Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka


Pembuatan mesin pemotong singkong telah dilakukan
beberapa kali diantaranya :
1. Nikolaus Winandar dan M.Hafidin (2004) “Mesin
Pemotong Singkong Automatis” menggunakan metoda
circular dengan kapasitas yang dihasilkan sebesar 41,7
kg/jam, putaran disk 222 rpm digerakkan oleh motor 0,5
HP 1 phase menghasilkan ketebalan potongan 2mm.
2. Andik Pasisko (2005) ”Mesin Pemotong Ketela” yang
menggunakan metode circular dengan piringan dan 2
buah blade yang digerakkan oleh motor 0,5 HP
menghasilkan putaran 575,9 rpm. Kapasitas yang
dihasilkan mesin sebesar 1000 kg/jam dengan hasil
potongan tebal rata-rata 2,22 mm. Meskipun kapasitas
mesin besar,tetapi kekurangan mesin ini adalah hasil
potongan memanjang.Sehingga dilihat dari segi bentuk
masih kurang proporsional.
3. Bambang Hermanto dan Andi Setiyono (2007)
“Modifikasi Mesin Pemotong Singkong Kontinyu dengan
Hasil Potongan Berbentuk Oval dan empat persegi
panjang”. Menggunakan metode potongan circular
dengan 2 buah pisau yang tidak simetris menghasilkan
kapasitas 360 kg/jam dengan ketebalan 2 mm, digerakkan
oleh motor 0,75 HP menghasilkan putaran disk 300 rpm.
4. Riyadi (2009) ”Perencanaan Mekanisme dan Daya Pada
Mesin Pemotong Ketela” menggunakan metode circular
yang digerakkan oleh motor 0,5 HP menghasilkan
putaran 500 rpm. Kapasitas yang dihasilkan mesin
sebesar 73 kg/jam dengan hasil potongan tebal rata-rata
2,01mm. Meskipun kapasitas mesin besar, tetapi
kekurangan mesin ini adalah gaya tekan yang dihasilkan

5
6

oleh pegas untuk mendorong singkong tidak efektif untuk


jangka waktu yang lama.
Berdasakan hasil pembuatan dan analisa mesin
potong diatas, maka kami berkeinginan untuk membuat
mesin potong singkong menggunakan metode
reciprocating dengan 4 mata pisau dan 4 corong yang
digerakkan oleh motor 0,5 HP dengan putaran yang
diinginkan sebesar 126 rpm.

2.2 Dasar Teori


2.2.1 Kapasitas Mesin
Untuk mencari kapasitas hasil mesin pemotong, maka
diperlukan rumus :

Q = m. n. z
Dimana :
Q = Kapasitas mesin (kg/jam)
m = massa 1 potongan singkong (kg)
n = putaran disk (rpm)
z = jumlah potongan

2.2.2 Daya dan Putaran Motor


Untuk menghitung putaran poros motor dan poros
transmisi, digunakan rumus :

D1
n2 = n1 (ref 2 hal 252)
D2
Dimana:
n 1 = Putaran pulley penggerak
n 2 = Putaran pulley yang digerakkan
D 1 = Diameter pulley penggerak
D 2 = Diameter pulley yang digerakkan
7

2.2.3 Perencanaan Belt dan Pulley


Adapun perencanaan transmisi belt dan pulley motor ke
pulley yang digerakkan dimana direncanakan/diketahui :

Gambar 2.1 Transmisi pulley dan belt

2.2.3.1 Kecepatan Keliling Pulley


Kecepatan keliling pulley dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
 .D.n
V = (ref 2 hal 252)
60.1000
Dimana :
V = kecepatan keliling pulley (m/s)
D = diameter pulley (mm)
n = putaran motor (rpm)

2.2.3.2 Gaya Keliling Belt


Gaya keliling belt dapat dicari dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
102.N
Frated = (ref 2 hal 252)
V
Dimana :
Frated = gaya keliling belt (kg)
N = daya motor (KW)
V = kecepatan keliling pulley (m/s)
8

2.2.3.3 Tegangan Belt


Penampang belt yang akan dipilih dengan tegangan yang
timbul akibat beban mula, maka dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
σd = 2 . υ . σ0 (ref 2 hal 245)

Dimana :
σd = tegangan yang timbul pada belt (kg/cm2)
υ = faktor tarikan
σ0 = tegangan awal (kg/cm2)
Sebaiknya tegangan besarnya tegangan awal (σ0) tidak
kg kg
melebihi 18 2
untuk belt datar dan 12 untuk v-belt.
cm cm 2
Harga tersebut berdasarkan percobaan dengan kondisi :
1. Open belt dengan pulley dari cast iron
2. Beban konstan dengan kecepatan keliling v = 10m/s
3. sudut kontak α = π , dan faktor tarikan υ = υ0
Titik dimana mulai terjadinya perubahan kurva dari
keadaan stabil ke keadaan tidak stabil disebut titik kritis (critical
point), yaitu υ0. Pada rumus tersebut nilai dari υ0 = υ , maka harga
untuk tiap belt adalah :
Untuk belt datar : υ0 = 0,5 - 0,6
Untuk V-belt : υ0 = 0,7 – 0,9

2.2.3.4 Sudut Kontak dan Panjang Keliling Belt


Besarnya sudut kontak antara pulley dan belt dapat
dihitung dengan menggunakan rumus:
D2  D1 0
α = 180 - 60 (ref 2 hal 253)
a
Dimana :
α = sudut kontak ( o )
D2 = diameter pulley yang digerakan (mm)
D1 = diameter pulley penggerak (mm)
a = jarak antar poros (mm)
9

2.2.3.5 Menghitung Panjang Belt


Untuk menghitung panjang belt yang akan dipakai
digunakan rumus :
 ( D  D1 ) 2
L=2. a + (D2+D1)+ 2 (ref 2 hal 241)
2 4.a
Dimana :
L = Panjang belt (mm)
a = Jarak antar poros (mm)
D2 = Diameter pulley yang digerakan (mm)
D1 = Diameter pulley penggerak (mm)

2.2.3.6 Menghitung Jumlah Belt


Untuk menghitung jumlah belt yang akan digunakan
dapat dicari dengan menggunakan rumus :

Frated
Z = (ref 2 hal 247)
 d .A
Dimana :
Z = jumlah belt (buah)
Frated = gaya keliling belt (Kg)
A = luas penampang belt (cm2)
σd = Tegangan Belt (Kg/cm2)

2.2.3.7 Tegangan Maksimum Belt


Dalam kondisi operasinya, tarikan maximum pada belt
akan terjadi pada bagian yang tegang dan itu terjadi pada titik
awal belt memasuki pulley penggerak sehingga tegangan
maksimum yang terjadi, dengan menggunakan rumus :

F  .v 2 h
σmax=σ0 + + + Eb (ref 2 hal 253)
2 A 10.g Dmin
10

Dimana :
σmax = tegangan yang timbul pada belt (kg/cm2)
σ0 = tegangan awal pada belt (kg/cm2)
γ = berat jenis (kg/dm3)
g = gravitasi ( 9,8 m/det2 )
Eb = modulus elastistas bahan belt (kg/cm3)
h = tebal belt (mm)
Dmin = diameter pulley yang terkecil (mm)

2.2.3.8 Jumlah Putaran Belt


Untuk mengetahui jumlah putaran belt digunakan rumus
sebagai berikut :
V
u= (ref 2 hal 253)
L
Dimana :
u = Putaran Belt (rps)
V = Kecepatan keliling pulley (m/s)
L = Panjang belt (m)

2.2.3.9 Umur Belt


Umur belt disini merupakan salah satu hal yang penting
dalam perencanaan transmisi yang menggunakan belt. Untuk
mengetahui beberapa lama umur belt yang diakibatkan dari
proses permesinan ini yaitu dengan menggunakan humus :
  fat 
m
Nbase
H=   (ref 2 hal 248)
3600.u.Z  max 
Dimana :
H = umur belt (jam)
Nbase = basis dari tegangan kelelahan yaitu 107cycle
U = Jumlah putaran belt persatuan panjang
Z = Jumlah belt
σfat = fatique limit 90 kg/cm2 untuk V-Belt
σmax = Tegangan yang timbul karena V-Belt (kg/cm2)
m = Konstanta V-Belt = 8
11

2.2.3.10 Dimensi Pulley


Untuk Menghitung dimensi pulley perlu diketahui
gambar dan keterangan pulley sebagai berikut:

Gambar 2.2 Dimensi pulley


Keterangan :
S = Jarak antara tepi dan tengah alur pulley (mm)
B = Lebar alur pulley (mm)
Q = Sudut alur pulley
B = Lebar pulley (mm)
Din = Diameter dalam pulley (mm)
Dout = Diameter luar pulley (mm)

Data-data untuk mencari diameter luar dan dalam pulley


poros motor dan pulley poros , didapat dari lampiran tentang
spesifikasi V-Belt Type B adalah sebagai berikut :
Diameter luar pulley Dout = D+2.c
Diameter dalam pulley Din = D– 2.e
Lebar pulley B = (z-1) t + 2 . s

Keterangan :
Dout = Diameter Luar (mm)
Din = Diameter Dalam (mm)
D = Diameter Penggerak
c = Lihat tabel V-belt tipe B
12

e = Lihat tabel V-belt tipe B


s = Lihat tabel V-belt tipe B
t = Lihat tabel V-belt tipe B
z = Jumlah Belt

2.2.3.11 Gaya Berat Pulley yang Digerakkan


Untuk mengetahui besarnya gaya berat pulley yang
digerakkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
W` = ρ.V.g
Dimana :
W = gaya berat pulley yang digerakkan (N)
ρ = masa jenis bahan pulley (kg/m3)
V = volume pulley (m3)


V = (Dout-Din2)B
4
Dimana :
Dout = diameter luar pulley yang digerakkan (m)
Din = diameter dalam pulley yang digerakkan (m)
B = lebar pulley (mm)
g = gravitasi bumi (m/s2)

2.2.3.12 Gaya Pulley Terhadap Poros


Besarnya gaya pulley yang terjadi pada poros dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
F 
FR = .Sin (ref 4 hal 66)
v 2
Dimana :
F = gaya keliling pulley (kg)
v = faktor tarikan
α = sudut kontak
13

2.2.4 Perencanaan Poros


Poros adalah bagian atau elemen dari mesin yang
penggunaannya dapat berfungsi sebagai alat untuk meneruskan
tenaga dan sebagai penghubung yang dalam hal ini penghubung
antara dudukan pisau. Pada perhitungan poros yang akan
ditentukan adalah diameter poros, dan yang akan dicari adalah
tegangan yang diterima atau ditimbulkan oleh mekanisme yang
terpasang pada poros, yaitu melalui perhitungan mekanika teknik
mengenai gaya-gaya bekerja dan momen yang terjadi pada poros
yaitu :
Fh = gaya horizontal yang diterima oleh poros (N)
Fv = gaya vertical yang diterima oleh poros (N)
Fr = gaya akibat tarikan pada pulley V-Belt (N)
Wp = gaya berat pulley (N)
Dengan data-data diatas, maka gaya yang bekerja pada
poros untuk arah horisontal dan vertikal dapat dihitung.
Disamping itu juga dapat dihitung momen bending yang terjadi
pada poros.

2.2.4.1 Bidang Horisontal dan Vertikal


Gaya yang bekerja untuk setiap titik pada poros dan jarak
antara titik satu dengan titik yang lain ditentukan dengan
mengacu persamaan ∑M = 0 dan ∑F = 0, maka momen bending
dan gaya yang bekerja pada poros untuk bidang horisontal dan
vertikal dapat diketahui. Setelah menghitung gaya dan momen
bending yang terjadi maka dibuat bidang lintang (gaya) untuk
mengetahui apakah perhitungan diatas sudah benar dan juga agar
mudah membuat diagram bidang momen.

2.2.4.2 Dasar Teori Menghitung Momen Terbesar


Setelah membuat diagram bidang momen, akan diketahui
letak momen terbesar dari bidang horisontal dan vertikal serta
dapat dihitung menurut buku panduan dengan menggunakan
rumus :
14

Mc = M ch 2  M cv 2 (ref 2 hal 419)


Dimana :
Mch : momen yang terjadi pada bidang horisontal
(N.m)
Mcv : momen yang terjadi pada bidang vertikal (N.m)

2.2.4.3 Bahan Poros yang Aman


Dari data diatas yaitu bahan poros yang diketahui, maka
diperoleh strength yield point (Syp) pada lampiran, dengan data
tersebut dapat dihitung tegangan yang terjadi pada poros dengan
rumus :
0,58Syp
τmax = (ref 1 hal 339)
N
Dimana :
τmax : tegangan geser maximum pada poros (Psi)
Syp : Strength Yield Point (Psi)
N : angka keamanan

5,1
 maks  3
Mc 2  T 2 (ref 3 hal 17)
D
Dimana :
τmax : tegangan geser maksimum yang terjadi pada
poros (psi)
Mc : Momen bending pada poros (lb.in)
T : torsi yang terjadi pada poros (lb.in)
D : diameter poros (inch)
Dengan diketahui tegangan maksimum dan Syp diatas,
maka akan ditentukan van poros yang sesuai dengan tegangan
geser dan Syp yang terbesar dari poros yang direncanakan.
15

2.2.5 Perencanaan Pasak


Pasak adalah bagian elemen mesin yang penting,
disamping itu digunakan untuk menyambung juga digunakan
untuk menjaga hubungan putaran relative antara poros dari
elemen mesin dengan peralatan mesin yang lain. Dalam hal ini
pulley yang disambungkan dengan poros mesin tersebut.

Gambar 2.3 Pasak


Keterangan :
H = Tinggi pasak
W = Lebar pasak
L = Panjang pasak
Fs = Gaya geser
Fc = Gaya Kompresi
Menurut bentuknya pasak dibedakan menjadi : pasak
datar (square key), pasak lurus (tapered key) dan pasak setengah
silinder (wood ruff key). Pasak juga dapat diklasifikasikan
menurut arah gaya yang terjadi. Menurut klasifikasi ini pasak
dapat dibedakan menjadi : pasak memanjang dan pasak
melintang.
Pasak memanjang (spie) menerina gaya sepanjang pasak
terbagi secara merata. Pasak ini dibedakan menjadi pasak baji,
pasak kepala, pasak benam dan pasak tembereng. Pasak
melintang menerima gaya melintang pada penampang pen.
Bila poros berputar dengan torsi yang besarnya T (N.m) akan
menghasilkan gaya F yang bekerja pada diameter luar dari poros dan
gaya F inilah yang bekerja pada pasak.
Karena panjang minimum pasak harus lebih dari 25%
16

Sehingga dapat gunakan rumus :


T
F= (ref 3 hal 25)
D
2
Dimana :
F = Gaya tangensial pada permukaan poros (kg)
T = Torsi poros (kg.mm)
D = Diameter poros (mm)

2.2.5.1 Tinjauan Terhadap Tegangan Geser


Untuk mendapatkan besarnya tegangan gaser pada pasak
dapat digunakan persamaan sebagai berikut
Ssyp
Ss  (ref 1 hal 367)
N
Dimana :
Ss = Tegangan geser.
Ssyp = Shear strength yield point.
N = Angka keamanan.

2.2.5.2 Panjang Pasak Untuk Tegangan Geser


Menentukan panjang pasak dapat ditinjau melalui
tegangan geser dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
2T
Ls  (ref 1 hal 367)
S s .W .D
Dimana :
Ls =
Panjang pasak untuk tegangan geser.
T = Torsi poros.
S s = Shear stress.
W = Lebar pasak.
D = Diameter poros.
17

2.2.5.3 Tegangan Kompresi Pada Pasak


Untuk mendapatkan besarnya tegangan kompresi pada
pasak dapat digunakan persamaan sebagai berikut :
S yp
Sc  (ref 1 hal 367)
N
Dimana :
Sc = Tegangan kompresi.
Syp = Strength yield point.
N = Angka keamanan.

2.2.5.4 Panjang Pasak Untuk Tegangan Kompresi


Besarnya panjang pasak dapat ditentukan melalui
tegangan kompresi yang bekerja pada pasak yaitu dengan
persamaan sebagai berikut :
4T
Lc  (ref 1 hal 367)
S c .W .D
Dimana :
Lc = Panjang pasak untuk tegangan kompresi.
T = Torsi poros.
S c = Shear kompresi.
W = Lebar pasak.
D = Diameter poros.

2.2.6 Bantalan
Bantalan (Bearing) adalah elemen mesin yang menumpu
poros berbeban sehingga putaran atau gerakan bolak-baliknya
dapat berlangsung secara halus, aman dan berumur panjang.
Bantalan harus cukup kokoh untuk memungkinkan poros serta
elemen mesin lainnya bekerja dengan beik jika bantalan tidak
berfungsi dengan baik maka proses seluruh sistem akan menurun
atau tak dapat bekerja secara semestinya.
18

Gambar 2.4 Bantalan

Bantalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


a. Bantalan luncur
Pada bantalan ini terjadi gesekan luncur antara
poros dan bantalan karena permukaan poros ditumpu oleh
permukaan dengan perantaraan lapisan pelumas. Bantalan
luncur mampu menumpu poros berputar tinggi dengan
beban besar. Bantalan ini sederhana konstruksinya dan
dapat dibuat serta dipasang dengan mudah.
Karena gesekannya yang besar pada waktu
mulai jalan, bantalan luncur memerlukan momen awal
yang besar, memerlukan pendinginan khusus. Sekalipun
demikian karena adanya lapisan pelumas, bantalan ini
dapat meredam tumbukan dan getaran sehingga hampir
tidak bersuara. Tingkat ketelitian yang diperlukan tidak
setinggi bantalan gelinding sehingga dapat lebih murah.

b. Bantalan gelinding
Pada bantalan ini terjadi gesekan gelinding antara
bagian yang berputar dengan yang diam melalui elemen
19

gelinding seperti bola (peluru), rol atau rol jarum dan rol
bulat. Bantalan gelinding pada umumnya lebih cocok
untuk beban kecil daripada bantalan luncur. Tergantung
pada bentuk elemen gelindingnya. Putaran pada bantalan
ini dibatasi oleh gaya sentrifugal yang timbul pada
elemen gelinding tersebut.
Karena konstruksinya yang sukar dan ketelitian yang
tinggi maka bantalan gelinding hanya dapat dibuat oleh pabrik-
pabrik tertentu saja. Adapun harganya pada umumnya lebih
mahal daripada bantalan luncur. Untuk menekan biaya pembuatan
serta memudahkan pemakaian, bantalan gelinding diproduksikan
menurut standar dalam berbagai ukuran dan bentuk.
Keunggulan bantalan ini dalah pada gesekannya yang
rendah. Pelumasannya pun sangat sederhana cukup dengan
gemuk, bahkan pada macam yang memakai sil sendiri tidak perlu
pelumasan lagi. Meskipun ketelitiannya sangat tinggi namun
karena adanya gerakan elemen gelinding dan sankar, pada putaran
tinggi bantalan ini agak gaduh dibandingkan dengan bantalan
luncur. Pada waktu memilih bantalan, ciri masing-masing masih
harus dipertimbangkan sesuai dengan pemakaian, lokasi dan
macam beban yang akan dialami.

Gambar 2.5 Single row ball bearing

2.2.6.1 Gaya Radial Bantalan


Gaya radial bantalan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Fr = Fh 2  Fv 2 (ref 3 hal 135)
20

Dimana :
Fr : beban radial dalam (lb)
Fh : gaya sumbu horizontal (lb)
FV : gaya sumbu vertical(lb)

2.2.6.2 Beban Ekuivalen


Sesuai dengan definisi dari AFBMA yang dimaksud
dengan Beban equivalent adalah beban radial yang konstan dan
bekerja pada bantalan dengan ring dalam berputar sedangkan ring
luar tetap. Ini akan memberikan umur yang sama seperti pada
bantalan bekerja dengan kondisi nyata untuk beban dan putaran
yang sama. Untuk menhitung beban uqivalent pada bantalan
dapat meggunakan rumus :

P = X . V . FR + Y Fa (ref 1 hal 486)

Dimana :
P = beban equivalent (lb)
Fa = beban aksial (lb)
X = faktor beban radial
V = faktor putaran,
ring dalam yang berputar V = 1
ring luar yang berputar V = 1,2
Y = faktor beban aksial
Bila beban radialnya lebih besar daripada beban aksial
maka beban akivalen dapat ditulis sebagai berikut :

P = V . Fr (ref 1 hal 486)

Bila bantalan yang dipilih adalah single row bearing maka:


PA = Fs (X.V.FAr+ Y.Fa )

Karena : Fa = 0
Fa
0
 .Fr
21

Fa
1
 .Fr
Maka nilai X =1 dan Y =0

2.2.6.3 Umur Bantalan


Untuk menghitung umur bantalan dapat menggunakan
rumus:
b
10 6 C 
L10 = .  (ref 1 hal 485)
60.n p P

Dimana :
L10 = umur bantalan ( jam kerja )
C = diperoleh dari tabel bantalan sesuai dengan
diameter dalam bantalan yang diketahui (lb)
P = beban equivalent (lb)
b = 3, untuk bantalan dengan bola
= 10/3 bila bantalan adalah Bantalan Rol
Np = putaran poros ( rpm )
22

HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN

Anda mungkin juga menyukai