Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN

PRAKTEK KULIAH LAPANGAN GEOGRAFI 1


(PULAU KERA, KABUPATEN KUPANG)

Disusun untuk memenuhi nilai tugas laporan mata kuliah praktek kerja lapangan yang
dibina oleh bapak Drs. Ignasius Suban Angin S.U

DISUSUN OLEH :

MITA CHADIJAHTUL AULIA SAMAH


(1601100070)
SEMESTER VI (C)

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

JULI, 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karna berkat rahmat dan hidayat nya saya dapat
menyelesaikan laporan nya saya dapat menyelesaikan laporan praktek kerja lapangan geografi 1 (PKL
GEOGRAFI 1) dengan tepat waktu.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Secara geografis pulau ini berada pada posisi 10° 05’ 22’’ LS dan 123° 33’ 24’’. Pulau ini
secara administratif berada di wilayah Desa Uiasa, Kecamatan Sulamu, Kabupaten
Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau dengan luas 48,17 ha ini seharusnya
merupakan pulau yang tidak berpenduduk karena terletak pada Wilayah Taman Wisata
Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 18/KPTS-II/1993 tanggal 28 Januari 1993, Pemanfaatannya sebagai daerah wisata
berbasis konservasi berdekatan dengan Pulau Tikus dan Pulau Burung. Namun saat ini
Pulau tersebut merupakan pulau yang berpenduduk karena telah ditempati oleh warga
pendatang musiman sejak tahun 1911 dengan bangunan rumah semi permanen dan
permanen.

Dilihat dari aspek fisik, Pulau Kera berbentuk Bulat dengan sisi sebelah utara  lebih luas
dari sisi sebelah selatan. Wilayah perairan pulau belum banyak dimanfaatkan karena
merupakan daerah TWAL, sedangkan wilayah daratan pulau bagian selatan saja yang
ditempati oleh pemukiman penduduk. Dengan topografi yang berbentuk datar (ketinggian
+ 0 – 3 m dpal) dan tipe pantai berpasir putih.

Untuk mencapai Pulau Kera, Banyak alternatif tempat berangkat yang dapat diakses,
yakni melalui Pelabuhan Tenau, PPI Oesapa, Sulamu, atau Pelabuhan Oeba. Pulau Kera
dapat diakses dengan meggunakan kapal sewaan karena tidak ada transportasi reguler
menuju Pulau Tersebut. Akses dari Pelabuhan Tenau menuju Pulau Kera dapat ditempuh
dengan perjalanan selama 1-1,5 Jam, dari PPI Oesapa-Pulau Kera selama setengah jam
dan Dari Sulamu/Oeba dapat ditempuh selama 1 jam. Perjalanan menuju Pulau Kera
hendaknya dilakukan pada pagi hari dan kembali sebelum sore atau matahari terbenam.
Kapal yang digunakan merupakan kapal berukuran sedang, karena jika terlalu besar akan
menyulitkan kapal untuk sandar.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana kondisi fisik pulau kera?
2. Bagaimana kondisi sosial masyarakat pulau kera?

C. Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana gambaran kondisi fisik dan sosial masyarakat dipulau kera.
BAB II
DESKRIPSI KONDISI LAPANGAN
Pulau kera adalah salah satu pulau kecil yang terdapat di provinsi nusa tenggara timur,
tepatnya di bagian sebelah barat kota kupang.

Pulau kera merupakan bagian dari wilayah kabupaten kupang. Pulau ini memiliki luas 48,17
ha. Harusnya pulau ini tidak berpenduduk, mengingat luas pulau ini yang tidak terlalu besar
dan kurang memungkinkan untuk ditempati dan lokasi pulau kera pun terletak pada kawasan
taman wisata alam laut (TWAL). Dilihat dari aspek fisik, Pulau Kera berbentuk Bulat dengan
sisi sebelah utara  lebih luas dari sisi sebelah selatan. Wilayah perairan pulau belum banyak
dimanfaatkan karena merupakan daerah TWAL, sedangkan wilayah daratan pulau bagian
selatan saja yang ditempati oleh pemukiman penduduk. Dengan topografi yang berbentuk
datar (ketinggian + 0 – 3 m dpal) dan tipe pantai berpasir putih.

Untuk mencapai Pulau Kera, Banyak alternatif tempat berangkat yang dapat diakses, yakni
melalui Pelabuhan Tenau, PPI Oesapa, Sulamu, atau Pelabuhan Oeba. Pulau Kera dapat
diakses dengan meggunakan kapal sewaan karena tidak ada transportasi reguler menuju
Pulau Tersebut. Akses dari Pelabuhan Tenau menuju Pulau Kera dapat ditempuh dengan
perjalanan selama 1-1,5 Jam, dari PPI Oesapa-Pulau Kera selama setengah jam dan Dari
Sulamu/Oeba dapat ditempuh selama 1 jam. Perjalanan menuju Pulau Kera hendaknya
dilakukan pada pagi hari dan kembali sebelum sore atau matahari terbenam. Kapal yang
digunakan merupakan kapal berukuran sedang, karena jika terlalu besar akan menyulitkan
kapal untuk sandar
BAB III
PEMBAHASAN
A. Geografi Fisik

Kondisi geografis
Secara geografis pulau ini berada pada posisi 10° 05’ 22’’ LS dan 123° 33’ 24’’. Pulau ini
secara administratif berada di wilayah Desa Uiasa, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau dengan luas 48,17 ha ini seharusnya merupakan pulau
yang tidak berpenduduk karena terletak pada Wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL)
Teluk Kupang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS-II/1993
tanggal 28 Januari 1993, Pemanfaatannya sebagai daerah wisata berbasis konservasi
berdekatan dengan Pulau Tikus dan Pulau Burung.

Terumbu Karang

Pulau Kera memiliki potensi terumbu karang yang besar. Letak posisi dalam sebuah teluk
kupang, mengindikasikan tekanan alam terhadap terumbu karang akan berkurang. Namun
sayang, kondisi terumbu karang di Pulau kera saat ini telah mengalami ancaman dari kegiatan
anthropogenic yakni aktivitas manusia yang ada di pulau tersebut.

Aktivitas masyarakat yang merugikan ekosistem terumbu karang yakni (1) pengambilan batu
karang; (2) jangkar kapal dan penggunaan alat peledak sebagai alat tangkap. Hasil
pengamatan di dua titik lokasi Pulau kera, menunjukkan pulau tersebut dalam status buruk.
Kondisi terumbu karang di Pulau Kera perlu saat ini, perlu melakukan perbaikkan ekosistem
kembali.

- Bagian Selatan

Terumbu karang karang di Pulau Kera berada pada di kedalaman 6 meter – 10


meter. Kondisi terumbu karang di Pulau Kera bersifat spot atau mengelompok-
kelompok, sedangkan tutupan dasar perairan didominasi oleh pasir. Hasil
pengamatan tahun 2012, bahwa terumbu karang dibagian selatan Pulau Kera yakni
terdiri dari komponen 23.38% karang hidup, 11.68% karang mati, 1.92% alga,
29.02% biotik, 34% abiotik.

Jenis terumbu karang yang mendominasi pada bagian selatan yakni jenis karang
masive dan bercabang. Selain itu bada bagian selatan di dominasi oleh jenis karang
lunak. Jika dilihat komposisi penyusun biotik adalah algae 1,92%% dan karang
lunak 29.02%. Gambar dibawah ini, bahwa komposisi pasir di bagian selatan Pulau
Kera lebih mendominasi. Karang yang bersifat berkumpul dan mengelompok maka
dari itu pada saat pengamatan posisi transek lebih dominan pasir.

Pada bagian Selatan Pulau Kera, dilihat beberapa indikasi ancaman terhadap
terumbu karang. Identifikasi pada saat dilapangan ada beberapa ancaman terumbu
karang yakni algae, penyakit karang, predator, dan kompetisi ruang. Dokumentasi
yang diperoleh dilapangan, yakni jenis predator dari Drupllea sp yang telah
menggangu jaringan dari karang tabulate.

- Bagian Utara

Selain itu pengamatan juga dilakukan di bagian utara dari Pulau Kera. Pada bagian
ini bentuk dasar perairan slope, dimana terumbu karang berada di bagian tebing.
Substrat dasar yang mendominasi di lokasi ini yaitu pasir dengan rubble (patahan
karang). Persen tutupan terumbu karang dibagian Utara Pulau Kera yakni 13,68%
karang hidup, 16% karang mati, 23,82% biotik dan 46,26 % abiotik.

Kondisi penutupan substrat dasar dengan dominasi pasir dan patahan karang terlihat
sangat banyak pada lokasi pengamatan. Penyebaran karang hidup yang terlihat
menyebar dengan jumlah yang tidak begitu banyak dibandingkan dengan karang
lunak. Penutupan karang lunak mencapai 22,94% yang termasuk kategori biotik
lainnya dibandingkan dengan penutupan karang hidup hanya sebesar 13,68%.

Penutupan karang hidup yang kecil dipengaruhi oleh sedimentasi dan aktifitas
pengeboman ikan oleh nelayan setempat maupun dari luar (nelayan pendatang).
Aktifitas perikanan yang merusak kerap menjadikan wilayah perairan dengan
keberadaan terumbu karang mengalami penurunan penutupan dan komposisi jenis
pada umumnya. Sehingga jenis substrat yang menutupi dasar perairan tersebut akan
berganti menjadi substrat yang lebih cepat tumbuh dan tahan terhadap tekanan
lingkungan seperti alga, spons dan karang lunak. Kompetisi ruang pun akan
mengurangi wilayah pertumbuhan dari karang hidup lainnya dan berakibat sedikit
sekali ditemukannya jenis karang hidup sebagai penyusun utama ekosistem terumbu
karang.

Ikan Karang

Pengamatan Komunitas ikan karang dilakukan di Pulau Kera dengan menggunakan metode
visual sensus yang diadopsi dari literatur english et. Al. (2001). Pengamatan tersebut
dilakukan di dua titik pengamatan yaitu di sebelah selatan dan utara pulau. Kondisi perairan
di Pulau Kera memiliki kecerahan 100% dimana jarak pandang di dalam air sejauh 6 meter. 
Pulau Kera memiliki kondisi kontur dasar perairan yang landai dengan hamparan lamun yang
luas di sebelah timur.

Komunitas ikan karang di Pulau Kera di sebelah Utara memiliki indeks keanekaragaman
yang sedang dimana nilai yang diperoleh untuk indeks keseragaman berada pada kisaran 1 <
H’≤ 3. Hal tersebut menunjukan untuk sebelah utara pulau Kera memiliki penyebaran jenis
ikan yang sedang dengan keanekaragaman yang sedang. Indeks keseragaman
menggambarkan sebaran jenis ikan antar taksa. Semakin tinggi nilai yang ditunjukan nilai
indeks keseragaman maka kestabilan komunitas akan semakin tinggi. Sebelah Utara Pulau
Kera memiliki indeks keseragaman yang tergolong tinggi sehingga dapat dikatakan
komunitas ikan karang disebelah Utara Pulau Kera tergolong stabil. Indeks dominansi
dihitung berdasarkan jumlah individu dari setiap jenis ikan yang ditemukan. Nilai indeks
dominansi untuk komunitas ikan di sebelah utara menunjukan nilai yang rendah, hal tersebut
menunjukan bahwa perairan di sebelah utara tidak didominansi oleh jenis ikan tertentu.
Kondisi yang berbeda ditemukan di sebelah selatan dimana penyebaran jenis ikan tergolong
tinggi dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Hal tersebut diikuti dengan rendahnya nilai
indeks dominansi. Jika nilai indeks dominansi (C) mendekati nol, maka hal ini menunjukkan
pada perairan tersebut tidak ada biota yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh nilai
keseragaman (E) yang tinggi. Dengan melihat nilai indeks keseragaman pada tabel diatas
menunjukan komunitas ikan di sebelah Selatan memiliki kestabilan komunitas yang
tergolong tinggi. Secara keseluruhan, komunitas ikan karang di Pulau Kera memiliki
keanekaragaman yang sedang sampai tinggi dengan komunitas yang stabil atau tidak terdapat
tekanan terhadap komunitas.

- Utara

Beberapa jenis ikan indikator juga ditemukan di perairan sebelah utara pulau
kera. Jenis yang paling banyak ditemukan adalah jenis Chaetodon klenii dengan
kelimpahan 240 ind/ha disusul dengan jenis Chelmon rostratus dengan
kelimpahan 160 ind/ha dan Chaetodon melanotus dan Forcipiger flavissimus
dengan kelimpahan masing-masing sebanyak 80 ind/ha. Jenis-jenis ikan tersebut
merupakan jenis ikan yang dapat dijadikan sebagai bio-indikator karena pola
makan dari jenis ikan ini adalah coralivora.

Kelimpahan famili terbesar lainnya berasal dari famili Acanthuridae dimana jenis
ikan yang berasal dari famili ini pada umumnya merupakan jenis ikan tangkapan
para nelayan atau memiliki nilai ekonomis. Jenis ikan yang ditemukan untuk
famili Acanthuridae adalah Acanthurus pyroferus dengan kelimpahan 200 ind/ha
dan jenis Zebrasoma scopas sebanyak 320 ind/ha.

- Selatan

Famili Pomacentridae merupakan famili yang masih mendominansi


kelimpahannya dibandingkan dengan kelimpahan famili lainnya. Kelimpahan
famili Pomacentridae pada umumnya mendominansi disuatu perairan disebabkan
pola ikan jenis ini sering mencari makanan di daerah terumbu karang dan tidak
memiliki daerah ruaya yang luas. Pomacentrus moluccensis merupakan jenis
yang paling banyak ditemukan dengan kelimpahan (1320 ind/ha), disusul dengan
jenis Chromis amboinensis dengan kelimpahan 1160 ind/ha dan jenis Chromis
weberi sebanyak 1120 ind/ha. Famili Apogonidae merupakan jenis famili lainnya
yang sering kali dijumpai memiliki kelimpahan tinggi. Famili Apogonidae yang
teramati di selatan Pulau Kera sebanyak 1520 ind/ha dan hanya berasal dari satu
jenis yaitu Apogon cyanosoma.

Jenis ikan yang ditemui untuk kelompok ikan indikator adalah Chaetodon
lunulatus dengan kelimpahan sebanyak 240 ind/ha, Chaetodon vagabundu dan
Chaetodon klenii memiliki kelimpahan masing-masing sebanyak 160 ing/ha dan
ikan jenis Chaetodon baronesa memiliki kelimpahan sebanyak 120 ind/ha. Ikan
famili Chaetodontidae merupakan ikan yang memiliki tipe pemangsaan berupa
coralivora, dimana ikan-ikan jenis ini memakan polip karang.

Ikan Caesionidae (biasa dikenal dengan ekor kuning) juga turut dijumpai di
perairan sebelah selatan pulau Kera. Jenis ikan ini sering dijadikan tangkapan
oleh para nelayan karena memiliki nilai ekonomis di pasaran. Jenis ikan yang
ditemukan adalah Caesio cunning dengan kelimpahan 480 ind/ha dan Caesio
teres dengan kelimpahan sebanyak 440 ind/ha. Jenis ikan yang sering menjadi
tangkapan nelayan adalah jenis ikan yang berasal dari famili Acanthuridae (400
ind/ha). Di perairan sebelah Selatan ini ditemukan pula biota berbahaya, yaitu
ikan jenis Pterois antennata atau dikenal dengan sebutan ikan lepu ayam. Ikan ini
memiliki racun yang terdapat di sirip punggungnya, apabila terkena sengatannya
akan mengakibatkan kelumpuhan hingga kematian apabila tidak langsung
ditangani secara serius.

Secara keseluruhan ikan karang di Pulau Kera di dominansi oleh famili


Pomacentridae, Acanthuridae, Labridae, Chaetodontidae dan Caesionidae. Jenis
ikan kerapu juga ditemukan di perairan pulau Kera ini. Jenis kerapau yang
ditemukan adalah Ephinephelus fasciatus dengan panjang ±34 cm. Dalam
tesisnya, rolanda (2010) menyatakan pulau Kera memiliki potensi Ikan  Kerapu 
(Epinephelus  sp.),  Kakap  Putih  (Lates sp.),  Ekor  Kuning  (Caesio sp.),  ikan 
hias,  ikan Napoleon, dan Lobster.

Kelompok ikan target di perairan Pulau Kera terdiri dari 11 jenis ikan karang.
Biomassa terbesar dimiliki oleh ikan jenis kakak tua atau memiliki nama ilmiah
Chlorurus sordidus (115.630 kg/ha). Jenis ikan lain yang memliki biomassa
terbesar adalah jenis ikan Acanthurus pyroferus (106.262 kg/ha), disusul dengan
ikan bibir tebal atau Plectorhinchus vittatus dengan biomassa sebesar 103.900
kg/ha. Ikan baronang atau Siganus vulpinus juga ditemukan dengan biomassa
115.630 kg/ha dan ikan ekor kuning (Caesio teres) dengan biomassa 98.234
kg/ha.

Padang Lamun

Hamparan pasir putihnya yang sangat luas membuat beraneka jenis lamun senang hidup di
perairan pulau ini.  Gelombangnya yang besar pun tidak menjadi alasan untuk melimpahnya
berbagai jenis lamun.  Ada 7 jenis lamun yang dijumpai, yaitu Enhalus acoroides,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halophila ovalis, Halodule uninervis,
Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii .  Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Foenay (2011), jenis lamun yang mendominasi di kawasan TWAL (Taman Wisata Alam
Laut) Teluk Kupang (dimana Pulau Kera termasuk dalam kawasan tersebut) ialah jenis
Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides.

Keberadaan padang lamun tersebut mulai dari perairan pantai yang dangkal hingga
kedalaman ±10 meter.  Berbagai jenis lamun hidup berdampingan membentuk padang lamun
yang heterogen.

Di bagian selatan pulau ini dapat dijumpai 5 jenis, hanya jenis Cymodocea serrulata dan
Syringodium isoetifolium yang tak terlihat.  Substratnya yang berupa pasir putih dan kadang
diselingi oleh patahan-patahan karang menjadi tempat tumbuhnya lamun-lamun ini.  Namun,
tepat di dekat adanya padang lamun, terdapat hamparan Padina sp. Dengan patahan-patahan
karang yang lebih banyak, menjadi salah satu pesaing bagi lamun.  Hal ini terlihat dengan
keberadaan lamun yang tidak merata di semua sisi, terutama di zona hamparan Padina sp.
Yang berlimpah, lamun pun nampak jarang terlihat.
Sedangkan di bagian timur, juga ditemukan 5 jenis lamun, kecuali jenis Cymodocea
rotundata dan Enhalus acoroides.  Padang lamun tersebut membentuk hamparan yang sangat
luas laksana lapangan sepak bola dalam laut dengan kedalaman mencapai 6-10 meter.

Adapun kondisi padang lamun yang berada dekat dengan daratan, saat air pasang dengan
kondisi yang berarus kencang membuatnya cukup sulit untuk diamati.  Saat air surut
merupakan saat terbaik untuk mengamati padang lamun di pulau ini.  Sebaran lamun yang
dekat dengan daratan pun nampak terlihat seperti padang rumput yang luas.

Kerapatan jenis lamun yang ditemukan sangat beragam, mulai dari 13-57 individu/m2 di
bagian selatan dan di bagian timur bernilai 24-62 individu/m2. Jenis Cymodocea rotundata
merupakan jenis lamun yang paling banyak ditemukan di bagian selatan dan Halophila ovalis
sangat berlimpah di bagian timur.  Sedangkan kerapatan lamun terendah dimiliki oleh jenis
Halophila ovalis di bagian selatan dan Halodule uninervis di bagian timur.

Kondisi substrat di bagian selatan yang berupa pasir putih yang diselingi oleh patahan karang
dan arusnya yang kencang membuat jenis Halophila ini tertutupi oleh pasir, sehingga
pertumbuhannya pun menjadi terbatas. Ukuran lamun-lamun yang dijumpai pun nampak
lebih kecil dari biasanya. Sedangkan pasir putih yang menjadi substrat di bagian timur pulau
ini, membuat jenis Halophila ovalis sangat berlimpah, dengan berbagai jenis lainnya yang
hidup saling berdampingan. Jenis Thalassia hemprichii dan Cymodocea serrulata memiliki
kerapatan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 47 individu/m2 dan 34 individu/m2.

Persen penutupan jenis lamun di pulau ini cukup bervariasi, dimana penutupan tertinggi
dimiliki oleh jenis Enhalus acoroides yang diikuti oleh Cymodocea rotundata pada bagian
selatan dan jenis Cymodocea serrulata yang diikuti oleh Thalassia hemprichii.  Meskipun
jenis tersebut tidak unggul dan hal jumlah, dikarenakan ukurannya yang lebih besar,
membuatnya lebih unggul dalam hal persentase tutupan.

Selain biota-biota tersebut, dapat dijumpai juga penyu hijau yang senantiasa memakan
tumbuhan lamun, terutama jenis lamun Halodule uninervis dan Halophila ovalis.  Hal ini
sesuai dengan arti dari Pulau Kera itu sendiri yang berarti Penyu atau Kea (bukan monyet).
Pantai di pulau  ini pun menjadi salah satu tempat penyu-penyu bertelur.

Vegetasi Pantai

Pulau Kera yang memiliki hamparan pasir yang sangat luas ini hanya dihiasi oleh sedikit
jenis tumbuhan, dan tidak ditemukan keberadaan mangrove yang dapat menjadi penjaga
pulau ini.  Berdasarkan masyarakat yang ada di sekitar pulau tersebut, mengatakan bahwa
pulau ini memang tidak memiliki vegetasi mangrove dikarenakan substratnya yang kurang
sesuai.  Jangankan mangrove, bercocok tanam pun hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat
bertahan, yaitu pohon turi, kelapa, pinus, petai, jagung dan pepaya.  Berbagai jenis tanaman
yang telah dicoba, pada akhirnya mati kering karena terik dan gersangnya pulau ini.
Rerumputan pun nampak kering dan berwarna kecoklatan seolah-olah menandakan
kegersangan yang telah terjadi.

Adapun vegetasi pantai yang dapat dijumpai di pulau ini ada 6 jenis, yaitu Ipomoea pes-
caprae atau kangkung laut, Calotropis gigantea atau widuri, Cocos sp. (kelapa), Passiflora
foetida atau kaceprek, Calophyllum inophyllum atau nyamplung, dan Ricinus communis atau
jarak.
Konsentrasi nitrat di Perairan Pulau Kera menurut hasil analisa diketahui, kurang dari
0.001mg/L (Tabel 3), nilai tersebut sangat kurang dari baku mutu yang ditetapkan oleh
Kementrian Lingkingan Hidup, yaitu 0.008mg/L. Bentuk ion nitrat dan mmonium
mempunyai peranan penting sebagai sumber nitrogen bagi plankton yang merupakan
organisme awal dalam rantai makanan di laut. Rendahnya konsentrasi nitrat pada lokasi ini
tidak dapat langsung digunakan untuk mengasumsikan keberadaan fitoplankton sebagai
indikasi kesuburan perairan.

Total suspenden solid (TSS) merupakan salah satu parameter kualitas perairan yang juga
dapat mengindikasikan kecerahan dari kolom perairan,  pada lokasi dengan konsentrasi TSS
tinggi, tingkat kecerahan pada kolom perairan memiliki kecenderungan rendah.  Hal tersebut
dikarenakan keberadaan partikel padat yang menghambat penetrasi cahaya matahari untuk
masuk kedalam kolom air.  Nilai TSS pada Perairan Pulau Kera tergolong rendah, yaitu
3mg/L, nilai ini berada diluar kisaran baku mutu yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup.
B. Geografi sosial

Pulau Kera merupakan bagian dari Desa Uiasa, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang,
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Perlu waktu sekitar 1 jam menggunakan perahu motor dari
Kupang untuk sampai ke Pulau Kera. Pulau Kera kini ditempati kurang lebih oleh 82 Kepala
Keluarga berdasarkan penuturan warga setempat, tidak terdapat data pasti mengenai jumlah
penduduk karena belum pernah dilakukan sensus penduduk terkait status kawasan pulau.
Sejarah dari Pulau Kera, yakni dengan melalukan wawancara mendalam (in-depth interview)
pada orang-orang tua yang kini berdiam di Pulau Kera. Salah satunya adalah H. Amu dan
Naseng Rabbani salah seorang tetua yang disegani oleh masyarakat Pulau Kera. Berdasarkan
penuturan  Naseng Rabbani Nenek moyang penduduk Pulau Kera berasal dari suku Bajo
Sulawesi Tenggara, yang pada awalnya datang ke Kupang Nusa Tenggara Timur atas
undangan Raja Kupang Nesneno untuk mengajari masyarakat berlaut. Awalnya masyarakat
Pulau Kera datang sebagai penduduk musiman saja, tetapi hingga saat ini penduduk Pulau
Kera sudah menetap di Pulau dengan membangun rumah semi permanen dan permanen.
Masyarakat setempat juga sudah merasa memiliki dan nyaman tinggal di Pulau Kera karena
pendahulu-pendahulu nya sudah tinggal sejak jaman penjajahan Belanda dan mati di Pulau
Kera.  Masyarakat setempat tidak diakui sebagai warga Pulau Kera karena Pulau tersebut
memang tidak diperuntukkan sebagai pemukiman karena berada di wilayah TWAL.
Masyarakat mendapatkan izin dari seorang petinggi di Kupang dan memiliki keterkaitan
dengan bos (tauke) yang memberikan modal usaha penangkapan ikan sehingga tidak bisa
begitu saja pindah dari Pulau Kera.

Masyarakat Pulau Kera memilih tinggal di Pulau Kera walaupun minim fasilitas dikarenakan
lokasi pulau dekat dengan lokasi penangkapan ikan sebagai satu-satunya mata pencaharian,
keterikatan hutang dengan pemberi modal (Bos/Tauke), pulau dekat dengan Kota Kupang
sehingga memudahkan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, Kondisi sosial masyarakat
setempat yang damai dan bebas konflik, dan kemudahan telekomunikasi.

Pulau Kera kini ditempati kurang lebih oleh 82 Kepala Keluarga berdasarkan penuturan
warga setempat, tidak terdapat data pasti mengenai jumlah penduduk karena belum pernah
dilakukan sensus penduduk terkait status kawasan pulau.

Menurut Pemerintah Kabupaten Kupang, status Pulau Kera adalah pulau yang tidak
berpenghuni dan karena itu wajar kalau mereka tidak mendapat perhatian serius maupun
bantuan sarana dan prasarana dari Pemerintah Kabupaten Kupang maupun Pemerintah
Kecamatan Sulamu. Salah satunya dikarenakan status kependudukan yang masih belum jelas,
hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya kartu tanda pengenal (KTP) yang sah. Masyarakat
Pulau Kera hanya diakui keberadaannya ketika akan ada Pemilihan Umum (Pemilu) dan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) setempat karena diperlukan suaranya.

Tidak terdapat struktur kelembagaan atau pemerintahan seperti RT atau RW di dalam


masyarakat pulau walaupun wilayahnya masuk ke dalam Desa Uiasa namun keberadaan
penduduk tidak diakui oleh Kecamatan Semau. Sebagian besar penduduk Pulau Kera
merupakan keluarga nelayan tradisional bersuku Bajo dari Sulawesi Tenggara, beberapa
keluarga berasal dari Flores, Rote, Semau, dan Alor. Sebagian besar beragama Islam dan
hanya 4 Kepala Keluarga yang beragama Kristen.
Masyarakat Pulau Kera seluruhnya adalah nelayan. Ikan hasil tangkapan disetorkan untuk
dijual di pengumpul milik pemodal, jika hasil tangkapan berlebih maka digunakan untuk
kebutuhan konsumsi rumah tangga atau dijual kembali di Sulamu. Nelayan biasanya
menggunakan alat tangkap jaring dengan daerah tangkapan sekitar Pulau Rote, Pulau Flores,
Pulau Semau dan Pulau Alor. Modal melaut seperti kapal, alat tangkap, dan bensin
disediakan oleh bos (Tauke) yang menjadi pemodal, hubungan kerjasama yang terjadi adalah
bagi hasil.

Pulau Kera memiliki sarana prasarana yang tergolong sangat minim, bahkan sarana dasar
penunjang kehidupan seperti sumber air tawar, listrik, dan transportasi tidak dimiliki oleh
Pulau Kera karena tidak adanya bantuan pemerintah yang masuk ke pulau ini walaupun dekat
dengan ibukota provinsi yakni Kupang. Sarana yang sudah ada rata-rata dibangun dengan
dana swadaya masyarakat dan sumbangan dari LSM/Lembaga Keagamaan.

Tidak terdapat sarana transportasi, yang ada hanya jalan setapak yang menghubungkan
kampung dengan sumur dan bagian tengah pulau. Pulau Kera belum dialiri listrik sebagai
sarana penerangan, terdapat 1 (satu) rumah dan masjid yang memiliki genset sebagai sumber
listrik namun jarang digunakan karena terkendala biaya pembelian solar sebagai bahan bakar.
Penerangan tiap rumah masih menggunakan lampu petromaks.

Pulau Kera tidak memiliki sumber air tawar di daratan, terdapat tiga sumur dengan sumber
air payau yang sehari-hari biasanya digunakan untuk mandi dan mencuci. 2 sumur
merupakan sumur yang baru dibuat oleh penduduk dan 1 sumur lagi adalah sumur tua yang
ada sejak pendahulu masyarakat Pulau Kera pertama kali datang pada tahun 1911. Untuk
mendapatkan air bersih untuk keperluan memasak dan minum, penduduk harus membeli air
ke Kota Kupang dengan harga Rp. 2000 untuk 20 liter air bersih (setara dengan 1 Jerigen).

Pulau Kera tidak memiliki sarana kesehatan, jika ada penduduk yang sakit maka mereka akan
menyeberang ke puskesmas di Sulamu untuk berobat dan jika sakit yang diderita cukup parah
maka penduduk akan dilarikan ke rumah sakit di Kota Kupang. Penduduk yang akan
melahirkan ditangani oleh dukun beranak setempat, apabila tidak dapat ditangani dukun maka
pasien akan dibawa ke Sulamu. Masyarakat setempat tidak memiliki Jamkesmas dikarenakan
tidak memiliki kartu identitas dan status kependudukan yang belum jelas.

Pulau Kera tidak memiliki sarana pendidikan ataupun sekolah, pernah ada Madrasah
Hifidiyah, satu-satunya Madrasah di Pulau Kera yang kondisi fisiknya sungguh sangat
memprihatinkan dan tidak layak untuk sebuah Madrasah, dibangun secara swadaya oleh
masyarakat Pulau Kera dan baru beroperasi pada Tahun 2007. Madrasah Hifidiyah yang tak
bernama ini dibina oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kupang.

Terdapat satu buah bangunan masjid di Pulau Kera yang merupakan bantuan dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Timur yang diresmikan penggunaannya pada Tahun
2000 dengan kegiatan rutinnya adalah mengaji setiap sore hari menjelang matahari terbenam.

Pulau Kera tidak memiliki sarana sanitasi atau pengolahan sampah dan limbah, sampah
dibuang langsung di pinggir pantai, laut dan sekitar pemukiman, sedangkan limbah rumah
tangga langsung dibuang menuju laut. Terdapat satu buah MCK yang dibangun dengan dana
swadaya masyarakat, namun hingga saat ini pembangunan MCK terhambat karena
kekurangan dana dan tidak adanya saluran air.

Anda mungkin juga menyukai