Balapan 1,23%
Belajar 6,17%
bersih-bersih 1,23%
jalan-jalan 6,17%
Makan 3,70%
melihat ikan 1,23%
membantu ibu 3,70%
Menggambar 6,17%
Bermain 37,04%
Bermain 34,57%
mencebur di kolam 1,23%
mencebur di sungai 1,23%
Di rumah 1,23%
di Rumah 1,23%
Hiburan 9,88%
Drumband 4,94%
kegiatan drama 1,23%
21
Kemah 1,23%
Libur 1,23%
naik bus 1,23%
Olahraga 2,47%
Berenang 2,47%
Ketika mendapat Sesuatu 11,11%
Diberi 11,11%
dibacakan cerita 1,23%
diberi hadiah 9,88%
Ketika ada affiliasi 3,70%
interaksi social 3,70%
banyak teman 1,23%
disayang ayah 1,23%
kumpul keluarga 1,23%
Ketika melakukan aktivitas keagamaan 3,70%
Aktivitas Keagamaan 3,70%
aktivitas keagamaan/ngaji 1,23%
berada di rumah Ibadah 1,23%
Sholat 1,23%
Pada hari special 1,23%
Hari special 1,23%
Lebaran 1,23%
Sementara dari dimensi tentang siapa yang membuat anak mengalami SWB
dengan dua kategori indikator mayor, yaitu: (1) keluarga (86,96%) dan (2) Non keluarga
(13,04%). Kategori pertama “keluarga” terdiri dari tiga indikator dari ketegori minor,
yaitu keluarga inti (81,16%), keluarga besar (4,35%), dan keluarga (1,45%). Respon
terhadap keluarga antara lain ialah: “ayah, ibu, adik, kakak, orang tua”; “Bibi (Budhe),
paman, kakek”; “keluarga”. Kategori “non keluarga” terdiri dari dua indikator dari
ketegori minor, yaitu teman (11,59%) dan guru (1,45%).
Dengan demikian, dari dimensi ini, anak-anak usia perkembangan masa kanak-
kanak pertengahan menandai siapa yang membuat anak mengalami kebahagiaan dengan
dua kategori indikator mayor, yaitu keluarga dan non keluarga. Hasil analisis secara
tematik untuk dimensi orang-orang yang menimbulkan kebahagiaan dapat dilihat pada
Tabel 6.
22
salah satu sumber yang mendatangkan kebahagiaan, dan dalam penelitian ini terbukti
ayah dan ibu atau orang tua menduduki prosentase terbanyak dari keluarga inti (62.32%)
dalam membahagiakan anak-anak pada masa kanak-kanak pertengahan. Sumber
stimulator kebahagiaan lain bagi anak-anak pada masa kanak-kanak pertengahan
berasal dari guru, hal ini bila dihubungkan dengan kesejahteraan sekolah (school well-
being) model Allardt tahun 1989 (dalam Konu & Rimpela, 2002) pada aspek “loving”
yang menggambarkan kebutuhan sosial, hubungan guru dengan anak merupakan
sumber kesejahteraan anak; bahkan sering kali anak-anak menggambarkan perasaan
suka mereka terhadap sekolah dengan perasaan mereka terhadap guru mereka (Sabo,
1995, dalam Konu & Rimpela, 2002). Hubungan interpersonal dan atmosfir yang positif
di sekolah dapat mempengaruhi capaian prestasi yang meningkat dari para siswanya
(Samdal, 1998, dalam Konu & Rimpela, 2002). Dalam penelitian ini, jawaban anak pada
pencapaian nilai 100 pada Dimansi A (tentang apa yang menimbulkan kebahagiaan)
dapat dikaitkan dengan jawaban anak tentang guru sebagai salah satu sumber stimulator
kebahagiaan pada dimensi C. Oleh karena itu, kecakapan guru dalam mengajar dan
membina hubungan sangat penting bagi kebahagiaan siswa-siswanya.
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Subjek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 88 siswa Taman Kanak-Kanak (4-6 tahun) serta
77 siswa Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar (usia 7-12 tahun).
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Sleman, yakni TK Al-Idad An-
Nuur, TK Rumahku Tumbuh, MI An-Nuur, dan SD Negeri Jombor Lor.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sementara itu, untuk nilai Anti-Image Matrices yang disajikan dalam Tabel
12. dan Tabel 13., terlihat bahwa semua butir telah memenuhi kriteria yang
ditetapkan. Anti-Image Matrices sendiri memuat ukuran kecukupan sampling
(MSA) untuk masing-masing variabel (dimana dalam penelitian ini yang dimaksud
variabel adalah butir pernyataan) yang kriterianya sama dengan kriteria KMO yakni
lebih besar dari 0,5 (Field, 2009). Selanjutnya, untuk melihat banyaknya faktor
yang terbentuk, maka dapat diinterpretasikan melalui output total variance
explained. Berdasarkan kriteria eigen value diatas 1 (Kaiser, 1960), maka terlihat
bahwa makna kebahagiaan yang ditinjau dari situasi yang membuat bahagia siswa
TK tersusun atas delapan (8) faktor, sedangkan makna kebahagiaan yang ditinjau
dari pihak yang membuat bahagia siswa TK tersusun atas tiga (3) faktor. Terakhir,
untuk menentukan pemuatan butir ke dalam faktornya maka kriteria yang
digunakan skor loading factor. Skor loading factor tertinggi pada faktor yang
dimaksud itulah yang menunjukkan bahwa butir yang diuji merupakan butir
pengukur aspek tersebut.
35
6 0,711 0,763
7 0,573 0,782
8 0,639 0,808
11 0,578 0,486
F2 12 0,724 0,454
F3 13 0,609 0,463
F4 14 0,602 0,795
16 0,611 0,754
F5 18 0,634 0,377
F6 19 0,635 0,420
F7 21 0,765 0,370
22 0,563 0,801
23 0,672 0,643
24 0,802 0,433
F8 25 0,545 0,788
F9 26 0,639 0,774
27 0,600 0,736
Eigen Value 4,202 1,999 1,728 1,421 1,281 1,224 1,050 1,006
Varians yang dijelaskan 2,431 2,038 1,818 1,813 1,771 1,435 1,405 1,199
Varians dalam % 11,576 9,707 8,656 8,632 8,431 6,835 6,689 5,712
Kumulatif varians dalam
11,576 21,283 29,939 38,571 47,002 53,837 60,526 55,238
%
Keterangan:
Konstruk awal sebelum Analisis Faktor Eksploratori
F1 = Melakukan sesuatu (aktivitas); F2 = Bepergian bersama keluarga; F3 =
Bermain; F4 = Hiburan; F5 = Olahraga; F6 = Mendapatkan sesuatu; F7 = Afiliasi
(Interaksi sosial); F8 = Hari spesial; F9 = Pencapaian (prestasi)
31 0,579 0,837
33 0,605 0,782
F3 34 0,722 0,555
35 0,720 0,619
F4 36 0,596 0,873
Eigen Value 2,531 1,469 1,003
Varians yang dijelaskan 1,937 1,792 1,275
Varians dalam % 24,210 22,399 15,933
Kumulatif varians dalam % 24,210 26,609 62,542
Keterangan:
Konstruk awal sebelum Analisis Faktor Eksploratori
F1 = Keluarga besar; F2 =Keluarga inti; F3 = Bukan Keluarga; F4 = Tuhan
(Wikle, 2014). Anak merasa bahagia karena umumnya mereka mendapatkan pujian
setelah membantu melakukan pekerjaan rumah tangga. Fadhilah dan Khorida
(2013) menyatakan bahwa pada hakikatnya, anak memang senang dipuji. Dalam
sebuah survey yang dilakukan Dweck (2002), 80% orang tua melaporkan bahwa
memuji anak diperlukan agar mereka merasa baik tentang diri mereka sendiri.
Sementara studi yang dilakukan Hammond & Browne (2018) menyimpulkan
bahwa dibandingkan ayah, ibu lebih banyak memberikan pujian sebagai motif atas
partisipasi anak. Menulis cerita juga merupakan salah satu aktivitas yang
bermanfaat karena menulis memungkinkan individu untuk mendapatkan sejumlah
manfaat dari segi intelektual, fisiologis, maupun emosional (Smith, nd). Anak
senang menulis cerita karena menulis cerita mampu menghadirkan perasaan
bahagia yang lebih besar (Smith, nd). Melalui aktivitas menulis cerita, imajinasi
anak akan semakin berkembang dan membuat mereka dapat terlibat secara pribadi
dalam sebuah kisah sebagaimana mereka mengidentifikasi karakter serta mencoba
menafsirkan narasi dan ilustrasi (Mart, 2012). Pengalaman imajinatif tersebut
membantu anak mengembangkan potensi kreatif yang ada dalam diri mereka
sendiri (Ellis & Brewster, 2002). Selain ketiga aktivitas tersebut, anak juga merasa
bahagia ketika menerima benda-benda (diberi hadiah) karena benda-benda tersebut
dapat mereka manfaatkan untuk menghadirkan kebahagiaan, seperti mainan untuk
bermain dan juga hal-hal yang mereka sukai atau berguna seperti pakaian maupun
aksesori (Hong, Ra, Jang, 2015).
Faktor kedua menyumbang 9,707% dari total varians dan memiliki skor
loading factor antara 0,463 - 0,795. Terdapat empat (4) butir pernyataan yang
berfungsi mengukur faktor kedua yakni butir nomor 2 (jalan-jalan), 13 (bermain),
14 (libur), dan 16 (nonton TV). Berdasarkan pada konten pernyataannya, maka
faktor kedua dinamakan “Melakukan aktivitas yang menyenangkan”. karena
kontennya merupakan contoh-contoh aktivitas yang menyenangkan. Hasil
penelitian Herliyanawati (2017) menunjukan bahwa jalan-jalan dapat merubah
perasaan anak yang semula tidak baik menjadi lebih baik. Ini berarti, anak menjadi
lebih bahagia dibanding sebelumnya melalui aktivitas jalan-jalan. Sementara itu,
bermain juga menghadirkan kebahagiaan bagi anak karena bermain menawarkan
38
kesenangan dan kebebasan (Fattore, Manson & Watson, 2009). Park (2000)
melaporkan bahwa kebahagiaan yang dialami selama masa kanak-kanak melalui
permainan, akan menjadi sumber kekuatan positif bagi kehidupan anak di masa
depan. Sama halnya dengan jalan-jalan dan bermain, libur juga membuat anak
merasa bahagia. Libur menghadirkan kebahagiaan pada anak karena dapat
menciptakan pengalaman unik (Durko & Petrick, 2013), meningkatkan perasaan
positif tentang kehidupan, keluarga, dan kesehatan (Gilbert & Abdullah, 2004),
serta membangun hubungan, membuat kenangan, dan meningkatkan ikatan dalam
keluarga (Byrnes, 2001; Kozak & Duman 2012; Newman 1996). Selain itu, banyak
kegiatan–kegiatan menyenangkan yang dapat dilakukan anak saat mereka libur,
misalnya bermain, bersantai, hingga mengembangkan keterampilan sosial yang
penting (Stewart, Watson, & Campbell, 2018). Terakhir, menonton televisi juga
menjadi salah satu sumber kebahagiaan anak karena televisi telah menjadi sumber
utama untuk hiburan anak melalui penyajian berbagai konten seperti kartun maupun
film (El- Houfey, & Elserogy, 2013). Temuan penelitian Ghilzai, Alam, Ahmad,
Shaukat, & Noor (2017) menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak menonton
kartun untuk bersenang-senang (41%), beraksi (23%) dan pembelajaran (17%).
Faktor ketiga menyumbang 8,656% dari total varians dan memiliki skor
loading factor antara 0,370 - 0,805. Terdapat tiga (3) butir pernyataan yang
berfungsi mengukur faktor ketiga yakni butir nomor 4 (membaca buku), 21
(disayang ayah), dan 24 (bercanda). Berdasarkan pada konten pernyataannya, maka
faktor ketiga dinamakan “Berinteraksi dengan hal di sekitarnya” karena kontennya
melibatkan interaksi antara anak dengan lingkungan di sekitarnya. Studi yang
disarikan dari Scholastic pada tahun 2013 (Bridges, 2014) menunjukkan bahwa
anak-anak menganggap membaca buku untuk bersenang-senang itu penting. Selain
itu, anak juga merasa senang saat membaca buku karena buku adalah jendela dunia
(Shofaussamawati, 2014). Melalui buku, secara tidak langsung anak sudah
berinteraksi dengan dunia luar karena buku memungkinkan anak memiliki
perwakilan pengalaman yang dapat menembus batas-batas kehidupan (Tschida,
Ryan, & Ticknor, 2014). Sama halnya dengan membaca buku, interaksi antara anak
dengan ayah mereka, yang pada akhirnya membuat si anak merasa disayangi, juga
39
membuat anak merasa bahagia. Interaksi ayah dan anak adalah ikatan dan
keterikatan yang unik (Mackey, 2001). Akan tetapi, meskipun interaksi yang
dibangun antara ayah dan anak tergantung pada jenis kelamin anak (Mascaro,
Rentscher, Hackett, Mehl, &. Rilling, 2018), hubungan antara ayah dan
kebahagiaan sama kuatnya baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan
(Flouri & Buchanan, 2003). Faktanya, ayah memang merupakan sumber
kebahagiaan bagi anak selain ibu (Adiyanti, 2018; Amato, 1994; Hong, Kim, &
Jeun, 2016). Anak-anak dengan ayah yang terlibat dan penyayang terbukti lebih
berprestasi di sekolah; memiliki harga diri yang sehat; menunjukkan empati dan
perilaku pro-sosial yang baik; dan menghindari perilaku berisiko tinggi seperti
penggunaan narkoba, pembolosan, dan aktivitas nakal (Horn & Sylvester, 2002).
Terakhir, bercanda yang juga membuat anak terlibat dalam interaksi dengan orang
lain, terbukti membuat anak bahagia. Ini sejalan dengan Ahmad, Mohamed,
Hasnan, Ali, & Puad, (2018) yang menyatakan bahwa bercanda dapat membuat
bahagia dan mengurangi stress. Bahkan studi yang dilakukan Jennifer (2017)
menyimpulkan bahwa bercanda bagi anak bermanfaat dalam meningkatkan
imajinasi dan mengekspresikan empati terhadap orang lain.
Faktor keempat menyumbang 8,632% dari total varians dan memiliki skor
loading factor antara 0,643 - 0,788. Terdapat dua (2) butir pernyataan yang
berfungsi mengukur faktor keempat yakni butir nomor 23 (banyak orang
tersenyum) dan 25 (ulang tahun). Berdasarkan pada konten pernyataannya, maka
faktor keempat dinamakan “Mendapatkan perhatian di hari istimewa” karena saat
di hari istimewa (ulang tahun) anak mendapatkan banyak perhatian yang
ditunjukkan dengan banyaknya orang yang tersenyum kepadanya. Menurut
pandangan ekspresi emosional, senyum adalah komponen utama dari tampilan
wajah yang terkait dengan dan disebabkan oleh perasaan bahagia atau gembira
(Kraut & Johnston, 1979). Anak merasa bahagia saat banyak orang tersenyum
kepadanya karena kebahagiaan itu menular (Hatfield, Cacioppo, & Rapson, 1994).
Pada prinsipnya, kebahagiaan seorang individu memang dikaitkan dengan
kebahagiaan orang lain. Ini berarti bahwa kebahagiaan bukan hanya fungsi dari
pengalaman atau pilihan individu saja, tetapi juga merupakan bagian dari
40
sekelompok orang (Fowler & Christakis, 2008). Sementara itu, anak juga bahagia
saat ulang tahun karena ulang tahun adalah salah satu momen istimewa dalam hidup
mereka. Setidaknya terdapat empat kegiatan yang dilakukan saat perayaan ulang
tahun anak, yakni makan bersama, menyanyikan lagu “selamat ulang tahun”,
meniup lilin, dan memberikan kado (Lee, Katras, & Bauer, 2009). Otnes, Nelson,
& McGrath (1995) menuturkan bahwa penyajian kue ulang tahun melambangkan
cinta dan kesenangan dengan cara mengkhususkan pada anak yang berulang tahun.
Oleh sebab itu, anak yang berulangtahun merasa bahagia karena telah diwujudkan
perayaan khusus untuknya (Otnes, Nelson, & McGrath, 1995; Shamgar-Handelman
& Handelman, 1991; Weil, 1986).
Faktor kelima menyumbang 8,431% dari total varians dan memiliki skor
loading factor antara 0,774 - 0,803. Terdapat dua (2) butir pernyataan yang
berfungsi mengukur faktor kelima yakni butir nomor 3 (makan) dan 26 (dipuji
guru). Berdasarkan pada konten pernyataannya, maka faktor kelima dinamakan
“Mendapatkan penghargaan (atas prestasi)” karena makan dan dipuji guru
merupakan contoh penghargaan yang didapatkan anak saat mereka berprestasi.
Faktanya, menggunakan pujian dan hadiah (dalam hal ini makan) membantu anak
tidak hanya merasa lebih bahagia, tetapi juga membuat mereka merasa lebih
dihargai dan lebih percaya diri (Nursing & Quality Department, 2014). Anak
senang makan karena makan memberikan manfaat pengalaman (seperti merasakan
rasa yang enak dan memuaskan rasa lapar) dan manfaat instrumental (seperti
menjadi kuat) (Maimaran, & Fishbach, 2014).
Sementara itu, terkait dengan pujian guru, hasil penelitian Butterworth, &
Bevan-Brow, (2007) menemukan bahwa semua siswa melaporkan merasa "sangat
senang" atau "senang" dan "sangat bangga" atau "bangga" ketika guru memuji
mereka. Hasil tersebut selaras dengan Dweck (1999) yang menyatakan bahwa anak
yang menerima umpan balik berupa tanggapan positif (pujian) akan merasa bahagia
atas diri mereka sendiri, sedangkan anak yang menerima umpan balik berupa
tanggapan negatif (kritik) cenderung merasa negatif atas kinerja dan diri mereka
sendiri. Ini berarti pujian guru berkontribusi dalam membantu siswa belajar,
meningkatkan motivasi dan harga diri, hingga mengurangi perilaku-perilaku
41
(2018) yang menyebutkan bahwa Islam menggambarkan surga sebagai tempat yang
dipenuhi dengan sukacita dan kebahagiaan.
Faktor ketujuh menyumbang 6,689% dari total varians dan memiliki skor
loading factor sebesar 0,801. Terdapat satu (1) butir pernyataan yang berfungsi
mengukur faktor ketujuh yakni butir nomor 22 (kumpul keluarga). Berdasarkan
pada konten pernyataannya, maka faktor ketujuh dinamakan “Berkumpul dengan
keluarga” karena kontennya adalah kumpul keluarga. Berkumpul dengan keluarga
membuat anak bahagia sebagaimana temuan Frey & Stutzer (2008). Layard (2005)
menyebutkan bahwa keluarga adalah sumber kebahagiaan yang utama. Bagi anak,
keluarga memiliki arti dan fungsi serta peranan yang sangat penting dan vital bagi
kelangsungan hidup maupun dalam menentukan makna dan tujuan hidupnya
(Watuliu, 2015). Para ahli berpendapat bahwa kebahagiaan anak bukan semata-
mata tergantung pada jumlah waktu yang dihabiskan bersama keluarga, namun juga
tergantung pada jenis kegiatan yang mereka lakukan bersama (Crouter, Head,
McHale, & Tucker, 2004; Larson & Richards, 1994). Berdasarkan pendapat
tersebut, maka saat berkumpul dengan keluarga, banyak kegiatan yang dapat
dilakukan anak bersama keluarga mereka, misalnya makan, bermain, membaca,
maupun mengerjakan pekerjaan rumah tangga (Milkie, Kendig, Nomaguchi, &
Denny, 2010). Kegiatan-kegiatan tersebut terbukti bermanfaat, terutama dalam
meningkatkan dan memperkuat ikatan orang tua-anak (Larson & Richards, 1994),
serta memfasilitasi komunikasi antaranggota keluarga dan membangun rasa
kebersamaan yang penting bagi perkembangan anak (Bronfenbrenner, 1979).
Terakhir, faktor kedelapan menyumbang 5,712% dari total varians dan
memiliki skor loading factor sebesar 0,782. Terdapat satu (1) butir pernyataan yang
berfungsi mengukur faktor kedelapan yakni butir nomor 7 (menggambar).
Berdasarkan pada konten pernyataannya, maka faktor kedelapan dinamakan
“Menggambar” karena kontennya adalah kegiatan menggambar. Pada umumnya,
gambar anak masih sederhana karena hanya terdiri atas garis, gerakan melingkar,
dan warna (Kervin & Mantei, 2015). Menurut Baroutsis, Kervin, Woods, &
Comber (2017), gambar adalah salah satu bentuk komunikasi. Berdasarkan hal
tersebut, anak kecil menggunakan gambar untuk membuat cerita atau narasi yang
43
mewakili atau menampilkan orang dan objek dalam cerita mereka (Kress, 1997).
Brook (2009) menuturkan jika menggambar memiliki beberapa manfaat,
diantaranya membantu anak dalam mengeksplorasi ide-ide mereka tentang dunia
sekitarnya, meningkatkan keterampilan visual dan spasial mereka, serta membuat
representasi visual dari pikiran dan perasaan yang sedang mereka alami. Studi yang
dilakukan Hong, Kim, dan Jeun (2016) menunjukkan bahwa anak-anak merasakan
kebahagiaan saat berhasil mengekspresikan imajinasi dan kreativitas melalui
kegiatan seperti menggambar, mendekorasi, dan membuat kerajinan tangan.
Bahkan menurut laporan Hendon & Bohon (2008), 28 dari 30 anak mengalami
perubahan suasana hati (mood) dari sedih menjadi senang, setelah diberi terapi
bermain termasuk didalamnya terapi bermain dengan menggambar dan mewarnai
gambar.
Sementara itu, penjelasan untuk masing-masing faktor yang terbentuk
sebagai konstruk makna kebahagiaan ditinjau dari pihak yang membuat bahagia
siswa TK sebagai berikut. Faktor pertama menyumbang 24,210% dari total varians
dan memiliki skor loading factor antara 0,504 - 0,837. Terdapat tiga (3) butir
pernyataan yang berfungsi mengukur faktor pertama yakni butir nomor 29 (adik),
31 (ibu), dan 36 (Allah). Berdasarkan pada konten pernyataannya, maka faktor
pertama dinamakan “Keluarga inti dan Tuhan” karena adik dan ibu merupakan
keluarga inti sedangkan Allah merupakan Tuhan (bagi umat Islam). Kebahagiaan
yang hadir karena adanya adik dan ibu selaras dengan Botha & Booysen (2013)
yang menyatakan bahwa keluarga memang merupakan bagian integral dari
masyarakat dalam menumbuhkan rasa bahagia pada anak. Meskipun hubungan
yang terjalin antara anak dan adiknya adalah hubungan horizontal dan egaliter
(Dunn, 2015), namun adik tetap berkontribusi dalam memunculkan kebahagiaan
pada anak karena anak merasa mendapatkan teman baru, dapat bercerita pada orang
lain tentang adiknya, dapat berbagi kasih sayang dan mainan, serta dapat saling
bercanda (Samalin, 2003). Sementara itu, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
bahwa sama halnya dengan ayah, ibu juga merupakan sumber kebahagiaan bagi
anak (Adiyanti, 2018; Amato, 1994; Hong, Kim, & Jeun, 2016). Saat anak
mengalami kekecewaan, keterlibatan ibu mampu mengurangi rasa sedih; dan saat
44
intensitas keterlibatan tersebut ditambah, maka level kebahagiaan anak pun akan
bertambah pula (Vandevivere, van de Brande, Bosman, Mueller, & Braet, 2016).
Setiap anak yang tumbuh dan dididik oleh ibu pasti mencapai perkembangan fisik,
sosial, dan psikologis yang sesuai, sehingga anak memiliki penampilan yang jauh
lebih baik, terlihat lebih bahagia, dan menikmati masa kecilnya secara umum
(Ceka, & Murati, 2016). Terkait dengan Tuhan, anak ternyata juga merasa bahagia
atas adanya Tuhan sebagaimana temuan penelitian Yendork & Somhlaba (2016).
Meskipun anak belum sepenuhnya mengerti tentang Tuhan, namun Harmar (dalam
Ramayulis, 2011) berpandangan bahwa konsep Tuhan pada anak usia 3-6 tahun
lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Oleh sebab itu, konsep Tuhan
yang dihayati cenderung kurang masuk akal karena sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya (Susiba, 2018). De Ross, Iedema, & Miedema (2001)
menemukan bahwa ibu lah sosok pertama yang mempengaruhi pandangan anak
terhadap Tuhan, dimana Tuhan digambarkan sebagai entitas yang peduli, penuh
kasih, kuat, sekaligus pemberi hukuman (De Ross, Iedema, & Miedema, 2004).
Faktor kedua menyumbang 22,399% dari total varians dan memiliki skor
loading factor antara 0,619 - 0,782. Terdapat tiga (3) butir pernyataan yang
berfungsi mengukur faktor kedua yakni butir nomor 30 (ayah), 33 (orang tua), dan
35 (teman). Berdasarkan pada isi pernyataannya, maka faktor kedua dinamakan
“Lingkungan terdekat anak” karena kontennya merupakan orang-orang yang sangat
dekat dengan anak. Secara naluriah, anak-anak menginginkan dan membutuhkan
hubungan yang positif dan penuh cinta dengan orang-orang terdekat mereka (The
Children’s Society, 2012). Ayah sebagai salah satu bagian dari lingkungan terdekat
anak berperan sebagai panutan yang berkontribusi dalam mengajarkan nilai-nilai
dan pelajaran dalam memecahkan masalah yang mungkin akan dihadapi anak di
masa depan (Cano, Perales, & Baxter, 2018). Dengan adanya kehadiran sosok ayah,
mampu mencegah anak dari rendahnya identitas diri maupun prestasi akademik,
kesulitan hidup akibat perilaku maladaptif, serta perilaku beresiko seperti hubungan
seksual dini dan penyalahgunaan narkoba (East, Jackson, & O’Brien, 2006).
Sementara itu, orang tua adalah orang dewasa pertama yang bersosialisasi dengan
anak (Singh & Gupta, 2012). Kurangnya rasa cinta dari orang tua ditengarai dapat
45
penyediaan infomasi, pengakuan, dan tanggapan yang sesuai bagi anak (Brewster
& Bowen, 2004). Semakin banyak anak menerima dukungan positif dari guru,
maka anak akan menjadi siswa yang lebih berbahagia dan lebih bertanggungjawab
(Lee, 2016).
Sementara itu, untuk nilai Anti-Image Matrices yang disajikan dalam Tabel
15. dan Tabel 16., terlihat bahwa semua butir juga telah memenuhi kriteria yang
ditetapkan (≥ 0,5). Selanjutnya, untuk melihat banyaknya faktor yang terbentuk,
maka dapat diinterpretasikan melalui output total variance explained. Berdasarkan
kriteria eigen value diatas 1 (Kaiser, 1960), maka terlihat bahwa makna
47
kebahagiaan yang ditinjau dari situasi yang membuat bahagia siswa SD tersusun
atas delapan (8) faktor, sedangkan makna kebahagiaan yang ditinjau dari pihak
yang membuat bahagia siswa SD tersusun atas satu (1) faktor. Terakhir, untuk
menentukan pemuatan butir ke dalam faktornya maka kriteria yang digunakan skor
loading factor. Skor loading factor tertinggi pada faktor yang dimaksud itulah yang
menunjukkan bahwa butir yang diuji merupakan butir pengukur aspek tersebut.
Tabel 15. Ringkasan Analisis Faktor Eksploratori Instrumen Makna Kebahagiaan
ditinjau dari Situasi yang Membuat Bahagia Siswa SD
Anti Setelah Analisis Faktor Eksploratori
No
Image F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
F1 2 0,800 0,624
3 0,618 0,633
4 0,730 0,679
5 0,626 0,664
6 0,683 0,715
7 0,643 0,655
Sebelum Analisis Faktor Eksploratori
F2 9 0,767 0,602
10 0,653 0,513
11 0,712 0,728
F3 12 0,697 0,662
F4 13 0,644 0,892
14 0,583 0,836
15 0,557 0,545
16 0,676 0,673
F5 18 0,726 0,650
F6 19 0,741 0,509
20 0,723 0,730
21 0,704 0,694
F7 22 0,840 0,518
23 0,522 0,887
24 0,709 0,479
25 0,748 0,726
F8 26 0,564 0,776
27 0,781 0,527
28 0,785 0,664
F9 29 0,690 0,732
Eigen Value 6,122 2,515 2,302 1,501 1,410 1,218 1,193 1,137
Varians yang dijelaskan 2,676 2,474 2,332 2,173 2,161 1,964 1,851 1,769
Varians dalam % 10,291 9,515 8,968 8,357 8,312 7,555 7,118 6,803
Kumulatif varians dalam
10,291 19,805 28,774 37,131 45,443 52,998 60,116 66,919
%
Keterangan:
Konstruk awal sebelum Analisis Faktor Eksploratori
F1 = Melakukan sesuatu (aktivitas); F2 = Bermain; F3 = Di rumah saja; F4 =
Melakukan kegiatan; F5 = Olahraga; F6 = Mendapatkan sesuatu; F7 = Ada afiliasi;
F8 = Melakukan aktivitas keagamaan; F9 = Hari keagamaan
48
Keterangan:
Konstruk awal sebelum Analisis Faktor Eksploratori
F1 = Keluarga; F2 = Bukan Keluarga
mereka sukai (Hong, Kim, & Jeun, 2016; Hong, Ra, & Jang, 2015), dan saat setelah
bermain selesai, mereka mengalami emosi positif berupa hadirnya rasa
kelengkapan dan kepuasan (Fattore, Mason, & Watson, 2009).
Faktor keempat terdiri atas dua butir pernyataan yakni butir nomor 13
(drumband) dan 14 (drama). Berdasarkan pada konten pernyataannya, maka faktor
keempat dinamakan melakukan aktivitas seni karena kontennya merupakan contoh-
contoh kegiatan seni. Baik Jeon (2016) maupun Ateca-Amestoy (2011)
berpendapat bahwa partisipasi dan keterlibatan dalam budaya, termasuk acara-
acara seni, memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi orang yang terlibat
dalam acara tersebut. Pendapat tersebut selaras dengan penelitian Bryson &
MacKerron (2013) yang berhasil menemukan bahwa dari 39 jenis kegiatan yang
diteliti, keterlibatan dalam teater-tari-konser berada pada peringkat kedua kegiatan
yang meningkatkan kebahagiaan. Adanya keterlibatan seni akan membuat anak
memiliki keterampilan dan tingkat penghargaan estetika yang lebih tinggi (Housen,
2002; Zakaras & Lowell, 2008) sehingga kemampuan untuk mempersepsikan,
merasakan, dan berpikir menjadi lebih berkembang (Wright, 2003).
Faktor kelima terdiri atas tiga butir pernyataan yakni butir nomor 5
(makan), 6 (melihat ikan), dan 20 (dibacakan cerita). Berdasarkan pada konten
pernyataannya, maka faktor kelima dinamakan melakukan aktivitas menyenangkan
karena aktivitas-aktivitas tersebut menimbulkan efek yang menyenangkan bagi
anak. Pada dasarnya, anak-anak kecil memenuhi kebutuhan dasar mereka akan
makanan dan mendapat kepuasan emosional melalui makanan. Dalam
penelitiannya, Hong, Ra, & Jang (2015) menemukan bahwa anak-anak merasa
senang ketika mereka menikmati makanan favorit. Umumnya mereka menyukai
makanan dengan kadar gula tinggi seperti permen, kue, maupun es krim. Makanan-
makanan tersebut menimbulkan kebahagiaan karena dapat mengaktifkan sekresi
serotonin atau yang disebut hormon kebahagiaan (Hart, 2008). Selain makan,
melihat ikan (terutama ikan hias) juga menjadi aktivitas yang menyenangkan.
Menurut Azizah (2011), ikan memang dianggap sebagai komoditas yang
berhubungan dengan kesenangan, dimana kesenangan tersebut timbul karena
keunikan masing-masing ikan misalnya bentuknya, corak dan keserasian warnanya,
51
kebiasaannya, maupun ukurannya (Bachtiar & Tim Lentera, 2004). Anak juga
senang dibacakan cerita karena cerita mampu menciptakan lingkungan belajar yang
bahagia dan menyenangkan (Mart, 2012). Rappaport (1995) mengamati bahwa
cerita memiliki efek kuat pada perilaku manusia yakni dengan menciptakan makna,
emosi, memori, hingga identitas.
Faktor keenam terdiri atas tiga butir pernyataan yakni butir nomor 22
(interaksi sosial), 23 (banyak teman), dan 27 (berada di rumah ibadah). Berdasarkan
pada konten pernyataannya, maka faktor keenam dinamakan adanya interaksi sosial
karena adanya hubungan timbal balik (interaksi) antara anak dengan individu lain
maupun kelompok. Interaksi sosial menjadi elemen dasar paling penting dalam
meningkatkan kebahagiaan, karena adanya komunikasi dan kesempatan
menunjukkan rasa kasih sayang satu sama lain (Jaafar, Idris, Ismuni, Fei, Jaafar,
Ahmad, & Sugandi, 2012). Studi yang dilakukan Strayer (1980) menemukan bahwa
anak-anak yang bahagia menyalurkan respon sosial positif pada anak-anak lain
berupa dukungan verbal maupun dukungan fisik dan memberi penguatan positif.
Ini berarti anak-anak yang bahagia membawa kebahagiaan bagi anak-anak lain
disekitar mereka melalui interaksi sosial yang sukses (Diener & Oishi, 2005).
Faktor ketujuh terdiri atas dua butir pernyataan yakni butir nomor 18
(olahraga) dan 28 (sholat). Berdasarkan pada konten pernyataannya, maka faktor
ketujuh dinamakan melakukan aktivitas fisik karena anak cenderung
memandangnya sebagai gerakan-gerakan fisik saat menjalankan aktivitas tersebut
dibanding value lainnya, termasuk ketika melakukan aktivitas ibadah. Meskipun
orang tua menganggap meraih kemenangan adalah alasan mengapa anak-anak
menyukai olahraga, namun survei kepuasan olahraga mengungkapkan bahwa
“bersenang-senang” adalah alasan utama bahwa sebagian besar anak suka
berpartisipasi dalam olahraga (Hedstrim & Gould, 2004; Seefeldt, Ewing, & Walk,
1992). Selain itu, partisipasi dalam olahraga juga terbukti bermanfaat secara
psikologis dengan cara mengurangi kecemasan dan depresi (DCMS/Unit Strategi
2002; Departement of Health, 2004; Scully, Kremer, Meade, Graham, & Dudgeon,
1999). Demikian pula dengan sholat, ibadah sholat termasuk pada aktivitas fisik
dengan intensitas ringan-sedang yang sangat bermanfaat karena dapat
52
sebagai hal-hal yang menyebabkan anak tidak bahagia (Pannilage, 2017). Hong,
Ra, & Jang (2015) menambahkan bahwa anak-anak merasa bahagia ketika
menerima dukungan emosional seperti kasih sayang, keintiman, dan dorongan baik
dari orang tua maupun guru mereka.
Selain keluarga dan guru, hubungan dengan teman juga berkontribusi pada
kebahagiaan anak (Argyle 2001; Demir, Ozdemir, & Weitekamp, 2007; Holder &
Coleman, 2009; Myers & Diener, 1995). Temuan Baldassare, Rosenfield, & Rook
(1984), Demir & Weitekamp (2007), maupun Hussong (2000) melaporkan bahwa
persahabatan adalah prediktor terbaik bagi kebahagiaan. Hal ini memperkuat
temuan tentang pentingnya teman bagi kebahagiaan anak.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang telah
teridentifikasi tersebut merupakan determinan kebahagiaan yang khas sosio-kultur
anak-anak Indonesia. Melalui identifikasi ini, upaya peningkatan kesejahteraan
anak-anak Indonesia dapat dilakukan dengan pendekatan sesuai realita kebutuhan
yang berasal dari perspektif anak-anak itu sendiri, sehingga perkembangan yang
dialami anak-anak juga dapat bersifat positif dan optimal. Meskipun begitu, ada
keterbatasan penelitian yang perlu mendapat perhatian, yakni kemungkinan anak-
anak yang belum benar-benar akurat mampu menentukan pilihan dengan skala,
meskipun skala Likert dalam penelitian ini sudah ditampilkan dengan pictorical
alternatives, bisa jadi mereka cenderung memilih jawaban berdasarkan gambar
yang saat itu disenangi.
54
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1. Pada siswa TK, makna kebahagiaan yang ditinjau dari situasi yang membuat
bahagia tersusun atas delapan faktor yakni melakukan aktivitas yang
bermanfaat bagi orang lain dan mendapatkan sesuatu, melakukan aktivitas
yang menyenangkan, berinteraksi dengan hal di sekitarnya, mendapatkan
perhatian di hari istimewa, mendapatkan penghargaan (atas prestasi), hal yang
menyenangkan, berkumpul dengan keluarga, dan menggambar; sedangkan
makna kebahagiaan yang ditinjau dari pihak yang membuat bahagia tersusun
atas tiga faktor yakni keluarga inti dan tuhan, lingkungan terdekat anak, dan
bukan keluarga inti
2. Pada siswa SD, makna kebahagiaan yang ditinjau dari situasi yang membuat
bahagia tersusun atas delapan faktor yakni menerima sesuatu di hari raya
keagamaan dalam kumpulan keluarga, berada di rumah, bermain, melakukan
aktivitas seni, melakukan aktivitas menyenangkan, adanya interaksi sosial,
melakukan aktivitas fisik, dan adanya afiliasi di dalam dan di luar rumah serta
melakukan aktivitas keagamaan tidak wajib (seperti kegiatan mengaji
merupakan kegiatan keagamaan yang sifatnya sunnah untuk dikerjakan)
karena melalui kegiatan ini terpenuhinya kebutuhan anak untuk membina
hubungan dengan orang lain, serta diterima oleh mereka.; sedangkan makna
kebahagiaan yang ditinjau dari pihak yang membuat bahagia tersusun atas satu
faktor yakni keluarga dan bukan keluarga.
B. Saran
1. Bagi Orangtua dan Pendidik
Hasil penelitian dapat menjadi acuan untuk mendidik dan pengasuhan
anak, sehingga dapat membentuk generasi yang lebih baik lagi. Berbagai
hal dan aktivitas yang menurut anak membuatnya bahagia akan
55
DAFTAR PUSTAKA
Addyman, C., Fogelquist, C., Levakova, L., & Rees, S. (2018). Social facilitation
of laughter and smiles in preschool children. Front. Psychol. 9, 1-9.
https://dx.doi.org/10.3389/fpsyg.2018.01048
Agustin, R. (2014). Gerakan fisik shalat sebagai prediksi komponen dasar aktivitas
fungsional fisik pada usia lanjut. Thesis. Universitas Indonesia
Ahmad, N.A., Mohamed, S., Hasnan, K.A., Ali, N., & Puad, F.N.A. (2018). The
use of teacher's joke increases students’ involvement inside classroom. The
International Journal of Social Sciences and Humanities Invention, 5(10),
5039-5046. https://dx.doi.org/10.18535/ijsshi/v5i10.06
Ahmadi, A., & Widodo, S. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Alcock, S. (2007). Playing with rules around routines: Children making meal times
meaningful and enjoyable. Early Years: An international journal of
research and development, 27(3), 281–294
Almon, J. (2003). The vital role of play in early childhood education. In S. Olfman
(Ed.), All work and no play: How educational reforms are harming our
preschoolers (pp. 17-42). Westport, CT: Praeger
Aloia, L.S., & Brecht, D. (2014). Psychological well-being as a function of
affectionate communication and emotional intelligence. Communication
Research Reports, 34(4), 297–306. https://dx.doi.org/10.1080/
08824096.2017.1350570
Amato, P. (1994). Father-child relations, mother-child relations, and offspring
psychological well-being in early adulthood. Journal of Marriage and the
Family, 56, 1031-1042.
Amato, P.R. (1994). Father–child relations, mother–child relations, and offspring
psychological well-being in early adulthood. Journal of Marriage & the
Family, 56, 1031–1043
Andersen, J. A. (2018). Managers’ motivation profiles: measurement and
application. SAGE OPEN, 8(2), 1–9.
https://dx.doi.org/10.1177/2158244018771732
Apache, R.R.G. (2005). Activity-based intervention in motor skill development.
Perceptual and Motor Skills, 100(3), 1011–1020.
https://dx.doi.org/10.2466/pms.100.3c.1011-1020
Argyle, M. (2001). The psychology of happiness. New York: Routledge.
Arthur, L., Beecher, B., Death, E., Dockett, S., & Farmer, S. (2015). Programming
and planning in early childhood settings. (6th ed). South Melbourne:
Cengage Learning Australia Pty Limited.
Ash, C., & Huebner, E.S. (2001). Environmental events and life satisfaction reports
of adolescents: A test of cognitive mediation. School Psychology
International, 22(3), 320 -336
Ateca-Amestoy, V. (2011). Leisure and subjective well-being. In Cameron, S. (ed.)
Handbook on the economics of leisure (pp. 52–76). Cheltenham: Edward
Elgar
Aydın, A. (2016). Mutluluk. Ankara: Pegem Akademi
Azizah, A. M. (2011). Strategi usaha budidaya ikan hias air tawar kelompok
57
pembudidaya ikan curug jaya Kota Depok Provinsi Jawa Barat. Skripsi.
Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi Dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor
Bachtiar, Y., & Tim Lentera. (2004). Budidaya ikan hias air tawar untuk ekspor.
Jakarta: Agromedia Pustaka
Bagwell, C.L., Bender, S.E., Andreassi, C.L., Kinoshita, T.L., Montarello, S.A., &
Muller, J.G. (2005). Friendship quality and perceived relationship changes
predict psychosocial adjustment in early adulthood. Journal of Social and
Personal Relationships, 22(2), 235-254
Baker, J. A., Dilly, L. J., Aupperlee, J. L., & Patil, S. A. (2003). The developmental
context of school satisfaction: Schools as psychologically healthy
environments. School Psychology Quarterly, 18(2), 206-221.
https://dx.doi.org/10.1521/scpq.18.2.206.21861
Baldassare, M., S. Rosenfield, & Rook, K. S. (1984). The types of social relations
predicting elderly well-being, Research on Aging, 6, 549–559
Bardosono, S., Hildayani, R., Chandra, D. N., Wibowo, Y., & Basrowi, R. W.
(2017). Bonding development between parents and children through playing
together to improve happiness. World Nutrition Journal, 1(1), 41-51.
https://dx.doi.org/10.25220/WNJ.V01i1.0009
Baroutsis, A., Kervin, L., Woods, A., & Comber, B. (2017). Understanding
children’s perspectives of classroom writing practices through drawings.
Contemporary Issues in Early Childhood, 20(2), 177-193.
https://dx.doi.org/10.1177/1463949117741743
Bastian, B., Kuppens, P., Roover, K.D., & Diener, E. (2014). Is valuing positive
emotion associated with life satisfaction?. Emotion, 14(4), 639-645.
https://dx.doi.org/10.1037/a0036466
Bazley, M. & Ennew, T. (2006). Child development (6th edition). Garmantown:
Aspen
Bell, H. C., Pellis, S. M., & Kolb, B. (2010). Juvenile peer play experience and the
development of the orbitofrontal and medial prefrontal cortices.
Behavioural Brain Research, 207(1), 7- 13.
https://dx.doi.org/10.1016/j.bbr.2009.09.029
Ben-Zur, H. (2003) Happy adolescents: The link between subjective well-being,
internal resources, and parental factors. Journal of Youth and Adolescence,
32, 67-79. https://dx.doi.org/10.1023/A:1021864432505
Blasi, M., Hurwitz, S. C., & Hurwitz, S. C. (2012). For parents particularly: To be
successful-let them play!. Childhood Education, 79(2), 101–102.
https://dx.doi.org/10.1080/00094056.2003.10522779
Boehm, J. K., & Lyubomirsky, S. (2008). Does happines promote career success?.
Journal of Career Assessment, 16(1), 101-116.
https://dx.doi.org/10.1177/1069072707308140
Botha, F., & Booysen, F. (2013). Family functioning and life satisfaction and
happiness in South African households. Cape Town: Economic Research
Southern Africa.
Bowlby, J. (1988). A secure base: Clinical applications of attachment theory.
London: Routledge Manago A., & Vaughn L. (2015). Social media,
58
Crouter, A.C., Head, M.R., McHale, S.M., & Tucker, C.J. (2004). Family time and
the psychosocial adjustment of adolescent siblings and their parents.
Journal of Marriage and Family, 66, 147 – 162.
https://dx.doi.org/10.1111/j.0022- 2445.2004.00010.x-i1
Csikszentmihalyi, M. (1999). Implications of a systems perspective for the study of
creativity. In R. J. Sternberg (Ed.), Handbook of creativity. Cambridge:
Cambridge University Press.
Dani, A.P., & Thigale, P.S. (2017). To be clean is to be healthy: Cleanliness is next
to godliness. International Journal of Education and Research in Health
Sciences,3(4), 240-241
Danner, D. D., Snowdon, D. A., & Friesen, W. V. (2001). Positive emotions in
early life and longevity: Findings from the nun study. Journal of Personality
and Social Psychology, 80(5), 804 – 813. https://dx.doi.org/10.1037/0022-
3514.80.5.804
Davis, K.E., & Todd, M.J. (1985). Assessing friendship: Prototypes, paradigm
cases and relationship description. In S. Duck & D. Perlman (eds.)
Understanding personal relationships: An interdisciplinary approach (pp.
17–38). London: Sage Publication
DCMS/Strategy Unit. (2002). Game plan: A strategy for delivering government’s
sport and physical activity objectives. London: DCMS/Strategy Unit
De Roos, S.A., Iedema, J., & Miedema, S. (2001). Young children’s descriptions
of God: Influences of parents’ and teachers’ God concepts and religious
denomination of schools. Journal of Beliefs and Values, 22, 19-30
De Roos, S.A., Iedema, J., & Miedema, S. (2004). Influence of maternal
denomination, God concepts, and childrearing practices on young
children’s God concepts. Journal for the Scientific Study of Religion, 43(4),
519-535
Demir, M. & Weitekamp, L. A. (2007). ‘I am so happy ‘cause today I found my
friend: Friendship and personality as predictors of happiness. Journal of
Happiness Studies, 8(2), 181-211. https://dx.doi.org/10.1007/s10902-006-
9012-7.
Demir, M., Ozdemir, M., & Weitekamp, L. A. (2006). Looking to happy tomorrows
with friends: Best and close friendships as they predict happiness, Journal
of Happiness Studies, 8, 243–271. https://dx.doi.org/10.1007/s10902-006-
9025-2
Department of Health. (2004). At least five a week: Evidence on the impact of
physical activity and its relationship to health (A report from the Chief
Medical Officer). Retrieved from http://www.
dh.gov.uk/en/Publicationsandstatistics/Publications/PublicationsPolicyAnd
Guidance/ DH_4080994
Depdikbud. (1984). Ungkapan tradisional sebagai sumber informasi kebudayaan
Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Depdikbud, Proyek inventarisasi dan
dokumentasi kebudayaan daerah.
Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95(3), 542-575.
https://dx.doi.org/10.1037/0033-2909.95.3.542
60
Diener, E. (Ed.). (2009). Social indicators research series: Vol. 37. The science of
well-being: The collected works of Ed Diener. New York, NY, US: Springer
Science + Business Media. https://dx.doi.org/10.1007/978-90-481-2350-6
Diener, E., & Biswas-Diener, R. (2002). Will money increase subjective well-
being?. Social Indicators Research, 57(2), 119-169.
https://dx.doi.org/10.1023/A:1014411319119
Diener, E., & Ryan, K. (2009). Subjective well-being: A general overview. South
African Journal of Psychology, 39 (4), 391-406.
https://dx.doi.org/10.1177/008124630903900402.
Diener, E., Lucas, R. E., & Oishi, S. (2005). Subjective well-being. The science of
happiness and life satisfaction. In C.R. Snyder & Shane J. Lopez. Handbook
of Positive Psychology (pp. 63 – 73). New York: Oxford University Press,
Inc
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R.E. (2003). Personality, culture and subjective well-
being: emotional and cognitive evaluation of life. Annual Review
Psychology, 54, 403-425.
https://dx.doi.org/10.1146/annurev.psych.54.101601.145056
Dunn, J. (2015). Siblings. In J. E. Grusec & P. D. Hastings (Eds.), Handbook of
socialization: Theory and research (2nd ed., pp. 182–201). New York, NY:
Guilford Press.
Durko, A.M., & Petrick, J.F. (2013). Family and relationship benefits of travel
experiences: A literature review. Journal of Travel Research, 52(6), 720-
730. https://dx.doi.org/10.1177/0047287513496478
Dush, C. M. K., & Amato, P. R. (2005). Consequences of relationship status and
quality for subjective well-being. Journal of Social and Personal
Relationships, 22, 607 627. https://dx.doi.org/10.1177/0265407505056438
Dweck, C. S. (2002). Messages that motivate: How praise molds students’ beliefs,
motivation, and performance (In surprising ways). In J. Aronson (Ed.),
Improving academic achievement (pp. 37-60). New York: Academic Press
Dweck, C.S. (1999). Self-theories: Their role in motivation, personality and
development. Philadelphia: Psychology Press
East, L., Jackson, D., & O’Brien, L. (2006). Father absence and adolescent
development: A review of the literature. Journal of Child Health Care,
10(4) 283–295. https://dx.doi.org/10.1177/1367493506067869
Ejieh M. U. C. (2006). Pre-primary education in nigeria: Policy implementation and
problems. Elementary Education Online, 5(1) 58 – 64
El- Houfey, A.A., & Elserogy, Y.M. (2013). the effect of television watching habits
on the behaviours of primary school children in Assiut City, Egypt.
International Journal of Medicine and Medical Sciences, 46(4), 1391-1399
Ellis, G. & Brewster, J. (2002). Tell it Again! the new storytelling handbook for
primary teachers (2nd ed.). Harlow : Penguin English
Eryılmaz, A. (2012). A model of subjective well-being for adolescents in high
school. Journal of Happines Studies, 13(2), 275-289.
https://dx.doi.org/10.1007/s10902-011-9263-9
61
Green, M., Hadihardjono, D.N., Pries, A.M., Izwardy, D., Zehner, D., Zehner, E.,
& Huffman, S.L. (2019). High proportions of children under 3 years of age
consume commercially produced snack foods and sugar‐ sweetened
beverages in Bandung City, Indonesia. Matern Child Nutr, 15, 1-14.
https://dx.doi.org/10.1111/mcn.12764
Greene, E. D. (1990). The logic of university students’ misunderstanding of natural
selection. Journal of Research in Science Teaching, 27(9), 875-885,
https://dx.doi.org/10.1002/tea.3660270907
Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., & Anderson, R. E. (2014). Multivariate data
analysis (7th Ed.). Essex: Pearson Education Limited
Hammond, S.I., & Browne, C.A. (2018). Happily unhelpful: Infants’ everyday
helping and its connections to early prosocial development. Front Psychol,
9(1770), 1-8. https://dx.doi.org/10.3389/fpsyg.2018.01770
Haney, M., & Bissonnette, V. (2011). Teachers’ perceptions about the use of play
to facilitate development and teach pro-social skills. Journal of Creative
Education, 2(1), 41-46. https://dx.doi.org/10.4236/ce.2011.21006
Hart, C. (2008). The natural hormone that curbs food and alcohol cravings, reduces
pain, and elevates your mood. St. Martin's Griffin; Revised and Updated
edition.
Hatfield, E., Cacioppo, J.T., & Rapson, R.L. (1994). Emotional contagion. New
York: Cambridge University Press
Hedstrom, R., & Gould, D. (2004). Research in youth sports: Critical issues status
(white paper summaries of the existing literature). East Lansing, MI:
Institute for the Study of Youth Sports, Michigan State University
Hendon, C., & Bohon, L.M. (2008). Hospitalized children’s mood differences
during play and music therapy. Child: Care, Health, and Development,
34(2), 141-144. https://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2214.2007.00746.x
Herawati, N. (2015). Lebaran menjadi ‘magnet’ untuk mudik bagi masyarakat
Jawa. Magistra, 93, 114-119
Herliyanawati, D. (2017). Komunikasi antar pribadi ibu kepada anak (Studi
deskriptif kualitatif komunikasi ibu kepada anaknya yang disekolahkan di
pondok pesantren dalam membangun motivasi belajar anak). Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Hewes, J. (2015). Let the children play: Nature’s answer to early learning. Early
Childhood Learning Knowledge Center. Retrieved from: http://www.child-
encyclopedia.com /sites/default/files/ docs/suggestions/let-the-children-
play_jane-hewes.pdf, on 05 August 2018
Holder, M. D., & Coleman, B. (2009). The contribution of social relationship to
children’s happiness. J. Happiness Stud, 10(3), 329-349. DOI
10.1007/s10902-007-9083-0
Hong, Y., Kim, H., & Jeun, W. (2016). A study on what makes young children
happy. Asia-Pacific Journal Of Research In Early Childhood Education,
10(2), 47-70. https://dx.doi.org/10.17206/apjrece.2016.10.2.47
Hong, Y., Kim, H., & Jeun, W. (2014). A study on young children’s perceptions
about happy experience based on drawing. Early Childhood Education &
Care, 9(4), 131- 158
63
Hong, Y., Ra, Y., & Jang, H. (2015). A study of young children’s perceptions and
experiences of happiness. Asia-Pacific Journal of Research in Early
Childhood Education, 9(1), 39-64
Hong, Y., Ra, Y., Jang, H., Kim, H., & Jeun, W. (2013). Inquiry of happiness
education in early childhood. Seoul: Changjisa
Horn, W.F., & Sylvester, T. (2002). Father facts (4th ed.). Gaithersburg, MD:
National Fatherhood Initiative
Housen, A. (2002). Aesthetic thought, critical thinking and transfer. Arts and
Learning Research Journal, 18(1), 99-131
Hussong, A. M. (2000). Perceived peer context and adolescent adjustment, Journal
of Research on Adolescence, 10, 391–415.
Hwang, H., Kim, M., & Tak, J. (2013). A study of five-year-old children`s
happiness as measured by the cognition of being happy and the condition of
happiness. The Journal of Eco-Early Childhood Education, 12(4), 93-122.
Indumathy, J., & Ashwini, K. (2017). Parental bonding and psychological well-
being among young adults. The International Journal of Indian Psychology,
4(2), 77-85
Ivan, L., & Hebblethwaite, S. (2016). Grannies on the net: Grandmothers’
experiences of facebook in family communication romanian. Journal of
Communication and Public Relations, 18(1), 11-25
Izumy-Taylor, S., Samuelsson, I.P., & Rogers, C.S. (2010). Perspectives of play in
three nations: A comparative study in Japan, the United States, and Sweden.
Early Childhood Research and Practice, 12 (1).
Jaafar, J. L., Idris, M. A., Ismuni, J., Fei, Y., Jaafar, S., Ahmad, Z., Sugandi, Y. S.
(2012). The sources of happiness to the Malaysians and Indonesians: Data
from a smaller nation. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 65, 549–
556. https:// doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.11.164
Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Jeon, H. (2016). A case study on aspects of young children’s play and responses of
the teacher in the art activities. Doctoral dissertation. Graduate School,
Ewha Womans University, Seoul, Korea
Jonasi, S. (2007). What is the role of a grandmother in a malawian society and how
can we as health care workers support her?. Malawi Med J., 19(3), 126–127
Kaiser, H. F. (1960). The application of electronic computers to factor analysis.
Educational and Psychological Measurement, 20, 141-151.
https://dx.doi.org/10.1177/001316446002000116
Kervin, L, Mantei, J (2016) Digital storytelling: Capturing children’s participation
in preschool activities. Issues in Educational Research, 26(2), 225–240
Keyes, C. L. M. (2009). The nature and importance of positive mental health in
America’s adolescents. In R. Gilman, E.S. Huebner, & M.J. Furlong.
Handbook of Positive Psychology in Schools (pp. 9 – 23). New York:
Routledge
Kim, J., Kim, E., & Hong, S. (2009). Efects of self-determination on the academic
achievement in Korean middle school students. Korean Journal of
Educational Psychology, 20, 243–264
64
Maimaran, M., & Fishbach, A. (2014). If it’s useful and you know it, do you eat?.
Journal of Consumer Research, 41, 642-655.
https://dx.doi.org/10.1086/677224
Mallers, M.H., Charles, S.T., Neupert, S.D., & Almeida, D.M. (2010). Perceptions
of childhood relationships with mother and father: Daily emotional and
stressor experiences in adulthood. Dev Psychol, 46(6), 1651–1661.
https://dx.doi.org/10.1037/a0021020Bowlby, 2008;
Mart, C. T. (2012). Encouraging Young Learners to Learn English through Stories.
English Language Teaching, 5(5), 101-106.
https://dx.doi.org/10.5539/elt.v5n5p101
Mascaro, J.S., Rentscher, K.E., Hackett, P.D., Mehl, M.R., &. Rilling, J.K. (2018).
Do fathers treat sons and daughters differently?. Environmental Science
Journal for Teens, September, 1-4
Mendelson, M. J., & Kay, A. C. (2003). Positive feelings in friendship: Does
imbalance in the relationship matter?. Journal of Social and Personal
Relationships, 20, 101–116.
Milkie, M.A., Kendig, S.M., Nomaguchi, K.M., & Denny, K.E. (2010). Time with
children, children's weil-being, and work-family balance among employed
parents. Journal of Marriage and Family, 72(5), 1329-1343
Myers, D. G. (2012). Psikologi sosial jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika
Myers, D. G., & Diener, E. (1995). Who Is Happy?. Psychological Science, 6, 10-
19. https://dx.doi.org/10.1111/j.1467-9280.1995.tb00298.x
Newman, D. B., & Graham, J. (2018). Religion and well-being. In E. Diener, S.
Oishi, & L. Tay (Eds.), Handbook of well-being (pp. 1-12). Salt Lake City,
UT (USA): DEF Publishers.
Newman, R. (1996). Let’s take a trip!. Childhood Education, 72(5), 296
NSW Goverment. (2015). The wellbeing framework for schools. Sydney: NSW
Department of Education and Communities
Nursing & Quality Department (2014). Using praise and rewards to encourage
good behavior. London: Child and Adolescent Mental Health Services
Ogunyemi, F.T. & Ragpot, L. (2015). Work and play in early childhood education:
Views from Nigeria and South Africa. South African Journal of Childhood
Education, 5(3), 1-7. https://dx.doi.org/10.4102/sajce. v5i3.344
Otnes, C., Nelson, M., & McGrath, M.A. (1995). The children’s birthday party: A
study of mothers as socialization agents. Advances in Consumer Research,
22, 622-627
Pannilage, U. (2017). Impact of family on children’s wellbeing. Journal of
Sociology and Social Work, 5(1), 149-158.
https://dx.doi.org/10.15640/jssw.v5n1a15
Park, Y. (2000). The impact of the changing parent-child relationship on
adolescent' functioning. Paper presented at the 15th of the IACCP. July, 16-
21, Pultusk, Poland
Pate, R.P., Dowda, M., Brown, W.H., Mitchell, J., & Addy, C. (2013). Physical
activity in preschool children with the transition to outdoors. Journal of
Physical Activity and Health, 10(2), 170-175.
https://dx.doi.org/10.1123/jpah.10.2.170
66
Pavot, W., & Diener, E. (2008). The Satisfaction With Life Scale and the emerging
construct of life satisfaction. The Journal of Positive Psychology, 3(2), 137-
152. https://dx.doi.org/10.1080/17439760701756946
Pressman, S.D., Matthews, K.A., Cohen, S., Martire, L.M., Scheier, M., Baum, A.,
and Schulz, R. (2009). Association of enjoyable leisure activities with
psychological and physical well-being. Psychosomatic Medicine. 71(7),
725-732. https://dx.doi.org/10.1097/PSY.0b013e3181ad7978
Puroila, A., Estola, E., dan Syrjälä, L. (2012). Having, loving, and being: Children’s
narrated well-being in Finnish day care centres. Early Child Development
& Care, 182 (3-4), 345-362.
Quezada, L., Landero, R., & Gonzáles, M. T. (2016). A validity and reliability study
of the subjective happiness scale in Mexico. J Happiness Well-Being, 4(1),
90-10
Rakhmawati, I. (2015). Peran keluarga dalam pengasuhan anak. Konseling Religi,
6(1), 1-17
Ramayulis. (2011). Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia
Rappaport, J. (1995). Empowerment meets narrative: Listening to stories and
creating settings. American Journal of Community Psychology, 23, 795-
807.
Reunamo, J., Hakala, L., Saros, L., Lehto, S., Kyhala, A., & Valtonen, J. (2014).
Children’s physical activity in day care and preschool. Early Years, 34(1),
32-48. https://dx.doi.org/10.1080/09575146.2013.843507
Rojas, M. (2008). Experienced poverty and income poverty in mexico: a subjective
well-being approach. World Development, 36(6), 1078–1093.
https://dx.doi.org/10.1016/j.worlddev.2007.10.005
Rossman.P. (2008) The growing child: Developing the holistic child. Boston:
Houghton & Mifflin Publishers
Ruini, C., Vescovelli, F., Carpi, V., & Masoni, L. (2017) Exploring psychological
well-being and positive emotions in school children using a narrative
approach. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 17(1), 1-9.
https://dx.doi.org/10.1080/20797222.2017.129928
Samalin. (2003). 123 Sayang Semuanya. Bandung: Kaifa
Sansone, R.A., & Sansone, L.A. (2010). Gratitude and well-being: The benefits of
appreciation. Psychiatry (Edgmont), 7(11), 18-22.
Santrock, J.W. (2011). Life-span development (13th ed). New York: McGraw-Hill
Co.
Saphire-Bernstein, S., & Taylor, S. E. (2013).Close relationships and happiness . In
I. Boniwell, S. A. David, & A. C. Ayers (eds), Oxford handbook of
happiness (pp. 821-833). Oxford University Press: Oxford, UK.
Schunk, D. H. (1990). Self concept and school achievement. In C. Rogers & P.
Kutnick (Eds.), The school psychology of the primary school (pp. 70–91).
London: Routledge
Scully, D., Kremer, J., Meade, M., Graham, R., & Dudgeon, K. (1999). Physical
exercise and psychological well-being: a critical review. British Journal of
Sports Medicine, 32, 11–20
67
Seefeldt, V., Ewing, M., & Walk, S. (1992). Overview of youth sports programs in
the United States. Washington, DC: Carnegie Council on Adolescent
Development
Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A visionary new understanding of happiness
and well-being. New York, NY, US: Free Press.
Seligman, M. E. P., Steen, T. A., Park, N., & Peterson, C. (2005). Positive
psychology progress: Empirical validation of interventions. American
Psychologist, 60(5), 410-421. https://dx.doi.org/10.1037/0003-
066X.60.5.410
Shamgar-Handelman, L., & Handelman, D. (1991). Celebrations of bureaucracy:
Birthday parties in Israeli kindergartens. Ethnology, 30, 293-312
Sharif, S. (2014). School playground: Its impact on children’s learning and
development. Singapore: Asia-Pasific Regional Network for Early
Childhood.
Shayan, N., & Gatab, T. A. (2012). The effectiveness of social skills training on
students’ levels of happiness. Procedia–Social Behavioral and Sciences, 46,
2693-2696. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.05.548.
Shofaussamawati. (2014). Menumbuhkan minat baca dengan pengenalan
perpustakaan pada anak sejak dini. Jurnal Perpusatakaan Libraria, 2(1),
46-59
Singer, E. (2013). Play and playfulness, basic features of early childhood education.
European Early Childhood Education Research Journal, 21(2), 172-184.
https://dx.doi.org/10.1080/1350293X.2013.789198
Singh, A., & Gupta, D. (2012) Contexts of childhood and play: Exploring parental
perceptions. Childhood, 19(2), 235-250
Singh, K., & Jha, S.D. (2008). Positive and negative affect, and grit as predictors
of happiness and life satisfaction. Journal of the Indian Academy of Applied
Psychology, 34, 40-45
Smith, M.C. (nd). The benefits of writing. Northern Illinois University: Center of
Interdisciplinary Study of Language and Literacy
Soebyakto, B. B. (2011). Mudik lebaran: Studi kualitatif. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, 9(2), 61 – 67
Stafford, M., Kuh, D. L., Gale, C. R., Mishra, G., & Richards, M. (2016). Parent–
child relationships and offspring’s positive mental wellbeing from
adolescence to early older age. The Journal of Positive Psychology, 11(3),
326-337. https://dx.doi.org/10.1080/17439760.2015.1081971
Statham, J., & Chase, E. (2010). Childhood wellbeing: A brief overview. London:
Institute of Education, Loughborough University & University of Kent.
Stewart, H., Watson, N., Campbell, M. (2018). The cost of school holiday for
children from low income families. Childhood, 25(4), 51-529.
https://doi.org/10.1177/0907568218779130
Stradzdins, L., Lucas, N., Shipley, M., Mathews, R., Berry, H., Rodgers, B., &
Davies, A. (2011). Parent and child wellbeing and the influence of work and
family arrangements: a three cohort study. Canberra: Australian
Government Department of Families, Housing, Community Services and
Indigenous Affairs
68
A. IDENTITAS DIRI
C. PELATIHAN/KURSUS PROFESIONAL
Tahun Jenis Pelatihan Penyelenggara Jangka Waktu
(dalam/luar negeri)
2015 Intensive English Course Ohio State University 2 minggu
dan Universitas Negeri
Yogyakarta
2013 Intensive Course in Mental The University of 5 hari (@8 jam)
Health- School of Population Melbourne (Centre For
Health International Mental
Health) - Australia
2013 Workshop Play Therapy Pasca Sarjana Program 2 hari
BK, UPI-Bandung
2009 Public Mental Health – Cooperati Master Program in 3 hari (@8 jam)
on, Strategies and Perspectives o Mental Health, Faculty
n Mental Health issues in the So of Applied Sciences,
uth‐ Munich University -
East Asian Region and Central E Jerman
urope
71
2017 Prediktor Prestasi Belajar Siswa Kelas Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah
1 Sekolah Dasar Mada.,Volume 44 Nomor 2, Agustus
2017.,p-ISSN 0215-8884, e-ISSN 2460-
867X.,Hlmn: 153-164.,Penulis: Rita Eka
Izzaty, Yulia Ayriza, Farida Agus
Setiawati. Terakreditasi SK Akreditasi
Nomor: 2E/KPT/2015.
Web Jurnal:
https://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/27
454/17398
DOI:https://doi.org/10.22146/jpsi.27454
2017 "Exploring the Construct of School REID Journal, diterbitkan PPs UNY.,pada
Readiness Based on Child Volume 3, Nomor 1, Tahun
Development for Kindergarten 2017.,ISSN:2460-6995.,Penulis: Farida
Children", /view/13663/9905 Agus Setiawati, Rita Eka Izzaty, Agus
Triyanto. Hlm 42-49
https://journal.uny.ac.id/index.php/reid/artic
le
74
H. KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM (5
Tahun terakhir)
75
Yogyakarta
Staf Ahli bidang Universitas Negeri Keputusan Rektor UNY Nomor :
Pengembangan (Staf Yogyakarta 129/UN34/KP/2013
Ahli Wakil Rektor IV) (berlaku 1 Januari-31 Desember 2014)
Staf Ahli bidang Universitas Negeri Keputusan Rektor UNY Nomor :
Pengembangan (Staf Yogyakarta 129/UN34/KP/2013
Ahli Wakil Rektor IV) (berlaku 1 Januari-31 Desember 2013)
L. PENGHARGAAN
Thn. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan
2012 Satyalancana Karya Satya Presiden RI
M. HAK CIPTA
No. Karya Hak Cipta
1 Cerita Tematik sebagai Media Pembelajaran Pengenalan Membaca pada Anak Pra
Sekolah, C00201604536
2 Model Konseling Anak Usia Dini, C00201702533
3 Kartu Karir Sebagai Media Bimbingan Karir Siswa Sekolah Dasar, C00201702532
4 Program Komputer Alat Ukur Multiple Intelegensi Berbasis Komputer, C00201702556
J. PERAN LAIN
Tahun Peran Tempat
2017- Reviewer (mitra Jurnal Indria, Universitas Muhammadiyah Ponorogo,
sekarang bestari) Jawa Timur
2016 Reviewer Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Institut Pertanian
Bogor
2015, Reviewer Penerima Lembaga Pengelola Dana Pendidikan-Kementerian
2016-2018 Beasiswa (Psikolog) Keuangan (Keputusan Direktur Utama Lembaga
Pengelolaan Dana Pendidikan Kementrian Keuangan
Republik Indonesia Nomor Kep-42/LPDP/2016)
2014 Tim Ahli Adhoc Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)-Keputusan
Standar Nasional Ketua BSNP Nomor:0242/SKEP/BSNP/VIII/2014
79
K. KEANGGOTAAN PROFESI
Saya menyatakan bahwa semua keterangan dalam Curriculum Vitae ini adalah
benar dan apabila terdapat kesalahan, saya bersedia mempertanggungjawabkannya.
Yang menyatakan,
B. PELATIHAN PROFESIONAL
Pembicara/ Perguruan Tinggi
Jenis Pelatihan
Tahun Penyelenggara Pembicara sendiri/ Perguruan
(Dalam/Luar Negeri)
Tamu Tinggi Lain
Pelatihan Finger Prints untuk
2014 UNY UNY
mendeteksi bakat
Pelatihan sebagai penilai buku UNPAD
2012 nonteks untuk pengembangan Diknas
kepribadian
Penulisan Jurnal Internasional UIN Yogyakarta
2010 UNY
Pelatihan sebagai Assessor Pelatihan sebagai
2008 Dikti 2008
penilaian portofolio guru Assessor penilaian
81
portofolio guru
C. PENGALAMAN MENGAJAR
E. PENGALAMAN PENELITIAN
G. KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM
Tingkat Lokal/ Panitia/Pese
Tahun Judul Makalah Penyelenggara Nasional/ rta/
Internasional Pembicara
2013 Pendidikan Populis Berwawasan UNY Internasional Pembicara
Kebudayaan
2014 The Influence of Children’s ICSEI Internasional Pembicara
Academic Self-efficacy on Their
Achievements: A Gender-based
Exploration Study in Indonesia
2014 Does Children’s Grade in School IAAP Internasional Pembicara
Moderate the Influence of gender
on Their Gender Role and Career
interests?
2015 Mutual Trust as Dominant Social UNY Internasional Pembicara
Capital in Building School Culture (anggota)
2015 The Development of Guideline For UNESA kerjasama Internasional Pembicara
Detection and Simulation of Early dengan ARNEC (Asia (anggota)
Childhood Development Pasific Regional
Network for Early
Childhood)
2016 Career lnterest and Knowledge of Ikatan Alumni USM Internasional Pembicara
Lower Grade Students of Primary
School
2017 Workshop Peningkatan Kualitas Kemenristek Dikti Nasional Peserta
Evaluasi Pendirian dan Pembukaan
Perguruan Tinggi Swasta serta
Pembukaan dan Perubahan Prodi
DI PT
Ketua/
Tahun Jenis/ Nama Kegiatan dan Tempat Sumber Dana
Anggota
UNY
UPT LBK
2017 Pendampingan Dosen STIKES Pemateri
UNY
Scholar/
Expert Program
2017 Visting Professor Ke Universiti Kebangsaan Malaysia in Pascasarjana
Psychol UNY
ogy
Kemenristek
2017 Evaluasi online Pendirian Prodi pada Perguruan Tinggi Asesor Dikti,
BAN PT
LPPM UNY
Kapuslit AUD dan INSULA 2014 s/d skr
2017
Menguji Disertasi Penguji Utama UNY
PENGHARGAAN/PIAGAM
Tahun Bentuk Penghargaan Jenjang Tingkat
2003 Satya Lencana 10 Tahun Kerja Nasional Nasional
2012 Satya Lencana 20 Tahun Kerja Nasional Nasional
2017 Satya Lencana 30 Tahun Kerja Nasional Nasional
K. ORGANISASI PROFESI/ILMIAH
Tingkat
Jabatan/JenjangKean
Tahun Jenis / Nama Organisasi Lokal/Nasional/
ggotaan
Internasional
1999-2011 ISPSI Anggota Lokal
2000-2011 HEPI Anggota Lokal
2014-
Himpsi Anggota Nasional
sekarang
2014-2016 IAAP Anggota Internasional
2016-
APA Anggota Internasional
sekarang
Saya menyatakan bahwa semua keterangan dalam curriculum vitae ini adalah
benar dan apabila terdapat kesalahan, saya bersedia mempertanggungjawabkannya.
Yang menyatakan,
Transport Anggaran
No Nama Bahan Volume Biaya Jumlah Biaya
Vol Sat Satuan
Pelaksana Penelitian
1 10 kali 50.000 500.000
1 (TK)
Pelaksana Penelitian
2 10 kali 50.000 500.000
2 (SD)
4 Responden 100 orang 20.000 2.000.000
Kenang kenangan
5 2 institusi 500.000 1.500.000
sekolah
Total Transport
Biaya Operasional
Bahan Habis Pakai Anggaran
No Nama Bahan Volume Biaya Jumlah Biaya
Vol Sat Satuan
1 Kertas A4 5 Rim 37.500 187.500
3 Tinta print hitam 2 unit 350.000 700.000
Total 887.500
Perjalanan dan Analisis Anggaran
No Nama Bahan Volume Biaya Jumlah Biaya
Vol Sat Satuan
1 Koordinasi pengambilan data 4 Kali 100.000 400.000
3 Pengambilan data 20 Kali 50.000 1.000.000