Anda di halaman 1dari 155

KAPITA SELEKTA TEORI KOMUNIKASI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas akhir

Mata Kuliah Teori Komunikas yang diampu oleh:

Tito Edy Priandono, M.Si.

Alwan Husni Ramdani, M.I.Kom

Disusun Oleh:

Nabil Ibrahim Baria (2103375)

Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Universitas Pendidikan Indonesia

2021
BAB 1: PEMAHAMAN AWAL TEORI KOMUNIKASI

PENDAHULUAN

Sebelum membahas mengenai teori komunikasi, alangkah lebih baik jika


kita memahami terlebih dahulu mengenai apa itu komunikasi secara menyeluruh.
Seperti yang kita ketahui bahwa manusia merupakan mahluk sosial, dimana
manusia tidak bisa hidup tanpa adanya manusia lainnya. Manusia membutuhkan
manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. Sehingga manusia akan
selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Dalam interaksi itu juga, memiliki
tujuan dalam memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Atau mungkin
menyampaikan pesan atau perasaan yang dimiliki manusia itu sendiri. Dan dari
sinilah komuniksi menjadi suatu hal penting. Karena dalam berinterkasi kita akan
selalu melakukan komunikasi. Sehingga dalam prosesnya komunikasi juga bisa
disebut sebagai alat untuk memfasilitasi interkasi yang yang terjadi.

Komunikasi menjadi sangat penting digunakkan dalam kehdiupan


manusia setiap harinya. Komunikasi menjadi sebuah alat yang digunakan manusia
untuk menyampaikan maksud dan juga tujuannya. Hal ini seperti yang dijelaskan
oleh Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson (1979), yang menyatakan bahwa
komunikasi pada hakikatnya memiliki dua fungsi. Yang pertama sebagai
kelangsungan hidup diri-sendiri yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan
kesedaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai
ambisi pribadi. Yang kedua, yaitu untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya
untuk memperbaiki hubunan sosial dan keberdayaan suatu masyarkat (Pearson &
Nelson, 1979; Mulyana, 2017, hlm.5).

Tidak hanya itu, Gordon I. Zimmerman (1977), bersama para ahli lainnya
merumuskan bahwa fungsi dari komunikasi sendiri menjadi dua kategori besar.
Yang pertama seseorang berkomunkasi untu dapat menyelesaikan tugas-tugas
mereka yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dan yang kedua seorang manusia
berkomunikasi karena untuk menciptakan suatu relasi atau hubungan dengan
manusia lainnya (Zimmerman, dkk., 1977; Mulyana, 2017, hlm. 4)
Dari penjelasan menurut para ahli yang telah di bahas sebelumnya, kita
bisa melihat bahwa pada dasarnya komunikasi merupakan unsur penting yang
tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Tetapi komunikasi juga tidak bisa
dianggap sepele. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik, seseorang harus bisa
mempelajarinya dengan baik. Karena pada dasarnya komunikasi yang kita
lakukan kepada setiap orang akan berbeda-beda, misalnya ketika kita
berkomunikasi dengan seseorang yang lebih tua dari kita maka kita akan
menggunakan bahasa dan juga intonasi yang berbeda dengan saat kita
berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki umur yang sama dengan kita.
sehingga dari sini kita bisa mengetahui bahwa pada dasarnya komunikasi juga
perlu dipelajari. Dan dari hal-hal tersebut lahirlah Ilmu Komunikasi. dimana
dalam kajian keilmuannya membahasa tentang bagaiamana manusia
berkomunikasi dengan manusia lainnya. Dengan Ilmu Komunikasi kita dapat
mengetahui cara berkomunikasi yang baik dan benar sesuai dengan keadaan atau
tempatnya.

Tidak hanya mengenai keilmuan, komunikasi yang sering kita lakukan


setiap hari, tanpa kita sadari memiliki pola dan perbedaan di setiap komunikasi
yang kita lakukan. Disaat kita berkomunikasi itulah sering kali juga terjadi sebuah
fenomena dalam komunikasi. hal ini yang kemudian dikaji oleh berbagai ahli
yang mengklasifikasikan fenomena-fenomena tersebut kedalam berbagai macam
Teori Komunikasi. Hal ini bertujuan untuk kita bisa memahami lebih dalam lagi
sebuah komunikasi yang sering terjadi di suatu lingkungan atau wilayah.

Dari penjelasan yang kita lihat di atas, dapat kita kita tarik kesimpulan
bahwa teori komunikasi meupakan sebuah kajian ilmu yang mempelajari
fonemana-fenomena komunikasi yang terjadi dalam suatu lingkungan. Latar
belakang ini lah yang mengilhami beberapa ahli dalam meneliti dan mengkaji
fenomena tersebut sehingga akhirnya menjadi sebuah pemikiran yang nantinya
dituangkan menjadi sebuah teori komunikasi yang kita kenal. Dan dari banyaknya
fenomena yang ada juga yang akhirnya melahirkan banyak pembidangan di dalam
teori komunikasi. Dalam bidang Teori Komunikasi sendiri meliputi banyak aspek
komunikasi. aspek komunikasi ini adalah komunikasi yang sering kita jumpai di
masyarakat umum. Seperti halnya komunikasi dalam media massa, atau
komunikasi dalama suatu organisasi. Dengan adanya teori komunikasi ini lah kita
bisa mempelajari suatu komunikasi sesuai dengan kaidah dan panduan yan benar.

Setelah kita mengetahui sedikit demi sedikit mengenai teori komunikasi,


itu tidak mengeartikan bahwa kita dapat secara instan memahami teori
komunikasi secara menyeluruh. Sehingga hal ini lah yang mungkin melatar
belakangi ditulisnya kapita selekta teori komunikasi ini. Dimana penulis berharap
bahwa kapita selekta ini bisa memandu atau memberikan petunjuk untuk bisa
menjelaskan apa arti dari teori komunikasi secara sederhana dan jelas. Sehingga
orang-orang yang membaca tulisan ini bisa memahami secara sederhana apa arti
dari teori komunikasi. Tidak hanya untuk mahasiswa komunikai tetapi juga bisa
dipahami kepada masyarakat yang mungkin ingin juga memahami mengenai
Teori komunikasi.

MEMAHAMI KOMUNIKASI

1. DEFINISI KOMUNIKASI

Jika kita berbicara mengenai Teoi Komunikasi, kita juga harus memahami
mengenai apa itu komunikasi secara jelas, dan bagaimana bentuk-bentuk
komunikasi itu sendiri. Seperti apa yang dijelaskan di halaman sebelumnya,
komunikasi memiliki tujuan yang berbeda menurut para ahli. Tetapi secara garis
besar kita bisa menyebutkan bahwa komunikasi memiliki tujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusi, atau sekedar seabagai alat penunjang seseorang dapat
berinterkasi dengan manusia lainnya. Tetapi kita belum mengetahui definisi atau
pemaknaan dari komunikasi itu sendiri.

Komunikasi sendiri jika diaartikan kedalam bahasa inggris adalah


communication yang berasal dari kata latin communis yang memiliki arti “sama”,
sedangkan communico, communicatio, communicare memiliki arti “membuat
sama” (to make commons). Dari kata dan istilah inilah pemaknaan mengenai
konuikasi berawal. Dapat kita simpulkan bahwa komunikasi menyarankan bahwa
suatu pikiran atau makna dalam suatu pesan dalam dimaknai dengan sama
(Mulyana, 2017, hlm. 46). Dari sini kita bisa mengetahui bahwa dari pemaknaa
kata sendiri komunikasi memiliki arti yang berhubungan mengenai pemaknaan
suatu pesan atau makna yang ada. Sehingga kita dapat sedikit memahami bahwa
komunikasi sendiri memiliki arti dalam menyamakan suatu makna atau pesan
yang diberikan oleh seseorang.

Setelah kita mengetahui arti dari makan komunkasi itu sendiri, mungkin
kita akan memiliki sebuah bayangan mengenai komunikasi. Tetapi kita belum
memahami secara pasti dan jelas mengenai pengetian komunikasi menurut para
ahli yang ada. Karena pada dasarnya arti komunikasi bagi setiap orang dapat
dimaknai dengan berbeda beda. Hal ini didasari oleh latar belakang yang berbeda-
beda yang dimiliki oleh ahli yang memaknai komunikasi itu sendiri. Hal ini
seperti yang dijelaskan oleh Katherine Miller, yang menyatakan bahwa
pendefinisian komunikasi merupakan suatu hal yang cukup dilematis. Ia juga
menyampaikan bahwa, konseptualisasi komunikasi telah melimpah dan telah
berubah secara substansial selama bertahun-tahun (Miller, 2005; West & Turner,
2010, hlm. 4). Dari sini kita bisa melihat bahwa pada dasarnya dengan
berkembangnya waktu dan peubahan yang ada, membawa dampak juga kepada
makna dari komunikasi itu sendiri. Baik itu komunikasi secara verbal maupun
secara non-verbal. Banyaknya ahli yang menuangkan hasil pemikirannya juga
mmebuat komunikasi tidak memiliki sebuah acuan definisi yang pasti.

Tetapi bukan berarti komunikasi tidak memiliki makna atau definisi.


Justru dengan berbagai pemahaman ini lah komunikasi dapat didefinisikan secara
luas. Dan dari definisi yang banyak dikemukan oleh ahli ada, ada tiga dimensi
konseptualisasi yang mendasari dari berbagai definisi komunikasi yang ada. Tiga
hal tersebut meliputi Tiga dimensi, dan hal ini dijelaskan oleh Fank Dance.
Menurutnya ada tiga hal yang menjadi dasar dari sekian banyak pendefinisian
komunikasi oleh berbagai macam ahli. Yang pertama, ialah dimensi observasi.
Disini dijelaskan bahwa definisi komunikasi yang menjelaskan mengenai ada
bebrapa definisi yang menjelaskan definisi komunikasi secara luas dan ada pula
yang menjelaskan tentang definisi komunikasi terlalu sempit, hal ini bisa terjadi
berdasarkan hal yang mereka observasi. Lalu dimensi yang kedua berbicara
mengenai kesenjangan yang ada pada pendefinisan komunikasi. Adanya beberapa
definisi yang hanya menjelaskan mengenai komunikasi hanyalah persoalan
mengirim dan menerima pesan, dan definisi lain yang menuntut adanya koteks
dalam sebuah komunikasi, adalah salah satu contoh bahwa ada kesenjangan dalam
definisi komunikasi. Lalu muncul juga pendefenisian komunikasi yang berbicara
mengenai komunikasi bisa melalui proses yang dapat dimaknai sama oleh dua
belah pihak, sehingga tidak terjadi adanya kesenjangan. Lalu dimensi yang
terkahir adalh tentang penilaian normatif. Hal merujuk kepada definisi yang coba
menjelaskan bahwa komunikasi merupakan sebuah prtukuran verbal dari sebuah
pikiran atau gagasan yang ada. Dari sini kita bisa melihat bahwa hal ini juga
merupakan sebuah bukti dari keragaman pemaknaan terhadap komunikasi.
Sehingga suatu hal yang dapat kits sadari jika pada dasarnya komunikasi tidak
memiliki satu definisi pasti.

Setelah kita mengetahui bahwa definisi komunikasi tidak memiliki satu


definisi yang pasti. Kita juga harus mengetahui pendefinisian yang diberikan oleh
para ahli, agar kita dapat memahaminya secara menyeluruh. Hal ini juga perlu
untuk menjadi panduan untuk kita dalam memahami Teori Komunikasi. Tidak
hanya itu, ini juga memberikan gambaran yang beragam kepada kita dalam
memahami komunikasi jga teori komunikasi. Para ahli sendiri memiliki pendapat
yang cukup berbeda-beda mengenai komunikasi. Definisi yang paling banyak
dikenal oleh orang-orang adalah definis yang dijelaskan oleh Harold Laswell, ia
menyatakan bahwa dalam menggambarkan komunikasi kita cukup pertanyaan
“who says what in which channel to whom with what effect.” Atau dapat diartikan
sebagai siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh
bagaimana (Mulyana, 2017, hlm. 69). Dari sini saja sebernarnya cukup
menjelaskan pula komponen apa yang ada dalam suatu komunikasi, yang pertama
yakni siapa orang yang melakukan komunikasi tersebut. Hal ini bisa kita katakan
meliputi komunikator serta komunikan. Lalu mengatakan apa, dapat diartikan
sebagai dari pesan atau maksud dari komunikasi tersebut. Selanjutnya apa yang
dimaksud dengan asluran apa adalah media adalah media atau akat dari
komunikasi tersebut, misalnya ketika kita berkomunikasi melalui media sosial
maka media yang kita gunakan adalah aplikasi media sosial tersebut, atau ketika
kita berbincang dengan teman kita maka kita sedang melakukan komunikasi
dengan media secara langsung. Berikutnya ada yang dimaksud dengan kepada
siapa, hal ini berupa subjek atau orang yang berusaha kita tujua dalam komunikasi
yang kita lakukan. sehingga bisa diartikan juga sebagai komunikan atau orang
yang menerima pesan. Lalu yang terakhir ialah pengaruh bagaimana, adalah efek
dari komunikasi tersebut. Bisa kita katakan juga bahwa ini adalah efek yang
diberikan atau maksud yang ingin kita berikan dalam berkomunikasi. Setelah
melihat penjelasan yang tersebut, secara sederhana kita bisa mengasumsikan
bahwa Laswell berusaha mengatakan bahwa dasarnya komunikasi adalah tentang
seorang individu yang mencoba menyampaikan pesan menggunakan alat atau
media kepada individu lainnya dan memiliki maksud atau tujuan dari pesan yang
berusaha disampaikan oleh sang pengirim pesan, atau yang bisa kita sebut sebagi
komunikator. Apakah dengan membahas pendapat satu ahli ini kita dapat
mengetahui komunikasi secara menyeluruh ? sepertinya tidak. Dengan hal ini
mungkin kita dapat memberikan bagaimana komunikasi berjalan, tetapi untuk
memahi secara benar Teori Komunikasi kita juga harus melihat sudut pandang
yang lain yang coba diberikan oleh ahli lainnya.

Seperti yang berusaha disampaikan oleh ahli lainnya yaitu Carl I. Hovland,
setelah ia meneliti komunikasi ia memiliki pendapat bahwa “Komunikasi adalah
proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan
(biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain
(komunikate)” (Mulyana, 2017, hlm. 68). Pendapat yang coba dijelaskan oleh
Hovland pada dasarnya memiliki kemiripan dengan apa yang disampaikan oleh
Laswell sebelumnya. Disini juga ia menyinggung persoalan mengenai ‘pemberian
rangsangan’ yang dilakukan oleh seorang komunikator atau orang yang mencoba
menyampaikan pesan kepada komunikan atau sang penerima pesan. Tetapi
pendapat ini memiliki sedikit perbedaan, disini Hovland mengatakan bahwa
komunikasi memiliki tujuan dalam mengubah perilaku orang lain. Hal ini adalah
suatu yang masuk akal, dimana jika seseorang menyampaiakn pesan saat
berkomunikasi maka ada pesan yang berusaha dituju yang bisa mengubah
perilaku orang lain. Sehingga bisa dikatan bahwa pendapat ini juga mencoba
menjelaskan tujuan dan efek dari komunikasi yang dilakukan oleh sang
penyampai pesan atau si Komuniator. Tidak hanya itu, pemikiran yang berusaha
disampaikan mengenai komunikasi disini tidak hanya betumpu kepada tujuan efek
dari si komunikasi tersebut. Disini juga dijelaskan mengenai adanya lambang atau
simbol verbal. Sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwa komuniksai juga
adalah suatu proses yang melibatkan simbol dan juga lambang. Simbol dan
lambang ini sendiri dapat berbentuk verbal maupun non-verbal. Seperti ketika kita
beusaha berkomunikasi dengan teman kita, mungkin kita memiliki simbol tertentu
dalam menyampaikan sesuatu. Begitu pula dengan komunikasi non-verbal, ada
simbol atau lambang tersendiri yang mewakili sesuatu dalam proses komunikasi
kita. Disini juga dapat memahami bahwa komunikasi tidak terpaku kepada proses
verbal, tetapi komunikasi juga dapat dilakukan dengan non-verbal. Dari pendapat
Hovland ini kita bisa mengathui bahwa komunikasi tidak hanya persoalan dalam
meyampaikan pesan, tetapi juga ada beberapa hal yang mendasari komunikasi
tersebut dan bagaimana komunikasi tersebut disampaikan. Tanpa kita sendiri,
dengan memahami pendapat para ahli kita bisa mengetahui komunikasi dengan
lebih luas, dan hal ini merupakan salah satu tujuan mengapa kita berusaha
memahami pemikiran yang disampaikan oleh para ahli. Karena seperti apa yang
dijelaskan sebelumnya bahwa setiap orang bisa memahami komunikasi berbeda-
beda dan berdasarkan latar belakang mereka yang berbeda-beda.

Komunikasi juga tidak terpaku kepada penyampaian pesan searah yang


dilakukan oleh komunikator kepada komunikan. Tetapi lebih dari itu komunikasi
juga bisa diartiakn sebagai interkasi diantara dua individu atau lebih. Dari apa
yang dijelaskan oleh beberapa ahli diatas, komunikasi hanya terdengar seperti
proses penyampaian pesan satu arah tanpa adanya respon balik kepada sang
komunikator. Sedangkan dalam pembahasan ini kita akan melihat bahwa
komunikasi juga merupakan sebuah proses interkasi yang tidak hanya semata
kepada proses satu arah. Dalam artiannya komunikasi sebagai sebuah interkasi
berarti bahwa komunikasi tersebut terdapat aksi dan juga reaksi yang arahnya
terus bergantian, atau adanya sebab akibat dalam proses komunikasi tersebut.
salah satu unsur yang ada dalam komunikasi dua arah ini ialah feedback atau
umpan balik. Yang dapat kita pahami sebagai sebuah respon yang diberikan oleh
komunikan sebagai penerima pesan kepada komunikator sang pengirim pesan.

2. FUNGSI KOMUNIKASI

Setelah cukup memahami pengertian komunikasi, mungkin akan mencari


alasan mengapa seorang manusia melakukan komunikasi, dan apa yang membuat
seorang individu melakukan komunikasi. Dan semua jawaban-jawaban tersebut
akan kita bahas kali.

Seperti yang dijelaskan di awal, bahwa manusia hakikatnya merupakan


mahluk sosial. Dimana dalam menjalani kehidupannya manusia membutuhkan
manusia lainnya, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Sehingga dari sini lah kita bisa melihat bahwa manusia akan selalu melakukan
interaksi dengan manusia lainnya. Interaksi ini juga memiliki tujuan yang
berbeda-beda. Dalam proses interaksi inilah komunikasi hadir sebagai alat dalam
berinteraksi. Sehingga seorang individu tidak bisa tidak melakukan komunikasi
selama hidupnya. Hal ini jelas berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, bahwa
manusia merupakan mahluk sosial sehingga akan selalu membutuhkan manusia
lainnya dalam memenuhi kebutuhannya. Tetapi komunikasi juga tidak hanya
berfungsi dalam menyampaikan kebutuhan-kebutuhan manusia, lebih dari itu
komunikasi memiliki beberapa fungsi lainnya

 Fungsi sosial

Dalam konteks ini, komunikasi memiliki fungsi dalam membangun


konsep dalam diri kita, aktualisasi diri, memperoleh kebahagian, aktualisasi diri,
dan hal-hal lainnya yang memiliki hubungan dengan keberlangsungan hidup kita.
Hal ini juga serupa dengan apa yang dijelaskan paragraf sebelumnya, bahwa
komunikasi berguna dalam memenehi kebutuhan dari seorang individu. Lebih
jauh dari itu, komunikasi sebagai fungsi sosial juga bisa berupa bagaimana kita
beradaptasi dengan sebuah lingkungan. Dalam melakukan adapatasi kita pasti
akan selalu mencoba untuk bisa menyesusaikan diri kita dengan lingkungan
sekitar, disinilah komunikasi hadir sebagai salah satu cara untuk kita dalam
eradaptasi dalam sebuah lingkungan yang ada. Dengan komunikasi ini kita jadi
bisa mengetahui seperti apa lingkungan kita sebenarnya. Dalam konteks ini juga
komunikasi juga bisa kita sebut sebagai salah satu cara dalam menjalin hubungan.

 Fungsi Ekspresif

Fungsi yang kedua adalah komunikasi bisa sebagai bentuk


mengekspresikan diri. Komunikasi ini juga sering disebut sebagai komunikasi
ekspresif. Dalam hal ini, seseorang bisa menunjukan bagaimana ekspresinya
terhadap suatu hal melalui komunikasi. Baik itu dikomunikasi secara werbal
ataupun melalui media lainnya. Seperti ketika seseorang merasa kesal atau sedang
marah secara tidak spontan orang tersebut mengumpat atau meracau tidak jelas.
Hal tersebut merupakan salah satu contoh komunikasi memiliki fungsi ekspresif.
Atau ketika seorang anak kecil dibelikan mainan oleh orang tuanya, dan ia merasa
senang, anak tersebut mungkin akan tersenyum dan bersifat ramah kepada orang
tuanya. Hal tersebut juga bisa kita asumsikan sebagai salah satu conroh
komunikasi ekspresif. Walaupun anak tersebut tidak menyampaikannya secara
verbal, tetapi anak tersebut berusaha menyampaikan bahwa dirinya sedang merasa
senang melalui gestur yang bisa kita artikan sebagai komunikasi non-verbal dari
anak tersebut. Hal lainnya dalam komunikasi ekspresif ialah ketika seseorang
ingin menyalurkan emosi atau ekspresinya keapda bentuk karya seni. Seperti
menyalurkannya kedalam sebuah lagu, puisi, atau pun lukisan merupakan sebuah
bentuk dari komunikasi ekspresif, dimana sang pembuat karya seni tersebut
mencoba berkomunikasi dengan orang-orang yang menikmati seni yang mereka
buat. Sehingga seseorang yang sedang membuat sebuha karya seni meupakan
bentuk komunikasi mereka terhadap suatu hal yang mereka rasakan.

 Fungsi Ritual

Fungsi komunikasi yang terakhir ini, pada dasarnya memiliki keterkaitan


dengan komunikasi ekpresif yang kita bahas sebelumnya. Yakni komunikasi yang
memiliki fungsi dalam suatu ritua atau upacara. Ketika ebuah kelompok atau
komunitas mengdakan sebuha acara, maka komunikasi memilii peran dalam
prosesnya. Atau hal yang paling mudah dapat kita lihat ketika seorang Muslim
melakukan ibadah solat, maka sebenernya ia sedang melakukan komunikasi
dengan tuhannya, atau ketika seseorang sedang berdoa debelum melakukan
sesuatu. Pada dasarnya kita seolah-olah sedang berkomunikasi, Sehingga
komunikasi memilii fungsi dalam ritual. Contohnya lainnya ketika seseorang
ingin melangsukan pernikahan, sebelumnya akan melalui proses lamaran. Dimana
sang mempelai pria, mengirim perwakilannya untuk menyampaikan maksud dari
mempelai pria. Untuk meminta kesedian keluarga dari mempelai wanita untuk
menjadikan mempelai wanita istri dari mempelai pria. Dalam proses atau ritual
tersebut komunikasi berperan sangat penting dimana komunikasi diantara dua
keluarga tersebut menetuka bagaimana proses lamaran tersebut berlangsung.
Dengan contoh-contoh diatas kita dapat melihat bahwa komunikasi memiliki
fungsi yang melebihi dari apa yang kita kira.

3. MODEL KOMUNIKASI

Setelah kita mengetahui apa itu komunikasi dan juga bagaimana


komunikasi berfungsi dalam kehidupan kita, kita juga harus mengetahui
bagaimana komunikasi memiliki berbagai macam model. Jadi pada pembahasan
ini kita akan membahas mengenai model-model yang ada dalam komunikasi. Hal
ini juga bertujuan untuk kita dapat lebih memahami lagi komunikasi agar bisa
menjadi landasan awal untuk memahami Teori Komunikasi secara benar dan
akurat.

Pada dasarnya model komunikasi dapat diartikan sebagai representasi dari


fenomena komunikasi yang ada dalam lingkungan kita. Tapi bukan berarti model
komunikasi memiliki arti yang sama dengan fenomean komunikasi. Hal ini cukup
memiliki perbedaan, karena sebernya model komunikasi merupakan cara untuk
kita bisa memahami lebih mengenai fenomena komunikasi. pemaknaan mengenai
model komunikasi kemudian dipertegas oleh Sereno dan Mortensen, disana
mereka berpendapat bahwa model komunikasi merupakan deskripsi ideal
mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi. Sehingga dapa
dikatan bahwa model komunikasi juga berbicara mengenai hal-hal apa saja yang
ada dalam suatu komunikasi. Lalu B. Aubrey Fisher, mengatakan bahwa model
adalah analogi yang mengaabstrasikan dan memilih bagian dari keseluruhan,
unsur sifat atau komponen yang penting dari suatu fenomena yang dijadikan
model. Dan bisa dikatan juga bahwa model merupakan sebuah sebuha gambaran
informal mengenai suatu teori yang ada. Dari pendapat yang ada kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa, model komunikasi merupakan suatu gambaran
kepada fenomena komunikasi yang terjadi, dan juga sebagai benrtuk
penggambaran terhadap suatu teori.

Fungsi dan tujuan dari model komunikasi sendiri ada beberapa.


Diantaranya ialah sebagai penguji terhadap struktur yang dimiliki oleh suatu teori
yang dikemukakan oleh seorang ahli dalam teorinya terebut, berdasarkan
kehidupan pada dunisa nyata. Karena teori-teori yang berusaha dikemukakan oleh
seorang ahli, adalah sebuah hasil dari asumsi mereka terhadapa suatu fenomena
yang ada. Sehingga model komunikasi bisa juga berfungsi sebagai penguji dari
suatu teori terebut. Sedangkan menurut Gordon Wiseman dan Larry Barker,
model komunikasi mmiliki tiga fungsi: yang pertama ialah untuk melukiskan
sebuah proses dari komunikasi; lalu yang kedua memiliki fungsi sebagai
menunjukan hubungan visual, dan yang terkahir memiliki fungsi sebagai
membantu dalam menemukan dan memperbaiki kemacetan komunikasi.

Model komunikasi juga sangat bermanfaat untuk para ahli yang sedang
melakukan penelitian terhadap suatu fenomena yang ada. Hal ini seperti apa yang
dijelaskan oleh Irwin D. J. Bross menyebutkan beberapa keuntungan modole
komunikasi ialah, model mnyediakan kerangka rujukan untuk kita memikirkan
masalah, bila model awal tidak berhasil memprediksi. Sehingga dari sini juga bisa
kita katakan bahwa model disini bisa sebagai panduan untuk para ahli dalam
membuat sebuah struktur dalam suatu teori yang ada.

Model komunikasi sendiri memiliki beberapa penggolongan berdasarkan


berbagai cara. Seperti apa yang dikatan oleh Gerhard J. Hanneman dan William J.
McEwen, mereka berpendapata bahawa mengggambarkan sebuah taksonomi
model yang mudah dipahami, dalam suatu grafik, yang melukiskan derajat
abstraksi berlainan. Beberrapa model-model kounikasi yang sering digunakan
dalam kalnagan para ahli komunikasi adalah sebagai berikut

 Model Komunikasi S-R (Stimulus dan Respons)


Model ini adalah model komunikasi yang paling dasar. Model ini juga
memiliki keterkaitan dengan dengan disiplin ilmu psikologi. Dalam model
komunikasi S-R ini dijelaskan bahwa kata-kata verbal baik dalam bentuk
lisan maupun tulisan, isyarat-isyarat non-verbal, gambar, dan tindakan
tertentu akan merangsang orang lain untuk memeberikan respon terhadap
dengan cara-cara tertentu. Sehingga kita bisa memahaminya sebaga
pertukaran informasi atau gagasan. Proses komunikasi ini juga dapat
dilakukan secara timbal-balik. Dan memiliki efek tersendiri. Komunikasi
dalam model ini sendiri bisa berbentuk ngeatif maupun positif.
 Model Aristoteles
Model yang kedua, ialah model yang dikemukakan oleh salah seorang
cendekiawan terhebat dalam sejarah manusia. Yakni model yang
dikemukakan oleh Aristoteles. Model komunikasi ini sendiri, merupakan
model komunikasi yang bisa dibilang klasik. Model komunikasi ini juga
biasa disebut sebagai model komunikasi retoris atau rhetorical model.
Dalam model ini dijelaskan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa,
sebuha persuassi dapat dicapai oleh siapa anda, argumen anda, dan dengan
memainkan emosi khalayak. Yang bisa kita sederhanakan bahwa faktor
yang mendasari timbulnya efek persuasi dalam khalayak adalah
berdasarkan bagaimana cara memainkan pidato, susunannya, dan cara
penyampaiannya. Jadi model komunikasi ini berbicara mengenai
komunikasi verbal yang dilakukan kepada masyarakat umum.
 Model Komunikasi Laswell
Model komunikasi ini sebenrnya sempat disinggung pada pembahasan
sebelumnya, dimana Harold Laswell (1948) menyebutkan bahwa
komunikasi dapat digambarkan kedalam jawaban dari “who says what in
which channel to whom with what effect.” Dalam model komunikasi ini
mencoba menjelaskan bahwa komunikasi terdiri dari beberapa komponen
seperti, komunikator, komunikasn, media, dan ada ebberapa komponen
lainnya. Laswell disini juga menjelaskan bahwa ada tiga fungsi
komunikasi, yakni: pertama sebagai pengawas lingkungan yang
mengingatkan anggota-anggota masyarakat bahwa akan bahaya dan
peluang dalam lingkungan, kedua mengenai korelasi berbagai bagian
terpisah dalam masyarakat yang merespon lingkungan, dan yang terakhir
ialah mengenai transmisi warisan sosial dari suatu generasi ke generasi
lainnya.
 Model Komunikasi Shanon dan Weaver
model ini membahas perihal persoalanpada mengirim pesan berdasarkan
tingkat kecermatannya. model ini mengandaikan sebuah sumber daya
berita (source information) yg membangun sebuah pesan (message)serta
mengirimnya dengan suatu saluran (channel) kepada penerima (receiver)
yg nantinya menghasilkan ulang (recreate) pesan tadi. dengan istilah lain,
model ini mengasumsikan bahwa sumber daya info menciptakan pesan
berasalseperangkat pesan yg tersedia. Pemancar (transmitter) mengubah
pesan menjadi sinyal yang serupa dengan saluran yang digunakan. target
(destination) merupakan orang yang sebagai tujuan pesanitu.Saluran
artinya media yg mengirim tanda berasal pemancar pada penerima. pada
dalam percakapan, asal berita adalah otak, pemancar artinya suara yang
membentuk pertanda yg dipancarkan sang udara. Penerima merupakan
prosedur telinga yang kemudian merekonstruksi pesan berasal dari
pertanda itu. Tujuannya ialah otak si penerima. serta konsep penting pada
model ini ialah gangguan.
 Model Komunikasi Scrahmm
Wilbur Scheram (1954) membentuk serangkai contoh komunikasi, dimulai
dengan model komunikasi insan yang sederhana, lalu contoh yang lebih
rumit yang memperhitungkan pengalaman 2 individu yang mencoba
berkomunikasi, sampai ke contoh komunikasi yang diklaim interaksi dua
individu. contoh pertama seperti dengan contoh Shannon dan Weaver
model yg kedua Schramm memperkenalkan gagasan bahwa kesamaan
dalam bidang pengalaman asal serta sasaranlah yang sebenarnya
dikomunikasikan, sebab bagian sinyal itulah yg dianut sama sang sumber
dan target. contoh yang ketiga Schramm menanggap komunikasi menjadi
hubungan dengan kedua pihak yang menyandi(encode), menafsirkan
(interpret), menyandi ulang (decode), mentransmisikan (transmit), serta
menerima frekuwensi(signal). Schramm berpikir bahwa komunikasi selalu
membutuhkan setidaknya tiga unsur :sumber (source),pesan (message),
serta tujuan (destination). Disini kita melihat umpan balik dan lingkaran
yang berkelanjutan untuk mengembangkan berita.
 Model Westley dan Maclean
model ini berbicara pada 2 konteks, komunikasi interperonal serta
massa.serta perbedaan yang paling penting ada diantara komunikasi
interpersonal serta massa artinya pada umpan balik (feedback). pada
interpersonal, umpan balik berlangsung
cepat serta pribadi, sedang di komunikasi massa, umpan baliknya bersifat
tidak pribadi serta lambat. pada komunikasi
interpersonal contoh ini, terdapat 5 bagian : orientasi objek (object
orientation), pesan (messages), sumber (source), penerima (receiver), serta
umpan kembali (feedback). sumber (A) melihat objek atau kegiatan
lainnya pada lingkungannya (X). yang kemudian membuat pesan perihal
hal itu (X') dan lalu dikirimkan kepada penerima (B). pada kesempatan
itu, penerima akan menyampaikan umpan kembali kepada sumber. Sedang
komunikasi massa di contoh ini memiliki bagian tambahan, yaitu
penjaga gerbang atau (gate keeper) atau opinion leader (C) yang akan
menerima pesan (X') asal sumber (A)atau menggunakan melihat kejadian
disekitarnya (X1, X2. lalu opinion leader membuat pesannya sendiri (X")
yang akan dikirim pada penerima (B). sebagai akibatnya proses
penyaringan sudah terbentuk. ada beberapa konsep yang cukup penting
berasal model ini: umpan kembali, perbedaan dan persamaan antara
komunikasi interpersonal dan massa dan opinion leader yang sebagai hal
krusial pada komunikasi massa.contoh ini pula membedakan antara pesan
yang bertujuan dan tidak bertujuan.

Kita bisa melihat beberapa model komunikasi yang digunakan dalam


komunikasi. Dari sana kita jadi bisa mengetahui bagaimana komunikasi memiliki
begitu banyak komponen dalam prosesnya. Model-model komunikasi diatas juga
membantu kita untuk memahami definisi komunikasi secara lebih rinci dan jelas.
Hal ini seprti apa yang dijelaskan sebelumnya bahwa model komunikasi
merupakan sebuah gamabran terhadap fenomena komunikasi yang ada. Dengan
hal ini kita jadi memiliki pondasi pengetahuan untuk memahami teori komunikasi.

MEMAHAMI TEORI

1. METAFORA TEORI

Dalam mempelajari teori komunikasi, kita terlebh dahulu harus bisa


memahami apa itu teori dan juga pa itu komunikasi. Setelah itu baru kita bisa
mencoba untuk memahami teori komunikasi secara menyeleruh. Setelah kita
melihat di oembahasn awal mengenai definisi, fungsi, dan juga model dari
komunikasi, sedikit banyaknya kita bisa memahami apa itu komunikasi dan
bagaimana komunikasi berlangsung. Sehingga pada pembahasan berikutnya kita
akan mencoba memahami apa itu teori

Sebelum kita mencari definisi dari sebuah teori, lebih baik untuk kita
mengerti apa teori terlebih dahulu. Agar kita dapat memahaminya secara jelas.
Karena pada dasarny pengertian teori serupa dengan pengertian komunikasi, yang
aman memiliki banyak sekali pengertian dan pandangan yang berbeda-beda. Hal
ini dikarenakan pemahaman setiap orang akan teori memiliki pemahaman yang
berbeda. Sehingga karena itulah lebih baik untuk kita mengetahui metaforaatau
penggambaran oleh para ahli mengenai teori. Berikut adalah metafora yang
memaknai teori.

Metafora yang pertama datang dari seorang ahli bernama Karl popper.
Dalam metafora ini Karl menjelaskan bahwa, teori adalah jaring yang
dilemparkan untuk kita menangkap apa yang disebut oleh kita sebagai ‘dunia’.
Yang kemudian kita akan berusaha membuat jala yang ada semakin halus. Disini
kita bisa mengartikan bahwa teori semnakin lama makan akan selalu ada
perubahan terhadap teori tersebut, semakin banyak sesuatu hal yang kita dapat
maka ‘jaring’ yang kita punya pun akan semakin luas. Pemahaman ‘dunia’ disini
juga diartikan sebagai pengetahuan yang tidak ada batasannya. Sehingga dapat
dikatan juga bahwa teori bisa kita gunakan untuk kita bisa memahami ilmu secara
lebih luas, dan dengan berjalannya waktu pemahaman kita mengenai teori pun
dapat berubah seiring banyaknya pemahaman yang kita dapatkan.

Lalu metafora yang kedua adalah berbicara bahwa, teori adalah tidak lain
dari sebuah lensa. Hal ini merujuk kepada sebuah lensa kamera, dimana objek
yang kita lihat menggunakan kamera. Maka objek tersebut jugalah yang kemudian
menjadi hasil foto dari kamera tersebut. Sehingga dapat diartikan bahwa teori
dapat membangun sebuah sudut pandang kita terhadao suatu permasalahan yang
ada. Dimana kita akan lebih mefokuskan kepada suatu fitur yang ada dalam
komunikasi dan mengabaikan fitur lainnya. seperti halnya ketika dua ahli
komunikasi melihat suatu permasalahan yang sama tetapi memiliki pemahaman
yang berbeda. Sehingga teori sendiri dapat membentuk bagaimana cara kita
berpikir.

Metafora yang ketiga menjelaskan bahwa teori digambarkan sebagai peta.


Jika seseorang merasa diriny tersesat dan ingin menentukan arah, maka ia akan
membutuhkan sebuah peta untuk memandunya menemukan arah yang tetap.
Begitu pula teori, teori disini digambarkan sebagai panduan untuk kita dalam
memahami suatu ilmu atau kajian mengenai suatu hal yang ada. Peta yang baik
merupakan sebuah peta yang dapat menentukan arah dan juga batasan-batasan
dalam suatu wilayah. Begitu pula dengan teori, teori yang baik adalah teori yang
dapat membantu memberikan pemahaman terhadap ilmu atau konteks yang
berkaitan denga teori tersebut.

Dari metafora yang ada dapat kita simpulkan, bahwa teori meupakan suatu
komponen penting untuk kita memahami secara benar mengenai suatu ilmu
pengetahuan yang ada. Dengan teori kita jadi bisa menambah pengeathuan kita
terhadap pengetahuan yang ingin kita ketahui, dan semakin bertambahnya ilmu
tersebut maka akan beubah juga pemahaman kita terhadap suatu teori yang ada.
Teori juga disini dijelaskan bisa menciptakan sebuah persepsi mengenai persoalan
yang ada, yang mana nantinya akan membangun pemikira atau pendapat yang
berbeda-beda. Dan teori juga dapat kita artikan sebagai peta yang memandu kita
untuk mengetahui suatu pengetahuan, agar kita dapat memahami secara tepat dan
akurat.
2. DEFINISI TEORI

Setelah memahami bagaimana sebuah teori digambarkan, maka kita


sedikit mengetahui apa itu teori secara sederhana. Tetapi pemahaman itu belum
cukup untuk menjadi landasan untuk kita dapat memahami apa itu teori
komunikasi secar meyeluruh. Untuk dapat memahami teori komunikasi secar
benar maka kita harus memahami teori itu sendiri secara lebih jelas lagi. Sehingga
kita juga harus mengetahui definisi dari teori itu sendiri.

Definisi teori sendiri sebenarnya tidak meiliki suatu acuan, atau memiliki
satu definisi pasti. Ini dikarenakan banyaknya pemahaman yang berbeda-beda
yang coba dikemukakan ole berbagai ahli. Hal ini didukung oleh pendapat Em
Griffin (2018) dan beberapa ahli lainnya yang ia tuangkan dalam karya bukunya.
Disana ia menjelaskan bahwa teori dapat di definisikan sebagai sebuah firasat atau
dugaan mengenai suatu permasalahan, yang kemudian dikaji lebih lanjut lagi
sehingga melahirkan teori. Karena teori adalah sebuah dugaan atau firasat, maka
akan berbeda untuk dimaknai setiap orangnya.

Kemudian pendapat berbeda coba dijelaskan juga oleh ahli lainnya, yakni
Jude Burgoon. Ia mengatakan bahwa jika teori bukan semata hanya sebatas pada
sebuah firasat atau dugaan. Tetapi teori adalah sebuah firasat atau dugaan yang
harus diinformasikan. Karena menurutnya jika firasat atau dugaan hanya menajdi
firasat belaka tanpa diinformasikan maka hal tersebut belum dapat disebut sebagai
teori. Menurut Burgoon juga, Sebelum mengembangkan teori, ada artikel untuk
dibaca, orang untuk diajak bicara, tindakan untuk diamati, atau eksperimen untuk
dijalankan, semuanyayang dapat menerangi subjek. Paling tidak, ahli teori harus
terbiasa dengan penjelasan dan interpretasi alternatif dari jenis fenomena yang
mereka pelajari. Tidak hanya itu, menurutnya Teori-teori tidak hanya didasarkan
pada kesan-kesan yang samar-samar dan juga tidak disengaja oleh produk-produk
kehidupan. Teori cenderung dihasilkan ketika penciptanya telah mempersiapkan
diri untuk menemukan sesuatu di lingkungan mereka, yang memicu proses
konstruksi teori.
Tidak hanya Jude Burgoon yang memiliki definisi mengenai tepri, banyak
ahli lain juga memiliki pendapat yang beragam. Secara umum, teori adalah sistem
konsep abstrak dengan indikasi hubungan di antara konsep-konsep ini yang
membantu kita memahami suatu fenomena. Stephen Littlejohn dan Karen Foss
(2008) menyarankan sistem abstrak ini diturunkan melalui observasi sistematis.
Jonathan H. Turner (1986) mendefinisikan teori sebagai “suatu proses
mengembangkan ide-ide yang memungkinkan kita untuk menjelaskan bagaimana
dan mengapa suatu peristiwa terjadi”. Definisi ini berfokus pada sifat pemikiran
teoretis tanpa menentukan dengan tepat apa hasil pemikiran ini. William Doherty
dan rekan-rekannya (1993) telah menguraikan definisi Turner dengan menyatakan
bahwa teori adalah proses dan produk: “Berteori adalah proses secara sistematis
merumuskan dan mengatur ide-ide untuk memahami fenomena tertentu. Sebuah
teori adalah seperangkat ide yang saling berhubungan yang muncul dari proses
ini”. Dalam definisi ini, penulis berusaha untuk menjadi inklusif. Mereka tidak
menggunakan kata penjelasan Turner karena tujuan teori bisa lebih banyak dari
sekadar penjelasan, poin yang akan kita jelajahi nanti di bab ini. Dalam diskusi
singkat ini, Anda mungkin telah memperhatikan bahwa para ahli teori yang
berbeda mendekati definisi teori dengan agak berbeda. Pencarian definisi teori
yang diterima secara universal adalah tugas yang sulit, jika bukan tidak mungkin.
Ketika mendefinisikan istilah teori, seperti yang diamati oleh DC Phillips (1992),
"tidak ada penggunaan yang benar yang ditetapkan secara ilahi, tetapi kita dapat
berusaha untuk menggunakan kata itu secara konsisten dan untuk menandai
perbedaan yang kita rasa penting" Sebagian, kesulitan dalam mendefinisikan teori
adalah karena banyak cara di mana teori dapat diklasifikasikan atau dikategorikan.
Di sini kami memperbaiki definisi kami dengan memeriksa fitur dan atribut teori
berikut: tingkat umum, komponen, dan tujuan.

Dari pembahasan diatas kita bisa melihat bahwa pemaknaan dari teori oleh
para ahli berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa teori adalah sebuah firasat
atau dugaan yang kemudian harus dinformasikan agar bisa menjadi sebuha teori.
Ada pula yang berpendapat bahwa teori, adalah konsep abstrak yang membantu
kita dalam memahami sebuha fenomena yang ada. Lalu ada ahli juga yang
mendefinisikan tepri sebagai seuatu proses untuk mengembangkan ide-ide yang
kita miliki, yang mana ide-ide tersebut nantinya dapat membantu kita untuk
memahami suatu kejadian fenomena yang ada. Sehiingga dapat dikatan bahwa
teori membantu kita untuk memahami sesuatu secara lebih mudah. Dan pendapat
terkahir mengenai definisi dari teori mengatakan, bahwa berteori adalah
mengenai proses dalam pemaknaan fenomena dengan cara merumuskan sesuatu
secara sitematis. Dari sini kita bisa melihat bahwa secara garis besar, dapat
dikatan bahwa teori merupkan suatu cara untuk kita bisa memahami secara lebih
mudah dan akurat mengenai suatu fenomean yang terjadi. Sehingga dapat dikatan
bahwa teori meupakan sebuah pondasi awal untuk kita bisa memahami suatu ilmu
pengetahuuan secara menyeluruh. Dari sini juga kita bisa melihat bahwa apa yang
diga,barkan oleh ahli dalam metafora sebuha teori, dengan pendefinisiannya
memiliki kesamaan. Dan dengan hal ini juga dapat diartika bahwa teori
komunikasi merupakan kajian penting untuk kita memahami mengenai
komunikasi.

3. KETERKAITAN TEORI DENGAN RISET

Jika kita berbicara mengenai teori, maka kita juga tidak bisa tidak
membahasa mengenai riset. Dalam menemukan teori yang akurat serta sesuai
dengan kenyataan yang ada pada lingkungan pada dunia nyata. Maka dari itu
untuk dapat menemukan data yang diinginkan dalam sebuah teori, diperlukan riset
terlebih dahulu.

Dalam perjalanan menemui atau mencipatakan sebuah teori, terlebih


dahulu kita akan melakukan suatu riset terhadap permasalahan yang ada. Rsiet
sendiri bisa diartikan sebagai tindakan kita untuk memahami suatu masalah secara
menyeluruh. Riset pada dasarny kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, sepert
kita ingin membeli sebuah motor maka kita akan melakukan riset terlebih dahulu.
Rsiet yang kita lakukan pada kegiatan sehari-hari merupakan sebuah riset non-
ilmiah, perbeda dengan riset yang dilakukan dalam penelitian atau pengembangan
suatu teori yang beradasarkan metode ilmiah. Pengertian lebih jelas mengenai
riset dijelaskna oleh Rachmat Kriyantono (2006) dalam bukunya, menurutnya
riset adalah suatu proses penyelidikan terhadap sesuatu secara hati-hati, sistematis
dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip dalam suatu penyeledikan cermat guna
menetapkan suatu keputusan dengan tepat. Menurutnya riset sendiri memiliki
tujuan untuk menemukan suatu fakta yang ada dalam suatu fenomena yang ada.

Riset sendiri sangat erat kaitannya dengan sebuah teori. Menurut apa yang
dijelaskan sebelumnya, sesuatu gagasan bisa menjadi sebuah teori setelah
dilakukannya analisis melalui metode ilmiah yang ada. Sehingga riset merupakan
suatu tahapan dalam terciptanya suatu teori.Hal ini menjadi penting mengingat
jika kita ingin menemukan suatu teori yang baik atau sesuai dengan fakta yang
ada, maka kita akan melakukan riset berdasarkan suatu fenomena yang terjadi.
Sedangkan dalam melakukan suatu riset atau penelitian kita akan menggunakan
sebuah teori dalam menganalisis suatu permasalahan atau pun fenomena yang ada.
Sehingga hubungan antara riset dan teori sangat erat kaitannya, sebuah teori akan
membutuhkan riset dan sebuah riset akan menggunakan sebuah teori.

Riset juga merupakan sebuah tindakan dalam penggamabaran atas sesuatu,


dalam penggambaran tersebut kita bisa menggunakan pendekatan yang berbeda.
Pendekatan yang berbeda ini digunakan dalam suatu kondisi penelitian yang
berbeda pula, ini disebabkan oleh bebrebdanya sudut pandang yang dimiliki oleh
setiap orang. satu fenomena bisa diartikan berbeda beda berdasarkan orang yang
melihatnya. Disinilah perspektif hadir dalam menyikapi perbedaan tersebut.
Pendekatan objektif, pendekatan ini berdasarkan metode kuantitatif karena
berdasarkan penilitian data yang berkaitan dengan angka yang ada. Perspektif ini
juga menekankan kepada data yang ada. Pendekatan selanjutnya adalah
pendekatan interpretetif, berbeda dengan pendekatan objektif, pendekatan
inetrpretatif menggunakan metode penilitian kualitatif. Pendekatan ini lebih
menekankan kepada keadaan yang ada pada sosial dan budaya yang ada. Lalu
pendekatan yang terakhir ia lah pendekatan yang terakhir ia lah pendekatan kritis,
dimana pendekatan ini lebih menakankan kepada pembentukan atau
membenarkan suatu teori.
MENGENAL TEORI KOMUNIKASI

1. SEJARAH TEORI KOMUNIKASI

Setelah di pembahasan sebelumnya kita membahas mengenai pemahaman


mengenai teori, dan juga komunikasi, kali ini kita akan membahas dan mencoba
memahami apa itu teori komunikasi. sebelumnya kita harus megetahui terlebih
dahulu mengenai latar belakamh teori komunikasi.

Teori komunikasi, seperti disiplin komunikasi itu sendiri, memiliki sejarah


yang panjang tetapi masa lalu yang singkat. "Komunikasi" sebagai disiplin yang
terorganisir dan sadar diri berasal dari tahun 1950-an dalam inkarnasinya yang
paling awal, berbasis di AS (meskipun bidang serumpun seperti
Zeitungswissenschaft Jerman (ilmu surat kabar) dimulai beberapa dekade
sebelumnya). Pembaca dan buku teks pertama di bidang AS sering dan sering
merujuk pada "teori komunikasi"—dempul intelektual untuk calon disiplin yang,
pada saat itu, merupakan kumpulan karya terkait media dari ilmu-ilmu sosial yang
ada. Tak lama kemudian, frasa “teori komunikasi” juga diklaim oleh para pakar
pidato dan retorika AS, yang pada 1960-an mulai menggunakan label disipliner
yang sama (“komunikasi”) sebagai ilmuwan sosial di seluruh kampus. "Teori
komunikasi" sudah, dalam masa pertumbuhan bidang terorganisir, subjek yang
sulit diatur. Pada saat Wilbur Schramm (1954) memetakan domain teori dari
disiplin baru yang dia coba tempa, namun, tradisi lain telah lama bergulat dengan
pertanyaan mendasar yang sama—terutama "bidang" filsafat, agama, dan retorika
yang terjalin selama ribuan tahun (Peters, 1999). Bahkan jika sarjana komunikasi
AS abad pertengahan membayangkan diri mereka sebagai pemutus masa lalu—
dan bahkan jika “teori komunikasi” adalah label anakronistik untuk, katakanlah,
Plato'sPhaedrus—tidak ada penjelasan tentang pemikiran tentang komunikasi
dapat menghormati batas-batas disiplin pascaperang. Bahkan bidang-bidang yang
setengah terlupakan yang dipotong-potong dalam proyek pembangunan disiplin
akhir abad ke-19 universitas Barat (Filologi, misalnya, atau Ekonomi Politik)
telah berkembang pemikiran sendiri tentang pertanyaan komunikasi utama.
Hal yang sama berlaku untuk disiplin arus utama yang kami anggap sah,
meskipun sebagian besar dibentuk hanya beberapa dekade sebelum Schram
menyerbu sekolah jurnalisme AS. Di antara ilmu-ilmu sosial, Psikologi, sosiologi,
dan Ilmu Politik mengisi bidang penelitian Opini Publik antar-perang, yang pada
gilirannya membentuk inti para sarjana—banyak yang terhubung dengan layanan
Perang Dunia II—yang menyebut diri mereka (tanpa menghilangkan identitas
disiplin mereka) “peneliti komunikasi” Teori mereka secara langsung
menginformasikan disiplin komunikasi baru. Tetapi para sarjana Amerika Utara
dan Eropa dari ketiga disiplin ilmu (dan juga Antropologi) telah memulai tradisi
ilmiah yang berhubungan dengan komunikasi massa dan tatap muka beberapa
dekade sebelumnya (Peters & Simonson, 2004).

Dalam humaniora, Studi Sastra sangat sensitif terhadap topik-topik yang


berhubungan dengan komunikasi. Pertanyaan tentang maksud pengarang dan
makna yang diterima pembaca telah lama menyibukkan para mahasiswa sastra.
Setelah Perang Dunia II, bidang-bidang ini mulai secara langsung melibatkan
teks-teks budaya populer. Tokoh-tokoh seperti Roland Barthes, Marshall
McLuhan, dan Raymond Williams adalah pionir, tetapi pada 1980-an—sebagai
gagasan tentang kanon sastra mendapat serangan yang mematikan—para sarjana
yang terlatih dalam sastra mulai merangkul pemahaman teks yang jauh lebih luas.
Sejarah Seni dan filosofis estetika mengikuti busur paralel, secara bertahap
memperluas cakupannya di luar objek seni ke lanskap visual sehari-hari. Bidang
interdisipliner yang longgar, Studi Visual, telah muncul untuk mewakili arus ini
dan arus humaniora lainnya, menerima migran dari aliran humanis. ilmu-ilmu
sosial juga. Dari sini kita bisa mengeathui bahwa teori komunikasi memiliki latar
belakang yang serupa dengan komunikasi sendiri. Dimana sama-sama memiliki
keterkaitan dengan lingkungan sosial yang ada dalam suatu wilayah.

2. DEFINISI TEORI KOMUNIKASI

Teori komunikasi merupakan dasar untuk kita sebagai awalan dalam


mengetahui dan juga memahami komunikasi. Teori komunikasi sangat menarik
dibahas karena kita bisa mempelajari berbagai macam pemikiran dari para ahli
yang memungkinkan kita mengetahui berbagai macam sudut pandang mengenai
komunikasi dalam situasi, tempat, waktu, dan juga media yang berbeda. Teori
komunikasi adalah landasan atau gambaran untuk kita memahami komunikasi,
berdasarkan pandangan para ahli. teori komunikasi digunakan oleh kita sebagai
mahasiswa dan juga para ahli dalam meneliti suatu fenomena komunikasi.

Teori komunikasi digunakan saat kita membutuhkan pandangan para ahli


dalam mempeljari suatu fenomena komunikasi. Teori Komunikasi sangat penting
dalam suatu praktek pembeljaran atau analisis kita tehadap sesuatu. Setelah kita
berhasil memahami teori komunikasi dengan baik, maka kita bisa melihat
berbagai sudut pandang fenomena komunikasi berdasarkan teori-teori yang telah
kita pelajari. Tetapi untuk bisa memahami Teori Komunikasi secara baik dan
benar maka kita memerlukan mempelejari terlebih dahulu apa itu Teori dan
Komunikasi secara terpisah, hal ini berdasarkan karena pemahaman mengenai
Teori Komunikasi sangatlah kompleks. Maka dari itu menjabarkan mengenai
pengetian dari Teori dan Komunikasi penting, karena dalam penjelasan berikut
terdapat kompnonen-komponen penting yang menjadi kunci untuk kita bisa
memahami Teori Komunikasi.

Jika kita menggambungkan definisi dari pembahasan mengenai teori dan


juga komunikasi, kita dapat menyimpulkan bahwa Teori Komunikasi adalah
sebuah pemahaman yang membantu kita untuk memahami komunikasi secara
menyeluruh. Kita juga bisa berpendapat bahwa teori komunikasi bisa dijadikan
sebagai panduan dalam mempelajari ilmu komunikasi. Dan dapat dikatan bahwa
teori komunikasi bisa kita sebut sebagai gambaran bagaimana komunikasi itu
berlangusng. Karena dalam teori komunikasi ini sendiri menjelaskan berbagai
macam fenomena komunikasi yang dapat terjadi di sekitar kita.

3. TRADISI KOMUNIKASI

Gagasan mengenai Tradisi Komunikasi pertama kali dikemukakan oleh


Robert T. Craig (1999). Craig menyebut pembahasa berikut sebagai "tradisi"
untuk menyoroti keyakinan bahwa perkembangan teoretis tidak terjadi begitu saja
secara alami. Memang, berteori dalam komunikasi adalah pengalaman deliberatif,
menarik, dan inovatif yang terjadi dari waktu ke waktu. Seperti yang ditunjukkan
oleh Craig dan Muller (2007), “para ahli teori menemukan ide-ide baru untuk
memecahkan masalah yang mereka rasakan dalam ide-ide yang ada dalam tradisi
tertentu”. Dan, meskipun tradisi menyarankan untuk mengikuti preferensi sejarah,
Craig dan Muller dengan cepat menunjukkan bahwa tradisi sering berubah dan,
seperti komunikasi, bersifat dinamis. Lebih lanjut, mereka mengingatkan bahwa
banyak teori tidak mudah dikategorikan: “Bahkan sebuah teori yang memberontak
terhadap tradisinya dan menolak sebagian besar darinya masih dapat menjadi
bagian dari tradisi secara signifikan”. Jadi mari kita periksa tujuh tradisi teori
komunikasi yang dikemukakan oleh Craig (1999). Dan berikut adalah macam-
macam tradisi komunikasi yang ada.

 TRADISI RETORIKA

Tradis retorika atau Rhetorical traditions, pertama kali ditemukan oleh


Aristoteles, dan sering digunakan ketika zaman yunani kuno dan romawi kuno.
Pada zamannya, retorika merupakan sebuah keahlian atau kecakapan seseorang
dalam berbicara. Pada zaman itu retorika bukanlah sebuah ilmu melainkan suatu
keahlian. Lalu pada perkembagannya, retorika menjadi ilmu yang dipelajari
disetiap bidang ilmu pegetahuan. Lalu craig dalam artikelnya membahasa retorika
dalam ilmu komunikasi, dan mengembangkannya menajadi sebuah pemahaman.
Tradisi retorika adalah salah satu bidang yang ada dalam tradisi komunikasi.

Tradisi retorika sering diartikan sebagai seni dalam berbicara, karena


tradisi retorika lebih membahas kepada cara seseorang berbicara. Tradisi ini
menunjukkan bahwa kita tertarik pada pidato publik dan berbicara di depan umum
dan fungsinya dalam masyarakat.(West,Turner 2010:28) Tradisi ini lebih menitik
beratkan kepada pembahasan tentang bahasa dan penonton, sehingga tradisi ini
sering dikaitkan dengan komunikasi publik, atau komunikasi massa. Tradisi
retorika sangatlah penting untuk dipelajari terutama untuk kita sebagai mahasiswa
komunikasi, karena pada dasarnya retorika merupakan keahlian dalam berbicara.
Retorika dalam komunikasi, bisa kita gunakan saat kita melakukan komunikasi
publik atau komunikasi massa. Tradisi retorika memilki lima prinsip dasar, setiap
prinsip menjelaskan mengena cara untuk kita dalam menyusun suatu teks pidato
atau dalam praktik komunikasi publik lainnya. Kelima prinsip tersebut adalah
penemuan, penyusunan, gaya, penyampaian, dan pengingatan. Ada beberapa teori
yang termasuk kedalam Tradisi retorika, teori yang pertama adalah Teori
Kebenaran dan Retorika dikemukakan oleh Richard Weaver.Teori ini membahas
tentang bagaimana cara kita menggunakan retorika dalam menyampaikan
kebenaran. Teori selanjutnya ialah Teori Crithical Rhetoric, teori yang pertama
kali dicetuskan oleh Michael McGee dan Raymie McKerrow. Teoriyang terakhir
adalah Teori identifikasi yang dikemukakan oleh Kenneth Burke, teori ini
berbicara tentang mengidentifikasi retorika atau mengaevaluasi retorika
secaramenyeluruh.

 TRADISI SEMIOTIKA

Secara garis besar tradisi ini membahas tentang simbol atau tanda dalam suatu
praktik komunikasi, tanda disini berbicara tentang komunikasi yang diakukan
secara verbal atau non-verbal dan secara langsung maupun tidak langsung. Tanda
adalah bagian dari kehidupan sosial dan tanda-tanda berdiri untuk sesuatu yang
lain. Tradisi semiotika pertama kali dibahas oleh Jhon Locke, pertama kali
dibahas pada abad ke-17. Lalu pada tahun 1950an hingga 1960an, berbagai tokoh
komunikasi mulai mengembangkan tradisi ini. Tokoh-tokoh yang mengembangka
hasil pemikiran dari Jhon Locke yaitu: Ferdinand de Saussure, Charles Sanders
Peirce, Umberto Eco, dan Roland Barthes. Mereka memilki pemahan yang
berbeda-beda mengenai semiotika, tetapi memiki arti yang sama bahwa semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. berikut pemahaman yang
dikemukakan oleh para tokohtokoh tersebut.

Menurut Ferdinand de Saussure, semiotika merupaka suatu ilmu yang


mempelajari tanda-tanda. Sedangkan menurut Umberto Eco, semiotika
memepelajari berbagai hal dapat disebut tanda. Dan menurut Roland Barthes,
semiotika sebaga sebuah tujuan berbagi tanda berupa gambar, gesture, dan bisa
juga berbagi suara musik. Roland juga menjelaskan bahwa terdapat konsep dalam
semiotika. Konsep semiotika menurut Roland Barthes dibagi menjadi tiga. Setiap
konsep berusaha menjelaskan inti dari semiotika. Tigas konsep tersebut adalah
signification, detonation, dan myth atau metalanguage. Signifacation diartikan
sebagai proses menghasilkan sebuah tanda. Denotation diartikan sebagai petunjuk
kita memahami signification, bisa juga diartikan cara membedakan signifier dan
signified. Yang terkahir adalah Metalanguage atau myth, yang diartikan sebagai
tanda yang dimaknai berulang. Tradisi semiotika sangat penting untuk dipelajari
untuk kita selaku mahasiswa komunikasi. Tradisi semiotika digunakan dalam
berbagai kajian mengenai komunikasi yang berhubungan dengan tanda. semiotika
bisa membantukan dalam mempelajari komunikasi yang berhunungna dengn
tanda, karena pada dasarnya komunikasi menggunakan tanda sering kali
menghasilkan multitafsir. Setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan
berubah dari satu situasi ke situasi lainnya. pengaplikasian teori ini akan
dilakukan ketika kita mengkaji mengnai fenomena komunikasi yang berhubungan
dengan simbol atau tanda.

 TRADISI FENOMENOLOGIS

Tradisi Fenomenologis adalah salah satau tardisi yang ada dalam konsep,
tujuh tradisi komunikasi yang dicetuskan oleh Robert T. Craig. Tradisi ini
membahas ilmu komunikasi melalu kaca mata filsafat. Fenomenologi adalah
interpretasi pribadi dari kehidupan sehari-hari dan kegiatan. Seringkali,
fenomenologi bersifat intuitif dan melibatkan hal-hal dan peristiwa melalui lensa
pribadi. Tradisi ini juga dapat diartikan sebagai pengalaman pribadi yang dialami
secara subjektif oleh orang yang yang melakukan praktik komunikasi. Tradisi
Fenomenologi, menggambarkan komunikasi sebagai dialaog yang memiliki unsur
nilai-nilai keterbukaan dan otentisitas yang bisa berupa ucapan atau verbal dan
tindakan. Tradisi ini sering dimanfaatkan oleh para ahli, sebagai cara untuk
meneliti suatu praktik komunikasi yang bertujuan untuk menemukan
kesalahapahaman yangada dalam komunikasi, dan bagaimana memperbaiki
kesalahpahaman tersebut.

Tradisi Fenomenologi pertama kali dibahas oleh Edmund Husserl Martin


Heidegger, Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre. Tradisi ini pertama kali
dibahas ketika abad ke-20. Terdapat tiga prinsip dasar mengenai Tardisi
Fenomenologi. Prinsip pertama yaitu pengetahuan diperoleh melalui pengalaman
secara langsung, ini berarto bahwa pengelaman akan kiat dapatkan melalui parktik
langsung. Prinsip kedua yaitu Makna tentang sesuatu terdiri atas potensi sesuatu
tersebut dalam hidup seseorang, yang dapat diartikan makna sebuah benda atau
objek dimaknai oleh masing-masing individu. Yang terakhir yaitu, Bahasa adalah
alat makna, yang berarti bahasa sebagai alat komunikasi. Tradisi Fenomenologi
dibagi menjadi tiga jenis yaitu Fenomenologi klasik, Fenomenologi persepsi, dan
yang terakhir yaitu Fenomenologi hermeneutik. Sebagai mahasiswa komunikasi,
menjadi penting untuk kita mempelajari Tradisi Fenomenologi ini. Fenomenologi
membantu kita untuk melihat secara lebih luas mengenai komunikasi, yang
beguna ketika kita melakukan penelitian mengenai fenomena komunikasi.

 TRADISI SIBERNETIK

Sibernetik adalah tadisi komunikasi yang dikemukakan oleh Robert T. Craig.


Tradisi Sibernetik adalah tradisi yang berkaitan dengan hubungan dalam
prosesmengmabil suatu keputusan. Tadisi Sibernetik merupakan tardisi yang
membahas tentang proses intrapersonal. Tradisi Sibernetik juga dapat diartikan
sebagai cara membentuk pola interaksi baik verbal (kata-kata) dan nonverbal
(tindakan) yang saling bertukar antar satu orang dengan orang lain dalam
konteksinterpersonal (Fajar, 2013, hlm. 25).

Sibernetik berasal dari bahasa yunai yaitu kybernetes, yang diartikan sbegai pilot.
Sibernetik pertama kali dibahas oleh Nobert Wiener, menurutnya sibernetik
adalah ilmu yang mengontrol dan komunikasi hewan dan benda. Sibernetik
dikembangkan lagi oleh Littlejhon yang merujuk kepada hasil pemikiran Robert
T. Craig dalam artikelnya Communication as A Field. Secara keseluruhan,
sibernetik merupakan ilmu yang mempelajari tentang proses interaksi anatar
komunikator dengan komunikan. Ada tiga prinsip dasar yaitu masukan atau input,
proses atau process, dan keluaran atau output. Tradisi ini digunakan dalam praktik
komunikasi yang berkaitan dengan komunikasi yang berhubungan umpan balik.
Tradisi ini juga digunaka dalam menganalisis suatu proses sosial.

 TRADISI SOSIO-PSIKOLOGI

Tradisi ini membahas tentang kita sebagai manusia memilki peran dalam
prilaku sosial yang meliputi individu, kepribadian, efek individu, sifat, variable
psikologis, dan juga persepsi. Orang yang pertama kali mencetuskan teori ini
adalah Carl Hovland dari Universitas Yale. Tradisi ini cukup penting mengingat
pembahasan yang terkandung dalamnya membahas tenatng prilaku sosial yang
ada dalam setiap individu yang ada dalm suatu praktik komunikasi. Tradisi ini
digunanakkan ketika kita membahas mengenai prilaku suatu individu dalam suatu
fenomena komunikasi. Tradisi ini juga bisa digunakkan ketika kita membuat
pesan dan akan memproses pesan.

 TRADISI SOSIAL BUDAYA

Tradisi sosial budaya mempelajari tentang cara memandang komunikasi melalui


interaksi sosial, yang berdasarkan suatu budaya yang ada dalam kelompok atau
wilayah tertentu. Inti dari tradisi sosio-budaya menunjukkan bahwa individu
adalah bagian dari kelompok yang lebih besar yang memiliki aturan dan pola
interaksi yang unik.(West, Turner 2010:31)

Tradisi sosial budaya dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari


karena pada dasarnya sosail budaya membahsa tentang kaitan individu dengan
kelompok yang terletak sebuah prroses sosial dan juga budaya didalamnya.
Tradisi ini menjadi penting untk dipelajari, karena hal-hal yang dibahas pada
sosial budaya adalah bahan dasar untuk mengkaji suatu komunikasi yag terjadi.
Ada beberapa unsur yang mendasari tradisi sosial budaya yakni, Paham interaksi
simbolis, konstruksionisme, sosiolinguistik, filosofi bahasa, etnogradi, dan
etnometodologi. Tradisi ini juag menjadi suatu bentuk pngelompokan para ahli
terhadap suatu kelompok sosial.

 TRADISI KRITIS

Tradisi kritis dalam teori komunikasi membahas tentang ketidakadilan


atau kesenjangan yang ada dalam suatu wilayah. Taradisi ini menitik beraktakan
kepada pernyataan atas penolakan suatu ketidakadilan yang terjadi. Tradisi ini
bisa kita hubungkan dengan suatu gerakan yang sering terjadi dalam melawan
suatu penindasan. Tradisi ini pertama kali digaungkan oleh salah satu tokoh filsuf
jerman terkenal, yaitu karl Marx. Dalam bukunya,Manifesto Komunis, Marx dan
rekannya Friedrich Engels (1848) berpendapat bahwa sejarah masyarakat paling
baik dipahami dengan melihat perjuangan kelas dalam masyarakat itu.(West &
Turner, 2010, hlm. 31) Tradisi Kritis sangat penting bagi kita sebagai mahasisawa
komunikasi, karena untuk menganalisis suatu proses sosial kita akan
menggunakannya. Tradisi ini juga bisa kita gunakan saat terjadi penindasan atau
ketidakadilan dalam suatu proses sosial.

4. PENDEKATAN TEORI KOMUNIKASI

Di dalam teori komunikasi, ada yang disebut dengan pendekatan.


Pendekatan teori komunikasi sendiri berisi mengenai ha-hal penting yang
mendasari terbentuknya suatu teori komunikasi. Berikut adalah beberapa hal yang
ada dalam pendekatan teori komunikasi.

Paradigma

Dalam sains dan filsafat, paradigma adalah sebuah konsep yang penting
atau pola pikir yang berbeda, termasuk teori, metode penelitian, postulat, dan
standar untuk apa yang merupakan kontribusi yang sah untuk suatu bidang.

Postivis

Pertama yang terlintas dalam pikiran ketika berpikir tentang sains.


Positivisme dipandu oleh prinsip-prinsip objektivitas, “dapat diketahui”, dan
logika deduktif. Logika deduktif dibahas secara lebih rinci di bagian selanjutnya
dari bab ini. Kerangka positivis beroperasi dari asumsi bahwa masyarakat dapat
dan harus dipelajari secara empiris dan ilmiah. Positivisme juga menyerukan ilmu
bebas nilai, di mana para peneliti bertujuan untuk meninggalkan bias dan nilai-
nilai mereka dalam pencarian kebenaran yang objektif, empiris, dan dapat
diketahui.

Positivisme dan metode hipotetis-deduktif untuk memverifikasi hipotesis suatu


hal yang sering dinyatakan secara kuantitatif, di mana hubungan fungsional dapat
diturunkan antara kausal dan faktor penjelas (variabel bebas) dan hasil (variabel
terikat). Positivis penelitian, bagaimanapun, tidak selalu bergantung pada metode
kuantitatif. Hal ini sering dioperasionalkan melalui hubungan fungsional.
Misalnya, sebuah studi eksperimental yang meneliti efek dari intervensi melalui
analisis kualitatif cocok dengan paradigma positivis. Missal suatu hal
mencantumkan definisi istilah-istilah kunci yang terkait dengan positivisme.
Maka hal yang lainnya akan menyediakan daftar yang berguna bahan bacaan
selanjutnya

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, positivisme berusaha menemukan hukum alam,


mengekspresikannya melalui deskripsi teori. Teori-teori ini fokus pada penjelasan
dan prediksi berdasarkanmodel hipotetis-deduktif.

Dalam fokus ini adalah gagasan bahwa ukuran sampel yang besar dinilai lebih
dari sampel yang lebih kecil (yaitu, bahwa data objektif yang dikumpulkan
melalui sampel besar lebih unggul daripada data yang dikumpulkan melalui yang
lebih kecilsampel). Sampel yang lebih besar meningkatkan konsistensi dalam data
dan representasi populasi karakteristik, memfasilitasi generalisasi yang lebih baik
mengenai penyebab fenomena di alam. Terlebih lagi, untuk membuat klaim yang
lebih kuat mengenai generalisasi, replikasi temuan juga dihargai melalui
eksperimen sistemik dan terkontrol. Dengan cara ini, penelitian positivis berfokus
pada teori yang terverifikasi

Paradigma positivis didasarkan pada asumsi bahwa ada satu realitas sebenarnya
yangdapat dipahami, diidentifikasi, dan diukur

Kritis

Pada intinya, paradigma kritis berfokus pada kekuasaan, ketidaksetaraan,


dan perubahan sosial. Meskipun beberapa perspektif yang agak beragam
disertakan di sini, paradigma kritis umumnya mencakup ide-ide yang
dikembangkan oleh ahli teori sosial awal, seperti Max Horkheimer (Calhoun,
Gerteis, Moody, Pfaff, & Virk, 2007), dan kemudian karya-karya yang
dikembangkan oleh para ahli feminisme. , seperti Nancy Fraser (1989).

Berbeda dengan paradigma positivis, paradigma kritis berpendapat bahwa ilmu


sosial tidak pernah bisa benar-benar objektif atau bebas nilai. Lebih jauh,
paradigma ini beroperasi dari perspektif bahwa penyelidikan ilmiah harus
dilakukan dengan tujuan yang jelas dalam pemikiran perubahan sosial. Para
peneliti dalam paradigma kritis mungkin mulai dengan pengetahuan bahwa sistem
bias terhadap orang lain, seperti perempuan atau kelompok etnis yang
terpinggirkan. Selain itu, proyek penelitian mereka bertujuan untuk mendorong
perubahan positif pada peserta penelitian dan sistem yang dipelajari serta
mengumpulkan data penting. Paradigma kritis tidak hanya mempelajari
ketidakseimbangan kekuasaan tetapi juga berusaha mengubahnya.

Paradigma Teori Kritis membantu kita memahami bagaimana komunikasi


digunakan untuk menindas, dan menyediakan cara untuk mendorong perubahan
sosial yang positif (Foss & Foss; Fay). Teori Kritis menantang status quo dari
konteks komunikasi, mencari alternatif untuk bentuk-bentuk komunikasi yang
menindas.

Teori-teori ini berbeda dari pendekatan teoritis lainnya karena mereka mencari
praksis sebagai tujuan utama. Praksis adalah kombinasi antara teori dan tindakan.
Daripada hanya berusaha memahami struktur kekuasaan, teori kritis secara aktif
berusaha mengubahnya dengan cara yang positif. Contoh pendekatan kritis yang
mudah dikenali adalah Marxisme, postmodernisme, dan feminisme. Teori-teori
kritis ini mengekspos dan menantang komunikasi struktur sosial, ekonomi, dan
politik yang dominan. Bidang penyelidikan meliputi bahasa, hubungan sosial,
struktur organisasi, politik, ekonomi, media, ideologi budaya, hubungan
interpersonal, tenaga kerja, dan gerakan sosial lainnya.

Intepretatif

Model pengetahuan didasarkan pada pandangan individu itu sendiri,


interpretasi dan pengalaman. Ini adalah pendekatan subjektif terhadap dunia batin
individu untuk mengeksplorasi realitas sendiri, untuk menafsirkan filosofi hidup
sendiri dan aturan internal. Poin-poin penting dari paradigma interpretif dalam
penelitian adalah Hal ini didasarkan pada tindakan dan konsekuensinya di masa
depan yaitu interpretasi individu tentang baik dan buruknya suatu peristiwa
menurut pandangannya sendiri. Merupakan dasar pengetahuan dalam skala sempit
atau kecil karena berkaitan dengan individu.

Perilaku manusia bersifat dinamis dan berubah mengikuti fenomena fisik dan
masyarakat. Ini melibatkan kepentingan pribadi penelitian sambil menafsirkan
aturan dan filosofi hidup dan dengan demikian dari umum menuju khusus. Ini
mengarah untuk memahami makna tindakan, bukan penyebabnya. Seseorang
mungkin menentang norma-norma sosial secara subyektif saat menyelidiki
realitas mereka.

Pendekatan interpretif atau metode kualitatif ini lebih mengarah dan berfokus
pada nilai seni dan keindahan dalam teks dan ini juga adalah salah satu
pendekatan yang memandang fakta atau kebenaran dan memposisikannya sebagai
sesuatu yang bersifat subjektif dan lebih menegaskan pada partisipasi dari
individu atau peneliti ketika atau di dalam proses penelitian (West & Turner
2019:51)

metode kualitatif ini juga sangat condong ke arah evaluasi yang menjadikan suatu
konsep sebagai alat atau media untuk mempertegas atau lebih memaparkan suatu
hal. Pendekatan interpretif ini menyuguhkan dan memberi tahu kita mengenai
suatu paham dalam setting masalah, yang mana pendekatan ini juga bisa di sebut
sebagai pendekatan yang abstrak dan tidak tersusun atau tertata rapi.

Penelitian kualitatif ini juga bisa di sebut ketika berkaitan dengan suatu hal atau
objek yang juga mempunyai sangkut paut dengan teks yang dipaparkan oleh
media-media dan mengikut sertakan beberapa hal seperti taraf keunggulan dan
karakteristik sebagai acuan untuk membedakannya (Hansen & Machin, 2013:54).
Dalam perspektif ini seorang peneliti melihat bahwa proses pemaknaan terhadap
simbol-simbol tingkah laku manusia berdasarkan pengamatan nyata, di mana dia
akan mendalami dan langsung terjun ke masyarakat untuk mengamati lebih jelas
menggunakan pendekatan ini. Dalam kacamata ini pula biasanya di simpulkan
beberapa kendala atau masalah yang terjadi dalam proses pemaknaan suatu pesan
dan di evaluasi sehingga mengecilkan kemungkinan adanya kesalah pahaman
antara kedua

Objektif

penelitian objektif cenderung dimodelkan pada metode ilmu alam seperti


eksperimen atau survei skala besar. Penelitian objektif berusaha untuk
membangun generalisasi seperti hukum yang dapat diterapkan pada fenomena
yang sama dalam konteks yang berbeda.

Perspektif ini, yang mengutamakan objektivitas, disebut positivisme dan


didasarkan pada data yang dapat dijadikan subjek analisis statistik dan
generalisasi. Peneliti positif menggunakan metodologi kuantitatif, yang
didasarkan pada pengukuran dan angka, untuk mengumpulkan dan menganalisis
data. Interpretivists lebih peduli dengan bahasa dan bentuk lain dari data kualitatif,
yang didasarkan pada kata-kata atau gambar. Karena itu, peneliti yang
menggunakan asumsi objektivis dan positivis terkadang menggunakan data
kualitatif sementara interpretivis terkadang menggunakan data kuantitatif.
(Metodologi kuantitatif dan kualitatif akan dibahas lebih rinci di bagian akhir
kursus ini.) Kuncinya adalah memahami perspektif yang ingin Anda adopsi dan
menyadari keterbatasan dan peluang yang ditawarkannya.

Ungkapan 'penelitian objektif' memiliki beberapa arti yang berbeda dalam ilmu
sosial dan humaniora. Kita sering menganggap penelitian objektif sebagai
penelitian yang tidak bias atau tidak memihak.

Dengan demikian, seorang peneliti (atau proyek, laporan, atau studi) yang objektif
seperti seorang hakim yang berusaha memberikan pemeriksaan yang adil bagi
kedua belah pihak yang bersengketa. Hakim yang objektif mendengarkan kedua
belah pihak yang bersengketa tanpa memberikan pertimbangan yang tidak
semestinya kepada salah satu pihak. Kami juga menganggap penelitian objektif
sebagai penelitian yang bebas nilai, yaitu sebagai penelitian yang tidak
terpengaruh oleh nilai-nilai moral, ekonomi, sosial, politik, atau agama.

Dengan demikian, peneliti yang objektif seperti hakim yang berusaha mengambil
keputusan berdasarkan bukti-bukti hukum dan empiris tanpa membiarkan nilai-
nilainya mempengaruhi penilaian dan penalarannya. Kami juga menganggap
penelitian objektif dapat diandalkan atau dapat dipercaya. Jadi, seorang peneliti
yang objektif seperti termometer yang melaporkan suhu dengan andal. Kita bisa
mempercayai laporan termometer.
Akhirnya, kami juga menganggap penelitian objektif sebagai penelitian yang
faktual atau nyata. Teori objektif (hipotesis atau konsep) adalah teori yang
menggambarkan fakta atau fenomena nyata dengan benar, dan dapat dikontraskan
dengan fiksi, propaganda, spekulasi, dan penipuan. Semua konsepsi penelitian
objektif ini menangkap beberapa aspek penting dari penggunaan frasa ini; ada
berbagai cara untuk memahami objektivitas (Harre dan Krausz 1996). Untuk
keperluan artikel ini, penelitian objektif dapat didefinisikan sebagai penelitian
yang tidak memihak atau tidak memihak, bebas nilai, dapat diandalkan atau dapat
dipercaya, atau faktual atau nyata.

Subjektif

Kacamata subjektif melihat bahwa tingkah laku manusia dinilai dari


bagaimana cara manusia tersebut untuk memunculkan dan mengolah tingkah
lakunya yang bertujuan untuk mengimbangi atau tidak lebih dominan di
bandingkan dengan lawan komunikasinya. Perspektif ini juga berpendapat bahwa
tingkah laku individu harus dilihat sebagai proses yang memiliki kemungkinan
agar individu tersebut dapat mengolah dan dapat meminimalisir terjadinya
ketimpangtan atau rasa dominan terhadap tingkah laku dan intuisi lawan interaksi.

Menurut Howard S. Becker (Mulyana, 2006:70) individu hanya melakukan


sesuatu menurut pemahaman yang ia ketahui dan menurut pemaknaan yang
dirinya berikan kepada objek yang berada di sekelilingnya. Hal yang serupa dapat
di terapkan pula kepada masyarakat, di mana jika kita melihat dari sudut pandang
orang yang mempercayainya banyak simbol-simbol yang di gunakan dan hal
tersebut termasuk pula ke dalam interaksi simbolik. Dengan demikian visi yang di
anutnya ini dapat menuntun jalan mereka dan meminimalisir adanya kendala
strukturalisme dan kendala dalam konteks kepercayaan juga, hal ini pula dapat
menjembatani antara keduanya

Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan interaksi manusia dengan


menggunakan simbol. Penganut hubungan simbolik sudut pandang bahwa
perilaku insan intinya merupakan akibat dari interpretasi mereka perihal dunia di
sekitar mereka. yang berarti mereka tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari
atau dipengaruhi, melainkan dipilih sinkron berdasarkan individu mendefinisikan
situasi yang bersangkutan.(Hall, Mulyana, 2006).

George Simmel mengemukakan bahwa teori ini berasal dari perkiraan sosio
psikologis yaitu “ seluruh fenomena serta perilaku sosial itu berasal dari dalam
pikiran individu) (Soeprapto, 2002). berdasarkan pendapat Blumer, premis-premis
yang mendasari interaksi simbolik, di antaranya: Pertama, individu merespons
situasi simbolik. mirip lingkungan, objek fisik (objek) dan objek sosial (perilaku
insan) sesuai makna yang terkandung dalam komponen lingkungan tersebut.
kedua, makna merupakan

Metode Penelitian

Metode penelitian adalah strategi, proses atau teknik yang digunakan


dalam pengumpulan data atau bukti untuk analisis guna mengungkap informasi
baru atau menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang suatu topik. Ada
berbagai jenis metode penelitian yang menggunakan alat yang berbeda untuk
pengumpulan data

Metode Kualitatif

Penelitian kualitatif merupakan salah satu jenis penelitian ilmiah. Secara


umum, penelitian ilmiah terdiri dari penyelidikan yang pertama mencari jawaban
atas pertanyaan, secara sistematis menggunakan serangkaian prosedur yang telah
ditentukan sebelumnya untuk menjawab pertanyaan, mengumpulkan bukti,
menghasilkan temuan yang tidak ditentukan sebelumnya, menghasilkan temuan
yang dapat diterapkan di luar batas penelitian.

Penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri ini. Selain itu, ia berusaha untuk memahami
sesuatu yang diberikan masalah atau topik penelitian dari perspektif penduduk
lokal yang terlibat. Kualitatif penelitian sangat efektif dalam memperoleh
informasi budaya tertentu tentang nilai-nilai, pendapat, perilaku, dan konteks
sosial dari populasi tertentu.

Kekuatan penelitian kualitatif adalah kemampuannya untuk memberikan deskripsi


tekstual yang kompleks tentang bagaimana orang mengalami masalah penelitian
tertentu. Ini memberikan informasi tentang sisi "manusia" dari sebuah masalah –
yaitu, perilaku, keyakinan, opini, emosi, dan hubungan yang sering kontradiktif
individu. Metode kualitatif juga efektif dalam mengidentifikasi faktor tidak
berwujud, seperti sosial, norma, status sosial ekonomi, peran gender, suku, dan
agama, yang berperan dalam penelitian

masalah mungkin tidak mudah terlihat. Ketika digunakan bersama dengan metode
kuantitatif, kualitatif

penelitian dapat membantu kita untuk menafsirkan dan lebih memahami realitas
kompleks dari situasi tertentu dan implikasi dari data kuantitatif. Meskipun
temuan dari data kualitatif sering dapat diperluas ke orang-orang dengan
karakteristik yang mirip dengan populasi penelitian, memperoleh pemahaman
yang kaya dan kompleks dari suatu konteks atau fenomena sosial biasanya lebih
diutamakan daripada memperoleh data yang dapat digeneralisasikan ke wilayah
atau populasi geografis lain. Dalam pengertian ini, penelitian kualitatif sedikit
berbeda dari penelitian ilmiah pada umumnya.

Penelitian kualitatif ini cukup mencakupi sikap, perilaku serta pengalaman


melalui cara seperti wawancara atau kelompok. Dalam penelitian kualitatif juga
mencoba untuk memperoleh pendapat yang luas dari peserta. Karena sikap,
tindakan, dan pengalaman tentu adalah yang utama, yang terpenting dari
penelitian ini adalah bagaimana sebuah pandangan-pandangan audein tentu hal ini
diperlukan (Spaans, 2020, hlm 50)

Tiga metode kualitatif yang paling umum, dijelaskan secara rinci dalam modul
masing-masing, adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, dan kelompok
fokus. Setiap metode sangat cocok untuk mendapatkan jenis data tertentu.

Observasi partisipan tepat untuk mengumpulkan data tentang perilaku yang terjadi
secara alami di konteks mereka yang biasa.

Wawancara mendalam adalah optimal untuk mengumpulkan data tentang sejarah,


perspektif, dan pengalaman pribadi individu, terutama ketika topik sensitif sedang
dieksplorasi.
Kelompok terarah efektif dalam mengumpulkan data tentang norma-norma
budaya suatu kelompok dan dalam menghasilkan tinjauan luas tentang isu-isu
yang menjadi perhatian kelompok budaya atau subkelompok yang diwakili.

Metode Kuantitatif

Metode kuantitatif adalah ilmu yang mempelajari cara-cara dengan


tahapan yang tersusun secara ilmiah sehingga dapat menghasilkan kesimpulan
dari data-data tersebut. Nanti hasil dari kesimpulan dapat digunakan untuk
mengembangkan teori baru. Terkadang sebagian orang menyamakan metode
kuantitatif ini dengan metode ilmiah, walau berhubungan namun berbeda. Dalam
metode kuantitatif harus bersifat objektif, berdasarkan fakta-fakta dari data dan
harus bersikap netral, bisa mengkaji atau mengembangkan teori dari teori yang
sudah ada dengan menggunakan metode ilmiah. Cara yang digunakan untuk
melakukan metode kuantitatif melalui survey, korelasi dan eksperimen

Penelitian kuantitatif didefinisikan sebagai penyelidikan sistematis fenomena


dengan mengumpulkan data kuantitatif dan melakukan teknik statistik,
matematika, atau komputasi. Penelitian kuantitatif mengumpulkan informasi dari
pelanggan yang ada dan potensial dengan menggunakan metode sampling dan
mengirimkan survei online, polling online, kuesioner, dll, yang hasilnya dapat
digambarkan dalam bentuk numerik. Setelah pemahaman yang cermat dari angka-
angka ini untuk memprediksi masa depan suatu produk atau layanan dan membuat
perubahan yang sesuai.

Contoh penelitian kuantitatif adalah survei yang dilakukan untuk mengetahui


jumlah waktu yang dibutuhkan dokter untuk merawat pasien saat pasien masuk ke
rumah sakit. Templat survei kepuasan pasien dapat diberikan untuk mengajukan
pertanyaan seperti berapa lama waktu yang dibutuhkan dokter untuk menemui
pasien, seberapa sering pasien masuk ke rumah sakit, dan pertanyaan sejenis
lainnya.

Penelitian hasil kuantitatif sebagian besar dilakukan dalam ilmu-ilmu sosial


dengan menggunakan metode statistik yang digunakan di atas untuk
mengumpulkan data kuantitatif dari studi penelitian. Dalam metode penelitian ini,
peneliti dan ahli statistik menggunakan kerangka dan teori matematika yang
berkaitan dengan besaran yang dipertanyakan.

Penelitian kuantitatif bersifat objektif, rumit, dan sering kali, bahkan bersifat
investigasi. Hasil yang dicapai dari metode penelitian ini adalah logis, statistik,
dan tidak bias. Pengumpulan data dilakukan dengan metode terstruktur dan
dilakukan pada sampel yang lebih besar yang mewakili seluruh populasi.

Beberapa ciri khas penelitian kuantitatif adalah:

Alat terstruktur adalah Alat terstruktur seperti survei, jajak pendapat, atau
kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data kuantitatif. Menggunakan metode
struktur seperti itu membantu dalam mengumpulkan data yang mendalam dan
dapat ditindaklanjuti dari responden survei.

Ukuran sampel adalah Penelitian kuantitatif dilakukan pada ukuran sampel yang
signifikan yang mewakili pasar sasaran. Metode pengambilan sampel yang tepat
harus digunakan ketika mengambil sampel untuk memperkuat tujuan penelitian

Pertanyaan tertutup adalah Pertanyaan tertutup dibuat sesuai dengan tujuan


penelitian. Pertanyaan-pertanyaan ini membantu mengumpulkan data kuantitatif
dan karenanya, banyak digunakan dalam penelitian kuantitatif.

Studi hal sebelumnya adalah Berbagai faktor yang terkait dengan topik penelitian
dipelajari sebelum mengumpulkan umpan balik dari responden.

Data kuantitatif adalah Biasanya, data kuantitatif diwakili oleh tabel, bagan,
grafik, atau bentuk non-numerik lainnya. Hal ini memudahkan untuk memahami
data yang telah dikumpulkan serta membuktikan validitas riset pasar.

Generalisasi hasil adalah Hasil dari metode penelitian ini dapat digeneralisasikan
ke seluruh populasi untuk mengambil tindakan yang tepat untuk perbaikan.
BAB 2: PEMBAGIAN TEORI KOMUNIKASI

BERDASARKAN KONTEKS

Setelah di bab sebelumnya kita memahami secara mendalam, arti dari


sebuah teori komunikasi, dan beberapa konteks yang berkaitan dengan teori
komunikasi. Dalam bab 2 ini akan dijelaskan berbagai macam teori komunikasi
yang memiliki perbedaan satu dengan lainnya. Hal ini dikarenakan banyaknya
situasi komunikasi dalam suatu ruang lingkup, yang kahirnya melahirkan berbagai
macam teori komunikasi sesuai dengan konteksnya. Jika kita ingin mengetahui
teori komunikasi, kita juga harus memahami apa saja teori-teori yang ada dalam
teori komunikasi. Dan dalam pembahasan ini kita akan membahas mengenai
berbagai macam teori komunikasi berdasarkan konteksnya.

1. KOMUNIKASI INTRAPESONAL

Komunikasi intrapersonal atau komunikasi intrapribadi komunikasi yan


kita lakukan dengan diri kita sendiri. Komunikasi ini biasa kita lakukan saat kita
sedang berpikir mengenai sesuatu, dan hal tersebut adalah sebuah komunikasi
intrapersonal. Pada dasarny komunikasi intrapersonal adalah sebuah pondasi awal
untuk komunikasi antarpribadi dan konteks komunikasi lainnya. Dan ada
beberapa teori komunikasi yang masuk kedalam konteks komunikasi
interpersonal.

 Teori Penetrasi Sosial

Pada dasarnya manusia akan selalu melakukan komunikasi, karena


manusia adalah mahluk sosial yang akan selalu membutuhkan manusia lainnya.
Ketika seseorang membutuhkan atau menginginkan sesuatu dari orang lain, maka
ia akan mengirim pesan kepada orang yang ingin ia tuju, dan inilah yang disebut
dengan komunikasi. Tetapi sebelum satu individu dengan individu lainnya
melakukan komunikasi untuk menyampaikan tujuan atau keinginannya,
masingmasing individu harus mengetahui dengan siapa ia berkomunikasi.
Sehingga komunikasi yang dilakukan bisa berjalan dengan lancar. Maka dari itu
satu individu dengan individu lainnya akan saling mengenal satu sama lain
sebelum mencapai tujuan masing-masing, sehingga setiap individu dapat
mengetahui dengan jelas apa tujuan dari komunikasi tersebut. Hal ini tentu
memerlukan waktu atau proses untuk tiap individu mengetahui tujuan dari
masing-masing individu, dan disinilah Teori penetrasi sosial berperan.

Teori penetrasi sosial adalah teori yang mempelajari tentang keterbukaan


komunikasi kepada individu yang baru kita temui, baik dalam lingkungan baru,
atau lingkungan yang mungkin sudah kita kenal sebelumnya. Atau bisa diartikan
sebagai sebuah teori yang mempelajari suatu proses komunikasi diantar dua
individu yang berkaitan dengan kedekatang dari dua individu tersebut. Sedangkan
menurut Dalmas A. Taylor, Penetrasi sosial mengacu pada perilaku timbal balik
yang terjadi antara individu dalam pengembangan hubungan interpersonal.
(Taylor, 1968, hlm. 79). Dari sini juga kita bisa memahami bahwa penetrasi sosial
merupakan proses berkembangnya kedekatan diantara seseorang. Seseorang yang
pada awalnya malu bercerita, akan mulai bercerita ketika dia sudah merasa
nyaman dengan orang yang dia rasa dapat dipercaya. Yang pada mulanya hanya
menceritakan tentang bagian kecil hidupnya lama-lama akan terus berproses
hingga ke arah yang lebih personal lagi. Sedangkan menurut Amanda dan
Kathryn, Teori penetrasi sosial dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana
pertukaran informasi berfungsi dalam pengembangan dan pemutusan hubungan
interpersonal (Carpenter & Greene, 2015, hlm. 1). Pendapat ini seolah
mempertegas tentang apa yang dipelajari didalam penetrasi sosial.

Irwin Altman dan Dalmas A. Taylor, memiliki pendapat bahwa seseorang


bisa menjelaskan sesuatu yang bersifat sangat pribadi hanya kepada oarng-orang
berada pada lingkungan palingan dekat dirinya, seperti teman atau kerabat, orang
tua, ataupun kekasih. Dan dari sinilah lahir onion tehory atau teori penetrasi
sosial, karena meunrut mereka suatu proses perkenalan setiap individu berlapis
lapis seperti bawang. Menurut kedua ahli tersebut juga, Sosial penetrasi
menggambarkan proses ikatan yang memindahkan hubungan dari superfisial
untuk lebih intim. Hal ini bisa kita asumsikan bahwa dalam satu proses penetrasi
sosial memilki tujuan tersendiri. Pemikiran ini merupaka pengembangan
pandangan dari Taylor yang mengatakan bahwa Perkembangan interpersonal
adalah berpikir untuk melanjutkan sepanjang dua dimensi terkait, luasnya
penetrasi, atau jumlah interaksi, pertukaran informasi, dan kedalaman penetrasi
atau tingkat keintiman interaksi atau pertukaran yang khas (Taylor, 1968, hlm.
79). Dari pandangan turner ini, kita bisa mengasumsikan bahwa pada dasarnya
teori ini membahas mengenai interaksi yang ada diantara dua individu, tetang
informasi apa yang saling ditukar, dan sejauh mana penetrasi itu bisa terjadi. Ada
beberapa pendapat juga yang menjelaskan bahwa pada dasarnya teori ini
mempelajari mengenai pengembangan interakasi intrapersonal yang ada. Dan
pada dasarnya teori ini juga mempeljari tentang keterbukaan bisa menjadi suatu
cara seseorang dekat dengan individu yang baru.

Pada awalnya pandangan atau pemikiran mengenai penetrasi sosial


pertama kali dikemukana oleh Dalmas A. Taylor dan Irwin Altman. Dalam
tulisannya, mereka membahas mengenai tentang komunikasi intrapersonal yang
berkaitan dengan hubungan dari para pelaku komunikasi tersebut. Hal ini didasari
oleh keadaan sosial yang ada di Amerika Serikat yang mengalami perubahan yang
cukup signifikan pada akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970. Pada masa ini,
orang-orang memiliki kecendrungan terhadap keterbukaan komunikasi antar
individu dan juga kebebasan relasional dalam hubungan pribadi. Perubahan pola
budaya komunikasi dan juga sosial yang ada ini lah yang menggerakan beberapa
ahli untuk meneliti sutu fenomena baru terkait keterbukaan dapat
mengembangkan suatu ke intiman antar individu. Fenomena ini juga secara cepat
merubah pandangan situasional komunikasi intrapersonal yang semula
berpendapat bahwa komunikasi intrapersonal terjadi ketika sekelompok kecil
orang berkomunikasi langsung atau tatap muka. Pandangan yang lahir dari
fenomena ini menganggap bahwa jumlah orang yang berkomunikasi serta
lingkungan fisik tidak lagi menjadi suatu hal yang penting, melainkan dengan
siapa kita berkomunikasi menjadi suatu hal yan lebih penting. Dalam masa ini
juga Irwin dan Dalmas mencoba mengembangkan Teori penetrasi soisial, yang
betujuan untuk menjelaskan tentang fenomena keterbukaan ini atau self-disclosure
bisa menjadi sebuah budaya komunikasi yang baru dan mengubah pandangan
mengenai komunikasi intrapersonal sebelumnya. Yang pada akhirnya
pengembangan tersebut melahirkan sebuah buku yang berjudul Social
Penetration: The Development of Interpersonal Relationships yang didalamnya
juga menjelaskan mengenai ‘teori bawang’. Teori ini sendiri merupakan suatu
gambaran dari barier yang ada saat kita sedang dalam proses penetrasi sosial

Teori penetrasi sosial merupakan teori yang memilki pandangan


yangcukup meluas mengenai interakasi intrapersonal. Banyaknya kajian
yangdilakukan bertujuan untuk mengembangkan teori ini, menghasilkan banyak
pandangan dan pemikiran baru pada teori ini. Salah satu hasilnya adalah asumsi
mengenai teori ini yang dikemukakan oleh Ricahrd West. Menurutnya ada emapt
asumsi dalam teori penetrasi sosial. Yakni hubungan berkembang dari tidak intim
menjadi intim, perkembangan relasional umunya sistematis dan dapat diprediksi,
Perkembangan relasional mencakup depenetrasi dan pembubaran, Pengungkapan
diri adalah inti dari pengembangan hubungan. Dan berikut penjelasan dari tiap
asumsi yang ada.

Dalam asumsi yang pertama ini yaitu hubungan berkembang dari tidak intim
menjadi intim, menunjukkan bahwa untuk menuju sebuah keintiman dalam suatu
hubungan didapat melaui proses yang cukup lama. Tidak serta merta seseorang
bisa langsung memiliki hubungan yang intim secara singkat. Seseorang yang baru
bertemu pertama kali bertemu tidak bisa langsung saja menceritakan mengenai hal
bersifat pribadi. Harus adanya proses yang dilewati seorang individu untuk
mencapai ke intiman yang dimaksud. Ketika pertama kali bertemu kita mungkin
hanya akan mendapatkan informasi mengenai hal hal yang biasa atau publik,
seperti nama dan hal ha lainnya. Lalu proses berikutnya kita akan mendapatkan
informasi mengenai suatu hal yang lebih pribadi dari hanya sekedar informasi
berupa nama. Dan proses seterusnya akan seperti itu, ini lah yang dimaksud dari
ketidak intiman berubah menjadi keadaan yang lebih intim

Asumsi yang kedua yakni perkembangan relasional umumnya sistematis


dan dapat diprediksi. Hal ini menujukan sifat atau cara komunikasi yang ada pada
penetrasi sosial sendiri cenduru memiliki struktur shingga terlihat ebih sitematis.
Disini juga dijelaskan bahwa komunikasi yang ada antar individu yang sudah
mengalami proses keterbukaan lebih lama, memiliki kecendrungan untuk saling
mengetahui apa yang akan dikomunikasikan oleh lawan komunikasinya.
Walaupun ada bebarap pandangan yang mengemukakan bahwa komunikasi
intrapersonal cenderung dinamis dan sering berubah ubah, tetapi pada
kenyataannya komunikasi yang ada pada kehidupan nyata cenderung terstruktur
dan dapat diprediksi. Contohnya ketika seseorang pria ingin mendekati seorang
wanita, pertama tama ia akan menanyakan hal-hal yang bersifat umum lalu
berikutnya ia akan melanjutkan hal yang ingin dia ketahui untuk mendukung
proses dari tercapai tujuan yang ia miliki untuk mendekati wanita tersebut. Dari
sini kita bisa melihat bahwa proses komunikasi yang terjadi memilki struktur yang
jelas. Contoh lainnya ketika dua orang sahabat saling berkomunikasi, kadang kala
salah satunya dapat memprediksi hal apa yang akan dikatan oleh sahabatnya. Ini
lah bentuk dari asumsi perkembangan relasiona umumnya sistematis dan
dapatdiprediksi.

Asumsi yang ketiga adalah bahwa Perkembangan relasional mencakup


depenetrasi dan pembubaran. Asumsi ini mencoba menjelaskan bahwa suatu
hubungan bisa saja menjadi berantakan karena disebabkan oleh suatu alasan,
sehingga terjadinya penarikan diri atau depentrasi. Bebrbeda dengan yang sudah
dijelaskan sbeleumnya, dalam asumsi ini menjelaskan bahwa adanya
kemungkinan bahwa seseorang memutar balik proses penetrasi soisal yang
seharusnya dari tidak intim menjadi intim tetapi sebaliknya dari intim menjadi
intim yang pada akhirnya menjadi sebuah desolusi hubungan. Hal ini bisa
disebabkan oleh beberapa faktor yang ada, entah itu fakotr internal atau bisa saja
faktor eksternal. Salah satu contoh faktornya bisa berupa penilaian sosial negatif
yang diberikan oleh masyarakat kepada individu tersebut, sehingga mungkin
membuat individu lain yang sebelumnya memiliki hubungan yang intim berubah
menjadi hubungan yang tidak intim. Hal ini seperti Film yang diputar secara
terbalik (Altman & Taylor), dimna biasanya bahwa proses komunikasi
akanbergerak maju namun hal ini berlaku sebaliknya. Tetapi disolusi hubungan
yang terjadi tidak begitu saja menghapus hubungan yang sbeleumnya pernah
terjadi. Menurut beberpa pakar, disolusi hubungan yang terjadi hanya akan
mengurangi keintiman yang terjadi diantara dua individu saja, dan menimbulkan
transgersi hubungan yang dimaknai sebagai kegagalan harapan dalam suatu
hubungan yang ada.

Asumsi yang terkahir berbicara tentang Pengungkapan diri adalah intidari


pengembangan hubungan. Dalam asumsi ini dijelaskan bahwa pengungkapan diri
dalam suatu proses penetrasi merupakan sebuah kunci utaman dari pengembangan
hubungan yang sedang terjadi. Karena pada dasarnya teori ini membahas
mengenai keterbukaan dalam sutu hubungan komunikasi, sehingga pengungkapan
diri atau self-disclosure merupakan suatu hal utama dalam pengembangan
hubungan untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Disini dijelaskan bahwa
pengungkapan diri dalam suatu hubungan memiliki tujuan sendiri. Pengungkapan
diri sendiri akan terjai ketika seseorang telah melalui tahapan hubungan
sebelumnya. Dari tahapan ini lah steiap individu bisa mendapatkan informasi
tentang individu lainnya yang bertujuan untuk mengembangkan hubungan yang
ada.

Dalam teori komunikasi ini juga dijelaskan mengenai analogi bawang.


Analogi ini adalah suatu gambaran untuk menjelaskan teori penetasi sosial yang
digunnakan oleh Irwin Altman dan Dalmas Tayor. Karena pada dasarnya teori ini
menjelaskan proses yang harus dilalui seseorang untung mencapai suatu hubungan
yang intim atau mungki tujuan tertentu, sehingga ada beberapa tahapan atau
lapisan yang harus dilalui dalam suatu proses penetrasi sosial. Sedangkan
Menurut Amanda Carpenter dan Kathryn Greene (2015). analogi ini dimaksudkan
untuk menggambarkan bagaimana penetrasi sosial beroperasi, menguraikan
penetrasi sosial sebagai proses di mana orang-orang "mengupas kembali" lapisan
informasi pribadi orang lain melalui interaksi interpersonal untuk mencapai inti.
Dari sini lah mengapa bawang menjadi suatu analogi yang pas mengingat bawang
memiliki lapisan-lapisan yang dapat menyimbolkan tahapan dalam suatu proses
penetrasi sosial. Setiap lapisan akan menjelaskan bagaimana proses
pengembangan hubungan terjadi, mulai dari lapisan paling luar atau proses paling
awal hingga ke lapisan paling dalam atau proses hubungan paling intim.
Adabeberapa lapisan yang mewakili setiap proses pengembangangan hubungan
penetrasi.
1. Citra Publik (public image)

Lapisan yang pertama atau lapisan paling luar, adalah lapisan citra publik.
Lapisan ini adalah lapisan yang menggambarkan kita dari sudut pandang publik
atau luar, dalam lapisan ini biasanya hanya terkandung informasi yang menjadi
konsumsi publik seperti nama dan lain lain. Dalam lapisan ini juga publik bisa
akan menilai kita dari apa yang mereka lihat, atau menetukan sperti apa kita.
Seorang yang menggunakan mobil mewah, akan dinilai sebagai orang memiliki
status ekonomi tinggi. Sebaliknya seseorang yang hanya menggunakan sepeda
ontel akan dianggapa hanya berasal dari status ekonomi yang lebih rendah.
Walapun bisa saja anggapan tersebut tidak benar adanya. Dalam lapisan ini juga,
kita bisa menetukan ingin dipandang sebagai apa kita di mata masyarakat. Orang
yang selalu berpakaian rapih dan bersih mungkin saja ingin dikenal sebagai orang
yang disiplin.

2. Resprositas

Dalam lapisan ini menjelaskan mulai adanya ketebukaan dalam hubungan.


Keterbukaan yang dilakukan bertujuan untung mendapatkan keprcayaan individu
lainnya, sehingga individu yang lain melakukan keterbukaan yang sama. Dalam
lapisan ini, mulai munculnya informasi yang lebih pribadi dibandingkan dengan
informasi yang ada pada lapisan yang pertama. Informasi yang mungkin hanya
diberikan kepada beberapa orang saja, tetapi informasi ini belum menyentuh
kepada hal-hal intim yang ada pada diri individu tersebut. Seperti halnya
informasi tentang alamat tinggal, atau mungkin media soisial yang dimiliki oleh
individu tersebut.

3. Keluasan (breadth)

Lapisan selanjutny membahas mengenai tahapan yang mulai terlihat


adanya keintiman. Dalam lapisan ini informasi yang didapat mulai meluas dan
banyak, dalam lapisan inilah mungki kita juga sedikit demi sedikit akan
mengetahui bagaimana sifat atau hal hal lain yang mungkin bersifat cukup pribadi
dari suatu individu, sepert keyakinan yang ia pilih. Disini juga mungkin kita akan
mulai bisa melihat bagaimana seorang individu melihat suatu hal, sehingga kita
bisa mengetahui bagaimna cara ia meihat suatu hal. Dalam lapisan ini sangat
berkaitan dengan lamanya waktu yang telah dihabiskan dalam pengembangan
hubungan penetrasi sosial.

4. Kedalaman (depth)

Lapisan yang terkahir ialah membahas mengenai kedalaman dalam


hubungan. Ketika seseorang sudah berada dalam lapisan ini, mungkin saja sudah
banyak informasi yang ia dapatkan dari individu lainnya. Dalam lapisan ini
sebenarnya membahas pula tentang keintiman yang bisa digunakan untuk bisa
berdiskusi suatu topik tertentu. Ketika pertama kali bertemu atau mungkin kencan
pertama kita memiliki kedalam terbatas baik dalam topik pembahasan atau
mungkin lainnya, berbeda dengan seseorang yang sudah bersama-sama selama
lima tahun yang mana diartikan semakin intimnya suatu hubungan maka semakin
luas juga kedalam yang ada.

 Teori Interaksi Simbolik

Teori Interaksi Simbolik adalah teori yang mempelajari tentang


keterkaitan simbol dalam interkasi sosial yang berdasarkan psikologi sosial yang
ada. Teori ini adalah suatu bentuk respon dari adanya teori-teori psikologi yang
memiliki aliran etnologi, behaviorisme, dan struktural-fungsionalis. Teori ini
juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang menghidupkan makna dan
nilai timbal balik dengan bantuan simbol-simbol dalam pikiran.

Sedangkan menurut Michael J. Carter (2016) Interaksionisme simbolik


adalah perspektif teoretis dalam sosiologi yang membahas cara dimana
masyarakat diciptakan dan dipelihara melalui tatap muka, berulang, interaksi
yang bermakna antar individu. Disana juga carter berpendapat bahwa,
Interaksionisme simbolik adalah kerangka kerja dan perspektif teoretis tingkat
mikro dalam sosiologi yang membahas bagaimana masyarakat diciptakan dan
dipelihara melalui interaksi berulangantar individu

Teori interaksi simbolik ini merujuk kepada tradisi semiotika. Yang


mana teori ini menitikberatkan kepada simbol-simbol yang ada dalam
interaksi sosial yang terjadi. Teori ini juga memiliki sumber yang berasal dari
tradisi fenomenologi. Karena hal itu pula interaksionisme simbolik adalah salah
satu teori yang cukup berpengaruh dalam kajian Ilmu komunikasi. Pada
dasarnya komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan yang berbentuk
verbal ataupun non-verbal, yang berupa simbol-simbol yang mewakili pesan
tersebut. Dari sini lah mengapa inetaraksionisme simbolik merupak teori
yang penting dalam kajian Ilmu komunikasi. Hal ini juga menjelaskan bahwa
komunikasi akan dimulai oleh suatu individu dan melibatkan orang lain dalam
prosesnya.

Teori Interaksionisme Simbolik pertama kali dikemukakan oleh


George Herbert Mead. Pada awalnya teori ini hanya berupa perspekstif
sosiologi yang sedang dikembangkan pada abad ke-20, dan mulai berubah
menjadi sebuah pemikiran yang teoritis. Ada dua aliran teoritis yang
mengawali teori ini yakni, aliran Chicago yang dicetuskan oleh Herbert
Blumer, lalu ada juga aliran Iowa yang digagas oleh Manford Kuhn, dan aliran
yang terakhir yang lahir dari hasil buah pemikiran Sheldon Stryker. Pada awalnya
Interkasionime Simbolik adalah sebuah perspektif yang lahir dari sebuah
idealisme Jerman, yakni pre-sokratik. Lalu perspektif ini mulai dikembangkan
oleh beberapa ahli pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tokoh-tokoh yang
pada saat itu mengembangkan adalah Charles S. Peirce, William James, dan
John Dewey.

Teori ini pertama kali lahir ketika adanya pengaplikasian terhadap


sebuah studi kehidupan sosial oleh para ahli sosiologi. Salah satu ahli yang
dimaksud ialah George Herbert Mead. Mead adalah tokoh yang secara khusus
mengembangkan perspektif interaksionisme simbolik. Menurut Herbert Mead,
bahwa setiap orang memilki motivai untuk bertindak sesuai nilai atau simbol
yang diberikan kepada orang lain, kejadian, dan benda yang ada disekitar
mereka. Simbol ini sendiri berasal dari bahasa yang dipakai oleh orang tersebut
ketika melakukan komunikasi dengan invidu lainnya yang memiliki kontek
komunikasi anatpribadi atau Komunikasi intrapersonal. Menurut Mead,
pengembangan diri terdiri dalam beberapa fase, yaitu:
Fase persiapan - imitasi yang tidak berarti

Fase bermain - permainan peran berlangsung, tetapi mereka bukan


merupakan konsep pengembangan diri yang integral

Fase bermain - adalah fase pengembangan diri.

PerkembanganTetapi pemikiran yang dimiliki oleh mead ini tidak pernah


dipublikasikan, hingga seorang tokoh sosiologi lainnya Herbert Blumer,
mengumpulkan dan juga menyunting hasil dari pemikiran mead tersebut. Yang
akhirnya mrnghasilkan sebuah buku yang berjudul Mind, Self, and Society
(1937). Yang berisi tentang penjelasan dan juga pengenalan mengenai Teori
Interkasionisme Simbolik.

1. Mind

Menurut Mead, mind berkembang dalam proses komunikasi sosial dan tidak dapat
dipahami sebagai proses yang berdiri sendiri. Proses ini memiliki dua fase
yaitu, gesture percakapan dan berbicara. Keduanya mengasumsikan konteks sosial
di mana dua atau lebih individu berinteraksi satu sama lain.

2. Self

Self dapat didefinisikan melalui interaksi dengan orang lain. Self mengacu
pada kepribadian reflektif individu. Untuk memahami konsep diri, penting untuk
memahami perkembangan diri, yang hanya mungkin melalui adopsi peran. Untuk
melihat diri kita sendiri, kita harus mampu mengambil peran orang lain untuk
merefleksikan diri kita sendiri. Mengambil peran ini adalah bagian yang
sangat penting dari pengembangan pribadi. Citra mental inilah yang dilakukan
Charles H. Cooley.

3. Society

Society tercipta melalui interaksi yang terkoordinasi antar individu. Menurut


Mead, interaksi yang terjadi pada manusia berada pada level tertinggi
dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Hal ini disebabkan penggunaan
berbagai jenis simbol yang bermakna, yaitu bahasa. Meskipun orang kadang-
kadang bereaksi secara otomatis dan tanpa berpikir terhadap gerakan manusia
lainnya, interaksi manusia diubah oleh kemampuan mereka untuk secara
langsung membentuk dan menafsirkan menggunakan sistem simbol konvensional.
Komunikasi manusia masuk akal dalam gerakan simbolis dan tidak
memerlukan tanggapan segera. Karena komunikasi manusia melibatkan
interpretasi dan pemberian makna, itu hanya dapat terjadi ketika ada konsensus
tentang maknanya. Arti dari simbol harus dibagikan kepada orang lain. Makna
bersama selalu muncul dari permainan peran. Untuk menyelesaikan suatu
tindakan, pelaku harus menempatkan dirinya pada posisi orang lain.

Interaksi Simbolik didasarkan pada ide-ide tentang diri dan hubungannya


dengan masyarakat. Teori ini juga mengklaim bahwa fakta didasarkan dan
diarahkan oleh simbol. Maka dari itu, ketika kita berbicara mengenai Teori
Interaksi Simbolik, kita tidak bisa lepas dari yang namanya makna. Interaksi
Simbolik mengkaji makna yang muncul dari interaksi timbal balik individu dalam
lingkungan sosial dengan individu lain, serta berfokus kepada pertanyaan “Simbol
dan makna mana yang muncul dari interaksi antar manusia” (Aksan et al.
2009:902). Karena bahasan mengenai ide-ide ini dapat diinterpretasikan secara
luas, maka disini kita akan mencoba untuk mengungkapkan tema dan asumsi yang
membingkai teori Interaksi SimbolikLaRossa dan Reitzes (Dalam West and
Turner 2010:79) Telah meneliti Teori Interaksi Simbolik yang ternyata berkaitan
dengan studi tentang keluarga. Mereka menemukan bahwa ada 7 asumsi pokok,
dan juga mereka menemukan bahwa asumsi ini mencerminkan 3 tema pokok.
Yaitu,

• Pentingnya makna bagi perilaku manusia

• Pentingnya konsep diri

• Hubungan antara individu dan masyarakat

Berikut adalah penjelasan serta penjabaran dari ketiga tema tersebut serta asumsi
yang terkandung di dalamnya.

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia


Teori Interaksi Simbolik percaya bahwa ketika manusia berkomunikasi
mereka membentuk dan menafsirkan makna, Karena makna pada dasarnya tidak
tercipta begitu saja dan hanya manusia yang bisa membentuk dan menafsirkannya.
Pembentukan serta penafsiran dari makna yang disampaikan dalam suatu
fenomena komunikasi dapat mempengaruhi tindakan yang dilakukan
manusia.Herbert Blumer’s (Dalam West and Turner 2010:80) memberikan 3
asumsi berdasarkan tema ini, ketiga tema tersebut adalah sebagai berikut :

a. Tindakan manusia terhadap orang lain didasarkan dari makna yang dimiliki
orang terhadap dirinyaAsumsi ini menjelaskan bahwa makna berawal dari
interaksi sosial dimana perilaku dalam interaksi sosial berperan sebagai
sebuah putaran atau sebuah “loop” antara rangsangan dan respon terhadap
rangsangan tersebut, dan makna didalam interaksi sosial tersebut dapat
mempengaruhi tindakan dari seseorang. Teori Interaksi Simbolik peduli dengan
makna dibalik suatu perilaku serta mencari makna dengan meneliti aspek
psikologis dan aspek sosiologis dari suatu perilaku. Misalnya ketika kita
berbicara dengan seseorang yang lebih tua, maka kita akan bertindak dengan
lebih sopan serta menghormati orang tersebut yang sudah lebih “senior”
dibanding kita, karena biasanya kita memaknai orang yang lebih senior dari kita
dengan makna : orang yang memiliki pengalaman lebih banyak dari kita serta
lebih bijaksana. Kita dapat memaknai orang yang lebih tua dengan seperti itu
karena makna yang kita buat adalah makna yang sesuai dengan kekuatan
sosial yang membentuk diri kita.

b. Makna tercipta dalam interaksi antar manusia Menurut George Herbert Mead
(West & Turner, 2010, hlm. 80) makna dapat tercipta hanya ketika orang-orang
berbagi kesamaan dalam penafsiran makna dari simbol yang mereka tukarkan
dalam sebuah interaksi. blumer (West & Turner, 2010, hlm. 80) menjelaskan
bahwa ada 3 cara untuk menentukan asal muasal dari sebuah makna. Yaitu:

• Makna dianggap sebagai sesuatu yang intrinsik dari suatu hal/benda. Dengan
kata lain, makna muncul secara sendirinya tanpa melalui proses dibalik
pembentukan suatu makna. Yang diperlukan hanyalah untuk mengakui makna
yang sudah ada dalam benda/hal tersebut.
• asal dari sebuah makna dilihat sebagai sesuatu yang dibawa/diberikan
kepada hal/benda oleh orang yang memaknai benda/hal tersebut (West &
Turner, 2010, hlm. 81). Pernyataan ini selaras dengan gagasan bahwa makna ada
didalam manusia, bukan didalam benda/hal yang dimaknai. Dalam perspektif ini,
makna dijelaskan dengan cara mengisolasi unsur-unsur psikologis dalam diri
manusia yang menghasilkan makna tersebut

• Makna dilihat sebagai sesuatu yang terus terjadi diantara orang-orang. Makna
adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang terbentuk di dalam dan melalui
aktivitas manusia saat mereka berinteraksi”. Dengan kata lain, makna baru
akan muncul setelah terjadinya sebuah interaksi

c. Makna dimodifikasi melalui proses yang interpretif Menurut blumer (West &
Turner, 2010, hlm. 82) proses interpretif memiliki dua tahapan. Tahapan yang
pertama yaitu bahwa komunikator menunjukkan sendiri benda/hal apa yang
memiliki makna. Komunikator didalam proses ini menurut blumer berbeda dari
pendekatan psikologis, karena menurut dia didalam proses ini terdiri dari orang-
orang yang terlibat dalam komunikasi dengan diri mereka sendiri. Artinya bahwa
seseorang menafsirkan sendiri benda/hal apa yang memiliki makna bagi dirinya
sendiri. Contohnya ketika seseorang sedang pergi ke sebuah Mall, dia
berkomunikasi dengan dirinya sendiri tentang area mana yang bermakna untuk
dirinya sendiri.Tahapan yang kedua melibatkan komunikator melakukan
seleksi, pengecekan, serta perubahan dari makna berdasarkan konteks atau
lingkungan dimana dirinya berada.

2. Pentingnya Konsep Diri

Konsep diri merupakan seperangkat persepsi yang relatif stabil yang


dipegang oleh orang-orang tentang diri mereka sendiri. Bagi Interaksi
Simbolik, “diri” memisahkan manusia dari mahkluk lain yang ada di dunia.
Ketika seseorang bertanya “siapakah saya” jawaban dari pertanyaan tersebut
berkaitan dengan konsep diri. Tema ini berfokus pada pentingnya Konsep diri,
karena konsep diri merupakan suatu hal yang terus berkembang seiring
berjalannya waktu. Kondisi fisik, kemampuan, bakat, keadaan emosional,
nilainilai, keterbatasan, intelektual merupakan beberapa hal-hal yang
berkaitan dengan konsep diri, dan hal-hal tersebut sifatnya tidak ada yang statis.
Teori ini menggambarkan individu sebagai diri yang aktif, yang didasari oleh
interaksi sosial dengan individu lainnya. LaRossa dan Reitzes (Dalam West and
Turner 2010:82) memberikan 2 asumsi dalam tema Konsep Diri ini. kedua tema
tersebut yaitu sebagai berikut :

a. Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain

Asumsi ini menunjukkan bahwa persepsi diri atau Sense of Self kita hanya
dapat terbentuk melalui kontak dengan orang lain. manusia tidak terlahir dengan
konsep diri, tetapi mereka mempelajarinya melalui interaksi. Significant
Others atau orang-orang terdekat kita sangatlah penting karena tanggapan atau
reaksi mereka sangat berpengaruh dalam penciptaan persepsi diri kita.Kita ambil
contoh dari citra diri seorang remaja, remaja mulai melihat diri mereka sendiri
sebagaimana mereka pikir orang lain memandang diri mereka. Hal ini terjadi
akibat dari interaksi mereka dengan orang-orang terdekat mereka seperti Orang
tua, Adik atau Kakak mereka, dan Teman sebayanya. Remaja mengambil
persona yang telah tercermin di dalam diri mereka yang dia lihat dalam banyak
interaksi mereka dengan orang lain. saat mereka berperilaku dengan cara yang
mempertegas eksistensi dari citra diri ini, citra itu semakin diperkuat, dan unsur
lain didalam diri remaja itu juga mengikuti apa yang ditegaskan oleh citra
diri nya .Jadi, misalnya seseorang merasa tidak baik interaksi sosialnya, mereka
mungkin akan menarik diri mereka untuk menyendiri, sehingga semakin
memperkuat perasaan dan persepsi ketidakmampuan diri mereka, dan pada
akhirnya menghambat pengembangan konsep diri mereka.

b. Konsep diri memberikan motif penting bagi perilaku seseorang Gagasan


bahwa Keyakinan, Nilai-Nilai, Perasaan, dan Penilaian tentang diri
memengaruhi perilaku merupakan prinsip utama dari teori ini. mead (Dalam West
and Turner 2010:83) berpendapat bahwa karena manusia memiliki “diri”, mereka
dilengkapi dengan sebuah mekanisme untuk Interaksi Diri atau Self-
Interaction. Mekanisme ini digunakan untuk memandu perilaku seseorang.Mead
melihat diri dalam manusia sebagai sebuah proses, bukan sebagai sebuah struktur.
Memiliki “diri” memaksa manusia untuk membentuk tindakan dan tanggapan
mereka daripada hanya mengekspresikannya. Dengan kata lain, tindakan dan
tanggapan manusia merupakan sebuah produk dari proses “diri” seseorang,
bukanlah sebuah produk dari struktur yang telah ditentukan oleh alam. jadi
misalnya jika seseorang merasa hebat dengan kemampuannya bermain gitar
elektrik, maka kemungkinan besar dia akan berhasil menjadi seorang gitaris
yang hebat, dan bahkan kemungkinan besar dia akan selalu percaya diri setiap
akan dia hendak bermain gitar didepan khalayak ramai.Proses ini sering diebut
sebagai Self-Fulfilling Prophecy, atau bisa disebut juga sebagai ekspektasi diri
seseorang yang menyebabkan seseorang berperilaku sedemikian rupasehingga
harapannya atau ekspektasinya menjadi nyata.

3. Hubungan antara individu dan masyarakat

Tema terakhir yang dikemukakan oleh Mead dan Blumer ini memiliki kaitan
dengan kebebasan individu dan kendala sosial. Untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan, mengambil posisi yang berada ditengah-tengah dalam menykapi
pertanyaan ini. mereka mencoba untuk menjelakan keteraturan dan perubahan
dalam proses sosial. Adapun 2 asumsi yang memiliki kaitan dengan tema ini.
kedua asumsi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Orang dan kelompok dipengaruhi oleh budaya dan proses sosialAsumsi ini
mengakui bahwa norma sosial membatasi perilaku dari individu. Misalnya jika
kita adalah seorang perokok, tidak mungkin kita akan memaksakan diri
untuk merokok di kawasan Rumah Sakit. Hal tersebut kita lakukan karena
perilaku tidak merokok kita ketika berada di Rumah Sakit merupakan perilaku
yang sesuai secara sosial dalam konteks lingkungannya.budaya juga sangat
mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita hargai dalam Konsep Diri kita.
Contohnya, di SMA yang ada di Jakarta, orang yang melihat diri mereka sebagai
seorang jagoan atau pemangku kekuasaan di tongkrongan cenderung bangga
dengan pandangannya tersebut dan mencerminkan konsep diri mereka dengan
baik. Hal ini dapat teradi karena di kebanyakan SMA di Jakarta, memiliki
budaya senioritas yang tinggi sehingga menjadi jagoan atau kekuasaan
diantara ketiga angkatan di SMA nya merupakan suatu hal yang sangat
dihargai. Berbeda jika konsep ini diterapkan pada SMA swasta yang tidak
memiliki budaya senioritas, mereka akan menganggap kekuasaan atau menjadi
jagoan merupakan suatu hal yang membuang-buang waktu belajar mereka saja.b.
Struktur sosial terbentuk melalui interaksi sosialAsumsi ini memediasi posisi
yang diambil oleh asumsi pertama. Interaksi Simbolik menentang pandangan
bahwa struktur sosial tidak dapat berubah dan mengakui bahwa individu dapat
memodifikasi situasi sosial.Interaksi dapat merubah struktur sosial dan
interaksi tidak sepenuhnya dibatasi oleh struktur sosisal. Interaksi Simbolik
percaya bahwa manusia lah yang membuat pilihan, dan dengan adanya pilihan
ini manusia dapat merubah struktur sosial yang ada, jadi manusia tidak
sepenuhnya harus mematuhi struktur sosial yang telah ada.

 Teori Pengurangan Ketidakpastian

Dalam kegiatan sehari-hari kita akan selalu bersinggungan dengan


lingkunga sekitar. Di dalam lingkungan itulah kita sering kali melakukan interaksi
dengan berbagai individu-individu yang ada dalam lingkungan kita. Entah
interaksi tersebut adalah interkasi yang baru untuk kita lakukan atau mungkin
interkasi itu merupakan interaksi yang sudah sering kita lakukan. Seperti saat kita
berpapasan dengan tetangga kita, saat kita sedang berjalan menuju warung. Atau
betegur sapa dengan orang yang bersebelahan saat kita sedang melaksanakan
ibadah sholat jumat.

Dari interkasi-interkasi yang sering kita lakukan tersebut, kadang kala kita
tidak merasa nyaman dengan interaksi tersebut. Rasa canggung yang mungkin
muncul saat kita bertemu dengan seseorang saat kita berinteraksi. Seperti saaat
kita bertemu tetangga saat kita sedang berjalan menuju warung, ada
ketidakpastian saat kita ingin menuegurnya. Atau mungkin saat kita sedang
melaksanakan sholat jumat dan tepat disebelah kita ada orang lain juga yang ingin
melaksanakan sholat jumat, ada kecanggungan dan ketidakpastian tentang
bagamaimana kita harus bersikap.Hal-hal lainnya yang mana mungkin
membentuk keatidaknyamanan di dalam lingkungan yang ada. ketidaknyaman ini
mungkin bisa didapat lingkungan yang ada, atau mungkin dari siapa kita
berinterkasi dana juga keberlangsungan interaksi tersebut. Dari ketidaknayaman
itulah yang mungkin membuat adanya ketidakpastian atas respon dari interkasi
yang telah terjadi.

Ketidak nyamana juga bisa terjadi ketika kita berinterkasi dengan orang
baru pertama kali brinterkasi dengan kita. Kita akan mencoba menebak
bagamaimana karakter dari orang tersebut, sehingga mungkin kita akan ada di
dalam posisi yang tidak nyaman karena ketidakpastian yang ada. Dalam proses
memprediksi tersebut biasanya kita akan mencoba menaruh harapan tentang
bagaimana orang yang sedang berinterkasi dengan kita. Dalam proses ini juga kita
akan berharap bahwa proses interaksi awal ini bisa berjalan dengan baik. Didalam
ketidakpastian kita akan mecoba untuk memahami bagaimana orang yang
berinterkasi dengan kita tersebut menanggapai interaksi kita. Ketidakpastian juga
bisa terjadi ketika kita sedang mealakukan wawancara saaat kita mencoba untuk
mendapatkan sebuah pekerjaan yang kita inginkan. Ketidakpastian tersebut
muncul dari harapan kita atas wawancara tersebut.

Dari hal-hal tersebut kita mungkin akan mencoba untuk bisa mengurangi
ketidakpastian tersebut. Dengan tujuan untuk memahami keadaan dari interkasi
yang sedang berlangsung. Kita akan mencoba untuk bisa menyusaikan diri kita
dengan ineteraksi yang sedang berlangsung. Atau mungkin kita juga akan
mencoba untuk bisa menafsirkan respon yang diberikan lawan bicara kita saat
interaksi tersebut berlangsung. Dari sinilah beberapa ahli seperti Charles
Berger dan Richard Calabrese mengkaji lebih dalam mengenai fenomena yang
berlangsung saat kita berinterkasi dengan individu lainnya.

Teori pengurangan ketidakpastian atau uncertainly reduction, adalah sebuah teori


yang membahas mengenai cara dalam mengurangi keraguan seseorang terhadap
suatu interkasi yang ada pada ruang lingkup di sekitarnya. Teori pengurangan
ketidakpastian awalnya dibuat untuk menjelaskan komunikasi proses yang terjadi
ketika dua orang asing berinteraksi (Redmon, 2015, hal.2). Dari sini kita bisa
mengetahui bahwa toeri ini berfokus kepada komunikasi atau interakasi yang
terjadi diantara orang yang baru pertama kali berinterkasi diantara satu sama lain.
Hal ini dijelaskan dalam tujuan teori ini sendiri yaitu adalah untuk menjelaskan
bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian antara orang
asing yang terlibat dalam percakapan pertama mereka bersama (Berger &
Celebres, 1975; West & Turner, 2010, hal. 147). Bahwa pada dasarnya teori ini
membahas mengenai ketidakpastian saat kita melakuka komunikasi atau interaksi
dengan seseorang yang baru kita temui. Berger dan Celebres, mencoba
menjelaskan hasil pemikirannya tentang perhatiannya terhadap sebuah fenomena
tentang bagaimna seseorang berinteraksi pertama kalinya dengan seseorang yang
baru. Sehingga sering kali kita termotivasi untuk memprediksi dan menjelaskan
apa yang terjadi dalam pertemuan awal. Ramalan didefinisikan sebagai
kemampuan untuk meramalkan pilihan perilaku yang mungkin dipilih dari
berbagai kemungkinan pilihan yang tersedia untuk diri sendiri atau pasangan
relasional. Penjelasan mengacu pada upaya untuk menafsirkan makna tindakan
masa lalu dalam suatu hubungan (West & Turner, 2010, hlm. 148). Seperti yang
dijelaskan, bahwa teori ini mencoba menjelaskan tentang apa yang akan kita
lakukan saat kita mengalami ketidakpastian di dalam sebuh interaksi. Disini juga
dijelaskan bahwa seseorang yang sedang merasakan ketidakpastian cenderung
akan mencoba menerka keadaan dari lingkungan ia berinteraksi. Dari pembacaan
situasi tersebutlah, kita mungkin akan melakukan sesuatu atau merespon
berdasarkan pengalaman terhadap situasi tersebut.

Ada juga penjelasan mengenai teori ini yang diungkapkan oleh Berger dan
Gudykunst, yang menyatakan bahwa Prinsip utama teori pengurangan
ketidakpastian adalah bahwa orang yang bertemu untuk pertama kalinya pada
dasarnya termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian tentang perilaku mereka
sendiri dan perilaku pasangannya (Berger & Gudykunst, 1991; Knobloch, 2016,
hlm. 2). Serupa dengan apa yang dijelaskan sebelumnya, bahwa seseorang
melakukan interaksi pertama kali akan berusaha untuk bisa mengurangi
ketidakpastian yang terjadi. Disana juga dijelaskan bahwa individu mengalami
ketidakpastian sebagai bagian dari proses proaktif memprediksi perilaku masa
depan serta proses retroaktif menjelaskan perilaku sebelumnya (Knobloch, 2016,
hlm. 2). Teori ini jug mengambarkan ketidapastian dalam itu sendiri, dikutip dari
apa yang dikatan Berger dana Badac, bahwa teori pengurangan ketidakpastia
mengkonseptualisasikan ketidakpastian sebagai produk dari kuantitas dan
probabilitas hasil yang mungkin terjadi dalam situasi tertentu (Berger & Bradac,
1982; Knobloch, 2016, hlm. 2). Disini menjelaskan bahwa ketidakpastian terjadi
pada suatu keadaan tertentu dari hasil kita melakukan interaksi. Orang-orang
mengalami ketidakpastian yang substansial ketika beberapa alternatif sama-sama
mungkin terjadi. Sebaliknya, mereka mengalami lebih sedikit ketidakpastian
ketika satu alternatif sangat mungkin terjadi. Yang pada intinya Knobloch
menjelaskan bahwa Ketidakpastian adalah fitur mendasar dari komunikasi
interpersonal. Misalnya, orang asing menghadapi ketidakpastian saat bertemu satu
sama lain untuk pertama kalinya, pelamar kerja mengalami ketidakpastian saat
wawancara kerja, rekan bisnis menghadapi ketidakpastian saat berjejaring di acara
profesional, teman menghadapi ketidakpastian saat membuat rencana untuk
menghabiskan waktu bersama, mitra kencan mengalami ketidakpastian saat
bertemu. mengukur komitmen satu sama lain untuk hubungan, pasangan
menghadapiketidakpastian ketika merundingkan rutinitas keluarga, dan orang tua
menghadapi ketidakpastian ketika berusaha untuk memberikan contoh yang baik
bagi anak-anak mereka (Knobloch, 2016, hlm. 1).

Lalu ada pendapat lain juga mengenai teori ini. pendapat tersebut datang
dari Michael Sunafrank (1986), yang menyatakan bahwa pengurangan
ketidakpastian bukanlah perhatian utama individu selama fase masuk ini, seperti
yang dikemukakan sebelumnya. Sebaliknya, pengurangan ketidakpastian
dilemparkan sebagai bawahan dari perhatian yang lebih sentral dari peningkatan
hasil relasional yang pasti. Dari pandangan tersebut kita diberikan pemahaman
bahwa pengurangan ketidakpastian bukanlah sebuah perhatian khusus ketika kita
sedang melakukan interkasi dengan orang yang baru kita kenal. Dalam tulisannya
juga, Sunafrank menjelaskan bahwa teori ini berfokus secara eksklusif pada
pengaruh potensial ketidakpastian dan pengurangan ketidakpastian selama
perkenalan awal. Ini mengartikan bahwa teori ini lebih menekankan kepada
pengaruh ketidakpastian yang ada.

Karena pada dasarnya teori ini dikembangkan oleh cukup banyak ahli,
sehingga teori ini memiliki penafsiran yang cukup beragam. Seperti halnya yang
coba dijelaskan oleh William B. Gudykunst, Tsukasa Nhisida ,Seung-Mock Yang.
Dalam kajiannya mereka mencoba menjelaskan bahwa, Teori pengurangan
ketidakpastian berfokus pada interaksi awal. Konstruk sentralnya adalah
ketidakpastian dan teori menjelaskan hubungan beberapa variabel (misalnya,
kesamaan, ketertarikan, jumlah komunikasi) dengan pengurangan ketidakpastian
dalam interaksi dengan orang asing (Berger & Calabrese 1975; Gudykunst, 1985,
hlm. 407). Senada dengan penjelasan sbeleumnya, bahwa teori ini berkutat
tentang interkasi awal. Yang berbeda dijelaskan bahwa teori ini berkaitan dengan
kesamaan, kertarikan, dan jumlah komunikasi yang mungkin mempengaruhi
ketidakpastian tersebut.

Teori pengurangan ketidakpastian dikemukakan pada tahun 1975 oleh


Charles Berger dan Richard. Calabrese untuk menjelaskan bagaimana individu
berpikir dan berperilaku ketika berkomunikasi selama tahap awal bertemu orang
asing. Teori pengurangan ketidakpastian merupakan inovasi pada awalnya dan
masih menjadi inovasi hingga saat ini. Salah satu aspek yang melandasi teori
adalah bahwa ia melawan defisit perdagangan ilmiah antara disiplin ilmu
komunikasi dan disiplin ilmu lainnya (Knobloch, 2016, hlm. 1). Selama tahun-
tahun awal bidang komunikasi interpersonal, para ahli cenderung mengandalkan
teori psikologi sosial sebagai titik masuk untuk memahami produksi pesan dan
pemrosesan pesan dalam situasi diadik. Teoi pengurangan ketidakpastian berusaha
untuk mengimbangi dinamika yang ada dengan meluncurkan salah satu kerangka
kerja pertama yang dikembangkan sendiri untuk menjelaskan komunikasi
interpersonal.

Komponen inovatif kedua dari teori ini adalah bahwa teori tersebut telah
memicu dekade perdebatan berkelanjutan dan berteori tentang bagaimana orang
berkomunikasi ketika mereka tidak yakin dengan lingkungan sosialnya. Sejumlah
teori yang lebih kontemporer telah memperluas, menantang, menyempurnakan,
atau mengkontekstualisasikan asumsi inti teori pengurangan ketidakpastian,
termasuk teori manajemen kecemasan atau ketidakpastian oleh Gudykunst,
prediksi hasil teori nilai oleh Sunnafrank, model turbulensi relasional oleh
Solomon, Knobloch, dan Theiss, dan teori manajemen ketidakpastian dalam
organisasi oleh Kramer. Dengan menyediakan pintu gerbang untuk generasi
berikutnya dari berteori tentang ketidakpastian dalam episode komunikasi
interpersonal, teori pengurangan ketidakpastian telah sangat berhasil
mengembangkan percakapan intelektual yang terletak tepat di dalam disiplin
komunikasi.

Dalam pengembangannya juga teori ini memiliki beberapa perubahan dan


pengembangan. Ini dijelaskan oleh Rhicard West dan Lynn H. Turner, bahwa
teori itu kemudian sedikit dielaborasi (Berger, 1979; Berger & Bradac, 1982).
Versi teori saat ini menunjukkan bahwa ada dua jenis ketidakpastian dalam
pertemuan awal: kognitif dan perilaku. Kognisi kita mengacu pada keyakinan dan
sikap yang kita dan orang lain pegang (West & Turner, 2010, hlm. 148).
Ketidakpastian kognitif, oleh karena itu, mengacu pada tingkat ketidakpastian
yang terkait dengan keyakinan dan sikap tersebut. Ketidakpastian perilaku, di sisi
lain, berkaitan dengan "sejauh mana perilaku dapat diprediksi dalam situasi
tertentu" (Berger & Bradac, 1982, hlm. 7).

Berger menjelaskan bahwa berbicara tentang sifat ketidakpastian perilaku


dalam bagian ini: “Untuk berinteraksi dengan cara yang relatif lancar,
terkoordinasi, dan dapat dimengerti, seseorang harus dapat memprediksi
bagaimana pasangan interaksinya cenderung berperilaku, dan, berdasarkan ini
prediksi, untuk memilih dari repertoar sendiri tanggapan-tanggapan yang akan
mengoptimalkan hasil dalam pertemuan itu” (Berger, 1979; west & Turner, 2010,
hlm. 149). Dapat diartikan jika kita dapat memprediksi bahwa orang yang sedang
berinterkasi akan menjadi individu yang penyayang yang bersedia mengajukan
pertanyaan dan mengungkapkan informasi pribadi kepadanya, maka dia harus siap
untuk memberikan tanggapan sehingga orang tersebut dan kita akan memiliki
percakapan yang luar biasa. Tidak berhenti disitu, Berger dan Calabrese
berpendapat bahwa pengurangan ketidakpastian memiliki proses proaktif dan
retroaktif (Berger & Calabrese, 1975; West & Turner, 2010, hlm. 149).

Lalu teori ini terus dikaji, hingga pada tahu 1991 Berger dan Gudykunst
memiliki pndapat bahwa, Prinsip utama teori pengurangan ketidakpastian adalah
bahwa orang yang bertemu untuk pertama kalinya pada dasarnya termotivasi
untuk mengurangi ketidakpastian tentang perilaku mereka sendiri dan perilaku
pasangannya (Berger & Gudykunst, 1991;Knobloch, 2016, hlm. 2). Menurut teori
tersebut, individu mengalami ketidakpastian sebagai bagian dari proses proaktif
memprediksi perilaku masa depan serta proses retroaktif menjelaskan perilaku
sebelumnya. Teori pengurangan ketidakpastian mengkonseptualisasikan
ketidakpastian sebagai produk dari kuantitas dan probabilitas hasil yang mungkin
terjadi dalam situasi tertentu. Orang-orang mengalami ketidakpastian yang
substansial ketika beberapa alternatif sama-sama mungkin terjadi. Sebaliknya,
mereka mengalami lebih sedikit ketidakpastian ketika satu alternatif sangat
mungkin terjadi. Teori pengurangan ketidakpastian juga mendefinisikan dua jenis
ketidakpastian yang muncul selama episode komunikasi interpersonal.
Ketidakpastian kognitif muncul ketika individu tidak yakin tentang keyakinan
mereka sendiri dan keyakinan pasangan mereka. Ketidakpastian perilaku terjadi
ketika orang tidak mampu memprediksi dan menjelaskan tindakan mereka sendiri
dan tindakan pasangan mereka (Knobloch, 2016, hlm. 2).

Dalam sebuah teori, pada dasarnya akan ada landasan pemikiran yang
menjadi sebuah pondasi berpikir dari teori tersebut. Dan hal tersebut dikenal
dengan nama Asumsi. Asumsi dalam sebuah teori menjasi sebuah bentuk atau
cerminan dari pemikiran sang pencetus terhadapa pandangan duni mengenai teori
tersebut (West & Turner, 2010, hlm. 150). Dalam teori ini, dijelaskan oleh
Rhicard west dan Lynn H. Turner bahwa ada tujuh asumsi yang menjasi dasar
pemikiran dari teori pengurangan ketidakpastian ini. Ketujuh teori tersebut akan
dijelaskan lebih rinci dalam bahasan berikut.

1. Orang mengalami ketidakpastian dalam pengaturan interpersonal

Asumsi yang pertama menjelaskan bahwa dalam sejumlah pengaturan


interpersonal, orang merasakan ketidakpastian. Karena harapan yang berbeda ada
untuk kesempatan interpersonal, masuk akal untuk menyimpulkan bahwa orang
tidak yakin atau bahkan gugup untuk bertemu orang lain (West & Turner, 2010,
hlm. 150). Ketidakpastian yang muncul ketika kita bertemu dengan orang yang
pertama kali kita berinteraksi adalah sebuah wujud dari pengaturan sebuah
interapersonal tersebut. Kita akan merasa gugup atau cemas ketika kita sulit untuk
bisa menerka bagaimana keadaan atau situasi yang sedang terjasi ada pada
lingkungan kita tersebut. Jadi bisa dikatakan bahwa ketidakpastian yang muncul
hingga mengakibatkan kita merasa cemas, adalah buah dari ketidak pandaian
seseorang dalam membaca stuasi yang berlangsung. Tetapi hal ini akan menjadi
berbeda jika kita bisa mengatasi masalah dalam memahami situasi yang
berlangsung. Sehingga ketidakpastian tersebut bisa kita minimalisir atau pun kita
atasi. Misalnya ketka kita berpapasan dengan teman sekelas kita, yang sama sekali
belum pernah berinterkasi dengan kita. Ada rasa ketidakpastian yang timbul saat
kita mencoba untuk berienteraksi. Walaupun ada banyak sekali petunjuk di
lingkungan yang dapat membantu teman kita untuk memahami interaksi dengan
kita. Mungkin ada beberapa penjelasan alternatif untuk perilaku ini, termasuk
kelas lain yang jauh, kecenderungan umum untuk terburu-buru, harus pergi ke
kamar mandi, merasa pingsan dan menginginkan udara segar, ingin menghindari
bertemu teman kita di pintu, dan sebagainya.

2. Ketidakpastian adalah keadaan permusuhan, menghasilkan stres kognitif

Asumsi yang kedua menjelaskan ketidakpastian adalah keadaan yang


tidak menyenangkan. Dengan kata lain, dibutuhkan banyak energi emosional dan
psikologis untuk tetap tidak pasti (West & Turner, 2010, hlm. 150). Dari rasa
ketidakpastian tersebut kita akan merasa cemas, sehingga itu juga akan
mempengrahui keadaan perasaan atau psikologis kita. Sehingga ketikas
ketidakpastian tersebut sangat besar, yang mencipatakan rasa kecemasan yang
cukup tinggi akan membebani energi kognitif yang kita miliki. Dalam pemikiran
kita akan timbul banyak pertanyaan yang cukup mengganggu keadaan
ketenanngan kita. yang pada akhirnya hal tersebut mungkin akan menambah rasa
kecemasan kita tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah buah dari
kecemesan dari rasa ketidakpastian tersebut. Misalnya ketika kita berada dalam
suatu dalam perkuliahan. Dan pada suatu hari dosen yang biasa mengisi
perkuliahan berhalang untuk hadir, dan digantikan dengan dosen yang lebih muda.
Dari sana akan timbul banyak sekali pertanyaan yang memenuhi energi kognitif.
Kita aka mulai berpikir tentang bagaimna dosen yang lebih muda ini bisa
menyampaikan materi kepada kita, karena mungkin sebelumnya kita belum
pernah merasakan pembelajaran dalam kuliah dengan dosen yang memiliki umur
cukup muda.
3. Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah mengurangi
ketidakpastian atau meningkatkan prediktabilitas

Dalam asumsi yang selanjutnya ini dijelaskan bahwa pada dasarnya Teori
pengurangan ketidakpastian memajukan proposisi bahwa ketika orang asing
bertemu, ada dua perhatian penting: mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan
prediktabilitas. Sekilas, ini mungkin terdengar masuk akal, namun, karena Berger
(1995) menyimpulkan, "Selalu ada kemungkinan bahwa mitra percakapan
seseorang akan merespons secara tidak biasa bahkan untuk pesan yang paling
rutin sekalipun". Teori Pengurangan Ketidakpastian menunjukkan bahwa
kekhawatiran ini sering ditangani melalui pencarian informasi (Berger, 1975;
West & Turner, 2010, hlm. 151). Ketika kita berusaha berinteraksi dengan
seseorang yang baru, kita akan mencoba sekian banyak cara untuk bisa
menghentikan kecanggungan atau kecemasan yang kita miliki. Ini lah bentuk
dalam perilaku kita dalam mengurangi ketidakpastian yang cenderung kita
lakukan saat kita pertama kali bertemu dengan seseorang yang baru. Sedangkan
dalam upaya meningkatkan prediktibilitas kita akan melakukan pencarian
informasi biasanya mengambil bentuk mengajukan pertanyaan untuk
mendapatkan beberapa prediktabilitas. Hal ini yang biasa dilakukan oleh seorang
Politisi, mereka sering mengajukan pertanyaan ketika bertemu konstituen mereka.
Mereka menghabiskan waktu dengan pemilih di distrik mereka dan mengajukan
pertanyaan kepada mereka untuk mengetahui kebutuhan mereka. Proses ini bisa
sangat menarik, dan banyak orang melakukannya secara tidak sadar.

4. Komunikasi interpersonal merupakan proses perkembangan yang terjadi


melalui tahapan.

Pada asumsi ini mencoba menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal


adalah proses yang melibatkan tahapan perkembangan (West & Turner, 2010,
hlm. 151). Komunikasi yang kita lakukan dengan seseorang yang baru akan
megalami beberpa tahapan untuk bisa mengembangkan komunikasi itu sendiri.
Menurut Berger dan Calabrese, secara umum, kebanyakan orang memulai
interaksi secarafase masuk, didefinisikan sebagai tahap awal interaksi antara
orang asing. Fase masuk dipandu oleh aturan dan norma implisit dan eksplisit,
seperti merespons dengan baik ketika seseorang berkata, “Hai! Apa kabarmu?"
Individu kemudian memasuki tahap kedua, yang disebutfase pribadi, atau tahap di
mana para pelaku interaksi mulai berkomunikasi secara lebih spontan dan
mengungkapkan informasi yang lebih idiosinkratik. Fase pribadi dapat terjadi
selama pertemuan awal, tetapi lebih mungkin dimulai setelah interaksi berulang.
Tahap ketiga, fase keluar, mengacu pada tahap di mana individu membuat
keputusan tentang apakah mereka menginginkannya untuk terus berinteraksi
dengan mitra ini di masa mendatang. Meskipun semua orang tidak memasuki fase
dengan cara yang sama atau tetap dalam fase untuk waktu yang sama, Berger dan
Calabrese percaya bahwa ada kerangka universal yang menjelaskan bagaimana
komunikasi antarpribadi membentuk dan mencerminkan perkembangan hubungan
antarpribadi. Dari apa yang dijelaskan oleh Berger dan Calabrese, bahwa
seseorang dalam melakukan komunikasi ada pola tahapan yang akan dilewati
dengan cara yang beragam satu individu dengan individu lainnya.

5. Komunikasi antarpribadi adalah sarana utama untuk mengurangi


ketidakpastian.

Asumsi yang kelima, menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal adalah


sarana utama pengurangan ketidakpastian (West & Turner, 2010, hlm. 152).
Komunikasi yang kita lakukan dengan orang baru merupakan cara paling ampuh
dalam mengtasi ketidakpastian yang muncul. Ketika kita berkomunikasi kecmasan
akan perlahan berkurang yang kemudian kita akan bisa mengataso rasa
ketidakpastian tersebut. Hal ini juga dikarenakan komunikasi interpersonal
merupakan sebuah unsur utama dalam teori pengurangan ketidakpastian. Teori
pengurangan ketidakpastian mengacu pada konteks interpersonal yang berkaitan
dengan komunikasi interpersonal memerlukan sejumlah prasyarat di antaranya
keterampilan mendengarkan, isyarat respons nonverbal, dan bahasa bersama (west
& Turner, 2010, hlm. 152). Dalam asumsi ini juga dijelaskan, bahwa ada sejumlah
situasi di mana "prasyarat untuk melakukan pertemuan tatap muka ini mungkin
tidak terpenuhi" seperti ketika kita berkomunikasi dengan orang yang mengalami
gangguan pendengaran atau gangguan penglihatan yang tidak memiliki
kemampuan sensorik penuh. Atau kita mungkin memiliki pengalaman
berkomunikasi dengan seseorang yang tidak berbicara bahasa yang kita bisa.
Tantangan seperti ini mempengaruhi proses pengurangan ketidakpastian dan
pengembangan relasional.

6. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagikan orang berubah sepanjang waktu.

Dalam asumsi yang satu ini menekankan pada sifat waktu. Ini juga
berfokus pada fakta bahwa komunikasi interpersonal adalah perkembangan. Teori
pengurangan ketidakpastian percaya bahwa interaksi awal adalah elemen kunci
dalam proses perkembangan (West & Turner, 2010, hlm. 152). Hal yang terjasi
pada interkasi awal yang kita lakukan, mungkin akan menetukan bagaimna
perkembangan interkasi itu sendiri. Sehingga interaksi awal menjadi penting
dalam sebuah pengurangan ketidakpastian. Disini juga dijelaskan bahwa
ketidakpastian akan berkurang dengan seiring perkembangan dari interaksi yang
tejradi, sehingga waktu merupakan suatu hal yang berkaitan dalam pengurangan
ketidakpastian. Kita bisa melihatnya dalam, pertimbangkan pengalaman Rita,
yang menghabiskan beberapa menit sendirian sebelum memasuki sebuah aula
untuk menghadiri pertemuan pertama Orangtua, Keluarga, dan Teman Lesbian
dan Gay. Dia segera merasa lebih nyaman ketika Dan, pendatang baru lainnya,
datang untuk memperkenalkan dirinya dan menyambutnya ke grup. Saat
keduanya bertukar informasi tentang kecemasan dan ketidakpastian mereka,
mereka berdua merasa lebih percaya diri. Saat mereka berbicara, Rita dan Dan
mengurangi ketidakpastian mereka tentang seperti apa anggota kelompok
pendukung lainnam. Dari sini kita bisa melihat bahwa Rita dan Dan adalah tujuan
yang diarahkan dan karena itu akan menggunakan sejumlah strategi komunikasi
untuk memperoleh informasi sosial. Mengurangi ketidakpastian adalah kunci bagi
Rita dan Dan (West & Turner, 2010, hlm. 152).

7. Adalah suatu kemungkinan untuk memprediksi perilaku orang dengan cara


yang seperti hukum.

Asumsi yang terkahiir ini mencoba menjelaskan bahwa perilaku orang


dapat diprediksi dengan cara seperti hukum. Hal ini didasari oleh ahli teori yang
memiliki beberapa pedoman untuk membantu mereka dalam pekerjaan konstruksi
teori. Salah satu pedoman yang diulas adalah meliputi hukum, yang
mengasumsikan bahwa perilaku manusia diatur oleh prinsip-prinsip yang dapat
digeneralisasikan yang berfungsi secara hukum (West & Turner, 2010, hlm. 152).

Setelah kita membahas mengenai asumsi atau landasan oemikiran ahli


terhadap teori ini. Kita akan membahas mengenai konsep dari teori pengurangan
ketidakpastian, yang mana meupakan komponen-komponen utama yang
menjadikan sebuah teori ini terbentuk. Konsep teori pengurangan ketidakpastian
sendiri meliputi Aksioma dan jenis-jenis ketidakpastian itu sendiri.

Aksioma

Berger dana Calabrese mejelaskan bahwa, Teori Pengurangan


Ketidakpastian adalah teori aksiomatik. Yang berarti bahwa teori ini dimulai
dengan penjelasan aksioma, atau kebenaran yang diambil dari penelitian masa lalu
dan akal sehat. Aksioma-aksioma ini, atau yang mungkin disebut oleh beberapa
peneliti sebagai proposisi, tidak memerlukan bukti lebih lanjut selain pernyataan
itu sendiri. Dijelaskan juga oleh Rhicard west dan Lynn H. Turner, bahwa
Aksioma adalah jantung dari teori. Mereka harus diterima sebagai valid karena
mereka adalah blok bangunan untuk segala sesuatu yang lain dalam teori. Setiap
aksioma menyajikan hubungan antara ketidakpastian (konsep teoritis sentral) dan
satu konsep lainnya (West & Turner, 2010, hal. 153). Pada awalnya Berger dan
Calabrese menjelaskan bahwa teori pengurangan ketidakpastian memiliki tujuan
aksioma, dan ketujuh aksioma tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

 Aksioma 1

Melihat dari tingginya sebuah tingkat ketidakpastian yang ada pada awal
fase masuk, karena jumlah komunikasi verbal antara orang asing meningkat,
tingkat ketidakpastian untuk setiap interaksi dalam hubungan akan berkurang.
Ketika ketidakpastian semakin berkurang, jumlah komunikasi verbal akan
meningkat (Berger & Calabrese, 1975, hal. 102). Dijelaskan bahwa Aksioma ini
mengandaikan hubungan kausal timbal balik antara jumlah komunikasi verbal dan
tingkat pengurangan ketidakpastian; yaitu, pengurangan dalam tingkat
ketidakpastian umpan balik untuk menentukan jumlah komunikasi verbal.
Sebelumnya mengutip studi Lalljee dan Cook yang memungkinkan untuk
pertukaran dua arah menemukan bahwa jumlah kata per menit yang diucapkan
oleh interaksi meningkat secara signifikan selama periode sembilan menit.
Namun, studi oleh Berger dan Larimer mengungkapkan bahwa ketika umpan
balik tidak diizinkan di antara orang asing, jumlah kata per menit yang diucapkan
berkurang signifikan selama empat menit (Berger & Larimer, 1974; Berger &
Calabrese, 1975, hal. 102).

Di dalam penelitian, subjek dituntun untuk percaya bahwa mereka


berbicara dengan seseorang di ruangan lain yang fotonya mereka miliki.
Sebenarnya, gambar-gambar itu telah sebelumnya diskalakan untuk daya tarik
fisik (tinggi, sedang, atau rendah). Meskipun tidak ada efek diferensial ditemukan
untuk variabel daya tarik fisik, di semua kondisi ada peningkatan output verbal
dari waktu ke waktu. Rumusan saat ini akan menyarankan bahwa karena subjek
tidak menerima umpan balik dari target, tingkat ketidakpastian subjek tentang
target tetap pada tingkat tinggi. Ketidakpastian tingkat tinggi yang terus-menerus
tentang orang-orang yang menjadi sasaran mengurangi jumlah komunikasi yang
diarahkan mereka (Berger & Calbrese, 1975, hal. 102).

Tingkat ketidakpastian dasar yang dimiliki seseorang tentang orang asing


dapat dimodulasi oleh situasi komunikasi itu sendiri. Misalnya, jalan sebuah kota
besar memberi pengamat informasi yang relatif sedikit tentang orang-orang yang
berjalan di sepanjang jalan itu. Sebaliknya, seorang pengamat pada rapat umum
politik untuk kandidat tertentu mungkin dapat menyimpulkan, dengan
kemungkinan besar benar, sikap politik mereka yang hadir dalam rapat umum
tersebut. Dalam situasi di mana tingkat ketidakpastian dikurangi oleh situasi itu
sendiri, percakapan cenderung dimulai dengan berfokus pada area konten yang
terkait dengan situasi.

 Aksioma 2

Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian akan


berkurang dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat
ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan ekspresiffiliatif nonverbal ( Berger
& Celebrese, 1975, hal. 103). Dalam aksioma ini, dijelaskan bahwa sebuah
ekspresi yang afilitif yang berupa non verbal meningkat, maka akan diikuti
dengan berkurangnya ketidakpastian yang ada. Mengingat tingkat ketidakpastian
yang relatif tinggi yang ada pada awal fase masuk, orang akan mengharapkan
orang-orang dalam situasi tersebut untuk saling menginterogasi untuk
mendapatkan informasi yang mungkin

berperan dalam pengurangan ketidakpastian. Dengan demikian, orang


mungkin mengharapkan interaktan untuk terlibat dalam lebih banyak pertanyaan
dalam fase awal interaksi. Selain itu, jenis pertanyaan yang diajukan

selama awal fase masuk mungkin yang menuntut jawaban yang relatif
singkat. Misalnya, permintaan informasi seperti pekerjaan seseorang, kampung
halaman, tempat tinggal sebelumnya, dan sebagainya, umumnya memerlukan
tanggapan yang relatif singkat. Tampaknya jika seseorang memberikan respons
yang relatif lama terhadap pertanyaan semacam itu, ia umumnya dinilai agak
negatif, terutama ketika jawaban terperinci atas pertanyaan itu tidak secara
eksplisit diminta. Dominasi pertanyaan jawaban singkat selama tahap awal fase
masuk memungkinkan para pelaku interaksi untuk mengambil sampel sejumlah
atribut yang berbeda dalam waktu yang relatif wkatu yang singkat.

 Aksioma 3

Tingkat ketidakpastian yang tinggi menyebabkan peningkatan dalam


perilaku pencarian formasi. Ketika tingkat ketidakpastian menurun, perilaku
pencarian formasi menurun (Berger & Celebrese, 1975, hal. 103). Ketika kita
merasa adanya ketidakpastian yang muncul dari interkasi yang berlangsung, kita
akan berusaha sebia mungkin mencari informasi untuk bisa mengurangi
ketidakpastian tersebut. penacarian informasi tersebut akan meningkat jika rasa
ketidakpastian yang kita miliki tinggi, Sebaliknya, rasa ketidakpastian yang
rendah akan membuat kita mengurangi pencarian informasi. Data yang dilaporkan
oleh Frankfurt (1965) mendukung hubungan yang dikemukakan dalam Aksioma
3. Dalam studi ini, jumlah pertanyaan yang diajukan kepada orang lain dalam
situasi komunikasi yang disimulasikan menurun seiring waktu.
Berger dan Calbrese berasumsi, seperti halnya Goffman (1959), bahwa
orang umumnya lebih suka memiliki hubungan interpersonal yang lancar.
Goffman berpendapat bahwa orang sering saling membantu dalam penampilan
mereka sehingga setiap pemain akan mempertahankan "wajah". Mengingat
asumsi ini dan tingkat ketidakpastian yang relatif tinggi yang ada di awal fase
masuk, kita mungkin bertanya apa cara yang paling tidak mengganggu untuk
mengurangi ketidakpastian tentang yang lain? Salah satu strategi mungkin
bertanya kepada yang lain bagaimana perasaannya tentang berbagai masalah
politik dan sosial. Masalah dengan strategi ini adalah bahwa orang mungkin tidak
setuju pada isu-isu tersebut yang, pada gilirannya, dapat menyebabkan gangguan
hubungan mereka. Strategi yang lebih baik adalah meminta dan memberikan
informasi biografis dan demografis selama fase masuk. Perbedaan sepanjang
dimensi ini mungkin memiliki dampak negatif yang relatif sepele pada sistem
interaksi. Namun, kesamaan dan perbedaan dalam karakteristik latar belakang
mungkin mengarah pada pengembangan prediksi kesamaan atau perbedaan pada
masalah sikap yang lebih penting. Dengan demikian, ketidakpastian tidak hanya
dapat dikurangi, persamaan atau perbedaan yang diprediksi juga dapat
menentukan: (1) apakah sistem interaksi akan terus ada atau tidak, dan/atau (2)
apakah orang yang berinteraksi akan terlibat dalam diskusi tentang masalah yang
lebih intim atau tidak. . Karena jika dua orang memprediksi bahwa mereka
memiliki keyakinan yang sangat berbeda tentang masalah intim dan konsekuensial
dan jika mereka ingin memiliki interaksi yang berjalan lancar, mereka mungkin
akan memilih untuk menghindari diskusi tentang masalah potensi konflik (Berger
& Celebrese, 1975, hal. 103).

Aksioma 4

Tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam hubungan menyebabkan


penurunan keintiman tingkat konten komunikasi. Tingkat rendah dari
ketidakpastian menghasilkan tingkat keintiman yang tinggi (Berger & Celebrese,
1975, hal. 103). Dari sini kita bisa mengetahui bahwa ketidakpastian
mempengaruhi kepada keintiman yang ada pada individu. Ketidakpastian yang
tinggi membuat sebuah keintiman menjadi menurun dalam sebuah hubungan. Dan
ketidakpastian yang rendah akan membuat keintiman dalam sebuah hubungan
memiliki kualitas yang tinggi.

Dalam diskusi mereka tentang teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor
berpendapat bahwa tingkat keintiman konten komunikasi cenderung meningkat
seiring waktu. Namun, penjelasan mereka tentang fenomena ini bertumpu pada
gagasan bahwa sebagai hubungan menjadi lebih bermanfaat dan lebih murah,
orang akan menjadi lebih intim. Penjelasan kami tentang fenomena yang sama
adalah bahwa ketika orang-orang terus berkomunikasi satu sama lain,
ketidakpastian mereka tentang satu sama lain berkurang. Penurunan
ketidakpastian menyebabkan peningkatan tingkat keintiman komunikasi (Altman
& Taylor, 1973; Berger & Celebrese, 1975, hal. 104). Taylor dan Altman
menyuruh mahasiswa dan rekrutan angkatan laut mengurutkan 671 topik
percakapan di sepanjang rangkaian keintiman. Secara umum ditemukan bahwa
topik yang termasuk dalam kategori seperti biografi, hobi dan minat, dan peristiwa
terkini mendapat peringkat keintiman yang rendah, sementara topik yang
termasuk dalam kategori agama, jenis kelamin, dan sikap pribadi mendapat
peringkat keintiman yang lebih tinggi. Taylor dan Altman menyarankan bahwa
pernyataan yang diskalakan dalam studi mereka dapat digunakan sebagai
pedoman untuk mengembangkan sistem penilaian untuk menilai tingkat keintiman
konten komunikasi (Altman & Taylor, 1966; Berger & Celebrese, 1975, hal.
104). Sermat dan Smyth (1973) mengikuti rekomendasi Taylor dan Altman dan
mampu mendapatkan reliabilitas interjudge yang dapat diterima dari keintiman
konten dalam penelitian mereka. Namun, Cozby (1973) telah menunjukkan bahwa
jenis topik yang Taylor dan Altman skalakan untuk nilai keintiman mungkin
sangat berbeda dari jenis konten komunikasi yang sebenarnya disampaikan selama
interaksi. Misalnya, menurut studi skala Taylor dan Altman, berbicara tentang
film adalah topik komunikasi keintiman yang relatif rendah. Namun, mungkin ada
banyak perbedaan dalam keintiman yang dirasakan antara percakapan di mana
orang yang berinteraksi berbicara tentang film "Mary Poppins" dan percakapan di
mana mereka bertukar pandangan tentang "Deep Throat." Jadi, meskipun studi
Taylor dan Altman dapat memberi kita pedoman yang agak umum tentang tingkat
keintiman konten komunikasi, jenis konten yang lebih spesifik dalam area topik
umum harus dinilai untuk nilai keintiman.

 Aksioma 5

Tingkat ketidakpastian yang tinggi menghasilkan tingkat timbal balik yang


tinggi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat timbal balik
yang rendah (Berger & Celebrese, 1975, hal. 105). Ketidakpastian yang terjadi
akan berkaitan dengan timbal balik dalam seuah komunikasi atau interaksi yang
berlangsung. Semakin tinggi rasa ketidakpastian maka semakin tinggi maka
semakin tinggi juga timbal balik yang akan terjadi. Sebaliknya ketikas terjadi
sebuah ketidakpastian yang rendah maka akan rendah juga ketidakpastian yang
terjadi.

Altman dan Taylor (1973) berpendapat bahwa konstruk timbal balik


memiliki nilai terbatas dalam pengembangan teori perkembangan interaksi karena
hanya ada sedikit penjelasan yang diberikan untuk fenomena timbal balik; yaitu,
hanya menyatakan bahwa norma tertentu ada tidak menjelaskan keberadaannya.
Namun, kami merasa bahwa persyaratan untuk pengurangan ketidakpastian
bahkan untuk menghindari asimetri dalam distribusi kekuatan informasi
memberikan penjelasan untuk penampilan norma timbal balik selama interaksi
awal.

Jourard (1960) menemukan bukti sugestif dari "efek diadik" mengenai


tingkat keintiman pengungkapan diri. Dalam penelitian ini ia menemukan bahwa
orang yang mengungkapkan lebih banyak kepada orang lain melaporkan bahwa
mereka juga menerima pengungkapan yang tinggi dari orang lain. Bukti
eksperimental berikutnya (Worthy, Gary & Kahn, 1969; Ehrlich dan Greaven,
1971; Cozby, 1972; Sermat & Smyth, 1973) menunjukkan bahwa ketika seorang
individu mengungkapkan informasi intim kepada orang lain, yang lain cenderung
untuk membalas pada tingkat keintiman itu. Selain itu, Sermat dan Smyth (1973)
menemukan bahwa ketika sebuah konfederasi terus menuntut tingkat
pengungkapan yang lebih tinggi melalui pertanyaan yang diajukannya kepada
subjek, sementara pada saat yang sama menolak untuk mengungkapkan informasi
intim tentang dirinya, subjek cenderung menurunkan tingkat kesukaannya pada
konfederasi. Namun, ketika konfederasi cocok dengan tingkat pengungkapan
subjek dan kemudian menuntut pengungkapan pada tingkat keintiman yang lebih
tinggi, subjek lebih bersedia untuk memenuhi permintaan pengungkapan
konfederasi. Studi-studi ini bersama dengan Aksioma 5 menunjukkan bahwa di
awal suatu hubungan, sangat penting bagi para pelaku interaksi untuk
menyampaikan informasi secara merata dan pada tingkat yang cukup cepat dan
untuk mengungkapkan informasi yang berada pada tingkat keintiman yang hampir
sama. Pelanggaran terhadap satu atau lebih aturan ini meningkatkan kemungkinan
putusnya hubungan.

 Aksiom 6

Kesamaan antara orang-orang mengurangi ketidakpastian, sementara


ketidaksamaan menghasilkan peningkatan ketidakpastian (Berger & Celebrese,
1975, hal. 106). Kesamaan yang dimiliki oleh individu satu dengan lainnya dapat
mengurangi ketidakpastian yang ada, hal ini dikarenakan ada harapan yang
terpenuhi diantara dua individu tersebut. Sehingga ketidpastian bisa diatasi,
sebaliknya jika kita menemui ketidaksamaan maka rasa ketidkapastian akan
meningkat. Ada rasa dimana kita tidak merasa cocok denga infividu tersebut.

Seperti yang kita catat di bagian sebelumnya, sejumlah psikolog sosial


telah mengemukakan bukti yang mendukung hubungan positif antara kesamaan
dan kesukaan. Selanjutnya, dua posisi teoritis utama telah digunakan untuk
menjelaskan hubungan ini: (1) teori penguatan dan (2) teori konsistensi kognitif.
Sebelumnya dalam makalah ini kami menyarankan beberapa kekurangan
pendekatan penguatan untuk studi pengembangan interaksi. Kami juga
berpendapat bahwa kesamaan ketidaksamaan terhubung ke tingkat ketidakpastian.
Dengan membuat hubungan seperti itu, kita memasukkan gagasan kesamaan-
ketidakmiripan dan gagasan terkait keseimbangan di bawah konsep yang lebih
luas.payung ketidakpastian. Formulasi ini konsisten dengan saran yang dibuat
oleh Berkowitz (1969) bahwa “perjuangan untuk keseimbangan kognitif
sebenarnya hanya merupakan kasus khusus dari keinginan untuk kepastian”
 Aksioma 7

Peningkatan tingkat ketidakpastian menghasilkan penurunan kesukaan penurunan


tingkat ketidakpastian menghasilkan penurunan kesukaan. Secara bersama-sama,
Aksioma 6 dan 7 menunjukkan bahwa tingkat ketidakpastian menengahi antara
kesamaan dan kesukaan. Akan tetapi, harus jelas bahwa variabel selain kesamaan-
ketidakmiripan mempengaruhi tingkat ketidakpastian. Dengan demikian,
hubungan yang diamati antara tingkat ketidakpastian dan kesukaan mungkin
disebabkan oleh kesamaan dan/atau jumlah komunikasi yang dimiliki dua orang
satu sama lain.

Jenis-jenis ketidakpastian

Dalam ketidakpastian sendiri, ada dua jenis yang membedakan


ketidakpastian tersebut. Yakni ketidakpastian kognitif dan ketidakpastian perilaku.
Kedua kedtidakpasian tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

 Ketidakpastian Kognitif

Ketidakpsatian kognitif adalah ketdakpastian dimna tingkat dari sebuah


ketidakpastian tersebut memiliki keterkaitan dengan kognisi berupa suatu sikap
diantara individu didalam situasi tertentu.

 Ketidakpastian Perilaku

Ketidakpastian perilaku memiliki kaitan dengan sebarapa jauh perilaku diprediksi


dalam suatu situasi tertentu.

 Teori Dialektika Relasional

Teori Dialektika Relasional ini pertama kali diartikulasikan secara


resmi oleh Leslie Baxter dan Barbara Montmogery dalam buku mereka yang
diterbitkan pada tahun 1996 yang berjudul, Relating: Dialogues & Dialectics, lalu
Teori ini di rangkum kembali oleh Leslie Baxter dalam bukunya yang
berjudul Voicing Relationship (Littlejohn dan Foss 2009:838).
Teori Dialektika Relasional merupakan sebuah penerapan spesifik dari
Teori Dialogisme yang dikemukakan oleh seorang filsuf dari rusia; Mikhail
Bakhtin’s pada abad ke 20-an. Namun karena lingkup dari Teori Dialogisme ini
yang luas, banyak ahli dari berbagai bidang ilmu seperti antropologi,
komunikasi, film, literatur, linguistik, ilmu politik, dan lain-lain telah
menggunakan teori dialogisme ini dengan cara yang berbeda-beda (Littlejohn
dan Foss 2009:837).Teori Dialektika Relasional menggunakan Teori Dialogisme
ini untuk membantu memahami bagaimana komunikasi membentuk hubungan
sosial, pribadi, dan keluarga. Karena Teori Dialektika Relasional menurut
Leslie Baxter (Dalam Littlejohn 2011:248) “tumbuh dari ketidakpuasan
dengan bias monologis dari penelitian komunikasi interpersonal/keluarga
tradisional di mana wacana keterbukaan, kepastian, dan koneksi diistimewakan.
sementara wacana saingannya yaitu ketertutupan, ketidakpastian, dan otonomi
dibungkam. TDR telah berkembang dari fokus awalnya pada kontradiksi bipolar
ke artikulasinya saat iniyaitu sebagai teori komunikasi konstitutif yang berpusat
pada perjuangan wacana yang bersaing”. Baxter (Dalam Sahlstein Parcell dan
Baker 2018:3) mendefinisikan wacana atau Discource sebagai sebuah sistem
pemaknaan atau “Seperangkat proposisi yang menyatu di sekitar objek yang
diberikan makna”. Dengan kata lain, TDR menganggap bahwa makna muncul
dari adanya pergulatan antar wacanawacana yang berbeda
(seringkaliberlawanan) ini.

Menurut TDR, wacana yang dihasilkan (atau dihasilkan kembali)


dalam pembicaraan relasional ada dua, yaitu bersifat sentripetal atau sentrifugal.
Wacana sentripetal bersifat Centralized, artinya wacana tersebut dominan dan
dilegitimasi, dan membentuk apa yang dianggap normal atau natural secara
kultural atau relasional (Sahlstein Parcell and Baker 2018:4). Pada dasarnya,
wacana sentripetal dapat dianggap sebagai dasar di mana semua sistem
pemaknaan lainnya dinilai pada periode waktu tertentu. Sedangkan wacana
sentrifugal bersifat Decentralized, artinya wacana tersebut diposisikan sebagai
Irregular/tidak biasa, abnormal, dan bahkan terkadang menyimpang. Sistem
pemaknaan sentifugal ini termarjinalkan/terpinggirkan dalam kaitannya dengan
wacana sentripetal yang dominan. Baxter (Dalam Griffin, Ledbetter, dan Sparks
2018:138) memberikan kita dua pola untuk mempertimbangkan bagaimana cara
untuk memposisikan wacana tertentu sebagai Sentripetal maupun Sentrifugal,
kedua pola ini dibedakan oleh waktu. Yang pertama yaitu Pemisahan
Diakronis dimana dua wacana yang bersaing tidak pernah muncul secara
bersamaan, jadi kedua wacana tersebut ada, tetapi adanya mereka itu
berdampingan tanpa saling merubah satu sama lain, Pemisahan Diakronis ini
ditandai dengan adanya perubahan dari waktu ke waktu tanpa adanya masalah
dengan wacana mana yang Sentripetal dan wacana mana yang Sentrifugal
(Baxter 2011; Halliwell 2015:70). Lalu yang kedua ada Interaksi Sinkronis
dimana dua wacana bersaing dalam waktu dan tempat yang sama, jadi posisi
Sentripetal dan Sentrifugal disini sangatlah penting karena berpengaruh
terhadap Ketiadaan, Perlawanan, dan Perubahan dari kedua wacana tersebut.
Namun, adanya Interaksi Sinkronis antar dua wacana yang bersaing juga
dapat menimbulkan pengakuan pihak yang terlibat bahwa setiap wacana
memiliki alternatifnya sendiri, sehingga kedua wacana yang bersaing tersebut
tidak ada yang muncul sebagai wacana yang lebih dominan.

Dari pemikiran Mikhail Bakhtin’s, Baxter dan Montgomery


membentuk gagasan tentang pendekatan dialektik akan perilaku manusia. Untuk
memahami apa itu pendekatan dialektik tersebut, kita dapat
membandingkannya dengan dua pendekatan lain yang umum digunakan, yaitu:
Pendekatan Monologis dan Dualistik (West dan Turner 2010: 202-203).

• Pendekatan Monologis Menggambarkan dua sisi dari kontradiksi sebagai


sesuatu yang sama eksklusifnya, sehingga ketika kita bergerak menuju satu
sisi dari kontradiksi, maka kita akan menjauh dari sisi yang lainnya. Jadi misalnya
dalam pendekatan ini, jawaban dari bagaimana keakraban suatu hubungan itu
“ya kalau tidak akrab, berarti hubungan mereka jauh”. Gagasan monologis
tentang pendekatan ini memunculkan konsep untuk membingkai kontradiksi
sebagai either/or.

• Pendekatan Dualistik Melihat dua sisi dari kontradiksi sebagai dua entitas yang
berbeda yang sedikit tidak berhubungan dengan satu sama lain. Jadi misalnya
dalam pendekatan ini, untuk mendapatkan jawaban dari bagaimana keakraban
suatu hubungan, harus dievaluasi secara terpisah dengan menilai “seberapa akrab
hubungan dari dua belah pihak yang dirasakan oleh pihak A dibandingkan
dengan yang dirasakan oleh pihak B”. Gagasan Dualistik tentang pendekatan
ini memunculkan konsep untuk membingkai kontradiksi sebagai dua entitas yang
berbeda.

• Pendekatan Dialektik melihat bahwa banyak sudut pandang yang berinteraksi


satu sama lain dalam setiap kontradiksi. Meskipun kontradiksi melibatkan dua
kutub yang berlawanan, Namun situasi yang dihasilkan dapat meluas
melampaui dua kutub ini. Jadi pendekatan ini tidak berusaha untuk mencari
keseimbangan dan kompromi dari kontradiksi, tetapi berfokus pada inkonsistensi
yang terjadi dalam tiap sisi dari kontradiksi tersebut. Gagasan Dialektika tentang
pendekatan ini memunculkan konsep untuk membingkai kontradiksi sebagai
both/and.

Menurut Baxter (Dalam West dan Turner 2010:202) Teori Dialektika


Relasional (TDR) ini menyatakan bahwa kehidupan relasional ditandai
dengan adanya ketegangan yang berkelanjutan antara impuls yang kontradiktif.
Maksud dari pernyataan ini menegaskan bahwa dalam kehidupan
relasional/berhubungan, akan ada ketegangan-ketegangan atau konflik antar
individu. Dengan kata lain, orang-orang tidak selalu mampu untuk menjelaskan
unsur-unsur yang kontradiktif dari keyakinan mereka, dan mereka juga dapat
memiliki keyakinan yang inkonsisten tentang hubungan antar individu itu
sendiri. Singkatnya, orang-orang dalam suatu hubungan terus-menerus
merasakan tarikan dan dorongan darikeinginan yang saling bertentangan
sepanjang dia menjalani hubungan tersebut, Karena pada dasarnya orang-
orang tidak ingin memilih antara kedua keinginan/tujuan yang bertentangan
tersebut. Jadi ketika orang-orang berkomunikasi dalam suatu hubungan,
mereka berusaha untuk mendamaikan keinginan yang saling bertentangan ini,
tetapi mereka tidak pernah mencoba untuk menghilangkan kebutuhan mereka
untuk mendapatkan kedua bagian dari tujuan yang berlawanan tersebut.

Pengaruh dari ketegangan-ketegangan atau konflik antar individu ini


tergambar jelas dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Valerie Cronin-
Fisher dan Erin Sahlstein parcell. Dalam penelitian yang mereka lakukan,
merekamengeksplorasi interaksi dari wacana dalam pemaknaan yang dilakukan
oleh para wanita yang baru menjadi seorang ibu tentang ketidakpuasan
mereka terhadap Motherhood atau “Keibuan” (Cronin-Fisher dan Parcell
2019). mereka mencoba untuk memahami ketidakpuasan dari para wanita yang
sedang dalam tahap transisi menjadi seorang ibu dengan menggunakan Teori
Dialektika Relasional. Dari 20 wanita yang baru menjadi seorang Ibu
kandung (dengan anak dibawah usia 20 tahun) di Amerika Serikat yang
mereka analisis menggunakan analisa kontripuntal, mereka mengidentifikasikan
dua wacana utama yang bersaing: Wacana keibuan sebagai sesuatu yang
diinginkan (budaya dominannya), dan wacana keibuan sebagai sesuatu yang
dipelajari (budaya yang termarjinalkan/terpinggirkan).

Mereka menemukan bahwa para wanita yang menimbulkan wacana


sentripetal “Keibuan sebagai sesuatu yang diinginkan” (kita singkat saja KSD).
wacana ini menyorot keinginan seumur hidup mereka untuk menjadi seorang ibu
dan/atau bagaimana orang lain menaturalisasi mereka sebagai seorang ibu. Begitu
mereka menjadi orang tua, mereka ingin “terlihat seperti seorang ibu yang baik”
atau merasa perlu untuk menggambarkan diri mereka seperti itu bahkan saat
mereka membicarakan tentang ketidakpuasan dengan transisi mereka menjadi
seorang ibu. Namun, ibu-ibu yang menimbulkan wacana KSD tersebut juga
menimbulkan wacana “Keibuan sebagai sesuatu yang dipelajari” (kita singkat saja
KSDP) yang sentrifugal ini, dimana dalam wacana KSDP mengakui
kompleksitas dan kefrustrasian masa keibuan yang masih baru, dengan
berfokus pada aspek “pekerjaan” seorang ibu yang tidak wajar dan menuntut
serta betapa sulitnya menyeimbangkan antara menjadi seorang ibu yang baik
dengan bidang dalam kehidupan yang lain (seperti pekerjaan dan kebugaran).
Dengan kata lain, kebanyakan dari para ibu-ibu ini, walapun mereka
mendukung wacana KSD, ternyata terbebani oleh kontradiksi yang muncul
antar apa yang mereka alami dengan apa yang di “normalisasikan” oleh
wacana KSD itu sendiri. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan oleh banyak
faktor, salah satunya karena faktor dari wacana KSD itu sendiri yang
menjadi sebuah “pedoman” tentang bagaimana caranya untuk menjadi seorang
ibu yang baik, sehingga para ibu yang mendukung wacana ini ingin dinilai
sebagai seorang ibu yang baik. Contohnya, untuk dapat dikatakan sebagai seorang
ibu yang baik, maka seorang ibu harus menempatkan kebutuhan anaknya diatas
kebutuhan dirinya dan menjadi orang utama untuk merawat anak-anak
mereka. Sehingga para ibu yang mendukung aspek dari KSD ini membungkam
perasaan negatif yang mereka alami tentang Motherhood (seperti tidak
menginginkan atau menyukai menjadi seorang ibu) agar “terlihat” seperti
seorang ibu yang baik bagi orang lain.

Selain itu, (Sahlstein Parcell dan Baker 2018:10) menyorot 3 hasil


penting dari sebuah penelitian yang menggunakan Teori Dialektika Relasional:

• temuan harus menyajikan pengalaman komunikatif/relasional dengan cara yang


lebih Relatable/dapat dirasakan hubungannya dengan orang lain,yakni lebih
dari sekedar common sense/pemahaman praktis dari pengalaman tersebut

• temuan harus mengekspos kekuatan dinamika dalam pembicaraan

• temuan harus menawarkan ide lain untuk hasil translasi yang dapat
mendorong perubahan sosial yang positif.

Temuan dari penelitian yang dilakukan Cronin-Fisher dan parcell ini


membahas ketiga pertimbangan penting tersebut. Dengan berfokus pada
pembicaraan tentang ketidakpuasan terhadap Motherhood, Penelitian ini mampu
menyorot kemampuan TDR untuk mengidentifikasi perbedaan kekuatan
sebuah wacana. Walau pembicaraan dari ibu-ibu yang di teliti ini lebih
utama mendukung KSD yang dominan, analisis kontriputal menyediakan alat
untuk mengidentifikasi wacana KSDP yang termarjinalkan. Melalui interaksi
antara kedua wacana ini, CroninFisher dan Parcell bisa melihat keretakan
dalam KSD yang dominan serta budaya Intensive Mothering (budaya dimana
seorang ibu menjalani kehidupan yang memprioritaskan anak diatas segala-
galanya bahkan kepentingan dirinya sendiri). Temuan yang mereka temukan
memberikan ruang untuk perepresentasian yang lebih luas tentang arti “menjadi
seorang ibu” dan menunjukkan ketidakmampuan dari wacana KSD yang dominan
dalam menangkap pengalaman perempuan dengan transisi mereka untuk menjadi
seorang ibu.

 Teori Manajemen Privasi

Apakah kalian pernah melakukan pembatasan untuk mengungkapkan


sebuah informasi kepada orang lain?. Tentu saja kita semua pernah melakukan
pembatasan untuk mengungkapkan informasi pada orang lain. Informasi yang
terdapat dalam diri kita tentu nya ada yang bersifat rahasia. Makna dari rahasia
disini ialah tidak dapat disebarkan pada sembarang orang. Teori ini bisa dikatakan
mirip dengan teori penetrasi sosial. Di mana teori penetrasi sosial yang membahas
mengenai pengungkapan informasi yang bergantung dengan keakraban. Saat kita
melakukan pengungkapan informasi pun tentunya selektif pada siapa informasi
tersebut diungkapkan. Artinya tidak mungkin saat kita baru berkenalan sudah
membeberkan informasi yang bersifat rahasia pada lawan bicara.

Lebih jelasnya hal tersebut dijelaskan dalam teori manajemen privasi


komunikasi atau yang biasa disingkat dengan teori CPM. Teori ini sebagai peta
yang menggambarkan petunjuk dari berbagai individu guna membuat suatu
pilihan untuk pengungkapan suatu informasi atau bahkan menyembunyikannya
yang bersifat privat. Hal tersebut didasarkan pada suatu kriteria serta kondisi
tertentu yang dianggap penting oleh seorang individu tersebut. Sehingga seorang
individu tersebut memiliki kepercayaan pada dirinya sendiri bahwa dirinya
tersebut memiliki haka tau kesempatan untuk mengatur atau memiliki akses
tersendiri terhadap informasi privat yang mereka miliki.

Privasi tersendiri memiliki arti sebagai sesuatu hal yang sangat penting
bagi seorang individu masing-masing. Privasi dikategorikan sebagai suatu hal
yang penting bukan karena tanpa alasan. Privasi memiliki kemungkinan apabila
menyebar maka akan dapat membuat seorang individu merasa terpisahkan dengan
suatu kelompok. Selain itu privasi dapat memberikan sebuah perasaan bahwa diri
kita sendiri merupakan pemilik dari suatu informasi yang menjelaskan diri kita
sendiri secara sah bagi seorang individu tersebut. Manusia sebagai makhluk sosial
harus berusaha untuk menimbang berbagai tuntunan yang sesuai dengan kondisi,
situasi, dan orang lain yang berada di sekitar seorang individu tersebut.

Apabila informasi yang bersifat rahasia atau privasi tersebut tersebar


kepada orang yang tidak tepat, maka akan menimbulkan resiko yang bersifat fatal.
Selain itu waktu serta cara pengungkapan yang terlalu terbuka pun dapat
menimbulkan hal yang serupa. Namun pengungkapan informasi yang bersifat
rahasia bukanlah tidak memiliki keuntungan sama sekali. Pengungkapan
informasi yang bersifat rahasia tersebut dapat membuat seorang individu menjadi
sang pengontrol dalam interaksi sosial. Sehingga dapat membuat hubungan yang
dimiliki bersama orang lain akan menjadi semakin intim. Seperti apa yang sudah
diungkapkan pada teori penetrasi sosial. Hubungan semakin intim apabila pelaku
komunikasi mulai mengungkapan informasi yang bersifat privasi kepada lawan
bicaranya. Itulah mengapa teori ini bisa dikatakan mirip dengan teori penetrasi
sosial seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf ke satu.

Pada paragraf kedua tadi dijelaskan bahwa teori CPM memiliki


ketergantungan dengan suatu kondisi dan kriteria tertentu yang dianggap penting
oleh seorang individu. Analogi nya itu seperti melakukan seks sebelum menikah.
Hal tersebut bisa termasuk ke dalam informasi yang bersifat rahasia untuk
sebagian orang dan di sebagian daerah. Mengapa hanya sebagian orang dan
sebagian daerah?, karena untuk sebagian orang dan sebagian daerah hal tersebut
bukanlah hal yang tabu atau dapat dikatakan lazim. Meskipun hal tersebut untuk
sebagian orang dan daerah lainnya masih menjadi hal yang sangat tidak lazim.
Terlebih untuk individu yang masih tinggal di suatu daerah yang adat kebudayaan
nya masih kental dan sulit dimasuki dengan pengaruh budaya luar. Karena pada
dasarnya perilaku tersebut bukanlah merupakan budaya asli Indonesia.

Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya akan membahas secara
mendalam mengenai teori privasi komunikasi atau teori CPM serta unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur tersebut seperti definisi, sejarah, asumsi,
konsep, prespektif, kritik, hingga studi kasus supaya dapat lebih mudah untuk
memahami teori manajemen privasi komunikasi tersebut. Dengan itu mari kita
simak penjelasan yang pertama mengenai definisi dari teori manajemen privasi
komunikasi.

Teori CPM merupakan teori yang menjelaskan mengenai cara seorang


individu untuk mengatur informasi yang bersifat pribadi melalui konstruksi
perbatasan metaforis (Sandra Petronio, 1991). Di dalam teori CPM menjelaskan
bahwa individu memiliki kepercayaan bahwa setiap individu memiliki hak yang
berfungsi mengatur pengungakapan informasi dan pada siapa informasi tersebut
akan diungkapkan (Sandra Petronio, 2004). Akan tetapi, apabila sebuah informasi
telah disebarkan kepada lawan bicara, maka sang pemilik informasi tersebut sudah
tidak memiliki kekuasaan dan kendali atas penyebaran informasi yang bersifat
privasi tersebut. Terdapat usaha untuk mempertahankan beragam tingkatan
pengaturan atas informasi tersebut (Kennedy-Lightsey et al., 2012).

Hal tersebut bisa dilakukan dengan adanya pengembangan aturan terhadap


privasi tersebut sebelum adanya pengungkapan awal serta Batasan dengan pemilik
bersama setelah terjadinya pengungkapan yang pertama tersebut oleh lawan bicara
yang menerima informasi privasi (Petronio, 2000). Sebab itu, teori ini tidak
memiliki Batasan dalam suatu tindakan yang bersifat komunikatif atas
pengungkapan diri. Namun teori CPM memiliki cakupan dari pengungkapan diri,
atau tingkatan pengungkapan lainnya. Misalnya, pengungkapan yang berkaitan
dengan suatu kelompok atau dua individu (Petronio, 2002).

Privasi tersendiri dapat dikatakan sebagai salah kemampuan dari seorang


individu yang berfungsi untuk menentukan cara, waktu, serta sejauh apa informasi
yang dimilikinya itu tersebar luas kepada orang-orang (Westin, 1967). Oleh
karena itu, teori CPM membahas ketegangan antara ungkapan serta privasi
melalui proses pemeriksaan cara serta alasan dari seorang individu terkait
keputusannya dalam mengungkapkan ataupun menyembunyikan informasi yang
bersifat pribadi dalam konteks relasional yang beragam (Petronio, 2002).

Terdapat lima kriteria yang termasuk ke dalam suatu landasan aturan


privasi. Kelima kriteria tersebut meliputi budaya atau masyarakat yang memiliki
harapan dari sebuah privasi, kriteria gender, motivasi seperti feedback yang
bersifat ketertarikan dan kesepian, adanya faktor kontekstual seperti lingkungan
sosial dan fisik, terakhir rasio dalam pemanfaatan sebuah risiko. Sebuah aturan
dibuat dengan berdasarkan kelima kriteria tersebut dan memiliki arah pada
keterbatasan dalam koordinasi. Misalnya, Ketika seorang guru melakukan
pengungkapan diri saat di dalam kelas dan sejak saat itu pula guru tersebut akan
membuat sebuah aturan yang memiliki keterkaitan dengan apa yang akan ataupun
tidak diungkapkan (Hosek & Thompson, 2009).

Pada dasarnya teori CPM ini berbasis aturan yang memiliki usulan bahwa
setiap individu dapat mengembangkan sebuah aturan guna membantu dirinya
dalam suatu kondisi untuk memutuskan terkait pengungkapan atau
penyembunyian suatu informasi yang bersifat pribadi. Sehingga dapat dikatakan
sebagai cara terbaik untuk melindungi suatu informasi privasi tersebut. Teori ini
memiliki pernyataan yaitu setiap individu dapat memaksimalkan sebuah manfaat
sambal meminimalisir risiko dari suatu pengungkapan melalui pengembangan
sebuah aturan. Mengembangkan suatu aturan dapat dengan melakukan proses
penstabilan melalui suatu penggunaan yang berulang kali. Namun hal tersebut
juga sangat bersifat situasional serta dapat berubah-rubah menyesuaikan dengan
keadaan yang baru atau dapat dikatakan berkembang. Terlebih banyak aturan
yang berbeda-beda yang digunakan di setiap proses manajemen pembatasan untuk
memutuskan suatu pengungkapan (Metzger, 2007).

Terdapat sebuah gagasan yang didasari oleh teori CPM yakni suatu
pengungkapan banyak terdapat manfaat serta risiko, sehingga seorang individu
harus menyeimbangkan suatu kebutuhannya yang memiliki persaingan antara
privasi serta pengungkapan. Pengungkapan memiliki manfaat seperti munculnya
ekspresi diri, pengembangan hubungan, bahkan hingga menjadi kontrol sosial.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa teori CPM pun memiliki risiko yang
meliputi hilangnya status sosial, harga diri, serta pengendalian terhadap hal
privasi. Ketika seseorang mengungkapkan suatu informasi pribadi maka saat itu
pula dirinya akan memberikan suatu hal yang menurutnya ialah milik diri dia
sendiri. Oleh sebab itu seorang individu wajib untuk mempertahankan terkait hak
dalam pengendalian baik sebelum ataupun sesudah melakukan suatu
pengungkapan. Hal tersebut dikarenakan efek dari suatu pengungkapan akan
membuat seseorang menjadi rentan dieksploitasi oleh orang lain karena adanya
perubahan sifat informasi yang semula bersifat pribadi menjadi bersama. Suatu
pengungkapan akan selalu memiliki keterlibatan dengan tingkat risiko yang
bermacam-macam yang memiliki peran sebagai pengarah untuk seorang individu
dalam menetapkan sebuah batas pada informasi yang sedang dipertimbangkan
oleh diri kita. Pembatasan ini yang memiliki kemungkinan berfungsi untuk
mengontrol siapa saja yang memiliki hak atas informasi seorang individu guna
menetapkan sebuah harapan atas informasi yang bersifat kepemilikan bersama.
Informasi yang bersifat kepemilikan bersama tersebut dikarenakan informasi
tersebut telah diungkapkan pada orang lain (Petronio, 2002).

Dengan beberapa penjelasan berikut maka dapat kita tarik kesimpulan


bahwa teori CPM ialah teori yang menjelaskan bagaimana cara seseorang untuk
mengatur suatu pengungkapan atau penyembunyian informasi yang bersifat
pribadi dengan pertimbangan manfaat serta risiko dari informasi tersebut.

Pada masa saat ini, bagi sebagian besar masyarakat, pengelolaan suatu
privasi termasuk ke dalam yang sangat penting terutama dalam kehidupan sehari-
hari. Namun tidak jarang adanya kesalah pahaman dalam makna pengungkapan
privasi dengan interaksi sosial. Teori CPM pertama kali dikembangkan oleh
Sandra Petronio, yang memfasilitasi mengenai pemahaman seorang individu yang
sedang melakukan hubungan sosial dengan bagaimana cara seseorang dapat
menangani suatu keputusan mengenai pengungkapan atau penyembunyian sebuah
informasi yang bersifat pribadi. Saat awal tahun 1980-an, teori CPM memiliki
perkembangan yang didasarkan dengan penelitian empiris. Sebab itu, prinsip-
prinsip dari teori CPM ini mengalami beberapa kali pengujian untuk mengetahui
kekuatan seseorang dalam mengungkapkan cara seorang individu dalam mengatur
informasi pribadi dirinya sendiri (Galvin et al., 2018, hal 796).

Mulanya teori CPM muncul dari tradisi antarpribadi dan keluarga,


kemudian berkembang menjadi suatu fasilitas yang layak dengan bertujuan
melakukan pemeriksaan terhadap regulasi dalam pengungkapan atau
penyembunyian sebuah informasi yang bersifat pribadi di suatu kelompok yang
konteksnya luas. Misalnya BPS yang memiliki kegunaan untuk memahami suatu
pengungkapan hal yang pribadi mengenai informasi medis dalam suatu pengujian
genetik, pemeriksaan privasi serta weblogging, pengungkapan HIV dan privasi,
privasi internet, masalah-masalah privasi yang terjadi di e-commerce,
mempelajari privasi serta identifikasi frekuensi radio, privasi dalam perawatan
kanker, pengawasan tempat kerja, rahasia dalam perawatan primer, kesalahan
dalam medis, serta harapan privasi yang dimiliki seorang atlet saat dirinya
mengungkapkannya kepada penasihat nya sendiri. Teoori CPM ini memenuhi
nilai ujian heuristik yang terus bertumbuh melalui penerapan prinsip-prinsip yang
asli (Galvin et al., 2018, hal 796).

Teori CPM ini telah mengalami kemajuan yang semula berkembang dari
menyediakan struktur konseptual yang berfungsi untuk mengatasi permasalahan
kesenjangan dalam literatur pengungkapan pada saat itu. Sekitar tahun 1960-an
dan 1970-an, banyak sarjana dengan berbagai bidang keahlian memperluas
bahasan karya Sidney Jourard terkait pengungkapan diri. Terdapat kesulitan
dalam menafsirkan penemuan yang berbeda terlebih tanpa adanya peta
konseptual, meskipun telah mengumpulkan sejumlah besar penelitian. Sebab itu
pula terdapat satu rangkaian prinsip pengaturan yang memerlukan perkembangan
dengan tujuan dapat memahami terkait pengungkapan. Berdasarkan pernyataan
berikut telah jelas bahwa suatu pengungkapan yang berhubungan dengan privasi
atau dapat dikatakan sebagai dialektika ini memerlukan pertimbangan. Informasi
yang bersifat pribadi ini merupakan komponen utama dalam mengungkapkan atau
pengungkapan yang termasuk dalam proses seseorang tersebut yang membuat
informasinya menjadi bersifat publik (Galvin et al., 2018, hal 797).

Teori CPM dikembangkan atas penelitian yang telah ada sebelumnya yaitu
mengenai keterbukaan diri. Pada tahun 1960-an dan 1970-an pengungkapan diri
adalah hal utama yang terdapat dalam teori komunikasi. Teori penetrasi sosial
merupakan istilah yang digunakan ketika melakukan identifikasi terhadap proses
peningkatan sebuah pengungakapan dan keintiman di dalam suatu hubungan yang
dijalin. Teori penetrasi sosial merupakan karya Altman dan Taylor yang
mempunyai gerakan dalam rangkaian tradisi mengenai penyelidikan dalam suatu
pembangunan hubungan. Kedua ahli tersebut sepakat bahwa seorang individu
pasti memiliki sebuah organisasi yang sangat terorganisir bagian sistem
informasinya yang diketahui oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Di mana
informasi tersebut berisikan hal yang menjauh dari apa yang dilihat oleh orang
lain (Stephen W. Littlejohn et al., 2012, hal 224).

Privasi dan pengungkapan memiliki hubungan yang dapat memberikan


suatu kesempatan bagi seseorang untuk melihat cara seseorang tersebut mengelola
untuk menjadi makhluk sosial dan otonom di saat yang bersamaan. Teori CPM
mengalami pertumbuhan dari penelitian tersebut dan berkontribusi juga pada
penyusunan Kembali terhadap sifat dalam pengungkapan dengan bertujuan
mencerminkan konsep yang lebih besar dibandingkan dengan pengungkapan diri
(Galvin et al., 2018, hal 797).

Ownership and Control of Private Information : People believe they own and
have a right to control their private information

Asumsi pertama yang terdapat dalam teori ini ialah mempercayai bahwa informasi
pribadi merupakan milik kami. Keyakinan yang begitu kuat dalam diri kita
membuat Petronio mengemukakan definisi privasi sebagai perasaan yang dimiliki
seseorang yang bertujuan untuk memiliki suatu informasi pribadi. Melalui
kepemilikan akan menyampaikan hak dan juga kewajiban kita. Karena privasi
memberikan dukungan perasaan kepada kita secara otonom dan membuat diri kita
merasa menjadi sedikit lebih kebal. Kepemilikan informasi yang bersifat pribadi
juga dapat dijadikan sebagai kewajiban. Saat kita telah mengetahui suatu rahasia
yang tidak diketahui oleh siapapun, maka secara otomatis kita yang
bertanggungjawab atas informasi rahasia tersebut. Kita juga akan dimintai bentuk
pertanggungjawaban mengenai bagaimana car akita menanganinya. Sebab itu, kita
perlu melakukan usaha guna mengendalikan orang-orang yang berhak
mengetahuinya. Salah satu professor komunikasi yakni Braithwaite
mengungkapkan mengenai cara penyandang disabilitas fisik dalam mengelola
Batasan privasi mereka. Menurutnya, apabila orang-orang yang mengalami
paraplegia biasanya menjawab pertanyaan tersebut dengan anggapan yang pantas
untuk dibicarakan atau jika yang mengajukan pertanyaan tersebut ialah anak-anak.
Akan tetapi apabila yang menanyakan hanya karena rasa ingin tahu saja maka
mereka akan menanggapi dengan marah. Karena menurut mereka hal tersebut
merupakan hal yang tidak wajar. Semua orang-orang yang diwawancarai oleh
profesor tersebut percaya bahwa mereka memiliki informasi yang bersifat pribadi
dan mereka juga seringkali melakukan pertahanan kendali atas pengungkapan
suatu informasi pribadi. Hal tersebut berlaku bagi kita semua yang membuat
Batasan aturan dalam penyebaran mengenai apa yang kita ketahui (Griffin Em,
Ledbetter Andrew, 2019, hal 147).

Rules For Concealing and Revealing : People control their private information
through the use of personal privacy rules.

Terdapat sebuah cara mudah yang berguna untuk memahami mengenai maksud
dari seseorang dengan mengingat setiap orang pasti memiliki aturan tersendiri
dalam mengelola informasi pribadinya. Apabila terdapat sebuah pola
pengungkapan di dalam suatu kelompok kemudian anggotanya melakukan
penawaran untuk menjelaskan hal serupa sebagai bentuk tindakan yang
diartikulasikan sebagai aturan yang berada di internal yang hadir untuk memandu
keputusan mereka. Aturan-aturan tersebut merupakan panduan dalam melakukan
interpretasi dibandingkan dengan hukum yang ketat. Secara prakteknya, mereka
melakukan bantuan kepada orang-orang yang merasa mereka memiliki akses atas
informasi pribadi dirinya. CPM memberikan pernyataan bahwa terdapat lima
faktor yang memiliki peran dalam pengembangan privasi kami sendiri. Kelima
faktor tersebut ialah : budaya, gender, motivasi, konteks, dan rasio risiko-manfaat.
Kelima faktor tersebut membuktikan terutama dalam sebuah penelitian nya
Petronio yang meminta dari 38 korban pelecehan seksual dengan rentang usia 7-
18 tahun, bahwa pada anak-anak hingga remaja yang melaporkan dirinya
merupakan korban dari pelecehan seksual setelah mendapatkan izin dari orang
tuanya (Griffin Em, Ledbetter Andrew, 2019, hal 147-148).

Disclosure Creates A Confidant And Co-Owner : When others are told or


discover a person’s private information, they become co-owners of that
information.
Seorang pengungkap informasi pribadi dituntut untuk menyadari atas batas privasi
yang dicakup oleh informasi telah berubah menjadi batas bersama yang jarang
bisa Kembali menjadi informasi pribadi. Hal tersebut dapat terjadi hanya ketika
seseorang yang diberi kepercayaan tersebut mengalami hilang ingatan atau mati.
Sama halnya dengan ketika kita sudah mengeluarkan kucing dari kendang maka
akan susah untuk dimasukkan Kembali. Maka dari itu, setiap orang yang
mempunyai informasi pribadi harus lebih mempertimbangkan Kembali akan
tanggung jawab dari informasi tersebut. Selain itu, sebagai pemilik bersama kita
harus merasakan tanggung jawab yang sama. Seperti contohnya, apabila pemilik
asli informasi masih merasa sebagai pemegang tunggal dan memiliki anggapan
jika orang lain akan mengikuti dirinya ketika mengakses suatu informasi. Maka
pemilik informasi akan merasa terpancing dan mungkin akan jauh lebih santai
mengenai melindunginya dibandingkan dengan mencarinya (Griffin Em,
Ledbetter Andrew, 2019, hal 149-150).

Coordinating Mutual Privacy Boundaries : Co-owners of private information


need to negotiate mutually agreeable privacy rules about telling others.

Dalam asumsi ke empat ini membahas mengenai batasan informasi privasi


tertentu yang ditaruh oleh pemilik bersama ini belum tentu terlihat sama. Namun
menurut pemikiran Petronio, bahwa untuk menciptakan suatu keharmonisan
kedua pemilik informasi harus kongruen. Asumsi keempat ini merupakan asumsi
yang menjelaskan permohonan untuk pemilik bersama dalam melakukan
negosiasi Batasan privasi bersama tersebut yang bersifat kolektif dan tidak
sederhana. Negosiasi tersebut memfokuskan kepada pemilihan batas, usia tautan
batas, dan permeabilitas batas. Dengan bertujuan menggambarkan apa saja yang
terlibat dalam koordinasi suatu manajemen aturan batas (Griffin Em, Ledbetter
Andrew, 2019, hal 149).

Boundary Turbulance—Relationship At Risk : When co-owners of private


information don’t effectively negotiate and follow mutually held privacy rules,
boundary turbulence is the likely result.
Menurut Petronio, seperti yang mungkin anda cari saat mantapkan goyangan
perahu sambil berpegangan untuk menjaga keseimbangan, orang akan bersiap-
siap untuk menghadapi turbulensi sebagai usaha untuk mengatur ketergangguan
hubungan yang tertinggal di belakangnya. Petronio menyatakan terdapat berbagai
faktor yang dapat menyebabkan turbulensi batas, yang akan dikelompokkan ke
dalam tiga kategori batas yang kabur, pelanggaran yang dilakukan secara sengaja,
dan kesalahan pengambilan (Griffin Em, Ledbetter Andrew, 2019, hal 153).

Private Information

Berdasarkan prinsip yang ada pada teori CPM ini mempercayai bahwa
setiap seorang individu tentunya memiliki informasi pribadi yang hanya dimiliki
oleh mereka sendiri. Meskipun informasi pribadi tersebut telah diberikan izin
untuk diketahui oleh orang lain, maka yang seharusnya menjadi miliki bersama,
namun pemilik asli akan tetap menganggap bahwa hanya dirinya seorang yang
menjadi pemilik tunggal dari informasi tersebut (Petronio, S., & Gaff &
Practices., 2010). Menurut pernyataan berikut, dilihat dari sudut pandang perilaku,
seorang individu akan merasa dirinya sang pemilik informasi pribadi tersebut
sama hal nya dengan cara yang sama jika seseorang tersebut memiliki barang atau
benda lainnya (Child, J. T., Pearson, J. C., & Petronio, 2009). Artinya seseorang
itu dapat meminjamkan barangnya tersebut kepada siapa saja, akan tetapi mereka
memiliki keyakinan bahwa barang atau benda nya itu ialah masih menjadi milik
mereka sendiri (Child et al., 2011) .

Melalui keyakinan ini menjelaskan alasan dari penciptaan suatu situasi di


mana kepemilikan bersama dengan orang lain akan memberikan harapan dari
pemilik asli kepada pemilik bersama bahwa keduanya sama-sama memiliki
kewajiban untuk mengambil tanggung jawab untuk mengelola informasi tertentu.
Teori CPM dapat memprediksi waktu yang tepat terkait ekspetasi berikut dapat
dinegosiasikan. Ekspetasi tersebut meliputi peraturan yang membatasi privasi
yang telah disinkronkan serta membutuhkan wadah yang terarah pada pengelolaan
informasi yang terkoordinasi. Begitu pula dengan hal sebaliknya, apabila harapan
dari pemilik asli terkait tanggung jawab manajemen privasi tidak diperhatikan
maka akan terjadi turbelensi privasi (Petronio, 2002). Turbelensi tersebut muncul
ketika pemilik asli tidak melakukan negosiasi mengenai apa saja hal yang menjadi
tanggung jawab pihak kedua secara eksplisit. Selain itu, pemilik asli dengan jelas
menyatakan cara dirinya menginginkan informasi yang pribadi kemudian diatur
oleh pihak ketiga (Petronio, S., Jones, S., & Morr, 2003).

Private Boundaries

Batas privasi dimetaforakan sebagai cara yang mewakili kepemilikan


dalam penandaan suatu hal secara sah. Ketebalan batas privasi dapat menunjukan
jumlah banyak atau sedikitnya informasi pribadi yang dibuka dengan sejauh apa
yang diberikan atau ditolak oleh pemilik asli privasi yang mengakses ke informasi
pribadi dirinya sendiri. Garis Batasan antara tingkat ketebalan batas privasi
dengan kontrol yang mempelajari keterkaitan hubungan dengan pengintaian di
mediasi, penggunaan ambiguitas yang strategis, serta manajemen privasi (Child &
Starcher, 2016).

Walaupun sang pemilik privasi memiliki anggapan bahwa hak kontrol atas
informasi pribadi, dirinya juga memiliki keinginan untuk orang lain yang dipilih
sebagai lawan bicara ikut berpartisipasi dalam manajemen mereka sesuai dengan
aturan dari sang pemilik. Pemilik informasi menginginkan pemilik informasi
bersama yang mempunyai wewenang untuk mengikuti ekspetasi dari aturan
privasinya. Misalnya, melakukan klarifikasi atas siapa saja yang berhak
mengetahui informasi pribadi tersebut, seberapa banyak informasi yang dapat
diungkapkan kepada orang lain, serta tingkatan nilai dari independensi pemilik
yang memiliki kemungkinan bahwa pemilik bersama dapat menentukan akses
untuk pihak ketiga (Child JT, 2015). Saat pemilik informasi memberikan akses,
mereka juga mengharapkan rekan pemilik tersebut untuk mengikuti aturan dari
privasi sang pemilik (Brockhage K, 2016). Sehingga koordinasi kepemilikan dan
juga harapan dapat terkontrol dengan baik. Akan tetapi pada kenyataannya,
penerima informasi pribadi tidak konsisten dalam mengikuti peraturan privasi dari
sang pemilik (Venetis MK, Greene K, et all 2012).

Privasi Batasan dapat mengatur tingkat kontrol suatu privasi yang di mana
batas nya disesuaikan dengan kontrol yang rendah ketika terdapat beberapa
pembatasan terhadap akses, kepercayaan yang relative, dan Batasan yang lebih
mudah untuk ditembus. Ketika tingkat kontrol tinggi maka Batasan menjadi tebal,
kepercayaan rendah, serta terdapat beragam Batasan (Hammonds, 2015). Seperti
ketika pemilik informasi yang akan memberlakukan kontrol yang tingkatan nya
tinggi maka akan cenderung memahami aturan privasi yang dianggap membatasi
beragam informasi yang pribadi secara lebih lanjut dengan pemilik bersama.
Contoh nya seperti kata-kata “jangan diberi tahu siapapun kecuali si Y” (Petronio,
1991). Namun pemilik informasi akan merasa lebih nyaman dengan tingkat
kontrol yang rendah karena memberikan keleluasaan yang signifikan untuk
pemilik bersama di masa depan ketika berbagi informasi yang dimiliki secara
bersama. Contoh nya itu seperti “Beri tahu pada siapapun yang anda dapat
percayai”.

Control and Ownership

Konsep yang ketiga dalam teori CPM ini memiliki kaitan dengan kontrol
dan kepemilikan. Praduga ini sangat ketergantungan pada gagasan seorang
individu merasakan dirinya memiliki informasi bersifat pribadi tentang diri
mereka sendiri. Berperan sebagai pemilik dari informasi pribadi tersebut, dirinya
mempercayai bahwa mereka memiliki kewajiban untuk berada dalam posisi utama
untuk mengontrol siapa saja yang diizinkan untuk mengakses informasi tersebut.
Sebagai analogi nya kita dapat mengambil contoh ketika Lisa mendapati pesan
dan telepon yang tidak dia inginkan maka dia akan merasa kehilangan kendali
terkait akses ke sisi pribadinya. Meskipun Lisa belum memberi tahu siapa serta
bagaimana yang mengiriminya pesan dan telepon yang tidak senonoh tersebut, hal
tersebut sudah melanggar dari rasa kontrol Lisa atas informasi pribadi yang dia
yakini miliknya (West & Turner, 2010, hal 225).

Caughlin dan Afifi memiliki penelitian yang membahas mengenai masalah


dalam kepemilikan (Caughlin & Afifi, 2004). Keduanya menemukan pernyataan
untuk menghindari suatu pengungkapan atau mempertahankan atas kepemilikan
informasi yang bersifat pribadi dapat menyebabkan hubungan yang terjadi pada
orang tua dan anak-anak yang berusia mahasiswanya atau pasangan dengan
pasangan akan terbantu. Terlebih lagi ketika ada peserta penelitian memiliki
pikiran untuk menghindari topik dan didorong melalui keinginan untuk
melindungi hubungan yang dimiliki, maka mereka akan cenderung tidak bahagia.
Di sisi lain, apabila peserta penelitian memperkirakan penghindaraan itu
merupakan hasil motivasi dari ketidakmampuan orang maka mereka sangat tidak
puas. Kesimpulannya apabila terlalu terbuka dalam suatu hubungan akan
memungkinkan Batasan yang lebih terbatas dan dapat membantu dalam situasi
tertentu (West & Turner, 2010, hal 226).

Rule-Based Management System

Konsep keempat teori CPM ini merupakan sistem manajemen yang


berbasis aturan seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian definisi. Konsep ini
merupakan struktur kerja yang memiliki fungsi untuk memahami keputusan yang
telah dibuat oleh seseorang mengenai informasi yang bersifat pribadi. Dengan
sistem seperti ini memiliki kemungkinan untuk manajemen berada pada tingkat
individu juga kolektif. Pengaturan kompleks sendiri terdiri dari tiga proses yakni
karakteristik aturan privasi, koordinasi batas, dan turbulensi batas (West &
Turner, 2010, hal 226-227).

Privacy Rule Characteristics

Karakteristik aturan privasi mempunyai dua fitur utama yang meliputi


pengembangan serta atribut. Pengembangan aturan diarahkan oleh kriteria
keputusan seseorang yang berfungsi mengungkapkan atau menyembunyikan
sebuah informasi yang bersifat pribadi. Teori CPM memiliki lima kriteria
karakteristik keputusan yang digunakan ketika sedang mengembangkan sebuah
aturan privasi. Kelima hal tersebut yaitu kriteria budaya, kriteria gender, kriteria
motivasi, kriteria kontekstual, dan kriteria rasio dari risiko-manfaat. Petronio
melakukan pengamatan yang menghasilkan pernyataan bahwa mengusulkan
kelima kriteria tersebut untuk menjelaskan cara dari sebuah aturan privasi dapat
dikembangkan. Kelima kriteria karakteristik tersebut merupakan kunci utama
dalam aturan privasi karena aturan privasi merupakan prinsip dasar teori
(Petronio, 2004).
Kriteria budaya memiliki ketergantungan dengan norma privasi serta
keterbukaan yang ada pada suatu tempat budaya. Seorang individu diarahkan pada
harapan dirinya sendiri dalam hal privasi oleh nilai-nilai yang telah mereka
pelajari dalam budaya nya sendiri (West & Turner, 2010, hal 229).

Kriteria kedua yaitu kriteria gender memiliki acuan pada sebuah perbedaan
yang memiliki kemungkinan terdapat diantara pria dan perempuan dalam
menggambar Batasan privasi mereka sendiri. Pria dan Wanita diberi arahan
terlebih dahulu untuk melakukan pengembangan aturan yang berbeda terkait cara
pengungkapan serta operasinya suatu privasi (West & Turner, 2010, hal 230).

Kriteria ketiga ini memiliki keterkaitan dengan motivasi. Maksudnya,


seorang individu membuat suatu keputusan mengenai pengungkapan yang
berdasarkan pada motivasinya masing-masing. Beberapa orang memiliki
kemungkinan mempunyai motif tersendiri tersendiri dalam mengontrol,
manipulasi, serta dorongan dalam mengungkapkan atau menyembunyikan suatu
informasi bersifat pribadi. Seorang individu juga bisa saja termotivasi karena
adanya klarifikasi diri dan juga adanya perbedaan pada setiap individu yang dapat
memotivasi dirinya (West & Turner, 2010, hal 230).

Kritetia yang keempat merupakan kriteria kontekstual yang terpengaruh


karena adanya keputusan yang dibuat oleh seseorang mengenai informasi pribadi.
Menurut Petronio, terdapat dua elemen yang dapat membentuk konteks. Kedua
elemen tersebut ialah sosial lingkungan dan pengaturan fisik. Lingkungan sosial
yang memiliki keterlibatan dengan hal-hal detail seperti keadaan yang dapat
memotivasi pengungkapan atau penyembunyian. Lingkungan fisik yang memiliki
keterkaitan dengan lokasi kenyataannya, masalah kepadatan, serta ruang fisik.
Untuk beberapa lingkungan tertentu dapat memicu terjadinya pengungkapan
sedangkan lingkungan lainnya menjadi suatu kehati-hatian (Petronio, 2002).

Kriteria terakhir memiliki pernyataan bahwa aturan yang dikembangkan


tentunya berdasarkan kriteria rasio-risiko-manfaat. Maksudnya, seorang individu
melakukan evaluasi terhadap risiko yang relative terhadap suatu manfaat dari
pengungkapan atau penyembunyian. Hal ini mirip dengan pendapat yang terdapat
dalam teori pertukaran sosial. Kriteria ini biasanya diterapkan pada gagasan dari
perilaku pengungkapan dibandingkan dengan pengembangan suatu hubungan
(West & Turner, 2010, hal 230).

Boundary Coordination

Manajemen batas kolektif mewajibkan setiap individu supaya dapat


menciptakan serta memberlakukan sebuah aturan privasi yang mengarahkan
pengelolaan informasi pribadi secara bersama-sama. Pemilik kedua informasi
pribadi harus menyetujui supaya koordinasi dapat terlaksanakan. Hal tersebut
bertujuan untuk mengikuti aturan-aturan tertentu dalam mengelola informasi yang
diungkapkan. Batasan yang bersifat kolektif seringkali mengikuti salah satu pola
yang terdapat dalam koordinasi batas. Pola koordinasi batas ini meliputi (a)
inklusif, di mana satu orang memberikan kontrol privasi kepada orang lain; (b)
berpotongan, di mana ada tingkat kedalaman, jumlah, dan luas pengungkapan
yang sebanding dan pribadi; atau (c) terpadu, di mana informasi dimiliki oleh
semua orang dan tidak dimiliki oleh satu orang tertentu (Miller, 2009).

Boundary Turbulence

Batas turbelenesi terjadi ketika aturan privasi mengalami ketidak


sinkronan atau menjadi ambigu. Selain itu, manajemen privasi menjadi kacau.
Terlebih terdapat parameter yang disalahartikan juga harapan yang menjadi tidak
sesuai. Sehingga menghasilkan perilaku manajemen privasi yang sudah tidak
sesuai Kembali antara pemilik bersama. Hal tersebut mengakibatkan adanya
kegagalan dalam koordinasi batas dan turbelensi batas selanjutnya (Aloia, 2018).

Turbelensi batas dapat terjadi sebagai respons dari manajemen privasi


yang salah atau terdapat koordinasi batas yang gagal terlaksanakan. Sehingga
berakibat adanya perbedaan antara perilaku manajemen informasi dari privasi
yang disukai atau dinegosiasi yang di mana itu perilaku melanggar. Karena
pelanggaran privasi memliki ketidak sesuaian dengan tujuan, maka turbelensi
batas diharapkan dapat memperoleh pengaruh yang negatif dan dapat mencegah
emosi yang positif. Kemarahan merupakan emosi yang paling banyak dilaporkan
dalam penanggapan terhadap kasus turbelensi batas (McLaren, R. M., & Steuber,
2013).

Management Dialectics

Konsep kelima pada teori CPM ini ialah dialektika manajemen privasi
yang memiliki fokus pada ketegangan yang terjadi diantara kekuatan yang
memiliki anjuran untuk mengungkapkan atau menyembunyikan informasi yang
bersifat pribadi. Petronio mengemukakan sebuah pendapat bahwa tesis dasar dari
sebuah teori itu ialah kesatuan pada dialektika. Dialektika yang berpacu pada
ketegangan yang dirasakan oleh seseorang karena adanya pertentangan serta
kontradiksi (West & Turner, 2010, hal 227).

 Teori Disonansi Kognitif

Teori Disonansi Kognitif merupakan salah satu teori terpenting yang ada
didalam tradisi sosio-psikologi, teori yang pertama kali dirumuskan oleh
Leon Festinger pada pertengahan tahun 1950-an ini membahas tentang
bagaimana persepsi dan kognitif mempengaruhi dan dipengaruhi oleh motivasi
dan emosi. Untuk lebih memahami arti dari pernyataan tersebut maka pertama-
tama kita akan menjelaskan definisi dari Disonansi Kognitif itu sendiri terlebih
dahulu.

Kognitif merupakan sebuah cara untuk mengetahui keyakinan, penilaian


serta pemikiran dari seseorang. Lalu kalau Disonansi itu sendiri menurut Leon
Festinger (Dalam Soutar and Sweeney 2003:228) “menggambarkan seseorang
yang berada dalam keadaan disonan jika dua elemen dalam kognisinya (yaitu,
dalam pengetahuannya tentang dirinya sendiri, perilakunya, perasaannya,
keinginannya, atau dalam dirinya dengan pengetahuannya tentang dunia) tidak
konsisten”. Disonansi tidak hanya mencakup aspekaspek kognitif, akan tetapi
Disonansi juga mencakup aspek-aspek emosional karena Festinger (Dalam
Soutar and Sweeney 2003:228) berkata bahwa “bagi sebagian orang, disonansi
adalah hal yang sangat menyakitkan dan tak tertahankan”. Maka dapat
disimpulkan bahwa Disonansi Kognitif adalah perasaan tidak nyaman dari
seseorang yang diakibatkan oleh tidak konsistennya pikiran, sikap serta perilaku
orang tersebut. Festinger (Littlejohn & Foss, 2009, hlm. 110) merumuskan tingkat
keterkaitan antara disonansi dan kognisi dengan rumus : D/(D+C). “D”
melambangkan jumlah kognisi yang disonan dengan kognisi tertentu dan “C”
melambangkan jumlah kognisi yang konsonan

Dengan kognisi tertentu yang sama, dengan masing-masing kognisi


dibobotkan berdasarkan kepentingannya. Disonansi biasanya timbul disaat
seseorang bertindak dengan cara yang bertentangan dengan sikapnya.
Disonansi ini juga dapat timbul saat seseorang dipaparkan informasi yang tidak
konsisten dengan keyakinan atau sikapnya Biasanya orang yang berada dalam
keadaan yang disonan ini, termotivasi dari rasa tidak nyamannya karena adanya
disonansi, akan bekerja kognitifnya untuk mengurangi atau menghilangkan
inkonsistensi yang terjadi. Seseorang bisa menambahkan kognisi konsonan,
mengurangi kognisi disonan, meningkatkan pentingnya kognisi konsonan,
atau mengurangi pentingnya kognisi disonan ketika sedang berusaha untuk
mengurangi inkonsistensi tersebut. setelah orang tersebut memutuskan alternatif
mana yang akan dia lakukan dari keempat alternatif pilihan yang telah
disebutkan, maka seluruh kognisi yang mendukung alternatif yang telah
dipilih akan menjadi konsonan dengan keputusannya, sedangkan seluruh kognisi
yang mendukung alternatif yang tidak dipilih oleh dia, akan menjadi disonan.
Maka dari itu, semakin besar jumlah dan pentingnya kognisi disonan, dan
semakin sedikit jumlah dan pentingnya kognisi konsonan, maka semakin besar
tingkat disonansi yang dialami oleh seorang individu. Untuk Disonansi yang
disebabkan oleh keputusan yang telah diambil, dapat dikurangi dengan cara
memandang alternatif yang telah dipilih lebih menarik atau dengan cara
memandang alternatif yang ditolak kurang menarik.Ada dua premis utama yang
mengatur teori Disonansi Kognitif menurut (Littlejohn, 2011, hlm. 95), yang
pertama adalah bahwa disonansi menciptakan ketegangan atau stres yang
menimbulkan tekanan untuk berubah, lalu premis kedua mengikuti hasil dari
premis pertama : yaitu, ketika disonansi hadir, seseorang tidak hanya akan
berusaha untuk menguranginya, tetapi juga akan menghindari situasi
yangmungkin akan menghasilkan disonansi tambahan. Semakin besar
disonansi, semakin besar pula kebutuhan untuk menguranginya, oleh karena
itu penting untuk memahami teori ini karena dengan memahaminya, kita
tidak hanya dapat mengerti bahwa seseorang lebih rentan untuk berubah
ketika sedang berada didalam keadaan yang disonan, namun kita juga dapat
memanfaatkan keadaan disonansi seseorang untuk merubah keputusannya
agar mendukung kepentingan kita ataupun untuk kepentingan dirinya
sendiri.Roger Brown (Dalam West and Turner 2010:113) menunjukkan bahwa
penerapan dari teori ini, memungkinkan kedua elemen kognitif yang ada
untuk menghasilkan tiga hubungan yang berbeda-beda antar elemen tersebut.
yaitu, hubungan konsonan, hubungan disonan, dan hubungan irrelevan.

a) Hubungan Konsonan

Hubungan Konsonan merupakan hubungan antar kedua elemen kognitif


yang konsisten atau konsonan, sehingga hubungan yang tercipta saling
memperkuat satu sama lain. Ketika seseorang merasa nyaman karena kedua
elemen kognitifnya sejalan dengan satu sama lain, maka orang tersebut dapat
dikatakan memiliki hubungan yang konsonan.

b) Hubungan Disonan

Hubungan Disonan merupakan hubungan antar kedua elemen kognitif


yang tidak selaras atau disonan, sehingga setiap elemen melemahkan integritas
hubungan antara kedua elemen tersebut. biasanya orang yang memiliki
hubungan yang disonan, akan merasa tidak nyaman dengan kehadirannya
disonansi tersebut. sehingga, mereka akan mencoba untuk mengurangi disonansi
tersebut dengan merubah perilaku atau sikapnya. Contoh dari Hubungan Disonan
misalnya, jika seseorang sedang terjerat oleh utang dan dia membeli sebuah
mobil baru, maka kedua elemen yang berhubungan ini akan disonan dengan satu
sama lain, disonansi ini mungkin bisa ada dikarenakan oleh apa yang telah di
pelajari atau diharapkan oleh orang tersebut, oleh apa yang dianggap pantas atau
biasa, atau salah satu dari sejumlah alasan-alasan lainnya (Festinger 1957:13).
c) Hubungan Irrelevan

Hubungan Irrelevan merupakan hubungan antar kedua elemen kognitif


yang tidak ada hubungannya dengan satu sama lain, sehingga setiap elemen
tidak mempengaruhi hubungan antara kedua elemen tersebut. orang yang
memiliki hubungan irrelevan, akan merasa nyaman-nyaman saja karena dia
tidak merasakan tekanan untuk berubah dari adanya hubungan antara kedua
elemen ini. namun dalam banyak kasus, memutuskan secara apriori mengenai
apakah kedua elemen ini irrelevan telah menjadi sebuah masalah tersendiri.
Karena seperti yang dikatakan oleh (Festinger 1957:12) “seringkali, mustahil
untuk memutuskan hal ini tanpa mengacu pada kognisi dari orang yang
terlibat. Terkadang akan ada situasi yang dimana dikarenakan oleh perilaku
dari orang-orang yang terlibat, elemen-elemen yang sebelumnya tidak relevan,
menjadi relevan dengan satu sama lain”. Sebelum membahas apa itu konsep dari
disonansi kognitif, alangkah lebih baik jika kita memahami tentang makna dari
konsep itu sendiri. Ketika kita membahas mengenai sebuah teori yang telah
dikaji bertahun tahun, maka disana juga terdapat pembahasn mengenai
konsep-konsep yang mendasari dari teori itu sendiri. Konsep menjadi sebuah
landasan pemikiran untuk sebuah teori, dan menjadi proses pembahasan mengenai
kajian yang ada dalam teori tersebut. Konsep juga bisa diartikan sebagai
gambaran dari suatu teori yang ada. Menurut Shlomo Vinner, konsep tidak dapat
didefinisikan secara verbal. (Vinner, 1983:293). Dalam setiap konsep terdiri dari
dua hal, yaitu definisi dan penggambaran dari teori yang ada.Konsep berfungsi
supaya teori yang ada mudah dipahami dan juga menjadi suatu teori yang
tersusun secara sistematis dan lancar. Konsep diperlukan ketika sebuah teori ingin
digunakkan dalam suatu kajian, atau ketika teori tersebut ingin dikembangkan
oleh seseorang. Konsep adalah suatu hal penting dalam teori, karena sebagai
sebuah inti dari sebuah pemahaman atau gagasan yang telah dikaji.

2. KOMUNIKASI SEMIOTIKA

Dalam kegiatan sehari-hari mungkin kita sering melihat simbol atau tanda
diberbagai tempat, seperti saat kita ingin pergi menuju toilet di sebuha mall maka
akan ada tanda atau simbol yang menunjukan bahwa tempat tersebut adalah
sebuah tolet. Atau ketika kita sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat,
sering kali kita akan melihat sebuah rambu-rambu lalu lintas yang memilki simbol
atau tanda yang mengartikan sebuah makna. Begitu juga ketika kita sedang
berkomunikasi dengan seseorang, kadang kita memberikan sebuah tanda atau
simbol yang mungkin dimengerti oleh oarng yang sedang berkomunikasi dengan
kita. Seperti kediapan mata atau tatpan mata yang mengarah kepada suatu objek
meruapakn sebuah contoh tanda yang ada dalam suatu komunikasi.

Dari tanda atau simbol yang sering kita temui sehari-hari, pernakah kalian
berfikir bagaimna sebuah tanda atau simbol tersebut bisa memiliki makna?,
seperti sebuah rambu lalu lintas bisa memiliki makan yan berebda beda dengan
rambu lalu lintasyang lainnya, atau ketika kita melihat dala sebuah film perang
dimana pihak yang emngalami kekalahan dalam perang akan mengangkat bendera
putih ketika mereka menyerah. Berndera putih yang disimbolkan menjadi tanda
untuk menyerah dan lampu merah yang memiliki arti berhenti ketika kita sedang
mengendarakan kendaraan, tidak serta merta begitu saja memiliki makna. Ada
alasan tersendiri mengapa simbol dan tanda tersebut bisa dimaknai demikian. Ada
hal yang mungki meatar belakangin hal-hal tersebut. Dan juga pernahkah
terpikirkan oleh kalian apakah semua simbol atau tanda memiliki makna masing-
masing ?, jika seseorang melakukan gerakan atau gestur bisakah itu memiliki
makna sehingga bisa menjadi simbol ?. Hal ini yang kemudian menjadi suatu
bahasan dalam Teori Semiotika, tentang bagaimana suatu simbol atau tanda
memiliki makna, dan bagaimana simbol atau tanda tersebut dapat dimaknai dalam
suatu praktik komunikasi. Dan Berikut adalah beberapa Teori Komunikasi yang
masuk kedalam konteks komunikasi.

 Teori Semiotika

Teori semiotika adalah sebuah teori tentang bagaimana suatu simbol atau
tanda dapat memiliki makna dan bagaiman simbol atau tanda tersebut dimaknai.
Teori tanda, semiotika atau semiologi (Yunani: 'semeion' = kependekan dari
'sema' = tanda atau tanda), memiliki sejarah panjang yang bermula dari para
filosof Yunani kuno. John Locke dalam karyanya Essay Concerning Human
Understanding, memperlakukan semiotika bersama-sama dengan fisika dan etika
sebagai salah satu dari tiga cabang utama pengetahuan manusia. 'Semiotika' dan
'semiologi' tumpang tindih tetapi mereka memiliki rasa yang berbeda. 'Semiotika'
cenderung lebih berhubungan dengan logika aspek tanda, sedangkan 'semiologi'
cenderung lebih berhubungan dengan peran yang dimainkan tanda dalam
masyarakat dan bahasa. Semiotika dikaitkan terutama dengan karya Charles
Sanders Peirce, dan Ahli logika Amerika yang berkembang pada pergantian abad
ke-19 dan ke-20 -Peirce menciptakan kalkulus relasional, dasar teknologi basis
data relasional dan metode pemetaan kognitif yang baru saja ditemukan kembali
oleh para insinyur pengetahuan. Semiologi dikaitkan dengan tradisi yang berasal
dari Ferdinand de Saussure yang meninggal pada tahun 1913 tetapi paling dikenal
oleh Cours de Linguistique General-nya yang diterbitkan dari catatan murid-
muridnya pada tahun 1949. Secara agak luas, semiotika diasosiasikan dengan
tradisi Ango·Saxon atau Eropa Utara dengan citarasa ilmiah yang relatif formal,
logis, sedangkan semiologi adalah terletak secara spiritual di Eropa Selatan dan
memiliki cita rasa kritik sastra dan politik analisis. Tantangan yang kita hadapi
dalam mengembangkan kerangka konsep sistem informasi adalah bahwa: konsep
sentral, yaitu informasi, sangat kabur. Informasi pasti tidak cocok sebagai gagasan
primitif yang menjadi dasar ilmu pengetahuan. Semiotika memberikan konsep
tanda sebagai gagasan primitif, yang dapat dipahami atas dasar demonstrasi, atau
definisi ostensif, dan di atasnya kita dapat membangun definisi teknis yang baik
tentang 'informasi', 'makna', 'komunikasi' dan seterusnya. Kontribusi penting
lainnya untuk kami pekerjaan berasal dari pembagian semiotika yang mapan
menjadi sub-disiplin yang dapat dipelajari secara relatif mandiri, dan digunakan
untuk memusatkan perhatian pada yang relatif mandiri area masalah.

penjelasan sederhannya, bahwa teori ini memiliki dua pandangan yang


dikembangkan oleh dua tokoh yang berbeda. Yang pertama ialah Roland Barthes
yang mana menurutn pendapatnya menyatakan bahwa semiologi adalah tujuan
untuk mengambil berbagai sistem tanda seperti substansi dan batasan, gambar-
gambar, berbagai macam gesture, berbagai suara music, serta berbagai obyek,
yang menyatu dalam system of significance. Lalu pandangan yang kedua snediri
bearasal dari tokoh yang berbeda yakni Ferdinand De Saussure yang
menganggap abhwa teori ini adalah ilmu tentang tanda-tanda. Sebagai sebuah
ilmu, semiologi selalu dihubungkan dengan kata semiosis yaitu sebuah istilah
yang digunakan dalam semiotika untuk merancang produksi dan interpretasi
sebuah tanda. Ada pula tokoh lain yang memiliki pandangan mengenai teori ini
seperti Charles Sanders Peirce yang mendefinisikan semiologi ilmu umum

tentang tanda. Dan ada juga Umberto Eco yang berpendapat bahwa semiotika

sebagai ilmu tentang segala sesuatu yang dapat disebut sebagai tanda.

Sebagai sebuah studi tentang tanda dan sistem tanda, teori semiotika
modern pertama kali muncul pada abad 17 yang ditandai dengan tulisan John
Locke yang menyatakan bahwa ketika berkomunikasi perlu menyertakan berbagai
ide yang jelas ke dalam kata-kata. Pada kisaran tahun 1950an – 1960an,
berkembang sebuah gerakan intelektual yang disebut dengan strukturalisme
dengan semiologi sebagai salah satu model. Tokoh-tokoh yang menjadi bagian
dari gerakan ini adalah Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, C. Levi-Strauss,
Julia Kristeva, Umberto Uco, Thomas Sebeok, dan Roland Barthes.

Dalam bukunya Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Denis


McQuail menjelaskan terntang strukturalisme dan semiologi. Menurut McQuail,
istilah strukturalisme merujuk pada suatu perkembangan dari ilmu bahasa yang
berakar dari Ferdinand de Saussure. Strukturalisme mengkombinasikan berbagai
prinsip ilmu bahasa dan antropologi struktural.

Strukturalisme dapat dikatakan berbeda dari ilmu bahasa karena fokus dari
strukturalisme adalah pada bahasa verbal dan pada setiap sistem tanda yang
bersifat seperti bahasa serta pemilihan teks dan artinya dalam kaitannya dengan
kebudayaan. Lebih lanjut McQuail menjelaskan bahwa semiologi atau semiotika
adalah ilmu umum tentang tanda yang mencakup strukturalisme dan hal-hal lain
yang sejenis. Karena itu, semua hal yang berkaitan dengan signifikansi
(signification) betapapun sangat tidak terstruktur, beraneka ragam dan terpisah-
pisah.

Kemudian, semiotika tumbuh dan berkembang ke dalam dua tradisi yang


berbeda, yaitu semiologi yang dikenalkan oleh Ferdinand de Saussure dan
semiotika yang dikenalkan oleh Charles Sanders Peirce. Dalam teori semiotika
Charles Sanders Peirce, yang menjadi kajian adalah analisa terhadap fungsi-fungsi
kognitif tanda dan membedakan berbagai jenis tanda seperti ikon, indeks, dan
simbol. Sementara itu, dalam teori semiotika Ferdinand de Saussure, yang
menjadi kajian adalah analisa terhadap sistematika struktur bahasa dan sistem
tanda lainnya sebagai sebuah fenomena sosial. Salah seorang ahli yang mengikuti
serta mengimplentasikan teori semiotika Ferdinand de Saussure secara eksplisit
adalah Roland Barthes.

Ada dua hal yang menjadi landasan pemikiran dalam teori semiotika, yang
pertama ialah tanda merupakan kombinasi antara penanda dan pertanda. Lalu
suatu tanda tidak bisa berdiri sendiri, akan tetapi bagian dari sistem. Kedua hal
tersbeut akan dijelaskan lebih jelas sebagai berikut

1. Tanda Adalah Kombinasi Penanda dan Petandanya

Perbedaan antara penanda dan petanda dapat dilihat dalam deskripsi grafis
Barthes tentang tubuh seorang pegulat Prancis yang dipilih oleh promotor karena
ia melambangkan jorok yang menjijikkan: Begitu musuh berada di atas ring,
publik diliputi oleh kejelasan peran. Seperti di teater, setiap tipe fisik
mengekspresikan secara berlebihan bagian yang telah diberikan kepada kontestan.
Thauvin, seorang pria berusia lima puluh tahun dengan tubuh gemuk dan kendur. .
.menampilkan dalam dagingnya karakter kehinaan. . . . Oleh karena itu, fisik
pegulat merupakan tanda dasar, yang seperti benih berisi seluruh pertarungan.4
Menurut Barthes, gambaran fisik pegulat adalah penanda. Konsep kehinaan
adalah ditandai. Kombinasi keduanya — tubuh jahat — adalah tanda. Cara
mendefinisikan tanda ini berbeda dari penggunaan kata yang biasa kita lakukan.
Kita mungkin akan mengatakan tubuh pegulatadalah tanda tentang kehinaannya—
atau apa pun yang terlintas di benaknya. Tapi Barthes menganggap tubuh pegulat
itu adilbagian tanda keseluruhan; itu penanda. Bagian lainnya adalah konsep
kehinaan yang mengerikan. Penanda bukanlah tanda dari yang ditandakan.
Sebaliknya, mereka bekerja sama dalam ikatan yang tidak terpisahkan untuk
membentuk satu tanda. Deskripsi Barthes tentang tanda sebagai korelasi antara
penanda dan petanda datang langsung dari Saussure. Ahli bahasa Swiss
memvisualisasikan tanda sebagai selembar kertas dengan tulisan di kedua
sisinya—penanda di satu sisi, dan petanda di sisi lain. Jika Anda memotong
bagian dari satu sisi, jumlah yang sama dari sisi lain secara otomatis ikut
dengannya.Menggunakan metafora yang sama, saya melihat tanda-tanda sebagai
koin. Misalnya, gambar presiden suatu negara dicap di sisi "kepala" koin emas—
penanda. Hanya di sisi lain dari koin yang kita lihat nilainya di Amerika Serikat
adalah $1—yang ditandai. Penanda dan petanda tidak dapat dipisahkan. Mereka
digabungkan dalam referensi kami ke tanda moneter itu sebagai dolar emas AS.

Apakah ada hubungan logis antara citra penanda dan isi petanda? Saussure
bersikeras bahwa hubungan itu arbitrer—salah satu korelasi daripada sebab dan
akibat. Barthes tidak begitu yakin. Dia bersedia mengabulkan klaim Saussure
bahwa kata-kata tidak memiliki makna yang melekat. Misalnya, tidak ada apa-apa
tentang katawasit yang membuatnya berdiri untuk pihak ketiga di atas ring yang
tidak kompeten membuat Thauvin mengikuti aturan. Tetapi penanda nonverbal
tampaknya memiliki afinitas alami dengan petandanya. Barthes mencatat bahwa
tubuh Thauvin begitu menjijikkan sehingga memicu mual. Dia
mengklasifikasikan hubungan antara penanda dan petanda sebagai "semu
sewenang-wenang." Bagaimanapun, Thauvin benar-benar menyerang orang
banyak sebagai personifikasi kekejian (Griffin et al, 2018:321).

2. Sebuah Tanda Tidak Berdiri Sendiri: Itu Adalah Bagian dari Sistem.

Barthes memberi judul esainya "The World of Wrestling" karena, seperti


semua sistem semiotik lainnya, gulat menciptakan dunia tanda-tanda yang saling
terkait secara terpisah. Oleh karena itu, setiap momen dalam gulat seperti aljabar
yang secara instan mengungkap hubungan antara sebab dan akibat yang
diwakilinya. Penggemar gulat pasti mengalami semacam kesenangan intelektual
dalammelihat mekanisme moral berfungsi begitu sempurna. Seorang pegulat
dapat membuat jengkel atau jijik, dia tidak pernah mengecewakan, karena dia
selalu menyelesaikan sepenuhnya, dengan pemadatan tanda-tanda yang progresif,
apa yang diharapkan publik darinya.
Barthes mencatat bahwa peran grappler sangat ketat. Ada sedikit ruang
untuk inovasi; orangorang di atas ring bekerja dalam sistem tanda yang tertutup.
Dengan menanggapi harapan penonton yang tak tergoyahkan, para pegulat adalah
penonton sama banyaknya dengan para penggemar yang bersorak atau
mencemooh.Gulat hanyalah salah satu dari banyak sistem semiotik. Barthes juga
mengeksplorasi makna budaya dari pakaian desainer, masakan Prancis, mobil,
pemberian hadiah Jepang, perabotan rumah tangga, tata ruang kota, dan tampilan
seksualitas di depan umum. Dia berusaha untuk mendefinisikan dan
mengklasifikasikan fitur-fitur umum untuk semua sistem semiotik. Analisis
struktural semacam ini disebuttaksonomi, dan buku Barthes Elemen Semiologi
adalah "kegilaan klasifikasi yang sesungguhnya."6 Barthes kemudian mengakui
bahwa taksonominya "berisiko menjadi membosankan," tetapi proyek tersebut
memperkuat keyakinannya bahwa semua sistem semiotik berfungsi dengan cara
yang sama, terlepas dari keragamannya.Barthes percaya bahwa sistem semiotik
yang signifikan dari sebuah budaya mengunci status quo. Mitologi yang
melingkupi tanda-tanda penting masyarakat menampilkan dunia seperti sekarang
ini — betapapun kacau dan tidak adilnya — sebagaialami, tak terelakkan, dan
abadi. Fungsi mitos adalah untuk memberkati kekacauan. Kita sekarang beralih ke
teori konotasi, atau mitos Barthes, yang menunjukkan bagaimana tanda yang
tampaknya netral atau mati dapat mencapai banyak hal.

Ada dua hal yang dibahas dalam konsep pad teori ini, yang pertama adalah
pemaknaan dari denotasi, dan yang kedua adalah pemaknaan dari konotasi. Kedua
hal ini akan dijelaskan sebagai berikut.

Konotasi dan Denotasi adalah dua metode utama untuk menggambarkan


makna kata-kata. Konotasi mengacu pada beragam asosiasi positif dan negatif
yang sebagian besar kata secara alami membawa mereka, sedangkan denotasi
adalah definisi literal yang tepat dari sebuah kata yang mungkin ditemukan dalam
kamus.

Konotasi dan denotasi bukanlah dua hal/tanda yang terpisah. Mereka


adalah dua aspek/ unsur-unsur tanda, dan makna konotatif suatu kata ada
bersama-sama dengan makna denotatif]. Konotasi mewakili berbagai nuansa
sosial, implikasi budaya, atau emosional makna yang terkait dengan
tanda.Denotasi mewakili makna eksplisit atau referensial dari sebuah tanda.
Denotasi mengacu pada arti harfiah dari sebuah kata, 'definisi kamus.' Misalnya,
nama 'Hollywood' berkonotasi hal-hal seperti kemewahan, glamor, perada,
selebriti, dan impian menjadi bintang. Pada saat yang sama, nama 'Hollywood'
menunjukkan sebuah daerah Los Angeles, di seluruh dunia dikenal sebagai pusat
industri film Amerika.

Dalam semiotika, denotation dan connotation adalah dua istilah yang


menggambarkan hubungan antara signifier dan signified. Selain itu, denotation
dan connotation juga menggambarkan sebuah perbedaan analitis yang dibuat
antara dua jenis signified yaitu denotative signified dan connotative signified
(Chandler, 2008). Denotation dan connotation selalu digambarkan dalam istilah
level of representation atau level of meaning. Dalam bukunya yang berjudul
Elements of Semiology (1964), Roland Barthes membedakan denotation dan
connotation dengan merujuk pada pendapat Louis Hjelmslev dengan
menggunakan istilah orders of signification.

 Teori Studi Budaya

Dalam penegrtiannya budaya merupakan suatu kebiasan yang telah lama


mengakar pada suatu daerah atau lingkungan yang ada pada masyarkat. Ha-hal ini
juga termasuk pada komuniksai yang digunakan oleh setiap kelompok masyarkat,
yang menggunakan bahasa yang berbeda beda. Budaya sendiri merupakan suatu
hal yang tidak bisa kita pisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari, dari mulai
carabetutur dan berprilaku diajarkan dalam budaya.

Teori studi budaya adalah sebuah teori yang mempelajari tentag


pengkajian terhadap budaya yanng mana memiliki keterkaitan dengan media dan
komunikasi yang ada pada suatu lingkungan. Terdapat beberapa pandangan ahli
mengenai teori ini, Cultural Studies adalah perspektif teoretis yang berfokus pada
bagaimana budaya dipengaruhi oleh kelompok dominan yang kuat (West
&Turner, 2010:362). Disini dijelaskan bahwa budaya dapat berubah oleh
adanya sekelompok masayarakat yang berjumlah mayoritas pada suatu
lingkungan pada daerah tertentu. Hal ini menjelaskan bahwa masyrakat
dominan bisa saja memberikan pengaruh terhadap budaya yang cukup besar.
Ada juga yang berpendapat, bahwa Studi Budaya memiliki banyak wacana;
memiliki sejumlah sejarah yang berbeda. Ini adalah seluruh rangkaian
formasi; ia memiliki konjungtur dan momen yang berbeda di masa lalu
(Hall, 1992:278). Disini tertuang pemikiran yang dikemukakan oleh stuart
hall (1992), bahwa teori ini tidak memiliki suatu acuan terhadap doktrin tentang
prilaku manusia. Disini juga dijelaskan bahwa budaya memiliki kaitan yang
cukup besar dalam komunikasi media massa suatu individu, dan pada hal-hal
lainnya. Dalam buku a dictionary ofcultural and critical theory diejelaskan
bahwa Studi tentang budaya, atau teori budaya, tidak kurang dari keragaman
budaya (Payne et al, 2010:2). Disana dijelaskan juga bahwa Studi mengenai
budaya sudah banyak dilakukan sebelumsebeumnya dan tertuang dalam buku-
buku yang ditulis oleh berbagai macam ahli, seperti Rhicard Hoggard, Raymon
William, dan E.P. Thompson. Dari hasil mereka inilah memberikan landasan
sejarah sosial yang teliti untuk buku-buku sebelumnya, dimana Hoggart dan
Williams menemukan diri mereka terjebak di antara hilangnya kelas pekerja
budaya tempat mereka dilahirkan dan serangan komersial/kapitalis/Amerika
terhadap karya sastra budaya di mana mereka dididik. Meskipun
pengangguran dapat dimengerti telah dipikirkan ancaman barubaru ini oleh
mereka yang menderita, mengantisipasi, atau takut, tidak pernah kurang dari
a juta pengangguran di kelas pekerja Inggris dari tahun 1920-an hingga
perang 1939–45, ketika tiba-tiba Inggris, seperti Amerika Serikat, bergerak
gelisah menuju pekerjaan penuh, terutama karenajumlah orang kemudian dalam
dinas militer. Setelah 1945, dengan diperkenalkannya produksi baru teknik
dalam industri, kemungkinan budaya waktu luang yang bergerak ke atas, alih-
alih budaya pengangguran, tampak cukup nyata. Didirikan pada keyakinan ini,
upaya besar-besaran dimulai di kedua sisi Atlantik, tidak hanya untuk
mendidik mantan tentara tetapi juga untuk menyalurkan sastra dan seni
lainnya untuk mengolah waktu luang dengan cara yang sebelumnya tidak
disadari.
Di Amerika Serikat, misalnya, Ford Foundationmensponsori program
Great Books yang sangat sukses melalui perpustakaan lokal. Agak kemudian
Elderhostel program untuk orang-orang usia pensiun memungkinkan kursus
universitas singkat dengan sedikit biaya. Di dalamsemangat, Eric Hoffer,
filsuf International Longshoreman's Union di California, memperjuangkan
penggunaan waktu luang secara kreatif dan bahkan mengusulkan, dalam
momen yang meriah, bahwa semua wilayah utara California disisihkan untuk
rekreasi yang dibudidayakan seperti itu. Bahkan sebelum perang, tugas budaya
meluas pendidikan telah diambil lebih serius oleh "Kritik Baru," Cleanth
Brooks, R.B. Heilman, dan Robert Penn Warren, dalam buku teks perguruan
tinggi populer yang mereka edit bersama, dan dalam pengaruhnyakritik.
Sementara itu di Inggris I.A. Richards, F.R. Leavis, dan William Empson
mengatur diri mereka sendiri tugas yang lebih ambisius (Payne et al, 2010, hlm.
2).

Sebelum terbentuk sebuah teori yang baik dan akurat, setiap teori memiliki
sebuah pemikiran dasar yang melandasi teori tersebut. pemikiran dasar atau
asumsi ini membentuk cara pandang dalam suatu teori. Hal ini juga membentuk
kerangka berpikir dalam suatu teori yang ada. Dalam teori studi budaya ini ada
beberapa asumsi yang dapat kita telaah dalam kajiannya. Asumsi-asumsi itu akan
dijelaskan sebagai berikut.

Budaya mempengaruhi setiap prilaku manusia, ini dapat diartikan


bahwa sebuah tindak tanduk yang dilakukan oleh kita berdasrkan budaya
yang sudah ada sebelumnya. Dalam Cultural Studies, kita memerlukan interpretasi
kata yang berbeda, interpretasi yang menggarisbawahi sifat teori. Berbagai
norma, gagasan, nilai, dan bentuk pemahaman dalam masyarakat yang membantu
orang menafsirkan realitas mereka adalah bagian dari ideologi budaya.
Menurut Hall (1981),ideologi mengacu pada "gambar, konsep, dan premis
yang menyediakan kerangka kerja yang melaluinya kita mewakili,
menafsirkan, memahami, dan 'memaknai' beberapa aspek keberadaan sosial"
(West & Turner, 2010:31). Hall percaya bahwa ideologi mencakup bahasa,
konsep, dan kategori yang dikumpulkan oleh kelompok sosial yang berbeda
untuk memahami lingkungan mereka. Selain itu asumsi in juga membahas,
Makna dalam budaya kita sangat dipahat oleh media. Media hanya dapat
dianggap sebagai pembawa teknologi budaya, tetapi seperti yang akan
ditunjukkan bab ini, media jauh lebih banyak. Pertimbangkan kata-kata
Michael Real (1996) tentang peran media dalam budaya AS: “Media menyerbu
ruang hidup kita, membentuk selera orang-orang di sekitar kita,
menginformasikan dan membujuk kita tentang produk dan kebijakan,

mengganggu impian pribadi dan ketakutan publik kita, dan sebaliknya,


undang kami untuk menghuninya”. Tidak diragukan lagi, misalnya, bahwa
media mengandung pesan—disengaja atau tidak—yang membuat Petrillos
menerima tujuan, impian, dan standar kesuksesan yang digambarkan di
media. Ideologikerangka yang digunakan untuk memahami keberadaan kita
perang budayaperjuangan budaya atas makna, identitas,dan pengaruh Asumsi
Kajian Budaya.

Orang adalah bagian dari struktur hierarki kekuasaan, Asumsi kedua dari
teori budaya berkaitan dengan orang sebagai bagian penting dari hierarki
sosial yang kuat. Kekuasaan beroperasi di semua tingkatan dalam
masyarakat. Namun, kekuasaan dalam pengertian ini tidak berdasarkan peran,
seperti yang kita pertimbangkan dalam diskusi kita tentang Teori Strukturasi
di Bab 15. Sebaliknya, Hall tertarik pada kekuasaan yang dipegang oleh
kelompok sosial atau kekuasaan antar kelompok. Makna dan kekuasaan
terkait secara rumit, karena Hall (1989) berpendapat, "Makna tidak dapat
dikonseptualisasikan di luar bidang permainan hubungan kekuasaan" (hal. 48).
Sesuai dengan tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh
kelompok-kelompok bawahan tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi
perebutan kekuasaan, dan pemenangnya biasanya adalah orang yang berada di
puncak hierarki sosial.

Contoh dari apa yang kita diskusikan di sini dapat diamati dalam budaya
AS yang mementingkan keindahan. Ahli teori dalam Cultural Studies berpendapat
bahwa karena kecantikan sering didefinisikan sebagai kurus dan tampan,
siapa pun yang tidak cocok dengan kualitas ini akan dianggap tidak
menarik. Hall mungkin percaya bahwa orang-orang yang menarik—di puncak
hierarki sosial mampu menggunakan lebih banyak kekuasaan daripada
mereka yang berada di bawah (yang tidak menarik).Mungkin sumber kekuatan
utama dalam masyarakat kita, bagaimanapun, adalah media. Hall (1989)
menyatakan bahwa media terlalu kuat. Dia tidak malu dalam mendakwa karakter
media dengan menyebutnya tidak jujur dan “pada dasarnya kotor” (hal. 48).
Dalam budaya yang beragam, Hall berpendapat, tidak ada institusi yang
memiliki kekuatan untuk memutuskan apa yang didengar publik. Gary
Woodward (1997) menarik kesimpulan serupa ketika menyatakan bahwa ada
tradisi di mana jurnalis menjadi penjaga aktivitas budaya bangsa: Jika media
menganggap sesuatu itu penting, maka sesuatu itu juga penting; peristiwa
yang tidak penting tiba-tiba menjadi penting.

Jika sebelumnya kita telah membahas tentang asumsi atau landasan


pemikiran dari seuah teori, kali ini kita akan membahas tentang konsep dari teori
studi budaya. Serupa dengan asumsi, konsep juga salah satu pondasi dalam
sebuah teori yang ada. Konsep sangat penting, karena dengan adanya konsep kita
bisa mengetahui dengan jelas tujuan dan maksud pembahasan dari teori ini. Dan
berikut adalah konsep yang ada pada teori ini.

Subjectivity and consciousness, konsep ini berbicara tentang Sebagian


besar bahasa yang umumnya mengacu pada manusia sebagai individu dengan
identitas esensial dan pasti menyamarkan karakter subjektivitas dan
kesadaran yang terbagi. Seperti yang dikatakan Hegel dalam Fenomenologi
Pikiran, kesadaran beroperasi tidak hanya dengan mendefinisikan apa yang
termasuk dalam ruang lingkupnya tetapi juga dengan melanggar apa yang
sebelumnya.dianggap sebagai batasan yang menentukan dan kemudian
menggabungkan definisi yang digantikan itu ke dalam struktur pemikiran
yang baru diperluas. Dengan demikian, fitur kesadaran yang tak terhindarkan
adalah kapasitasnya untuk berpikir tentang suatu topik dan sekaligus menilai
secara kritis bagaimana topik itu sedang berlangsung berpikir tentang. Freud,
bagaimanapun, dalam The
Interpretation of Dreams, mengamati bahwa berabad-abad sebelumnya
Penyair Hegel dan penulis lain telah menjelajahi bentangan luas aktivitas
mental yang terletak di luar kesadaran - dalam mimpi dan fantasi - atau yang
secara tak terduga mengganggunya - dalam lelucon, slip lidah, dan karya seni.
Tekad para pemikir mutakhir (seperti Lacan, Derrida, dan Kristeva) untuk
menyebut manusia sebagai subjek yang memanifestasikan upaya untuk
melawan pra-Hegelian dan asumsi pra-Freudian tentang kesatuan manusia dan
identitas ego. Subjektivitas, bagaimanapun, juga mengingat rasa tunduk dan
penolakan terhadap asumsi yang tidak terpikirkan tentang manusia yang esensial
kebebasan. Terlahir dalam bahasa, budaya, dan ras, kelas dan politik gender,
subjeknya tidak pernah sepenuhnya otonom (Payne et al, 2010, hlm. 3).

Ideology and hegemony, Marx, dalam bukunya “Pengantar Sebuah


Kontribusi terhadap Kritik Politik” Ekonomi ”berpendapat,” Bukan kesadaran
manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi mereka keberadaan
sosial yang menentukan kesadaran mereka” (Marx dan Engels, 1968, hlm. 173).
Sebuah kegagalan untuk mengenali cara-cara di mana struktur ekonomi
masyarakat menentukan hubungan sosial manusia dan membatasi kemerdekaan
kehendaknya berada dalam cengkeraman ideologi. Memang, ide-ide penguasa
suatu zaman, seperti yang dikemukakan Marx dan Engels dalam The
German Ideology, berjumlah tidak lebih dari idealisasi hubungan kelas ekonomi
yang dominan saat itu. Bentuk dari kesadaran karena itu merupakan ideologi,
yang memegang subjek dalam cengkeraman atau bentuknya batasan yang dapat
dilanggar oleh kritik atau revolusi sosial. Sebuah alternatif (atau suplemen)
untuk bentuk kekerasan dari penindasan atau penundaan perubahan
revolusioner adalah manipulasi bentuk suprastruktur budaya - pendidikan,
media, agama, seni - tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh mereka
yang tunduk pada manipulasi tersebut. Hegemoni, dalam pengertian ini,
adalah keterlibatan dalam penindasan sebagai hal yang normal atau sebagai
bagian dari budaya oleh mereka yang diperintaholeh itu. Seperti yang diklaim
Gramsci dalam Buku Catatan Penjaranya, hegemoni terjalin dari jaringan ideologi
dan kemudian ditransmisikan oleh kaum intelektual yang berafiliasi dengan kelas
penguasa.
Critique and polysemy, konsep yang ketiga mencoba menjelaskan
Program sistematis untuk melakukan kritik terhadap ideologi (Ideologiekritik)
untuk sekaligus memahami prosesnya dan melawan dominasinya telah
menjadi proyek lanjutan dari apa yang disebut sekolah teori sosial Frankfurt
(termasuk Adorno, Horkheimer, Marcuse awal, dan Habermas), apakah para
pemikir ini telah bekerja di Wina, California, New York, atau Frankfurt. Jika
memang bentuk kesadaran dapat dipahami sebagai substansi ideologi, pendidikan
sebagai saluran hegemoni, dan intelektual. sebagai agen tanpa disadari atau
terlibat dari penindasan tanpa kekerasan, maka setiap upaya untuk mengetahui
(atau berteori) proses masyarakat harus dimulai dengan kritik radikal terhadap
kekuatan yang mendominasi ideologi untuk melepaskan kesadaran dari apa
yang membuatnya tidak sadar secara politik. NS upaya utama di sini bukan hanya
untuk menentang kekuatan-kekuatan itu dengan kritik moral, tetapi juga untuk
menemukan bentuk baru pengetahuan yang berbeda dari ilmu empiris, yang
didirikan di kritik radikal, dan itu bertekad untuk menjadi kekuatan untuk
perubahan sosial. Fitur-fitur ini Ideologiekritik juga umum dalam berbagai
bentuk kritik feminis, postkolonial, dan anti-rasis. Satu pembukaan untuk kritik
ideologi yang ambisius ini disediakan oleh prinsip utama semiotika: bahasa dan
semua struktur penandaan bersifat polisemi, tidak hanya dalam pengertian
bahwa mereka berarti banyak hal sekaligus, tetapi juga bahwa mereka mungkin
mengatakan lebih dari yang ingin mereka katakan. Derrida, misalnya, dalam Of
Grammatology berpendapat bahwa semua teks (baik dalam bahasa tertulis
atau dalam bahasa lain) bentuk yang menandakan) jika dibaca dengan cukup
hati-hati dapat ditunjukkan untuk menyediakan, seringkali tanpa disadari,
sumber dayauntuk kritik mereka sendiri. Namun, jika polisemi menyediakan
sumber dekonstruktif semacam itu untuk sebuah kritik ideologi, sumber-
sumber yang sama dapat ditemukan dalam teksteks kritis untuk diambil alih
olehideologi yang dominan. Untuk alasan ini, ideologi yang lentur seperti
humanisme liberal akan tampak menjadi lebih merupakan ancaman terhadap
kritik radikal daripada ideologi otoriter masyarakat tertutup.
 Teori Uses & Gratification

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu membutuhkan informasi untuk


membantu kita mempermudah pekerjaan sehari-hari. Dari informasi ini juga kita
bisa mempelajari hal baru dan mendapatan hal lainnya, seperti kita bisa
mengetahui bagamaina dunia luar, hingga mengetahui kehidupan yang ada pada
daerah yang jauh dan belum pernah kita datangi. Informasi juga bisa menambah
sudut pandang atau cara kita memandang dunia, atau mungkin mengubah sudut
pandang yang sudah kita miliki sebelumnya. Dan semua informasi pasti memiliki
sumber, sumber inilah yang yang mungkin kita sering debut dengan media.

Menurut KBBI sendiri, media diartkan sebagai sarana komunikasi seperti


koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk. Media juga dapat
diartikan sebagai pearantara atau penghubung. Dalam kehidupan kita hari ini
yang selalu informasi yang cepat dan juga akurat, media memiliki peran penting
dapat memberikan hal itu. Media memberikan kita informasi yang selalu kita
butuhkan, mulai dari informasi yang tidak begitu penting seperti kesedihan
seorang pablik figur karena kehilangan berat badan hingga informasi penting
mengenai politik atau keadaan dunia yang sedang dilanda wabah. Informasi yang
sering didapat ini juga tidak hanya informasi yang memliki muatan positif, banyak
media juga menyiarakan hal-hal negatif dan juga informasi yang tidak sesuai
dengan fakta yang ada atau berita bohong.

Seiring dengan berjalannya waktu media berkembang begitu pesat hingga


membuat kita seakan tidak bisa lepas dari media. Pada awalnya media hadir
karena hasil dari sebuah komunikasi yan disampaikan dalam bentuk sebuah
informasi, yang pada tahapan awalnya media berbentuk lisan dan berkembang
menjadi sebuah tulisan. Lalu mengalami perkembangan ketika mesin cetak sudah
mulai diciptakan, lahirlah koran, majalah dan media cetak lainnya. Lalu muncul
radio, televisi, dan lainnya. Hingga akhirnya saat ini media bisa denga mudah kita
akses melalui gawai yang kita miliki. Muncul juga media baru yang dinamakan
media sosial, dimna media ini cukup mempengaruhi keadaan lingkungan sekitar
kita sekarang.
Semua media yang ada saat ini cukup beragam dan sangat mudah untuk
mengaksesnya. Jika kita ingin membaca koran kita hanya tinggal membelinya di
kios kecil yang ada di pinggir jalan. Jika kita ingin mendengarkan radio, kita bisa
mendengarkannya di mobil saat kita dalam sebuah perjalanan begitu pula dengan
media media lainnya. Kita dapat dengan mudah mengakses media-media tersebut.
Tetapi dari banyaknya media yang ada, masing-masingnya memiliki kekurangan
dan kelebihan tersendiri. Ada hal-hal yang membdekan media satu denga media
lainnya, misalnya jika memilih media cetak kita hanya bisa membaca informasi
yang ada atau mungkin melihat gambarnya saja. Berbeda dengan televisi yang
menyajikan informasi beupa audio dan juga visual. Kita memiliki pilihan untuk
memilih media mana yang mungkin bisa memenuhi kebutuhan serta kepuasan
kita, serta akan muncul alasan kita mengapa memilihi media tersebut. Hal ini lah
yang akan kita bahas dalam Teori penggunaan dan kepuasan.

Pada dasarnya semua informasi yang kita dapatkan, mayoritas kita dapatkan dari
media yang ada pada hari ini. Mulai dari media cetak hingga media elektronik.
Kehidupan kita di zaman yang serba digital ini membuat kita akan terus selalu
membutuhkan media, yang pada akhirnya kita memiliki ketergantungan terhadap
media itu sendiri. Alasan kita memilih suatu media dan mengkonsumsi mungki
menjadi suatu pertanyaan, mengapa kita memilih televisi dibandingkan radio?,
mengapa anak kecil lebih menyukai komik daripada koran ?. Dari pertanyaan ini
lah Teori uses and gratification lahir.

Teori uses and gratifications adalah suatu teori yang mebahas mengenai
bagamaina seseorang memilih secara khusus suatu media untuk memenuhi
kebutuhannya. Teori ini juga sangat erat kaitannya dengam komunikasi massa.
Pada dasarnya, teori ini menekankan mengenai fungsi dari suatu media itu sendiri.
Teori ini juga bisa digambarkan sebagai sebuah cerminan keinginan untuk
memahami keterlibatan khalayak dalam komunikasi massa dalam hal lebih setia
pada pengalaman dan perspektif pengguna individu daripada efek yang bisa
dicapai tradisi (Blumler, 1979:10). Dari sini kita bisa melihat bahwa teori ini
muncul dari adanya ketdakpuasn individu kepada suatu media yan ada, sehingg
akhirnya menimbulkan suatu pertanyaan apakah media secara khusus dapt
memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarkat yan ada. sedangkan
menurut Katz, Blumler, dan Gurevitch, mereka menyatakan bahwa teori ini
sendiri merupakan suatu pendekatan yang mana merupakan upaya untuk
menjelaskan sesuatu dari cara individu menggunakan komunikasi, di antara
sumber daya lain di lingkungan mereka, untuk memenuhi kebutuhan mereka dan
untuk mencapai tujuan mereka, dan untuk melakukannya hanya dengan meminta
kepada mereka (Katz, Blumler, & Gurevitch, 19734:510). Masih dalam karya tulis
yang sama juga dijelaskan bahwa pada teori ini dijelaskan mengenai pendekatan
metodologis yang pada dasarnya serupa di mana pernyataan tentang fungsi media
diperoleh dari responden dengan cara yang pada dasarnya terbuka, tidak hanya itu
mereka berbagi pendekatan kualitatif dalam upaya mereka untuk
mengelompokkan pernyataan gratifikasi ke dalam kategori berlabel, sebagian
besar mengabaikan distribusi frekuensi mereka dalam populasi, lalu mereka tidak
berusaha untuk mengeksplorasi hubungan antara kepuasan yang terdeteksi dan
asal-usul psikologis atau sosiologis dari kebutuhan yang begitu terpenuhi. mereka
gagal mencari untuk hubungan timbal balik di antara berbagai fungsi media, baik
kuantitatif atau konseptual, dengan cara yang mungkin mengarah kepada deteksi
struktur kepuasan media (Katz, Blumler, & Gurevitch, 1974:509). Dari sini kita
mungkin bisa meyimpulkan bahwa pada dasarnya, teori ini mefokuskan kepada
apa yang diterima dari orang mengkonsumsi media, dari mulai kebutuhan apa saja
yan terpenuhi dan juga kepuasan dari audiens. Teori ini juga menjelaskan bahwa
seseorang akan mencari atau memilihi media tertentu untuk mendapatkan
kepuasan tertentu (west & Turner, 2010:393). Sedikit banyaknya mungkin kita,
bisa menarik kesimpulan bahwa teori ini menjelaskan mengenai perspektif
komunikasi psikologi yang mengkaji bagaimna individu menggunakan suatu
media massa, hingga menemukan alasan dari indovidu tersebut memilihi media
yang ada.

Dengan seiring dengan berkembangnya waktu, banyak sekali media-media baru


yang muncul untuk menjadi pilihn kita dalam mendapatkan komunikasi. media-
media ini juga lebih mudah diakses dibandingkan dengan media yang ada
sebelumnya. Pada masa sebelumnya pilihan media mungkin hanya berupa koran,
majalah, radio atau pun televisi. Tetapi masa sekarang dimna kehidupan kita serba
digital membuat media menjadi beragam, lahir media seperti DVD, MP3, atau
mungkin media sosial. Dengan berkembangnya dan bertambahnya media yang
ada, membuat teori uses and gratification juga ikuta berubah dengan sirin
berkembangnya zaman.

Pada awalnya teori ini dicetuskan pertama kali oleh Herta Herzog (1944),
yang berisikan tentang kajian berupa pengkalsifikasian perihal alasan mengapa
seseorang memilih media secara khusus. Jauh sebelumnya beberpa ahli mengkaji
tentang keterkaitan audiens dengan media massa yang mereka pilih, seperti yang
tertuang dalam analisis yang dilakukan oleh Liu Weiyan (2015). Disana dijelaskan
bahwa uses and gratification adalah pendekatan sebagai subtradisi penelitian efek
media (McQail, 1994; Weiyan, 2015:71 ). Lalu hal ini trus dikaji oleh beberapa
ahli hingga Herta Herzog merumuskan teori ini. Tidak berehenti disitu, teori ini
terus berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi yang mebuat media
massa menjadi lebih variatif. Menurut Blumer (1979), Pendekatan penggunaan
dan gratifikasi muncul paling menonjol di akhir 1950-an dan awal 1960-an pada
saat kekecewaan yang meluas dengan buah dari upaya untuk mengukur efek
jangka pendek pada orang-orang dari mereka oleh adanya paparan kampanye
media massa (Blumler, 1979:10). Pada masa itu kemunculan televisi memiliki
andil besar dalam berkembangnya teori uses and gratifications, orang-orang
merasa mendapatkan suatu media yang belum pernah mereka temukan
sebelumnya. Televisi juga menghadirkan suatu fenomena baru dalam media
massa saat itu, beberapa ahli mulai membandingkan media satu dengan yang
lainnya. Hingga akhirnya Katz bersama Blumler dan Gureviitch berpendapat
bahwa, analisis mengenai media massa tidak hanya berputar kepada apa yang
dilakukan oleh media terhadap audiens, tetapi juga meliputi tenatng pemilihan
yang dilakukan audiens untuk memenuhi kebutuhan secara khusus dan juga
kepuasan mereka.

Sebelum terbentuk sebuah teori yang baik dan akurat, setiap teori memiliki sebuah
pemikiran dasar yang melandasi teori tersebut. pemikiran dasar atau asumsi ini
membentuk cara pandang dalam suatu teori. Hal ini juga membentuk kerangka
berpikir dalam suatu teori yang ada. Ada lima asumsi yang melandasi teori ini
sendiri, asumsi asumsi tersebut akan diejlaskan lebih rinci pada pembahasan
berikut.

Orang menggunakan media untuk tujuan khusus mereka sendiri. Asumsi


yang pertama ini mecoba menjelaskan tentang pilihan seseorang yang menentukan
pilihannya mengenai media mana yang akan mereka nikmati beradasarkan sesuatu
tujuan yang mereka miliki. Tujuan ini bisa berupa memenuhi kepuasannya untuk
mendapatkan seseuatu yang membiarkannya untuk memilih media tersebut.
misalnya Adam adalah fans klub sepak bola Manchester United, suatu hari
pertandingan klub sepak bola yang adam sukai disiarkan di kanal Youtube,
sehingga membuat adam memilih media youtube walaupun adam sebelumnya
tidak pernah menggunakan media tersebut. Adam menggunakan media Youtube
hanya untuk menonton klub sepak bola kesukaannya. Contoh lainnya, Hawa
seorang remaja putri yang sedang merasa sedih karena ia sedang mengalami patah
hati setelah berpisah dengan kekasihnya, akhirnya ia memilih untuk
mendengarkan musik yang ada pada MP3 yang ia miliki untuk meredakan sedikit
kesedihannya. Dari dua kasus ini, kita bisa memahami keduanya memiliki alasan
yang berbeda dalam menggunakan media tetapi memiliki suatu tjuan khusus,
Adam hanya ingin menonton klub favoritnya sedangkan Hawa ingin sdeikit
menghilangkan rasa kesedihan yang ia rasakan. Tujuan khusus ini yang menjadi
landasan pemikiran dalam teori ini.

Orang berusaha memenuhi kebutuhan, dalam asumsi yang kedua ini kita
akan dijelaskan bagaimna seseorang memilih media berdasarkan hal yang ia
butuhkan. Kebutuhan dalam mememuhi sesuatu merupakan alasan dari asumsi ini,
misal seorang yang sedang memasak memilih untuk mengdenarkan lagi sebari
menunggu bahan-bahan disiapkan matang, ia lebih memilih untuk menghabiskan
waktu memasaknya dengan mendengarkan waktu karena membuat waktu terasa
lebihb menyenangkan, atau seseorang lebih memilih mendengarkan musik jazz
yang membuatnya merasa tenang dibandingkan dengan musik metal yang
memiliki irama ebih menggebugebu. Dari hal ini kita bisa melihat bahwa
seseorangakan memilih medianya ketika ia merasa media tersebut dapat
memenuhi kebutuhan dan juga kepuasannya.
Media bersaing untuk perhatian dan waktu kita, dalam asumsi yang ketiga
ini dijelaskan bahwa media sering kali menyita waktu dan oerhayian kita.
Seseorag bisa duduk di diam sembari mengakses gawainya dan mengakses media
sosial tanpa ia memperhatkan waktu, dan menggangu pekerjaan lainnya. Al ini
yang menjadi pembasan utama dalam asumsi ini, dimna media berlomba denagn
sumber lain yang ada untuk mendapatkan perhatian dan waktu. Dari kasus diats
juga kita bisa mengkaji lagi mengapa seseorang cenderung menghabiskan berjam-
jam didepan ponselnya dibandingkan pergi keluar untuk bersosialisai di
lingkungan sekitar. Atau mungkin kita bisa melihat dari kasus lainnya dimna
seseorang fans sepak bola lebih cenderung menonton pertandingan secara
langsung di stadium dibandingkan dengan, menontonnya melalui media televisi.
Hal ini lah memunculkan suatu opini dimna media bersaing untuk waktu dan
perhatian.

Media mempengaruhi orang berbeda secara berbeda, dalam asumsi yang


keempat ini mocoba mejelaskan mengenai media yang berpengaruh berbed-beda
kepda setiap individu yang mengkonsumsi media tersebut, artinya pesan yang
mungkin ingin disampaikan oleh media tidak mempengaruhi semua rang dengan
cara yang sama (Griffin et al, 2018:349). Kita bisa melihat hal ini dari contoh
kasus dari orang-orang yang menonton film horor. Beberapa oarng menghindari
film horor, karena film ini hanya memberikan rasa ketakutan dan perasaan negatif.
Tetapi untuk sebagian orang film horor memberikan kesan tersendiri, ada
beberapa orang yang menyukai film horor karena mungkin mereka menyukai
perasaan takut saat menonton film horor, atau mungkin mereka menikmati
ketegangan yang dirasakan saat menonton film horor. Dari sini kita bisa melihat
bahwa suatu media bisa memberikan pesan yang berbeda tergantung dari individu
atau orang tersebut.

Orang dapat melaporkan penggunaan dan motivasi media dengan akurat,


dalam asumsi yang kelima ini membahas mengenai dimna audiens dapat menilai
media yang mereka konsumsi. Audiens juga bisa memberikan tanggapana
terhadap media yang mereka pilih. Ini bertujuan sehing para ahli dapat
mengetahui dan megkaji kembali data mengenai media yang ada. ketika seseorang
ditanya mengenai alasan ia menontoh film horor daripada film aksi aatu komedi,
dan ia menjawab “karena saya menyukainya”. Dari sinilah muncul pemikiran
yang mendasari asumi yang terkahir ini.

Jika sebelumnya kita telah membahas tentang asumsi atau landasan


pemikiran dari seuah teori, kali ini kita akan membahas tentang konsep dari teori
uses and gratifications. Serupa dengan asumsi, konsep juga salah satu pondasi
dalam sebuah teori yang ada. Konsep sangat penting, karena dengan adanya
konsep kita bisa mengetahui dengan jelas tujuan dan maksud pembahasan dari
teori ini. Dan berikut adalah konsep yang ada pada teori ini.

Konsep yang pertama ini adalah Ausdiens Aktif. Secara garis besar konep
ini mebahas mengenai penggunaan asudien terhadap media dan kegunan media
tersebut terhadap audiens. Tidak berhenti disitu, pad konsep ini juga menjelaskan
tentang ketidak sengajaan ketika seseorang menggunakan media, lalu tentang
selektivitas yang dilaukan seorang audiens terhadap media yang ingin ia nikamti,
dan mebahas pula mengenai kekebalan audiens terhadpa pengaruh yang ada.
kegunaan yang dijelaskna pada konsep ini bisa kita lihat ketika seseorang
membaca koran karena ingin mendapatkan berita terbaru pada ari iu. Kesengajaan
terjadi ketika motivasi orang sebelumnya menentukan konsumsi konten media
mereka (West & Turner, 2010:400). Selektivitas ini lebih menenkan kan kepada
refrensi dari sang penikmat media, misalnya seseorang yang menyukai drama
korea dapat menonton drama tersebut disalah satu situs streaming yang ada. kebal
terhadap suatu pengaruh mengartkan bahwa audiensa menciptakan makna sesuai
dengan apa yang mereka pikirkan, dan cenderung menghindari pengaruh dari
suatu media yang ada. Ketika seseorang membeli sebuah makanan, mereka
cenderung memilih makanan tersebut karena rasa dan kualitas dari makanan
tersebut dan bukan dikarenakan oleh suatu iklan yang ada. Dalam konsep ini juga
dijelaskan mengenai suatu perbedaan diantara aktivitas dan keaktifan. Disini
dijelaskan bahwa aktivitaslebih mengacu pada apa yang dilakukan konsumen
media (misalnya, dia memilih untuk membaca berita secara online daripada
membacanya di koran). keaktifan lebih dekat dengan apa yang benar-benar
menarik minat peneliti Uses and Gratifications: kebebasan dan otonomi khalayak
dalam situasi komunikasi massa (West & Turner, 2010:401).

Konsep yang kedua adalah Efek Media. Nyatanya kita tidak sungguh-
sungguh bebas dalam memilih media yang kita inginkan. Adanya situasi sosial
yang yang menuntut seseorang untuk mencari informasi dalam sebuah media.
Selain itu juga situas sosial bisa menciptakan sebuah konflik yang akhirnya
mengngiring seseorang kedalam tekanan untuk memperoleh kemudahan dalam
mengkonsumsi suatu media. Misalnya ketika kerusuhan yang tejradi pada suatu
demonstrasi, media akan secara sering memberikan informasi mengenai
demonstrasi tersebut. situasi sosial juga dapat memiskinkan peluang kehidupan
nyata untuk memenuhi kebutuhan tertentu, dan media dapat berfungsi sebagai
pengganti atau suplemen (West & Turner, 2010:403). Ada waktunya kita
menjadikan media menajdi sumber utama dalam medapatan informasi, sehingga
kita tdiak melihat sumber lainnya. Situasi sosial juga menekankan kepad nilai-nlai
tertentu, dan dapat ditegaskan dan difasilitasi oleh konsumsi media yang ada. yang
mana dapat diartkan bahwa situasi sosial dapat membuat keakraba dengan media
juga.

Konsep yang ketiga yaitu uses and gratifications dan new media. Dalam
konsep ini dijelaskan bahwa penggunaan kita terhadap media mungkin akan
berubah di masa depan dan dapat mengubah budaya yang sudah ada sebelumnya.
Tetapi hal terjadi malah seseorang akan meningkatkan rasa individualismenya,
menumbuhkan kepasifan, dan akan meningkatkan kreativitas. Harapan audiens
yang berharap bahwa media baru mungki akan terus mengubah masa depan kita.

 Teori Agenda Setting

Setiap hari kita selalu melihat atau mendengar berita atau informasi yang
berasal dari berbagai media masssa. Berita atau informasi ini memberikan
informasi mengenai keadaan dunia di sekitar kita, atapun di belahan dunia
lainnya. Mulai dari berita yang bersifat sanagat penting, seperti perkembangan
kasus COVID-19 di Indonesia, atau berita yang sebenarnya tidak terlalu penting
untuk kita ketahui. Ada juga berita tentang bencana alam, atau kematian seoarang
tokoh terkenal. Atau mungkin keadaan politik disuatu daerah atau negara. Tapi
pernahkah kalian berpikir, bahwa apa yang diberikan media kepada kita adalah
apa yang ingin media tunjukan, atau mungkin kalian pernah menyadari bahwa
media memilih berita yang mereka ingin beritakan karena memiliki maksud dan
tujuan tertentu ?. Hal ini sangat memungkinkan mengingat kita juga mungki tidak
mengetahui kebenaran atau keaslian dari berita tersebut.

Pernahkah kalian melihat atau mendengarkan satu buah berita yang


disiarkan oleh dua stasiun televisi mengenai sebuah berita yang sama, tetapi cara
penyampaian dari pembawa acara berita tersebut berbeda dari stasiun televisi satu
dengan stasiun televisi lainnya?, atau mungkin kalian sering bertanya tanya,
mengapa setiap kejadian yang terjadi di jakarta akan selalu disiarkan didalam
stasiun televisi. Padahal mungkin saja kejadian yang sama juga terjadi di daerah
lainnya di Indonesia. Berita-berita yang disiarkan oleh media massa juga kerap
kali menimbulkan sebuah opini didalam sebuah masyarakat, media bisa menjadi
sebuah alat yang mengatur arus keadaan sebuah sosial yang ada di suatu daerah
tertentu. Hal ini mungkin menimbulkan pertanyaan pada beberapa orang, tentang
bagaimana sebuah berita bisa mengubah cara pandang suatu masyarakat. Adanya
kemungkinan berita atau informasi yang diberikan oleh sebuah media massa
belum tentu sesuai dengan aslinya juga adalah sebuah pertanyaan yang mungkin
timbul dimasyarakat. Media massa yang dimiliki oleh beberapa tokoh besar juga
bisa menimbulkan suatu pertanyaan, apakah mungkin sang pemilik menggunakan
media untuk kepentingan segelintir orang saja?, ini lah yang kan kita bahas dalam
Teori Agenda Setting.

Teori agenda setting adalah sebuah teori yang membahas mengenai


hubungan antara penekanan yang diberikan oleh media massa pada isu-isu sosial
maupun politik yang ada dalam suatu lingkungan tertentu, atau mungkin bisa
disederhanakan bahwa teori ini membahas bagaimana media massa bisa
mempengaruhi sebuah keadaan soisal politik pada suatu daerah. Hal ini merujuk
kepada apa yang disampaikan Maxwell dan Donald, bahwa Dalam memilih dan
menampilkan berita, editor, staf ruang redaksi, dan penyiar memainkan peran
penting dalam membentuk realitas politik (McCombs & Shaw, 1972:176). Dari
pernyataan tersebut kita bisa mengetahui bahwa media bisa sangat berpengaruh
dalam suatu keadaan politik. Media bisa memberikan informasi yang mungkin
menguntungkan atau merugikan suatu organisai maupun partai politik yang ada
pada suatu daerah.

Sedangkan menurut Melvin L. Defleur dalam bukunya dijelaskan, bahwa


pengertian agenda setting sendiri adalah pengaturan agenda oleh mereka yang
mengelola presentasi berita termasuk memutuskan cerita mana yang harus
dilewati dan dalam urutan apa untuk menyajikannya di media (Defleur,
2016:160). Disini dijelaskan bahwa berita atau informasi yang ingin diberitakan
memiliki muatan atau tujuan tersendiri, sesuai dengan kepetingan dari seseorang
atau kelompok. Yang mana mungkin saja berita terebut bertujuan untuk
menguntungkan atau merugikan satu pihak. Hal yang disampaikan oleh media
massa juga bisa dianggap penting oleh masyarakat, pendapat ini didukung oleh
pernyataan Marwick Blood yang menyebutkan bahwa Agenda setting
mengusulkan bahwa apa yang ditekankan oleh media massa (melalui tampilan
yang menonjol) selanjutnya menjadi apa yang dianggap penting oleh publik
(Blood, 1982:3). Hal ini cukup masuk akal mengingat pola pikir kita ditentukan
oleh informasi yang kita dapatkan dari media massa yang ada, sehingga bisa saja
hal-hal yang dijelaskan atau diterbitkan oleh sebuah media bisa dianggap suatu hal
yang penting bagi masyarakat. Media massa tidak hanya bisa mempengaruhi suatu
opini dimasyarakat saja tapi juga memiliki kemungkinan untuk bisa mengubah
suatu kebiasaan atau prilaku yang dilakukan masyarakat.

Agenda setting ini sendiri biasanya digunakan dalam ranah politik, karena
dalam mencari informasi politik media adalah sumber yang tidak perlu diragukan
lagi keabsahannya. Hal ini juga yang disampaikan Maxwell dan Donald dalam
tulisannya bahwa Informasi di media massa menjadi satu-satunya kontak yang
dimiliki banyak orang dengan politik (McCombs & Shaw, 1972:176). Menjadi
masuk akal jika seseorang sering merasa kecewa dengan kinerja seorang tokoh
politik yang mana saat di media memiliki citra yang sangat amat bagus, tetapi
tidak dengan kinerja aslinya. Pada dasarnya teori ini juga memiliki keterkitan
dengan dunia jurnalistik. Agenda setting bisa megubah atau mempengaruhi
pemikiran maupun prilaku masyarakat karena tidak lepas dari sifat media itu
sendiri seperti yang dijelaskan oleh Eugene F. Shaw, bahwa media bersifat
persuasif dalam memfokuskan perhatian publik pada hal-hal tertentu peristiwa,
masalah, dan orang dan dalam menentukan pentingnya orang melampirkan untuk
urusan publik (Shaw, 1979:96). Dari sifat media ini juga yang memungkinkan
mengapa sebuah agenda setting dalam media massa bisa mempengaruhi
masyarakat. Dari bahas kita bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa agenda
setting merupakan sebuah cara yang dilakukan media dalam memilih berita atau
informasi mana yang ingin mereka berikan kepada publik.

Pada awalnya teori ini berasal dari buah pemikiran Walter Lipmann yang
ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Public Opinion. Disana dijelaskan
bahwa ia menganggap media memanipulasi informasi yang diberikan kepada
publik. Dimana media memberikan informasi atau berita yang mereka angap
penting, sehingga disini Walter Lippmann merasa bahwa adanya kekliruan dalam
fakta yang diberikan oleh sebuah media. Disini juga walter menyebutkan bahwa
fakta yang diberikan oleh media adalah sebuah informasi yang fatamorgana. Pada
awalnya teori ini berasal dari analisis William mengenai berita yang diberikan
media mengenai politik apda saat itu, dimna media memberikan berita yang
mereka tentukan saja. Pada masa itu juga banyak tokoh politik yang membangu
citra mereka melalui media. Orang-orang hebat, bahkan selama hidup mereka,
biasanya hanya dikenal publik melalui kepribadian fiktif (Lippmann, 1922:2).
Tidak berhenti disitu, ia juga menjelaskan bagaimana seseorang sulit untuk bisa
mengakses suatu kebenaran dari sebuah berita yang ada. menggabungkan dengan
ketidakjelasan dan kompleksitas fakta itu sendiri untuk menggagalkan kejelasan
dan keadilan persepsi, untuk menggantikan fiksi yang menyesatkan untuk ide-ide
yang bisa diterapkan (Lippmann, 1922:49).

Lalu pemikiran yang dicetuskan oleh Lippman ini kembali diteruskan oleh
McCombs dan Shaw apda tahun 1972. Mereka berdualah yang pertama kali
menyebutkan Agenda setting sebagai teori. Menurut kedua hali tersebut teori ini
membahas mengenai media massa bisa menciptakan opini atau sebuah pemikiran
yang bisa dianggap publik sebagai suatu hal yang peting. Atau bisa diartikan
bahwa penting atau tidaknya suatu isu sosial atau politik yang berkembang di
masyarakat, itu tergantung kepada apa yang diberikan oleh media kepada publik.
Sehingga media memiliki peran tersendiri dalam suatu isu sosial atau pilitik yang
ada. Hal ini dilihat mereka berdasarkan fenomena yang mereka lihat ketika
berlangsungnya kampanye sebelum pemilihan terjadi, dimna media berperan
seolah menyirakan berita yang memiliki tujun atau agenda tersendiri. Penelitian
yang dilakukan oleh McCombs dan Shaw menjadi sebuah pondasi yang melatar
belakanhi kajian mengenai Agenda Setting dikemudian hari.

Kajian mengenai agenda setting ini tidak hanya berhenti pada penelitian
Lippmann atau McCombs dan Shaw saja, dikemudian hari beberpa ahli juga
melakukan kajian mengenai agenda setting ini. Seperti yang dilakukan James W.
Dearing dan Everret M. Rogers dalam bukunya Agenda-Setting (Communicaton
Concepts). Disana dijelaskan bahwa menurut mereka Agenda Setting adalah
merupaka sebuah persaingan diantara isu-isu yang ada dalam menarik perhatian
publik dan dilakukan oleh penguasa yang ada. Lalu pada tahu 2002 Jennings
Bryant dan Susan Thompson berpendapat bahwa Agenda Setting merupakan
sebuah hubungan yang cukup kuat diantara berita yang disamapaikan oleh media
massa dengan isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat. Dari sini mungkin
kita bisa menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua penilitian tentang Agenda
Setting akan terus berkaitan dengan isu-isu sosial maupun politik di tengah publik.

Dalam teori ini ada tiga buah asumsi atau pemikiran dasar yang menjadi
landasan terhadap teori Agenda Setting ini, yang pertama adalah agenda setting
terjadi karena media harus selektif dalam memberitakan berita, yang kedua
keterbatasan ruang ruang media membuat media harus memilih berita mana yang
harus dilaporkan dan bagaimana melaporkannya, dan yang terkahir ialah apa
yang diketahui oleh khalayak merupakan produk gatekeeper (ruang redaksi) maka
agenda media membentuk publik. Dan ketigany memiliki makna tersendiri,
makana yang dimaksud akan diejelaskan sebagai berikut.

1. Agenda setting terjadi karena media harus selektif dalam memberitakan


berita.
Maksud dari asumsi yang pertama ini adalah bahwa media memilih berita
mana yang mereka ingin berikan kepada publik, karena media memiliki kekuasan
dimana mereka bisa mennentukan informasi mana yang bisa mempengaruhi
masyarakat, dan informasi mana yang tidak. Hal ini juga ditemukan dari apa yang
diteliti oleh McCombs dan Donald, mereka menganalisis ketika berlangsungnya
sebuah kampanye media begitu hati-hati dalam memberikan informasi yang
mereka ingin sampaikan kepada publik. Karena mungkin beberapa media
menyadari bahwa ada beberapa publik yang mendapatkan informasi mengenai isu
yan sedang terjadi dan informasi politik yang ada hanya bersumber dari satu
sumber medi massa saja. Informasi di media massa menjadi satu-satunya kontak
yang dimiliki banyak orang politik. Janji, janji, dan retorika dikemas dalam berita
cerita, kolom, dan editorial merupakan sebagian besar informasi di mana
keputusan pemungutan suara harus dibuat (McCombs & Shaw 1972:176). Hal ini
mungkin menjadi dasar dari asumsi ini sendiri. Seperti yang dijelaskan McCombs
dalam penilitiannya bahwa masa kampanye menjadikan Agenda Setting sebuah
cara dalam membuat karakter seorang calon pemimpin terbentuk, dan dilihat oleh
publik.

2. Keterbukaan ruang media di media membuat media harus memilih berita


mana yang harus dilaporkan dan bagaimana menyampaikannya.

Dalam teori ini juga dibahas sebesar apa kemampuan media massa dalam
mempengaruhi pola pikir dan opini publik. Ini dikarenakan ruang yang didapat
oleh media sendiri cukup terbatas, sehingga media akan memilih berita apa yang
mereka ingin berikan dan jelaskan kepada publik. Seperti halnya yang dijelaskan
dalam buku Encyclopedia of Communication Theory, disana dijelaskan bahwa
media juga memilih bagaimana cara publik memandang sesuatu. Bagaimana
sebuah cerita diceritakan berkontribusi pada pembingkaiannya dan oleh karena itu
untuk komunikasi tentang bagaimana Isu dan aktor yang menyusun cerita harus
dievaluasi oleh penonton. (Littlejhon & Foss, 2009:33). Seperti yang telah
disebutkan, media akan mimilih bagaimana sebuah berita ingin dinilai oleh
publik. Contohnya ketika terjadi suatu demonstrasi, ada aparat yang melakukan
tindakan yang tidak seharusnya mereka lakukan kepada para pendemo. Media bisa
menetukan bagaimna berita ini ingin dinilai oleh masyarakat, pemilhan kata
diantara “Aparat bertindak diluar batas”, atau “Aparat bertindak tegas”
menjadikan dua buah framing mengenai tindakan yang dilakukan oleh aparat.
Dalam keterbatasan tersbeut media bisa memilih untuk membuat aparat terlihat
buruk dimata publik, atau media bisa saja membuat framing bahwa seolah-olah
aparat hanya melakukan tugasnya. Framing yang dilakukan oleh media ini juag
tidak hanya pada pemilihan kata yang pas atau tepat terhadap suatu informasi,
tetapi juga tentang bagaimna meddia membawakan berita tersebut, pengambilan
gambar juga bisa menjadi suatu cara dalam mebuat framing dalam suatu informasi
yang ada. Dari sini uag kita bisa melihat Agenda Setting yang dilakukan oleh
suatu media massa. Apakah media tersebut memberikan informasi karena
memiliki suatu agenda dalam membuat penilain baik terhadap aparat, atau
mungkin media memiliki keoentingan dalam memihak kepada para demonstran.
Tetapi media memiliki keterbatasan dalam melakukan hal tersebut, karena media
juga harus bisa menilai keadaan atau situasi dalam menyampaikan berita atau
informasi tersebut kepada publik.

3. Apa yang diketahui khalayak merupakan produk gatekeeper (ruang


redaksi), maka agenda media membentuk agenda publik.

Setelah informasi dikumpulkan oleh wartawan, informasi atau berita itu


akan ditentukan untuk diberitakan atau tidak, dan bagaimana berita itu
disampaikan kepad publik akan diatur oleh seoarang gatekeeper atau ruang
redaksi. Dan proses yang dilakukan oleh gatekeeper sendiri disebut dengan
gatekeeping. Gatekeeping adalah proses di mana beragam berita potensial pesan
ditampi, dibentuk, dan didorong ke dalam beberapa pesan yang benar-benar
ditransmisikan oleh media berita (Shoemaker et al, 2001:233). Atau bisa lebih
disederhanakan menjadi sebuah tahapan dimna berita diseleksi yang mana
nantinya berita tersebut akan diberikan kepada publik. Proses gatekeeping tidak
hanya prihal menseleksi sebuah berita, tetapi juga termasuk menentukan
bagaimana berita itu dibentuk, bagaimana berita tersebut ingin disampaikan,
kepada siapa berita itu diberikan merupakn termasuk dalam gatekeeping. Dari sini
lah ditentukannya sebuah agenda media juga membentuk agenda yang ada di
publik. Sehingga gatekeeping merupakan sebuah hal yang penting dalam sebuah
media massa dan Agenda Setting, karena hal ini juga yang nantinya menetukan
bagaimna suatu beirta dapat dinilai oleh publik. Tidak hanya kepada media itu
sendiri, gatekeeping juga berperan penting bagi masyarakat. Karena dari proses
ini lah masyarakat akan menentukan nilai dari suatu informasi atau beirta yang
diberikan media massa. Hal ini didukung oleh pernyataan Melvin L. Defleur dan
Margaret H. Defleur, bahwa Gatekeeping memiliki arti khusus bagi jurnalis dan
juga audiens mereka. Jelas, proses memeriksa sejumlah besar cerita potensial,
membuang banyak, sambil memilih sejumlah terbatas untuk disajikan sebagai
"berita hari ini" dan menempatkan yang khusus ini di depan publik adalah proses
yang sangat penting bagi mereka yang menerima konten (Defleur & Defleur,
2010:149). Bisa diartikan bahwa proses ini merupakan suatu proses penting dalam
penetuan agenda mana yang akan dibuat oelh media massa, atau menetukan
bagaimna ingin diterima oleh publik.

Dalam konsep yang ada dalam teori ini, ada dua bahasan yang menjadi hal
utama. Yang pertama yakni tingkatan, dimana menjelaskan mengenai tahapan
atau proses terjadinya Agenda Setting, lalu ada aktor dari Agenda Setting yakni
orang-orang yang membuat atau menjalankan sebuah Agenda Setting.

1. Tahapan

Tingkatan Penjelasan
The media tell us what to think about Apa yang diangkat oleh media akan
menjadi pembicaraan masyarakat (media
mempengaruhi opini publik)
The media tell us which attributes of Pada suatu isu media akan menonjolkan
issues are most immportantthe media aspek tertentu yang dianggap lebih
penting (framing)
Tell us which issues go together Suatu isu yang diangkat media akan
berkaitan dengan issue yang lain.
1.1 The media tell us what to think abaout .

Dalam tingkatan yang pertama dalam sebuah Agenda Setting membahas


bagaimna media akan menentukan isu mana yang memiliki kemungkinan untuk
menjadi sebuah opini yang akan dibicarakan oleh masyarakat. Sehingga dari sini
kita melihat tahap awal bagaiman media mempengaruhi opini yang berkembang
dalam publik. Ini dikarenakan kekuatan pers cukup kuat dalam membangun
sebuah isu sosial dalam masayarakat, dan juga menentukan cara berpikir
bagaimana sebuah politik berjalan. Seperti yang dijelaskan oleh Lipmannbahwa
media bertindak sebagai mediator antara dunia luar dan gambar-gambar di kepala
kita (Lipmann; Griffin et al, 2018:369). Sehingga media bisa menggambarkan apa
yang terjadi pada duni luar dan akan diterima oleh publik begitu saja tanpa harus
berhubung langsung dengan isu atau berita yang terjadi. Lalu publik akan menilai
bagaimna isu atau berita tersebut dapat diterima. Sehingga dari sini lah bagaimna
media menentukan sebuah opini apa yang akan dibahas dan diperbincangkan oleh
masyarakat.

1.2 The media tell us which attributes of issues are most immportantthe
media

Dalam tingkatan selanjutnya media akan memberitahu apa yang isu yang
menjadi penting di masyarakat. Media akan melakukan framing dalam membuat
suatu isu tersebut menjadi penting. Pendapat ini berkembang dari sebuah
pemikiran bahwa berita mungkin menekankan suatu topik, seperti kejahatan atau
pengangguran, dan dengan demikian orang akan setuju bahwa itu adalah masalah
penting, tetapi kemudian mereka memutuskan sendiri apa yang mereka pikirkan
tentang hal itu (Griffin et al, 2018:370). Dari sini kita melihat bahwa ada upaya
yang dilakukan media untuk menentukan apakah sebuah isu tersebut bisa menjadi
penting atau tidak. Lalu muncul pula pemikiran bahwa Media tidak terlalu
berhasil dalam memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi mereka sangat
berhasil dalam memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan (Griffin et al,
2018:370). Sehingga dari sini kiat bisa menyadari apa yang diabahas oleh kita
dalam sebuah diskusi atau obroaln publik merupakan buah dari berita yang media
massa sajikan kepada kita selaku penerima informasi. Dalam seperti yang telah
tadi disebutkan, media akan membaut seuah framing terhadap suatu isu sehingg
isu tersebut akan dianggap penting oleh masyarakat.

1.3 Tell us which issues go together

Dalam tingkatan yang ketiga ini, atau tigkatan yang terkahir dalam suatu
proses Agenda Setting, merupakan sebuah produk dari tahapan sebelumnya.
Dimana isu yang diangkat oleh media massa dan menajdi berita atau informasi
ang dibahas oelh publik, akan berkaitan dengan isu yang ada publik. Seperti apa
yang dijelaskan oleh Griffin dalam bukunya, ketika pemilu yang dilaksanakan
pada tahun 2016. Berita atau isu yang diangkata tidak hanya seputar pada pemilu
dan kampanye yang dilakukan oleh para kandidat, tetapi tentang kebijakan yang
berkaitan dengan permasalah publik saat itu. Seperti kebijakan yang mengatur
tenatng permasalah dengan imigran, dan lai halnya.. Seperti pembingkaian, jenis
koneksi ini tidak opsional. Dengan isi cerita dan penempatan di halaman web,
media mengirimkan sinyal tentang isu mana yang cocok. Level ketiga dari agenda
setting mengkaji bagaimana peta isu media mempengaruhi peta isu publik (Griffin
et al, 2018:371). Media juga akan mengaitkan isu tersbeut dengan isu lainnya.

2. Aktor yang mencipatakan agenda setting.

Suatu Agenda Setting tidak tercipta begitu saja, hal ini pasti memiliki
alasan dan dan pihak yang menciptakan agenda tersebut. Dan berikut adalah
pihak-pihak yang mampu membuat sebuah Agenda Setting.

2.1 Perusahaan media terkemuka

Suatu perusahaan media yang telah memiliki nam besar akan emiliki kuasa
yang cukup besar dalam menentukan berita apa yang menjadi penting atau pun
tidak penting. Hal ini dikarenakan ketika suatu perusahaan media telah memiliki
nama yang besar dan cukup dikenal oleh masyarakat, akan lebih dipercaya oleh
publik sebagai suatu sumber informasi atau media yang yang akurat dan juga.
Kepercayaan yang ada dimasyarakat ini lah yang membuat masayarkat bisa
dengan mudah mengkonsumsi Agenda Setting yang mungkin dcipatakan oelh
media. Publik akan percaya begitu saja kepada suatu berita yang media berikan,
tanpa ada memiliki rasa kecurigaan atau mengevaluasi informasi tersebut.
sehingga sangat memungkinkan ketika suatu perusahaan media yang telah
memiliki nama besar melakuka Agenda Setting dan berhasil membuat suatu opini
terhadap suatu isu yang terjadi di masyarakat.

2.2 Media berbasis internet dan media baru.

Aktor yang kedua ialah media baru atau media yang memiliki basis
internet. Ini dikarenakan masayrakat sekarang pada dasarnya lebih meneriman apa
yang yang diberikan oleh media yang ada pada internet, karena media ini lebih
mudah akses daripada media massa lainnya. Sehingga memungkinkan untuk
melakukan sebuah Agenda Setting.

2.4 Media Partisan

Lalu aktor selanjutnya ialah media partisan. Media partisan sendiri adalah
media yang secara tidak langsung memihak kepada suatu kubu, biasanya media
ini sendiri dimiliki oleh tokoh politik atau tokoh yang memiliki kepentingan.
Media akan secara jelas berpihak kepada salah satu pihak politik. Sehingga media
ini tidak bersifat independen. Hal ini jelasa sangat memungkinkan suatu medai
sepertti ini melakukan agena setting untung kepentingan segelintir tokoh
masyarakat.

2.5 Pemimpin atau Tokoh masyarakat.

Aktor yang kelima ialah peminpin atau tokoh masyarakat. Sangat


beralasan jika seoarang tokoh masyarakat atu peminpin melakukan Agenda
Setting itu kepentingan pribadi maupun kepentinga bersama. Seorang tokoh
masyarakat kadang membutuhkan ‘image’ yang baik dimata masyarakat, karena
jika seseorang peminpin atau tokoh masyarakat memiliki penilaian yang cukup
buruk dimasyarakat maka masyarakat tidak akan percaya kepada tokoh tersebut.

2.6 Press Realese

Aktor yang selanjutnya ialah Press Realese. Press release sendiri


merupakan salah satu alat dalam mempublikasikan sesuatu. Press release sering
dilakukan oleh perusahan ketika ada suatu event yang dilaksanakan. Publikasi
yang dialkukan press realee ini sndiri bertujuan untuk diberiatakan kepada koran,
majalah, atau medai lainnya yang nantinya diberitakan lagi kepada khalayak. Hal
ini yang menjadikan press release bisa menjadi aktor yang baik dalam melakukan
Agenda Setting yang memiliki tujuan untuk kepentingan suatu perusahaan.

2.7 Sekelompok orang yang memiliki massa

Jika seseoarang memiliki massa atau pengikut, maka ia akan dengan


mudah bisa memberikan informasi yang menurutnya benar dan dapar diteima oleh
massa dengan mudah. Sehingga ini menjadikan soso aktor yang sangat baik dalam
melakukan Agenda Setting.

2.8 Gatekeepers.

Dan aktor yang terkahir ialah gatekeepers. Seperti apa yang sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa gatekeepers memiliki keuasaaan dalam menentukan
berita mana yang bisa disiarkan, bagaimana berita tersebut ingin diterima oleh
masyarakat, atau kapan waktu yang pas untuk meberikan beriat tersebut kepada
publik. Sehingga bisa saja gatekeepers melakukan Agenda setting.

3. KOMUNIKASI BUDAYA

Definisi komunikasi budaya memerlukan beberapa penyempurnaan dan


khususnya, ketegangan antara individu dan komunal yang ada dalam konsep
komunikasi budaya perlu mendapat perhatian. Diakses secara empiris, contoh
kehidupan nyata dari lokasi di mana komunikasi dapat dilihat, didengar,
dirasakan, dan dialami membantu menjelaskan komunikasi budaya. Contoh-
contoh tersebut termasuk istilah budaya, praktik keheningan, istilah panggilan,
ritual, dan drama sosial. Memang, komunikasi budaya memperlakukan budaya
dan orang-orang, bukan dengan sapuan kuas yang lebar di mana ciri-ciri
kehidupan sehari-hari terjadi secara seragam dan umum, melainkan sebagai
seperangkat aktor sosial yang unik yang hidupnya terdiri dari jaringan rumit
ekspresi bernuansa dan makna yang menyertainya, di mana setiap pelaku bermain.
bagian dalam menghidupkan sumber daya simbolis yang terdiri dari skema
kehidupan mereka yang sangat beragam. Dan berikut ini adalah teori komunikasi
yang masuk kedalam konteks komunikasi budaya

 Teori Akomodasi Komunikasi

Teori Akomodasi komunikasi adalah sebuah teori yang mengkaji tenatng


suatu cara dalam menyusaikan komunikasi dalam suatu lingkungan yang memiliki
latar budaya yang berbeda. Atau bisa dibilang teori ini menjelaakna tentang
bagaimna seseorang orang mengakomodasi tentang perbedaan yang ia temui.
Tidak hanya ketika masuk kedalam lingkungan baru, atau bertemu dengan latar
belakang budaya yang berbeda, teori ini juga membahas bagaimna kita
menyesuaikan gaya bicara kita dengan orang baru yang sedang berkomunikasi
dengan kita. Teori Akomodasi Komunikasi bertumpu pada premis bahwa ketika
pembicara berinteraksi, mereka menyesuaikan ucapan, pola vokal, dan gerak
tubuh mereka untuk mengakomodasi orang lain (West & Turner, 2018:466).
Sehingga pada dasarnya teori ini mengkaji tentang fenomena dalam komunikasi
yang berada dekat dengan sekitar kita.

Sedangkan menurut Sina Farzadnia dan Howard Giles dalam bukunya


menyebut bahwa Sebagai penghubung antara linguistik, komunikasi, dan
psikologi sosial, teori akomodasi komunikasi (CAT) adalah kerangka kerja untuk
memahami hubungan antarpribadi dan dinamika antarkelompok penutur (dan
komunikator) menyesuaikan bahasa mereka dan pola nonverbal satu sama lain
untuk sejarah. ulasan perkembangannya (Gallois, Ogay,& Giles, 2005; McGlone
& Giles, 2011; Farzadnia & Giles, 2015:18). Disini mencoba menjelaskan bahwa
pada dasarnya akomodasi komunikasi melibatkan hubungan antarpribadi yang
coba dibangun dalam suatu kelompok. Dalam kelompok inilah yang mungkin
menentukan sebuah budaya memiliki latar belakang yang berbeda atau tidak.
Unsur budaya, sosial, dan individu menjadi suatu landasan dalam teori akomodasi
ini. Hal ini juag didukung oleh pendapat dari Howard Giles dkk dalam kajiannya
yang menyatakan bahwa Penyesuaian komunikatif telah menjadi subjek
penyelidikan akademis di seluruh duniasejumlah disiplin ilmu, termasuk
sosiolinguistik, sosiologi, psikologi sosial, dankomunikasi. Tidak mengherankan,
setiap disiplin telah melabeli fenomena tersebut secara berbeda, dan
mengembangkan teori dan model yang berbeda di sekitarnya (Giles et al, 2015:1).

Dari penjelasan-penjelasan tersebut, kita bisa melihat bahwa budaya yang


ada disekitar kita memerlukan akomodasi untuk bisa masuk kedalamnya.
Perbedaan anatr budaya komunikasi cukup menjadi perhatian sednri dalam
akomodasi komunikasi. Juga adanya perbedaan latar belakang antar individu baru
yang saling beretmu, mungkin yang mengembangkan akomodasi itu sendiri.

Sedangkan dalam kajian lainnya Giles, menyatakan juga bahwa Teori


akomodasi komunikasi adalah teori multi fungsi yang mengkonseptualisasikan
komunikasi baik dalam istilah subjektif maupun objektif (Giles et al, 2005:123).
Disini giles mencoba menjabarkan bahwa, teori akomodasi komunikasi
merupakan teori yang cukup dinamis mengingat teori ini bersinggungan dengan
pola atau fenomena komunikasi yang berlangsung pada suatu lingkungan baru
yang memiliki latar belakang budaya pada suatu komunikasi yang baru dilakukan
oleh individu ketika bertemu dengan lingkungan baru. Lallu masih di kajian yang
sama, giles juga menyatakan, bahwa teoi Ini berfokus pada fitur antarkelompok
dan interpersonal dan, seperti yang akan kita lihat, dapat mengintegrasikan
dimensi variabilitas budaya. Selain itu, selain faktor pengetahuan, motivasi, dan
keterampilan individu, Teori Akomodasi Komunikasi mengakui adanya
pentingnya kekuasaan dan faktor kontekstual makro. Yang paling penting,
mungkin, teori akomodasi Komunikasi adalah teori komunikasi antar budaya yang
benar-benar hadir untuk komunikasi (Giles et al, 2005:123).

Teori akomodasi komunikasi dikembangkan pada 1970-an (Giles, 1973)—


awalnya dengan nama pidato teori akomodasi (PTA), label yang masih
dipertahankan di beberapa tempat—sebagai cara untuk memahami bagaimana dan
mengapa orang mengubah bahasa, dialek, dan aksen mereka saat berinteraksi
dengan satu sama lain. Giles (1973) menawarkan analisis variabilitas pidato yang
berpusat pada penerima daripada konteks, menunjukkan bahwa temuan
pergeseran berbasis konteks dalam gaya bicara berguna dapat ditafsirkan ulang
sebagai telah dimediasi oleh interpersonal proses akomodasi. Karya awal ini
memindahkan fokus penelitian tentang komunikasi penyesuaian karakteristik
penerima sebagai pertimbangan penting yang mendorong pembicara pergeseran
gaya. Pada 1980-an, teori mulai merangkul penyesuaian dimensi selain pidato,
meluas ke domain nonlinguistik dan diskursif. Untuk mencerminkan ini lingkup
yang lebih luas, teori itu kemudian berganti nama menjadi teori akomodasi
komunikasi. Dalam 40 tahun sejak awal, akomodasi komunikasi telah mengalami
beberapa penyempurnaan konseptual dan telah dielaborasi dalam istilah
proposisional beberapa kali (misalnya, Giles, Willemyns, Gallois, & Anderson,
2007; Thakerar, Giles, & Cheshire, 1982). Teori telah memberikan dorongan
untuk penelitian dalam berbagai konteks. Walaupun sebagian besar penelitian
yang memanfaatkan akomodasi komunikasi sebagai kerangka teoritis telah
dilakukan di komunikasi antar budaya dan antar dan intragenerasi, teori ini juga
telah bermanfaat di berbagai konteks terapan, termasuk medis, kesehatan, bidang
hukum, dan organisasi, dan baru-baru ini, dalam konteks yang dimediasi seperti e-
mail, pesan suara, SMS, obrolan sinkron, dan di ruang obrolan video (untuk meta-
analisis, lihat Soliz & Giles, 2014). Sebagai bukti sifat interdisiplinernya,
akomodasi komunikasi penelitian berbasis telah diterbitkan di 67 jurnal yang
berbeda, mencakup beragam bidang akademik termasuk komunikasi, psikologi,
linguistik, sosiologi, kedokteran/kesehatan, pariwisata, dan pemasaran, antara lain.
Sebagian besar pekerjaan yang menggunakan akomodasi komunikasi bersifat
kuantitatif, dan keduanya eksperimental dan studi penelitian korelasional telah
berulang kali mendukung prinsip utama teori tersebut. Ukuran efek terbesar telah
ditemukan ketika peserta melaporkan perilaku mereka sendiri (sebagai lawan dari
perilaku orang lain, kombinasi diri dan orang lain, atau orang ketiga skenario);
secara umum, studi korelasional juga memiliki ukuran efek yang sedikit lebih
besar daripada studi eksperimental. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada
juga tubuh yang berkembang dari literatur mengambil pendekatan yang lebih
interpretatif untuk penelitian akomodasi komunikasi. Memang, sampai saat ini,
hampir sepertiga dari artikel empiris yang diterbitkan menggunakan akomodasi
komunikasi adalah pertanyaan atau wacana kualitatif analisis. Studi berbasis
akomodasi komunikasi telah dilakukan di lebih dari 35 negara di seluruh dunia,
termasuk yang ada di Afrika, Australasia, Eropa timur dan barat, Amerika Utara,
dan (Asia Tenggara. Faktanya, sebagian besar (60%) studi yang menggunakan
akomodasi komunikasi menyertakan sampel di luar Amerika Serikat (Soliz &
Giles, 2014).

Hari ini, akomodasi komunikasi adalah teori umumkerangka kerja


komunikasi antarpribadi dan antarkelompok (Gallois & Giles, 1998)itu, seperti di
atas, berusaha menjelaskan mengapa dan bagaimana orang menyesuaikan perilaku
komunikatif merekaselama interaksi sosial, dan konsekuensi sosial apa yang
dihasilkan dari penyesuaian tersebut.Pada dasarnya, akomodasi komunikasi
mengusulkan bahwa pembicara datang ke interaksi dengan awal orientasi, yang
diinformasikan oleh pengalaman interpersonal dan antarkelompok masa lalu,
sebagai serta konteks sosiohistoris yang berlaku. Dalam interaksi, penutur
menyesuaikan perilaku komunikatifnya berdasarkan evaluasi komunikatif sesama
interaksinya karakteristik, serta keinginan mereka sendiri untuk membentuk dan
mempertahankan pribadi yang positif dan identitas sosial. Setiap pembicara
mengevaluasi dan membuat atribusi tentang interaksi, serta tentang pembicara
lain, berdasarkan persepsi mereka tentang orang lain itu. pembicara, serta
komunikasi mereka sendiri. Atribusi dan evaluasi ini kemudian mempengaruhi
kualitas dan sifat dari kedua interaksi yang hadir antara pembicara tersebut dan
niat pembicara untuk terlibat dalam interaksi masa depan satu sama lain.

Ada sumber yang berbeda yang menjelaskan juga mengnai perkembangan


dari teori akomodasi sosial ini. Bahwa Selama tahun 1970-an, psikolog sosial
(Giles, 1973, 1977, 1979b; Giles, Taylor, & Bourhis, 1972) meletakkan dasar dari
apa yang kemudian diberi nama teori akomodasi wicara (SAT) karena
ketidakpuasan dengan sosiolinguistik dan deskriptifnya (bukan penjelasan)
penilaian variasi linguistik dalam konteks sosial (lihat Beebe & Giles, 1984),
sebagai serta untuk memberikan studi yang sedang berkembang tentang sikap
bahasa dengan gigitan yang lebih teoretis (Giles & Powesland, 1975). Jalan dan
Giles (1982) menempatkan SAT dalam bentuk proposisional untuk pertama kali,
meskipun pendahulu untuk ini telah sudah muncul di paralel-evolving teori
identitas etnolinguistik yang dijelaskan Thakerar (1982) merevisiproposisi dan
menyatakan kembali. Bisakah ini?, penulis telah membayangkan kemudian
perkembangannya teori akan menjalani? Mungkin tidak, jika orang menganggap
ruang lingkup sederhana dari teori di makalah awal yang merumuskan proposisi:
SAT dirancang untuk menjelaskan beberapa motivasi yang mendasari pergeseran
tertentu dalam gaya bicara orang selama pertemuan sosial, dan beberapa
konsekuensisosial timbul dari mereka. Lebih khusus, itu berasal untuk
menjelaskan kognitif dan proses afektif yang mendasari ucapan konvergensi dan
divergensi. (Thakerardkk., 1982:207).

SAT segera menghasilkan banyak penelitian dan teori-teori terkait,


menghasilkan perluasan lingkupnya: SAT menyajikan dasar yang luas dan kuat
dari mana untuk menguji pengaruh timbal balik dalam komunikasi, dengan
mempertimbangkan sosial dan faktor kognitif, dan memiliki ruang lingkup untuk
menutupi konsekuensi sosial dari pidato pergeseran serta determinannya dan
motivasi yang mendasari mereka. Lebih-lebih lagi, itu berlaku untuk berbagai
pidato perilaku, dan analisis nonverbal secara potensial, dengan fleksibilitas
relevansi ditingkat antarpribadi dan antarkelompok. (Giles dkk., 1987:34).
Presentasi terbaru dari teori di bentuk proposisional menunjukkan seberapa besar
ruang lingkup teori melebar selanjutnya tahun, dicontohkan dengan perubahan
dari“pidato” menjadi “akomodasi komunikasi teori” (CAT; Giles et al.,
1987):Secara keseluruhan, akomodasi komunikasi adalah teori multifungsi yang
mengkonseptualisasikan komunikasi dalam keduanya istilah subjektif dan
objektif. Ini berfokus pada fitur antarkelompok dan antarpribadi dan, seperti yang
akan kita lihat, dapat mengintegrasikan dimensi keragaman budaya. Selain itu, di
Selain faktor individu dari pengetahuan, motivasi, dan keterampilan, akomodasi
komunikasi mengakui pentingnya kekuasaan dan faktor kontekstual makro.

Yang paling penting, mungkin, akomodasi komunikasi adalah teori


komunikasi antarbudaya yang benar-benar hadir untuk komunikasi. (Gallois et al.,
1995:127). SAT pertama kali diformulasikan untuk jelajahi parameter
sosiopsikologis mendasari gerakan yang dilakukan pembicara perilaku bicara
mereka. Inti dari itu adalah idenya bahwa komunikasi bukan hanya masalah
bertukar informasi referensial, tapi itu interpersonal serta hubungan
antarkelompok dikelola melalui komunikasi. Apa motif dan niatnya? di belakang
sadar (atau tidak sadar) pembicara pilihan bahasa? Bagaimana persepsi
pendengar? pilihan ini dan bereaksi terhadapnya?.

Produksi dan penerimaan adalah keduanyaaspek dasar komunikasi di


mana SAT pertama memeriksa akomodatif asli strategi konvergensi dan
divergensi/ pemeliharaan. Konvergensi didefinisikan sebagai strategi di mana
individu menyesuaikan perilaku komunikatif sedemikian rupa sehingga menjadi
lebih mirip dengan lawan bicara mereka perilaku. Sebaliknya, strategi divergensi
mengarah pada penekanan perbedaan antara diri sendiri dan orang lain. Strategi
yang mirip dengan divergensi adalah pemeliharaan, di mana seseorang bertahan
dalam gaya aslinya, terlepas dari itu dari perilaku komunikasi lawan bicara. Inti
dari teori ini adalah gagasan bahwa pembicara menyesuaikan (atau
mengakomodasi) pidato mereka gaya untuk menciptakan dan mempertahankan
positif identitas pribadi dan sosial. SAT sebagian diturunkan dari teori tarik-
menarik kesamaan (Byrne, 1971), yang berpendapat: bahwa peningkatan persepsi
interpersonal kesamaan menghasilkan peningkatan interpersonal daya tarik.

Dengan demikian, konvergensi adalah strategi yang memungkinkan satu


orang menjadi lebih mirip dengan lain (atau, lebih tepatnya, untuk representasi
seseorang dari yang lain) dan karena itu mungkin lebih disukai dia. Giles (1978)
juga memanggil Tajfel dan Turner (1979) sosial teori identitas hubungan
antarkelompok (SIT), dan SAT setelahnya sebagian besar (tetapi tidak hanya)
mengandalkan kerangka SIT untuk menjelaskan motif di balik strategi divergensi
dan pemeliharaan. Mengapa seseorang harus memilih? tampak berbeda dengan
yang lain? Mengacu teori kesamaan-ketertarikan saja akan berarti bahwa motif
yang mendorong divergensi atau perilaku pemeliharaan akan tampak tidak
disukai, atau setidaknya kebutuhan pembicara untuk bersosialisasi persetujuannya
rendah. Menerapkan konteks antarkelompok, SIT menjelaskan penerapan strategi
ini melalui keinginan untuk memberi sinyal kelompok yang menonjol kekhasan
sehingga memperkuat identitas sosial.

Ada beberapa pemikiran dasar yang melandaskan teori akomodasi


komunikasi ini. Asumsi-asumsi aatau pemikiran dasar yang melandasi teori ini
yakni, Kesamaan dan ketidaksamaan ucapan dan perilaku ada di semua
percakapan, Cara kita memandang ucapan dan perilaku orang lain akan
menentukan bagaimana kita mengevaluasi suatu percakapan, Bahasa dan perilaku
memberikan informasi tentang status sosial dan kepemilikan kelompok,
Akomodasi bervariasi dalam tingkat kesesuaiannya, dan norma memandu proses
akomodasi. Asumsi-asumsi tersebut akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.

1. Kesamaan dan ketidaksamaan ucapan dan perilaku ada di semua percakapan

Banyak prinsip akomodasi komunikasi bertumpu pada asumsi pertama bahwa ada
persamaan dan perbedaan antara komunikator dalam suatu percakapan.
Pengalaman masa lalu, kita mungkin mengingat, membentuk bidang pengalaman
seseorang. Baik dalam ucapan atau perilaku, orang membawa berbagai bidang
pengalaman mereka ke dalam percakapan (West & Turner, 2009). Pengalaman
dan latar belakang yang bervariasi ini akan menentukan sejauh mana seseorang
akan mengakomodasi orang lain. Semakin mirip sikap dan keyakinan kita

dengan orang lain, semakin kita akan tertarik dan mengakomodasi orang lain itu.
Hal ini mungkin bisa diartikan bahwa bagaimna anda berkomunikasi dengan
seseorang yang baru, maka anda akan mengikuti sesuai dengan pengalaman yang
telah terjadi dalam diri kita. Sehingga mungkin dapat diartikan juga bahwa
seseoarng bisa melakukan akomodasi seseuai dengan penagalamannya terhadap
sesuatu.

2. Cara kita memandang ucapan dan perilaku orang lain akan menentukan
bagaimana kita mengevaluasi suatu percakapan

Asumsi kedua bertumpu pada persepsi dan evaluasi. Akomodasi Komunikasi


adalah teori yang berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsikan dan
mengevaluasi apa yang terjadi dalam percakapan.Persepsi adalah proses
memperhatikan dan menafsirkan pesan, sedangkan evaluasi adalah proses menilai
percakapan. Orang pertama-tama memahami apa yang terjadi dalam percakapan
(misalnya, kemampuan berbicara orang lain) sebelum mereka memutuskan
bagaimana berperilaku dalam percakapan. Perhatikan, misalnya, tanggapan Lukas
terhadap Roberto. Informalitas pewawancara di awal wawancara dianggap oleh
Luke sebagai cara yang baik untuk mencairkan suasana dan menghilangkan
sebagian ketegangannya. Tingkah laku Luke selanjutnya mencerminkan gaya
santai (terlalu santai). Luke seperti kebanyakan orang dalam sebuah wawancara:
Dia merasakan suasana wawancara (persepsi) dan kemudian bereaksi sesuai
(evaluasi).Motivasi adalah bagian penting dari proses persepsi dan evaluasi dalam
Teori Akomodasi Komunikasi. Artinya, kita mungkin melihat ucapan dan
perilaku orang lain, tetapi kita mungkin tidak selalu mengevaluasinya. Hal ini
sering terjadi, misalnya saat kita menyapa orang lain, mengobrol ringan, dan
sekadar berjalanjalan. Kami biasanya tidak meluangkan waktu untuk
mengevaluasi pertemuan percakapan seperti itu.Namun ada kalanya memahami
kata-kata dan perilaku orang lain mengarah pada evaluasi kita terhadap orang lain.
Kita mungkin menyapa seseorang, misalnya, dan terlibat dalam obrolan ringan,
tetapi kemudian terkejut ketika kita mendengar bahwa orang tersebut baru saja
bercerai. Menurut Giles dan rekan (1987), saat itulah kami memutuskan
tanggapan evaluatif dan komunikatif kami. Kita boleh mengungkapkan
kebahagiaan kita, kesedihan kita, atau dukungan kita. Kami melakukan ini dengan

terlibat dalam gaya komunikasi yang akomodatif.

3. Bahasa dan perilaku memberikan informasi tentang status sosial dan


kepemilikan kelompok

Asumsi ketiga dari Teori Akomodasi Komunikasi berkaitan dengan efek bahasa
terhadap orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk
mengkomunikasikan status dan kepemilikan kelompok antara komunikator dalam
suatu percakapan. Pertimbangkan apa yang terjadi ketika dua orang yang
berbicara bahasa yang berbeda mencoba berkomunikasi satu sama lain. Giles dan
John Wiemann (1987) membahas situasi ini: Dalam situasi bilingual, atau bahkan
bidialektal, di mana etnis mayoritas dan minoritas hidup berdampingan,
pembelajaran bahasa kedua secara dramatis searah: yaitu, sangat umum bagi
kelompok dominan untuk memperoleh kebiasaan linguistik dari kolektivitas
bawahan. . . . Memang, bukan kebetulan bahwa secara lintas budaya apa yang
“standar”, “benar”, dan perilaku bahasa yang “dibudayakan” adalah perilaku
aristokrasi, kelas atas atau penguasa, dan institusi mereka. Bahasa yang digunakan
dalam percakapan, kemudian, kemungkinan akan mencerminkan individu dengan
status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, kepemilikan kelompok ikut berperan
karena yang tersirat dalam kutipan ini adalah keinginan untuk menjadi bagian dari
kelompok “dominan”. Dari sini kita bisa menyebut bahwa seseorang mungkin
saja bisa mendapatkan penilaian dari apa yang ia lakukan saat proses komunikasi
berlangsung. Dari pemilihan bahasa ini juga, mungkin kita bisa mengetahui
bagaimana melakukan akomodasi dengan orang yang sedang berkomunikasi
dengan kita.

4. Akomodasi bervariasi dalam tingkat kesesuaiannya, dan norma memandu


proses akomodasi

Asumsi keempat dan terakhir berfokus pada norma dan masalah kepantasan
sosial. Kami mencatat bahwa akomodasi dapat bervariasi dalam kesesuaian sosial
dan akomodasi berakar pada penggunaan norma. Penting untuk dipahami bahwa
akomodasi mungkin tidak selalu bermanfaat dan bermanfaat. Tentu saja, ada
kalanya mengakomodasi orang lain itu penting, namun ada juga saat akomodasi
tidak sesuai. Misalnya, Melanie Booth-Butterfield dan Felicia Jordan (1989)
menemukan bahwa orang-orang dari budaya yang terpinggirkan biasanya

diharapkan untuk beradaptasi (mengakomodasi) orang lain.Norma telah terbukti


memainkan beberapa peran dalam teori Giles (Gallois & Callan, 1991). Norma
adalah ekspektasi perilaku yang individu rasakan harus atau tidak seharusnya
terjadi dalam percakapan. Berbagai latar belakang komunikator seperti Seorang
pelamar kerja dan seoarang HRD, misalnya, atau kakek-nenek dan cucu akan
memengaruhi apa yang mereka harapkan dalam percakapan mereka. Hubungan
antara norma dan akomodasi ditegaskan oleh (Gallois & Callan 1991:253)
“Norma menempatkan batasan dalam berbagai tingkat . . . pada gerakan
akomodatif yang dianggap diinginkan dalam suatu interaksi”. Oleh karena itu,
norma umum bahwa orang yang lebih muda patuh kepada orang yang lebih tua
menunjukkan bahwa seorang pemuda akan lebih akomodatif dalam
berkomunikasi dengan denagn seorang bapak-bapak. Tentu saja, konteks
komunikasi itu sendiri memerlukan harapan khusus untuk perilaku.
Ada beberapa hal yang menjadi poin penting dalam teori akomodasi
sendiri. Yakni tenatng strategi dalam akomodasi, stretaegi ini sendiri meliputi
akomodasi secara kovergen dan akomodasi secara divergen. Ada juga beberapa
hal yang akan dijelaskan dalam konsep akomodasi kali ini.

1. Konevergensi

Konvergensi adalah strategi di mana Anda menyesuaikan perilaku


komunikasi Anda untuk menjadi lebih mirip dengan orang lain (Griffin et al.,
2018:424). Sebagian besar waktu, kita melakukannya karena kita ingin
mengakomodasi orang lain. Seperti yang telah kita lihat, salah satu cara untuk
mengakomodasi adalah dengan menyesuaikan gaya bicara Anda untuk mendekati
pasangan percakapan Anda. Jika Anda berbicara dengan seorang pria berusia 80
tahun yang berbicara dalam frasa pendek yang disampaikan dengan suara serak,
Anda dapat mengabaikan kalimat yang mengalir dengan lancar demi respons yang
singkat dan serak. Anda tidak akan mencoba untuk meniru suaranya, tetapi Anda
akan mencoba untuk lebih dekat dengan suara dan iramanya. Jika pria lanjut usia
ingin menyesuaikan diri dengan gaya bicara Anda, dia mungkin perlu berbicara
dengan lebih banyak energi, menampilkan ekspresi wajah yang lebih baik, dan
meningkatkan variasi vokal.Cara lain yang dapat Anda lakukan untuk bertemu
dengan pria tua itu adalah dengan berbicara dengan cara yang membuatnya lebih
mudah untuk memahami apa yang Anda katakan. Jika Anda memperhatikan
bahwa dia mengalami gangguan pendengaran, konvergensi akan melibatkan
berbicara satu tingkat lebih keras, sambil mengucapkan konsonan dengan jelas.
Atau jika dia tampaknya kesulitan melacak ide-ide abstrak, Anda dapat membantu
pemahamannya dengan menggunakan contoh untuk mengilustrasikan apa yang
Anda katakan. Untuk bagiannya, dia mungkin membantu Anda menafsirkan apa
yang dia katakan dengan tidak berasumsi bahwa Anda tahu latar belakang politik
Perang Vietnam atau hit terbesar penyanyi Pat Boone.Cara tambahan untuk
menjembatani kesenjangan generasi bisa melalui manajemen wacana—pemilihan
topik yang sensitif untuk didiskusikan. Giles dan Angie Williams (Cardiff dan
Dewan Kesehatan Universitas Vale, Wales) memunculkan catatan retrospektif
mahasiswa tentang percakapan antargenerasi yang memuaskan dan membuat
frustrasi. Mereka menemukan bahwa orang muda sangat menghargai orang tua
yang dapat membedakan cerita apa yang ingin didengar siswa.

2. Divergensi

Perbedaan adalah strategi komunikasi untuk menonjolkan perbedaan


antara Anda dan orang lain. Sebagian besar waktu, tujuan divergensi adalah non-
akomodasi. Dalam pertemuan antaretnis, Anda mungkin bersikeras menggunakan
bahasa atau dialek yang membuat orang lain tidak nyaman. Dalam hal gaya
bicara, Anda bisa menyimpang dengan menggunakan aksen yang lebih tebal,
mengadopsi tingkat bicara yang berbeda dari yang digunakan oleh orang lain, atau
berbicara dengan nada monoton atau dengan animasi yang berlebihan. Secara
linguistik, divergensi dapat ditandai dengan penggantian kata yang disengaja.
Giles memberikan contoh di mana seorang pembicara muda dengan sembrono
berkata kepada seorang pria tua, "Oke, sobat, mari kita berkumpul di tempat saya
sekitar pukul 3:30 besok." Penatua yang menghina mungkin menjawab, “Baik,
anak muda, kita akan bertemu lagi pada pukul 15:30, di rumahmu besok.”5 Semua
gerakan komunikasi ini adalah contoh dari akomodasi kontra—cara langsung,
disengaja, dan bahkan bermusuhan untuk memaksimalkan perbedaan antara dua
pembicara. Bahkan jika divergensi tidak terlalu agresif, seringkali tidak
menyenangkan. Selama pertemuan antargenerasi, peneliti CAT telah menemukan
bahwa divergensi adalah norma dan konvergensi pengecualian, terutama ketika
keduanya bukan anggota keluarga yang sama. Orang-orang muda biasanya
mencirikan orang tua sebagaiberpikiran tertutup, tidak tersentuh, marah,
mengeluh, dan menstereotipkan remaja secara negatif.6 Lansia seringkali
meningkatkan jarak sosial melalui proses cacat diri—strategi defensif,
menyelamatkan muka yang menggunakan usia sebagai alasan untuk tidak
berkinerja baik. Misalnya, profesor komunikasi Universitas Arizona Jake
Harwood dan dua rekannya menemukan bahwa banyak cara orang tua berbicara
terus-menerus mengingatkan pendengar yang lebih muda bahwa kakek nenek
mereka sudah tua.
Dalam konsep ini juga djelaskan mengenai motivasi yang berbeda dianara
divergensi dengan konvergensi, hal ini dijelaskan melalui Teori identitas sosial
dan orientasi sosial.

Teori Identitas Sosial. Mungkin Anda pernah berada dalam situasi sosial di mana
Anda adalah satu-satunya anggota dari jenis kelamin atau etnis Anda. Jika
demikian, mungkin Anda merasa perlu menjadi duta yang baik untuk orang lain
seperti Anda, atau ingin menekankan nilai dan kekhasan identitas Anda. Ketika
komunikator menyadari perbedaan kelompok mereka, itukontak antarkelompok.
Tajfel dan Turner percaya bahwa kontak antarkelompok seperti itu biasa terjadi,
dan bahwaidentitas sosial didasarkan padanya. Seperti yang dikatakan Jake
Harwood, "Kita bukanlah individu acak yang mengembara di planet ini tanpa
hubungan dengan orang lain, dan hubungan kita dengan orang lain tidak dapat
dipahami secara murni sebagai fungsi dari fenomena individu (Griffin et al.,
2018:428).

Orientasi sosial. adalah kecenderungan seseorang untuk fokus pada identitas


individu atau identitas kelompok. Memprediksi rute mana yang akan diambil
seseorang memang sulit, tetapi kehadiran tambahan dari lima faktor meningkatkan
kemungkinan bahwa komunikator akan melihat percakapan sebagai pertemuan
antarkelompok. Ada beberapa faktor yang yang ada dalam orientasi sosial itu
sendiri (Griffin et al, 2018:428).

Konteks budaya kolektif. Seperti disebutkan dalam pengantar


antarDalam bagian komunikasi budaya, perbedaan antara budaya kolektivistik dan
individualistik mungkin merupakan dimensi penting dari variabilitas budaya.
NSberpusat pada kitaFokus kolektivisme menekankan kesamaan dan kepedulian
bersama dalam budaya yang berorientasi pada identitas sosial. Komunikasi
mereka dengan anggota out-group seringkali berbeda. NSberpusat pada saya
fokus budaya individualistik mengagungkan aktor individu — jelas berorientasi
pada identitas individu. Mengenai hubungan antargenerasi, terlepas dari nilai
budaya menghormati orang yang lebih tua yang dimiliki bersama di antara budaya
Asia Timur, ada bukti kuat bahwa kaum muda Lingkar Pasifik dan rekan-rekan
Barat mereka menganggap orang tua sebagai kelompok yang terpisah.13 Usia
melampaui budaya etnis.

. Riwayat interaksi yang menyedihkan. Jika interaksi sebelumnya tidak


nyaman,kompetitif, atau bermusuhan, kedua orang yang berinteraksi akan
cenderung menganggap hasil itu sebagai identitas sosial orang lain. (laki-laki
memang seperti itu. Orang miskin malas. Presbiterian adalah umat Allah yang
dibekukan.)Jika waktu bersama sebelumnya positif, hasilnya sering dianggap
berasal dari individu daripada kelompok atau kelas di mana dia berasal.

Stereotip. Semakin spesifik dan negatif gambaran yang dimiliki orang


tentang suatuout-group, semakin besar kemungkinan mereka untuk memikirkan
yang lain dalam hal identitas sosial dan kemudian menggunakan komunikasi yang
berbeda. Ini adalah faktor besar dalam komunikasi antargenerasi. Kaum muda
cenderung menstereotipkan orang tua sebagaimudah tersinggung, cerewet,
cerewet, bertele-tele, dan busuk,15 sedangkan stereotip lansia “pemuda hari ini”
sebagai dimanja,sebuah tuduhan yang sering diperkenalkan dengan ungkapan,
Kenapa, saat aku seusiamu. . . .Stereotip kelompok yang kaku ini membuat
komunikasi konvergen lintas generasi menjadi pencapaian yang langka dan sulit.

3. Counter-accommodation

Di sisi lain, kontra-akomodasi adalah yang berlaku sikap dalam konteks


konflik antarkelompok ini, dengan peserta menggambarkan perilaku negatif,
bahkan bermusuhan, yang berfungsi untuk memaksimalkan perbedaan antara
orang yang berinteraksi sebagai anggota kelompok. pencatat gastroenterologi
[GER1] mengatakan: '' para dokter di Unit Gawat Darurat tidak akan menyetujui
pasien dan mereka mencuci tangan mereka. tangan itu. Anda hampir merasa ingin
meminta Unit Gawat Darurat untuk tidak berbicara dengan Anda.’’ Seorang
spesialis penyakit dalam [GMC3] menyatakan: '' Darurat pergi ke arah di mana
Anda tahu menjadi terus terang, mereka telah berubah menjadi korban dan mereka
menjadi walling diri mereka ke segala arah.'' Kontrol interpersonal adalah strategi
komunikasi yang dominan antara anggota kelompok khusus, seperti yang terlihat
di bawah ini: ekstrak dari ahli gastroenterologi [GEC2], yang menjelaskan cara
menegosiasikan akses awal ke ruang operasi dengan anestesi registrar untuk
endoskopi atas setelah jam kerja: Tetapi saya pikir ketika masalah muncul,
konsultan harus menyelesaikannya keluar. Port panggilan pertama saya selalu
adalah menelepon pendaftar yang telah terlibat dengan pencatat saya dan
membuatnya sangat jelas dan untuk memberikan tekanan pada mereka. Dan
katakan: ‘‘Apa yang terjadi? Apakah yang menunda? Apa yang Anda lakukan
tentang itu?'' Dan memberi tekanan besar pada mereka. Dan kemudian, jika itu
tidak berjalan dengan baik, saya akan mengatakan: ''Siapa Anda? konsultan?
Siapa yang hadir malam ini?’’ ‘‘Bill Smith.’’ ‘‘Baik, Dr Smith di sini?'' ''Tidak,
dia di rumah.'' ''Benar. Yah, mungkin aku perlu bicara ke Dr Smith karena, Anda
perlu.’’ Dan biasanya, mereka melipat. Karena, Anda tahu, hal-hal ini tidak
membuat saya khawatir. Maksudku, tidak ada siapa-siapa suka berdebat dan saya
merasa itu tidak menyenangkan .. Tapi, Anda tahu, saya tidak merasakan ancaman
apa pun dari tempat ini. Saya memiliki banyak keterampilan dan beberapa
keterampilan yang tidak dimiliki orang lain. Saya akan lebih baik libur sore dan
mengejar dokumen atau makan malam dengan saya keluarga. Dalam uraian ini,
ahli gastroenterologi memberikan strategi wawasan tentang pendekatan
komunikatif antarkelompok untuk menangani masalah. Dia menjelaskan tujuan
pertemuan dan perilaku dan taktik yang terkait. Kontrol interpersonal sebagai
strategi dominan terbukti dalam penekanan intimidasi pada status di pertanyaan
tentang di mana senior registrar anestesi rekan [Konsultan] adalah, dan ancaman
terbuka untuk meningkatkan masalah. Demikian pula, spesialis DEM [DEMC2]
menggambarkan telepon percakapan dengan pencatat gastroenterologi mengenai
keputusan tentang waktu prosedur, di mana spesialis menekankan statusnya yang
lebih senior dan implikasi potensial dari akting atas saran yang tidak pantas dari
rekan senior yang lain: Dan saya menelepon pencatat gastroenterologi ini karena
saya pikir dia telah melakukannya dinasihati dengan sangat buruk oleh anggota
staf seniornya. Dan saya tidak marah atau jahat. Saya hanya berkata, ‘‘Lihat, saya
pikir Anda harus pertimbangkan pilihan Anda dengan hati-hati jika Anda diberi
saran semacam itu karena Anda menempatkan diri Anda pada posisi yang
bertanggung jawab bahwa saya tidak berpikir Anda harus melakukannya.

4. Overaccomodation
Penyelidikan awal akomodasi berlebihan dengan lawan bicara lanjut usia
menyebutnya sebagai 'baby talk to' orang dewasa '(Caporeal 1981, 877) atau
'pembicaraan bayi sekunder' (Caporeal, Lukaszewski, dan Culbertson 1983:746),
dan seperti yang ditunjukkan Caporeal (1981), 'tidak ada bukti bahwa bayi
berbicara dengan anak-anak dan berbicara dengan bayi untuk orang dewasa lanjut
usia dapat dibedakan secara paralinguistik' (882). Ketika kita mengacu pada Tabel
1 (dari Ryan,Hummert, dan Boich 1995), daftar karakteristik akomodasi
berlebihan untuk orang dewasa yang lebih tua (yang: mereka merujuk pada
komunikasi yang merendahkan), menjadi jelas bahwa ini memang verbal yang
samadan fitur nonverbal yang digunakan dalam komunikasi yang ditujukan pada
anak kecil. Sama seperti menyesuaikan perilaku verbal dan nonverbal untuk
mengakomodasi kemampuan komunikatif anak-anak kecil bermanfaat bagi
perkembangan mereka, melakukannya untuk lawan bicara yang lebih tua juga
dapat, dalam beberapa kasus, bermanfaat ketika kemampuan komunikasi orang
tua, pada kenyataannya, terganggu. itu, dari tentu saja, sepenuhnya tepat untuk
berbicara dengan keras ketika seseorang tahu bahwa lawan bicaranya benar-benar
keras pendengaran, dan beberapa penelitian telah menemukan beberapa
modifikasi linguistik, seperti memberi tekanan berat pada kata kunci fokus dan
menghindari penggunaan klausa yang disematkan dan subordinat, memang
memfasilitasi pemahaman di antara orang dewasa yang lebih tua-terutama mereka
dengan demensia (misalnya Cohen dan Faulkner 1986; Kemper dan Harden
1999). Beberapa akomodasi dalam interaksi dengan orang tua dapat dengan jelas
membantu komunikasi. Namun, akomodasi berlebihan melebihi tingkat
akomodasi yang sesuai dengan fitur-fitur seperti nada tinggi, prosodi berlebihan,
dan bentuk sapaan seperti anak kecil, sering kali melayani untuk merendahkan,
merendahkan, dan menggurui lawan bicara yang lebih tua daripada memfasilitasi
pemahaman. Beberapa peneliti, seperti Ryan, Hummert, dan Boich (1995),
menyebut akomodasi berlebihan sebagai 'komunikasi yang merendahkan' dan
yang lain menyebutnya sebagai 'pembicaraan kekanak-kanakan' (Whitbourne,
Culgin, dan Cassidy, 1995). Istilah lain yang umum digunakan adalah 'speaker
tua' (Kemper dan Harden 1999; Williams2004). Mengikuti Giles dan Gasiorek
(2011), kami menganggap semua ini sebagai contoh khusus dari yang lebih luas
gagasan akomodasi berlebihan, yang tidak selalu menggurui atau merendahkan
anak dalam semua kasus dan kadang-kadang memang terjadi dalam komunikasi
yang diarahkan pada individu yang tidak berumur.

Setelah kita melihat pembahasan diatas, kita jadi mengetahui bahwa teori
komunikasi tidak terpaku pada satu hal saja. Kita bisa melihat bahwa dalam
berbagai konteks komunikasi yang ada, memiliki berbagai maca teori komunikasi.
Sehingga kita dapat menarik kesimpulan bahwa teori komunikasi merupakan
gerbang untuk kita, bisa mengetahui berbagai macam bentuk komunikasi yang
ada. Selain itu juga kita jadi dapat mengetahui bahwa dalalm konteks komunikasi
yang sama, memiliki beragam teori di dalamnya. Hal ini sangat amat membantu
untuk kita, jika kiat ingin melakukan kajian atau meneliti tentang bagaimana
komunikasi berlangsung.
BAB 3: KESIMPULAN PEMBAHASAN

Pada dasarnya manusia merupakan mahluk yang memiliki ketergantungan


terhadap interaksi. Karena hakikat manusia sendiri sebagai mehluk sosial tidak
bisa tidak melakukan interkasi dengan manusia lainnya. Sehingga dengan hal ini
kita dapat mengartikan betapa pentingnya komunikasi dalam kehidupan kita
sebagai manusia. Jika seseorang tidak dapat melakukan komunikasi, maka akan
mengalami kendala dalam memenuhi kebutuhannya.

Namun tidak berarti komunikasi merupakan sebuah hal sepele yang dapat
dilakukan sembarang. Komunikasi memiliki dampak yang bergitu besar, sehingga
seorang individu harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Dalam
menguasai hal tersebut, kita harus mempelajari bagaimana komunikasi yang baik
digunakan sesuai dengan tempat dan juga suasana yang ada. Maka dari itu, lahirla
ilmu yang mempelajari tentang bagaimana komunikasi terjadi dan lain halnya,
yang disebut dengan Ilmu Komunikasi.

Ilmu Komunikasi sendiri merupakan suatu ilmu pengetahuan yang


mempelajari, tentang bagaimana komunikasi terjadi, dan apa saja yang ada dalam
suatu proses komunikasi. Di dalam sana juga dijelaskan mengenai konteks
komunikasi, yang berbagai macam bentuk. Ada juga penjelasan komponen apa
saja yang ada dalam suatu komunikasi, dan tidak ketinggalan juga ada
pembahasan mengenai proses dari komunikasi itu sendiri.

Pemahaman tersebut juga adalah pondasi untuk kita dapat memahami teori
komunikasi secara lebih jelas. Seperti apa yang kita telah ketahui bahwa teori
komuniikasi, merupakan gerbang dalam menjelaskan berbagai macam konteks
komunikasi yang ada. Teori komunikasi juga bisa menjadi gambaran untuk kita
memahami komunikasi secara menyeluruh. Sehingga seperti pembahasan
sebelumnya katakan, bahwa untuk memahami Teori Komunikasi kita harus
memahami terlebih dahulu tentang apa itu komunikasi, dan juga teori.

Tujuan adanya teori komunikasi sendiri, adalah sebagai panduan dalam


kita memahami komunikasi dan juga memahami fenomena komunikasi yang ada
dalam lingkungan masyarakat. Teori komunikasi juga akan memberikan kita
perspektif sendiri, sesuai dengan bagaimana kita memahami teori komunikasi
tersebut. Dan dengan adanya teori komunikasi juga, kita bisa mengetahui bahwa
konteks komunikasi bergitu beragam. Dan terakhir, dengan adanya teori
komunikasi kita jadi memiliki acuan dalam mengkaji suatu fenomena komunikasi
yang ada berdasarkan konteksnya.

Lalu tujuan dari dibuatnya kapita selekta teori komunikasi sendiri, adalah
sebagai membantu untuk bisa memahami teori komunikasi secara menyeluruh.
Sehingga setiap orang yang ingin mencoba mempelajari tentang bagaimana Teoi
komunikasi itu, dapat membaca kapita selekta teori komunikasi ini dengn
seksama. Kapita selekta teori komunikasi ini juga, merupakan bentuk atau bukti
sebagaimana penulis memahami teori komunikasi selama ia mempelajarinya.
DAFTAR PUSTAKA

Abelman, R. (1987). WHY DO PEOPLE WATCH RELIGIOUS TV?: A USES


AND GRATIFICATIONS APPROACH . Religious Research Association , 199-
210.

AmanAbid, P. (2020). Anexploration of social media-enabled voter relationships


through usesandgratificationstheory, psychological contract and service-dominant
orientation. Australasian Marketing Journal , 71-82.

Amanda Carpenter, K. G. (2015). Social Penetration Theory. ResearchGAte , 1-4.

Amir Azlan Hamzah, M. F. (2020). Reciprocity Theory: Application In Marketing


In Increasing Market Share and Growth Toward Customer Satisfaction and
Customer Loyalty. Journal of Postgraduate Current Business Research , 1-5.

Anne Johnston, B. F. (2014). FRAMING THE PROBLEM OF SEX


TRAFFICKING Whose problem? What remedy? Feminist Media Studies , 419–
436.

Ardèvol-Abreu, A. (2015). Framing theory in research communication. Origin,


development and current situation in spain. Revista Latina de Comunicación
Sosial , 423-450.

Armin Falk, U. F. (2000). A Theory of Reciprocity. Institute for Empirical


Research in Economics University of Zurich , 1-42.

Bambang Mudjiyanto, E. N. (2013). Semiotics In Research Method of


Communication. PEKOMMAS , 73-80.

Benard, M. H. (2019). Local Wisdom Pikukuh Sapuluh Suku Baduy Dalam


Konservasi Lingkungan Budaya Desa Kanekes. Geo Image (Spatial-Ecological-
Regional) , 80-88.

Blood, W. (1982). Agenda Setting:A Review of the Theory. 3-10.


Blumler, J. G. (1979). THE ROLE OF THEORY IN USES AND
GRATIFICATIONS STUDIES. 9-34.

Borah, P. (2011). Conceptual Issues in Framing Theory: A Systematic


Examination of a Decade’s Literature. Journal of Communication , 246–263.

BURKAR, R. (2015). Consensus-Oriented Public Relations. The International


Encyclopedia of Communication , 1-4.

Cantor, M. G. (1980). Book Review; Gaye Tuchman, Making News: A Study in


the Construction of Reality. The Free Press, New York, 1978. SOCIOLOGY OF
WORK AND OCCUPATIONS, , 503-506.

Chandler, D. (2002). SEMIOTICS THE BASICS SECOND EDITION. New York:


Routledge.

Chen, L. Y. (2018). Framing terrorist attacks: A multi-proximity model. the


International Communication Gazette , 1-23.

CINDY GALLOIS, T. O. (2005). Communication Accommodation Theory A


Look Back and a Look Ahead. 121-148.

Ciszek, E. L. (2016). Digital activism: How social media and dissensus inform
theory and practice. Public Relations Review , 1-7.

Clara E. H ill, S. K. (2002). Self-Disclosure. e-Publications@Marquette , 255-


262.

Clarissa C. David, J. M. (2011). Finding Frames: Comparing Two Methods of


Frame Analysis. Communication Methods and Measures , 329–351.

David G Hewett, B. M. (2009). Intergroup communication between hospital


doctors: Implications forquality of patient care. Social Science & Medicine ,
1732–1740.

DeFleur, M. L. (2010). Mass Communication Theories Explaining Origins,


Processes, and Effects. New York: Routledge.
Drs. Toto Sucipto & Julianus Limbeng, M. (2007). STUDI TENTANG RELIGI
MASYARAKAT BADUY DI DESA KANEKES PROVINSI BANTEN. Jakarta:
DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA DIREKTORAT
JENDERAL NILAI BUDAYA SENI DAN FILM DIREKTORAT
KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA.

Druckman, D. C. (2007). A Theory of Framing and Opinion Formation in


Competitive Elite Environments . Journal of Communication , 99–118.

EDELMAN, M. (1993). Contestable Categories and Public Opinion. Political


Communication , 231-242.

EHIKWE ANDREW EGEDE, E. C.-N. (2013). Uses And Gratification Theory


And The Optimization Of The Media In The Privatization Of State Owned
Enterprises In Nigeria . Journal of Economics and Sustainable Development ,
2222-2855.

ELIHU KATZ, J. G. (1974). USES AND GRATIFICATIONS RESEARCH.


American Association for Public Opinion Research , 509-523.

Em griffin, A. L. (2018). A FIRST LOOK AT COMMNICATION THEORY. New


York: McGraw-Hill Education.

Entman, R. M. ( 1993). Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm.


Journal of Communication , 51-58.

Fajar, A. (2013). The Relationship; Kunci Relasi dalam Interpersonal Context


(Pemetaan Tradisi Teori Komunikasi Mengenai Komunikasi Interpersonal dalam
Pandangan Tradisi Teori Komunikasi mengenai Komunikasi Interpersonal dalam
Pandangan Stephen W. Littlejhon). Komuniti , 24-30.

FISHER, B. A. (1970). The Process of Decision Modification in Small Discussion


Groups. THE JOURNAL OF COMMUNICATIO , 51-64.

Francesco Cavallaro, M. F. (2016). Overaccommodation in a Singapore eldercare


facility. Journal of Multilingual and Multicultural Development , 1-13.
FROW, J. (2007). Australian cultural studies: theory,story, history. Postcolonial
Studies , 59-75.

Gallois, B. W. (2014). Nurturing Communication by Health Professionals Toward


Patients: A Communication Accommodation Theory Approach. Health
Communication , 344-355.

Grossberg, L. (1998). The cultural studies crossroads blues. Europan journal of


cultural studies , 65-82.

Gudykunst, W. B. (1985). A MODEL OF UNCERTAINTY REDUCTION IN


INTERCULTURAL ENCOUNTERS. JOURNAL OF LANGUAGE AND SOCIAL
PSYCHOLOGY , 79-99.

Halina Sendera Mohd. Yakin, A. T. (2014). The Semiotic Perspectives of Peirce


and Saussure: A Brief Comparative Study. The International Conference on
Communication and Media , 5-8.

Howard Giles, A. M. (1987). Speech Accommodation Theory: The First Decade


and Beyond. Annals of the International Communication Association , 13-48.

Jan Derboven, D. D. (2012). Semiotic analysis of multi-touch interface design:


The MuTable case study. 714-728.

Jennifer L. Gibbs, N. B.-H. (2011). First Comes Love, Then Comes Google: An
Investigation of Uncertainty Reduction Strategies and Self-Disclosure in Online
Dating. Communication Research , 70-100.

Jo-Yun Li, Y. L. (2020). To Disclose or Not? Understanding Employees’


Uncertainty and Behavior Regarding Health Disclosure in the Workplace: A
Modified Socioecological Approach. International Journal of Business
Communication , 1-29.

Kartawinata, A. M. (2020). Etnografi Garna Tentang Kebudayaan Baduy (Catatan


untuk Mengenang Prof H. Judistira K. Garna, Ph.D). Indonesian Journal of
Anthropology , 101-117.
KATHY KELLERMANN, R. R. (1990). When Ignorance Is Bliss The Role of
Motivation to Reduce Uncertainty in Uncertainty Reduction Theory. Human
Communication Research , 5-75.

KnobLoch, L. K. (2016). Uncertainty Reduction Theory. The International


Encyclopedia of Interpersonal Communication, First Edition. , 1-11.

Knutson, T. J. (1972). An experimental study of the effects of orientation behavior


on small group consensus. Speech Monographs , 159-165.

Kramer, M. W. (1999). MOTIVATION TO REDUCE UNCERTAINTY A


Reconceptualization of Uncertainty Reduction Theory. Management
Communication Quarterly , 302-316.

Kriyantono, R. (2006). TEKNIK PRAKTIS RISET KOMUNIKASI. Jakarta:


KENCANA.

Leanne K. Knobloch, K. L. (2010). Relational Uncertainty Predicting Appraisals


of Face Threat in Courtship: Integrating Uncertainty Reduction Theory and
Politeness Theory. Communication Research , 303-334.

LESSIO FRANCI, M. G. (2010). A MODEL-INDEPENDENT THEORY OF


CONSENSUS AND DISSENSUS DECISION MAKING. 1-43.

Lippmann, W. (1922). Public Opinion. New York: Harcourt, Brace & Co.

Machel Waikendaa, P. M. (2019). Influence of consensus orientation practices on


performance of county governments in Kenya. Research in Business & Social
Science , 88-97.

Mark A. Urista, Q. D. (2008). Explaining Why Young Adults Use MySpace and
Facebook Through Uses and Gratifications Theory. Human Communication. A
Publication of the Pacific and Asian Communication Association. , 215-229.

Marks, L. H. (2009). A Postfunctionalist Theory of European Integration: From


Permissive Consensus to Constraining Dissensus. British Journal of Political
Science , 1-23.
MARTIN, L. J. (1976). Recent Theory on Mass Media Potential in Political
Campaigns. American Academy of Political and Social Science , 125-133.

Maxwell E. McCombs, D. L. (2014). New Directions in Agenda-Setting.


DEUTSCHMANN SCHOLARS ESSAY , 781-802.

MAXWELL E. McCOMBS, D. L. (1972). The Agenda-Setting Function of Mass


Media. American Association for Public Opinion Research , 176-187.

Maxwell McCombs, S. V. (2007). The Agenda-Setting Theory La teoría Agenda-


Setting. Cuadernos de Información , 44-50.

McCOMBS, M. (2005). A Look at Agenda-setting: past, present and. Taylor &


Franci , 543-557.

McNeil-Willson, R. (2020). Framing in times of crisis: Responses to COVID-19


amongst Far Right movements and organisations. International Centre for
Counter-Terrorism , 1-26.

Michael J Carter, C. F. (2016). Symbols, meaning, and action: The past, present,
and future of symbolic interactionism. Current Sociology , 1-31.

Michael Payne, J. R. (2010). a dictionary of CULTURAL AND CRITICAL


THEORY. Oxford: Blackwell Publishing.

Monika Taddicken, L. W. (2020). ‘Fake News’ in Science Communication


:Emotions and Strategies of Coping with Dissonance Online. Media and
Communication , Pages 206–217.

Mumby, S. D. (1990). Power, Discourse, and the Workplace: Reclaiming the


Critical Tradition. Annals of the International Communication Association , 18-
47.

Nilgun Aksan, B. K. (2009). Symbolic interaction theory . Procedia Social and


Behavioral Sciences , 902-904.

Pamela J. Shoemaker, M. E. (2001). INDIVIDUAL AND ROUTINE FORCES


IN GATEKEEP. 233-246.
PATRICK HUGHES, G. M. (2000). Consensus, Dissensus or Community: the
politics of parent involvement in early childhood education. Contemporary Issues
in Early Childhood , 241-258.

Prior, P. (2014). Semiotics. 160-173.

Purwanto, A. M. (2002). PAMARENTAHAN BADUY DI DESA KANEKES:


PERSPEKTIF KEKERABATAN. Jurnal Sosiohumaniora , 104-115.

Raj, P. E. (2014). Marxist Influences on Cultural Studies. International Journal of


Humanities & Social Science Studies , 89-93.

Redmond, M. V. (2015). Uncertainty Reduction Theor y. English Technical


Reports and White Papers , 1-38.

Richard West, L. H. (2010). INTRODUCING COMMUNICATION THEORY


ANALYSIS AND APPLICATION . New York: McGraw-Hill Education.

Rob Grace, J. C. (2020). Adapting Uncertainty Reduction Theory forCrisis


Communication: Guidelines for Technical Communicators. Journal of Business
and Technical Communication , 1-8.

SEBEOK, T. A. (1994). Signs: An Introduction to Semiotics. Toronto:


UNIVERSITY OF TORONTO PRESS.

Setiani, R. (2020). DENOTATIVE AND CONNOTATIVE MEANING USED IN


WRITING POETRY. Jurnal Elsa , 85-91.

SHAW, E. F. (1977). AGENDA-SETTING AND MASS COMMUNICATION


THEORY. 96-105.

Shin, D.-H. (2010). Understanding e-book users: Uses and gratification


expectancy model. New Media & Society , 260-278.

Sina Farzadnia, H. G. (2015). Patient-Provider Health Interactions: A


Communication Accommodation Theory Perspective. IJSCL , 17-34.
Stephen W. Littlejohn, K. A. (2009). Encyclopedia of Communication Theory.
Pennsylvania: Sage.

SUNNAFRANK, M. (1986). Predicted Outcome Value During Initial Interactions


A Reformulation of Uncertainty Reduction Theory. Human Communication
Research , 3-33.

The Relationship; Kunci Relasi dalam InterpersonalContext (Pemetaan Tradisi


Teori Komunikasi mengenai Komunikasi Interpersonal dalam Pandangan Stephen
W. Littlejohn). (2013). KomuniTi , 24-30.

THOMAS E. NELSON, R. A. (1997). Media Framing of a Civil Liberties


Conflict and Its Effect on Tolerance. American Political Science Review , 567-
583.

Wacker, J. G. (1998). A definition of theory: research guidelines for different


theory-building research methods in operations management. Journal of
Operations Management , 361-385.

Weiyan, L. (2015). A Historical Overview of Uses and Gratifications Theory.


Cross-Cultural Communication , 71-78.

WILLIAM B. GUDYKUNST, S.-M. Y. (1985). A CROSS-CULTURAL TEST


OF UNCERTAINTY REDUCTION THEORY Comparisons of Acquaintances,
Friends, and Dating Relationships in Japan, Korea, and the United States. Human
Communication Research , 402-454.

WULANDAR, T. A. (2010). MEMAHAMI PENGEMBANGAN HUBUNGAN


ANTARPRIBADI . Majalah Ilmiah UNIKOM , 103-109.

Anda mungkin juga menyukai