Anda di halaman 1dari 51

APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN

TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION


(STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN)

AYURANI PRASETIYO
E14101023

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
RINGKASAN

AYURANI PRASETIYO. Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan


Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus di Pulau Kalimantan).
Di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati


yang sangat tinggi, yang salah satunya berupa hutan. Ketergantungan yang
sangat besar terhadap hutan membawa dampak negatif terhadap kelestariannya.
Untuk dapat menyusun kebijakan yang dapat mewujudkan kelestarian hutan
maka diperlukan data yang akurat serta tepat waktu mengenai kondisi hutan
alam tropis. Kegiatan pengumpulan data dan informasi tersebut dapat dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh satelit. Keberadaan satelit
sumberdaya alam dengan resolusi spasial yang relatif rendah serta mudah
diperoleh seperti SPOT Vegetation akan mempermudah pengumpulan informasi
untuk areal yang luas, seperti Pulau Kalimantan. Tujuan dari penelitian ini adalah
menghitung tingkat akurasi klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy
dalam mengklasifikasikan penutupan lahan di wilayah Pulau Kalimantan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah citra satelit SPOT 4
Vegetation periode perekaman Juli 2001 dan 2004. Selain itu digunakan data
pendukung berupa citra satelit Landsat ETM+ serta Peta Vektor Pulau
Kalimantan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai September
2005. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Hutan,
Fakultas Kehutanan, IPB. Metode penelitian meliputi 3 tahap utama. Tahap
pertama adalah pengolahan awal citra yang terdiri atas kegiatan import data,
layer stack, koreksi geometrik (image to map rectification), koreksi radiometrik,
cropping, penghilangan awan, dan interpretasi visual citra satelit. Tahap
berikutnya adalah pengolahan citra yang meliputi kegiatan pengenalan pola
spektral dan klasifikasi knowledge based yang diikuti tahap terakhir yaitu evaluasi
hasil klasifikasi.
Interpretasi visual pada SPOT 4 Vegetation menghasilkan 5 kelas
penutupan lahan, yaitu kelas hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka,
badan air, dan awan. Pengenalan pola spektral dilakukan dengan membuat
training area pada kelas penutupan lahan selain awan.
Pada penelitian ini, klasifikasi knowledge based diturunkan dari
pengetahuan interpreter mengenai karakteristik reflektansi spektral dari kelas
penutupan lahan hasil interpretasi visual serta fungsi keanggotaan dari setiap
kelas penutupan lahan tersebut. Parameter yang dipergunakan untuk menyusun
fungsi keanggotaan fuzzy berasal dari nilai dijital piksel dari training area. Nilai
tersebut akan diposisikan sesuai dengan konsep logika fuzzy, di mana setiap
piksel yang berada pada rentang spektral tiap band untuk suatu penutupan lahan
akan memiliki derajat keanggotaan yang bernilai 1 sedangkan untuk nilai lain
akan memiliki derajat keanggotaan antara 0 sampai 1.
Rule untuk setiap penutupan lahan disusun dengan menggunakan fungsi
keanggotaan setiap band. Formula yang dipergunakan adalah jika derajat
keanggotaan pada band penentu bernilai benar atau 1 maka suatu piksel
diklasifikasikan menjadi kelas penutupan lahan yang dimaksud. Selain
menggunakan rule dari band penentu, klasifikasi juga dilakukan dengan
menggunakan fungsi keanggotaan maksimum. Apabila suatu piksel memiliki
jjumlah derajat keanggotaan kurang dari jumlah derajat keanggotaan yang
bernilai benar pada band penentu, maka rule disusun berdasarkan derajat
keanggotaan terbesar dari setiap penutupan lahan yang dimiliki piksel tersebut.
Klasifikasi dengan rule yang sama dilakukan pada citra tahun 2004 untuk
memperbaiki kemampuan dari rule tersebut dalam mengklasifikasikan penutupan
lahan pada citra multitemporal. Hasil klasifikasi pada citra tahun 2001
memperlihatkan beberapa penutupan lahan yang tidak dapat diklasifikasikan
dengan baik. Sebagai contoh, kondisi tersebut ditemukan pada penutupan hutan
alam yang terletak di wilayah Kalimantan Tengah. Piksel hutan alam tidak dapat
diklasifikasikan dengan baik karena pada wilayah tersebut terdapat awan atau
kabut tipis (haze). Sedangkan pada hasil klasifikasi tahun 2004, daerah tersebut
diklasifikasikan sebagai hutan alam. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap
luasan hutan alam hasil klasifikasi, di mana luas hutan alam tahun 2004 menjadi
lebih besar daripada luasnya pada tahun 2001. Secara temporal, suatu daerah
yang pada tahun lebih muda merupakan penutupan hutan alam, maka pada
tahun yang lebih tua juga masih berupa penutupan yang sama. Atas dasar
pengetahuan tersebut, maka daerah yang tertutup haze pada tahun 2001 akan
diklasifikasikan sebagai hutan alam
Analisis akurasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar ketepatan
metode yang digunakan untuk klasifikasi dengan keadaan sebenarnya di
lapangan. Nilai overall accuracy mencapai 92,36% yang berarti telah memenuhi
persyaratan tingkat keakuratan klasifikasi yang dapat diterima. Nilai akurasi
tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh melalui penelitian
pada lokasi yang sama dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing
seperti maximum likelihood dan fuzzy classification.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu : 1) Klasifikasi
knowledge based disusun berdasarkan rule dari nilai dijital pada band penentu.
Band 1 (biru) dapat dipergunakan sebagai band penentu untuk penutupan areal
terbuka dan badan air. Band 2 (merah), dapat dipergunakan sebagai band
penentu penutupan hutan alam. Band 3 (NIR) merupakan band penentu untuk
vegetasi non hutan alam, areal terbuka, dan badan air. Sedangkan band 4
(SWIR) dapat dipergunakan sebagai band penentu untuk hutan alam, areal
terbuka, serta badan air; 2) Rule yang disusun telah diuji secara temporal
sehingga dapat dipergunakan untuk klasifikasi pada citra dengan periode
perekaman yang berbeda; 3) Metode klasifikasi knowledge based dengan teknik
fuzzy menghasilkan nilai akurasi sebesar 92,36%. Tingkat akurasi tersebut lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan metode klasifikasi maximum likelihood dan
fuzzy classification; 4) Hasil klasifikasi menunjukkan luas penutupan hutan alam
yang konsisten apabila dibandingkan dengan data dari Badan Planologi. Kondisi
tersebut terlihat pada kecenderungan penurunan luas penutupan hutan alam dari
tahun ke tahun; 5) Klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy dapat
dipergunakan untuk monitoring pada citra dengan periode tahunan.
APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN
TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION
(STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN)

AYURANI PRASETIYO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
Judul Penelitian : APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN
TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION
(STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN)
Nama : AYURANI PRASETIYO
NIM : E14101023
Departemen : Manajemen Hutan
Program Studi : Manajemen Hutan

Menyetujui:
Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS)


NIP. 131 284 620

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan

(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS)


NIP. 131 430 799

Tanggal Lulus : 8 Desember 2005


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 6 Agustus 1983 sebagai putri


tunggal dari pasangan Bapak Susetiyo Setiyawan dan Ibu Prapti Eko Lestari.
Penulis telah mengenyam pendidikan formal di TK Seruni 1 Purworejo
(1988-1989). Pendidikan selanjutnya penulis dapatkan di SD Pangengudang
Purworejo antara tahun 1989 sampai dengan tahun 1995. Selanjutnya penulis
mengikuti pendidikan di SMPN 1 Purworejo. Setelah lulus pada tahun 1998,
penulis melanjutkan studi ke SMUN 1 Purworejo sampai dengan lulus pada
tahun 2001.
Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi
Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah mengikuti Praktek
Pengenalan Hutan di KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa
Tengah serta Praktek Pengelolaan Hutan Jati di KPH Ngawi, Perum Perhutani
Unit II Jawa Timur pada bulan Juli sampai Agustus 2004. Selain itu, pada kurun
waktu April sampai Mei 2005, penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan di
HPHTI PT Wirakarya Sakti, Jambi.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
maka penulis melakukan penyusunan skripsi dengan judul ” Aplikasi Klasifikasi
Knowledge Based dengan Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi
Kasus di Pulau Kalimantan)” di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Adapun judul yang dipilih adalah Aplikasi Klasifikasi Knowledge Based dengan
Teknik Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus di Pulau Kalimantan).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala
bimbingan berupa petunjuk, saran maupun fasilitas yang diberikan kepada
penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2. Bapak Dr. Ir. I Wayan Darmawan, MS selaku wakil dari Departemen Hasil
Hutan serta Bapak Dr. Ir. Sambas Basuni, MS selaku wakil dari Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas kesediaannya untuk
menjadi dosen penguji komprehensif.
3. Bapak dan Ibu serta keluarga di Purworejo atas kasih sayang, doa dan
segala pengorbanannya.
4. Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc yang telah membantu memberikan
data satelit.
5. Teman-teman Manajemen Hutan 38 atas kebersamaan dan persahabatan
selama hampir lima tahun terakhir ini.
6. Wira Fitria dan Lukmanul Hakim, teman seperjuangan penelitian atas
kerjasama dan bantuannya.
7. Agung Monang Bahari atas perhatian, kesabaran dan dukungan yang selalu
dicurahkan kepada penulis.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Desember 2005

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................. i
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... v
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang .............................................................................. 1
Tujuan ........................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
Penginderaan Jauh ....................................................................... 3
Penutupan Lahan .......................................................................... 3
Karakteristik Reflektansi Spektral .................................................. 4
Citra Satelit SPOT 4 Vegetation .................................................... 4
Citra Satelit Landsat ETM+ ............................................................ 5
Interpretasi Citra ............................................................................ 6
Klasifikasi Knowledge Based ......................................................... 7
Teknik Fuzzy ................................................................................. 8
METODOLOGI ........................................................................................ 9
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 9
Alat dan Bahan .............................................................................. 9
Metode Penelitian .......................................................................... 9
Pengolahan awal citra (pre-image processing) ...................... 9
Import data ...................................................................... 9
Layer stack ...................................................................... 10
Koreksi geometrik ............................................................ 10
Koreksi radiometrik .......................................................... 10
Penyekatan areal penelitian (cropping) ........................... 10
Penghilangan awan ......................................................... 10
Interpretasi visual citra satelit ......................................... 11
Pengolahan citra (image processing)..................................... 13
Pengenalan pola spektral ................................................ 13
Klasifikasi knowledge based ........................................... 13
Evaluasi hasil klasifikasi ........................................................ 14
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ................................................... 16
Letak Geografis ............................................................................. 16
Topografi ....................................................................................... 16
Tanah ............................................................................................ 17
Iklim ............................................................................................... 17
Vegetasi ........................................................................................ 18
Satwa ............................................................................................ 18
Penduduk ...................................................................................... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 20
Interpretasi Visual .......................................................................... 20
Pengenalan Pola Spektral ............................................................. 21
Klasifikasi Knowledge Based ......................................................... 23
Penampakan visual hasil klasifikasi................................................ 27
Evaluasi akurasi hasil klasifikasi ..................................................... 30
Luas Penutupan Lahan di Pulau Kalimantan ................................. 31

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 33


Kesimpulan .................................................................................... 33
Saran ............................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 34
LAMPIRAN ............................................................................................... 36
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Spesifikasi SPOT 4 Vegetation ............................................................ 5
2 Spesifikasi Landsat ETM+ ................................................................... 6
3 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra Landsat ETM+
pada kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan ................................. 12
4 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra SPOT 4 Vegetation
pada kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan ................................. 12
5 Nilai dijital piksel pada training area .................................................... 24
6 Matriks konfusi klasifikasi citra tahun 2001 .......................................... 30
7 Keadaan penutupan vegetasi di Kalimantan tahun 1999-2000 ............ 31
8 Perkiraan luas penutupan lahan di Pulau Kalimantan ......................... 32
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Diagram alir penelitian ......................................................................... 15
2 Piksel hutan alam ................................................................................ 21
3 Piksel non hutan alam ......................................................................... 21
4 Piksel areal terbuka ............................................................................. 21
5 Piksel badan air ................................................................................... 21
6 Posisi Landsat ETM+ untuk pengenalan pola spektral ........................ 22
7 Grafik pola spektral penutupan lahan .................................................. 22
8 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 1 .............................................. 25
9 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 2 .............................................. 25
10 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 3 .............................................. 25
11 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 4 .............................................. 25
12 Hasil klasifikasi knowledge based citra tahun 2004 ............................. 28
13 Hasil klasifikasi knowledge based citra tahun 2001 ............................. 28
14 Analisis perubahan rule berdasar multitemporal data .......................... 29
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Rule penutupan hutan alam ............................................................... 37
2 Rule penutupan vegetasi non hutan alam .......................................... 37
3 Rule penutupan areal terbuka ............................................................ 38
4 Rule penutupan badan air .................................................................. 39
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati
yang sangat tinggi, yang salah satunya berupa hutan. Menurut Suhendang
(2002), kekayaan hutan Indonesia, diperkirakan hutan alam tropis merupakan
hutan yang memiliki keanekaragaman tertinggi kedua di dunia, setelah hutan
tropika di Brazilia. Kenyataan tersebut menyebabkan sektor kehutanan turut
memegang peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Selain
memberikan manfaat ekonomi, hutan juga memberikan manfaat ekologi bahkan
sosial.
Ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan membawa dampak
negatif terhadap kelestariannya. Seiring dengan pertambahan penduduk,
tekanan terhadap sektor kehutanan semakin bertambah terutama dalam hal
manfaat ekonomi. Geist dan Lambin (2002) menyatakan bahwa deforestasi di
hutan tropika merupakan salah satu penyebab utama perubahan lingkungan
global. Deforestasi hutan tropika dipengaruhi berbagai faktor utama seperti
ekonomi, institusi dan kebijakan nasional, kependudukan, serta teknologi dan
kebudayaan.
Berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia (FWI) tahun 2002, tingkat
kerusakan hutan rata-rata mencapai kurang lebih 1 juta hektar per tahun pada
pertengahan 1980-an yang meningkat menjadi kurang lebih 1,7 juta hektar per
tahun pada awal tahun 1990-an. Sejak tahun 1996, deforestasi meningkat
menjadi kurang lebih rata-rata 2 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia
merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia.
Berbagai masalah yang menyangkut kelestarian hutan harus diselesaikan
secepatnya dengan melakukan pembenahan terutama pada level kebijakan
dalam kegiatan pengelolaan hutan. Untuk dapat menyusun kebijakan yang dapat
mewujudkan kelestarian hutan maka diperlukan data yang akurat serta tepat
waktu di antaranya data terbaru mengenai kondisi hutan alam tropis. Kegiatan
pengumpulan data dan informasi tersebut dapat dilakukan melalui inventarisasi.
Inventarisasi dapat dilakukan secara konvensional, yaitu melalui kegiatan lapang
atau terestris atau dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh.
Dewasa ini, berbagai satelit dengan karakteristik spasial maupun spektral
yang berbeda telah beroperasi. Keragaman karakteristik menjadi pertimbangan
pengguna dalam memanfaatkan tiap produknya. Keberadaan satelit sumberdaya
alam dengan resolusi spasial yang relatif rendah seperti SPOT Vegetation
mempermudah pengumpulan informasi untuk areal yang luas, seperti Pulau
Kalimantan. Menurut Jaya (2002b), untuk kegiatan monitoring skala regional dan
global, data satelit adalah sarana yang sangat potensial misalnya untuk
monitoring reforestasi, deforestasi, kebakaran hutan, laju perladangan berpindah
dan sebagainya.

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung tingkat akurasi klasifikasi
knowledge based dengan teknik fuzzy dalam mengklasifikasikan penutupan
lahan di wilayah Pulau Kalimantan.
TINJAUAN PUSTAKA

Penginderaan Jauh
Manual of Remote Sensing (1983) mendefinisikan penginderaan jauh
dalam pengertian luas, pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa
sifat obyek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik
tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek yang dikaji.
Lebih lanjut Howard (1996) menyatakan secara umum, penginderaan jauh saat
ini tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpul data mentah, tetapi pemrosesan
data mentah secara manual dan terotomatisasi, dan analisis citra serta penyajian
hasil informasi yang diperoleh.
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena
melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung
dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji.
Sedangkan menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu teknik
untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak
jauh tanpa sentuhan fisik. Tujuan dari penginderaan jauh ialah mengumpulkan
data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi tentang obyek disampaikan ke
pengamat melalui energi elektromagnetik yang merupakan pembawa informasi
dan sebagai penghubung komunikasi.

Penutupan Lahan
Aldrich (1981) dalam Lo (1995) menyatakan bahwa lahan merupakan
material dasar dari suatu lingkungan (situs), yang diartikan berkaitan dengan
sejumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi, dan
biologi.
Menurut Lo (1995), konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara
langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data yang tercakup dalam
penutupan lahan secara umum adalah : (1) struktur fisik yang dibangun oleh
manusia; (2) fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan
kehidupan binatang; (3) tipe-tipe pembangunan.
Karakteristik Reflektansi Spektral
Menurut Purwadhi (2001), karakteristik atau ciri spektral (spectral
signature) dalam penginderaan jauh adalah karakteristik objek dalam menyerap
dan memantulkan tenaga yang diterimanya
Jaya (2002b) menyatakan bahwa radiasi yang dideteksi oleh sistem
penginderaan jauh umumnya :
1. Refleksi cahaya (energi) matahari
2. Panas yang dipancarkan oleh setiap obyek yang mempunyai suhu lebih
besar dari 0°K
3. Refleksi gelombang mikro
Pantulan spektral untuk vegetasi sehat berdaun hijau dipengaruhi oleh
pigmen yang terkandung di dalam daun tumbuhan. Klorofil misalnya banyak
menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat pada sekitar 0,45 µm
dan 0,6 µm. Berdasarkan hal itu mata kita menangkap vegetasi sehat berwarna
hijau disebabkan oleh besarnya penyerapan energi pada spektrum hijau.
Tanah mempunyai pantulan yang meningkat secara monoton terhadap
peningkatan panjang gelombang. Penurunan pantulan terjadi pada panjang
gelombang 1,4 µm, 1,9 µm, dan 2,7 µm karena pengaruh kelembaban tanah,
tekstur tanah kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan
bahan organik. Karakteristik yang paling mencirikan pantulan spektral air ialah
sifat penyerapan tenaga pada spektrum inframerah pantulan (Lillesand dan
Kiefer, 1990).

Citra Satelit SPOT 4 Vegetation


SPOT atau Systeme Probatoire d’Observation de la Terre merupakan
sistem satelit milik Perancis. Satelit SPOT 1 diluncurkan pada tanggal 21
Februari 1986. Pada satelit SPOT 4, ditambahkan sensor VMI (Vegetation
Monitoring Instrument) yang berguna di dalam pemantauan untuk wilayah yang
luas. Sensor tersebut diluncurkan pada 24 Maret 1998. Vegetation merupakan
program satelit yang dimiliki secara bersama oleh Perancis, Italia, Belgia, Komisi
Eropa, dan Swedia.
Sensor VMI didesain untuk melakukan perekaman dengan periode harian
dan mempunyai resolusi spasial 1 km². Sensor tersebut menggunakan 4 saluran
yang meliputi 2 band sinar tampak biru (blue) dan merah (red), 1 band
inframerah dekat (near infrared), dan 1 band inframerah gelombang pendek
(short wave infrared).
Tabel 1 Spesifikasi SPOT 4 Vegetation
Band Panjang gelombang Kegunaan/aplikasi
(µm)
1 0,43 – 0,47 Penetrasi tubuh air dengan baik sehingga baik
BLUE untuk pemetaan perairan pantai, pembedaan
tanah dan vegetasi, analisa tanah dan air, dan
pembedaan tumbuhan berdaun lebar dan konifer.
2 0,61 – 0,68 Diskriminasi vegetasi yang berguna untuk
RED pembedaan jenis tumbuhan. Puncak penyerapan
klorofil pada panjang gelombang 0,665µm
sehingga baik untuk inventarisasi vegetasi dan
penilaian kesuburan.
3 0,78 – 0,89 Reflaktansi vegetasi maksimal pada band ini yang
NIR pada dasarnya berhubungan dengan struktur
kanopi dan presentase penutupan vegetasi di
permukaan bumi. Saluran ini penting untuk
pemisahan kelas vegetasi dan memperkuat
kontras antara penampakan vegetasi dan non
vegetasi.
4 1,58 – 1,75 Saluran yang peka terhadap akumulasi biomassa
SWIR vegetasi. Identifikasi jenis tanaman dan
memudahkan pembedaan tanah dan tanaman
serta lahan dan air.
Sumber : http://www.free.vgt.vito.be/overview.html (2000)

Citra Satelit Landsat ETM+


Landsat merupakan satelit sumberdaya alam yang diluncurkan pertama
kali pada tahun 1972 oleh Pemerintah Amerika Serikat. Pada sistem satelit
Landsat 7 yang diluncurkan pada 15 April 1999 ditambahkan sensor ETM+
(Enhanced Thematic Mapper Plus).
Sensor tersebut mendeteksi radiasi (kekuatan radiasi) pada setiap saluran
atau band. Karakteristik dari sensor tersebut hampir sama dengan generasi
terdahulu, yaitu TM (Thematic Mapper) yang terdiri dari 3 band sinar tampak biru,
hijau, merah (blue,green, red), 1 band inframerah dekat (Near Infrared/NIR), 1
band inframerah sedang (Medium Infrared/MIR), dan 1 band inframerah termal
(Thermal Infrared/TIR). Perbedaan terdapat dengan ditambahkannya band
pankromatik pada sistem ETM+.
Tabel 2 Spesifikasi Landsat ETM+
Band Panjang gelombang (µm) Resolusi spasial (m)
1. biru/blue 0,45-0,515 30 x 30
2. hijau/green 0,525-0,605 30 x 30
3. merah/red 0,63-0,69 30 x 30
4. inframerah dekat/NIR 0,75-0,90 30 x 30
5. inframerah sedang/MIR 1,55-1,75 30 x 30
6. inframerah termal/TIR 10,40-12,50 60 x 60
7. inframerah sedang/MIR 2,09-2,35 30 x 30
8. pankromatik 0,52-0,90 15 x 15
Sumber : http://www.agrecon.canberra.edu.au (2002)

Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan teknik klasifikasi secara manual. Analisis
visual (interpretasi citra) merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi obyek-obyek permukaan bumi yang tampak pada citra, baik
potret udara maupun citra satelit, dengan cara mengenalinya atas dasar
karakteristik spasial, spektral, dan temporal (Jaya, 2002b).
Lebih lanjut Jaya (2002b) menyatakan bahwa elemen-elemen diagnostik
dalam analisis visual yang umum digunakan adalah tone atau warna, ukuran,
bentuk, tekstur, pola, dan bayangan.
Di dalam Lo (1996) juga disebutkan bahwa tingkat awal interpretasi dikenal
sebagai deteksi. Tahap identifikasi tentu saja menuntun ke arah tingkat
identifikasi dan pengenalan di mana penafsir harus menggunakan tingkat rujukan
lokal, khusus, dan untuk mengelaskan obyek ke dalam kategori tertentu. Di
dalam identifikasi dan pengenalan, karakteristik non geometrik citra atas rona
atau warna, tekstur, pola, bentuk, bayangan, ukuran, dan situasi umumnya
merupakan kunci pengenalan.

Klasifikasi Knowledge Based (Knowledge Classification)


Berbagai metode klasifikasi semakin berkembang sejalan dengan
perkembangan sistem satelit. Salah satu metode klasifikasi yang melibatkan
interpreter secara aktif dalam pengambilan keputusan adalah metode klasifikasi
knowledge based. Klasifikasi ini dilakukan berdasar pengetahuan interpreter
(knowledge based classification). Teknik klasifikasi dicirikan dengan penyusunan
rule atau aturan oleh interpreter.
Dalam Erdas Field Guide (2001) dijelaskan bahwa sistem klasifikasi expert
merupakan sebuah hirarki aturan, atau sebuah pohon keputusan, yang
menjelaskan keadaan di bawah seperangkat informasi tingkat rendah yang
diabstraksikan menjadi kelas-kelas informasi tingkat tinggi. Informasi tersebut
tersusun atas variabel yang ditentukan oleh pengguna dan meliputi citra raster,
vektor, model spasial, eksternal program, dan skalar sederhana. Sebuah aturan
merupakan pernyataan persyaratan, atau daftar dari pernyataan-pernyataan
persyaratan, mengenai nilai-nilai variabel data dan/atau atribut yang menentukan
komponen informasi atau hipotesis.
Richards (1993) telah menjelaskan bahwa klasifikasi dengan metode
knowledge based dapat memadukan dua sumber data numerik dengan
perbedaan karakteristik (contoh: data multispektral dan data radar). Pengetahuan
yang digunakan antara lain pengetahuan mengenai karakteristik reflektansi
spektral, pengetahuan mengenai respon radar, dan juga teknik
mengkombinasikan informasi dari dua atau lebih sumber data tersebut. Analisa
sistem berdasarkan rule adalah cara yang efektif untuk menangani data citra
multiresolusi, sebagai contoh, rule dapat diaplikasikan sebagai awal untuk
melihat apakah terdapat pengakuan dari label yang tersedia pada piksel-piksel
data citra dengan resolusi rendah. Jika ada maka sumber data dengan resolusi
spasial tinggi tidak diperlukan, dan waktu untuk proses data dapat dihemat.
Namun analisa sistem berdasarkan rule hanya dapat memberi dukungan yang
lemah terhadap label yang tersedia dalam basis data resolusi rendah, sehingga
kemudian harus digabung dengan sumber data yang beresolusi tinggi untuk
melihat apakah ada piksel-piksel yang lebih kecil yang dapat diberi label dengan
tingkat kepastian yang lebih tinggi.

Teknik Fuzzy
Pada klasifikasi knowledge based diperlukan suatu teknik untuk kuantifikasi
dalam pengambilan keputusan mengenai kepastian keanggotaan suatu piksel.
Fungsi keanggotaan tersebut dapat ditentukan dengan menggunakan teknik
fuzzy. Teknik ini telah banyak diterapkan dalam pengenalan pola data matematik.
Dalam Suartana (2002), dijelaskan bahwa gugus fuzzy merupakan
pengembangan dari gugus biasa. Fungsi keanggotaanya tidak hanya
memberikan nilai 1 atau 0, tapi nilai yang berada pada suatu selang tertentu,
biasanya dalam selang [0,1], sehingga suatu elemen dapat memiliki derajat
keanggotaan 0, 0.82 atau 1. Nilai yang diberikan oleh fungsi keanggotaan
disebut derajat keanggotaan (degree of membership).
Aplikasi teknik fuzzy pada data penginderaan jauh telah dilakukan oleh
Brown (1998) yang menyatakan bahwa identifikasi dengan menggunakan
klasifikasi fuzzy sangat cocok untuk data yang :1) atributnya ambigu dan 2)
spasial yang samar. Atribut yang ambigu terjadi ketika anggota kelas terbagi atau
tidak jelas. Ambiguitas merupakan masalah yang biasa terjadi di dalam beberapa
data penginderaan jauh seperti fotografi udara yang diinterpretasikan secara
tidak konsisten. Kesamaran spasial terjadi ketika resolusi sampling tidak cukup
baik untuk menyertakan batas lokasi, pada saat transisi terjadi di antara kelas-
kelas atau pada saat terdapat beberapa data dengan lokasi yang tidak jelas.
Jensen (1996) dalam Erdas Field Guide menyatakan bahwa Fuzzy
Classification dirancang untuk membantu pekerjaan dengan data yang tidak
mungkin tergolong ke dalam satu kategori dengan tepat. Fuzzy classification
menggunakan fungsi keanggotaan, di mana nilai satu piksel ditentukan oleh
kedekatannya pada satu kelas lainnya. Fuzzy classification tidak mempunyai
batasan yang jelas dan masing-masing piksel bisa berada pada beberapa kelas
yang berbeda.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis
Pulau Kalimantan atau sering disebut Borneo merupakan pulau terbesar
ketiga di dunia setelah Greenland dan New Guinea. Pulau ini terletak ± 350 km
sebelah utara Pulau Jawa. Luas keseluruhannya ± 751.000 km², dengan 2/3 dari
keseluruhan pulau atau seluas 539.000 km² termasuk wilayah Indonesia,
sedangkan sisanya termasuk wilayah Malaysia dan Kesultanan Brunei
Darussalam. Luas bagian pulau yang termasuk wilayah Indonesia merupakan
28% dari daratan Indonesia.
Secara astronomis, pulau ini terletak pada 7° LU - 4° LS dan 109°- 119°
BT. Secara geografis, Pulau Kalimantan berbatasan dengan :
- Sebelah utara : Laut Cina Selatan dan Laut Sulu
- Sebelah selatan : Selat Karimata dan Laut Jawa
- Sebelah barat : Laut Cina Selatan
- Sebelah timur : Laut Sulawesi dan Selat Makasar
Sedangkan secara administratif, Pulau Kalimantan terbagi menjadi 4
propinsi, yaitu :
- Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda
- Kalimantan Selatan dengan ibukota Banjarmasin
- Kalimantan Tengah dengan ibukota Palangkaraya
- Kalimantan Barat dengan ibukota Pontianak

Topografi
Pulau Kalimantan berbentuk pesisir yang rendah dan memanjang serta
berupa dataran sungai, terutama di bagian selatan. Lebih dari setengah pulau ini
berada di bawah ketinggian 150 m dan air pasang dapat mencapai 100 km ke
arah pedalaman.
Pulau Kalimantan tidak memiliki gunung berapi tetapi jajaran pegunungan,
utamanya semula merupakan gunung berapi. Rangkaian pegunungan utamanya
melintasi bagian tengah pulau, seperti trisula terbalik dari utara ke selatan,
dengan tiga mata tombaknya bercabang di bagian selatan. Puncak tertinggi yaitu
Gunung Kinibalu (4.101 m), terdapat di Malaysia. Sedangkan Gunung Raya
(2.778 m) merupakan puncak tertinggi di Kalimantan yang termasuk dalam
wilayah Indonesia
Di bagian selatan, terdapat areal luas dengan pantai yang rendah dan
sungai yang datar. Sungai Kapuas, Sungai Barito, dan Sungai Mahakam
merupakan contoh sungai besar di pulau ini. Sungai-sungai ini merupakan jalur
masuk utama ke pedalaman pulau dan daerah pegunungan tengah. Semakin ke
hulu, sungai lebih sempit. Sungai tersebut mengalir melalui hutan-hutan
perbukitan, berarus deras, dan airnya jernih.Beberapa sungai besar mempunyai
sistem pengeluaran (outlet) berupa danau.
Kebanyakan sungai-sungai utama di Kalimantan terdapat di jajaran
pegunungan tengah. Sungai-sungai itu semakin lebar dan semakin besar
volumenya menuju ke laut karena ada tambahan air dari anak-anak sungainya.
Sungai utama akan mengalirkan air dari daerah aliran sungai yang luas. Debit air
bervariasi menurut musim. Kecepatan arus, kedalaman air, dan komposisi
substrat bervariasi menurut panjang aliran dan lebar sungai, dan ini
mempengaruhi biota yang dapat hidup di dalamnya.

Tanah
Jenis tanah yang tersebar di seluruh Pulau Kalimantan adalah jenis
histosol. Jenis ini banyak ditemukan di hampir semua dataran rendah di pulau ini.
Jenis lain yaitu ultisol, inceptisol, dan entisol banyak tersebar di daerah
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Jenis spodosol
berada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Jenis ini merupakan
penyusun ekosistem hutan kerangas (heath forest). Untuk tanah alfisol terdapat
di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sedangkan jenis oksisol
ditemukan di daerah bebatuan di Sabah dan Pegunungan Meratus di Kalimantan
Selatan (Sumber : http://www.kalsel.go.id, 2005).

Iklim
Secara umum, wilayah Pulau Kalimantan beriklim tropis dengan rata-rata
curah hujan tahunan > 254 cm/tahun. Hal tersebut mengakibatkan iklim musim
yang panjang, yaitu dari bulan November sampai dengan Mei. Bulan kering
umumnya terjadi antara bulan Mei sampai Oktober, sedangkan bulan basah
pada bulan November sampai April. Kondisi suhu udara relatif tetap, berkisar
antara 25° – 35° C di daerah dataran rendah. Sedangkan suhu rata-rata tahunan
sebesar 28 ° C.
Vegetasi
Borneo terletak di kawasan bercurah hujan konstan dan bersuhu tinggi
sepanjang tahun. Oleh karena itu, pulau ini memiliki beberapa habitat tropis
tersubur di muka bumi dan memiliki hutan basah tropis terluas di kawasan
Indomalaya. Hutan di pulau ini memiliki lebih dari 3.000 jenis pohon, termasuk
267 jenis Dipterocarpaceae, yang merupakan kelompok pohon kayu
perdagangan terpenting di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, pulau ini memiliki
lebih dari 2.000 jenis Anggrek dan 1.000 jenis Pakis.
Di sepanjang garis pantai ditumbuhi hutan mangrove maupun rawa. Untuk
Hutan mangrove, jenis vegetasi yang mendominasi adalah Avicenia sp,
Rhizophora sp, dan Bruguiera sp. Untuk hutan rawa didominasi oleh jenis Nyatoh
(Palagium sp), Terentang (Campnosperma sp), Kempas (Koompassia sp),
Pelawan (Tristania sp), Lanan/Meranti Rawa (Shorea sp) dan Nipah (Nypa
frutican). Sedangkan untuk hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan dataran
tinggi, didominasi oleh famili Dipterocarpaceae yang terdiri dari jenis-jenis
Meranti (Shorea sp), Keruing (Dipterocarpus sp) dan Kapur (Dryobalanops sp).
Jenis-jenis spesifikasi yang ada selain dari jenis tersebut ialah Ulin
(Euisideroxylon zwageri), Agathis (Agathis sp), dan Kayu Kuku (Pericopsis
moniana) (Sumber : http://www.kalsel.go.id, 2005).

Satwa
Fauna Borneo menggambarkan sejarah geologi dan hubungannya dengan
daratan purba. Banyak fauna Borneo yang serupa dengan fauna daratan Asia
dan pulau-pulau Sunda lainnya, tetapi keserupaan dengan Sulawesi dan pulau-
pulau di sebelah timur hanya sedikit. Jenis satwa yang terdapat di pulau ini
antara lain orangutan, rusa, buaya. Beragam jenis monyet dan ular juga
mendominasi satwa di pulau ini. Kekayaan sumberdaya alam dilindungi dengan
didirikannya kawasan perlindungan seperti cagar alam dan suaka margasatwa
(Sumber : http://www.walhi.or.id, 2005).

Penduduk
Pulau Kalimantan dihuni oleh aneka ragam suku bangsa, seperti Melayu
dan Dayak sebagai suku bangsa pribumi yang mula-mula mendiami daratan
Kalimantan. Pada umumnya, mereka tinggal di daerah-daerah aliran sungai di
dataran rendah dan dataran-dataran aluvial.
Etnis Dayak sendiri terbagi menjadi ± 200 etnik dengan Dayak Iban
sebagai etnis terbesar. Etnis ini mendiami wilayah sekitar Sungai Kapuas. Selain
itu, terdapat juga suku bangsa pribumi pendatang antara lain Bugis, Jawa,
Madura, Minangkabau, Sunda, Batak, serta etnis Cina-Indonesia sebagai bangsa
imigran dari Tiongkok/RRC.
Kalimantan berperan penting dalam pengembangan ekonomi Indonesia
dan merupakan salah satu penghasil devisa utama. Kekayaan ini bukan berasal
dari produk industri, juga bukan dari hasil pertanian dan perkebunan, melainkan
karena besarnya cadangan sumber daya alam berupa hutan, minyak, gas, batu
bara, dan mineral-mineral lain (Sumber : http://www.kalsel.go.id, 2005).
METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan
September 2005. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium
Perencanaan Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Satelit SPOT 4
Vegetation hasil perekaman bulan Juli tahun 2001 dan 2004 dengan periode
komposit 10 harian yang meliputi seluruh wilayah Kepulauan Asia. Data
pendukung lain berupa :
1. Citra Landsat ETM+ path 116 row 061 hasil perekaman tanggal 13
Januari 2002;
2. Citra Landsat ETM+ path 117 row 058 hasil perekaman tanggal 26 Juni
2001;
3. Citra Landsat ETM+ path 119 row 062 hasil perekaman tanggal 15
Januari 2001;
4. Citra Landsat ETM+ path 120 row 060 hasil perekaman tanggal 2 Juni
2002;
5. Peta vektor Pulau Kalimantan.
Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu seperangkat PC (Personal
Computer) dengan perangkat lunak pengolah citra ERDAS Imagine 8.5, Arc View
3.2, ER Viewer 7.0 dan Microsoft Office.

Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap utama, yang terdiri dari kegiatan,
pengolahan awal citra (pre-image processing), pengolahan citra (image
processing), dan evaluasi hasil klasifikasi.

Pengolahan awal citra (pre-image processing)


Import data. Kegiatan ini dilakukan untuk mengubah format awal data
mentah menjadi format yang dapat diolah oleh software pengolah citra. Proses
import data dari SPOT 4 Vegetation menggunakan software ER Viewer 7.0.
Sedangkan untuk data Landsat ETM+ dapat langsung menggunakan fungsi
import data pada ERDAS Imagine 8.5.
Layer stack. Pada tahap ini dilakukan pengintegrasian saluran spektral
dari tiap citra satelit. Kegiatan ini tidak mengubah karakteristik dari tiap band
yang digabungkan. Hasil dari tahap ini adalah citra dengan jumlah layer sesuai
dengan band yang diintegrasikan.
Koreksi geometrik. Koreksi geometri dilakukan untuk membetulkan
koordinat peta karena adanya pergeseran obyek bumi akibat efek panoramik,
lengkung dan perputaran bumi (Harjadi, 2003). Teknik koreksi geometrik
dilakukan dengan rektifikasi. Atas dasar acuan yang digunakan, rektifikasi dapat
dibedakan atas :
a. Rektifikasi citra-ke-citra (image-to-image rectification)
b. Rektifikasi citra-ke-peta (image-to-map rectification)
Sedangkan teknik yang digunakan dalam mengoreksi kesalahan geometrik
adalah dengan menggunakan sejumlah titik kontrol lapangan (Ground Control
Point/GCP). Pendekatan ini adalah teknik yang sudah banyak dibuktikan
keandalannya dan dapat mencapai ketelitian lebih kecil dari 1 piksel (Jaya,
2002b).
Koreksi radiometrik. Menurut Jaya (2002b), koreksi radiometrik dilakukan
untuk mengoreksi kesalahan yang terkait dengan nilai dijital (Brightness
Value/BV). Kesalahan ini dapat terjadi karena faktor internal yaitu kesalahan
respon detektor ataupun faktor eksternal yaitu pengaruh atmosfer. Masalah
pengaruh atmosfer akan tampak apabila kita ingin membandingkan respon
spektral pada suatu lokasi yang direkam pada waktu yang berbeda. Dua teknik
koreksi radiometrik adalah pembetulan histogram (histogram adjustment) dan
pembetulan regresi (regression adjustment).
Penyekatan areal penelitian (cropping). Penyekatan ini dilakukan untuk
membatasi wilayah yang menjadi areal penelitian yaitu Pulau Kalimantan.
Kegiatan ini dilakukan karena dalam satu scene citra tersebut meliputi areal
seluas 2250 km x 2250 km. Luasan tersebut meliputi keseluruhan wilayah
Kepulauan Asia, terbentang dari Semenanjung Malaya sampai Papua Nugini.
Penghilangan awan. Menurut Harjadi (2003), citra satelit dapat dipakai di
Indonesia dan sangat jelas kenampakan obyek karena daerah tropika
pencahayaan matahari intensitasnya maksimal sepanjang tahun, kecuali pada
daerah yang sering berkabut seperti di Kalimantan atau di luar Jawa lainnya.
Kondisi tersebut bertentangan dengan kebutuhan citra satelit yang
dipergunakan untuk monitoring yaitu citra yang bebas dari gangguan awan.
Salah satu cara untuk mengurangi pengaruh gangguan tersebut adalah dengan
menggunakan komposit citra time series dari band asli sehingga diperoleh citra
yang relatif bersih dari penampakan awan.
Dalam Kartikasari (2004), tingkat keawanan pada komposit citra sepuluh
harian bervariasi, yaitu antara 90% sampai dengan 20% dan cenderung sangat
tinggi. Tingkat penutupan awan yang tinggi dijumpai terutama pada bulan basah
(Oktober-Februari) dengan rata-rata 67,33% dan menjadi rendah dengan rata-
rata 37,15% pada bulan kering (Maret-September). Pembuatan komposit periode
bulanan mampu mengurangi penutupan awan dari 82,5% pada komposit 10 hari
menjadi 72,5%. Penggunaan metode komposit time series dalam setahun
terbukti mampu mengurangi penutupan awan hingga 5%.
Interpretasi visual citra satelit. Karakteristik spasial citra SPOT 4
Vegetation kurang detil apabila digunakan untuk mengenali kelas penutupan
lahan di Pulau Kalimantan. Dalam Kartikasari (2004) disebutkan bahwa di dalam
citra satelit SPOT 4 Vegetation pada kombinasi 1-2-3-4 (all bands), hanya bisa
dikenali 3 kelas penutupan, yaitu air, awan, dan non keduanya. Oleh karena itu,
diperlukan kombinasi band yang dapat memperjelas visual kelas penutupan
lahan sehingga benar-benar dapat dibedakan satu sama lainnya. Komposit yang
digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah kombinasi band 4-3-2 yang
penampakan visualnya sama dengan Landsat ETM+ pada kombinasi 5-4-3 dan
perbedaan antar kelas penutupan menjadi lebih jelas. Kegiatan interpretasi visual
pada citra dilakukan berdasarkan overlay kelas penutupan lahan dari citra
Landsat ETM+.
Tabel 3 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra Landsat ETM+ pada
kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan
No Jenis kelas penutupan Ciri-ciri visual
1. Hutan dataran rendah Berwarna merah tua.
(lowland forest)
2. Hutan rawa Berwarna merah kehitaman.
(swamp forest)
3. Hutan mangrove Berwarna merah kehitaman. Umumnya ditemukan di
(mangrove forest) sepanjang pantai.
4. Areal penanaman Berwarna merah, mempunyai bentuk yang teratur.
(plantations)
5. Semak belukar (shrub) Berwarna merah muda dan bentuknya tidak teratur.
6. Areal terbuka Berwarna putih kehijauan, biasanya mempunyai
(open area) bentuk yang teratur dan luas.
7. Badan air Berwarna biru sampai hitam.
(water)
8. Awan (cloud) Berwarna putih sampai putih kebiruan.
Sumber : Kartikasari, 2004

Tabel 4 Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra SPOT 4 Vegetation pada
kombinasi band 4-3-2 di Pulau Kalimantan
No Jenis kelas penutupan Ciri-ciri visual
1. Hutan dataran rendah (lowland forest) Berwarna hijau
2. Hutan rawa (swamp forest) Berwarna hijau tua
3. Hutan mangrove (mangrove forest) Berwarna hijau tua
4. Areal penanaman (plantations) Berwarna hijau muda hingga kekuningan
5. Semak belukar (shrub) Berwarna hijau muda
6. Areal terbuka (open area) Berwarna merah muda
7. Badan air (water) Berwarna biru
8. Awan (cloud) Berwarna putih
Sumber : Kartikasari, 2004

Pengolahan citra (image processing)


Pengenalan pola spektral. Dalam Purwadhi (2001) dijelaskan bahwa
pengenalan pola spektral (spectral pattern recognition) adalah mengevaluasi
informasi obyek berdasarkan ciri spektral yang disajikan oleh citra penginderaan
jauh. Pengenalan pola spektral dilakukan dengan bantuan komputer agar
informasi spektral dapat dievaluasi secara kuantitatif.
Setiap kelas penutupan lahan memiliki karakteristik spektral khas yang
menjadi dasar klasifikasi. Pengenalan karakteristik dilakukan dengan pembuatan
training area tiap kelas penutupan lahan berdasarkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Menurut Jaya (2002b), training area merupakan prototipe dari sejumlah piksel
yang mewakili dari masing-masing kelas atau kategori yang diinginkan. Kegiatan
ini dilakukan dengan menentukan posisi contoh di lapangan dengan bantuan
citra warna komposit Landsat ETM+ .
Klasifikasi knowledge based. Menurut Jaya (2002b), klasifikasi
merupakan pengelompokan piksel-piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori-
kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value
atau digital number/DN).
Menurut Richards (1993), ada beberapa cara dalam klasifikasi knowledge
based, di antaranya yang paling sederhana adalah dengan penggunaan aturan.
Formula yang digunakan adalah if condition then inference. ‘Condition’ dalam
aturan ini merupakan ekspresi logika yang dapat bernilai benar atau salah.
Logika yang disusun menggunakan prinsip fungsi keanggotaan. Fungsi
keanggotaan diperoleh dengan menggunakan teknik fuzzy. Pada teknik ini, suatu
piksel memiliki kemungkinan untuk masuk lebih dari satu kelas penutupan lahan.
Pengambilan keputusan dalam klasifikasi berdasarkan fungsi keanggotaan
terbesar yang dimiliki oleh suatu piksel. Menurut Chen (2005), pendekatan fuzzy
tidak membutuhkan training area yang bersifat homogen seperti yang dibutuhkan
oleh metode klasifikasi supervised yang bersifat tradisional. Algoritma yang
disusun meliputi 2 langkah utama, yaitu perkiraan mengenai parameter fuzzy dari
training area dan klasifikasi fuzzy pada citra.

Evaluasi hasil klasifikasi


Penetapan akurasi dari klasifikasi citra satelit sangat penting untuk
mengevaluasi kualitas peta yang dikembangkan dari data penginderaan jarak
jauh. Keakuratan klasifikasi diperoleh dari perbandingan antara jumlah piksel
yang dikelaskan secara benar pada setiap kelas dengan jumlah contoh yang
digunakan (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Ukuran akurasi yang dipergunakan adalah overall accuracy, producer’s
accuracy, dan user’s accuracy. Overall accuracy merupakan perbandingan
antara jumlah total area (piksel) yang diklasifikasikan dengan benar terhadap
jumlah total area (piksel) observasi. Akurasi ini menunjukkan tingkat kebenaran
citra hasil klasifikasi. Producer’s accuracy adalah probabilitas/peluang suatu
piksel akan diklasifikasikan dengan benar dan secara rata-rata menunjukkan
seberapa baik setiap kelas di lapangan telah diklasifikasi. Sedangkan user’s
accuracy adalah probabilitas/peluang rata-rata suatu piksel dari citra yang telah
terklasifikasi secara aktual mewakili kelas-kelas tersebut di lapangan.
Mulai

Pengolahan awal citra Citra SPOT Vegetation


tahun 2004

Citra SPOT Vegetation Penyamaan brightness


tahun 2001

Citra Landsat Interpretasi visual citra


ETM+

Pengenalan pola spektral

Penyusunan
Rule

Klasifikasi

Analisis dan uji akurasi

tidak
diterima Klasifikasi

tidak
Analisis multitemporal data

diterima

Selesai

Gambar 1 Diagram alir penelitian


HASIL DAN PEMBAHASAN

Interpretasi Visual
Interpretasi visual merupakan tahapan pengenalan obyek melalui warna
kompositnya. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan komposit warna
dalam format RGB. Pemilihan kombinasi band yang digunakan berdasarkan
pada kejelasan informasi yang dapat diperoleh dari komposit tersebut. Selain itu,
setiap obyek juga dapat dikenali dari tekstur, bentuk, dan asosiasinya dengan
obyek lain. Jaya (2002b) menyatakan bahwa kombinasi yang digunakan setidak-
tidaknya satu dari band sinar tampak, satu dari inframerah dekat dan satu dari
inframerah sedang dianggap kombinasi yang cukup ideal karena menggunakan
band-band yang korelasi intra band-nya sangat kecil.
Dari penelitian terdahulu oleh Kartikasari (2004), disimpulkan bahwa kelas
penutupan terbaik yang mampu dibuat oleh citra satelit SPOT 4 Vegetation
adalah 5 kelas, yaitu kelas penutupan lahan vegetasi hutan alam, kelas
penutupan lahan vegetasi non hutan alam, kelas penutupan lahan areal terbuka,
badan air, dan awan. Kelas penutupan hutan alam termasuk di dalamnya adalah
hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan dataran rendah. Kelas penutupan
vegetasi non hutan alam terdiri atas penutupan areal penanaman dan semak
belukar. Areal terbuka adalah penggabungan dari penutupan areal bekas
tebangan, pemukiman, dan areal terbuka alami. Badan air adalah hasil
penggabungan penutupan berupa danau, sungai, dan pantai atau laut.
Secara visual, kelima kelas penutupan lahan tersebut dapat dikenali
dengan jelas. Visualisasi piksel dari tiap kelas penutupan lahan hutan alam,
vegetasi non hutan alam, areal terbuka dan badan air pada kombinasi band 4-3-2
dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2 Piksel hutan alam Gambar 3 Piksel vegetasi non hutan


alam

Gambar 4 Piksel areal terbuka Gambar 5 Piksel badan air

Pengenalan Pola Spektral


Kegiatan utama dalam mengidentifikasi karakteristik spektral adalah
pembuatan training area dari setiap kelas penutupan lahan hasil interpretasi
visual. Pembuatan training area menggunakan bantuan data pendukung dari
citra satelit dengan resolusi lebih tinggi untuk memudahkan pengenalan secara
spasial. Data pendukung terdiri atas citra satelit Landsat ETM+ path 116 row 061
yang meliputi wilayah Balikpapan; path 117 row 058 yang meliputi wilayah
Tanjung Redeb, keduanya termasuk dalam wilayah Propinsi Kalimantan Timur;
path 119 row 062 yang meliputi wilayah Sampit, Propinsi Kalimantan Tengah;
dan path 120 row 060 yang meliputi wilayah Sintang, Propinsi Kalimantan Barat.
Posisi Landsat ETM+ dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 6.
Gambar 6 Overlay citra Landsat ETM+ untuk pengenalan pola spektral
Training area yang telah dibuat di citra pendukung akan di-overlay
terhadap citra SPOT 4 Vegetation. Setiap kelas penutupan lahan akan
membentuk pola yang khas dalam hal nilai dijital pada setiap band.

100
Hutan alam
80
V egetasi non
60 hutan alam
N ilai DN

A real terbuka
40
B adan air
20

0
1 2 3 4
Band

Gambar 7 Grafik pola spektral penutupan lahan pada citra SPOT 4Vegetation
Dari grafik pada Gambar 7 dapat diketahui bahwa setiap penutupan lahan
akan membentuk pola yang khas pada setiap saluran spektral. Pada band sinar
tampak dapat dibedakan antara kelas penutupan yang bervegetasi dan areal
terbuka. Pada rentang panjang gelombang sinar tampak biru dan merah,
penutupan bervegetasi memiliki reflektansi lebih rendah daripada areal terbuka.
Kondisi tersebut terjadi karena pada panjang gelombang 0,45 µm dan 0,65 µm
merupakan pusat penyerapan klorofil (Lillesand dan Kiefer, 1990). Sedangkan
pada band inframerah, penutupan vegetasi memiliki reflektansi yang lebih tinggi
dibandingkan pada band sinar tampak. Kondisi ini sesuai dengan respon
penutupan vegetasi terhadap panjang gelombang inframerah. Lillesand dan
Kiefer (1990) menyatakan bahwa pada julat antara 0,7 µm - 1,3 µm daun
tetumbuhan memantulkan 50% tenaga yang datang padanya sebagian besar
dari 50% energi selebihnya ditransmisikan, karena serapan pada daerah spektral
ini minimal. Sebaliknya pada band 1 dan 2, klorofil daun akan menyerap panjang
gelombang biru dan merah sehingga vegetasi tampak berwarna hijau.
Dari grafik juga terlihat bahwa penutupan areal terbuka memiliki reflektansi
tertinggi apabila dibandingkan dengan ketiga kelas lainnya. Pantulan tanah
sendiri dipengaruhi oleh faktor kandungan kelembaban tanah, tekstur tanah
(susunan pasir, debu, dan lempung), kekasaran permukaan, adanya oksidasi
besi, dan kandungan bahan organik. Faktor-faktor tersebut sangat kompleks,
bervariasi, dan saling berhubungan (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Pada band sinar tampak, reflektansi badan air lebih tinggi dibandingkan
pada band sinar inframerah. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Lillesand dan
Kiefer (1990) bahwa air jernih menyerap tenaga relatif sedikit pada panjang
gelombang kurang dari 0,6 µm. Transmisi yang tinggi menandai panjang
gelombang tersebut dan mencapai maksimumnya pada bagian spektrum biru-
hijau. Identifikasi dan deliniasi tubuh air pada data penginderaan jauh dapat
dilakukan dengan mudah pada panjang gelombang inframerah pantulan.

Klasifikasi Knowledge Based


Klasifikasi dengan metode ini menggunakan pengetahuan interpreter
sebagai dasar pengklasifikasian. Pada penelitian ini, klasifikasi knowledge based
diturunkan dari pengetahuan interpreter di antaranya pengetahuan mengenai
karakteristik reflektansi spektral dari kelas penutupan lahan hasil interpretasi
visual serta pengetahuan mengenai fungsi keanggotaan dari setiap kelas
penutupan lahan tersebut. Fungsi keanggotaan diperoleh dari konsep logika
fuzzy.
Pengetahuan mengenai karakteristik reflektansi spektral dipergunakan
untuk memilih band penentu. Band tersebut merupakan band yang mampu
mengenali suatu penutupan lahan secara khas. Pengetahuan mengenai band
penentu diperoleh dari Gambar 7. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa
band 1 (biru) dapat dipergunakan sebagai band penentu untuk penutupan areal
terbuka dan badan air. Band 2 (merah), dapat dipergunakan sebagai band
penentu penutupan hutan alam. Band 3 (NIR) merupakan band penentu untuk
vegetasi non hutan alam, areal terbuka, dan badan air. Sedangkan band 4
(SWIR) dapat dipergunakan sebagai band penentu untuk hutan alam, areal
terbuka, serta badan air.
Parameter yang dipergunakan untuk menyusun fungsi keanggotaan fuzzy
berasal dari nilai dijital piksel dari training area. Nilai dijital dari setiap kelas
penutupan lahan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5 Nilai dijital piksel pada training area
Sample Band Min Max Mean
Hutan alam 1 0 4 1,1
2 0 6 4,98
3 39 61 47,95
4 32 51 40,74
Vegetasi non hutan alam 1 0 6 2,49
2 6 12 8,03
3 62 85 69,46
4 49 99 74,95
Areal terbuka 1 3 8 5,86
2 8 31 14,62
3 32 46 49,31
4 62 131 87,45
Badan air 1 15 21 12,82
2 8 30 15,59
3 0 26 15,69
4 0 19 19,91
Nilai yang tercetak tebal pada tabel di atas merupakan nilai pada band
penentu yang akan dipergunakan dalam penyusunan rule. Nilai tersebut akan
diposisikan sesuai dengan konsep logika fuzzy, di mana setiap piksel yang
berada pada rentang spektral pada setiap band untuk suatu penutupan lahan
akan memiliki derajat keanggotaan yang bernilai 1 sedangkan untuk nilai lain
akan memiliki derajat keanggotaan antara 0 sampai 1. Deskripsi fungsi
keanggotaan pada setiap band dapat dilihat pada Gambar 8 sampai dengan
Gambar 11.
1

D erajat K eanggotaan
B adan air

A real tebuk a

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

N ilai P ik s el

Gambar 8 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 1

1
D erajat K eanggotaan

H utan alam

0
1 2 3 4 5 6 7

N ilai P ik s el

Gambar 9 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 2

1
D eraja t K ea n g go ta an

V eg e ta s i n o n
h ut an a la m
A re al te rb uk a

B ad a n air

0
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81

N ila i P ik s e l

Gambar 10 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 3


D erajat K eanggotaan

H utan alam
A real terbuk a
B adan air

0
1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 99 106 113 120 127

N ilai P ik s el

Gambar 11 Fungsi keanggotaan fuzzy pada band 4


Formula yang dipergunakan dalam penyusunan rule adalah jika derajat
keanggotaan pada band penentu bernilai benar atau 1 maka suatu piksel
diklasifikasikan menjadi kelas penutupan lahan yang dimaksud. Selain
menggunakan rule dari band penentu, klasifikasi juga dilakukan dengan
menggunakan fungsi keanggotaan maksimum. Apabila suatu piksel memiliki
jumlah derajat keanggotaan kurang dari jumlah derajat keanggotaan yang
bernilai benar pada band penentu, maka rule disusun berdasarkan derajat
keanggotaan terbesar dari setiap penutupan lahan yang dimiliki piksel tersebut.
Deskripsi rule selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan
Lampiran 4.
Klasifikasi dengan rule yang sama dilakukan pada citra SPOT 4 Vegetation
hasil perekaman tahun 2001 dan 2004. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan dari rule yang telah disusun dalam mengklasifikasikan setiap kelas
penutupan lahan pada tahun yang berbeda. Sebelum dilakukan klasifikasi maka
perlu diamati ada tidaknya perbedaan nilai spektral suatu penutupan lahan pada
citra multitemporal. Perbedaan nilai spektral tersebut dapat terjadi karena kondisi
atmosfer yang berbeda.
Pengaruh atmosfer pada citra yang digunakan untuk monitoring dapat
dikurangi dengan melakukan penyamaan brightness melalui koreksi efek
atmosfer. Harjadi (2003) menyatakan bahwa koreksi relatif efek atmosfer adalah
mengoreksi nilai numerik suatu citra dari dua tanggal pengambilan yang berbeda.
Pengoreksian dilakukan dengan mengasumsikan bahwa kedua citra tersebut
dalam kedudukan yang sama baik secara spasial maupun spektral. Koreksi
radiometrik dilakukan dengan menyamakan kedua citra dari tahun pengambilan
berbeda dengan persamaan linier. Sehingga nantinya untuk citra yang
diperbandingkan akan memiliki nilai radiometri, rerata dan sebaran baru yang
selaras dengan citra yang menjadi bahan bandingan.
Pada penelitian ini, koreksi radiometrik dilakukan pada citra SPOT 4
Vegetation tahun 2004 dengan citra tahun 2001 sebagai pengoreksi. Citra tahun
perekaman 2001 dipergunakan untuk mengoreksi karena rule yang telah disusun
menggunakan nilai dijital training area dari citra tahun 2001. Hasil dari koreksi ini
adalah rentang spektral baru untuk penutupan lahan pada citra tahun 2004 yang
selaras dengan citra tahun 2001.
Penampakan Visual Hasil Klasifikasi
Penampakan visual pada hasil klasifikasi yang diperoleh menunjukkan
adanya perbedaan yang jelas. Hasil klasifikasi pada citra tahun 2001
memperlihatkan beberapa penutupan lahan yang tidak dapat diklasifikasikan
dengan baik. Sebagai contoh, kondisi tersebut ditemukan pada penutupan hutan
alam yang terletak di wilayah Kalimantan Tengah. Piksel hutan alam tidak dapat
diklasifikasikan dengan baik karena pada wilayah tersebut terdapat awan atau
kabut tipis (haze). Penggunaan komposit time series bulanan dapat mengurangi
penutupan awan tebal tetapi tidak dapat menghilangkan keberadaan haze pada
citra multitemporal.
Keberadaan haze pada citra satelit dapat mengganggu analisis yang
dilakukan untuk monitoring. Gangguan haze dapat terjadi karena pengaruh
interaksi antara radiasi matahari dengan atmosfer bumi. Jaya (2002b)
menjelaskan bahwa interaksi ini akan menyebabkan distorsi radiometrik
eksternal yang tidak sistematis. Pengaruh dari interaksi tersebut dapat berupa
meningkatnya kecerahan (brigthness) apabila radiasi matahari dipencarkan
(scatttering) sementara apabila radiasi matahari diserap, maka akan
menyebabkan menurunnya brightness.
Hasil klasifikasi pada citra tahun 2001 menunjukkan bahwa pada daerah
yang tertutup haze diklasifikasikan sebagai penutupan selain hutan alam.
Sedangkan pada hasil klasifikasi tahun 2004, daerah tersebut diklasifikasikan
sebagai hutan alam (Gambar 12). Kondisi tersebut berpengaruh terhadap luasan
hutan alam hasil klasifikasi, di mana luas hutan alam tahun 2004 menjadi lebih
besar daripada luasnya pada tahun 2001.
Pada kasus seperti ini maka dilakukan analisis multitemporal untuk
memperbaiki rule yang telah dipergunakan sebagai dasar klasifikasi. Secara
temporal, suatu daerah yang pada tahun lebih muda merupakan penutupan
hutan alam, maka pada tahun yang lebih tua juga masih berupa penutupan yang
sama. Atas dasar pengetahuan tersebut, maka daerah yang tertutup haze pada
tahun 2001 akan diklasifikasikan sebagai hutan alam (Gambar 13). Analisis
multitemporal selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 14.
Keterangan
Hutan alam
Vegetasi non
hutan alam
Areal terbuka
Badan air
Berawan/Tidak
ada data

Gambar 12 Hasil klasifikasi knowledge based pada citra tahun 2004

Keterangan

Hutan alam
Vegetasi non
hutan alam
Areal terbuka

Badan air
Berawan/Tidak
ada data

Gambar 13 Hasil klasifikasi knowledge based pada citra tahun 2001


Gambar 14 Analisis perubahan rule berdasar multitemporal data

Tahun 2001 Tahun 2001 terklasifikasi

Tahun 2004 Tahun 2004 terklasifikasi

Tahun 2001 Tahun 2004


Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi
Selain secara visual, hasil klasifikasi harus dapat dipertanggungjawabkan
secara obyektif. Analisa citra satelit bersifat obyektif karena dapat dikontrol dari
data statistik dengan tingkat ketelitian serta ketepatan klasifikasi (Harjadi,2003).
Pada pengujian akurasi ini digunakan titik-titik referensi berdasarkan hasil
delineasi pada citra referensi sehingga kemungkinan terjadinya konfusi matriks
sangat besar. Konfusi antar kelas penutupan lahan akan sangat mempengaruhi
nilai akurasi klasifikasi seperti yang tercantum pada matriks konfusi pada
Lampiran 7. Hasil analisis akurasi klasifikasi 4 kelas penutupan lahan dapat
dilihat pada matriks konfusi berikut.
Tabel 6 Matriks konfusi klasifikasi citra tahun 2001
Diklasifikasikan sebagai kelas Produser’s
Kelas Total
Hutan Vegetasi Areal Badan accuracy (%)
referensi baris
alam non HA terbuka air
Hutan alam 158 1 0 0 159 99,37
Vegetasi non
HA 1 87 7 0 95 91,16
Areal terbuka 0 0 83 0 83 100
Badan air 7 0 16 57 80 71,25
Total kolom 166 88 106 57 Overall
User’s accuracy =
accuracy (%) 95,18 98,86 78,30 100 417 92,36%
Producer’s accuracy tertinggi diperoleh pada penutupan areal terbuka
sebesar 100% dan terendah pada penutupan badan air yaitu 71,25%. User’s
accuracy tertinggi diperoleh pada penutupan badan air sebesar 100% dan
terendah pada penutupan areal terbuka yaitu 78,3%. Kondisi tersebut terjadi
karena adanya konfusi antar kelas penutupan areal terbuka dengan badan air.
Tingkat akurasi klasifikasi keseluruhan dapat dilihat dari overall accuracy yaitu
sebesar 92,36%. Nilai akurasi di atas 85% berarti hasil klasifikasi dapat diterima
dengan tingkat kesalahan kurang atau samadengan 15%.
Nilai overall accuracy yang diperoleh dengan metode klasifikasi knowledge
based ini lebih tinggi daripada akurasi yang diperoleh dengan metode klasifikasi
terbimbing lainnya. Penelitian di lokasi yang sama telah dilakukan oleh
Kartikasari (2004), di mana dari analisis akurasi diketahui bahwa klasifikasi
dengan metode maximum likelihood pada kombinasi band 1-2-3-4 menghasilkan
nilai akurasi sebesar 71,89% sedangkan dengan metode fuzzy classification
menghasilkan nilai akurasi sebesar 76,22%.

Luas Penutupan Lahan di Pulau Kalimantan


Pemantauan perubahan luas penutupan lahan pada suatu areal yang luas,
seperti pulau besar lebih efektif apabila dilakukan dengan menggunakan metode
penginderaan jauh satelit. Penggunaan metode inventarisasi terestris akan
memakan biaya dan waktu yang besar serta tidak dapat menjangkau daerah
dengan topografi yang sulit. Kondisi tersebut dapat diatasi karena adanya
karakteristik citra satelit di antaranya karakteristik spektral, spasial, serta
temporal. Ketiga jenis karakteristik tersebut mampu menyebabkan citra satelit
memberikan data untuk liputan daerah yang luas serta tingkat ketersediaan data
baru yang sangat cepat.
Pemanfaatan citra satelit untuk pemantauan luas penutupan lahan dalam
skala pulau besar telah dilakukan di Pulau Kalimantan. Salah satunya adalah
pemantauan penutupan lahan hutan dan non hutan yang diperoleh dari mosaik
citra satelit Landsat TM tahun 1999-2000. Hasil pemantauan dapat dilihat pada
Tabel 7. Keadaan penutupan vegetasi yang tercantum pada tabel tersebut tidak
memasukkan wilayah Sabah dan Serawak, serta Brunei Darussalam.
Tabel 7 Keadaan penutupan vegetasi di Kalimantan tahun 1999-2000
No Propinsi Luas Penutupan Lahan (ha)
Hutan Vegetasi Areal Badan Berawan/
alam non hutan terbuka air Tidak ada
alam data
1. Kalimantan 11.685.000 3.883.000 1.536.000 91.000 716.512
Timur
2. Kalimantan 6.588.000 1.702.000 4.874.000 75.000 243.570
Barat
3. Kalimantan 9.321.000 2.828.000 2.450.000 10.000 1.833.359
Tengah
4. Kalimantan 814.000 1.832.000 747.000 305.000 288.120
Selatan
Kalimantan 28.408.000 10.245.000 9.607.000 481.000 3.131.656
Sumber : Badan Planologi Kehutanan (2002)
Kelas penutupan hutan alam merupakan hasil penggabungan dari
penutupan hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan
mangrove primer, hutan rawa primer, serta hutan rawa sekunder. Kelas
penutupan vegetasi non hutan alam merupakan hasil penggabungan dari
penutupan hutan mangrove sekunder, hutan tanaman, semak/belukar,
perkebunan, belukar rawa, sawah, serta pertanian lahan kering dan pertanian
lahan kering campur semusim. Kelas penutupan areal terbuka merupakan hasil
penggabungan dari penutupan tanah terbuka, pemukiman, transmigrasi,
pertambangan, dan rawa. Sedangkan penutupan badan air merupakan hasil
penggabungan tubuh air dan tambak.
Data pada Tabel 7 dipergunakan sebagai pembanding hasil klasifikasi.
Perbandingan tersebut dilakukan untuk mengetahui ketepatan hasil klasifikasi
karena data yang bersumber dari Badan Planologi diperoleh dari citra satelit
Landsat ETM+ yang memiliki resolusi lebih baik daripada SPOT Vegetation.
Hasil dari perbandingan dipergunakan sebagai faktor koreksi luas setiap
penutupan lahan hasil klasifikasi. Luas setiap penutupan lahan hasil klasifikasi
yang telah dikoreksi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 8 Perkiraan luas penutupan lahan di Pulau Kalimantan
No Kelas penutupan lahan Luas (ha)
Tahun 2001 Tahun 2004
1 Hutan alam 19.697.252 17.521.170
2 Vegetasi non hutan alam 15.635.567 15.106.741
3 Areal terbuka 13.005.497 15.164.308
4 Badan air 360.156 395.339
5 Berawan/Tidak ada data 2.989.616 3.500.530
Dari luas di atas menunjukkan penutupan hutan alam yang konsisten
dibandingkan dengan data dari Badan Planologi. Kondisi ini ditunjukkan oleh
luasan hutan alam yang mengalami pengurangan dari tahun yang berbeda.
Secara umum, penutupan hutan alam dari tahun ke tahun mengalami
kecenderungan luasan yang semakin berkurang. Menurut FWI (2002),
penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah
menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Selain
itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala
besar dengan melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh. Pembukaan
hutan menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan
perkotaan semakin memperparah laju deforestasi.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Klasifikasi knowledge based disusun berdasarkan rule dari nilai dijital pada
band penentu. Band 1 (biru) dapat dipergunakan sebagai band penentu
untuk penutupan areal terbuka dan badan air. Band 2 (merah), dapat
dipergunakan sebagai band penentu penutupan hutan alam. Band 3 (NIR)
merupakan band penentu untuk vegetasi non hutan alam, areal terbuka, dan
badan air. Sedangkan band 4 (SWIR) dapat dipergunakan sebagai band
penentu untuk hutan alam, areal terbuka, serta badan air.
2. Rule yang disusun telah diuji secara temporal sehingga dapat dipergunakan
untuk klasifikasi pada citra dengan periode perekaman yang berbeda.
3. Metode klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy menghasilkan nilai
akurasi sebesar 92,36%. Tingkat akurasi tersebut lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan metode klasifikasi maximum likelihood dan fuzzy
classification.
4. Hasil klasifikasi menunjukkan luas penutupan hutan alam yang konsisten
apabila dibandingkan dengan data dari Badan Planologi. Kondisi tersebut
terlihat pada kecenderungan penurunan luas penutupan hutan alam dari
tahun ke tahun.
5. Klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy dapat dipergunakan untuk
monitoring pada citra dengan periode tahunan.

Saran
Teknik fuzzy dapat diterapkan pada data SPOT Vegetation untuk
monitoring tahunan, asalkan haze dapat dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA

American Society of Photogrammetry. 1983. Manual of Remote Sensing. 2nd


edition. Falls Church, Va.

Badan Planologi Kehutanan. 2002. Peta Penutupan Lahan Propinsi Kalimantan


Barat, Tengah, Timur dan Selatan. http://www.dephut.go.id/ [24 Oktober
2005].

Brule, James F. 1985. Fuzzy System - A Tutoriall


http://www.austinlinks.com/fuzzy/tutorial.html [9 Agustus 2005].

Chen, Chi Farn. 2000. Fuzzy Training Data for Fuzzy Supervised Classification of
Remotely Sensed Images. http://www.csrsr.ncu.edutw [ 10 April 2004].

Erdas, Inc. 2001. Erdas Field Guide. Atlanta, Georgia: Erdas, Inc.

Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch. 2002. The State of The Forest:
Indonesia. Bogor.

Geist and Lambin. 2002. Proximate Causes and Underlying Driving Forces of
Tropical Deforestation. http://www.giscenter.isu.edu [10 April 2004].

Harjadi, Beny. 2003. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.


Surakarta: BP2TPDAS.

Hosley, W.D and Shores, L. 1979. Merit Students Encyclopedia. New York:
Macmillan Educational Corporation.

Howard, J.A. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan: Teori dan
Aplikasi. Terjemahan dari: Remote Sensing of Forest Resource : Theory
and Application. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jaya, I.N.S. 2002. Fotogrametri dan Penafsiran Potret Udara di Bidang


Kehutanan. Bogor: Laboratorium Inventarisasi Hutan, Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

. 2002. Penginderaan Jauh Satelit Untuk Kehutanan. Bogor:


Laboratorium Inventarisasi Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Jensen, J.R. 1986. Introductory to Digital Image Processing; A Remote Sensing


Perspective. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Kartikasari, R. 2004. Klasifikasi Penutupan Lahan dengan Teknik Maksimum


Likelihood dan Fuzzy pada SPOT 4 Vegetation (Studi Kasus di Pulau
Kalimantan) [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Landsat ETM+. 2002. http://www.agrecon.canberra.edu.au [11 Agustus 2005].

Lillesand dan Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.Terjemahan


dari: Remote Sensing and Image Interpretation.Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Lo C.P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: Universitas Indonesia


Press.

Mediawiki. 2004. Borneo. http://www.wikipedia.org/wiki/borneo.html [26 Januari


2005].

Pal, Sankar dan Dwijesh K. Majumder. 1989. Fuzzy Pendekatan Matematik


Untuk Pengenalan Pola. Sardy S, penerjemah. Jakarta; Universitas
Indonesia Press. Terjemahan dari: Fuzzy Mathematical Approach to
Pattern Recognition.

Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan. 2005. Profil Propinsi.


http://www.kalsel.go.id [11 Agustus 2005].

Purwadhi. 2001. Interpretasi Citra Dijital. Jakarta: Grasindo.

Richards, J.A. 1993. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction.


Berlin: Springer-verlag.

Schowengerdt, R.A. 1997. Remote Sensing: Models and Methods for Image
Processing. 2nd edition. San Diego: Academic Press.

Suartana, N.N. 2002. Pengembangan Basis Data Relasional Fuzzy untuk


Pengukuran Tingkat Kemiskinan Penduduk [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu
Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.

Sunar, F. 1998. An Analysis of Change in a Multi Date Dataset A Case Study in


Iketely Area, Istambul Turkey. International Journal of Remote Sensing.
19 : 2, 225-235.

Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit


Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Sumantri, B. 2004. Identifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit


dengan Teknik Klasifikasi Pendekatan Piksel dan Obyek : Studi Kasus di
Daerah Sekitar Aliran Sungai Way Besai, Sumberjaya, Lampung [skripsi].
Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.

Vegetation Overview. 2000. http://www.free.vgt.vito.be/overview.html


[ 26 Januari 2005].

Walhi. 2005. Bioregion Borneo. http://www.walhi.or.id/bioregion/kal/bio_kal/


[11 Agustus 2005].
Lampiran 1 Rule penutupan hutan alam
No Variabel Deskripsi rule

1 Band 2 - Jika DN pada band 2 lebih besar dari 0 dan lebih kecil
` samadengan 6 maka fungsi keanggotaan pada citra menjadi
bernilai 1 (benar untuk band 2);
- Jika DN pada band 3 lebih besar besar dari 6 maka fungsi
keanggotaan pada citra dihitung menggunakan rumus fuzzy.

2 Band 4 - Jika DN pada band 4 lebih besar samadengan 32 dan lebih


kecil samadengan 51 maka fungsi keanggotaan pada citra
menjadi bernilai 1 (benar untuk band 4);
- Jika DN pada band 4 lebih kecil dari 32 maka fungsi
keanggotaan pada citra dihitung menggunakan rumus pada
fuzzy;
- Jika DN pada band 4 lebih besar dari 51 maka fungsi
keanggotaan pada citra dihitung menggunakan rumus fuzzy.
3 All band hutan - Jika derajat keanggotaan pada band 2 bernilai 1 maka fungsi
alam keanggotaan citra benar untuk penutupan hutan alam;
- Jika derajat keanggotaan pada band 4 bernilai 1 maka fungsi
keanggotaan citra benar untuk penutupan hutan alam;
- Jika derajat keanggotaan pada band 2 dan band 4 berjumlah
kurang dari 2 maka fungsi keanggotaan diberi nilai jumlah itu
sendiri.
4 Penggabungan - Jika jumlah derajat keanggotaan pada all band hutan alam
lebih besar dari all band non hutan alam atau all band areal
terbuka atau all band badan air maka benar untuk
penutupan hutan alam.

Lampiran 2 Rule penutupan vegetasi non hutan alam


No Variabel Deskripsi rule

1 Band 3 - Jika DN pada band 3 lebih besar samadengan 62 maka


fungsi keanggotaan bernilai 1 (benar untuk band 3);
- Jika DN pada band 3 lebih kecil dari 62 dan lebih besar
samadengan 56 maka fungsi keanggotaan pada citra
dihitung menggunakan rumus fuzzy;
- Jika DN pada band 3 lebih kecil dari 56 dan lebih besar dari
0 maka fungsi keanggotaan pada citra dihitung
menggunakan rumus fuzzy.

3 All band vegetasi - Jika derajat keanggotaan pada band 3 bernilai 1 maka
non hutan alam fungsi keanggotaan citra benar untuk penutupan vegetasi
non hutan alam;
- Jika derajat keanggotaan pada citra berjumlah lebih kecil
dari 1 maka fungsi keanggotaan diberi nilai itu sendiri.
4 Penggabungan - Jika jumlah derajat keanggotaan pada all band vegetasi
non hutan alam lebih besar dari all band areal terbuka atau
all band badan air atau all band hutan alam maka benar
untuk penutupan vegetasi non hutan alam.
Lampiran 3 Rule penutupan areal terbuka
No Variabel Deskripsi rule

1 Band 1 - Jika DN pada band 1 lebih besar samadengan 3 dan lebih


kecil samadengan 8 maka fungsi keanggotaan pada citra
menjadi bernilai 1 (benar untuk band1);
- Jika DN pada band 1 lebih kecil dari 3 maka fungsi
keanggotaan pada citra dihitung menggunakan rumus fuzzy;
- Jika DN pada band 1 lebih besar dari 8 maka fungsi
keanggotaan pada citra dihitung menggunakan rumus fuzzy.

2 Band 3 - Jika DN pada band 3 lebih besar samadengan 32 dan lebih


kecil samadengan 46 maka fungsi keanggotaan pada citra
menjadi bernilai 1 (benar untuk band 3);
- Jika DN pada band 3 lebih kecil dari 32 maka fungsi
keanggotaan pada citra dihitung menggunakan rumus fuzzy;
- Jika DN pada band 3 lebih besar dari 46 maka fungsi
keanggotaan pada citra dihitung menggunakan rumus fuzzy.

3 Band 4 - Jika DN pada band 4 lebih besar samadengan 66 dan lebih


kecil samadengan 131 maka fungsi keanggotaan pada citra
menjadi bernilai 1 (benar untuk band 4);
- Jika DN pada band 4 lebih kecil dari 66dan lebih besar
samadengan 54 maka fungsi keanggotaan pada citra dihitung
menggunakan rumus fuzzy;
- Jika DN pada band 4 lebih kecil dari 54 dan lebih besar dari 0
maka fungsi keanggotaan pada citra dihitung menggunakan
rumus fuzzy.

4 All band areal - Jika derajat keanggotaan pada band 1 bernilai 1 maka fungsi
terbuka keanggotaan citra benar untuk penutupan areal terbuka;
- Jika derajat keanggotaan pada band 3 bernilai 1 maka fungsi
keanggotaan citra benar untuk penutupan areal terbuka;
- Jika derajat keanggotaan pada band 4 bernilai 1 maka fungsi
keanggotaan citra benar untuk penutupan areal terbuka;
- Jika derajat keanggotaan pada citra berjumlah lebih kecil dari
3 maka fungsi keanggotaan diberi nilai jumlah itu sendiri.
5 Penggabungan - Jika jumlah derajat keanggotaan pada all band areal terbuka
lebih besar dari all band badan air atau all band hutan alam
atau all band non hutan alam maka benar untuk penutupan
areal terbuka.
Lampiran 4 Rule penutupan badan air
No Variabel Deskripsi rule

1 Band 1 - Jika DN pada band 1 lebih besar samadengan 15 dan lebih


kecil samadengan 21 maka fungsi keanggotaan pada citra
bernilai 1 (benar untuk band 1);
- Jika DN pada band 1 lebih kecil dari 15dan lebih besar
samadengan 9 maka fungsi keanggotaan pada citra dihitung
dengan rumus fuzzy;
- Jika DN pada band 1 lebih kecil dari 9 dan lebih besar dari 0
maka fungsi keanggotaan pada citra dihitung dengan fuzzy.
2 Band 3 - Jika DN pada band 3 lebih besar dari 0dan lebih kecil
samadengan 26 maka fungsi keanggotaan pada citra bernilai 1
(benar untuk band 3);
- Jika DN pada band 3 lebih besar dari 26 maka fungsi
keanggotaan pada citra dihitung dengan rumus fuzzy.

3 Band 4 - Jika DN pada band 4 lebih besar dari 0dan lebih kecil
samadengan 19 maka fungsi keanggotaan pada citra bernilai 1
(benar untuk band 4);
- Jika DN pada band 4 lebih besar dari 19 maka fungsi
keanggotaan pada citra dihitung dengan rumus fuzzy.

2 All band badan - Jika derajat keanggotaan pada band 1 bernilai 1 maka fungsi
air keanggotaan citra bernilai benar untuk penutupan badan air;
- Jika derajat keanggotaan pada band 3 bernilai 1 maka fungsi
keanggotaan citra benar untuk penutupan badan air;
- Jika derajat keanggotaan pada band 4 bernilai 1 maka fungsi
keanggotaan citra benar untuk penutupan badan air;
- Jika derajat keanggotaan pada citra berjumlah lebih kecil dari 3
maka fungsi keanggotaan diberi nilai jumlah itu sendiri.
3 Penggabungan - Jika jumlah derajat keanggotaan pada all band badan air lebih
besar dari all band hutan alam atau all band non hutan alam
atau all band areal terbuka maka benar untuk penutupan
badan air.

Anda mungkin juga menyukai