Disusun Oleh:
2021
BAB 1: PEMAHAMAN AWAL TEORI KOMUNIKASI
PENDAHULUAN
Tidak hanya itu, Gordon I. Zimmerman (1977), bersama para ahli lainnya
merumuskan bahwa fungsi dari komunikasi sendiri menjadi dua kategori besar.
Yang pertama seseorang berkomunkasi untu dapat menyelesaikan tugas-tugas
mereka yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dan yang kedua seorang manusia
berkomunikasi karena untuk menciptakan suatu relasi atau hubungan dengan
manusia lainnya (Zimmerman, dkk., 1977; Mulyana, 2017, hlm. 4)
Dari penjelasan menurut para ahli yang telah di bahas sebelumnya, kita
bisa melihat bahwa pada dasarnya komunikasi merupakan unsur penting yang
tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Tetapi komunikasi juga tidak bisa
dianggap sepele. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik, seseorang harus bisa
mempelajarinya dengan baik. Karena pada dasarnya komunikasi yang kita
lakukan kepada setiap orang akan berbeda-beda, misalnya ketika kita
berkomunikasi dengan seseorang yang lebih tua dari kita maka kita akan
menggunakan bahasa dan juga intonasi yang berbeda dengan saat kita
berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki umur yang sama dengan kita.
sehingga dari sini kita bisa mengetahui bahwa pada dasarnya komunikasi juga
perlu dipelajari. Dan dari hal-hal tersebut lahirlah Ilmu Komunikasi. dimana
dalam kajian keilmuannya membahasa tentang bagaiamana manusia
berkomunikasi dengan manusia lainnya. Dengan Ilmu Komunikasi kita dapat
mengetahui cara berkomunikasi yang baik dan benar sesuai dengan keadaan atau
tempatnya.
Dari penjelasan yang kita lihat di atas, dapat kita kita tarik kesimpulan
bahwa teori komunikasi meupakan sebuah kajian ilmu yang mempelajari
fonemana-fenomena komunikasi yang terjadi dalam suatu lingkungan. Latar
belakang ini lah yang mengilhami beberapa ahli dalam meneliti dan mengkaji
fenomena tersebut sehingga akhirnya menjadi sebuah pemikiran yang nantinya
dituangkan menjadi sebuah teori komunikasi yang kita kenal. Dan dari banyaknya
fenomena yang ada juga yang akhirnya melahirkan banyak pembidangan di dalam
teori komunikasi. Dalam bidang Teori Komunikasi sendiri meliputi banyak aspek
komunikasi. aspek komunikasi ini adalah komunikasi yang sering kita jumpai di
masyarakat umum. Seperti halnya komunikasi dalam media massa, atau
komunikasi dalama suatu organisasi. Dengan adanya teori komunikasi ini lah kita
bisa mempelajari suatu komunikasi sesuai dengan kaidah dan panduan yan benar.
MEMAHAMI KOMUNIKASI
1. DEFINISI KOMUNIKASI
Jika kita berbicara mengenai Teoi Komunikasi, kita juga harus memahami
mengenai apa itu komunikasi secara jelas, dan bagaimana bentuk-bentuk
komunikasi itu sendiri. Seperti apa yang dijelaskan di halaman sebelumnya,
komunikasi memiliki tujuan yang berbeda menurut para ahli. Tetapi secara garis
besar kita bisa menyebutkan bahwa komunikasi memiliki tujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusi, atau sekedar seabagai alat penunjang seseorang dapat
berinterkasi dengan manusia lainnya. Tetapi kita belum mengetahui definisi atau
pemaknaan dari komunikasi itu sendiri.
Setelah kita mengetahui arti dari makan komunkasi itu sendiri, mungkin
kita akan memiliki sebuah bayangan mengenai komunikasi. Tetapi kita belum
memahami secara pasti dan jelas mengenai pengetian komunikasi menurut para
ahli yang ada. Karena pada dasarnya arti komunikasi bagi setiap orang dapat
dimaknai dengan berbeda beda. Hal ini didasari oleh latar belakang yang berbeda-
beda yang dimiliki oleh ahli yang memaknai komunikasi itu sendiri. Hal ini
seperti yang dijelaskan oleh Katherine Miller, yang menyatakan bahwa
pendefinisian komunikasi merupakan suatu hal yang cukup dilematis. Ia juga
menyampaikan bahwa, konseptualisasi komunikasi telah melimpah dan telah
berubah secara substansial selama bertahun-tahun (Miller, 2005; West & Turner,
2010, hlm. 4). Dari sini kita bisa melihat bahwa pada dasarnya dengan
berkembangnya waktu dan peubahan yang ada, membawa dampak juga kepada
makna dari komunikasi itu sendiri. Baik itu komunikasi secara verbal maupun
secara non-verbal. Banyaknya ahli yang menuangkan hasil pemikirannya juga
mmebuat komunikasi tidak memiliki sebuah acuan definisi yang pasti.
Seperti yang berusaha disampaikan oleh ahli lainnya yaitu Carl I. Hovland,
setelah ia meneliti komunikasi ia memiliki pendapat bahwa “Komunikasi adalah
proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan
(biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain
(komunikate)” (Mulyana, 2017, hlm. 68). Pendapat yang coba dijelaskan oleh
Hovland pada dasarnya memiliki kemiripan dengan apa yang disampaikan oleh
Laswell sebelumnya. Disini juga ia menyinggung persoalan mengenai ‘pemberian
rangsangan’ yang dilakukan oleh seorang komunikator atau orang yang mencoba
menyampaikan pesan kepada komunikan atau sang penerima pesan. Tetapi
pendapat ini memiliki sedikit perbedaan, disini Hovland mengatakan bahwa
komunikasi memiliki tujuan dalam mengubah perilaku orang lain. Hal ini adalah
suatu yang masuk akal, dimana jika seseorang menyampaiakn pesan saat
berkomunikasi maka ada pesan yang berusaha dituju yang bisa mengubah
perilaku orang lain. Sehingga bisa dikatan bahwa pendapat ini juga mencoba
menjelaskan tujuan dan efek dari komunikasi yang dilakukan oleh sang
penyampai pesan atau si Komuniator. Tidak hanya itu, pemikiran yang berusaha
disampaikan mengenai komunikasi disini tidak hanya betumpu kepada tujuan efek
dari si komunikasi tersebut. Disini juga dijelaskan mengenai adanya lambang atau
simbol verbal. Sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwa komuniksai juga
adalah suatu proses yang melibatkan simbol dan juga lambang. Simbol dan
lambang ini sendiri dapat berbentuk verbal maupun non-verbal. Seperti ketika kita
beusaha berkomunikasi dengan teman kita, mungkin kita memiliki simbol tertentu
dalam menyampaikan sesuatu. Begitu pula dengan komunikasi non-verbal, ada
simbol atau lambang tersendiri yang mewakili sesuatu dalam proses komunikasi
kita. Disini juga dapat memahami bahwa komunikasi tidak terpaku kepada proses
verbal, tetapi komunikasi juga dapat dilakukan dengan non-verbal. Dari pendapat
Hovland ini kita bisa mengathui bahwa komunikasi tidak hanya persoalan dalam
meyampaikan pesan, tetapi juga ada beberapa hal yang mendasari komunikasi
tersebut dan bagaimana komunikasi tersebut disampaikan. Tanpa kita sendiri,
dengan memahami pendapat para ahli kita bisa mengetahui komunikasi dengan
lebih luas, dan hal ini merupakan salah satu tujuan mengapa kita berusaha
memahami pemikiran yang disampaikan oleh para ahli. Karena seperti apa yang
dijelaskan sebelumnya bahwa setiap orang bisa memahami komunikasi berbeda-
beda dan berdasarkan latar belakang mereka yang berbeda-beda.
2. FUNGSI KOMUNIKASI
Fungsi sosial
Fungsi Ekspresif
Fungsi Ritual
3. MODEL KOMUNIKASI
Model komunikasi juga sangat bermanfaat untuk para ahli yang sedang
melakukan penelitian terhadap suatu fenomena yang ada. Hal ini seperti apa yang
dijelaskan oleh Irwin D. J. Bross menyebutkan beberapa keuntungan modole
komunikasi ialah, model mnyediakan kerangka rujukan untuk kita memikirkan
masalah, bila model awal tidak berhasil memprediksi. Sehingga dari sini juga bisa
kita katakan bahwa model disini bisa sebagai panduan untuk para ahli dalam
membuat sebuah struktur dalam suatu teori yang ada.
MEMAHAMI TEORI
1. METAFORA TEORI
Sebelum kita mencari definisi dari sebuah teori, lebih baik untuk kita
mengerti apa teori terlebih dahulu. Agar kita dapat memahaminya secara jelas.
Karena pada dasarny pengertian teori serupa dengan pengertian komunikasi, yang
aman memiliki banyak sekali pengertian dan pandangan yang berbeda-beda. Hal
ini dikarenakan pemahaman setiap orang akan teori memiliki pemahaman yang
berbeda. Sehingga karena itulah lebih baik untuk kita mengetahui metaforaatau
penggambaran oleh para ahli mengenai teori. Berikut adalah metafora yang
memaknai teori.
Metafora yang pertama datang dari seorang ahli bernama Karl popper.
Dalam metafora ini Karl menjelaskan bahwa, teori adalah jaring yang
dilemparkan untuk kita menangkap apa yang disebut oleh kita sebagai ‘dunia’.
Yang kemudian kita akan berusaha membuat jala yang ada semakin halus. Disini
kita bisa mengartikan bahwa teori semnakin lama makan akan selalu ada
perubahan terhadap teori tersebut, semakin banyak sesuatu hal yang kita dapat
maka ‘jaring’ yang kita punya pun akan semakin luas. Pemahaman ‘dunia’ disini
juga diartikan sebagai pengetahuan yang tidak ada batasannya. Sehingga dapat
dikatan juga bahwa teori bisa kita gunakan untuk kita bisa memahami ilmu secara
lebih luas, dan dengan berjalannya waktu pemahaman kita mengenai teori pun
dapat berubah seiring banyaknya pemahaman yang kita dapatkan.
Lalu metafora yang kedua adalah berbicara bahwa, teori adalah tidak lain
dari sebuah lensa. Hal ini merujuk kepada sebuah lensa kamera, dimana objek
yang kita lihat menggunakan kamera. Maka objek tersebut jugalah yang kemudian
menjadi hasil foto dari kamera tersebut. Sehingga dapat diartikan bahwa teori
dapat membangun sebuah sudut pandang kita terhadao suatu permasalahan yang
ada. Dimana kita akan lebih mefokuskan kepada suatu fitur yang ada dalam
komunikasi dan mengabaikan fitur lainnya. seperti halnya ketika dua ahli
komunikasi melihat suatu permasalahan yang sama tetapi memiliki pemahaman
yang berbeda. Sehingga teori sendiri dapat membentuk bagaimana cara kita
berpikir.
Dari metafora yang ada dapat kita simpulkan, bahwa teori meupakan suatu
komponen penting untuk kita memahami secara benar mengenai suatu ilmu
pengetahuan yang ada. Dengan teori kita jadi bisa menambah pengeathuan kita
terhadap pengetahuan yang ingin kita ketahui, dan semakin bertambahnya ilmu
tersebut maka akan beubah juga pemahaman kita terhadap suatu teori yang ada.
Teori juga disini dijelaskan bisa menciptakan sebuah persepsi mengenai persoalan
yang ada, yang mana nantinya akan membangun pemikira atau pendapat yang
berbeda-beda. Dan teori juga dapat kita artikan sebagai peta yang memandu kita
untuk mengetahui suatu pengetahuan, agar kita dapat memahami secara tepat dan
akurat.
2. DEFINISI TEORI
Definisi teori sendiri sebenarnya tidak meiliki suatu acuan, atau memiliki
satu definisi pasti. Ini dikarenakan banyaknya pemahaman yang berbeda-beda
yang coba dikemukakan ole berbagai ahli. Hal ini didukung oleh pendapat Em
Griffin (2018) dan beberapa ahli lainnya yang ia tuangkan dalam karya bukunya.
Disana ia menjelaskan bahwa teori dapat di definisikan sebagai sebuah firasat atau
dugaan mengenai suatu permasalahan, yang kemudian dikaji lebih lanjut lagi
sehingga melahirkan teori. Karena teori adalah sebuah dugaan atau firasat, maka
akan berbeda untuk dimaknai setiap orangnya.
Kemudian pendapat berbeda coba dijelaskan juga oleh ahli lainnya, yakni
Jude Burgoon. Ia mengatakan bahwa jika teori bukan semata hanya sebatas pada
sebuah firasat atau dugaan. Tetapi teori adalah sebuah firasat atau dugaan yang
harus diinformasikan. Karena menurutnya jika firasat atau dugaan hanya menajdi
firasat belaka tanpa diinformasikan maka hal tersebut belum dapat disebut sebagai
teori. Menurut Burgoon juga, Sebelum mengembangkan teori, ada artikel untuk
dibaca, orang untuk diajak bicara, tindakan untuk diamati, atau eksperimen untuk
dijalankan, semuanyayang dapat menerangi subjek. Paling tidak, ahli teori harus
terbiasa dengan penjelasan dan interpretasi alternatif dari jenis fenomena yang
mereka pelajari. Tidak hanya itu, menurutnya Teori-teori tidak hanya didasarkan
pada kesan-kesan yang samar-samar dan juga tidak disengaja oleh produk-produk
kehidupan. Teori cenderung dihasilkan ketika penciptanya telah mempersiapkan
diri untuk menemukan sesuatu di lingkungan mereka, yang memicu proses
konstruksi teori.
Tidak hanya Jude Burgoon yang memiliki definisi mengenai tepri, banyak
ahli lain juga memiliki pendapat yang beragam. Secara umum, teori adalah sistem
konsep abstrak dengan indikasi hubungan di antara konsep-konsep ini yang
membantu kita memahami suatu fenomena. Stephen Littlejohn dan Karen Foss
(2008) menyarankan sistem abstrak ini diturunkan melalui observasi sistematis.
Jonathan H. Turner (1986) mendefinisikan teori sebagai “suatu proses
mengembangkan ide-ide yang memungkinkan kita untuk menjelaskan bagaimana
dan mengapa suatu peristiwa terjadi”. Definisi ini berfokus pada sifat pemikiran
teoretis tanpa menentukan dengan tepat apa hasil pemikiran ini. William Doherty
dan rekan-rekannya (1993) telah menguraikan definisi Turner dengan menyatakan
bahwa teori adalah proses dan produk: “Berteori adalah proses secara sistematis
merumuskan dan mengatur ide-ide untuk memahami fenomena tertentu. Sebuah
teori adalah seperangkat ide yang saling berhubungan yang muncul dari proses
ini”. Dalam definisi ini, penulis berusaha untuk menjadi inklusif. Mereka tidak
menggunakan kata penjelasan Turner karena tujuan teori bisa lebih banyak dari
sekadar penjelasan, poin yang akan kita jelajahi nanti di bab ini. Dalam diskusi
singkat ini, Anda mungkin telah memperhatikan bahwa para ahli teori yang
berbeda mendekati definisi teori dengan agak berbeda. Pencarian definisi teori
yang diterima secara universal adalah tugas yang sulit, jika bukan tidak mungkin.
Ketika mendefinisikan istilah teori, seperti yang diamati oleh DC Phillips (1992),
"tidak ada penggunaan yang benar yang ditetapkan secara ilahi, tetapi kita dapat
berusaha untuk menggunakan kata itu secara konsisten dan untuk menandai
perbedaan yang kita rasa penting" Sebagian, kesulitan dalam mendefinisikan teori
adalah karena banyak cara di mana teori dapat diklasifikasikan atau dikategorikan.
Di sini kami memperbaiki definisi kami dengan memeriksa fitur dan atribut teori
berikut: tingkat umum, komponen, dan tujuan.
Dari pembahasan diatas kita bisa melihat bahwa pemaknaan dari teori oleh
para ahli berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa teori adalah sebuah firasat
atau dugaan yang kemudian harus dinformasikan agar bisa menjadi sebuha teori.
Ada pula yang berpendapat bahwa teori, adalah konsep abstrak yang membantu
kita dalam memahami sebuha fenomena yang ada. Lalu ada ahli juga yang
mendefinisikan tepri sebagai seuatu proses untuk mengembangkan ide-ide yang
kita miliki, yang mana ide-ide tersebut nantinya dapat membantu kita untuk
memahami suatu kejadian fenomena yang ada. Sehiingga dapat dikatan bahwa
teori membantu kita untuk memahami sesuatu secara lebih mudah. Dan pendapat
terkahir mengenai definisi dari teori mengatakan, bahwa berteori adalah
mengenai proses dalam pemaknaan fenomena dengan cara merumuskan sesuatu
secara sitematis. Dari sini kita bisa melihat bahwa secara garis besar, dapat
dikatan bahwa teori merupkan suatu cara untuk kita bisa memahami secara lebih
mudah dan akurat mengenai suatu fenomean yang terjadi. Sehingga dapat dikatan
bahwa teori meupakan sebuah pondasi awal untuk kita bisa memahami suatu ilmu
pengetahuuan secara menyeluruh. Dari sini juga kita bisa melihat bahwa apa yang
diga,barkan oleh ahli dalam metafora sebuha teori, dengan pendefinisiannya
memiliki kesamaan. Dan dengan hal ini juga dapat diartika bahwa teori
komunikasi merupakan kajian penting untuk kita memahami mengenai
komunikasi.
Jika kita berbicara mengenai teori, maka kita juga tidak bisa tidak
membahasa mengenai riset. Dalam menemukan teori yang akurat serta sesuai
dengan kenyataan yang ada pada lingkungan pada dunia nyata. Maka dari itu
untuk dapat menemukan data yang diinginkan dalam sebuah teori, diperlukan riset
terlebih dahulu.
Riset sendiri sangat erat kaitannya dengan sebuah teori. Menurut apa yang
dijelaskan sebelumnya, sesuatu gagasan bisa menjadi sebuah teori setelah
dilakukannya analisis melalui metode ilmiah yang ada. Sehingga riset merupakan
suatu tahapan dalam terciptanya suatu teori.Hal ini menjadi penting mengingat
jika kita ingin menemukan suatu teori yang baik atau sesuai dengan fakta yang
ada, maka kita akan melakukan riset berdasarkan suatu fenomena yang terjadi.
Sedangkan dalam melakukan suatu riset atau penelitian kita akan menggunakan
sebuah teori dalam menganalisis suatu permasalahan atau pun fenomena yang ada.
Sehingga hubungan antara riset dan teori sangat erat kaitannya, sebuah teori akan
membutuhkan riset dan sebuah riset akan menggunakan sebuah teori.
3. TRADISI KOMUNIKASI
TRADISI RETORIKA
TRADISI SEMIOTIKA
Secara garis besar tradisi ini membahas tentang simbol atau tanda dalam suatu
praktik komunikasi, tanda disini berbicara tentang komunikasi yang diakukan
secara verbal atau non-verbal dan secara langsung maupun tidak langsung. Tanda
adalah bagian dari kehidupan sosial dan tanda-tanda berdiri untuk sesuatu yang
lain. Tradisi semiotika pertama kali dibahas oleh Jhon Locke, pertama kali
dibahas pada abad ke-17. Lalu pada tahun 1950an hingga 1960an, berbagai tokoh
komunikasi mulai mengembangkan tradisi ini. Tokoh-tokoh yang mengembangka
hasil pemikiran dari Jhon Locke yaitu: Ferdinand de Saussure, Charles Sanders
Peirce, Umberto Eco, dan Roland Barthes. Mereka memilki pemahan yang
berbeda-beda mengenai semiotika, tetapi memiki arti yang sama bahwa semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. berikut pemahaman yang
dikemukakan oleh para tokohtokoh tersebut.
TRADISI FENOMENOLOGIS
Tradisi Fenomenologis adalah salah satau tardisi yang ada dalam konsep,
tujuh tradisi komunikasi yang dicetuskan oleh Robert T. Craig. Tradisi ini
membahas ilmu komunikasi melalu kaca mata filsafat. Fenomenologi adalah
interpretasi pribadi dari kehidupan sehari-hari dan kegiatan. Seringkali,
fenomenologi bersifat intuitif dan melibatkan hal-hal dan peristiwa melalui lensa
pribadi. Tradisi ini juga dapat diartikan sebagai pengalaman pribadi yang dialami
secara subjektif oleh orang yang yang melakukan praktik komunikasi. Tradisi
Fenomenologi, menggambarkan komunikasi sebagai dialaog yang memiliki unsur
nilai-nilai keterbukaan dan otentisitas yang bisa berupa ucapan atau verbal dan
tindakan. Tradisi ini sering dimanfaatkan oleh para ahli, sebagai cara untuk
meneliti suatu praktik komunikasi yang bertujuan untuk menemukan
kesalahapahaman yangada dalam komunikasi, dan bagaimana memperbaiki
kesalahpahaman tersebut.
TRADISI SIBERNETIK
Sibernetik berasal dari bahasa yunai yaitu kybernetes, yang diartikan sbegai pilot.
Sibernetik pertama kali dibahas oleh Nobert Wiener, menurutnya sibernetik
adalah ilmu yang mengontrol dan komunikasi hewan dan benda. Sibernetik
dikembangkan lagi oleh Littlejhon yang merujuk kepada hasil pemikiran Robert
T. Craig dalam artikelnya Communication as A Field. Secara keseluruhan,
sibernetik merupakan ilmu yang mempelajari tentang proses interaksi anatar
komunikator dengan komunikan. Ada tiga prinsip dasar yaitu masukan atau input,
proses atau process, dan keluaran atau output. Tradisi ini digunakan dalam praktik
komunikasi yang berkaitan dengan komunikasi yang berhubungan umpan balik.
Tradisi ini juga digunaka dalam menganalisis suatu proses sosial.
TRADISI SOSIO-PSIKOLOGI
Tradisi ini membahas tentang kita sebagai manusia memilki peran dalam
prilaku sosial yang meliputi individu, kepribadian, efek individu, sifat, variable
psikologis, dan juga persepsi. Orang yang pertama kali mencetuskan teori ini
adalah Carl Hovland dari Universitas Yale. Tradisi ini cukup penting mengingat
pembahasan yang terkandung dalamnya membahas tenatng prilaku sosial yang
ada dalam setiap individu yang ada dalm suatu praktik komunikasi. Tradisi ini
digunanakkan ketika kita membahas mengenai prilaku suatu individu dalam suatu
fenomena komunikasi. Tradisi ini juga bisa digunakkan ketika kita membuat
pesan dan akan memproses pesan.
TRADISI KRITIS
Paradigma
Dalam sains dan filsafat, paradigma adalah sebuah konsep yang penting
atau pola pikir yang berbeda, termasuk teori, metode penelitian, postulat, dan
standar untuk apa yang merupakan kontribusi yang sah untuk suatu bidang.
Postivis
Dalam fokus ini adalah gagasan bahwa ukuran sampel yang besar dinilai lebih
dari sampel yang lebih kecil (yaitu, bahwa data objektif yang dikumpulkan
melalui sampel besar lebih unggul daripada data yang dikumpulkan melalui yang
lebih kecilsampel). Sampel yang lebih besar meningkatkan konsistensi dalam data
dan representasi populasi karakteristik, memfasilitasi generalisasi yang lebih baik
mengenai penyebab fenomena di alam. Terlebih lagi, untuk membuat klaim yang
lebih kuat mengenai generalisasi, replikasi temuan juga dihargai melalui
eksperimen sistemik dan terkontrol. Dengan cara ini, penelitian positivis berfokus
pada teori yang terverifikasi
Paradigma positivis didasarkan pada asumsi bahwa ada satu realitas sebenarnya
yangdapat dipahami, diidentifikasi, dan diukur
Kritis
Teori-teori ini berbeda dari pendekatan teoritis lainnya karena mereka mencari
praksis sebagai tujuan utama. Praksis adalah kombinasi antara teori dan tindakan.
Daripada hanya berusaha memahami struktur kekuasaan, teori kritis secara aktif
berusaha mengubahnya dengan cara yang positif. Contoh pendekatan kritis yang
mudah dikenali adalah Marxisme, postmodernisme, dan feminisme. Teori-teori
kritis ini mengekspos dan menantang komunikasi struktur sosial, ekonomi, dan
politik yang dominan. Bidang penyelidikan meliputi bahasa, hubungan sosial,
struktur organisasi, politik, ekonomi, media, ideologi budaya, hubungan
interpersonal, tenaga kerja, dan gerakan sosial lainnya.
Intepretatif
Perilaku manusia bersifat dinamis dan berubah mengikuti fenomena fisik dan
masyarakat. Ini melibatkan kepentingan pribadi penelitian sambil menafsirkan
aturan dan filosofi hidup dan dengan demikian dari umum menuju khusus. Ini
mengarah untuk memahami makna tindakan, bukan penyebabnya. Seseorang
mungkin menentang norma-norma sosial secara subyektif saat menyelidiki
realitas mereka.
Pendekatan interpretif atau metode kualitatif ini lebih mengarah dan berfokus
pada nilai seni dan keindahan dalam teks dan ini juga adalah salah satu
pendekatan yang memandang fakta atau kebenaran dan memposisikannya sebagai
sesuatu yang bersifat subjektif dan lebih menegaskan pada partisipasi dari
individu atau peneliti ketika atau di dalam proses penelitian (West & Turner
2019:51)
metode kualitatif ini juga sangat condong ke arah evaluasi yang menjadikan suatu
konsep sebagai alat atau media untuk mempertegas atau lebih memaparkan suatu
hal. Pendekatan interpretif ini menyuguhkan dan memberi tahu kita mengenai
suatu paham dalam setting masalah, yang mana pendekatan ini juga bisa di sebut
sebagai pendekatan yang abstrak dan tidak tersusun atau tertata rapi.
Penelitian kualitatif ini juga bisa di sebut ketika berkaitan dengan suatu hal atau
objek yang juga mempunyai sangkut paut dengan teks yang dipaparkan oleh
media-media dan mengikut sertakan beberapa hal seperti taraf keunggulan dan
karakteristik sebagai acuan untuk membedakannya (Hansen & Machin, 2013:54).
Dalam perspektif ini seorang peneliti melihat bahwa proses pemaknaan terhadap
simbol-simbol tingkah laku manusia berdasarkan pengamatan nyata, di mana dia
akan mendalami dan langsung terjun ke masyarakat untuk mengamati lebih jelas
menggunakan pendekatan ini. Dalam kacamata ini pula biasanya di simpulkan
beberapa kendala atau masalah yang terjadi dalam proses pemaknaan suatu pesan
dan di evaluasi sehingga mengecilkan kemungkinan adanya kesalah pahaman
antara kedua
Objektif
Ungkapan 'penelitian objektif' memiliki beberapa arti yang berbeda dalam ilmu
sosial dan humaniora. Kita sering menganggap penelitian objektif sebagai
penelitian yang tidak bias atau tidak memihak.
Dengan demikian, seorang peneliti (atau proyek, laporan, atau studi) yang objektif
seperti seorang hakim yang berusaha memberikan pemeriksaan yang adil bagi
kedua belah pihak yang bersengketa. Hakim yang objektif mendengarkan kedua
belah pihak yang bersengketa tanpa memberikan pertimbangan yang tidak
semestinya kepada salah satu pihak. Kami juga menganggap penelitian objektif
sebagai penelitian yang bebas nilai, yaitu sebagai penelitian yang tidak
terpengaruh oleh nilai-nilai moral, ekonomi, sosial, politik, atau agama.
Dengan demikian, peneliti yang objektif seperti hakim yang berusaha mengambil
keputusan berdasarkan bukti-bukti hukum dan empiris tanpa membiarkan nilai-
nilainya mempengaruhi penilaian dan penalarannya. Kami juga menganggap
penelitian objektif dapat diandalkan atau dapat dipercaya. Jadi, seorang peneliti
yang objektif seperti termometer yang melaporkan suhu dengan andal. Kita bisa
mempercayai laporan termometer.
Akhirnya, kami juga menganggap penelitian objektif sebagai penelitian yang
faktual atau nyata. Teori objektif (hipotesis atau konsep) adalah teori yang
menggambarkan fakta atau fenomena nyata dengan benar, dan dapat dikontraskan
dengan fiksi, propaganda, spekulasi, dan penipuan. Semua konsepsi penelitian
objektif ini menangkap beberapa aspek penting dari penggunaan frasa ini; ada
berbagai cara untuk memahami objektivitas (Harre dan Krausz 1996). Untuk
keperluan artikel ini, penelitian objektif dapat didefinisikan sebagai penelitian
yang tidak memihak atau tidak memihak, bebas nilai, dapat diandalkan atau dapat
dipercaya, atau faktual atau nyata.
Subjektif
George Simmel mengemukakan bahwa teori ini berasal dari perkiraan sosio
psikologis yaitu “ seluruh fenomena serta perilaku sosial itu berasal dari dalam
pikiran individu) (Soeprapto, 2002). berdasarkan pendapat Blumer, premis-premis
yang mendasari interaksi simbolik, di antaranya: Pertama, individu merespons
situasi simbolik. mirip lingkungan, objek fisik (objek) dan objek sosial (perilaku
insan) sesuai makna yang terkandung dalam komponen lingkungan tersebut.
kedua, makna merupakan
Metode Penelitian
Metode Kualitatif
Penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri ini. Selain itu, ia berusaha untuk memahami
sesuatu yang diberikan masalah atau topik penelitian dari perspektif penduduk
lokal yang terlibat. Kualitatif penelitian sangat efektif dalam memperoleh
informasi budaya tertentu tentang nilai-nilai, pendapat, perilaku, dan konteks
sosial dari populasi tertentu.
masalah mungkin tidak mudah terlihat. Ketika digunakan bersama dengan metode
kuantitatif, kualitatif
penelitian dapat membantu kita untuk menafsirkan dan lebih memahami realitas
kompleks dari situasi tertentu dan implikasi dari data kuantitatif. Meskipun
temuan dari data kualitatif sering dapat diperluas ke orang-orang dengan
karakteristik yang mirip dengan populasi penelitian, memperoleh pemahaman
yang kaya dan kompleks dari suatu konteks atau fenomena sosial biasanya lebih
diutamakan daripada memperoleh data yang dapat digeneralisasikan ke wilayah
atau populasi geografis lain. Dalam pengertian ini, penelitian kualitatif sedikit
berbeda dari penelitian ilmiah pada umumnya.
Tiga metode kualitatif yang paling umum, dijelaskan secara rinci dalam modul
masing-masing, adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, dan kelompok
fokus. Setiap metode sangat cocok untuk mendapatkan jenis data tertentu.
Observasi partisipan tepat untuk mengumpulkan data tentang perilaku yang terjadi
secara alami di konteks mereka yang biasa.
Metode Kuantitatif
Penelitian kuantitatif bersifat objektif, rumit, dan sering kali, bahkan bersifat
investigasi. Hasil yang dicapai dari metode penelitian ini adalah logis, statistik,
dan tidak bias. Pengumpulan data dilakukan dengan metode terstruktur dan
dilakukan pada sampel yang lebih besar yang mewakili seluruh populasi.
Alat terstruktur adalah Alat terstruktur seperti survei, jajak pendapat, atau
kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data kuantitatif. Menggunakan metode
struktur seperti itu membantu dalam mengumpulkan data yang mendalam dan
dapat ditindaklanjuti dari responden survei.
Ukuran sampel adalah Penelitian kuantitatif dilakukan pada ukuran sampel yang
signifikan yang mewakili pasar sasaran. Metode pengambilan sampel yang tepat
harus digunakan ketika mengambil sampel untuk memperkuat tujuan penelitian
Studi hal sebelumnya adalah Berbagai faktor yang terkait dengan topik penelitian
dipelajari sebelum mengumpulkan umpan balik dari responden.
Data kuantitatif adalah Biasanya, data kuantitatif diwakili oleh tabel, bagan,
grafik, atau bentuk non-numerik lainnya. Hal ini memudahkan untuk memahami
data yang telah dikumpulkan serta membuktikan validitas riset pasar.
Generalisasi hasil adalah Hasil dari metode penelitian ini dapat digeneralisasikan
ke seluruh populasi untuk mengambil tindakan yang tepat untuk perbaikan.
BAB 2: PEMBAGIAN TEORI KOMUNIKASI
BERDASARKAN KONTEKS
1. KOMUNIKASI INTRAPESONAL
Dalam asumsi yang pertama ini yaitu hubungan berkembang dari tidak intim
menjadi intim, menunjukkan bahwa untuk menuju sebuah keintiman dalam suatu
hubungan didapat melaui proses yang cukup lama. Tidak serta merta seseorang
bisa langsung memiliki hubungan yang intim secara singkat. Seseorang yang baru
bertemu pertama kali bertemu tidak bisa langsung saja menceritakan mengenai hal
bersifat pribadi. Harus adanya proses yang dilewati seorang individu untuk
mencapai ke intiman yang dimaksud. Ketika pertama kali bertemu kita mungkin
hanya akan mendapatkan informasi mengenai hal hal yang biasa atau publik,
seperti nama dan hal ha lainnya. Lalu proses berikutnya kita akan mendapatkan
informasi mengenai suatu hal yang lebih pribadi dari hanya sekedar informasi
berupa nama. Dan proses seterusnya akan seperti itu, ini lah yang dimaksud dari
ketidak intiman berubah menjadi keadaan yang lebih intim
Lapisan yang pertama atau lapisan paling luar, adalah lapisan citra publik.
Lapisan ini adalah lapisan yang menggambarkan kita dari sudut pandang publik
atau luar, dalam lapisan ini biasanya hanya terkandung informasi yang menjadi
konsumsi publik seperti nama dan lain lain. Dalam lapisan ini juga publik bisa
akan menilai kita dari apa yang mereka lihat, atau menetukan sperti apa kita.
Seorang yang menggunakan mobil mewah, akan dinilai sebagai orang memiliki
status ekonomi tinggi. Sebaliknya seseorang yang hanya menggunakan sepeda
ontel akan dianggapa hanya berasal dari status ekonomi yang lebih rendah.
Walapun bisa saja anggapan tersebut tidak benar adanya. Dalam lapisan ini juga,
kita bisa menetukan ingin dipandang sebagai apa kita di mata masyarakat. Orang
yang selalu berpakaian rapih dan bersih mungkin saja ingin dikenal sebagai orang
yang disiplin.
2. Resprositas
3. Keluasan (breadth)
4. Kedalaman (depth)
1. Mind
Menurut Mead, mind berkembang dalam proses komunikasi sosial dan tidak dapat
dipahami sebagai proses yang berdiri sendiri. Proses ini memiliki dua fase
yaitu, gesture percakapan dan berbicara. Keduanya mengasumsikan konteks sosial
di mana dua atau lebih individu berinteraksi satu sama lain.
2. Self
Self dapat didefinisikan melalui interaksi dengan orang lain. Self mengacu
pada kepribadian reflektif individu. Untuk memahami konsep diri, penting untuk
memahami perkembangan diri, yang hanya mungkin melalui adopsi peran. Untuk
melihat diri kita sendiri, kita harus mampu mengambil peran orang lain untuk
merefleksikan diri kita sendiri. Mengambil peran ini adalah bagian yang
sangat penting dari pengembangan pribadi. Citra mental inilah yang dilakukan
Charles H. Cooley.
3. Society
Berikut adalah penjelasan serta penjabaran dari ketiga tema tersebut serta asumsi
yang terkandung di dalamnya.
a. Tindakan manusia terhadap orang lain didasarkan dari makna yang dimiliki
orang terhadap dirinyaAsumsi ini menjelaskan bahwa makna berawal dari
interaksi sosial dimana perilaku dalam interaksi sosial berperan sebagai
sebuah putaran atau sebuah “loop” antara rangsangan dan respon terhadap
rangsangan tersebut, dan makna didalam interaksi sosial tersebut dapat
mempengaruhi tindakan dari seseorang. Teori Interaksi Simbolik peduli dengan
makna dibalik suatu perilaku serta mencari makna dengan meneliti aspek
psikologis dan aspek sosiologis dari suatu perilaku. Misalnya ketika kita
berbicara dengan seseorang yang lebih tua, maka kita akan bertindak dengan
lebih sopan serta menghormati orang tersebut yang sudah lebih “senior”
dibanding kita, karena biasanya kita memaknai orang yang lebih senior dari kita
dengan makna : orang yang memiliki pengalaman lebih banyak dari kita serta
lebih bijaksana. Kita dapat memaknai orang yang lebih tua dengan seperti itu
karena makna yang kita buat adalah makna yang sesuai dengan kekuatan
sosial yang membentuk diri kita.
b. Makna tercipta dalam interaksi antar manusia Menurut George Herbert Mead
(West & Turner, 2010, hlm. 80) makna dapat tercipta hanya ketika orang-orang
berbagi kesamaan dalam penafsiran makna dari simbol yang mereka tukarkan
dalam sebuah interaksi. blumer (West & Turner, 2010, hlm. 80) menjelaskan
bahwa ada 3 cara untuk menentukan asal muasal dari sebuah makna. Yaitu:
• Makna dianggap sebagai sesuatu yang intrinsik dari suatu hal/benda. Dengan
kata lain, makna muncul secara sendirinya tanpa melalui proses dibalik
pembentukan suatu makna. Yang diperlukan hanyalah untuk mengakui makna
yang sudah ada dalam benda/hal tersebut.
• asal dari sebuah makna dilihat sebagai sesuatu yang dibawa/diberikan
kepada hal/benda oleh orang yang memaknai benda/hal tersebut (West &
Turner, 2010, hlm. 81). Pernyataan ini selaras dengan gagasan bahwa makna ada
didalam manusia, bukan didalam benda/hal yang dimaknai. Dalam perspektif ini,
makna dijelaskan dengan cara mengisolasi unsur-unsur psikologis dalam diri
manusia yang menghasilkan makna tersebut
• Makna dilihat sebagai sesuatu yang terus terjadi diantara orang-orang. Makna
adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang terbentuk di dalam dan melalui
aktivitas manusia saat mereka berinteraksi”. Dengan kata lain, makna baru
akan muncul setelah terjadinya sebuah interaksi
c. Makna dimodifikasi melalui proses yang interpretif Menurut blumer (West &
Turner, 2010, hlm. 82) proses interpretif memiliki dua tahapan. Tahapan yang
pertama yaitu bahwa komunikator menunjukkan sendiri benda/hal apa yang
memiliki makna. Komunikator didalam proses ini menurut blumer berbeda dari
pendekatan psikologis, karena menurut dia didalam proses ini terdiri dari orang-
orang yang terlibat dalam komunikasi dengan diri mereka sendiri. Artinya bahwa
seseorang menafsirkan sendiri benda/hal apa yang memiliki makna bagi dirinya
sendiri. Contohnya ketika seseorang sedang pergi ke sebuah Mall, dia
berkomunikasi dengan dirinya sendiri tentang area mana yang bermakna untuk
dirinya sendiri.Tahapan yang kedua melibatkan komunikator melakukan
seleksi, pengecekan, serta perubahan dari makna berdasarkan konteks atau
lingkungan dimana dirinya berada.
Asumsi ini menunjukkan bahwa persepsi diri atau Sense of Self kita hanya
dapat terbentuk melalui kontak dengan orang lain. manusia tidak terlahir dengan
konsep diri, tetapi mereka mempelajarinya melalui interaksi. Significant
Others atau orang-orang terdekat kita sangatlah penting karena tanggapan atau
reaksi mereka sangat berpengaruh dalam penciptaan persepsi diri kita.Kita ambil
contoh dari citra diri seorang remaja, remaja mulai melihat diri mereka sendiri
sebagaimana mereka pikir orang lain memandang diri mereka. Hal ini terjadi
akibat dari interaksi mereka dengan orang-orang terdekat mereka seperti Orang
tua, Adik atau Kakak mereka, dan Teman sebayanya. Remaja mengambil
persona yang telah tercermin di dalam diri mereka yang dia lihat dalam banyak
interaksi mereka dengan orang lain. saat mereka berperilaku dengan cara yang
mempertegas eksistensi dari citra diri ini, citra itu semakin diperkuat, dan unsur
lain didalam diri remaja itu juga mengikuti apa yang ditegaskan oleh citra
diri nya .Jadi, misalnya seseorang merasa tidak baik interaksi sosialnya, mereka
mungkin akan menarik diri mereka untuk menyendiri, sehingga semakin
memperkuat perasaan dan persepsi ketidakmampuan diri mereka, dan pada
akhirnya menghambat pengembangan konsep diri mereka.
Tema terakhir yang dikemukakan oleh Mead dan Blumer ini memiliki kaitan
dengan kebebasan individu dan kendala sosial. Untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan, mengambil posisi yang berada ditengah-tengah dalam menykapi
pertanyaan ini. mereka mencoba untuk menjelakan keteraturan dan perubahan
dalam proses sosial. Adapun 2 asumsi yang memiliki kaitan dengan tema ini.
kedua asumsi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Orang dan kelompok dipengaruhi oleh budaya dan proses sosialAsumsi ini
mengakui bahwa norma sosial membatasi perilaku dari individu. Misalnya jika
kita adalah seorang perokok, tidak mungkin kita akan memaksakan diri
untuk merokok di kawasan Rumah Sakit. Hal tersebut kita lakukan karena
perilaku tidak merokok kita ketika berada di Rumah Sakit merupakan perilaku
yang sesuai secara sosial dalam konteks lingkungannya.budaya juga sangat
mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita hargai dalam Konsep Diri kita.
Contohnya, di SMA yang ada di Jakarta, orang yang melihat diri mereka sebagai
seorang jagoan atau pemangku kekuasaan di tongkrongan cenderung bangga
dengan pandangannya tersebut dan mencerminkan konsep diri mereka dengan
baik. Hal ini dapat teradi karena di kebanyakan SMA di Jakarta, memiliki
budaya senioritas yang tinggi sehingga menjadi jagoan atau kekuasaan
diantara ketiga angkatan di SMA nya merupakan suatu hal yang sangat
dihargai. Berbeda jika konsep ini diterapkan pada SMA swasta yang tidak
memiliki budaya senioritas, mereka akan menganggap kekuasaan atau menjadi
jagoan merupakan suatu hal yang membuang-buang waktu belajar mereka saja.b.
Struktur sosial terbentuk melalui interaksi sosialAsumsi ini memediasi posisi
yang diambil oleh asumsi pertama. Interaksi Simbolik menentang pandangan
bahwa struktur sosial tidak dapat berubah dan mengakui bahwa individu dapat
memodifikasi situasi sosial.Interaksi dapat merubah struktur sosial dan
interaksi tidak sepenuhnya dibatasi oleh struktur sosisal. Interaksi Simbolik
percaya bahwa manusia lah yang membuat pilihan, dan dengan adanya pilihan
ini manusia dapat merubah struktur sosial yang ada, jadi manusia tidak
sepenuhnya harus mematuhi struktur sosial yang telah ada.
Dari interkasi-interkasi yang sering kita lakukan tersebut, kadang kala kita
tidak merasa nyaman dengan interaksi tersebut. Rasa canggung yang mungkin
muncul saat kita bertemu dengan seseorang saat kita berinteraksi. Seperti saaat
kita bertemu tetangga saat kita sedang berjalan menuju warung, ada
ketidakpastian saat kita ingin menuegurnya. Atau mungkin saat kita sedang
melaksanakan sholat jumat dan tepat disebelah kita ada orang lain juga yang ingin
melaksanakan sholat jumat, ada kecanggungan dan ketidakpastian tentang
bagamaimana kita harus bersikap.Hal-hal lainnya yang mana mungkin
membentuk keatidaknyamanan di dalam lingkungan yang ada. ketidaknyaman ini
mungkin bisa didapat lingkungan yang ada, atau mungkin dari siapa kita
berinterkasi dana juga keberlangsungan interaksi tersebut. Dari ketidaknayaman
itulah yang mungkin membuat adanya ketidakpastian atas respon dari interkasi
yang telah terjadi.
Ketidak nyamana juga bisa terjadi ketika kita berinterkasi dengan orang
baru pertama kali brinterkasi dengan kita. Kita akan mencoba menebak
bagamaimana karakter dari orang tersebut, sehingga mungkin kita akan ada di
dalam posisi yang tidak nyaman karena ketidakpastian yang ada. Dalam proses
memprediksi tersebut biasanya kita akan mencoba menaruh harapan tentang
bagaimana orang yang sedang berinterkasi dengan kita. Dalam proses ini juga kita
akan berharap bahwa proses interaksi awal ini bisa berjalan dengan baik. Didalam
ketidakpastian kita akan mecoba untuk memahami bagaimana orang yang
berinterkasi dengan kita tersebut menanggapai interaksi kita. Ketidakpastian juga
bisa terjadi ketika kita sedang mealakukan wawancara saaat kita mencoba untuk
mendapatkan sebuah pekerjaan yang kita inginkan. Ketidakpastian tersebut
muncul dari harapan kita atas wawancara tersebut.
Dari hal-hal tersebut kita mungkin akan mencoba untuk bisa mengurangi
ketidakpastian tersebut. Dengan tujuan untuk memahami keadaan dari interkasi
yang sedang berlangsung. Kita akan mencoba untuk bisa menyusaikan diri kita
dengan ineteraksi yang sedang berlangsung. Atau mungkin kita juga akan
mencoba untuk bisa menafsirkan respon yang diberikan lawan bicara kita saat
interaksi tersebut berlangsung. Dari sinilah beberapa ahli seperti Charles
Berger dan Richard Calabrese mengkaji lebih dalam mengenai fenomena yang
berlangsung saat kita berinterkasi dengan individu lainnya.
Ada juga penjelasan mengenai teori ini yang diungkapkan oleh Berger dan
Gudykunst, yang menyatakan bahwa Prinsip utama teori pengurangan
ketidakpastian adalah bahwa orang yang bertemu untuk pertama kalinya pada
dasarnya termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian tentang perilaku mereka
sendiri dan perilaku pasangannya (Berger & Gudykunst, 1991; Knobloch, 2016,
hlm. 2). Serupa dengan apa yang dijelaskan sebelumnya, bahwa seseorang
melakukan interaksi pertama kali akan berusaha untuk bisa mengurangi
ketidakpastian yang terjadi. Disana juga dijelaskan bahwa individu mengalami
ketidakpastian sebagai bagian dari proses proaktif memprediksi perilaku masa
depan serta proses retroaktif menjelaskan perilaku sebelumnya (Knobloch, 2016,
hlm. 2). Teori ini jug mengambarkan ketidapastian dalam itu sendiri, dikutip dari
apa yang dikatan Berger dana Badac, bahwa teori pengurangan ketidakpastia
mengkonseptualisasikan ketidakpastian sebagai produk dari kuantitas dan
probabilitas hasil yang mungkin terjadi dalam situasi tertentu (Berger & Bradac,
1982; Knobloch, 2016, hlm. 2). Disini menjelaskan bahwa ketidakpastian terjadi
pada suatu keadaan tertentu dari hasil kita melakukan interaksi. Orang-orang
mengalami ketidakpastian yang substansial ketika beberapa alternatif sama-sama
mungkin terjadi. Sebaliknya, mereka mengalami lebih sedikit ketidakpastian
ketika satu alternatif sangat mungkin terjadi. Yang pada intinya Knobloch
menjelaskan bahwa Ketidakpastian adalah fitur mendasar dari komunikasi
interpersonal. Misalnya, orang asing menghadapi ketidakpastian saat bertemu satu
sama lain untuk pertama kalinya, pelamar kerja mengalami ketidakpastian saat
wawancara kerja, rekan bisnis menghadapi ketidakpastian saat berjejaring di acara
profesional, teman menghadapi ketidakpastian saat membuat rencana untuk
menghabiskan waktu bersama, mitra kencan mengalami ketidakpastian saat
bertemu. mengukur komitmen satu sama lain untuk hubungan, pasangan
menghadapiketidakpastian ketika merundingkan rutinitas keluarga, dan orang tua
menghadapi ketidakpastian ketika berusaha untuk memberikan contoh yang baik
bagi anak-anak mereka (Knobloch, 2016, hlm. 1).
Lalu ada pendapat lain juga mengenai teori ini. pendapat tersebut datang
dari Michael Sunafrank (1986), yang menyatakan bahwa pengurangan
ketidakpastian bukanlah perhatian utama individu selama fase masuk ini, seperti
yang dikemukakan sebelumnya. Sebaliknya, pengurangan ketidakpastian
dilemparkan sebagai bawahan dari perhatian yang lebih sentral dari peningkatan
hasil relasional yang pasti. Dari pandangan tersebut kita diberikan pemahaman
bahwa pengurangan ketidakpastian bukanlah sebuah perhatian khusus ketika kita
sedang melakukan interkasi dengan orang yang baru kita kenal. Dalam tulisannya
juga, Sunafrank menjelaskan bahwa teori ini berfokus secara eksklusif pada
pengaruh potensial ketidakpastian dan pengurangan ketidakpastian selama
perkenalan awal. Ini mengartikan bahwa teori ini lebih menekankan kepada
pengaruh ketidakpastian yang ada.
Karena pada dasarnya teori ini dikembangkan oleh cukup banyak ahli,
sehingga teori ini memiliki penafsiran yang cukup beragam. Seperti halnya yang
coba dijelaskan oleh William B. Gudykunst, Tsukasa Nhisida ,Seung-Mock Yang.
Dalam kajiannya mereka mencoba menjelaskan bahwa, Teori pengurangan
ketidakpastian berfokus pada interaksi awal. Konstruk sentralnya adalah
ketidakpastian dan teori menjelaskan hubungan beberapa variabel (misalnya,
kesamaan, ketertarikan, jumlah komunikasi) dengan pengurangan ketidakpastian
dalam interaksi dengan orang asing (Berger & Calabrese 1975; Gudykunst, 1985,
hlm. 407). Senada dengan penjelasan sbeleumnya, bahwa teori ini berkutat
tentang interkasi awal. Yang berbeda dijelaskan bahwa teori ini berkaitan dengan
kesamaan, kertarikan, dan jumlah komunikasi yang mungkin mempengaruhi
ketidakpastian tersebut.
Komponen inovatif kedua dari teori ini adalah bahwa teori tersebut telah
memicu dekade perdebatan berkelanjutan dan berteori tentang bagaimana orang
berkomunikasi ketika mereka tidak yakin dengan lingkungan sosialnya. Sejumlah
teori yang lebih kontemporer telah memperluas, menantang, menyempurnakan,
atau mengkontekstualisasikan asumsi inti teori pengurangan ketidakpastian,
termasuk teori manajemen kecemasan atau ketidakpastian oleh Gudykunst,
prediksi hasil teori nilai oleh Sunnafrank, model turbulensi relasional oleh
Solomon, Knobloch, dan Theiss, dan teori manajemen ketidakpastian dalam
organisasi oleh Kramer. Dengan menyediakan pintu gerbang untuk generasi
berikutnya dari berteori tentang ketidakpastian dalam episode komunikasi
interpersonal, teori pengurangan ketidakpastian telah sangat berhasil
mengembangkan percakapan intelektual yang terletak tepat di dalam disiplin
komunikasi.
Lalu teori ini terus dikaji, hingga pada tahu 1991 Berger dan Gudykunst
memiliki pndapat bahwa, Prinsip utama teori pengurangan ketidakpastian adalah
bahwa orang yang bertemu untuk pertama kalinya pada dasarnya termotivasi
untuk mengurangi ketidakpastian tentang perilaku mereka sendiri dan perilaku
pasangannya (Berger & Gudykunst, 1991;Knobloch, 2016, hlm. 2). Menurut teori
tersebut, individu mengalami ketidakpastian sebagai bagian dari proses proaktif
memprediksi perilaku masa depan serta proses retroaktif menjelaskan perilaku
sebelumnya. Teori pengurangan ketidakpastian mengkonseptualisasikan
ketidakpastian sebagai produk dari kuantitas dan probabilitas hasil yang mungkin
terjadi dalam situasi tertentu. Orang-orang mengalami ketidakpastian yang
substansial ketika beberapa alternatif sama-sama mungkin terjadi. Sebaliknya,
mereka mengalami lebih sedikit ketidakpastian ketika satu alternatif sangat
mungkin terjadi. Teori pengurangan ketidakpastian juga mendefinisikan dua jenis
ketidakpastian yang muncul selama episode komunikasi interpersonal.
Ketidakpastian kognitif muncul ketika individu tidak yakin tentang keyakinan
mereka sendiri dan keyakinan pasangan mereka. Ketidakpastian perilaku terjadi
ketika orang tidak mampu memprediksi dan menjelaskan tindakan mereka sendiri
dan tindakan pasangan mereka (Knobloch, 2016, hlm. 2).
Dalam sebuah teori, pada dasarnya akan ada landasan pemikiran yang
menjadi sebuah pondasi berpikir dari teori tersebut. Dan hal tersebut dikenal
dengan nama Asumsi. Asumsi dalam sebuah teori menjasi sebuah bentuk atau
cerminan dari pemikiran sang pencetus terhadapa pandangan duni mengenai teori
tersebut (West & Turner, 2010, hlm. 150). Dalam teori ini, dijelaskan oleh
Rhicard west dan Lynn H. Turner bahwa ada tujuh asumsi yang menjasi dasar
pemikiran dari teori pengurangan ketidakpastian ini. Ketujuh teori tersebut akan
dijelaskan lebih rinci dalam bahasan berikut.
Dalam asumsi yang selanjutnya ini dijelaskan bahwa pada dasarnya Teori
pengurangan ketidakpastian memajukan proposisi bahwa ketika orang asing
bertemu, ada dua perhatian penting: mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan
prediktabilitas. Sekilas, ini mungkin terdengar masuk akal, namun, karena Berger
(1995) menyimpulkan, "Selalu ada kemungkinan bahwa mitra percakapan
seseorang akan merespons secara tidak biasa bahkan untuk pesan yang paling
rutin sekalipun". Teori Pengurangan Ketidakpastian menunjukkan bahwa
kekhawatiran ini sering ditangani melalui pencarian informasi (Berger, 1975;
West & Turner, 2010, hlm. 151). Ketika kita berusaha berinteraksi dengan
seseorang yang baru, kita akan mencoba sekian banyak cara untuk bisa
menghentikan kecanggungan atau kecemasan yang kita miliki. Ini lah bentuk
dalam perilaku kita dalam mengurangi ketidakpastian yang cenderung kita
lakukan saat kita pertama kali bertemu dengan seseorang yang baru. Sedangkan
dalam upaya meningkatkan prediktibilitas kita akan melakukan pencarian
informasi biasanya mengambil bentuk mengajukan pertanyaan untuk
mendapatkan beberapa prediktabilitas. Hal ini yang biasa dilakukan oleh seorang
Politisi, mereka sering mengajukan pertanyaan ketika bertemu konstituen mereka.
Mereka menghabiskan waktu dengan pemilih di distrik mereka dan mengajukan
pertanyaan kepada mereka untuk mengetahui kebutuhan mereka. Proses ini bisa
sangat menarik, dan banyak orang melakukannya secara tidak sadar.
6. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagikan orang berubah sepanjang waktu.
Dalam asumsi yang satu ini menekankan pada sifat waktu. Ini juga
berfokus pada fakta bahwa komunikasi interpersonal adalah perkembangan. Teori
pengurangan ketidakpastian percaya bahwa interaksi awal adalah elemen kunci
dalam proses perkembangan (West & Turner, 2010, hlm. 152). Hal yang terjasi
pada interkasi awal yang kita lakukan, mungkin akan menetukan bagaimna
perkembangan interkasi itu sendiri. Sehingga interaksi awal menjadi penting
dalam sebuah pengurangan ketidakpastian. Disini juga dijelaskan bahwa
ketidakpastian akan berkurang dengan seiring perkembangan dari interaksi yang
tejradi, sehingga waktu merupakan suatu hal yang berkaitan dalam pengurangan
ketidakpastian. Kita bisa melihatnya dalam, pertimbangkan pengalaman Rita,
yang menghabiskan beberapa menit sendirian sebelum memasuki sebuah aula
untuk menghadiri pertemuan pertama Orangtua, Keluarga, dan Teman Lesbian
dan Gay. Dia segera merasa lebih nyaman ketika Dan, pendatang baru lainnya,
datang untuk memperkenalkan dirinya dan menyambutnya ke grup. Saat
keduanya bertukar informasi tentang kecemasan dan ketidakpastian mereka,
mereka berdua merasa lebih percaya diri. Saat mereka berbicara, Rita dan Dan
mengurangi ketidakpastian mereka tentang seperti apa anggota kelompok
pendukung lainnam. Dari sini kita bisa melihat bahwa Rita dan Dan adalah tujuan
yang diarahkan dan karena itu akan menggunakan sejumlah strategi komunikasi
untuk memperoleh informasi sosial. Mengurangi ketidakpastian adalah kunci bagi
Rita dan Dan (West & Turner, 2010, hlm. 152).
Aksioma
Aksioma 1
Melihat dari tingginya sebuah tingkat ketidakpastian yang ada pada awal
fase masuk, karena jumlah komunikasi verbal antara orang asing meningkat,
tingkat ketidakpastian untuk setiap interaksi dalam hubungan akan berkurang.
Ketika ketidakpastian semakin berkurang, jumlah komunikasi verbal akan
meningkat (Berger & Calabrese, 1975, hal. 102). Dijelaskan bahwa Aksioma ini
mengandaikan hubungan kausal timbal balik antara jumlah komunikasi verbal dan
tingkat pengurangan ketidakpastian; yaitu, pengurangan dalam tingkat
ketidakpastian umpan balik untuk menentukan jumlah komunikasi verbal.
Sebelumnya mengutip studi Lalljee dan Cook yang memungkinkan untuk
pertukaran dua arah menemukan bahwa jumlah kata per menit yang diucapkan
oleh interaksi meningkat secara signifikan selama periode sembilan menit.
Namun, studi oleh Berger dan Larimer mengungkapkan bahwa ketika umpan
balik tidak diizinkan di antara orang asing, jumlah kata per menit yang diucapkan
berkurang signifikan selama empat menit (Berger & Larimer, 1974; Berger &
Calabrese, 1975, hal. 102).
Aksioma 2
selama awal fase masuk mungkin yang menuntut jawaban yang relatif
singkat. Misalnya, permintaan informasi seperti pekerjaan seseorang, kampung
halaman, tempat tinggal sebelumnya, dan sebagainya, umumnya memerlukan
tanggapan yang relatif singkat. Tampaknya jika seseorang memberikan respons
yang relatif lama terhadap pertanyaan semacam itu, ia umumnya dinilai agak
negatif, terutama ketika jawaban terperinci atas pertanyaan itu tidak secara
eksplisit diminta. Dominasi pertanyaan jawaban singkat selama tahap awal fase
masuk memungkinkan para pelaku interaksi untuk mengambil sampel sejumlah
atribut yang berbeda dalam waktu yang relatif wkatu yang singkat.
Aksioma 3
Aksioma 4
Dalam diskusi mereka tentang teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor
berpendapat bahwa tingkat keintiman konten komunikasi cenderung meningkat
seiring waktu. Namun, penjelasan mereka tentang fenomena ini bertumpu pada
gagasan bahwa sebagai hubungan menjadi lebih bermanfaat dan lebih murah,
orang akan menjadi lebih intim. Penjelasan kami tentang fenomena yang sama
adalah bahwa ketika orang-orang terus berkomunikasi satu sama lain,
ketidakpastian mereka tentang satu sama lain berkurang. Penurunan
ketidakpastian menyebabkan peningkatan tingkat keintiman komunikasi (Altman
& Taylor, 1973; Berger & Celebrese, 1975, hal. 104). Taylor dan Altman
menyuruh mahasiswa dan rekrutan angkatan laut mengurutkan 671 topik
percakapan di sepanjang rangkaian keintiman. Secara umum ditemukan bahwa
topik yang termasuk dalam kategori seperti biografi, hobi dan minat, dan peristiwa
terkini mendapat peringkat keintiman yang rendah, sementara topik yang
termasuk dalam kategori agama, jenis kelamin, dan sikap pribadi mendapat
peringkat keintiman yang lebih tinggi. Taylor dan Altman menyarankan bahwa
pernyataan yang diskalakan dalam studi mereka dapat digunakan sebagai
pedoman untuk mengembangkan sistem penilaian untuk menilai tingkat keintiman
konten komunikasi (Altman & Taylor, 1966; Berger & Celebrese, 1975, hal.
104). Sermat dan Smyth (1973) mengikuti rekomendasi Taylor dan Altman dan
mampu mendapatkan reliabilitas interjudge yang dapat diterima dari keintiman
konten dalam penelitian mereka. Namun, Cozby (1973) telah menunjukkan bahwa
jenis topik yang Taylor dan Altman skalakan untuk nilai keintiman mungkin
sangat berbeda dari jenis konten komunikasi yang sebenarnya disampaikan selama
interaksi. Misalnya, menurut studi skala Taylor dan Altman, berbicara tentang
film adalah topik komunikasi keintiman yang relatif rendah. Namun, mungkin ada
banyak perbedaan dalam keintiman yang dirasakan antara percakapan di mana
orang yang berinteraksi berbicara tentang film "Mary Poppins" dan percakapan di
mana mereka bertukar pandangan tentang "Deep Throat." Jadi, meskipun studi
Taylor dan Altman dapat memberi kita pedoman yang agak umum tentang tingkat
keintiman konten komunikasi, jenis konten yang lebih spesifik dalam area topik
umum harus dinilai untuk nilai keintiman.
Aksioma 5
Aksiom 6
Jenis-jenis ketidakpastian
Ketidakpastian Kognitif
Ketidakpastian Perilaku
• Pendekatan Dualistik Melihat dua sisi dari kontradiksi sebagai dua entitas yang
berbeda yang sedikit tidak berhubungan dengan satu sama lain. Jadi misalnya
dalam pendekatan ini, untuk mendapatkan jawaban dari bagaimana keakraban
suatu hubungan, harus dievaluasi secara terpisah dengan menilai “seberapa akrab
hubungan dari dua belah pihak yang dirasakan oleh pihak A dibandingkan
dengan yang dirasakan oleh pihak B”. Gagasan Dualistik tentang pendekatan
ini memunculkan konsep untuk membingkai kontradiksi sebagai dua entitas yang
berbeda.
• temuan harus menawarkan ide lain untuk hasil translasi yang dapat
mendorong perubahan sosial yang positif.
Privasi tersendiri memiliki arti sebagai sesuatu hal yang sangat penting
bagi seorang individu masing-masing. Privasi dikategorikan sebagai suatu hal
yang penting bukan karena tanpa alasan. Privasi memiliki kemungkinan apabila
menyebar maka akan dapat membuat seorang individu merasa terpisahkan dengan
suatu kelompok. Selain itu privasi dapat memberikan sebuah perasaan bahwa diri
kita sendiri merupakan pemilik dari suatu informasi yang menjelaskan diri kita
sendiri secara sah bagi seorang individu tersebut. Manusia sebagai makhluk sosial
harus berusaha untuk menimbang berbagai tuntunan yang sesuai dengan kondisi,
situasi, dan orang lain yang berada di sekitar seorang individu tersebut.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya akan membahas secara
mendalam mengenai teori privasi komunikasi atau teori CPM serta unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur tersebut seperti definisi, sejarah, asumsi,
konsep, prespektif, kritik, hingga studi kasus supaya dapat lebih mudah untuk
memahami teori manajemen privasi komunikasi tersebut. Dengan itu mari kita
simak penjelasan yang pertama mengenai definisi dari teori manajemen privasi
komunikasi.
Pada dasarnya teori CPM ini berbasis aturan yang memiliki usulan bahwa
setiap individu dapat mengembangkan sebuah aturan guna membantu dirinya
dalam suatu kondisi untuk memutuskan terkait pengungkapan atau
penyembunyian suatu informasi yang bersifat pribadi. Sehingga dapat dikatakan
sebagai cara terbaik untuk melindungi suatu informasi privasi tersebut. Teori ini
memiliki pernyataan yaitu setiap individu dapat memaksimalkan sebuah manfaat
sambal meminimalisir risiko dari suatu pengungkapan melalui pengembangan
sebuah aturan. Mengembangkan suatu aturan dapat dengan melakukan proses
penstabilan melalui suatu penggunaan yang berulang kali. Namun hal tersebut
juga sangat bersifat situasional serta dapat berubah-rubah menyesuaikan dengan
keadaan yang baru atau dapat dikatakan berkembang. Terlebih banyak aturan
yang berbeda-beda yang digunakan di setiap proses manajemen pembatasan untuk
memutuskan suatu pengungkapan (Metzger, 2007).
Terdapat sebuah gagasan yang didasari oleh teori CPM yakni suatu
pengungkapan banyak terdapat manfaat serta risiko, sehingga seorang individu
harus menyeimbangkan suatu kebutuhannya yang memiliki persaingan antara
privasi serta pengungkapan. Pengungkapan memiliki manfaat seperti munculnya
ekspresi diri, pengembangan hubungan, bahkan hingga menjadi kontrol sosial.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa teori CPM pun memiliki risiko yang
meliputi hilangnya status sosial, harga diri, serta pengendalian terhadap hal
privasi. Ketika seseorang mengungkapkan suatu informasi pribadi maka saat itu
pula dirinya akan memberikan suatu hal yang menurutnya ialah milik diri dia
sendiri. Oleh sebab itu seorang individu wajib untuk mempertahankan terkait hak
dalam pengendalian baik sebelum ataupun sesudah melakukan suatu
pengungkapan. Hal tersebut dikarenakan efek dari suatu pengungkapan akan
membuat seseorang menjadi rentan dieksploitasi oleh orang lain karena adanya
perubahan sifat informasi yang semula bersifat pribadi menjadi bersama. Suatu
pengungkapan akan selalu memiliki keterlibatan dengan tingkat risiko yang
bermacam-macam yang memiliki peran sebagai pengarah untuk seorang individu
dalam menetapkan sebuah batas pada informasi yang sedang dipertimbangkan
oleh diri kita. Pembatasan ini yang memiliki kemungkinan berfungsi untuk
mengontrol siapa saja yang memiliki hak atas informasi seorang individu guna
menetapkan sebuah harapan atas informasi yang bersifat kepemilikan bersama.
Informasi yang bersifat kepemilikan bersama tersebut dikarenakan informasi
tersebut telah diungkapkan pada orang lain (Petronio, 2002).
Pada masa saat ini, bagi sebagian besar masyarakat, pengelolaan suatu
privasi termasuk ke dalam yang sangat penting terutama dalam kehidupan sehari-
hari. Namun tidak jarang adanya kesalah pahaman dalam makna pengungkapan
privasi dengan interaksi sosial. Teori CPM pertama kali dikembangkan oleh
Sandra Petronio, yang memfasilitasi mengenai pemahaman seorang individu yang
sedang melakukan hubungan sosial dengan bagaimana cara seseorang dapat
menangani suatu keputusan mengenai pengungkapan atau penyembunyian sebuah
informasi yang bersifat pribadi. Saat awal tahun 1980-an, teori CPM memiliki
perkembangan yang didasarkan dengan penelitian empiris. Sebab itu, prinsip-
prinsip dari teori CPM ini mengalami beberapa kali pengujian untuk mengetahui
kekuatan seseorang dalam mengungkapkan cara seorang individu dalam mengatur
informasi pribadi dirinya sendiri (Galvin et al., 2018, hal 796).
Teori CPM ini telah mengalami kemajuan yang semula berkembang dari
menyediakan struktur konseptual yang berfungsi untuk mengatasi permasalahan
kesenjangan dalam literatur pengungkapan pada saat itu. Sekitar tahun 1960-an
dan 1970-an, banyak sarjana dengan berbagai bidang keahlian memperluas
bahasan karya Sidney Jourard terkait pengungkapan diri. Terdapat kesulitan
dalam menafsirkan penemuan yang berbeda terlebih tanpa adanya peta
konseptual, meskipun telah mengumpulkan sejumlah besar penelitian. Sebab itu
pula terdapat satu rangkaian prinsip pengaturan yang memerlukan perkembangan
dengan tujuan dapat memahami terkait pengungkapan. Berdasarkan pernyataan
berikut telah jelas bahwa suatu pengungkapan yang berhubungan dengan privasi
atau dapat dikatakan sebagai dialektika ini memerlukan pertimbangan. Informasi
yang bersifat pribadi ini merupakan komponen utama dalam mengungkapkan atau
pengungkapan yang termasuk dalam proses seseorang tersebut yang membuat
informasinya menjadi bersifat publik (Galvin et al., 2018, hal 797).
Teori CPM dikembangkan atas penelitian yang telah ada sebelumnya yaitu
mengenai keterbukaan diri. Pada tahun 1960-an dan 1970-an pengungkapan diri
adalah hal utama yang terdapat dalam teori komunikasi. Teori penetrasi sosial
merupakan istilah yang digunakan ketika melakukan identifikasi terhadap proses
peningkatan sebuah pengungakapan dan keintiman di dalam suatu hubungan yang
dijalin. Teori penetrasi sosial merupakan karya Altman dan Taylor yang
mempunyai gerakan dalam rangkaian tradisi mengenai penyelidikan dalam suatu
pembangunan hubungan. Kedua ahli tersebut sepakat bahwa seorang individu
pasti memiliki sebuah organisasi yang sangat terorganisir bagian sistem
informasinya yang diketahui oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Di mana
informasi tersebut berisikan hal yang menjauh dari apa yang dilihat oleh orang
lain (Stephen W. Littlejohn et al., 2012, hal 224).
Ownership and Control of Private Information : People believe they own and
have a right to control their private information
Asumsi pertama yang terdapat dalam teori ini ialah mempercayai bahwa informasi
pribadi merupakan milik kami. Keyakinan yang begitu kuat dalam diri kita
membuat Petronio mengemukakan definisi privasi sebagai perasaan yang dimiliki
seseorang yang bertujuan untuk memiliki suatu informasi pribadi. Melalui
kepemilikan akan menyampaikan hak dan juga kewajiban kita. Karena privasi
memberikan dukungan perasaan kepada kita secara otonom dan membuat diri kita
merasa menjadi sedikit lebih kebal. Kepemilikan informasi yang bersifat pribadi
juga dapat dijadikan sebagai kewajiban. Saat kita telah mengetahui suatu rahasia
yang tidak diketahui oleh siapapun, maka secara otomatis kita yang
bertanggungjawab atas informasi rahasia tersebut. Kita juga akan dimintai bentuk
pertanggungjawaban mengenai bagaimana car akita menanganinya. Sebab itu, kita
perlu melakukan usaha guna mengendalikan orang-orang yang berhak
mengetahuinya. Salah satu professor komunikasi yakni Braithwaite
mengungkapkan mengenai cara penyandang disabilitas fisik dalam mengelola
Batasan privasi mereka. Menurutnya, apabila orang-orang yang mengalami
paraplegia biasanya menjawab pertanyaan tersebut dengan anggapan yang pantas
untuk dibicarakan atau jika yang mengajukan pertanyaan tersebut ialah anak-anak.
Akan tetapi apabila yang menanyakan hanya karena rasa ingin tahu saja maka
mereka akan menanggapi dengan marah. Karena menurut mereka hal tersebut
merupakan hal yang tidak wajar. Semua orang-orang yang diwawancarai oleh
profesor tersebut percaya bahwa mereka memiliki informasi yang bersifat pribadi
dan mereka juga seringkali melakukan pertahanan kendali atas pengungkapan
suatu informasi pribadi. Hal tersebut berlaku bagi kita semua yang membuat
Batasan aturan dalam penyebaran mengenai apa yang kita ketahui (Griffin Em,
Ledbetter Andrew, 2019, hal 147).
Rules For Concealing and Revealing : People control their private information
through the use of personal privacy rules.
Terdapat sebuah cara mudah yang berguna untuk memahami mengenai maksud
dari seseorang dengan mengingat setiap orang pasti memiliki aturan tersendiri
dalam mengelola informasi pribadinya. Apabila terdapat sebuah pola
pengungkapan di dalam suatu kelompok kemudian anggotanya melakukan
penawaran untuk menjelaskan hal serupa sebagai bentuk tindakan yang
diartikulasikan sebagai aturan yang berada di internal yang hadir untuk memandu
keputusan mereka. Aturan-aturan tersebut merupakan panduan dalam melakukan
interpretasi dibandingkan dengan hukum yang ketat. Secara prakteknya, mereka
melakukan bantuan kepada orang-orang yang merasa mereka memiliki akses atas
informasi pribadi dirinya. CPM memberikan pernyataan bahwa terdapat lima
faktor yang memiliki peran dalam pengembangan privasi kami sendiri. Kelima
faktor tersebut ialah : budaya, gender, motivasi, konteks, dan rasio risiko-manfaat.
Kelima faktor tersebut membuktikan terutama dalam sebuah penelitian nya
Petronio yang meminta dari 38 korban pelecehan seksual dengan rentang usia 7-
18 tahun, bahwa pada anak-anak hingga remaja yang melaporkan dirinya
merupakan korban dari pelecehan seksual setelah mendapatkan izin dari orang
tuanya (Griffin Em, Ledbetter Andrew, 2019, hal 147-148).
Private Information
Berdasarkan prinsip yang ada pada teori CPM ini mempercayai bahwa
setiap seorang individu tentunya memiliki informasi pribadi yang hanya dimiliki
oleh mereka sendiri. Meskipun informasi pribadi tersebut telah diberikan izin
untuk diketahui oleh orang lain, maka yang seharusnya menjadi miliki bersama,
namun pemilik asli akan tetap menganggap bahwa hanya dirinya seorang yang
menjadi pemilik tunggal dari informasi tersebut (Petronio, S., & Gaff &
Practices., 2010). Menurut pernyataan berikut, dilihat dari sudut pandang perilaku,
seorang individu akan merasa dirinya sang pemilik informasi pribadi tersebut
sama hal nya dengan cara yang sama jika seseorang tersebut memiliki barang atau
benda lainnya (Child, J. T., Pearson, J. C., & Petronio, 2009). Artinya seseorang
itu dapat meminjamkan barangnya tersebut kepada siapa saja, akan tetapi mereka
memiliki keyakinan bahwa barang atau benda nya itu ialah masih menjadi milik
mereka sendiri (Child et al., 2011) .
Private Boundaries
Walaupun sang pemilik privasi memiliki anggapan bahwa hak kontrol atas
informasi pribadi, dirinya juga memiliki keinginan untuk orang lain yang dipilih
sebagai lawan bicara ikut berpartisipasi dalam manajemen mereka sesuai dengan
aturan dari sang pemilik. Pemilik informasi menginginkan pemilik informasi
bersama yang mempunyai wewenang untuk mengikuti ekspetasi dari aturan
privasinya. Misalnya, melakukan klarifikasi atas siapa saja yang berhak
mengetahui informasi pribadi tersebut, seberapa banyak informasi yang dapat
diungkapkan kepada orang lain, serta tingkatan nilai dari independensi pemilik
yang memiliki kemungkinan bahwa pemilik bersama dapat menentukan akses
untuk pihak ketiga (Child JT, 2015). Saat pemilik informasi memberikan akses,
mereka juga mengharapkan rekan pemilik tersebut untuk mengikuti aturan dari
privasi sang pemilik (Brockhage K, 2016). Sehingga koordinasi kepemilikan dan
juga harapan dapat terkontrol dengan baik. Akan tetapi pada kenyataannya,
penerima informasi pribadi tidak konsisten dalam mengikuti peraturan privasi dari
sang pemilik (Venetis MK, Greene K, et all 2012).
Privasi Batasan dapat mengatur tingkat kontrol suatu privasi yang di mana
batas nya disesuaikan dengan kontrol yang rendah ketika terdapat beberapa
pembatasan terhadap akses, kepercayaan yang relative, dan Batasan yang lebih
mudah untuk ditembus. Ketika tingkat kontrol tinggi maka Batasan menjadi tebal,
kepercayaan rendah, serta terdapat beragam Batasan (Hammonds, 2015). Seperti
ketika pemilik informasi yang akan memberlakukan kontrol yang tingkatan nya
tinggi maka akan cenderung memahami aturan privasi yang dianggap membatasi
beragam informasi yang pribadi secara lebih lanjut dengan pemilik bersama.
Contoh nya seperti kata-kata “jangan diberi tahu siapapun kecuali si Y” (Petronio,
1991). Namun pemilik informasi akan merasa lebih nyaman dengan tingkat
kontrol yang rendah karena memberikan keleluasaan yang signifikan untuk
pemilik bersama di masa depan ketika berbagi informasi yang dimiliki secara
bersama. Contoh nya itu seperti “Beri tahu pada siapapun yang anda dapat
percayai”.
Konsep yang ketiga dalam teori CPM ini memiliki kaitan dengan kontrol
dan kepemilikan. Praduga ini sangat ketergantungan pada gagasan seorang
individu merasakan dirinya memiliki informasi bersifat pribadi tentang diri
mereka sendiri. Berperan sebagai pemilik dari informasi pribadi tersebut, dirinya
mempercayai bahwa mereka memiliki kewajiban untuk berada dalam posisi utama
untuk mengontrol siapa saja yang diizinkan untuk mengakses informasi tersebut.
Sebagai analogi nya kita dapat mengambil contoh ketika Lisa mendapati pesan
dan telepon yang tidak dia inginkan maka dia akan merasa kehilangan kendali
terkait akses ke sisi pribadinya. Meskipun Lisa belum memberi tahu siapa serta
bagaimana yang mengiriminya pesan dan telepon yang tidak senonoh tersebut, hal
tersebut sudah melanggar dari rasa kontrol Lisa atas informasi pribadi yang dia
yakini miliknya (West & Turner, 2010, hal 225).
Kriteria kedua yaitu kriteria gender memiliki acuan pada sebuah perbedaan
yang memiliki kemungkinan terdapat diantara pria dan perempuan dalam
menggambar Batasan privasi mereka sendiri. Pria dan Wanita diberi arahan
terlebih dahulu untuk melakukan pengembangan aturan yang berbeda terkait cara
pengungkapan serta operasinya suatu privasi (West & Turner, 2010, hal 230).
Boundary Coordination
Boundary Turbulence
Management Dialectics
Konsep kelima pada teori CPM ini ialah dialektika manajemen privasi
yang memiliki fokus pada ketegangan yang terjadi diantara kekuatan yang
memiliki anjuran untuk mengungkapkan atau menyembunyikan informasi yang
bersifat pribadi. Petronio mengemukakan sebuah pendapat bahwa tesis dasar dari
sebuah teori itu ialah kesatuan pada dialektika. Dialektika yang berpacu pada
ketegangan yang dirasakan oleh seseorang karena adanya pertentangan serta
kontradiksi (West & Turner, 2010, hal 227).
Teori Disonansi Kognitif merupakan salah satu teori terpenting yang ada
didalam tradisi sosio-psikologi, teori yang pertama kali dirumuskan oleh
Leon Festinger pada pertengahan tahun 1950-an ini membahas tentang
bagaimana persepsi dan kognitif mempengaruhi dan dipengaruhi oleh motivasi
dan emosi. Untuk lebih memahami arti dari pernyataan tersebut maka pertama-
tama kita akan menjelaskan definisi dari Disonansi Kognitif itu sendiri terlebih
dahulu.
a) Hubungan Konsonan
b) Hubungan Disonan
2. KOMUNIKASI SEMIOTIKA
Dalam kegiatan sehari-hari mungkin kita sering melihat simbol atau tanda
diberbagai tempat, seperti saat kita ingin pergi menuju toilet di sebuha mall maka
akan ada tanda atau simbol yang menunjukan bahwa tempat tersebut adalah
sebuah tolet. Atau ketika kita sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat,
sering kali kita akan melihat sebuah rambu-rambu lalu lintas yang memilki simbol
atau tanda yang mengartikan sebuah makna. Begitu juga ketika kita sedang
berkomunikasi dengan seseorang, kadang kita memberikan sebuah tanda atau
simbol yang mungkin dimengerti oleh oarng yang sedang berkomunikasi dengan
kita. Seperti kediapan mata atau tatpan mata yang mengarah kepada suatu objek
meruapakn sebuah contoh tanda yang ada dalam suatu komunikasi.
Dari tanda atau simbol yang sering kita temui sehari-hari, pernakah kalian
berfikir bagaimna sebuah tanda atau simbol tersebut bisa memiliki makna?,
seperti sebuah rambu lalu lintas bisa memiliki makan yan berebda beda dengan
rambu lalu lintasyang lainnya, atau ketika kita melihat dala sebuah film perang
dimana pihak yang emngalami kekalahan dalam perang akan mengangkat bendera
putih ketika mereka menyerah. Berndera putih yang disimbolkan menjadi tanda
untuk menyerah dan lampu merah yang memiliki arti berhenti ketika kita sedang
mengendarakan kendaraan, tidak serta merta begitu saja memiliki makna. Ada
alasan tersendiri mengapa simbol dan tanda tersebut bisa dimaknai demikian. Ada
hal yang mungki meatar belakangin hal-hal tersebut. Dan juga pernahkah
terpikirkan oleh kalian apakah semua simbol atau tanda memiliki makna masing-
masing ?, jika seseorang melakukan gerakan atau gestur bisakah itu memiliki
makna sehingga bisa menjadi simbol ?. Hal ini yang kemudian menjadi suatu
bahasan dalam Teori Semiotika, tentang bagaimana suatu simbol atau tanda
memiliki makna, dan bagaimana simbol atau tanda tersebut dapat dimaknai dalam
suatu praktik komunikasi. Dan Berikut adalah beberapa Teori Komunikasi yang
masuk kedalam konteks komunikasi.
Teori Semiotika
Teori semiotika adalah sebuah teori tentang bagaimana suatu simbol atau
tanda dapat memiliki makna dan bagaiman simbol atau tanda tersebut dimaknai.
Teori tanda, semiotika atau semiologi (Yunani: 'semeion' = kependekan dari
'sema' = tanda atau tanda), memiliki sejarah panjang yang bermula dari para
filosof Yunani kuno. John Locke dalam karyanya Essay Concerning Human
Understanding, memperlakukan semiotika bersama-sama dengan fisika dan etika
sebagai salah satu dari tiga cabang utama pengetahuan manusia. 'Semiotika' dan
'semiologi' tumpang tindih tetapi mereka memiliki rasa yang berbeda. 'Semiotika'
cenderung lebih berhubungan dengan logika aspek tanda, sedangkan 'semiologi'
cenderung lebih berhubungan dengan peran yang dimainkan tanda dalam
masyarakat dan bahasa. Semiotika dikaitkan terutama dengan karya Charles
Sanders Peirce, dan Ahli logika Amerika yang berkembang pada pergantian abad
ke-19 dan ke-20 -Peirce menciptakan kalkulus relasional, dasar teknologi basis
data relasional dan metode pemetaan kognitif yang baru saja ditemukan kembali
oleh para insinyur pengetahuan. Semiologi dikaitkan dengan tradisi yang berasal
dari Ferdinand de Saussure yang meninggal pada tahun 1913 tetapi paling dikenal
oleh Cours de Linguistique General-nya yang diterbitkan dari catatan murid-
muridnya pada tahun 1949. Secara agak luas, semiotika diasosiasikan dengan
tradisi Ango·Saxon atau Eropa Utara dengan citarasa ilmiah yang relatif formal,
logis, sedangkan semiologi adalah terletak secara spiritual di Eropa Selatan dan
memiliki cita rasa kritik sastra dan politik analisis. Tantangan yang kita hadapi
dalam mengembangkan kerangka konsep sistem informasi adalah bahwa: konsep
sentral, yaitu informasi, sangat kabur. Informasi pasti tidak cocok sebagai gagasan
primitif yang menjadi dasar ilmu pengetahuan. Semiotika memberikan konsep
tanda sebagai gagasan primitif, yang dapat dipahami atas dasar demonstrasi, atau
definisi ostensif, dan di atasnya kita dapat membangun definisi teknis yang baik
tentang 'informasi', 'makna', 'komunikasi' dan seterusnya. Kontribusi penting
lainnya untuk kami pekerjaan berasal dari pembagian semiotika yang mapan
menjadi sub-disiplin yang dapat dipelajari secara relatif mandiri, dan digunakan
untuk memusatkan perhatian pada yang relatif mandiri area masalah.
tentang tanda. Dan ada juga Umberto Eco yang berpendapat bahwa semiotika
sebagai ilmu tentang segala sesuatu yang dapat disebut sebagai tanda.
Sebagai sebuah studi tentang tanda dan sistem tanda, teori semiotika
modern pertama kali muncul pada abad 17 yang ditandai dengan tulisan John
Locke yang menyatakan bahwa ketika berkomunikasi perlu menyertakan berbagai
ide yang jelas ke dalam kata-kata. Pada kisaran tahun 1950an – 1960an,
berkembang sebuah gerakan intelektual yang disebut dengan strukturalisme
dengan semiologi sebagai salah satu model. Tokoh-tokoh yang menjadi bagian
dari gerakan ini adalah Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, C. Levi-Strauss,
Julia Kristeva, Umberto Uco, Thomas Sebeok, dan Roland Barthes.
Strukturalisme dapat dikatakan berbeda dari ilmu bahasa karena fokus dari
strukturalisme adalah pada bahasa verbal dan pada setiap sistem tanda yang
bersifat seperti bahasa serta pemilihan teks dan artinya dalam kaitannya dengan
kebudayaan. Lebih lanjut McQuail menjelaskan bahwa semiologi atau semiotika
adalah ilmu umum tentang tanda yang mencakup strukturalisme dan hal-hal lain
yang sejenis. Karena itu, semua hal yang berkaitan dengan signifikansi
(signification) betapapun sangat tidak terstruktur, beraneka ragam dan terpisah-
pisah.
Ada dua hal yang menjadi landasan pemikiran dalam teori semiotika, yang
pertama ialah tanda merupakan kombinasi antara penanda dan pertanda. Lalu
suatu tanda tidak bisa berdiri sendiri, akan tetapi bagian dari sistem. Kedua hal
tersbeut akan dijelaskan lebih jelas sebagai berikut
Perbedaan antara penanda dan petanda dapat dilihat dalam deskripsi grafis
Barthes tentang tubuh seorang pegulat Prancis yang dipilih oleh promotor karena
ia melambangkan jorok yang menjijikkan: Begitu musuh berada di atas ring,
publik diliputi oleh kejelasan peran. Seperti di teater, setiap tipe fisik
mengekspresikan secara berlebihan bagian yang telah diberikan kepada kontestan.
Thauvin, seorang pria berusia lima puluh tahun dengan tubuh gemuk dan kendur. .
.menampilkan dalam dagingnya karakter kehinaan. . . . Oleh karena itu, fisik
pegulat merupakan tanda dasar, yang seperti benih berisi seluruh pertarungan.4
Menurut Barthes, gambaran fisik pegulat adalah penanda. Konsep kehinaan
adalah ditandai. Kombinasi keduanya — tubuh jahat — adalah tanda. Cara
mendefinisikan tanda ini berbeda dari penggunaan kata yang biasa kita lakukan.
Kita mungkin akan mengatakan tubuh pegulatadalah tanda tentang kehinaannya—
atau apa pun yang terlintas di benaknya. Tapi Barthes menganggap tubuh pegulat
itu adilbagian tanda keseluruhan; itu penanda. Bagian lainnya adalah konsep
kehinaan yang mengerikan. Penanda bukanlah tanda dari yang ditandakan.
Sebaliknya, mereka bekerja sama dalam ikatan yang tidak terpisahkan untuk
membentuk satu tanda. Deskripsi Barthes tentang tanda sebagai korelasi antara
penanda dan petanda datang langsung dari Saussure. Ahli bahasa Swiss
memvisualisasikan tanda sebagai selembar kertas dengan tulisan di kedua
sisinya—penanda di satu sisi, dan petanda di sisi lain. Jika Anda memotong
bagian dari satu sisi, jumlah yang sama dari sisi lain secara otomatis ikut
dengannya.Menggunakan metafora yang sama, saya melihat tanda-tanda sebagai
koin. Misalnya, gambar presiden suatu negara dicap di sisi "kepala" koin emas—
penanda. Hanya di sisi lain dari koin yang kita lihat nilainya di Amerika Serikat
adalah $1—yang ditandai. Penanda dan petanda tidak dapat dipisahkan. Mereka
digabungkan dalam referensi kami ke tanda moneter itu sebagai dolar emas AS.
Apakah ada hubungan logis antara citra penanda dan isi petanda? Saussure
bersikeras bahwa hubungan itu arbitrer—salah satu korelasi daripada sebab dan
akibat. Barthes tidak begitu yakin. Dia bersedia mengabulkan klaim Saussure
bahwa kata-kata tidak memiliki makna yang melekat. Misalnya, tidak ada apa-apa
tentang katawasit yang membuatnya berdiri untuk pihak ketiga di atas ring yang
tidak kompeten membuat Thauvin mengikuti aturan. Tetapi penanda nonverbal
tampaknya memiliki afinitas alami dengan petandanya. Barthes mencatat bahwa
tubuh Thauvin begitu menjijikkan sehingga memicu mual. Dia
mengklasifikasikan hubungan antara penanda dan petanda sebagai "semu
sewenang-wenang." Bagaimanapun, Thauvin benar-benar menyerang orang
banyak sebagai personifikasi kekejian (Griffin et al, 2018:321).
2. Sebuah Tanda Tidak Berdiri Sendiri: Itu Adalah Bagian dari Sistem.
Ada dua hal yang dibahas dalam konsep pad teori ini, yang pertama adalah
pemaknaan dari denotasi, dan yang kedua adalah pemaknaan dari konotasi. Kedua
hal ini akan dijelaskan sebagai berikut.
Sebelum terbentuk sebuah teori yang baik dan akurat, setiap teori memiliki
sebuah pemikiran dasar yang melandasi teori tersebut. pemikiran dasar atau
asumsi ini membentuk cara pandang dalam suatu teori. Hal ini juga membentuk
kerangka berpikir dalam suatu teori yang ada. Dalam teori studi budaya ini ada
beberapa asumsi yang dapat kita telaah dalam kajiannya. Asumsi-asumsi itu akan
dijelaskan sebagai berikut.
Orang adalah bagian dari struktur hierarki kekuasaan, Asumsi kedua dari
teori budaya berkaitan dengan orang sebagai bagian penting dari hierarki
sosial yang kuat. Kekuasaan beroperasi di semua tingkatan dalam
masyarakat. Namun, kekuasaan dalam pengertian ini tidak berdasarkan peran,
seperti yang kita pertimbangkan dalam diskusi kita tentang Teori Strukturasi
di Bab 15. Sebaliknya, Hall tertarik pada kekuasaan yang dipegang oleh
kelompok sosial atau kekuasaan antar kelompok. Makna dan kekuasaan
terkait secara rumit, karena Hall (1989) berpendapat, "Makna tidak dapat
dikonseptualisasikan di luar bidang permainan hubungan kekuasaan" (hal. 48).
Sesuai dengan tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh
kelompok-kelompok bawahan tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi
perebutan kekuasaan, dan pemenangnya biasanya adalah orang yang berada di
puncak hierarki sosial.
Contoh dari apa yang kita diskusikan di sini dapat diamati dalam budaya
AS yang mementingkan keindahan. Ahli teori dalam Cultural Studies berpendapat
bahwa karena kecantikan sering didefinisikan sebagai kurus dan tampan,
siapa pun yang tidak cocok dengan kualitas ini akan dianggap tidak
menarik. Hall mungkin percaya bahwa orang-orang yang menarik—di puncak
hierarki sosial mampu menggunakan lebih banyak kekuasaan daripada
mereka yang berada di bawah (yang tidak menarik).Mungkin sumber kekuatan
utama dalam masyarakat kita, bagaimanapun, adalah media. Hall (1989)
menyatakan bahwa media terlalu kuat. Dia tidak malu dalam mendakwa karakter
media dengan menyebutnya tidak jujur dan “pada dasarnya kotor” (hal. 48).
Dalam budaya yang beragam, Hall berpendapat, tidak ada institusi yang
memiliki kekuatan untuk memutuskan apa yang didengar publik. Gary
Woodward (1997) menarik kesimpulan serupa ketika menyatakan bahwa ada
tradisi di mana jurnalis menjadi penjaga aktivitas budaya bangsa: Jika media
menganggap sesuatu itu penting, maka sesuatu itu juga penting; peristiwa
yang tidak penting tiba-tiba menjadi penting.
Pada dasarnya semua informasi yang kita dapatkan, mayoritas kita dapatkan dari
media yang ada pada hari ini. Mulai dari media cetak hingga media elektronik.
Kehidupan kita di zaman yang serba digital ini membuat kita akan terus selalu
membutuhkan media, yang pada akhirnya kita memiliki ketergantungan terhadap
media itu sendiri. Alasan kita memilih suatu media dan mengkonsumsi mungki
menjadi suatu pertanyaan, mengapa kita memilih televisi dibandingkan radio?,
mengapa anak kecil lebih menyukai komik daripada koran ?. Dari pertanyaan ini
lah Teori uses and gratification lahir.
Teori uses and gratifications adalah suatu teori yang mebahas mengenai
bagamaina seseorang memilih secara khusus suatu media untuk memenuhi
kebutuhannya. Teori ini juga sangat erat kaitannya dengam komunikasi massa.
Pada dasarnya, teori ini menekankan mengenai fungsi dari suatu media itu sendiri.
Teori ini juga bisa digambarkan sebagai sebuah cerminan keinginan untuk
memahami keterlibatan khalayak dalam komunikasi massa dalam hal lebih setia
pada pengalaman dan perspektif pengguna individu daripada efek yang bisa
dicapai tradisi (Blumler, 1979:10). Dari sini kita bisa melihat bahwa teori ini
muncul dari adanya ketdakpuasn individu kepada suatu media yan ada, sehingg
akhirnya menimbulkan suatu pertanyaan apakah media secara khusus dapt
memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarkat yan ada. sedangkan
menurut Katz, Blumler, dan Gurevitch, mereka menyatakan bahwa teori ini
sendiri merupakan suatu pendekatan yang mana merupakan upaya untuk
menjelaskan sesuatu dari cara individu menggunakan komunikasi, di antara
sumber daya lain di lingkungan mereka, untuk memenuhi kebutuhan mereka dan
untuk mencapai tujuan mereka, dan untuk melakukannya hanya dengan meminta
kepada mereka (Katz, Blumler, & Gurevitch, 19734:510). Masih dalam karya tulis
yang sama juga dijelaskan bahwa pada teori ini dijelaskan mengenai pendekatan
metodologis yang pada dasarnya serupa di mana pernyataan tentang fungsi media
diperoleh dari responden dengan cara yang pada dasarnya terbuka, tidak hanya itu
mereka berbagi pendekatan kualitatif dalam upaya mereka untuk
mengelompokkan pernyataan gratifikasi ke dalam kategori berlabel, sebagian
besar mengabaikan distribusi frekuensi mereka dalam populasi, lalu mereka tidak
berusaha untuk mengeksplorasi hubungan antara kepuasan yang terdeteksi dan
asal-usul psikologis atau sosiologis dari kebutuhan yang begitu terpenuhi. mereka
gagal mencari untuk hubungan timbal balik di antara berbagai fungsi media, baik
kuantitatif atau konseptual, dengan cara yang mungkin mengarah kepada deteksi
struktur kepuasan media (Katz, Blumler, & Gurevitch, 1974:509). Dari sini kita
mungkin bisa meyimpulkan bahwa pada dasarnya, teori ini mefokuskan kepada
apa yang diterima dari orang mengkonsumsi media, dari mulai kebutuhan apa saja
yan terpenuhi dan juga kepuasan dari audiens. Teori ini juga menjelaskan bahwa
seseorang akan mencari atau memilihi media tertentu untuk mendapatkan
kepuasan tertentu (west & Turner, 2010:393). Sedikit banyaknya mungkin kita,
bisa menarik kesimpulan bahwa teori ini menjelaskan mengenai perspektif
komunikasi psikologi yang mengkaji bagaimna individu menggunakan suatu
media massa, hingga menemukan alasan dari indovidu tersebut memilihi media
yang ada.
Pada awalnya teori ini dicetuskan pertama kali oleh Herta Herzog (1944),
yang berisikan tentang kajian berupa pengkalsifikasian perihal alasan mengapa
seseorang memilih media secara khusus. Jauh sebelumnya beberpa ahli mengkaji
tentang keterkaitan audiens dengan media massa yang mereka pilih, seperti yang
tertuang dalam analisis yang dilakukan oleh Liu Weiyan (2015). Disana dijelaskan
bahwa uses and gratification adalah pendekatan sebagai subtradisi penelitian efek
media (McQail, 1994; Weiyan, 2015:71 ). Lalu hal ini trus dikaji oleh beberapa
ahli hingga Herta Herzog merumuskan teori ini. Tidak berehenti disitu, teori ini
terus berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi yang mebuat media
massa menjadi lebih variatif. Menurut Blumer (1979), Pendekatan penggunaan
dan gratifikasi muncul paling menonjol di akhir 1950-an dan awal 1960-an pada
saat kekecewaan yang meluas dengan buah dari upaya untuk mengukur efek
jangka pendek pada orang-orang dari mereka oleh adanya paparan kampanye
media massa (Blumler, 1979:10). Pada masa itu kemunculan televisi memiliki
andil besar dalam berkembangnya teori uses and gratifications, orang-orang
merasa mendapatkan suatu media yang belum pernah mereka temukan
sebelumnya. Televisi juga menghadirkan suatu fenomena baru dalam media
massa saat itu, beberapa ahli mulai membandingkan media satu dengan yang
lainnya. Hingga akhirnya Katz bersama Blumler dan Gureviitch berpendapat
bahwa, analisis mengenai media massa tidak hanya berputar kepada apa yang
dilakukan oleh media terhadap audiens, tetapi juga meliputi tenatng pemilihan
yang dilakukan audiens untuk memenuhi kebutuhan secara khusus dan juga
kepuasan mereka.
Sebelum terbentuk sebuah teori yang baik dan akurat, setiap teori memiliki sebuah
pemikiran dasar yang melandasi teori tersebut. pemikiran dasar atau asumsi ini
membentuk cara pandang dalam suatu teori. Hal ini juga membentuk kerangka
berpikir dalam suatu teori yang ada. Ada lima asumsi yang melandasi teori ini
sendiri, asumsi asumsi tersebut akan diejlaskan lebih rinci pada pembahasan
berikut.
Orang berusaha memenuhi kebutuhan, dalam asumsi yang kedua ini kita
akan dijelaskan bagaimna seseorang memilih media berdasarkan hal yang ia
butuhkan. Kebutuhan dalam mememuhi sesuatu merupakan alasan dari asumsi ini,
misal seorang yang sedang memasak memilih untuk mengdenarkan lagi sebari
menunggu bahan-bahan disiapkan matang, ia lebih memilih untuk menghabiskan
waktu memasaknya dengan mendengarkan waktu karena membuat waktu terasa
lebihb menyenangkan, atau seseorang lebih memilih mendengarkan musik jazz
yang membuatnya merasa tenang dibandingkan dengan musik metal yang
memiliki irama ebih menggebugebu. Dari hal ini kita bisa melihat bahwa
seseorangakan memilih medianya ketika ia merasa media tersebut dapat
memenuhi kebutuhan dan juga kepuasannya.
Media bersaing untuk perhatian dan waktu kita, dalam asumsi yang ketiga
ini dijelaskan bahwa media sering kali menyita waktu dan oerhayian kita.
Seseorag bisa duduk di diam sembari mengakses gawainya dan mengakses media
sosial tanpa ia memperhatkan waktu, dan menggangu pekerjaan lainnya. Al ini
yang menjadi pembasan utama dalam asumsi ini, dimna media berlomba denagn
sumber lain yang ada untuk mendapatkan perhatian dan waktu. Dari kasus diats
juga kita bisa mengkaji lagi mengapa seseorang cenderung menghabiskan berjam-
jam didepan ponselnya dibandingkan pergi keluar untuk bersosialisai di
lingkungan sekitar. Atau mungkin kita bisa melihat dari kasus lainnya dimna
seseorang fans sepak bola lebih cenderung menonton pertandingan secara
langsung di stadium dibandingkan dengan, menontonnya melalui media televisi.
Hal ini lah memunculkan suatu opini dimna media bersaing untuk waktu dan
perhatian.
Konsep yang pertama ini adalah Ausdiens Aktif. Secara garis besar konep
ini mebahas mengenai penggunaan asudien terhadap media dan kegunan media
tersebut terhadap audiens. Tidak berhenti disitu, pad konsep ini juga menjelaskan
tentang ketidak sengajaan ketika seseorang menggunakan media, lalu tentang
selektivitas yang dilaukan seorang audiens terhadap media yang ingin ia nikamti,
dan mebahas pula mengenai kekebalan audiens terhadpa pengaruh yang ada.
kegunaan yang dijelaskna pada konsep ini bisa kita lihat ketika seseorang
membaca koran karena ingin mendapatkan berita terbaru pada ari iu. Kesengajaan
terjadi ketika motivasi orang sebelumnya menentukan konsumsi konten media
mereka (West & Turner, 2010:400). Selektivitas ini lebih menenkan kan kepada
refrensi dari sang penikmat media, misalnya seseorang yang menyukai drama
korea dapat menonton drama tersebut disalah satu situs streaming yang ada. kebal
terhadap suatu pengaruh mengartkan bahwa audiensa menciptakan makna sesuai
dengan apa yang mereka pikirkan, dan cenderung menghindari pengaruh dari
suatu media yang ada. Ketika seseorang membeli sebuah makanan, mereka
cenderung memilih makanan tersebut karena rasa dan kualitas dari makanan
tersebut dan bukan dikarenakan oleh suatu iklan yang ada. Dalam konsep ini juga
dijelaskan mengenai suatu perbedaan diantara aktivitas dan keaktifan. Disini
dijelaskan bahwa aktivitaslebih mengacu pada apa yang dilakukan konsumen
media (misalnya, dia memilih untuk membaca berita secara online daripada
membacanya di koran). keaktifan lebih dekat dengan apa yang benar-benar
menarik minat peneliti Uses and Gratifications: kebebasan dan otonomi khalayak
dalam situasi komunikasi massa (West & Turner, 2010:401).
Konsep yang kedua adalah Efek Media. Nyatanya kita tidak sungguh-
sungguh bebas dalam memilih media yang kita inginkan. Adanya situasi sosial
yang yang menuntut seseorang untuk mencari informasi dalam sebuah media.
Selain itu juga situas sosial bisa menciptakan sebuah konflik yang akhirnya
mengngiring seseorang kedalam tekanan untuk memperoleh kemudahan dalam
mengkonsumsi suatu media. Misalnya ketika kerusuhan yang tejradi pada suatu
demonstrasi, media akan secara sering memberikan informasi mengenai
demonstrasi tersebut. situasi sosial juga dapat memiskinkan peluang kehidupan
nyata untuk memenuhi kebutuhan tertentu, dan media dapat berfungsi sebagai
pengganti atau suplemen (West & Turner, 2010:403). Ada waktunya kita
menjadikan media menajdi sumber utama dalam medapatan informasi, sehingga
kita tdiak melihat sumber lainnya. Situasi sosial juga menekankan kepad nilai-nlai
tertentu, dan dapat ditegaskan dan difasilitasi oleh konsumsi media yang ada. yang
mana dapat diartkan bahwa situasi sosial dapat membuat keakraba dengan media
juga.
Konsep yang ketiga yaitu uses and gratifications dan new media. Dalam
konsep ini dijelaskan bahwa penggunaan kita terhadap media mungkin akan
berubah di masa depan dan dapat mengubah budaya yang sudah ada sebelumnya.
Tetapi hal terjadi malah seseorang akan meningkatkan rasa individualismenya,
menumbuhkan kepasifan, dan akan meningkatkan kreativitas. Harapan audiens
yang berharap bahwa media baru mungki akan terus mengubah masa depan kita.
Setiap hari kita selalu melihat atau mendengar berita atau informasi yang
berasal dari berbagai media masssa. Berita atau informasi ini memberikan
informasi mengenai keadaan dunia di sekitar kita, atapun di belahan dunia
lainnya. Mulai dari berita yang bersifat sanagat penting, seperti perkembangan
kasus COVID-19 di Indonesia, atau berita yang sebenarnya tidak terlalu penting
untuk kita ketahui. Ada juga berita tentang bencana alam, atau kematian seoarang
tokoh terkenal. Atau mungkin keadaan politik disuatu daerah atau negara. Tapi
pernahkah kalian berpikir, bahwa apa yang diberikan media kepada kita adalah
apa yang ingin media tunjukan, atau mungkin kalian pernah menyadari bahwa
media memilih berita yang mereka ingin beritakan karena memiliki maksud dan
tujuan tertentu ?. Hal ini sangat memungkinkan mengingat kita juga mungki tidak
mengetahui kebenaran atau keaslian dari berita tersebut.
Agenda setting ini sendiri biasanya digunakan dalam ranah politik, karena
dalam mencari informasi politik media adalah sumber yang tidak perlu diragukan
lagi keabsahannya. Hal ini juga yang disampaikan Maxwell dan Donald dalam
tulisannya bahwa Informasi di media massa menjadi satu-satunya kontak yang
dimiliki banyak orang dengan politik (McCombs & Shaw, 1972:176). Menjadi
masuk akal jika seseorang sering merasa kecewa dengan kinerja seorang tokoh
politik yang mana saat di media memiliki citra yang sangat amat bagus, tetapi
tidak dengan kinerja aslinya. Pada dasarnya teori ini juga memiliki keterkitan
dengan dunia jurnalistik. Agenda setting bisa megubah atau mempengaruhi
pemikiran maupun prilaku masyarakat karena tidak lepas dari sifat media itu
sendiri seperti yang dijelaskan oleh Eugene F. Shaw, bahwa media bersifat
persuasif dalam memfokuskan perhatian publik pada hal-hal tertentu peristiwa,
masalah, dan orang dan dalam menentukan pentingnya orang melampirkan untuk
urusan publik (Shaw, 1979:96). Dari sifat media ini juga yang memungkinkan
mengapa sebuah agenda setting dalam media massa bisa mempengaruhi
masyarakat. Dari bahas kita bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa agenda
setting merupakan sebuah cara yang dilakukan media dalam memilih berita atau
informasi mana yang ingin mereka berikan kepada publik.
Pada awalnya teori ini berasal dari buah pemikiran Walter Lipmann yang
ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Public Opinion. Disana dijelaskan
bahwa ia menganggap media memanipulasi informasi yang diberikan kepada
publik. Dimana media memberikan informasi atau berita yang mereka angap
penting, sehingga disini Walter Lippmann merasa bahwa adanya kekliruan dalam
fakta yang diberikan oleh sebuah media. Disini juga walter menyebutkan bahwa
fakta yang diberikan oleh media adalah sebuah informasi yang fatamorgana. Pada
awalnya teori ini berasal dari analisis William mengenai berita yang diberikan
media mengenai politik apda saat itu, dimna media memberikan berita yang
mereka tentukan saja. Pada masa itu juga banyak tokoh politik yang membangu
citra mereka melalui media. Orang-orang hebat, bahkan selama hidup mereka,
biasanya hanya dikenal publik melalui kepribadian fiktif (Lippmann, 1922:2).
Tidak berhenti disitu, ia juga menjelaskan bagaimana seseorang sulit untuk bisa
mengakses suatu kebenaran dari sebuah berita yang ada. menggabungkan dengan
ketidakjelasan dan kompleksitas fakta itu sendiri untuk menggagalkan kejelasan
dan keadilan persepsi, untuk menggantikan fiksi yang menyesatkan untuk ide-ide
yang bisa diterapkan (Lippmann, 1922:49).
Lalu pemikiran yang dicetuskan oleh Lippman ini kembali diteruskan oleh
McCombs dan Shaw apda tahun 1972. Mereka berdualah yang pertama kali
menyebutkan Agenda setting sebagai teori. Menurut kedua hali tersebut teori ini
membahas mengenai media massa bisa menciptakan opini atau sebuah pemikiran
yang bisa dianggap publik sebagai suatu hal yang peting. Atau bisa diartikan
bahwa penting atau tidaknya suatu isu sosial atau politik yang berkembang di
masyarakat, itu tergantung kepada apa yang diberikan oleh media kepada publik.
Sehingga media memiliki peran tersendiri dalam suatu isu sosial atau pilitik yang
ada. Hal ini dilihat mereka berdasarkan fenomena yang mereka lihat ketika
berlangsungnya kampanye sebelum pemilihan terjadi, dimna media berperan
seolah menyirakan berita yang memiliki tujun atau agenda tersendiri. Penelitian
yang dilakukan oleh McCombs dan Shaw menjadi sebuah pondasi yang melatar
belakanhi kajian mengenai Agenda Setting dikemudian hari.
Kajian mengenai agenda setting ini tidak hanya berhenti pada penelitian
Lippmann atau McCombs dan Shaw saja, dikemudian hari beberpa ahli juga
melakukan kajian mengenai agenda setting ini. Seperti yang dilakukan James W.
Dearing dan Everret M. Rogers dalam bukunya Agenda-Setting (Communicaton
Concepts). Disana dijelaskan bahwa menurut mereka Agenda Setting adalah
merupaka sebuah persaingan diantara isu-isu yang ada dalam menarik perhatian
publik dan dilakukan oleh penguasa yang ada. Lalu pada tahu 2002 Jennings
Bryant dan Susan Thompson berpendapat bahwa Agenda Setting merupakan
sebuah hubungan yang cukup kuat diantara berita yang disamapaikan oleh media
massa dengan isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat. Dari sini mungkin
kita bisa menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua penilitian tentang Agenda
Setting akan terus berkaitan dengan isu-isu sosial maupun politik di tengah publik.
Dalam teori ini ada tiga buah asumsi atau pemikiran dasar yang menjadi
landasan terhadap teori Agenda Setting ini, yang pertama adalah agenda setting
terjadi karena media harus selektif dalam memberitakan berita, yang kedua
keterbatasan ruang ruang media membuat media harus memilih berita mana yang
harus dilaporkan dan bagaimana melaporkannya, dan yang terkahir ialah apa
yang diketahui oleh khalayak merupakan produk gatekeeper (ruang redaksi) maka
agenda media membentuk publik. Dan ketigany memiliki makna tersendiri,
makana yang dimaksud akan diejelaskan sebagai berikut.
Dalam teori ini juga dibahas sebesar apa kemampuan media massa dalam
mempengaruhi pola pikir dan opini publik. Ini dikarenakan ruang yang didapat
oleh media sendiri cukup terbatas, sehingga media akan memilih berita apa yang
mereka ingin berikan dan jelaskan kepada publik. Seperti halnya yang dijelaskan
dalam buku Encyclopedia of Communication Theory, disana dijelaskan bahwa
media juga memilih bagaimana cara publik memandang sesuatu. Bagaimana
sebuah cerita diceritakan berkontribusi pada pembingkaiannya dan oleh karena itu
untuk komunikasi tentang bagaimana Isu dan aktor yang menyusun cerita harus
dievaluasi oleh penonton. (Littlejhon & Foss, 2009:33). Seperti yang telah
disebutkan, media akan mimilih bagaimana sebuah berita ingin dinilai oleh
publik. Contohnya ketika terjadi suatu demonstrasi, ada aparat yang melakukan
tindakan yang tidak seharusnya mereka lakukan kepada para pendemo. Media bisa
menetukan bagaimna berita ini ingin dinilai oleh masyarakat, pemilhan kata
diantara “Aparat bertindak diluar batas”, atau “Aparat bertindak tegas”
menjadikan dua buah framing mengenai tindakan yang dilakukan oleh aparat.
Dalam keterbatasan tersbeut media bisa memilih untuk membuat aparat terlihat
buruk dimata publik, atau media bisa saja membuat framing bahwa seolah-olah
aparat hanya melakukan tugasnya. Framing yang dilakukan oleh media ini juag
tidak hanya pada pemilihan kata yang pas atau tepat terhadap suatu informasi,
tetapi juga tentang bagaimna meddia membawakan berita tersebut, pengambilan
gambar juga bisa menjadi suatu cara dalam mebuat framing dalam suatu informasi
yang ada. Dari sini uag kita bisa melihat Agenda Setting yang dilakukan oleh
suatu media massa. Apakah media tersebut memberikan informasi karena
memiliki suatu agenda dalam membuat penilain baik terhadap aparat, atau
mungkin media memiliki keoentingan dalam memihak kepada para demonstran.
Tetapi media memiliki keterbatasan dalam melakukan hal tersebut, karena media
juga harus bisa menilai keadaan atau situasi dalam menyampaikan berita atau
informasi tersebut kepada publik.
Dalam konsep yang ada dalam teori ini, ada dua bahasan yang menjadi hal
utama. Yang pertama yakni tingkatan, dimana menjelaskan mengenai tahapan
atau proses terjadinya Agenda Setting, lalu ada aktor dari Agenda Setting yakni
orang-orang yang membuat atau menjalankan sebuah Agenda Setting.
1. Tahapan
Tingkatan Penjelasan
The media tell us what to think about Apa yang diangkat oleh media akan
menjadi pembicaraan masyarakat (media
mempengaruhi opini publik)
The media tell us which attributes of Pada suatu isu media akan menonjolkan
issues are most immportantthe media aspek tertentu yang dianggap lebih
penting (framing)
Tell us which issues go together Suatu isu yang diangkat media akan
berkaitan dengan issue yang lain.
1.1 The media tell us what to think abaout .
1.2 The media tell us which attributes of issues are most immportantthe
media
Dalam tingkatan selanjutnya media akan memberitahu apa yang isu yang
menjadi penting di masyarakat. Media akan melakukan framing dalam membuat
suatu isu tersebut menjadi penting. Pendapat ini berkembang dari sebuah
pemikiran bahwa berita mungkin menekankan suatu topik, seperti kejahatan atau
pengangguran, dan dengan demikian orang akan setuju bahwa itu adalah masalah
penting, tetapi kemudian mereka memutuskan sendiri apa yang mereka pikirkan
tentang hal itu (Griffin et al, 2018:370). Dari sini kita melihat bahwa ada upaya
yang dilakukan media untuk menentukan apakah sebuah isu tersebut bisa menjadi
penting atau tidak. Lalu muncul pula pemikiran bahwa Media tidak terlalu
berhasil dalam memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi mereka sangat
berhasil dalam memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan (Griffin et al,
2018:370). Sehingga dari sini kiat bisa menyadari apa yang diabahas oleh kita
dalam sebuah diskusi atau obroaln publik merupakan buah dari berita yang media
massa sajikan kepada kita selaku penerima informasi. Dalam seperti yang telah
tadi disebutkan, media akan membaut seuah framing terhadap suatu isu sehingg
isu tersebut akan dianggap penting oleh masyarakat.
Dalam tingkatan yang ketiga ini, atau tigkatan yang terkahir dalam suatu
proses Agenda Setting, merupakan sebuah produk dari tahapan sebelumnya.
Dimana isu yang diangkat oleh media massa dan menajdi berita atau informasi
ang dibahas oelh publik, akan berkaitan dengan isu yang ada publik. Seperti apa
yang dijelaskan oleh Griffin dalam bukunya, ketika pemilu yang dilaksanakan
pada tahun 2016. Berita atau isu yang diangkata tidak hanya seputar pada pemilu
dan kampanye yang dilakukan oleh para kandidat, tetapi tentang kebijakan yang
berkaitan dengan permasalah publik saat itu. Seperti kebijakan yang mengatur
tenatng permasalah dengan imigran, dan lai halnya.. Seperti pembingkaian, jenis
koneksi ini tidak opsional. Dengan isi cerita dan penempatan di halaman web,
media mengirimkan sinyal tentang isu mana yang cocok. Level ketiga dari agenda
setting mengkaji bagaimana peta isu media mempengaruhi peta isu publik (Griffin
et al, 2018:371). Media juga akan mengaitkan isu tersbeut dengan isu lainnya.
Suatu Agenda Setting tidak tercipta begitu saja, hal ini pasti memiliki
alasan dan dan pihak yang menciptakan agenda tersebut. Dan berikut adalah
pihak-pihak yang mampu membuat sebuah Agenda Setting.
Suatu perusahaan media yang telah memiliki nam besar akan emiliki kuasa
yang cukup besar dalam menentukan berita apa yang menjadi penting atau pun
tidak penting. Hal ini dikarenakan ketika suatu perusahaan media telah memiliki
nama yang besar dan cukup dikenal oleh masyarakat, akan lebih dipercaya oleh
publik sebagai suatu sumber informasi atau media yang yang akurat dan juga.
Kepercayaan yang ada dimasyarakat ini lah yang membuat masayarkat bisa
dengan mudah mengkonsumsi Agenda Setting yang mungkin dcipatakan oelh
media. Publik akan percaya begitu saja kepada suatu berita yang media berikan,
tanpa ada memiliki rasa kecurigaan atau mengevaluasi informasi tersebut.
sehingga sangat memungkinkan ketika suatu perusahaan media yang telah
memiliki nama besar melakuka Agenda Setting dan berhasil membuat suatu opini
terhadap suatu isu yang terjadi di masyarakat.
Aktor yang kedua ialah media baru atau media yang memiliki basis
internet. Ini dikarenakan masayrakat sekarang pada dasarnya lebih meneriman apa
yang yang diberikan oleh media yang ada pada internet, karena media ini lebih
mudah akses daripada media massa lainnya. Sehingga memungkinkan untuk
melakukan sebuah Agenda Setting.
Lalu aktor selanjutnya ialah media partisan. Media partisan sendiri adalah
media yang secara tidak langsung memihak kepada suatu kubu, biasanya media
ini sendiri dimiliki oleh tokoh politik atau tokoh yang memiliki kepentingan.
Media akan secara jelas berpihak kepada salah satu pihak politik. Sehingga media
ini tidak bersifat independen. Hal ini jelasa sangat memungkinkan suatu medai
sepertti ini melakukan agena setting untung kepentingan segelintir tokoh
masyarakat.
2.8 Gatekeepers.
Dan aktor yang terkahir ialah gatekeepers. Seperti apa yang sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa gatekeepers memiliki keuasaaan dalam menentukan
berita mana yang bisa disiarkan, bagaimana berita tersebut ingin diterima oleh
masyarakat, atau kapan waktu yang pas untuk meberikan beriat tersebut kepada
publik. Sehingga bisa saja gatekeepers melakukan Agenda setting.
3. KOMUNIKASI BUDAYA
Banyak prinsip akomodasi komunikasi bertumpu pada asumsi pertama bahwa ada
persamaan dan perbedaan antara komunikator dalam suatu percakapan.
Pengalaman masa lalu, kita mungkin mengingat, membentuk bidang pengalaman
seseorang. Baik dalam ucapan atau perilaku, orang membawa berbagai bidang
pengalaman mereka ke dalam percakapan (West & Turner, 2009). Pengalaman
dan latar belakang yang bervariasi ini akan menentukan sejauh mana seseorang
akan mengakomodasi orang lain. Semakin mirip sikap dan keyakinan kita
dengan orang lain, semakin kita akan tertarik dan mengakomodasi orang lain itu.
Hal ini mungkin bisa diartikan bahwa bagaimna anda berkomunikasi dengan
seseorang yang baru, maka anda akan mengikuti sesuai dengan pengalaman yang
telah terjadi dalam diri kita. Sehingga mungkin dapat diartikan juga bahwa
seseoarng bisa melakukan akomodasi seseuai dengan penagalamannya terhadap
sesuatu.
2. Cara kita memandang ucapan dan perilaku orang lain akan menentukan
bagaimana kita mengevaluasi suatu percakapan
Asumsi ketiga dari Teori Akomodasi Komunikasi berkaitan dengan efek bahasa
terhadap orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk
mengkomunikasikan status dan kepemilikan kelompok antara komunikator dalam
suatu percakapan. Pertimbangkan apa yang terjadi ketika dua orang yang
berbicara bahasa yang berbeda mencoba berkomunikasi satu sama lain. Giles dan
John Wiemann (1987) membahas situasi ini: Dalam situasi bilingual, atau bahkan
bidialektal, di mana etnis mayoritas dan minoritas hidup berdampingan,
pembelajaran bahasa kedua secara dramatis searah: yaitu, sangat umum bagi
kelompok dominan untuk memperoleh kebiasaan linguistik dari kolektivitas
bawahan. . . . Memang, bukan kebetulan bahwa secara lintas budaya apa yang
“standar”, “benar”, dan perilaku bahasa yang “dibudayakan” adalah perilaku
aristokrasi, kelas atas atau penguasa, dan institusi mereka. Bahasa yang digunakan
dalam percakapan, kemudian, kemungkinan akan mencerminkan individu dengan
status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, kepemilikan kelompok ikut berperan
karena yang tersirat dalam kutipan ini adalah keinginan untuk menjadi bagian dari
kelompok “dominan”. Dari sini kita bisa menyebut bahwa seseorang mungkin
saja bisa mendapatkan penilaian dari apa yang ia lakukan saat proses komunikasi
berlangsung. Dari pemilihan bahasa ini juga, mungkin kita bisa mengetahui
bagaimana melakukan akomodasi dengan orang yang sedang berkomunikasi
dengan kita.
Asumsi keempat dan terakhir berfokus pada norma dan masalah kepantasan
sosial. Kami mencatat bahwa akomodasi dapat bervariasi dalam kesesuaian sosial
dan akomodasi berakar pada penggunaan norma. Penting untuk dipahami bahwa
akomodasi mungkin tidak selalu bermanfaat dan bermanfaat. Tentu saja, ada
kalanya mengakomodasi orang lain itu penting, namun ada juga saat akomodasi
tidak sesuai. Misalnya, Melanie Booth-Butterfield dan Felicia Jordan (1989)
menemukan bahwa orang-orang dari budaya yang terpinggirkan biasanya
1. Konevergensi
2. Divergensi
Teori Identitas Sosial. Mungkin Anda pernah berada dalam situasi sosial di mana
Anda adalah satu-satunya anggota dari jenis kelamin atau etnis Anda. Jika
demikian, mungkin Anda merasa perlu menjadi duta yang baik untuk orang lain
seperti Anda, atau ingin menekankan nilai dan kekhasan identitas Anda. Ketika
komunikator menyadari perbedaan kelompok mereka, itukontak antarkelompok.
Tajfel dan Turner percaya bahwa kontak antarkelompok seperti itu biasa terjadi,
dan bahwaidentitas sosial didasarkan padanya. Seperti yang dikatakan Jake
Harwood, "Kita bukanlah individu acak yang mengembara di planet ini tanpa
hubungan dengan orang lain, dan hubungan kita dengan orang lain tidak dapat
dipahami secara murni sebagai fungsi dari fenomena individu (Griffin et al.,
2018:428).
3. Counter-accommodation
4. Overaccomodation
Penyelidikan awal akomodasi berlebihan dengan lawan bicara lanjut usia
menyebutnya sebagai 'baby talk to' orang dewasa '(Caporeal 1981, 877) atau
'pembicaraan bayi sekunder' (Caporeal, Lukaszewski, dan Culbertson 1983:746),
dan seperti yang ditunjukkan Caporeal (1981), 'tidak ada bukti bahwa bayi
berbicara dengan anak-anak dan berbicara dengan bayi untuk orang dewasa lanjut
usia dapat dibedakan secara paralinguistik' (882). Ketika kita mengacu pada Tabel
1 (dari Ryan,Hummert, dan Boich 1995), daftar karakteristik akomodasi
berlebihan untuk orang dewasa yang lebih tua (yang: mereka merujuk pada
komunikasi yang merendahkan), menjadi jelas bahwa ini memang verbal yang
samadan fitur nonverbal yang digunakan dalam komunikasi yang ditujukan pada
anak kecil. Sama seperti menyesuaikan perilaku verbal dan nonverbal untuk
mengakomodasi kemampuan komunikatif anak-anak kecil bermanfaat bagi
perkembangan mereka, melakukannya untuk lawan bicara yang lebih tua juga
dapat, dalam beberapa kasus, bermanfaat ketika kemampuan komunikasi orang
tua, pada kenyataannya, terganggu. itu, dari tentu saja, sepenuhnya tepat untuk
berbicara dengan keras ketika seseorang tahu bahwa lawan bicaranya benar-benar
keras pendengaran, dan beberapa penelitian telah menemukan beberapa
modifikasi linguistik, seperti memberi tekanan berat pada kata kunci fokus dan
menghindari penggunaan klausa yang disematkan dan subordinat, memang
memfasilitasi pemahaman di antara orang dewasa yang lebih tua-terutama mereka
dengan demensia (misalnya Cohen dan Faulkner 1986; Kemper dan Harden
1999). Beberapa akomodasi dalam interaksi dengan orang tua dapat dengan jelas
membantu komunikasi. Namun, akomodasi berlebihan melebihi tingkat
akomodasi yang sesuai dengan fitur-fitur seperti nada tinggi, prosodi berlebihan,
dan bentuk sapaan seperti anak kecil, sering kali melayani untuk merendahkan,
merendahkan, dan menggurui lawan bicara yang lebih tua daripada memfasilitasi
pemahaman. Beberapa peneliti, seperti Ryan, Hummert, dan Boich (1995),
menyebut akomodasi berlebihan sebagai 'komunikasi yang merendahkan' dan
yang lain menyebutnya sebagai 'pembicaraan kekanak-kanakan' (Whitbourne,
Culgin, dan Cassidy, 1995). Istilah lain yang umum digunakan adalah 'speaker
tua' (Kemper dan Harden 1999; Williams2004). Mengikuti Giles dan Gasiorek
(2011), kami menganggap semua ini sebagai contoh khusus dari yang lebih luas
gagasan akomodasi berlebihan, yang tidak selalu menggurui atau merendahkan
anak dalam semua kasus dan kadang-kadang memang terjadi dalam komunikasi
yang diarahkan pada individu yang tidak berumur.
Setelah kita melihat pembahasan diatas, kita jadi mengetahui bahwa teori
komunikasi tidak terpaku pada satu hal saja. Kita bisa melihat bahwa dalam
berbagai konteks komunikasi yang ada, memiliki berbagai maca teori komunikasi.
Sehingga kita dapat menarik kesimpulan bahwa teori komunikasi merupakan
gerbang untuk kita, bisa mengetahui berbagai macam bentuk komunikasi yang
ada. Selain itu juga kita jadi dapat mengetahui bahwa dalalm konteks komunikasi
yang sama, memiliki beragam teori di dalamnya. Hal ini sangat amat membantu
untuk kita, jika kiat ingin melakukan kajian atau meneliti tentang bagaimana
komunikasi berlangsung.
BAB 3: KESIMPULAN PEMBAHASAN
Namun tidak berarti komunikasi merupakan sebuah hal sepele yang dapat
dilakukan sembarang. Komunikasi memiliki dampak yang bergitu besar, sehingga
seorang individu harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Dalam
menguasai hal tersebut, kita harus mempelajari bagaimana komunikasi yang baik
digunakan sesuai dengan tempat dan juga suasana yang ada. Maka dari itu, lahirla
ilmu yang mempelajari tentang bagaimana komunikasi terjadi dan lain halnya,
yang disebut dengan Ilmu Komunikasi.
Pemahaman tersebut juga adalah pondasi untuk kita dapat memahami teori
komunikasi secara lebih jelas. Seperti apa yang kita telah ketahui bahwa teori
komuniikasi, merupakan gerbang dalam menjelaskan berbagai macam konteks
komunikasi yang ada. Teori komunikasi juga bisa menjadi gambaran untuk kita
memahami komunikasi secara menyeluruh. Sehingga seperti pembahasan
sebelumnya katakan, bahwa untuk memahami Teori Komunikasi kita harus
memahami terlebih dahulu tentang apa itu komunikasi, dan juga teori.
Lalu tujuan dari dibuatnya kapita selekta teori komunikasi sendiri, adalah
sebagai membantu untuk bisa memahami teori komunikasi secara menyeluruh.
Sehingga setiap orang yang ingin mencoba mempelajari tentang bagaimana Teoi
komunikasi itu, dapat membaca kapita selekta teori komunikasi ini dengn
seksama. Kapita selekta teori komunikasi ini juga, merupakan bentuk atau bukti
sebagaimana penulis memahami teori komunikasi selama ia mempelajarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ciszek, E. L. (2016). Digital activism: How social media and dissensus inform
theory and practice. Public Relations Review , 1-7.
Jennifer L. Gibbs, N. B.-H. (2011). First Comes Love, Then Comes Google: An
Investigation of Uncertainty Reduction Strategies and Self-Disclosure in Online
Dating. Communication Research , 70-100.
Lippmann, W. (1922). Public Opinion. New York: Harcourt, Brace & Co.
Mark A. Urista, Q. D. (2008). Explaining Why Young Adults Use MySpace and
Facebook Through Uses and Gratifications Theory. Human Communication. A
Publication of the Pacific and Asian Communication Association. , 215-229.
Michael J Carter, C. F. (2016). Symbols, meaning, and action: The past, present,
and future of symbolic interactionism. Current Sociology , 1-31.