GINA AMALIA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
GINA AMALIA
E14080035
Pemanfaatan hutan oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau yang kini
dikenal dengan istilah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Hasil Kayu-Hutan Alam
(IUPHHK-HA) mendatangkan banyak manfaat tetapi juga membawa sisi buruk
untuk kehutanan Indonesia. Kegiatan ini telah meningkatkan perekonomian dan
pembangunan daerah, akan tetapi juga mendorong meningkatnya laju deforestasi,
dan juga degradasi hutan. Pada umumnya degradasi hutan yang terjadi pada hutan
produksi mengakibatkan kerusakan atau pengurangan luas hutan produktif
terhadap keseluruhan luas kawasan hutan yang akan mempengaruhi produktifitas.
Dampak negatif dari deforestasi dan degradasi dapat diminimalisir melalui
upaya monitoring yang cepat dan efisien menggunakan penginderaan jauh. Citra
digital atau data penginderaan jauh merupakan salah satu data dalam melakukan
analisis permukaan bumi. Kementerian kehutanan menggunakan citra Landsat
sebagai salah satu alat bantu dalam memantau kondisi hutan Indonesia. Citra
Landsat yang dikombinasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG)
memudahkan dalam proses monitoring. Baik monitoring jangka panjang maupun
monitoring jangka pendek agar laju deforestasi dapat dikendalikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelas tutupan lahan serta
perubahannya di dalam areal PT. Austral Byna pada tahun 1997, 2005 dan 2012,
serta menghitung laju degradasi dan reforestasi yang timbul dari kegiatan
pemanfaatan hutan dalam rentang waktu pengamatan. Penelitian dilaksanakan
dengan dua tahap, tahap lapangan pada bulan April-Mei 2012 di PT. Austral
Byna, dan pengolahan citra pada bulan Juni-November 2012 di Laboratorium
Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan Fahutan IPB. Data yang
digunakan adalah Citra Landsat TM dan ETM+ resolusi 30 m tahun liputan 1997,
2005 dan 2012 serta peta digital pendukung lainnya. Alat yang digunakan berupa
PC yang dilengkapi software ArcView 3.2, ArcGis 9.1, Erdas 9.1, GPS, Kamera
dan alat tulis.
Hasil penelitian menunjukan tutupan lahan yang berhasil diklasifikasikan
baik secara digital maupun visual terdiri atas hutan, ladang, semak belukar,
perkebunan, tanah kosong, dan awan. Degradasi tertinggi pada tahun 1997, 2005
dan 2012 terjadi pada kelas hutan yang berubah menjadi semak belukar.
Sedangkan reforestasi tertinggi terjadi pada kelas ladang dan semak belukar yang
berubah menjadi hutan.
Kata kunci : Citra Landsat, Degradasi, Perubahan tutupan lahan, Tutupan lahan
SUMMARY
GINA AMALIA. E14080035. Identification of Land Cover Change Using
Landsat Imagery Multi-Time Technology and Geographic Information
Systems (GIS) in IUPHHKHA PT. Austral Byna Central Kalimantan.
Supervised by NINING PUSPANINGSIH
Gina Amalia
NRP. E14080035
LEMBAR PENGESAHAN
NRP : E14080035
Disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan,
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirobbilla’lamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas izin
dan kemudahan dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis menyadari karya ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan ketulusan penulis ingin
mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Darman dan ibunda Eryani, serta
kepada kakakku Adyan dan keluarga, Adik-adikku Muhammad Rizky dan
Uli Aulia atas dukungan moral maupun materil serta doa dan kasih sayang
kepada penulis,
2. Ibu Dr. Nining Puspaningsih, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan banyak ilmu, membimbing penulis
dalam penelitian hingga terselesaikan tugas akhir ini,
3. Bapak Prof. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Bapak Dr. Buce Saleh, M.S
4. Bapak Obay Subarman, Bapak Hasbullah Idung, Bapak Abdul Gani,
Bapak Edi Sutopo, Bapak Kurniadi dan rekan-rekan yang telah
memberikan izin dan membantu dalam melaksanakan penelitian di PT.
Austral Byna
5. Bapak Prof. I Nengah Surati Jaya M. Agr, Bapak Uus Saepul M dan Ka
Edwin Setia P, S.Hut., Ka Ratih Solichia, S.Hut., atas bimbingan dan
kesabaran dalam membantu penulis,
6. Irzal Fakhrozi, S.Hut, M.Si., atas semangat, dukungan dan doa yang selalu
menemani penulis,
7. Keluarga besar dan Bapak Ibu, rekan-rekan Lab. Fisik Remote Sensing dan
GIS : Ka Monika Turana, S.Hut, Hikmat Megandana, S.Hut, Solekhudin,
Ka Mitra Eliza, Afri Mahdane, Fauziah D., Reflyani P., Riska Dwi N,
S.Hut., Tia Lia A, S.Hut, Catarina Ganis S.Hut, Fajar I., Sauqi Ahmada,
S.Hut, Febrina N., Pamungkas N.
8. Keluarga besar DMNH, rekan-rekan MNH 45 : Nani Wahyuni, S.Hut, Ade
Anggraini, Arini Khairiyah, S.Hut, Dwi Listiarini, Rissa Rahmadwiati,
S.Hut, Suratiyaningrum, S.Hut dan semua keluarga besar MNH 45,
9. FMSC Fahutan IPB dan keluarga besar Fahutan IPB,
10. Keluarga besar PT. Hatfield Indonesia : Bapak Agus Salim, Bapak Firman
Setiabudi, Mba Isni Atiqoh, Mas Taofik Nugraha, Mas Agus Juli, Mba
Rina, Bapak Agus Ngurah dan rekan kerja lainnya,
11. Serta semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan satu
persatu.
Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat-Nya dan membalas
kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis, baik yang tersebutkan
maupun yang tidak tersebutkan, Amin.
Penulis
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas izin dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Skripsi
dengan judul “Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan Menggunakan Citra
Landsat Multiwaktu dan Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) di
IUPHHK-HA PT. Austral Byna Kalimantan Tengah” disusun sebagai suatu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu Dr. Nining Puspaningsih, M.Si
selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Ir. Obay Subarman selaku Manajer
Operasional Muara Teweh beserta jajaran staff nya dari PT. Austral Byna yang
telah memberi izin dan membantu baik segi materi dan tenaga sehingga penelitian
ini dapat terlaksana dengan baik.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ viii
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Tujuan ............................................................................................... 3
1.3. Manfaat ............................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4
2.1. Deforestasi dan Degradasi Hutan ..................................................... 4
2.2. Pengindaraan Jauh ........................................................................... 5
2.3. Citra Digital ..................................................................................... 6
2.4. Interpretasi Citra untuk Klasifikasi Tutupan lahan .......................... 16
2.5. Perubahan Lahan .............................................................................. 21
2.6. Sistem Informasi Geografis .............................................................. 22
III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 23
3.1. Waktu dan Tempat ............................................................................ 23
3.2. Alat dan Data ................................................................................... 23
3.3. Pengolahan Data .............................................................................. 24
3.4. Analisis Perubahan Tutupan Lahan ................................................. 31
3.5. Analisis Laju Degradasi Hutan ......................................................... 32
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 33
4.1. Sejarah Pemanfaatan Hutan .............................................................. 33
4.2. Letak dan Batas Areal Kerja ............................................................ 34
4.3. Topografi ........................................................................................... 34
4.4. Iklim .................................................................................................. 35
4.5. Keadaan Hutan .................................................................................. 36
4.6. Sosial Ekonomi ................................................................................ 37
4.7. Pengusahaan Hutan ........................................................................... 37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 37
5.1. Klasifikasi Tutupan Lahan ............................................................... 39
5.2. Klasifikasi Tutupan Lahan pada Citra Landsat Multiwaktu ............ 43
5.3. Uji Akurasi Klasifikasi ................................................................... 45
5.4. Analisis Perubahan Tutupan Lahan .................................................. 46
5.5. Laju Degradasi Hutan dan Reforestasi.............................................. 48
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 53
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 53
6.2. Saran ................................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 55
LAMPIRAN .................................................................................................... 57
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Karekteristik data satelit sistem pasif. ..................................................... 9
2. Karekteristik satelit sistem aktif .............................................................. 10
3. Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematich Mapper ....................... 12
4. Band spektral ETM+, ukuran IFOV dan resolusi spasial ........................ 13
5. Daftar kunci karakteristik misi program landsat ..................................... 15
6. Data produk landsat. ................................................................................ 16
7. Perbandingan klasifikasi tutupan lahan ................................................... 20
8. Kelas tutupan lahan di IUPHHK-HA PT. Austral Byna ........................ 30
9. Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) ..................................... 31
10. Distribusi Kelas Lereng di Areal Kerja IUPHHK PT. Austral Byna ...... 35
11. Keadaan iklim di areal IUPHHK PT. Austral Byna ................................ 35
12. Luasan setiap bentuk vegetasi di areal IUPHHK-HA PT. AB ................ 36
13. Luas tutupan lahan tahun 1997~ 2012 ..................................................... 45
14. Separabilitas citra landsat TM tahun 1997 .............................................. 46
15. Hasil uji akurasi digital dan visual .......................................................... 46
16. Perubahan tutupan lahan tahun 1997-2005 ............................................. 47
17. Perubahan tutupan lahan tahun 2005-2012 ............................................. 48
18. Degradasi hutan tahun 1997, 2005 dan 2012 ......................................... 49
19. Reforestasi tahun 1997, 2005 dan 2012 ................................................. 51
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
3. Resolusi spasial pada citra digital ............................................................ 7
4. Satelite Landsat 7..................................................................................... 13
5. Sensor ETM + pada Landsat 7 ................................................................ 14
6. Aliran data satelit Landsat ....................................................................... 14
7. Peta lokasi penelitian ............................................................................... 23
8. Citra Landsat TM tahun 1997 PT. Austral Byna ..................................... 38
+
9. Citra Landsat ETM tahun 2005 PT. Austral Byna ................................. 38
10. Citra Landsat ETM+ tahun 2012 PT. Austral Byna ................................. 39
11. Hutan pada citra (a) hutan di lapangan (b). ............................................. 40
12. Semak belukar pada citra (a) semak belukar ditepi jalan utama (b). ....... 40
13. Ladang pada citra (a) ladang di lapangan (b) .......................................... 41
14. Perkebunanan pada citra (a) perkebunan di lapangan (b)........................ 42
15. Tanah terbuka pada citra (a) tanah terbuka di lapangan (b) .................... 43
16. Peta tutupan lahan tahun 1997 PT. Austral Byna .................................... 43
17. Peta tutupan lahan tahun 2005 PT. Austral Byna .................................... 44
18. Peta tutupan lahan tahun 2012 PT. Austral Byna .................................... 44
19. Grafik tutupan lahan tahun 1997, 2005 dan 2012 ................................... 45
20. Peta Degradasi hutan tahun 1997-2005 PT. Austral Byna .................... 49
21. Peta Degradasi hutan tahun 1997-2012 PT. Austral Byna .................... 50
22. Peta Reforestasi tahun 1997-2005 PT. Austral Byna ............................. 51
23. Peta Reforestasi tahun 1997-2005 PT. Austral Byna ............................. 52
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Tabel Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) hasil
digitasi digital tahun 1997 ....................................................................... 56
1
I. PENDAHULUAN
PT. Austral Byna (PT. AB) adalah salah satu pemegang IUPHHKA-HA
yang berada di Kalimantan Tengan dan sudah beropersai selama hampir setengah
abad. Memasuki daur kedua, PT. AB berupaya tetap menjaga keberadaan hutan
dengan menjalankan program pembibitan serta penanaman. Akan tetapi, sejalan
dengan pertambahan penduduk didalam dan sekitar PT. AB telah menyebabkan
meningkatnya tekanan terhadap keberadaan hutan pada areal konsesi ini. Tekanan
tersebut datang dari kegiatan pemanenan kayu, perkebunan oleh warga sekitar,
adanya usaha pertambangan didalam areal konsesi serta adanya ladang
disepanjang jalan utama dan cabang. Tekanan inilah yang diduga menyebabkan
terjadinya deforestasi dan degradasi di PT. AB.
Untuk mengetahui dengan tepat laju deforestasi dan degradasi yang terjadi
di PT. AB diperlukan sebuah upaya monitoring yang cepat dan efisien. Upaya ini
dapat dilakukan dengan menggunakan penginderaan jauh. Menurut Jaya (2010)
penginderaan jauh dapat memperbaharui data perubahan yang terjadi begitu cepat
sehingga dapat mendeteksi perubahan hutan. Hal ini dikarenakan penginderaan
jauh memiliki kemampuan dapat memberikan informasi secara lengkap, cepat dan
relatif akurat, serta dapat mempermudah pekerjaan lapang dan biaya yang relatif
murah. Laju perubahan hutan dapat dihitung berdasarkan perbandingan gambar-
gambar satelit (citra digital) atas liputan lahan pada dua atau lebih liputan tahun
yang berbeda, serta dengan melakuakan penciptaan gambar (tekstur, warna, dan
ketajaman) yang sama (Sunderlin 2012).
Citra digital atau data penginderaan jauh merupakan salah satu data dalam
melakukan analisis permukaan bumi. Kementerian kehutanan menggunakan citra
Landsat sebagai alat bantu dalam memantau kondisi hutan Indonesia. Citra
Landsat multiwaktu yang dimanfaatkan dan dikombinasikan dengan Sistem
Informasi Geografis (SIG) memudahkan dalam proses monitoring. Baik
monitoring jangka panjang maupun monitoring jangka pendek agar laju
deforestasi dapat dikendalikan.
3
1.2. Tujuan
Beberapa tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kelas tutupan lahan di areal kerja IUPHHK-HA PT.
Austral Byna,
2. Mengidentifikasi perubahan tutupan lahan di areal IUPHHK-HA PT.
Austral Byna pada tahun 1997, 2005 dan 2012,
3. Menghitung laju degradasi hutan dan reforestasi di areal IUPHHK-HA PT.
Austral Byna pada tahun 1997, 2005 dan 2012.
1.3. Manfaat
Bagi perusahaan dan masyarakat sekitar dan didalam hutan areal kerja
IUPHHK-HA PT. Austral Byna penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
untuk mengetahui perkembangan luasan hutan dan bentuk perubahan didalamnya,
selain itu hasil dalam penelitian ini juga diharapkan dapat membantu masyarakat
agar perusahaan mengetahui lokasi yang sudah sejak lama dimanfaatkan
masyarakat. Sedangkan untuk civitas akademika diharapkan penelitian ini dapat
menjadi bahan masukan untuk melakukan monitoring hutan Indonesia.
4
Para pelaku dapat beroperasi pada lokasi yang terpisah dan hampir tidak
mempunyai hubungan sama sekali, serta dapt juga beroperasi pada lokasi yang
sama. Sebagai contoh peladang berpindah beroperasi di areal hutan produksi
termasuk pada pola beropersi pada lokasi yang sama. Sedangkan peladang
berpindah yang tinggal dihutan primer dan tidak mampu dijangkau oleh pelaku
usaha dihutan produksi masuk pada pola beroperasi pertama. Kedua pola
beroperasi ini memiliki andil yang sama dalam penuruna jumlah luasan hutan
Indonesia walau pada skala berbeda.
Citra digital dibentuk dari elemen-elemen gambar atau pixel. Pixel (picture
element) menyatakan derajat keabuan (Purwadhi 2006) yang juga merupakan
bagian terkecil dari suatu citra digital (Jaya 2010). Selain itu Jaya (2010)
mengatakan pada citra rasterr, citra dibagi-bagi menjadi suatu sel, dimana masing-
masing grid dari sel merupakan representasi dari suatu pixel.
Purwadhi (2006) menyatakan citra digital adalah data penginderaan jauh
yang direkam melalui sensor non-kamera, antara lain scanner, radiometer, dan
spectometer. Sensor tersebut menggunakan detektor elektronik dengan
menggunakan tenaga elektromagnetik yang luas, yaitu spectrum tampak,
ultraviolet, inframerah dekat, inframerah termal, dan gelombang mikro. Setiap
7
sensor memiliki kepekaan spektral terbatas sehingga tidak peka terhadap seluruh
panjang gelombang dan hanya mampu mengindera obyek kecil. Batas
kemampuan memisahkan setiap obyek dinamakan resolusi.
Resolusi tersebut diantaranya resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi
radiometrik dan resolusi temporal. Masing-masing resolusi didefinisikan sebagai
berikut:
a. Resolusi spektral
Resolusi spektral adalah daya pisah obyek berdasarkan besarnya
spectrum elektomagnetik yang digunakan untuk merekam data. Sebagai
contoh Landsat memiliki 7 band dengan lebar setiap bandnya yang sempit
tetapi rentang yang digunakan lebar, sedangkan spot 5 hanya memiliki 4
band. Ini berarti Landsat memiliki resolusi spektral yang baik dibandingkan
dengan spot.
b. Resolusi spasial
Resolusi spasial adalah resolusi yang berhubungan dengan ukuran
obyek yang masih dapat dibedakan, disajikan dan dikenali pada citra.
Semakin kecil ukuran obyek yang bisa direkam maka semakin baik kualitas
sensornya. Resolusi spasial dapat ditentukan melalui beberapa cara, salah
satunya berdasarkan dimensi dari instanteneous field of view atau IFOV yang
diproyeksikan ke bumi (Jaya 2010). Gambar 3 memperlihatkam resolusi
spasial pada beberapa citra digital.
c. Resolusi radiometrik
Resolusi radiometrik adalah ukuran sensitivitas sensor untuk
membedakan aliran radiasi (radiant flux) yang dipantulkan atau diemisikan
dari suatu obyek permukaan bumi (Jaya 2010). Lebih lanjut Jaya menyatakan
citra yang mempunyai resolusi tinggi akan memberiakn informasi yang tinggi
pula. Sebagai contoh detektor MSS band 6 mempunyai resolusi radiometrik 6
bit (26=64) sedangkan MSS band 4, 5, dan 7 memiliki resolusi radiometrik 7
bit (27=128). Ini berarti detektor MSS 4, 5, dan 7 memiliki informasi lebih
banyak dibandingkan MSS 6.
d. Resolusi temporal
Resolusi temporal adalah interval waktu yang dibutuhkan oleh sebuah
satelit untuk merekam daerah yang sama, atau waktu yang diperlukan satelit
untuk menyelesaikan seluruh siklus orbitnya. Resolusi temporal yang aktual
sangat bergantung pada jenis sensor, lebar overlap antar swath (lebar jalur
rekam) dan ketinggian satelit (Jaya 2010). Sedangkan menurut Purwadhi
(2006) resolusi temporal adalah kenampaka yang masih dapat dibedakan
dalam waktu perekaman ulang.
Sistem perekaman data penginderaan jauh dengan menggunakan sensor
satelit dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu sistem pasif dan sistem aktif.
Kedua sistem tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem, prosedur, dan metode
pengolahan citra.
Sumber tenaga sistem pasif diambil dari sumber energi yang telah ada
seperti matahari (reflektan energi matahari dan/atau radiasi dari obyek secara
langsung). Penginderaan gelombang mikro pasif mengumpulkan emisi termal dari
permukaan bumi dalam spektrum gelombang mikro (Lo 1996).
Beberapa data citra satelit pasif atau disebut juga satelit optik diantaranya
data dari satelit LANDSAT (Land Satellite) , SPOT (System Probatoire
d’Observation de la Terre), HCMM (Heat Capacity Mapping Mission), NOAA
(National Oceanic Atmospheric Administration), GMS (Geostationer
Meteorological Satellite), JERS-1 (Japan Earth Resources Satellite), dan IRS
(India Resources Satellite). Ketujuh data dari satelit ini memiliki sensor dan
karakteristik masing-masing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
9
Band 4 0,50-0,60
MSS (Multispektral Band 5 0,60-0,70 80 m 185 18 hari
Scanner) Band 6 0,70-0,80
Band 7 0,80-1,10
Landsat 4,5
Band 4 0,50-0,60
MSS (Multispektral Band 5 0,60-0,70 80 m 185 16 hari
Scanner) Band 6 0,70-0,80
Band 7 0,80-1,10
Band 1 0,45-0,52 30 m 185 16 hari
Band 2 0,52-0,60
TM (Thematic Band 3 0,63-0,69
Mapper) Band 4 0,76-0,90
Band 5 1,55-1,75
Band 7 2,08-2,35
Band 6 10,40-12,50 120 m
SPOT
HRV/XS (High Band 1 0,50-0,59
Resolution Visible/ Band 2 0,61-0,68 20 m 60 26 hari
multispektral mode) Band 3 0,79-0,89
HRV/P (High
Resolution Visible/ 0,51-0,73 μm 10 m
pankromatik mode)
HCMM
V/ NIR Band 1 0,50-1,10 600 m 700
TIR Band 2 10,50-12,50
JERS-1
VNIR (Visible Near Band 1 0,52-0,60 18,3 x 75 44 hari
Infra Red) Band 2 0,63-0,69 24,2
Band 3 0,70-0,76 meter
Band 4 0,76-0,86
Lanjutan Tabel 1.
Lebar
Perekaman
Satelit/Sensor Saluran Spektral (μm) Resolusi Cakupan
Ulang
(km)
NOAA/AVHRR
VIS (Visible) Band 1 0,55-0,68
VIS/NIR Band 2 0,725-1,10 1,1 km ± 3.000 2 kali sehari
TIR Band 3 3,35-3,98
Band 4 10,50-11,5
IRS-1C
Pankromatik 0,50-0,75 <10 m 70 5 hari
LISS-3 Band 1 0,52-0,59
VNIR Band 2 0,62-0,68
Band 3 0,77-0,86
SWIR 1,55-1,70
WiFS 0,62-0,68 70,8 m
148 5 hari
0,77-0,86 189 m
Sumber: Purwadhi (2006)
Sedangkan sistem aktif menggunakan sumber tenaga yang berasal dari
tenaga elektomagnetik yang dibangkitkan oleh radar (Radio Detecting and
Rangging). Tenaga yang dipancarkan berupa pulsa bertenaga tinggi (Purwadhi
1996). Pemancaran pulsa energi gelombang mikro dari sensor ke target dan
kemudian mengukur pulsa balik atau sinyal pantulan (Lo 1996). Sensor radar
dapat mengukur dan mencatat waktu dari saat pemancaran tenaga hingga kembali
ke sensor untuk mengukur jarak objek, serta dapat mengukur dan mencatat
intensitas tenaga balik (backsketter) pulsa radar untuk menaksir jenis obyek.
Beberapa satelit penginderaan jauh sistem aktif yang msih aktif hingga
tahun 2000, serta karakteristik kemampuan teknis masing-masing satelit tertera
pada Tabel 2.
Tabel 2 Karekteristik satelit sistem aktif
Lebar Perekaman
Satelit/ Sensor Frequensi Resolusi
cakupan Ulang
ERS-1
AMI 30 m 100 km 3 hari
SAR mode 5,3 Ghz 5 km x 5 km 35 hari
Wave mode 50 km 500 km 176 hari
Wind mode 13,8 Ghz
Radar Alimeter 23,8 Ghz 22 km
Microwave 36,5 Ghz
Sounder
JERS-1
SAR 1275 Ghz (L- 18 m x 18 m 75 km 44 hari
band/ HH)
11
Lanjutan Tabel 2.
RADARSAT-SAR
Standard mode 25 m x 28 m 100 km
Wide mode 30-40 m x 28 m 165 km
ScanSAR (N) 5,3 Ghz 25-32 m x 28 m 150 km
mode 9-11 m x 9 m 45 km 24 hari
ScanSAR (W) 305 km
mode 50 m x 50 m 510 km
Ext (H) mode 100 m x 100 m 19-22 m x 28 m 75 km
28-63 m x 28 m 170 km
Sumber: Purwadhi (2006)
Setiap program satelit mempunyai misi khusus mengindera dan
mengamati permukaan bumi, sesuai kepentingan dan kebutuhan aplikasi yang
menjadi tujuannya. Sebagian besar misi satelit penginderaan jauh resolusi tinggi
berorientasi untuk inventarisasi, pantauan, dan penggalian informasi daratan
(matra darat), sebagian kecil untuk informasi kelautan (matra laut) dan lingkungan
(Purwadhi 2006).
Pada sistem pasif sensor gelombang mikro pasif mendeteksi radiasi yang
diemisi, dipantulkan, dan ditransmisikan dalam panjang gelombang 1 mm sampai
300 mm. Air memiliki konstanta yang lebih besar dari konstanta dialektrik
material alamiah lain, oleh karenanya sistem ini bermanfaat untuk mementau
sumberdaya air dan kelembaban. Sistem penginderaan aktif atau yang dikenal
dengan radar dirancang untuk mengukur jarak dan menentukan objek (Lo 1996).
Landsat
Landsat merupakan satelit sumberdaya bumi yang pada awalnya bernama
ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite). Satelit ini mengorbit
mengelilingi bumi selaras matahari (sunsynchronous). Sistem yang digunakan
adalah sistem pasif.
Satelit ini telah menyediakan gambar rupa bumi sejak awal 1970-an
sehingga data yang ada dapat digunakan untuk mempermudah proses pencirian,
pemantauan, pengelolaan, penjelajahan dan pengamatan permukaan bumi dari
tahun ke tahun. Karena keunikannya inilah data landsat telah digunakan dalam
berbagai pemerintahan, aplikasi keamanan umum, pribadi dan nasional. Baik
dalam riset perubahan global, manajemen tanah dan air, eksploitasi minyak dan
mineral, pendugaan hasil pertanian, pemantaua polusi, deteksi perubahan
permukaan tanah serta pemetaan dan kartografi (NASA 2007)
12
Dari data yang diperoleh produk keluaran satelit Landsat 7 dibagi menjadi
3 level produk, disajikan pada Tabel 6.
2. 4. 1. Interpretasi manual
Interpretasi manual adalah interpretasi yang dilakukan berdasarkan
pengenalan ciri (karakteristik) objek secara keruangan (spasial) (Purwadhi 2006).
Tingkat awal interpretasi dikenal sebagai deteksi (Lo 1996). Selain itu Lo
mengatakan deteksi dibantu oleh karakteristik spasial, spektral, radiometrik dan
17
temporal. Tahap deteksi tentu saja menuntun ke arah identifikasi dan pengenalan
dimana penafsir citra harus menggunakan tingkat rujukan lokasi, khusus, dan
umum untuk mengkelaskan objek kedalam kategori tertentu.
Lebih lanjut Lo (1996) menjelaskan tingkat rujukan lokal mencerminkan
keakraban penafsir terhadap lingkungan lokalnya, tingkat rujukan khusus
merupakan pengetahuan yang mendalam dari penafsir mengenai proses dan
fenomena yang ingin diinterpretasikan, sedangkan tingkat rujukan umum adalah
pengetahuan umum penafsir citra mengenai proses dan fenomena yang
diinterpretasi.
Identifikasi citra umumnya menggunakan alat bantu berupa kunci
pengenalan atau unsur-unsur interpretasi. Menurut BAPLAN (2008) Unsur
tersebut diantaranya :
a. Rona atau warna: Rona merupakan gradasi kecerahan relative objek pada
citra, sedangkan warna adalah perbedaan gradasi warna obyek pada citra.
b. Tekstur: Tekstur adalah perbedaan tingkat kekasaran dari objek yang diamati
c. Pola: Pola adalah susunan spasial objek yang dapat dibedakan secara visual,
biasanya berwujud pengulangan rona/ warna atau tekstur sama yang
membentuk pola tertentu.
d. Bentuk: Bentuk adalah kenampakan secara umum, struktur atau bagan suatu
objek.
e. Bayangan: Bayangan membantu identifikasi obyek, misalnya awan, pohon
runcing, tajuk sedikit pada lahan terbuka dan semak belukar berukuran tinggi.
f. Ukuran: Ukuran adalah fungsi skala, ukuran relatif dapat dipergunakan untuk
mengidentifikasi obyek dengan membandingkan obyek yang lain.
g. Asosiasi: Asosiasi digunakan bila beberapa obyek berdekatan secara erat,
masing-masing membantu keberadaan yang lain.
h. Situs: Situs menjelaskan tentang posisi muka bumi dari citra yang diamati
dalam kaitannya dengan kenampakan sekitarnya.
tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Adrich 1981 dalam Hendayanti 2008).
Setiap tutupan lahan memiliki karakteristik spektral yang berbeda. Maharani
(2011) menggungkapkan hal ini terjadi karena bagi material-material yang
menjadi target sensor, jumlah radiasi sinar matahari yang dipantulkan, diserap,
atau bahkan diteruskan kembali akan bervariasi sesuai dengan beberapa panjang
gelombang yang dipancarkan. Karakteristik dari setiap materi tersebut diantaranya
(Maharani 2011) :
a. Nilai pantulan dari unsur air jernih/bersih pada umumnya rendah (cenderung
berwarna biru-gelap). Walaupun demikian, pantulan ini akan mencapai nilai
maksimum pada akhir spektrum biru dan kemudian menurun sejalan dengan
meningkatnya panjang gelombang (Prahasta 2008).
b. Turbid water (air keruh), kemungknan besar mengandung endapan atau
sedimen yang dapat meningkatkan nilai pantulan pada domain merah-akhir
spektrum hingga kenampakannya bisa jadi kecoklatan. Ada kalanya pada air
keruh tidak jauh berbeda dengan kondisi pada perairan dangkal (shallow
water) yang bersih.
c. Beberapa faktor yang mempengaruhi pantulan tanah ialah kandungan
kelembaban tanah, tekstur tanah (susunan pasir, debu, dan lempung),
Kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik
(Prahasta 2008). Adanya kelembaban di tanah akan mengurangi pantulanya.
Kandungan kelembaban tanah berhubungan kuat dengan tekstur tanah.
d. Pantulan dari vegetasi akan bernilai rendah pada spektrum biru dan merah.
Hal ini terjadi karena terjadi penyerapan klorofil untuk proses fotosintesis
(Prahasta 2008). Vegetasi memiliki pantulan puncak pada spektrum hijau. Hal
ini dipengaruhi oleh pigmen daun pada tumbuhan. Klorofil misalnya, banyak
menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat antara 0,45 μm –
0,65 μm. Apabila terjadi gangguan pada tumbuhan dan mengakibatkan
penurunan produksi klorofil, maka serapan klorofil pada spektrum merah dan
biru akan berkurang. Hal ini akan mengakibatkan warna untuk tumbuhan
tersebut menjadi kuning (gabungan antara hijau dan merah karena pantulan
pada spektrum merah bertambah).
19
2. 4. 2. Interpretasi digital
Interpretasi citra pada dasarnya merupakan proses klasifikasi, maka
identifikasi dan pengenalan dapat dilakukan secara matematik selama citra dalam
bentuk dijital tersedia. Klasifikasi digital dilakukan untuk menangani dengan
cepat jumlah data citra yang besar (Lo 1996).
Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi pixel berdasarkan nilai
spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Setiap kelas kelompok
pixel dicari kaitannya terhadap objek atau gejala permukaan bumi. Pengenalan
pola spektral bertujuan untuk mengklasifikasi dan mendeskripsikan pola atau
susunan objek melalui sifat atau ciri objek yang bersangkutan berdasarkan
karakteristik spektral yang terekam pada citra (Purwadhi 2006).
Klasifikasi citra bertujuan untuk melakukan pengelompokan atau
melakukan segmentasi terhadap kenampakan yang homogen dengan
menggunakan teknik kuantitatif. Terdapat tiga cara dalam melakukan klasifikasi
digital, antara lain:
a. Klasifikasi terbimbing atau klasifikasi terselia (supervised classification)
adalah klasifikasi nilai pixel didasarkan pada contoh daerah (training area)
yang diketahui jenis objeknya dan nilai spektralnya.
b. Klasifikasi tak-terbimbing atau klasifikasi tak-terselia (unsupervised
classification) adalah klasifikasi tanpa contoh daerah (Training area) yang
diketahui jenis objeknya dan nilai spektralnya.
c. Klasifikasi gabungan atau klasifikasi hibrida menggunakan kedua cara, yaitu
klasifikasi terbimbing dan klasifikasi tak-terbimbing.
2. 5. Perubahan Lahan
Menurut Jaya (2002), SIG adalah sistem berbasis komputer yang terdiri
atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data
geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam,
menyimpan, memperbaharui, menampilkan, dan menganalisis informasi yang
bereferensi geografis. Kombinasi yang benar antara keempat komponen utama ini
akan menentukan kesuksesan suatu proyek pengembangan SIG.
SIG didesain untuk menerima data spasial dalam jumlah besar dari
berbagai sumber dan mengintregrasikannya menjadi sebuah informasi, salah satu
jenis data ini adalah data penginderaan jauh. Penginderaan jauh adalah imu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena
melalui analisis data yang diperoleh dengan satu alat tanpa kontak langsung
dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Jaya 2010).
23
Penelitian terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap lapangan dan pengolahan
data. Tahap lapangan dilaksanakan pada bulan April-Mei 2012 di areal kerja
IUPHHK-HA PT. Austral Byna (PT. AB), Kabupaten Barito Utara, Provinsi
Kalimantan Tengah (Gambar 7). Pengolahan data dan penyusunan laporan akhir
dilakukan pada Juli-Oktober 2012 di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS
Departemen Manajemen Hutan IPB.
Alat yang digunakan yaitu seperangkat Personal Computer (PC), alat tulis,
Global Positioning System (GPS) Garmin 76CSX, kamera digital, tally sheet, dan
perekam suara.
Data yang digunakan adalah:
Peta digital: Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:250.000 dari
Bakosurtanal, batas areal IUPHHK-HA PT. AB, Jaringan jalan IUPHHK-HA
PT. AB, Jaringan sungai, desa di dalam dan di sekitar IUPHHK-HA PT. AB,
serta titik hasil observasi.
24
memiliki letak yang sesuai dengan peta RBI. Proses penempalan citra dengan peta
RBI merupakan salah satu cara dalam melakukan koreksi geometris, dengan cara
rectifikasi image to map. Koreksi ini dilakukan untuk memastikan posisi citra
sudah sesuai dengan posisi RBI. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan akurasi
area, arah dan perhitungan luasan, sehingga dapat meminimalkan kesalahan
geometris. Proses ini menghasilkan citra yang secara planimetris cukup akurat,
sehingga dapat dianggap ketelitiannya setara dengan peta (Baplan 2008).
Pada umumnya proses koreksi geometris ini melibatkan perhitungan Root
Mean Squere Error (RMSE) dengan terlebih dahulu membuat Ground Control
Point (GCP) pada citra terkoreksi dan belum terkoreksi. Akan tetapi, karena data
lapangan berupa koordinat lapang pengamatan dari GPS yang sudah dipetakan
dalam bentuk shp sudah tersedia, maka perhitungan RMSE dan pembuatan GCP
diganti dengan meng-overlay citra yang sudah memiliki project UTM 50S dengan
RBI dan titik pengamatan lapangan. Hasil yang diperoleh titik pengamatan
lapangan sudah sesuai dengan posisi pada citra dan RBI.
d. Koreksi radiometrik (Radiometric enhanchment)
Jaya (2010) mengatakan sudah merupakan prosedur umum pada
pengolahan citra bahwa untuk kegiatan interpretasi, citra yang akan dicetak atau
yang langsung diinterpretasi pada layar monitor perlu dilakukan penajaman
kontras. Hal ini di maksudkan agar tampilan pada masing-masing citra memiliki
kontras yang sama.
Perbaikan kontras ada empat macam yaitu perbaikan kontras secara linear,
perbaikan kontras non-linear, perbaikan kontras dengan piswais, dan penyamaan
histogram. Dari tiga cara tersebut, perbaikan yang digunakan adalah penyamaan
histogram (Histogram equalization). Penyamaan histogram adalah metode
penajaman kontras yang tidak linear sehingga distribusi histogram dari pikselnya
mendekati uniform, atau menghasilkan histogram yang mendekati datar. Kontras
hasil penajaman ini akan merata diseluruh areal. Kontras meningkat pada puncak
histogram dan menurun pada ujung-ujung histogram (Jaya 2010).
27
pada tiap tahunnya. Dengan cara ini selain bisa mengetahui luas perubahan lahan
yang terjadi, juga bisa menetahui arah perubahan yang terjadi (Setiyono 2006).
Penelitian ini menggunakan metode overlay citra.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-
HA) PT. Austral Byna (PT. AB) yang ditetapkan berdasarkan Forestry Agreement
(FA) No. FA/J/080/IX/73 tanggal 9 April tahun 1969 dan SK Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) No. 635/Kpts/Um/X/74 tanggal 2 Oktober tahun 1974 dengan luas
370.000 ha merupakan hasil penggabungan dua HPH yaitu PT. Yuling Byna
Corporation dan PT. Byna Harapan.
Departemen Kehutanan mengeluarkan izin yang tertuang dalam SK HPH
No. 635/Kpts/Um/X/74 menetapkan areal HPH PT. AB seluas 370.000 ha, yang
berlaku selama jangka waktu 20 tahun, yaitu dari 14 November tahun 1969
sampai dengan 13 November tahun 1989. Namun kemudian, dari areal tersebut
dilaporkan adanya tumpang tindih dengan areal HPH PT. Indexim Utama
Corporation seluas 70.000 ha, sehingga pada tahun 1975 sesuai dengan Surat
Direktorat Jenderal Kehutanan No. 3162/DJ/I/75 tanggal 20 November 1975
disetujui pemisahan areal kepada HPH PT. Indexim Utama Corporation, sehingga
luas areal HPH PT. AB menjadi 300.000 ha.
Setelah jangka pengusahaan hutan selama 20 tahun pertama PT. AB
memperoleh izin perpanjangan HPH (sekarang IUPHHK pada Hutan Alam)
berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 142/Kpts-II/93 tanggal 27 Februari tahun
1993 untuk jangka waktu pengusahaan hutan 20 tahun berikutnya, terhitung dari
13 November tahun 1989 sampai dengan 14 November tahun 2009 dengan areal
seluas 294.600 ha, terjadi pengurangan dari areal semula karena seluas 500 ha
berupa hutan lindung dan 4.900 ha dialokasikan untuk HPHTI (sekarang IUPHHK
pada Hutan Tanaman) dan Pola Transmigrasi yang dikeluarkan dari areal PT. AB.
Setelah jangka pengusahaan hutan selama 20 tahun berakhir kembali pada
tanggal 12 November tahun 2009, PT. AB kembali memperoleh izin perpanjangan
IUPHHK-HA berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 557/MENHUT-II/2009
tanggal 17 September tahun 2009 untuk jangka waktu 45 tahun berikutnya
terhitung dari tanggal 12 November tahun 2009 sampai dengan tahun 12
November 2054, yang berlaku efektif sejak 12 November 2009 dengan luas areal
255.530 ha.
34
4.3. Topografi
(a) (b)
Gambar 11 Hutan pada citra (a) hutan di lapangan (b).
Keterangan
= Deliniasi hutan
Skala = 1: 50000
(a) (b)
Gambar 12 Semak belukar pada citra (a) semak belukar ditepi jalan utama (b).
Keterangan
= Deliniasi semak belukar
Skala = 1: 50000
5.1.3. Ladang
Ladang merupakan salah satu jenis pertanian lahan kering (Baplan 2008)
yang ditanami padi tadah hujan, pada umumnya ladang di areal perusahaan dapat
ditemui di sekitar jalan baik jalan utama maupun jalan cabang perusahaan serta di
dalam areal hutan yang berjarak ± 50 meter dari jalan.
41
(a) (b)
Gambar 13 Ladang pada citra (a) ladang di lapangan (b).
Keterangan
= Deliniasi ladang
Skala = 1: 50000
Selain ladang yang baru ditanam, di lapangan juga dijumpai ladang yang
sudah dipanen. Pada umumnya bekas ladang dimasukkan pada kelas semak
belukar atau padang ilalang. Namun di lapangan bekas ladang didominasi oleh
batang padi yang sudah dipanen dan di sekitarnya ditumbuhi ilalang serta semak
belukar muda sehingga dapat dibedakan dengan ladang dan semak belukar. Bekas
ladang berasosiasi dengan ladang, jalan utama perusahaan dan sungai.
Pada citra tampilan bekas ladang juga hampir serupa dengan ladang,
sehingga bekas ladang dimasukkan pada tutupan lahan ladang. Pada citra bekas
42
5.1.4. Perkebunan
Kelas perkebunan didapat dari hasil pengamatan citra yang sudah
terkoreksi radiometrik. Dalam kegiatan pendahuluan kelas ini tidak dapat dikenali
pada citra karena warna yang ditampilkan menyerupai semak belukar. Pada citra
yang sudah terkoreksi perkebunan berwarna merah kecoklatan dan berasosiasi
dengan sungai serta permukiman. Pola, warna, serta tekstur yang didapat pada
kelas ini menyerupai pola dan warna pada perkebunan dalam areal permukiman
desa transmigrasi. Pada areal ini masyarakat membudidayakan tanaman kacang,
coklat, karet, jagung dan lain-lain. Perkebunan pada citra dan di lapangan
ditampilkan pada Gambar 14.
(a) (b)
Gambar 14 Perkebunanan pada citra (a) perkebunan di lapangan (b).
Keterangan
= Deliniasi perkebunan
Skala = 1: 50000
(a) (b)
Gambar 15 Tanah terbuka pada citra (a) tanah terbuka di lapangan (b).
Keterangan:
= Deliniasi tanah terbuka
Skala = 1: 50.000
Citra landsat ETM+ tahun 2005 dan tahun 2012 hanya dapat diolah secara
visual karena pada citra tersebut terdapat gangguan yaitu stripping. Citra didigitasi
pada software Arcgis version 9.0 dengan mengikuti kunci interpretasi dari Baplan
dan informasi lapangan (Tabel 8). Hasil klasifikasi Citra landsat ETM+ tahun
2005 dan 2012 disajikan berturut-turut pada Gambar 17 dan 18.
Hasil klasifikasi baik secara digital maupun visual, pada tahun 1997, 2005
dan tahun 2012 hutan masih mendominasi sebanyak 78,93%, 77,59%, dan 75,03%
dibandingkan tutupan lahan lainnya (Gambar 19). Luas tutupan lahan pada tiap
tahun pengamatan disajikan pada Tabel 13.
12
Tahun 2005
10
8 Tahun 2012
6
4
2
0
Hutan Ladang Perkebunan Semak Tanah terbuka
belukar
Tutupan Lahan
Citra yang diolah secara digital, sebelum proses klasifikasi, terlebih dahulu
dilakukan evaluasi separabilitas untuk training area yang dibuat. Nilai minimum
separabilitas yang diperbolehkan adalah 1600. Ukuran kuantatif untuk pemisahan
kategori dapat dihitung dalam bentuk matriks kelas atau biasa disebut matriks
devergensi. Matriks ini merupakan hasil pengukuran secara statistik bagi
pemisahan antar pola tanggapan spektral setiap kategori tutupan lahan. Nilai
maksimum devergensi adalah 2000, sedangkan 1500 menunjukan kelas dengan
spektral sama, dengan kemungkinan nilai spektral kurang dari 1500 akan
46
bertampalan satu sama lain (Purwadhi 2006). Hasil uji separabilitas pada citra
landsat TM tahun 1997 disajikan pada Tabel 14.
Hutan (6) 0
tutupan lahan. Matrik ini mengandung informasi luas dan bentuk perubahan dari
suatu kelas tutupan lahan ke tutupan lahan lainnya.
Pada interval dua belas tahun yaitu tahun 1997 sampai dengan tahun 2012
diduga kegiatan pemanenan menyebabkan peningkatan luas hutan yang
50
Hasil analisis laju degradasi dari tahun 1997 hingga tahun 2012
menunjukan adanya peningkatan luasan semak belukar. Jika dibandingkan dengan
luas tutupan lahan pada masing-masing tahun pengamatan, juga diperoleh hasil
yang sama. Luas semak belukar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan
(Gambar 19). Semak belukar yang teridentifikasi sebagian besar berada dipinggir
jalan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak perusahaan areal kanan kiri
jalan selebar 50 m merupakan areal yang diperuntukkan untuk dibuka, agar
transportasi pengangkutan kayu tidak terganggu. Akan tetapi pada
perkembangannya, pihak lain datang dan memanfaatkan lahan tersebut untuk
berladang, membuka pertambangan baik secara legal maupun ilegal, dan program
perluasan jalan.
51
Penambahan luas hutan juga dapat dilihat dari hasil analisis thematic
change tahun 1997 sampai dengan 2012 yang disajikan pada Tabel 19.
Pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 perubahan kelas non-hutan
menjadi hutan sebesar 7,03% dari total areal PT. AB. Perubahan tertinggi terjadi
pada semak belukar yang mengalami suksesi menjadi hutan. Luas semak belukar
yang berubah menjadi hutan sebesar 6.557,83 ha, atau sebesar 44,17 % dari total
perubahan. Perkebunan berubah menjadi hutan seluas 2.497,91 ha, atau sebesar
16,82 %. Ladang juga mengalami suksesi menjadi hutan seluas 4.949,46 ha, atau
sebesar 33,34 %. Sedangkan tanah terbuka mengalami perubahan menjadi hutan
dengan persentase terendah yaitu 5,67 %. Penambahan luas hutan pada tahun
1997-2005 disajikan pada Gambar 22.
6.1. Kesimpulan
1. Perlu adanya penelitian serupa pada areal IUPHHK-HA PT. Austral Byna
dengan menggunakan citra radar agar dapat mereduksi luas awan, sehingga
setiap tutupan lahan dapat teridentifikasi dengan benar.
2. Perusahaan menetapkan kawasan pemanfaatan oleh masyarakat, agar tidak
terjadi konflik kepentingan lahan, serta dilakukan perhitungan luas hutan
efektif yang dimanfaatkan perusahaan.
57
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Permenhut No.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).
http://www.dephut.go.id [internet]. 1 mei 2009; [11 Februari 2013]
Adinugroho W. 2009. Penebangan Liar (Illegal Logging), Sebuah Bencana Bagi
Dunia Kehutanan Indonesia yang Tak Kunjung Terselesaikan. [Laporan].
Institut Pertanian Bogor.
[PT. AB] PT. Austral Byna. 2012. Fungsi dan kondisi hutan PT. Austral Byna.
http://www.australbyna.co.id [internet]. 20 Januari 2012; [2012 Setember
23]
CGIAR. 2010. Hutan, Pohon dan Wanatani Penghidupan, Bentang Alam dan Tata
Kelola. [Ringkasan Eksekutif]. Bogor (ID): CIFOR, World Agroforestry
Centre, Bioversity International dan CIAT
Hanggumantoro A. 2007. Studi Laju Degradasi Hutan Jati (Tectona grandis) KPH
Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut
Pertanian Bogor.
Hasan Z. 2012. Hutan Indonesia makin Hijau [Majalah Kehutanan Indonesia]
Edisi VI. Tahun 2012: 28-29.
Jaya NS. 2010. Analisis Citra Digital Perspektif Penginderaan Jauh untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.
Lo CP. 1996. Pengindraan Jauh Terapan. Bambang P, Penerjemah; Jakarta (ID):
UI press. Terjamahan dari: Applied Remote Sensing.
[NASA] National Auto Sport Association. 2007. Picture of Satelite Landsat 7.
http://science.hq.nasa.gov [internet]. 2007; [2012 Januari 23]
Prahasta E. 2009. Sistem Informasi Geografis : Konsep-konsep Dasar (Perspektif
Geodesi & Geomatika).Bandung (ID): Penerbit Informatika.
Purwadhi ISH. 2006. Interpertasi Citra Digital. Jakarta (ID): PT Gramedia.
Badan Planologi Kehutanan. 2008. Pemantauan Sumber Daya Hutan. Jakarta
(ID): Deperteman Kehutanan.
Salim H.S. 1997. Dasar-dasar Hukum Kehutanan. Jakarta (ID): Sinar Grafika
Offset.
Salman F. 2011. Evaluasi Manual Penafsiran Visual Citra Alos Palsar dalam
Mengidentifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Alos Palsar
Resolusi 50 m. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Setiyono B. 2006. Deteksi Perubahan Penutupan Lahan Menggunakan Citra
Satelit Landsat ETM+ di Daerah Aliran Sungai (DAS) Juwana, Jawa
Tengah. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sunderlin WD dan Ida Aju PR. 1997. Laju dan Penyebab Deforestasi di
Indonesia; Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya. Bogor (ID):
CIFOR.
Syarif, NI. 2011. Perbandingan Interpretasi Visual Citra Alos Palsar Resolusi 50
m dengan Citra Landsat resolusi 30 m untuk Identifikasi Tutupan Lahan
(Studi Kasus di Wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur). [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Verchot LV. 2010. Mengurangi Emisi Kehutanan di Indonesia. Bogor (ID):
CIFOR.
Wibisono Y. 2010. Sumberdaya Alam Kalimantan. Cibinong (ID): Pusat Survei
Sumberdaya Alam, Bakosurtanal.
Wicaksono, MDA. 2006. Deteksi Perubahan Penutupan Hutan Mangrove
Menggunakan Data Landsat Di Delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Zulfikar. 1999. Aplikasi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk
mengidentifikasi dan memetakan lahan kritis (Studi kasus pada lahan kritis
di sub Das Bancak, Provinsi Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Lampiran 3. Tabel Matrik kesalahan (matrik konfusi/error matrix) hasil digitasi visual tahun 2012