Anda di halaman 1dari 24

15

BAB II
TEORI TENTANG KEGIATAN KEAGAMAAN MAJELIS TAKLIM
DAN PEMBENTUKAN SIKAP KEAGAMAAN REMAJA
USIA 13-15 TAHUN

A. Kegiatan Keagamaan
1. Pengertian Kegiatan Keagamaan
Dalam kamus bahasa Indonesia kegiatan berasal dari kata
giat yang memiliki arti rajin, bergairah dan bersemangat kemudian
ketambahan imbuhan ke-an menjadi kegiatan berarti aktivitas.
(Meity Taqdir Qodratillah, 2011: 144). Aktivitas berasal dari kata
dalam bahasa Inggris “activity” yang berarti “aktivitas, kegiatan atau
kesibukan berarti pekerjaan. (John M. Echols dan Hasan Sadily,
2008: 10)
Agama berasal dari kata Sanskrit. Ada yang berpendapat
bahwa kata itu terdiri dari dua kata, yaitu a berarti tidak dan gam
berarti pergi, jadi agama artinya tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi
turun temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian.
Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci.
Selanjutnya dikatakan bahwa gam berarti tuntunan. Agama juga
mempunyai tuntunan, yaitu kitab suci. Istilah agama dalam bahasa
asing bermacam-macam, antara lain; religion, religio, religie,
godsdienst, dan al-din. (Amsal Bakhtiar, 1997: 10). Sedangkan
pengertian Agama dalam kamus bahasa Indonesia berarti ajaran
yang menganut kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Maha esa dan cara berhubungan sesama manusia, dan cara
berhubungan manusia dan mahluk lain. Maka keagamaan berarti
hal-hal dan segala sesuatu mengenai agama. (Meity Taqdir
Qodratillah, 2011: 6)
Dari pengertian yang disebut di atas, maka dalam hal ini
perlu penulis tekankan, bahwa yang dimaksud dengan kegiatan

15
16

keagamaan di sini ialah segala bentuk kegiatan yang terencana dan


terkendali berhubungan dengan usaha untuk menanamkan bahkan
menyebarluaskan nilai-nilai keagamaan. Dengan usaha yang
terencana dan terkendali di dalam menanamkan dan
menyebarluaskan nilai-nilai keagamaan tersebut diharapkan akan
mencapai tujuan dari usaha itu sendiri, yang dalam hal ini
penanaman nilai-nilai keagamaan.
2. Fungsi Agama
Jalaluddin (1997: 233-236) menjelaskan fungsi agama sebagai
berikut:
a. Berfungsi edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama
yang mereka anut itu memberikan ajaran-ajaran yang harus
dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berungsi menyuruh dan
melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai
latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi
penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik
menurut ajaran agama masing-masing.
b. Berfungsi penyelamat
Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada
penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu
dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama
mengajarkan para penganutnya melalui pengenalan kepada
masalah sacral, berupa keimanan kepada Tuhan
c. Berfungsi sebagai pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa
dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa
berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari
batinnya apabila seseoraang pelangggar telah menebus dosanya
melalui tobat.
17

d. Berfungsi sebagai social control


Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang
dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik
secara pribadi maupun secara kelompok.
e. Berfungi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian
seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
f. Berfungsi kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para
penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk
kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang
lain.
g. Berfungsi sublimatif
Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan
norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena
dan untuk Allah adalah ibadah.

B. MAJELIS TAKLIM
1. Pengertian Majelis Taklim
Dari segi etimologis majelis takim berasal dari bahasa arab,
yang terdiri dari dua kata yaitu majelis dan taklim. Majelis artinya
tempat duduk, tempat sidang, dewan, dan taklim yang di artikan
dengan pengajaran. Dengan demikian secara bahasa majelis taklim
adalah tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama
islam. (Taqiyudin Masyhuri, 2004: 93)
Secara istilah, pengertian majelis taklim sebagaimana
dirumuskan pada musyawarah majelis taklim se DKI Jakarta
pada tahun 1980, adalah lembaga pendidikan non-formal islam
yang memiliki kurikulum tersendiri, di selenggarakan secara
berkala dan teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak,
18

bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang


santun dan serasi antara manusia dengan Allah SWT, antara
manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan
lingkungannya, dalam rangka membina masyarakat yang bertaqwa
kapada Allah SWT.

Dari pengertian tersebut di atas, tampak bahwa majelis


taklim diselenggarakan berbeda dengan lembaga pendidikan islam
lainnya, seperti pesantren dan madrasah, baik menyangkut sistem,
materi maupun tujuannya. Pada majelis taklim terdapat hal-hal yang
cukup membedakan dengan yang lain, di antaranya yaitu:
1. Majelis taklim adalah lembaga pendidikan nonformal islam.
2. Waktu belajarnya berkala tapi teratur, tidak setiap hari
sebagaimana sekolah atau madrasah.
3. Pengikut atau pesertanya disebut jama’ah (orang banyak), bukan
pelajar atau santri. Hal ini didasarkan pada kehadiran di majelis
taklim bukan merupakan kewajiban sebagaimana dengan
kewajiban murid menghadiri sekolah atau madrasah.
4. Tujuannya yaitu memasyarakatkan ajaran islam (Hasbullah, 1995:
202-203)

2. Fungsi, Peranan dan Tujuan Majelis Taklim


a. Fungsi majelis taklim

Majelis taklim merupakan salah satu lembaga


pendidikan islam yang bersifat non-formal, yang senantiasa
menanamkan akhlak yang luhur dan mulia, meningkatkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan keterampilan jama’ahnya,
memberantas kebodohan umat islam, agar memperoleh kehidupan
yang bahagia dan sejahtera serta di ridhoi oleh Allah SWT.
Hasbullah (1995: 205-206), memberikan penjelasan mengenai
fungsi majelis taklim yaitu:
1) Dapat membina dan mengembangkan ajaran islam dalam
19

rangka membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah


SWT.
2) Sebagai taman rekreasi rohaniah, karena penyelenggarannya
bersifat santai.
3) Sebagai ajang berlangsungnya silaturrahmi masal yang
dapat menghidup suburkan da’wah dan uhuwah islamiyah.
4) Sebagai sarana dialog yang berkesinambungan antara
ulama dan uamro dengan ummat.
5) Sebagai media penyampaian gagasan yang bermanfaat
bagi pembangunan ummat dan bangsa pada umumnya.
Remaja Islam sudah sewajarnya mereka memasuki
lembaga-lembaga pendidikan masyarakat yang berdasarkan pada
ajaran Islam, yang salah satunya adalah majelis taklim. Hal ini
dapat dimengerti, karena dengan mengikuti kegiatan di majelis
taklim, maka remaja muslim akan mendapatkan pengetahuan dan
pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Dengan demikian majelis taklim dapat berfungsi sebagai
salah satu tempat dan sarana, yang dapat membina dan
meningkatkan akhlak remaja agar mereka memiliki akhlak yang
mulia yang sesuai dengan ajaran Islam. (Taqiyuddin, 2011: 140)

Pelaksanaan majelis taklim sendiri tidak begitu mengikat,


dan tidak selalu mengambil tempat-tempat ibadah seperti langgar,
mesjid atau mushalla, tetapi juga di rumah keluarga, balai
pertemuan umum dan sebagainya. Penyelenggarannyapun terdapat
banyak variasi, tergantung kepada pimpinan jama’ah (kiai,
ustadz, ulama atau tokoh agama).
Pertumbuhan majelis taklim dikalangan masyarakat
menunjukkan akan adanya kebutuhan dan hasrat anggota
masyarakat tersebut akan pengetahuan dan pendidikan agama.
Dan perkembangan selanjutnya menunjukkan kebutuhan dan
hasrat masyarakat yang lebih luas lagi, yaitu usaha memecahkan
20

masalah-masalah menuju kehidupan yang lebih bahagia.


Peningkatan tuntutan jama’ah dan peran pendidikan yang bersifat
nonformal, menimbulkan pula kesadaran dan inisiatif dari para
ulama dan anggota masyarakat untuk memperbaiki,
mengembangkan dan meningkatkan kualitas dan kemampuan,
sehingga eksistensi majelis taklim dapat menjalankan fungsi dan
tanggung jawabnya sebaik-baiknya. (Hasbullah, 1996: 201-202)

b. Peranan Majelis Taklim


Bila di lihat dari struktur organisasinya, majelis taklim
adalah termasuk organisasi pendidikan non-formal yang
bercirikan khusus keagamaan islam. Bila di lihat dari segi
tujuan, majelis taklim adalah termasuk lembaga atau sarana
da’wak islamiyah yang secara self-standing dan self-disciplined
dapat mengatur dan melaksanakan kegiatan-kegiatannya,
didalamnya berkembang prinsip demokrasi yang berdasarkan
musyawaroh untuk mufakat demi untuk kelancaran taklim al-
islamy sesuai dengan tuntutan pesertanya. Dilihat dari segi historis
islami, majelis taklim dengan dimensinya yang berbeda-beda telah
berkembang sejak zaman Rosulallah SAW. Pada zaman itu
muncullah berbagai macam jenis kelompok pengajian sukarela,
tanpa bayaran, yang di sebut Halaqah yaitu kelompok pengajian
di Mesjid Nabawi yang biasanya di tandai dengan satu pilar
masjid untuk tempat berkumpulnya peserta kelompok masing-
masing dengan seorang sahabat yaitu ulama terpilih. Banyak
sekali kelompok pengajian halaqah itu diusahakan untuk di
kehendaki oleh seorang ulama sahabat Nabi yang bertujuan untuk
berda’wah atau berirsyad.
Rasulullah sendiri juga menyelenggarakan sistem taklim
secara periodik di rumah sahabat Arqam di Mekkah di mana
pesertanya tidak di batasi oleh usia, lapisan sosial maupun rasial.
Dikalangan anak-anak pada zaman itu (Nabi), juga di
21

kembangkan kelompok pengajian khusus yang di sebut alkuttab


yang mengajarkan baca Al-Qur’an, yang pada masa-masa
selanjutnya menjadi semacam pendidikan formal untuk anak-
anak, karena di samping baca Al- Qur’an juga di ajarkan ilmu
agama seperti fiqh, ilmu tauhid dan sebagainya. Namun yang
menjadi ciri khas dari sistem belajar agama melalui kelompok
baik halaqah maupun zawiyah dan alkuttab tersebut adalah sikap
ikhlas dan sukarela dari para Da’i atau guru atau pengajar tanpa
pamrih apapun, semata- mata itba’ perilaku Rasulallah SAW.
Sedang para pesertanya juga didorong oleh kewajiban
menuntut ilmu sepanjang hayat, terutama ilmu agama yang
bersumber dari wahyu yang diterimakan kepada Nabi mereka,
kecuali anak- anak yang mengikuti perintah orang tuanya, secara
aktif dan terkontrol mengikuti kegiatan pengajaran di al-kuttab.
Dengan demikian menurut pengalaman historis islami itu sistem
majelis taklim telah berlangsung sejak penyebaran islam di
benua arabia, kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia islam
di asia, Afrika, dan Indonesia pada khususnya sampai saat ini.
Oleh karena itu jika di lihat dari segi strategi pembinaan
ummat, maka dapat dikatakan bahwa majelis-majelis taklim itu
adalah merupakan wadah/wahana dakwah islamiah yang murni
institusional keagamaan. Sebagai keagamaan islam, sistem
majelis taklim adalah melekat pada agama islam itu sendiri. Oleh
karena itu ia merupakan salah satu struktur kegiatan da’wah dan
tabligh yang wajib dilaksanakan sesuai perintah agama secara
teratur dan periodik, yang coraknya berperan sentral pada
pembinaan dan peningkatan kualitas hidup ummat islam sesuai
tuntutan ajaran agama, juga untuk menyadarkan ummat islam
dalam rangka menghayati, memahami dan mengamalkan ajaran
agamanya yang kontekstual kepada lingkungan hidup sosial-
budaya dan alam sekitar mereka, sehingga dapat menjadikan
22

ummat islam sebagai ummatan wasathan yang meneladani


kelompok ummat lain. (H.M. Arifin, 2011: 80-81)
Berkenaan dengan hal-hal tersebut, fungsi dan peranan
majelis taklim, tidak terlepas dari kedudukannya sebagai alat dan
sekaligus media kesadaran beragama. Usaha pembinaan
masyarakat dalam bidang agama harus memperhatikan metode
pendekatannya, yang biasanya di bedakan menjadi tiga bentuk,
yaitu:
1) Lewat propaganda, yang lebih menitikberatkan kepada
pembentukan publik opini, agar mereka mau bersikap dan
berbuat sesuai dengan maksud propaganda. Sifat propaganda
adalah masal, caranya dapat melalui rapat umum, siaran
radiao, TV, film, drama, spanduk dan lain sebagainya.
2) Melalui indoktrinasi, yaitu menanamkan ajaran dengan
konsepsi yang telah di susun secara tegas dan bulat oleh
pihak pengajar untuk di sampaikan kepada masyarakat,
melalui kuliah, ceramah, kursus-kursus, training centre dan
sebagainya.
3) Melalui jalur pendidikan, dengan menitik beratkan kepada
pembangkitan cipta, rasa dan karsa sehingga cara
pendidikan ini lebih mendalam dan matang dari pada
propaganda dan indoktrinasi (Hasbullah, 1995: 205)
c. Tujuan Majelis Taklim
Mengenai tujuan majelis taklim, mungkin rumusnya
bermacam-macam. Sesuai dengan pandangan ahli agama para
pendiri majelis taklim dengan organisasi, lingkungan dan
jam’ahnya yang berbeda tidak pernah merumuskan tujuannya.
Berdasarkan renungan dan pengalaman Dr. Hj. Tuty Alawiyah, ia
merumuskan bahwa tujuan majelis taklim dari segi fungsinya,
yaitu:
1) Sebagai tempat belajar, maka tujuan majelis taklim adalah
23

menambah ilmu dan keyakinan agama yang akan mendorong


pengalaman ajaran agama.
2) Sebagai kontak sosial maka tujuannya adalah silaturahmi.
3) Mewujudkan minat sosial, maka tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga dan lingkungan
jama’ahnya. (Tuti Alawiyah, 1997: 78)
H.M.Arifin dalam Kapita Selekta Pendidikan Islam, beliau
mengemukakan pendapatnya tentang tujuan majlis taklim sebagai
berikut: Tujuan Majlis Taklim adalah mengokohkan landasan
hidup manusia Indonesia pada khususnya di bidang mental
spiritual Keberagamaan Islam dalam rangka meningkatkan
kualitas hidupnya secara integral, lahiriyah dan batiniyahnya,
duniawiyah dan ukhrawiyah secara bersamaan sesuai tuntutan
ajaran agama Islam yaitu iman dan takwa yang melandasi
kehidupan duniawi dalam segala bidang kegiatannya. Fungsi
demikian sejalan dengan pembangunan nasional kita. ( H. M.
Arifin, 2011: 81)
Jadi, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa majelis
taklim sebagai lembaga pendidikan islam non-formal, merupakan
wadah bagi penerapan konsep pendidikan seumur hidup dan
merupakan sarana bagi pengembangan gagasan pembangunan
berwawasan Islam. Sebagai media silaturrahmi, majelis taklim
merupakan wahana bagi persemaian persaudaraan Islam
(Ukhuwah Islamiyah) yang didalamnya mengandung konsep
Islam tentang persaudaraan antar bangsa dan persaudaraan antar
sesama umat manusia. Dengan demikian majelis taklim sebagai
lembaga pendidikan agama non formal adalah termasuk lembaga
atau sarana dakwah Islamiyah yang dapat mengembangkan
kegiatan yang berfungsi untuk membina dan mengembangkan
ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang bertqwa
kepada Allah SWT.
24

3. Kegiatan Keagamaan dan Jenis Majelis Taklim


a. Kegiatan Majelis Taklim
Kegiatan majelis taklim masih sangat tergantung gagasan
dan aktivitas pengurus atau gurunya. Wawasan tentang masa
depan, kehidupan sosial-ekonomi, lingkungan, kesejahteraan,
bahkan pemikiran keagamaan juga belum menjadi perhatian
kebanyakan dari mereka. Namun demikian, lembaga nonformal ini
mampu meningkatkan kualitas pemahaman dan amalan keagamaan
setiap pribadi Muslim Indonesia yang mengacu pada
keseimbangan antara Iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

Majelis taklim adalah suatu lembaga (institution) yang


menyelengggarakan pengajaran atau pengajian. (Taqiyuddin, 2011:
136) Ada beberapa kegiatan yang biasanya dilaksanakan oleh
majelis taklim, semisal ceramah agama, pendidikan Al-Qur’an,
pengajian kitab dan lain sebagainya. Mereka juga tak jarang
menghandle acara-acara keagamaan seperti peringatan maulid dan
Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw, peringatan satu Muharram
dan kegiatan nuzul al-Qur’an pada Bulan Suci Ramadhan. Dengan
demikian majelis taklim termasuk lembaga pendidikan non formal
yang banyak memberikan kontribusi bagi pendidikan Islam.

b. Jenis Majelis Taklim

Jenis majelis taklim dapat dibedakan menjadi tiga kelompok


yaitu kelompok sosial/ jamaah, kelompok pengikat hadirin dan
kelompok metode yang digunakannya.
1. Ditinjau dari kelompok jama’ah, terdapat majelis taklim
sebagai berikut:
a) Majelis taklim kaum bapak yaitu, jama’ah yang terdiri
dari kaum bapak.
b) Majelis taklim kaum ibu yaitu, jamaah yang terdiri dari
25

kaum ibu.
c) Majelis taklim kaum remaja yaitu, jamaah yang terdiri
dari para remaja.
d) Majelis taklim campuran yaitu, jamaah yang terdiri dari
kaum bapak, kaum ibu, para pemuda-pemudi dan para
remaja.
2. Ditinjau dari pengikat hadirin, terdapat majelis taklim sebagai
berikut:
a) Majelis taklim yang diselenggarakan oleh masjid/
mushalla tertentu, jama’ahnya terdiri dari masyarakat yang
berada di sekitar masjid / mushalla itu.
b) Majelis taklim yang diselenggarakan oleh RT/RW,
jamaahnya terdiri dari masyarakat RT/RW setempat.
c) Majelis taklim yang diselenggarakan oleh instansi tertentu
jamaahnya terdiri dari karyawan kantor instansi tersebut.
d) Majelis taklim yang diselenggarakan oleh organisasi atau
perkumpulan tertentu, jamaahnya terdiri dari para
anggota atau simpatisan organisasi atau perkumpulan itu.
3. Ditinjau dari metode yang digunakan, terdapat majelis taklim
sebagai berikut:
a) Majelis taklim yang diselenggarakan dengan menggunakan
metode ceramah yang dilaksanakan dengan dua cara
yaitu: ceramah umum dan ceramah terbatas.
b) Majelis taklim yang dilaksanakan dengan metode halaqah.
c) Majelis taklim yang dilaksanakan dengan menggunakan
metode diskusi atau mudzakarah.
d) Majelis taklim yang diselenggarakan dengan menggunakan
metode campuran (Taqiyuddin, 2011: 138-139).
26

C. Sikap Keagamaan
1. Pengertian Sikap
Sikap dalam bahasa Inggris disebut attitude, sedangkan
istilah attitude berasal dari bahasa latin, yaitu aptus yang berarti
keadaan siap secara mental, yang bersifat melakukan kegiatan.
Rumusan seperti ini diartikan bahwa sikap mengandung tiga
komponen, yaitu komonen kognitif, komponen afektif, dan
komponen tingkah laku. (Bambang Syamsul Arifin, 2015: 124).

Menurut Bruno dalam buku Psikologi Belajar Muhibbin Syah


bahwa sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relative menetap
untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau
barang terentu. (Muhibbin Syah, 2003: 123) sementara itu Allport
mengemukakan bahwa sikap adalah sesuatu kesiapan mental dan
saraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh
langsung kepada respon individu teerhadap semua objek atau situasi
yang berhubungan dengan objek itu. Definisi sikap menurt Allport
ini menunjukkan bahwa sikap itu tidak muncul seketika atau dibawa
lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalui pengalaman serta
memberikan pengaruh langsung kepada respons seeseorang. (Djaali,
2008: 114)

Para ahli psikologi social bahkan percaya, bahwa sumber-


sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti
dari penguasa, pengusaha, lembaga pendidikan, dan lembaga-
lembaga lainnya yang secara sengaja diprogramkan untuk
memengaruhi sikap dan perilaku individu. (Mohammad Ali dan
Mohammad Asrori, 2010: 141).

2. Ciri-ciri Sikap
Sikap menentukan tabiat tingkah laku dalam hubungannya
dengan perangsang yang datang, orang atau kejadian. Dapat
27

dikatakan bahwa sikap adalah faktor internal dalam diri seseorang,


tetapi tidak semua faktor internal itu sikap.
Ciri-ciri sikap menurut Bimo Walgito (1994) sebagai berikut:

a. Selalu mengggambarkan antara subjek dan objek.


b. Tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk
berdasarkan pengalaman dan latihan.
c. Sikap dapat berubah-ubah
d. Tidak akan hilang meskipun kebutuhan sudah terpenuhi.
e. Tidak hanya satu macam, tetapi sangat beragam sesuaai
dengan objek yang menjadi perhatian subjek.
f. Ada factor motivasi dan perasaan yang membedakannya
dengan pengetahuan. (Bambang Syamsul Arifin, 2015: 126)

3. Komponen Sikap
Tiap-tiap sikap, menurut Abu Ahmadi mempunyai tiga aspek
berikut.
a. Aspek kognitif: berkaitan dengan gejala mengenai pikiran.
Aspek ini berupa pengetahuan, kepercayaan, atau pikiran yang
didasarkan pada informasi, yang berkaitan dengan objek.
b. Aspek afektif: berwujud proses yang berkaitan dengan perasaan
tertentu, seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipasti, dan
sebagainya yang ditujukan pada objek-objek tertentu.
c. Aspek konatif: berwujud proses tendensi atau kecenderungan
utuk berbuat suatu objek, misalnya kecenderungan memberi
pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya. (Bambang
Syamsul Arifin, 2015: 127-128)
4. Pembentukan Sikap Keagamaan
Secara psikologis sikap dapat dibawa dari lahir dan
dipengaruhi oleh faktor genetik. Walaupun demikian sebagian
besar para pakar psikologi sosial berpendapat bahwa sikap
terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Pandangan ini
28

mempunyai dampak terapan yaitu bahwa berdasarkan pandangan


ini dapat disusun berbagai upaya (penerangan, pendidikan,
pelatihan dan sebagainya) untuk mengubah sikap seseorang.
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam
diri sesorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku
yang berkaitan dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena
adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai
komponen kognitif perasaan terhadap agama sebagai komponen
kognitif dan perilaku terhadap agama sebagai komponen kognitif.
Di dalam sikap keagamaan antara komponen kognitif, efektif dan
kognitif saling berintegrasi sesamanya secara komplek. (Ramayulis,
2004: 96)
Pendidikan agama yang bersifat dresser dan menggugah
akal serta perasaan memegang peranan penting dalam pembentukan
sikap keagamaan.
Mc. Nair dan brown (1983) dalam penelitiannya
menemukan bahwa dukungan orang tua berhubungan secara
signifikan dengan sikap siswa. Begitu juga Zakiah Drajat (1988)
mengatakan bahwa sikap keagamaan merupakan perolehan dan
bukan bawaan. Ia terbentuk melalui pengalaman langsung yang
terjadi dalam hubungannya dengan unsur-unsur lingkungan materi
dan sosial, misalnya rumah tenteram, orang tertentu, teman orang
tua, jamaah dan sebagainya. Walaupun sikap terbentuk karena
pengaruh lingkungan, namun factor individu itu sendiri ikut pula
menentukan. (Ramayulis, 2004: 96)
Berikut ini dikemukakan pendapat beberapa ahli tentang
pembentukan Sikap: (Saefudin Azwar, 1998: 30)
a. Pengalaman Pribadi
Apa yang sudah dan sedang kita alami akan ikut membentuk
dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus social,
tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap untuk
dapat mempunyai tanggapan seseorang harus mempunyai
pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis.
Untuk dapat menjadi dasar terbentuknya sikap pengalaman
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat karena itu sikap
akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan factor emosional tapi
29

dinamika ini tidaklah sederhana dikarenakan suatu pengalaman


tunggal jarang sekali dapat menjadi dasar pembentukan sikap
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang-orang yang disekitar kehidupan sehari-hari adalah
salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi
sikap, seseorang yang dianggap penting mempengaruhi
pembentukan sikap orang misalnya adalah kedua orang tua, dan
orang yang status sosialnya lebih tinggi. Pada umumnya individu
cenderung untuk memiliki sikap yang searah dengan orang yang
dianggapnya penting, kecenderungan ini antara lain dimotivasi
oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari
konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana seseorang dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pengaruh pembentukan sikap, seorang
ahli yang terkenal BF Skinner sangat menekankan pengaruh
lingkungan termasuk kebudayaan dalam membentuk pribadi
seseorang menurutnya kepribadian tidak lain daripada pola prilaku
yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcment yang
kita alami. Tanpa kita sadari kebudayaan telah menanamkan sikap
kita terhadap berbagai masalah dan telah mewarnai sikap anggota
masyarakat di dunia ini.
d. Media Masa
Sebagai sarana komunikasi media masa mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang,
pada tugas pokoknya media masa membawa pula pesan-pesan
yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang,
pesan-pesan sugesti yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila
cukup kuat akan memberinya dasar afektif dalam menilai suatu hal
sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
30

Dalam proses pembentukan dan perubahan sikap peranan


media masa tidaklah kecil, salah satu informasi sugesti dalam
media masa adalah dalam hal ini iklan selalu berisi segi positif
mengenai produk sehingga dapat menimbulkan pengaruh afektif
yang positif pula.
e. Lembaga pendidikan dan lembaga Agama
Karena konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan
sistim kepercayaan maka pada gilirannya konsep tersebut ikut
berperan dalam menentukan sikap individu.
f. Pengaruh faktor emosional
Terkadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang
didasari oleh emosi dengan berfungsi sebagai semacam
penyuluhan frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pertahanan ego, contonya adalah prasangka. Prasangka
didefinisikan sebagai sikap yang tidak toleran atau yang tidak
favourabel terhadap sekelompok orang, prasangka seringkali
merupakan bentuk sikap negatif yang di dasari oleh kelainan
kepribadian pada orang-orang yang sangat frustrasi.
Menurut Siti Partini dalam buku Ramayulis (2004: 96)
pembentukan dan perubahan sikap dipengaruhi oleh dua factor yaitu:
1. Factor internal, berupa kemampuan menyeleksi dan mengolah atau
menganalisis pengaruh yang datang dari dalam, termasuk disini
minat dan perhatian. Syamsu Yusuf (2004: 136) juga menjelaskan
dalam buku Psikologi perkembangan anak dan remaja bahwa
Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan adalah bahwa manusia
mempunyai fitrah (pembawaan) beragama (homo religious).
Setiap manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih
primitif, bersahaja, maupun yang sudah modern, baik yang lahir di
Negara komunis maupun kapitalis; baik yang lahir dari orang tua
yang saleh maupun jahat; sejak nabi Adam sampai akhir zaman,
menurut fitrah kejadiannya mempunyai potensi beragama atau
31

keimanan kepada Tuhan atau percaya adanya kekuatan di luar


dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta. Di
masyarakat yang masih primitive muncul kepercayaan terhadap
roh-roh ghaib yang dapat memberikan kebaikan atau bahkan
malapetaka. Agar roh-roh itu tidak berperilaku jahat, maka mereka
berrusaha mendekatinya melalui sajian-sajian (bahasa
sunda=sasajen) yang dipersembahkan kepada roh-roh tersebut.
Bahkan, di kalangan masyarakat modernpun masih ada yang
mempunyai kepercayaan kepada hal-hal yang sifatnya tahayul
tersebut, seperti mempercayai bahwa barang-barang tertentu
(seperti keris atau batu ali) mempunyai kekuatan-kekuatan yang
dapat mendatangkan kebaikan, sehingga tidak sedikit di kalangan
mereka yang mengeramatkannya.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa manusia itu memiliki
fitrah untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik
memberikan Sesutu yang beermanfaat maupun yang madhorot
(mencelakakan).
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang
berjalan secara alamiah (seperti contoh kepercayaan-kepercayaan di
atas), dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para rasul Allah
Swt, sehingga fitrahnya itu berkembang sesuai dengan kehendak
Allah Swt. (Syamsu Yusuf, 2004: 137)
Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau
kepercayaan kepada Tuhan didasarkan kapada firman Allah:

                

       

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama


Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
32

agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.


(Q.S Ar-Rum : 30)
Kata Fitrah terambil dari kata fathoro yang berarti mencipta.
Sementara pakar menambahkan, fitrah adalah “Mencipta sesuatu
pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan demikian kata
tersebut dapat juga dipahami dalam arti asal kejadian, atau bawaan
sejak lahir. Fithroh kata yang digunakan dalam ayat ini menunjuk
kepada keadaan atau kondisi penciptaan itu, sebagaimana
diisyaratkan juga oleh lanjutan ayat ini yang menyatakan “yang telah
menciptakan manusia atasnya.” (M. Quraish Shihab, 2002: 53)
2. Factor eksternal, berupa factor diluar diri individu yaitu pengaruh
lingkungan yang diterima. (Ramayulis, 2004: 96). Faktor
pembawan atau fitrah beragama merupakan potensi yang
mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun,
perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada factor luar
(eksternal) yang memberikan rangsangan atau stimulus yang
memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya.
Dalam hal ini Syamsu Yusuf (2004: 137-141) menjelaskan bahwa
lingkungan itu adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat.
a) Lingkungan keluarga
keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama
bagi anak, karena itu kedudukan keluarga dalam
pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. Dalam
hal ini, orang tua mempunyai peranan yang sangat penting
dalam menumbuh kembangkan fitrah beragama anak.
b) Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang
mempunyai program yang sistematik dalam melaksanakan
bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar
mereka berkembang sesuai dengan potensinya.
33

c) lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau


kondisi intaraksi social dan sosiokultural yang secara potensial
berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau
kesadaran beeragama individu. Dalam masyarakat, individu
(terutama anak-anak dan remaja) akan melakukan interaksi
social dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat
lainnya apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai agama (barakhlaq baik), maka
anak remajapun cenderung akan berakhlaq baik. Namun,
apabila temannya menampilkan akhlaq yang kurang baik,
amoral atau melanggar norma-norma agama, maka anak
cenderung akan terpengaruh untuk mengikuti atau mencuntoh
perilaku tersebut. Hal ini akan terjadi apabila anak atau remaja
kurang mendapatkan bimbingan agama dalam
keluarganya.(Syamsu Yusuf, 2002: 141)

Dengan demikian walaupun sikap keagamaan bukan merupakan


bawaan akan tetapi dalam pembentukan dan perubahannya
ditentukan oleh factor inernal dan eksternal individu. Pembentukan
sikap keagamaan ini sangat erat kaitannnya dengan perkembangan
agama. Sikap fanatis, sikap toleran, sikap pesimis, sikap optimis,
sikap tradisional, sikap modern, sikap fatalism dan sikap free will
dalam beragama banyak menimbulkan dampak negative dan dampak
positif dalam meningkatkan kehidupan individu dan masyarakat
dalam beragama.
D. Remaja Usia 13-15 Tahun
1. Definisi Remaja
Mendefinisikan kata remaja untuk masyarakat Indonesia
sama sulitnya dengan menetapkan defenisi remaja secara umum.
Masalahnya adalah karena Indonesia terdiri dari berbagai macam
34

suku, adat, dan tingkatan social-ekonomi maupun pendidikan kita


bisa menjumpai masyarakat golongan atas yang sangat terdidik dan
menyerupai masyarakat di Negara-negara barat dan kita bisa
menjumpai masyarakat semacam masyarakat di semua titik dengan
perkataan lain, tidak ada profil remaja Indonesia yang seragam dan
berlaku secara nasional, hal ini tercermin dalam ketiga kasus remaja
yang diutarakan dalam awal bab ini.
Walaupun demikian, sebagai pedoman umum kita dapat
menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk
remaja Indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut.
a. usia 11 tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda
seksual sekunder mulai tampak (kriterria fisik)
b. dibanyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap
aqil baligh, baik menurut adat maupun agama, sehingga
maasyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-
anak (kriteria social)
c. pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan
perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego
identity, menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari
perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan tercapainya
puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupaun moral
(Kohlberg) (kriteria psikologis).
d. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk
memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut
massih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai
hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum
bisa memberikan pendapat sendiri dan sebagainya. Dari defenisi
di atas, status perkawinan sangat menentukan, karena arti
perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita pada
umumnya. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapapun
35

dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewassa penuh, baik


secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan
keluarga. Karena itu defenisi remaja di sini dibatasi khusus untuk
yang belum menikah. (Sarlito W. Sarwono, 2011: 18-19)
Menurut Mappiere (1982) dalam buku Psikologi Remaja
Mohammad Ali (2010: 9) bahwa masa remaja berlangsung antara
umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun
sampai dengan 22 tahun bagi pria.
Batasan remaja menurut WHO, remaja adalah suatu masa dimana:
Pada tahun 1974, WHO memberikan defenisi tentang remaja yang
lebih bersifat konsseptual. Dalam defenisi tersebut dikemukakan tiga
kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan social ekonomi, sehingga
secara lengkap defenisi terrsebut berbunyi sebagai berikut.
Muang-man mendefinisikan Remaja adalah suatu masa dimana:
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai
kematangan seksual
2. Inividu mengalami perkembangan psikologis dan pola
identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewsa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan social-ekonomi yang
penuh kepada keadaaan yang relative lebih mandiri (Sarlito W.
Sarwono, 2011: 12)
Perkembangan intelektual yang terus menerus menyebabkan
remaja mencapai tahap berpikir operasional formal. Tahap ini
memungkinkan remaja mampu berpikir secara lebih abstrak,
menguji hipotesis, dan mempertimbangkan apa saja peluang yang
ada pada dirinya dari pada sekedar melihat apa adanya. Kemampuan
intelektual seperti ini yang membedakan fase remaja dari fase-fase
sebelumnya. (M. Ali & M.asrori, 2010).
36

2. Pertumbuhan Mental Remaja


Ide-ide agama, dasar-dasar keyakinan dan pokok-pokok
ajaran agama, pada dasarnya diterima oleh seseorang adalah pada
masa kecilnya. Ide-ide pokok ajaran-ajaran agama yang
diterimanya waktu kecil itu akan berkembang dan bertambah
subur, apabila anak atau remaja dalam menganut kepercayaan itu
tidak mendapat kritikan- kritikan dalam hal agama itu. Dan apa
yang bertumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan yang
dipeganginya melaui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya.
Remaja-remaja yang mendapat didikan agama dengan cara
yang tidak memberi kesempatan atau berpikir logis dan mengkritik
pendapat-pendapat yang tidak masuk akal, disertai pula oleh
kehidupan lingkungan dan orang tua, yang juga menganut agama
yang sama, maka kebimbangan pada masa remaja itu agak kurang.
Remaja-remaja akan merasa gelisah dan kurang aman apabila agama
atau keyakinannya berlainan dari agama atau keyakinan orang
tuanya. Keyakinan orang tua dan keteguhannya menjalankan
ibadah, serta memelihara nilai-nilai agama dalam hidupnya sehari-
hari menolong remaja dari kebimbangan agama.
Perkembangan mental remaja kearah berpikir logis (falsafi)
itu, juga mempengaruhi pandangan dan kepercayaannya kepada
Tuhan. Karena mereka tidak dapat melupakan Tuhan dari segala
peristiwa yang terjadi di alam ini. Jika mereka yakin bahwa tuhan
maha kuasa, maha mengatur dan mengendali alam ini, maka
segala apapun yang terjadi, baik peristiwa alamiah, maupun
peristiwa-peristiwa dan hubungan orang-orang dalam masyarakat,
dilimpahkan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Seandainya
mereka melihat adanya kekacauan, kerusuhan, ketidak adilan,
percekcokkan dan lain sebagainya dalam masyarakat, atau banyak
hal-hal yang terjadi dalam alam ini seolah-olah tanpa kendali,
maka mereka akan merasa kecewa terhadap tuhan, bahkan mungkin
37

menjadi acuh tak acuh atau benci. Apabila perasaan seperti itu
bertumpuk-tumpuk, mungkin akan berakhir dengan mengingkari
wujud Tuhan, supaya ia dapat mengambil kesimpulan baru, yaitu
segala sesuatu dalam alam ini terjadi dengan sendirinya dan berjalan
tanpa kendali sehingga mungkin saja, teratur atau kacau balau.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian remaja akan poko-


pokok keyakinan dalam agama dipengaruhi oleh perkembangan
pikirannya adalah pada saat umur remaja. Dan gambaran remaja
tentang tuhan merupakan bagian dari gambaran terhadap alam ini.
Hubungannya dengan tuhan, bukanlah hubungan yang sederhana,
antara dia dengan tuhan. Akan tetapi kompleks dan berjalin melalui
alam ini, hubungan disini adalah antara dia, alam dan tuhan.
Perasaannya terhadap tuhan, adalah pantulan dari sikap jiwanya
terhadap alam luar. Maka agama remaja adalah hubungan antara dia,
tuhan dan alam semesta, yang terjadi dari peristiwa-peristiwa dan
pengalaman-pengalaman masa lalu dan yang sedang di alami oleh
remaja itu. Atau dengan kata lain dapat diringkaskan bahwa
agama remaja adalah hasil dari interaksi antara dia dan
lingkungannya sedang gambarannya tetang tuhan dan sifat-sifatnya,
dipengaruhi oleh kondisi perasaan dan sifat remaja itu sendiri.
(Zakiah Drajat, 1996:72-75)

3. Problem Remaja
Umur remaja adalah umur peralihan dari masa anak-anak
menjelang masa dewasa, yang merupakan masa perkembangan
terakhir bagi pembinaan kepribadian atau masa persiapan untuk
memasuki umur dewasa, pada masa ini banyak memiliki problem.
Telah banyak penelitian yang dilakuakan orang dalam mencari
problema yang umum dihadapi oleh remaja, baik dinegara yang
maju, maupun yang masih berkembang. Di antara problem remaja
yang sering rasakan antara lain adalah:
38

1. Masalah hari depan


Setiap remaja memikirkan masa depannya. Ia ingin
mendapat kepastian, akan jadi apakah ia nanti setelah tamat.
Pemikiran akan hari depan itu semakin memuncak dirasakan oleh
mereka yang duduk di bangku Universitas atau mereka yang berada
di dalam kampus. Tidak jarang kita mendengar kalimat-kalimat
yang memantulkan kecemasan akan hari depan itu, misalnya: “hari
depan suram”, buat apa belajar, toh sama saja yang berijazah dan
tidak berijazah sama-sama tidak dapat bekerja dan sebagainya.
2. Masalah hubungan dengan orang tua
Masalah inipun termasuk masalah yang dihadapi oleh
remaja dari dahulu sampai sekarang. Sering kali terjadi
pertentangan pendapat antara orang tua dan anak- anaknya yang
telah remaja atau dewasa. Kadang-kadang hubungan yang kurang
baik itu timbul, karena remaja mengikuti arus dan mode, seperti:
rambut gonderong, pakaian kurang sopan, laga-lagu dan terhadap
orang tua kurang hormat.
3. Masalah moral dan agama
Tampaknya masalah ini semakin memuncak, terutama di
kota-kota besar barang kali pengaruh hubungan dengan budaya
asing semakin meningkat melaui film, bacaan, gambar-gambar dan
hubungan langsung dengan orang asing (turis) yang dating
dengan berbagai sikap dan kelakuan. Biasanya kemerosotan
moral disertai oleh sikap menjauh dari agama. Nilai-nilai moral
yang tidak didasarkan kepada agama akan terus berubah sesuai
dengan keadaan, waktu dan tempat. Keadaan dan nilai-nilai yang
berubah itu menimbulkan kegoncangan pula, karena
menyebabkan orang hidup tanpa pegangan yang pasti. Nilai
yang tetap dan tidak berubah adalah nilai-nilai agama, karena nilai
agama itu absolut dan berlaku sepanjang zaman, tidak dipengaruhi
oleh waktu, tempat dan keadaan. (Zakiah drajat, 1996: 125-127)

Anda mungkin juga menyukai