Anda di halaman 1dari 35

 

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
BAB II
 
TINJAUAN PUSTAKA
 
2.1 Karya Ilmiah
 

  No. Tahun Judul Metode Produk

  1. 2018 Analisis Perencanaan Menghitung Hujan Volume


Kolam Retensi Dalam Maksimum, Analisis Kolam
 
Menanggulangi Hidrologi, Retensi,
  Bencana Banjir Di Desa Analisis Intensitas Dimensi

  Tegaldowo Hujan, Perhitungan Penampang,


Kab.Pekalongan Debit Banjir Metode Kecepatan
(M. Fahmi Amrullah, Rasional Aliran
2018)
2. 2013 Pencirian Debit Aliran Identifikasi Debit Aliran
Sungai Citarum Hulu Fluktuasi Debit Sungai
(The Characteristics of Aliran dengan Citarum Hulu
River Discharge of koefisien regim,
Citarum Hulu) Identifikasi debit
(Yayat H., Kukuh M., aliran sungai dengan
Enni D.W., Diah R. P., koefisien keragaman,
2013) Analisis Daya
Dukung Lahan
3. Kolam Retensi Sebagai Menganalisis Efektifitas
Alternatif Pengendali efektifitas kolam kolam retensi
Banjir (Evy Harmani, retensi dengan
M. Soemantoro) hidrograf debit banjir
4. 2017 Analisis Volume Analisis Hidrologi Dimensi
Tampungan Kolam dan Analisis Penampang
Retensi Das Deli Hidrolika Kolam Retensi
Sebagai Salah Satu
Upaya Pengendalian
Banjir Kota Medan
(Asril Zevri, 2017)

II-7
 
  II-8

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
2.2 Peta Tata Guna Lahan
 
Peta tata guna lahan merupakan peta yang menampilkan pemanfaatan lahan
 
dari suatu wilayah. Pemanfaatan lahan yang terdapat dalam peta tata guna lahan
  seperti kawasan pemukiman, perkebunan, pertambangan, industri dan lain
yaitu
  lain. Pada tugas akhir ini, peta tata guna lahan digunakan untuk menghitung
koefisien pengaliran (limpasan) dari tiap kawasan.
 
2.3 Peta Citra Satelit
 
Peta Citra Satelit merupakan gambaran permukaan bumi yang ditangkap
 
melalui sebuah alat yang dipasang pada satelit dengan jarak lebih dari 400 km. Peta
  Citra disajikan dengan berbagai resolusi yang berbeda. Pada tugas akhir ini peta
citra satelit digunakan untuk mengetahui lokasi tinjauan tugas akhir dan digunakan
pada proses analisis hidrolika sebagai input tahap awal software HEC-RAS.
2.4 DEMNas (Model Elevasi Digital Nasional)
DEMNas adalah data model elevasi digital yang merepresentasikan relief muka
bumi. DEMNas digunakan untuk analisis informasi topografi dari suatu wilayah.
Pada tugas akhir ini DEMNas digunakan sebagai salah satu data input di software
HEC-RAS untuk menganalisis aliran banjir pada DAS (Daerah Aliran Sungai).
2.5 Sungai
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.38 Tentang Sungai Pasal 1 Ayat 1
Tahun 2011, Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa
jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara,
dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.
Sungai berada dalam sebuah wilayah sungai yang didalamnya terdapat satu
atau lebih daerah aliran sungai. Berdasarkan Undang-Undang No.7 Tentang
Sumber Daya Air Pasal 1 Ayat 11 Tahun 2004 Daerah aliran sungai adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

 
  II-9

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
2.3.1 Bagian-Bagian Sungai
 
Sungai terdiri dari beberapa bagian. Bagian-bagian sungai yaitu, bagian
 
hulu, bgaian tengah dan bagian hilir. Tiap bagiannya memiliki karakteristik
  masing-masing sebgai berikut :

  A. Bagian Hulu
Bagian hulu sungai memiliki karakteristik, yaitu palung sungai
 
berbentuk V dan lerengnya cembung, terkadang terdapat air terjun dan
 
jeram. Selain itu, bagian hulu sungai memiliki arus yang deras, daya
  erosinya besar, dan arah erosi vertikal.
  B. Bagian Tengah
Bagian Tengah sungai memiliki karakteristik, yaitu palung sungai
berbentuk U, mulai terjadi pengendapan (sedimentasi) dan sering
terjadi meander yaitu kelokan sungai yang mencapai 180° atau lebih.
Selain itu, bagian tengah sungai memiliki arus tidak begitu deras, daya
erosi yang lebih kecil daripada dibagian hulu dengan arah horizontal
dan vertikal (ke dasar sungai dan ke samping sungai).
C. Bagian Hilir
Bagian Hilir sungai memiliki karakteristik, yaitu memiliki palung
yang lebar dan terkadang terjadi delta di bagian muara. Selain itu,
bagian hilir sungai memiliki daya erosi yang kecil dengan arah
horizontal, dan banyak terjadi pengendapan akibat kecepatan aliran
sungai kecil.
2.4 Banjir
Banjir merupakan keadaan dimana daratan tergenang oleh kelebihan air.
Kelebihan air tersebut berasal dari sumber-sumber air yang meluap akibat melebihi
kapasitas tampung. Selain karena luapan kelebihan air dari sumber air, banjir juga
terjadi pada daerah yang area resapan air nya kurang.
2.4.1 Upaya-Upaya Penanggulangan Banjir
Penanggulangan banjir bisa dilakukan melalui berbagai upaya. Bahkan
umumnya untuk mengatasi satu masalah banjir di satu daerah tidak cukup

 
  II-10

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
hanya dengan satu upaya. Upaya penanggulangan banjir dapat dilakukan
 
melalui pendeketan secara struktural, non-struktural, dan sosial-kultur.
 
 Struktural
  Upaya penanggulangan banjir dengan pendekatan struktural
  adalah upaya yang dilakukan dengan efek yang dihasilkan secara
langsung terlihat bentuk fisiknya. Upaya penanggulangan banjir dengan
 
pendekatan struktural merupakan upaya yang dilakukan untuk
 
menanggulangi banjir dengan membangun bangunan-bangunan
  penunjang dan atau memperbaiki bagian sungainya. Upaya
  penanggulang banjir yang dilakukan dengan pendekatan struktural
adalah seperti normalisasi sungai, pembangunan waduk dan embung,
pembangunan tanggul penahan banjir, pembuatan floodway, pembuatan
sistem polder, pembuatan sumur-sumur resapan pembangunan kolam
penampung banjir, dll.
 Non-Struktural
Upaya penanggulangan banjir dengan pendekatan non-struktural
merupakan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi banjir dengan
tidak secara langsung. Upaya non-struktural dilakukan dengan fokus
kepada cara-cara dan manajemen untuk menanggulangi banjir. Upaya
penanggulang banjir yang dilakukan dengan pendekatan non-struktural
adalah seperti penaataan ruang, manajemen daerah rawan banjir,
pemberdayaan masyarakat di kawasan banjir, pengendalian erosi dan
alih fungsi lahan, dll.
 Sosio-Kultural
Upaya penanggulangan banjir dengan pendekatan sosio-kultural
merupakan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi sungai dari sisi
yang berhubungan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat
sekitar. Pendekatan sosio-kultural dilakukan dengan memberantas
masalah yang disertai dengan dibuatnya alternatif solusi dari
permasalahan yang diberantas. Misalnya, masalah banjir yang
diakibatkan oleh adanya rumah-rumah di bantaran sungai ditanggulangi

 
  II-11

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
dengan memberantas rumah-rumah tersebut sekaligus melakukan
 
relokasi bagi warga-warga yang rumahnya diberantas tersebut. Upaya
 
penanggulangan banjir yang dilakukan dengan pendekatan sosio-
  kultural adalah seperti relokasi kawasan pemukiman di daerah rawan
  banjir, relokasi industri, revitalisasi pemukiman di daerah rawan banjir,
dll.
 
2.5 Kolam Detensi dan Retensi
 
Kolam detensi dan retensi merupakan bak atau kolam yang dibuat untuk
 
menampung kelebihan air limpasan. Perbedaan kolam detensi dan kolam retensi
  adalah dari cara kerjanya. Kolam retensi dibuat untuk menampung air sementara
lalu dibuang kembali ke badan sungai. Sedangkan, kolam detensi dibuat untuk
menampung air lalu diresapkan kedalam tanah. Selain itu, terdapat istilah kolam
rerensi-detensi yang merupakan kombinasi dari kedua cara kerja kolam retensi dan
kolam detensi. Perencanaan pembangunan kolam detensi dan retensi dilakukan
dengan melakukan beberapa tahap seperti, analisis hidrologi dan juga analisis
hidrolika.
2.6 Analisis Hidrologi
Analisis hidrologi merupakan tahap awal dalam perancangan bangunan
hidraulik. Analisis Hidrologi dilakukan untuk mendapatkan curah hujan rencana
dan debit banjir rencana. Analisis hidrologi didalamnya memuat tahapan analisis
dan perhitungan yang berurutan.
2.6.1 Analisis Data Curah Hujan
Analisis data curah hujan dilakukan untuk mendapatkan curah hujan
rencana dengan langkah sebagai berikut :
 Pengisian Data Curah Hujan yang Kosong
Pengisian data curah hujan dilakukan untuk stasiun curah hujan
yang data curah hujannya tidak lengkap. Pengisian data curah hujan
yang kosong memerlukan data dari stasiun terdekat dari stasiun yang
datanya dicari. Stasiun terdekat yang digunakan untuk mengisi data
curah hujan yang kosong haruslah memiliki data yang lengkap.

 
  II-12

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
Persamaan yang digunakan untuk mengisi data curah hujan yang
 
kosong adalah sebagai berikut :
  1 ̅̅̅̅
𝑅 ̅̅̅̅
𝑅 ̅̅̅̅
𝑅
𝑥 𝑥 𝑥
𝑅𝑋 = 𝑛 (̅̅̅̅ 𝑅𝐴 + ̅̅̅̅ 𝑅𝐵 + ………...+ ̅̅̅̅ 𝑅𝑛 ) ........................................(1)
𝑅 𝐴 𝑅 𝐵 𝑅 𝑛
 
Keterangan :
 
𝑅𝑥 = Curah hujan yang hilang
  𝑅𝐴 , 𝑅𝐵 , ..., 𝑅𝑛 = Curah hujan pada stasiun A, stasiun B, sampai stasiun
  n
̅𝑅̅̅𝑥̅ = Tinggi curah hujan pada pos hujan di sekitar
 
̅̅̅
𝑅𝐴 , ̅̅̅̅
𝑅𝐵 , ....., ̅̅
𝑅̅̅
𝑛 = Jarak Stasiun yang diisi terhadap masing-masing
 
stasiun
 Curah Hujan Rata-Rata Kawasan
Dalam satu daerah aliran sungai terdapat banyak stasiun hujan.
Setiap stasiun hujan memiliki curah hujan yang belum tentu sama.
Sementara itu, dalam melakukan analisis hidrologi diperlukan rata-rata
curah hujan dari satu kawasan atau satu daerah aliran sungai. Mencari
curah hujan rata-rata kawasan dapat dilakukan dengan tiga metode,
yaitu metode rerata aritmatik (Aljabar), metode polygon thiessen dan
metode isohiet.
- Metode Rerata Aritmatik (Aljabar)
Metode rerata aritmatik merupakan metode paling sederhana
diantara ke tiga metode. Perhitungan curah hujan rata-rata kawasan
dengan metode ini dilakukan seperti mencari rata-rata biasa, yaitu
dengan menjumlahkan semua curah hujan pada tiap stasiun di
waktu yang sama lalu membagi dengan jumlah stasiunnya. Metode
ini memang kurang teliti di banding dengan metode lainnya, tetapi
metode ini dapat baik digunakan untuk daerah dengan luas
<500km2, topografi pegunungan, stasiun tersebar merata dan
dengan curah hujan yang merata, serta jumlah data yang ada
terbatas. Metode aritmatik dapat dilihat pada Gambar II.1.

 
  II-13

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

  𝑅4

  𝑅1

 
𝑅3
 
𝑅5
 

 
𝑅2
𝑅6
 
Gambar II. 1 Metode Rerata Aritmatik (Aljabar)
  Sumber : Dokumen Pribadi
Persamaan yang digunakan pada metode rerata aritmatik
adalah sebagai berikut :
𝑅1 +𝑅2 +⋯+𝑅𝑛
𝑅= .........................................................................(2)
𝑛

Keterangan :
𝑅 = Curah Hujan Rata-Rata Kawasan
𝑅1 , 𝑅2 , ....., 𝑅𝑛 = Besar Curah Hujan tiap Stasiun Hujan
𝑛 = Jumlah Stasiun Hujan Pengukuran
- Metode Polygon Thiessen
Metode Polygon Thiessen merupakan metode yang digunakan
untuk mencari curah hujan rata-rata kawasan dengan cara membuat
poligon yang menghubungkan stasiun terdekat di sekitar daerah
tangkapan yang ditinjau. Jumlah stasiun minimal yang digunakan
untuk metode ini adalah 3 stasiun. Dari tiap poligon yang
terbentuk, selanjutnya dicari titik beratnya, lalu dihubungkan tiap
titik berat. Curah hujan rata-rata kawasan didapat dengan
mengalikan rata-rata curah hujan masing-masing stasiun dengan
luasan daerah tangkapan tiap stasiun dari hasil poligon lalu dibagi
dengan luas seluruh daerah tangkapan. Metode ini baik digunakan
untuk daerah tangkapan dengan luas 5002 s.d. 5000 km2 dengan
topografi berupa daratan, serta jumlah stasiun yang terbatas

 
  II-14

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
ataupun cukup. Metode ini memiliki hasil yang lebih teliti daripada
 
metode aritmatik, oleh karena itu metode ini sering digunakan.
 
Metode polygon thiessen dapat dilihat pada Gambar II.2.
 
𝑅1
 

 
𝑅3
 
𝑅2
 

Gambar II. 2 Metode Polygon Thiessen


Sumber : Dokumen Pribadi
Persamaan yang digunakan dalam metode Polygon Thiessen
adalah sebagai berikut :
𝐴1 ×𝑅1 +𝐴2 ×𝑅2 +…+𝐴𝑛 ×𝑅𝑛
𝑅= .........................................................(3)
𝐴1 +𝐴2 +⋯+𝐴𝑛

Keterangan :
𝑅 = Curah hujan rata-rata kawasan (mm)
𝑅1 , 𝑅2 , ..., 𝑅𝑛 = Curah hujan yang tercatat dipos penakar (mm)
𝐴1 , 𝐴2 , ..., 𝐴𝑛 = Luas area tangkapan tiap stasiun (km2)
- Metode Isohyet
Metode Isohyet dilakukan dengan membuat garis kontur atau
garis putus-putus yang menghubungkan stasiun dengan stasiun lain
yang berdampingan dan memiliki kedalaman hujan yang sama
melalui hasil interpolasi. Luas dantara dua garis kontur dikali dengan
rata-rata dari dua garis kontur. Metode ini baik digunakan jika
stasiun yang digunakan tersedia banyak. Selain itu, metode ini baik
digunakan untuk daerah dengan luas >5000km2, topografi berbukit
dan tidak berarturan, juga terdapat banyak stasiun hujan yang dapat
digunakan, karena metode ishoyet ini membutuhkan banyak data

 
  II-15

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
untuk bisa interpolasi. Metode isohyet dapat dilihat pada Gambar
 
II.3.
 

  𝐼1 𝐴1

  𝐼2 𝐴2

  𝐼3 𝐴3

  𝐼4

 
Gambar II. 3 Metode Isohyet
Sumber : Dokumen Pribadi
Persamaan yang digunakan dalam metode Isohyet ini adalah
sebagai berikut :
𝐼 +𝐼 𝐼 +𝐼 𝐼 +𝐼
𝐴1 1 2+𝐴2 2 3+⋯+𝐴𝑛 𝑛 𝑛+1
2 2 2
𝑅= ...............................................(4)
𝐴1 +𝐴2 +…+𝐴𝑛

Keterangan :
𝑅 = Curah hujan rata-rata kawasan (mm)
𝐴1 , 𝐴2 , ..., 𝐴𝑛 = Luas area antar garis isohyet (km2)
𝐼1 , 𝐼2 , ..., 𝐼𝑛 = Garis ishoyet ke-n (mm)
2.6.2 Analisis Distribusi Frekuensi dan Probabilitas
Analisis distribusi frekuensi dilakukan berkaitan dengan frekuensi dari
suatu data peristiwa/kejadian hujan di masa lalu untuk mendapatkan
kemungkinan/probabilitas hujan di masa mendatang melalui metode distribusi
tertentu.
 Pengukuran Dispersi
Pengukuran dispersi dilakukan karena tidak semua nilai variabel
hidrologi memiliki nilai yang seragam. Pengukuran dispersi dilakukan
dengan mencari parameter statistik. Parameter statistik ada 4 macam,
yaitu :
- Standar Deviasi (Sd)

 
  II-16

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
Perhitungan standar deviasi dilakukan untuk mengetahui
 
seberapa besar perbedaan atau penyimpangan dari nilai yang ada
 
terhadap rata-rata dari nilai tersebut. Untuk menghitung standar
  deviasi, digunakan persamaan sebagai berikut:
  ∑𝑛
𝑥=𝑖(𝑋𝑖 −𝑋)
2
𝑆𝑑 = √ 𝑛−1
.......................................................................(5)
 
Ketarangan :
  𝑆𝑑 = Standar Deviasi
  𝑋𝑖 = Nilai curah hujan ke-i

  𝑋 = Rata-Rata dari 𝑋𝑖
𝑛 = jumlah data
- Koefisien Skewness (Cs)
Pengukuran koefisien skewness dilakukan untuk mencari nilai
yang menunjukan kemencengan/ketidaksimetrisan dari suatu
distribusi. Untuk menghitung nilai koefisien skewness, digunakan
persamaan sebagai berikut:
𝑛 ∑𝑛 (𝑋 −𝑋)3
𝑥=𝑖 𝑖
𝐶𝑠 = (𝑛−1)(𝑛−2)𝑆𝑑 3 ......................................................................(6)

Keterangan :
𝐶𝑠 = Koefisien Skewness
𝑋𝑖 = Nilai curah hujan ke-i
𝑋 = Rata-Rata dari 𝑋𝑖
𝑛 = jumlah data
𝑆𝑑 = Standar Deviasi
- Koefisien Kurtosis (Ck)
Pengukuran koefisien kurtosis dilakukan untuk mengukur
keruncingan dari suatu kurva distribusi. Untuk menghitung nilai
koefisien kurtosis, digunakan persamaan sebagai berikut :
1 𝑛
∑ (𝑋 −𝑋)4
𝑛 𝑥=𝑖 𝑖
𝐶𝑘 = .......................................................................(7)
𝑆𝑑 4

Keterangan :
𝐶𝑠 = Koefisien Skewness

 
  II-17

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
𝑋𝑖 = Nilai curah hujan ke-i
 
𝑋 = Rata-Rata dari 𝑋𝑖
 
𝑛 = jumlah data
  𝑆𝑑 = Standar Deviasi
  - Koefisien Varian (Cv)

 
Perhitungan koefisien varian dilakukan untuk mencari
perbandingan antara standar deviasi dengan rata-rata dari suatu
 
data. Untuk menghitung koefisien varian, digunakan persamaan
 
sebagai berikut:
  𝑆𝑑
𝐶𝑣 = .......................................................................................(8)
𝑋

Ketarangan :
𝐶𝑣 = Koefisien Varian
𝑋 = Rata-Rata dari 𝑋𝑖
𝑆𝑑 = Standar Deviasi
 Penentuan jenis distribusi
Dalam menentkan jenis distribusi, perlu diperhatikan beberapa
kriteria seperti dibawah ini :
Tabel II. 2 Pemilihan Jenis Distribusi

No. Jenis Distribusi Kriteria


Cs = 0
1. Normal
Ck = 3
Cs = Cv3 + 3Cv
2. Log Normal
Ck = Cv8 + 6Cv6 + 15Cv4 + 16Cv2 + 3
Cs = 1,14
3. Gumbell
Ck = 5,4
4. Log Pearson Type III Selain Nilai Diatas
Sumber : Soemarto,1999
Terdapat tiga metode distribusi yang dapat digunakan untuk
memperoleh probabilitas hujan di masa mendatang, yaitu :
- Distribusi Normal

 
  II-18

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
Distribusi normal merupakan salah satu analisis probabilitas yang
 
banyak digunakan dalam bidang statistika. Salah satunya digunakan
 
dalam analisis distribusi frekuensi dan probabilitas yang menggunakan
  data curah hujan tahunan pada stasiun hujan tertentu untuk
  mendapatkan curah hujan rencana. Persamaan yang digunakan pada
metode distribusi normal adalah sebagai berikut :
 
𝑋𝑡 = 𝑋 + 𝐾𝑇 𝑆𝑑 .........................................................................(9)
 
Keterangan :
  𝑋𝑡 = Curah Hujan Rencana
  𝑋 = Curah Hujan Maksimum Rata-Rata
𝐾𝑇 = Nilai Variabel Reduksi
𝑆𝑑 = Standar Deviasi
Nilai Variabel Reduksi (𝐾𝑇 ) disajikan pada Tabel II.3 :
Tabel II. 3 Nilai Variabel Reduksi Gauss
No. Periode Ulang, T (Tahun) KT
1 1,001 -3,05
2 1,005 -2,58
3 1,01 -2,33
4 1,05 -1,64
5 1,11 -1,28
6 1,25 -0,84
7 1,33 -0,67
8 1,43 -0,52
9 1,67 -0,25
10 2 0
11 2,5 0,25
12 3,33 0,52
13 4 0,67
14 5 0,84
15 10 1,28
16 20 1,64
17 50 2,05
18 100 2,33
19 200 2,58
20 500 2,88
21 1000 3,09

 
  II-19

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
Sumber : Soewarno,1995
 
- Distribusi Log Person Type III
  Distribusi log normal merupakan perubahan variabel X dalam
  distribusi normal menjadi bentuk bentuk logaritma X. Setelah

 
diubah kebentuk logaritma, lakukan pengukuran
dispersi/parameter statistik bentuk logaritma dan hitung curah
 
hujan rencana dengan persamaan sebagai berikut:
  2
∑(𝐿𝑜𝑔𝑋𝑖 −𝐿𝑜𝑔𝑋)
̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑆𝑑. 𝑙𝑜𝑔𝑋 = √ .....................................................(10)
𝑛−1
 
𝑥=𝑖 𝑛 ∑𝑛 (𝑙𝑜𝑔𝑋 −𝑙𝑜𝑔𝑋)3
𝑖
  𝐶𝑠 = 𝐺 = (𝑛−1)(𝑛−2)(𝑆𝑑.𝑙𝑜𝑔𝑋
̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅)3
...................................................(11)

𝑛 2 ∑𝑛 (𝑙𝑜𝑔𝑋 −𝑙𝑜𝑔𝑋)4
𝑥=𝑖 𝑖
𝐶𝑘 = (𝑛−1)(𝑛−2)(𝑛−3)(𝑆𝑑.𝑙𝑜𝑔𝑋
̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅)4
..................................................(12)
𝑆𝑑 ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑆𝑑.𝑙𝑜𝑔𝑋
𝐶𝑣 = = .....................................................................(13)
𝑋̅ 𝑋̅

𝑙𝑜𝑔𝑋𝑡 = 𝑙𝑜𝑔𝑋 + 𝐾𝑇 . ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅


𝑆𝑑. 𝑙𝑜𝑔𝑋 ................................................(14)
𝑋𝑡 = 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑙𝑜𝑔(𝑙𝑜𝑔𝑋𝑡) ..............................................................(15)
Keterangan :
𝑆𝑑 = Standar Deviasi
𝐶𝑠 = 𝐺 = Koefisien
𝑋 = Curah Hujan Maksimum Rata-Rata
𝑋𝑖 = Nilai Curah Hujan ke-i
𝐾𝑇 = Nilai Variabel Reduksi
𝑋𝑡 = Curah Hujan Rencana
Nilai 𝐾𝑇 didapat dari Tabel II.4 sebagai berikut :
Tabel II. 4 Nilai K untuk distribusi Log Pearson Type III

 
  II-20

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

 
  II-21

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

Sumber : Soemarto, 1987


- Distribusi Log Normal
Pada distribusi log normal variabel X juga diubah menjadi
bentuk logaritma. Pengukuran dispersi juga dihitung dengan
persamaan yang sama seperti pada distribusi log pearson type III.
Ketentuan lain didalam distribusi log normal adalah nilai koefisien
kemencengan, Cs = 3Cv+Cv3 dan nilai koefisien kurtosis, Ck =
Cv8+6Cv6+15Cv4+16Cv2+3.
- Distribusi Gumbel

 
  II-22

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
Persamaan yang digunakan untuk mendapatlan curah hujan
 
rencana pada distribusi gumbel, sama dengan persamaan pada
 
distribusi normal yaitu 𝑋𝑡 = 𝑋 + 𝐾. 𝑆𝑑. Tetapi pada distribusi
  Gumbel, nilai K didapat dari persamaan sebagai berikut :
𝑌𝑡 −𝑌𝑛
  𝐾= ............................................................................(16)
𝑆𝑛

  Keterangan :

  𝐾 = Faktor Frekuensi
𝑌𝑡 = Reduce Variate
 
𝑌𝑛 = Reduce Mean
 
𝑆𝑛 = reduce Standar Deviasi
Nilai 𝑌𝑡 , 𝑌𝑛 , dan 𝑆𝑛 didapat dari Tabel II.5 sebagai berikut :
Tabel II. 5 Nilai Reduce StandarDeviation (Sn) dan Reduce Mean (Yn).

Sumber : Soemarto, 1987

 Uji Kecocokan Distribusi


Untuk menentukan kecocokan distribusi frekuensi empiris dari
sampel data terhadap fungsi distribusi frekuensi teoritis yang
diperkirakan dapat menggambarkan/ mewakili distribusi empiris
tersebut, diperlukan pengujian secara statistik. Terdapat dua cara
pengujian, yaitu:
- Uji Chi-Square
Uji Chi-Square dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara
distribusi frekuensi empiris dengan distribusi frekuensi teoritis. Uji

 
  II-23

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
ini dilakukan berdasarkan perbedaan antara nilai-nilai yang
 
diperoleh secara teoritis. Uji ini digunakan untuk menguji
 
simpangan secara vertikal. Persamaan yang digunakan dalam uji
  Chi-Square adalah sebagai berikut :
  𝐾 = 1 + 3,22 log 𝑛 ...................................................................(17)
𝐷𝑘 = 𝐾 − (𝑃 + 1) ................................................................... (18)
 
𝑛
𝐸𝑖 = 𝑘 .......................................................................................(19)
 
( )
  ∆𝑋 = 𝑋𝑚𝑎𝑘𝑠 − 𝑋𝑚𝑖𝑛 ⁄(𝐺 − 1)............................................(20)

  𝑋𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑋𝑚𝑖𝑛 − (∆𝑋⁄2)........................................................(21)

𝑋𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 𝑋𝑚𝑎𝑥 + (∆𝑋⁄2)......................................................(22)


(𝐸𝑓 −𝑂𝑓 )
𝑋2 = ∑ ......................................................................... (23)
𝐸𝑓

Keterangan :
𝐾 = Jumlah Kelas
𝑛 = Jumlah Data
𝐷𝑘 = Derajat Kebebasan
𝐾 = Jumlah Kelas
𝑃 = Banyaknya Parameter
𝑋 2 = Nilai Chi-Square
𝐸𝑓 = Frekuensi yang diharapkan dengan pembagian kelas
𝑂𝑓 = Frekuensi yang diamati sesuai dengan pembagian kelas
Untuk mengetahui kesesuaian antar distribusi frekuensi, maka nilai
distribusi frekuensi teoritis didapat berdasarkan Nilai Parameter
Chi-Square padaTabel II.6 sebagai berikut:
Tabel II. 6 Nilai Parameter Chi-Square Kritis (X2Cr)

 
  II-24

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

Sumber : Soewarno, 1995.


- Uji Kolmogorov-Smirnov
Untuk menghindarkan hilangnya informasi data pada uji Chi-
Square akibat pengelompokan data dalam kelas-kelas interval, ada
beberapa metode lain yang telah dikembangkan. Salah satu metode
yang sering digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov (1993).Uji
kecocokan ini adalah uji kecocokan “non parametric” karena tidak
mengikuti distribusi tertentu. Uji ini menghitung besarnya jarak
maksimum secara vertikal antara pengamatan dan teotitisnya dari
distribusi sampelnya. (SNI 2415:2016). Persamaan yang digunakan
dalam uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut :
𝑚
𝑃 = 𝑛+1 × 100% ......................................................................(24)

𝑃′ (𝑋𝑚 ) = 1 − (𝑡) .....................................................................(25)

 
  II-25

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
𝑋−𝑋̅
  𝑓 (𝑡 ) = ...............................................................................(26)
𝑆

 
 = |𝑃(𝑋𝑖 ) − 𝑃′(𝑋𝑚 )| ........................................................... (27)
Keterangan :
 
𝑃 = probabilitas (%)
 
𝑚 = nomor urut data setelah disusun dari urutan terbesar hingga
  terkecil
  𝑛 = banyak data
𝑋 = Curah Hujan Rata-Rata
 
𝑋̅ = Rata-Rata dari keseluruhan data curah hujan rata-rata
 
𝑃′(𝑋𝑚 ) didapat dari hasil interpolasi nilai koefisien berdasarkan
nilai 𝑓 (𝑡) yang terdapat dalam Tabel II.7 sebagai berikut :
Tabel II. 7 Luas Wilayah di bawah Kurva

 
  II-26

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

 
  II-27

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

Sumber : Soewarno (1993)


Perbandingan antara nilai Pmaks dengan nilai Pkritis dengan
Nilai Pkritis didapat dari Tabel II.8 sebagai berikut :
Tabel II. 8 Nilai Simpangan Kritis (PCr) untuk Smirnov Kolmogorov

 
  II-28

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

Sumber : Soewarno (1995)

2.6.3 Intensitas Hujan


Intensitas Hujan merupakan volume hujan/tinggi hujan tiap satuan
waktu. Intensitas hujan dinyatakan dalam lengkung Intensitas-Durasi-
Frekuensi (IDF) yang menggambarkan hubungan antara intensitas, frekuensi,
dan durasi hujan. Intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe
yaitu :
2
Rt 24 3
It = x (t) ............................................................................................(28)
24

Keterangan :
Rt = Hujan rencana untuk berbagai kala ulang (mm)
t = Waktu konsentrasi (jam)
It = Intensitas hujan untuk berbagai kala ulang (mm/jam)
2.6.4 Koefisien Pengaliran
Koefisien Pengaliran merupakan perbandingan antara aliran permukaan
dengan intensitas hujan yang didasarkan pada curah hujan yang turun beserta
karakteristik dari daerah alirannya. Koefisien pengaliran pada sungai sangat
dipengaruhi oleh curah hujan, persamaan yang digunakan untuk menghitung

 
  II-29

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
koefisien pengaliran akibat pengaruh curah hujan disajikan dalam Tabel II.9
 
sebagai berikut :
 
Tabel II. 9 Persamaan Koefisien Pengaliran (C) Akibat Pengaruh Curah Hujan
 
No Daerah Kondisi Sungai Curah Hujan Rumus
  1 Bagian Hulu 𝑓 = 1 − 1 , 𝑅𝑡3 4
2 Bagian Tengah Sungai Biasa 𝑓 = 1− , 𝑅𝑡1 2
  3 Bagian Tengah Sungai di zone lava 𝑅𝑡 > 200 mm 𝑓 = 1 − ,2 𝑅𝑡3 4
4 Bagian Tengah 𝑅𝑡 < 200 mm 𝑓 = 1 − 3,1 𝑅𝑡1 2
  5 Bagian Hilir 𝑓 = 1 − , 0 𝑅𝑡1 2

  Sumber : Sosrodarsono : 146

  Selain dipengaruhi intensitas curah hujan, Koefisien pengaliran juga


dipengaruhi oleh tata guna lahannya. Semakin rapat dan padat tata guna lahanyya
maka nilai koefisien pengaliran (C) semakin besar. Nilai koefisien pengaliran (C)
didapat dengan persamaan sebagai berikut :
𝐶 = 𝐶𝑖 × 𝐴𝑖 .........................................................................................................(29)
Nilai koefisien pengaliran (C)untuk berbagai penggunaan lahan ditunjukan
pada Tabel II.10 sebagai berikut :
Tabel II. 10 Persamaan Koefisien Pengaliran (C) Akibat Pengaruh Tata Guna Lahan

(a)

 
  II-30

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

(b)

(c)

 
  II-31

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

(d)

 
  II-32

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

 
(e)
Sumber : (a)Soewarno, 2000 (b)Subarkah, 1980 (c)Haryono, 1999 (d)Kironoto, 2003
(e)Kodoatie dan Syarief, 2005

2.6.5 Curah Hujan Efektif dan Distribusi Hujan


Distribusi hujan jam-jaman dilakukan dengan menggunakan data hujan
efektif yang dikalikan dengan ratio tertentu untuk selanjutnya di plot kan
menjadi pola distribusi hujan ke dalam grafik yang menunjukan hubungan
waktu dan tinggi hujan kumulatif. Distribusi Hujan Jam-Jaman didapat dengan
persamaan sebagai berikut :
2⁄
𝑅24 𝑡 3
𝑅𝑇 = ( )( ) ........................................................................................(30)
𝑡 𝑇

𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐻𝑢𝑗𝑎𝑛 = (𝑡. 𝑅𝑡 − (𝑡 − 0, ). 𝑅𝑡−𝑖 ) × 100% ....................................(31)


𝑅𝑛 = 𝐶 × 𝑋𝑡 ................................................................................................(32)
Keterangan :
𝐼𝑇 = Intensitas hujan dengan kala ulang T untuk durasi t (mm/jam),
𝑅24 = Intensitas hujan harian untuk kala ulang T (mm/hari),
𝑇 = Durasi hujan (jam),
𝑡 = Waktu konsentrasi (jam).
2.6.6 Analisis Debit Banjir Rencana
Analisis debit banjir rencana didapatkan dengan mengolah data curah
hujan menjadi data debit yang dikenal dengan analisis curah hujan-limpasan

 
  II-33

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
(rainfall- run off). Debit banjir rancangan didapat dari analisis curah hujan-
 
limpasan. Analisis curah hujan-limpasan dapat dilakukan dengan metode-
 
metode yang disesuaikan dengan data-data yang diperoleh, seperti data curah
  hujan, iklim, dan sebagainya. Metode-metode yang dapat digunakan untuk

  melakukan analisis curah hujan-limpasan adalah sebagai berikut :


A. Metode Rasional
 
Metode rasional digunakan untuk luas daerah aliran sungai < 60
 
km2).Metode Rasional dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
  1
Q = 3,6 𝑥 𝐶 𝑥 𝐼 𝑥 𝐴 …...................................................................... (33)
  𝑐×𝐴
𝐶 = 𝐴𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 .........................................................................................(34)

Keterangan :
Q = Debit (m3/det)
C = Koefisien aliran/limpasan (run off) air hujan (untuk A total)
c = Koefisien aliran/limpasan (run off) air hujan
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Luas DAS (km2)
R = Hujan maksimum (mm)
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
B. Metode Weduwen
Metode Weduwen digunakan untuk luas daerah aliran sungai < 100
km2). Metode Weduwen dihitung dengan rumus :
Qt = α x β x qn x f ............................................................................ (35)
4,1
∝= 1 − ............................................................................(36)
𝛽 𝑥 𝑞𝑛+7
67,65
𝑞𝑛 = ......................................................................................(37)
𝑡+1,45
(𝑡+1)
120+ 𝑥 𝑓
(𝑡+9)
𝛽= ..............................................................................(38)
120+𝑓

0,476 𝑥 𝑓3 8
𝑡= 𝑞 .......................................................................(39)
(∝𝑥 𝛽 𝑥 )1 8 𝑥 11 4
𝑛

Keterangan:
Qt = Debit banjir periode ulang tertentu (m3/detik)

 
  II-34

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
α = Koefisien pengaliran
 
β = Koefisien reduksi
 
t = Lamanya konsentrasi aliran (jam)
  f = Luas daerah pengaliran (m2)
  qn = Curah hujan maksimum (mm)
C. Metode Haspers
 
Metode Haspers digunakan untuk luas daerah aliran sungai  300
 
km2. Metode Haspers dihitung dengan rumus :
  Q  X    I  A ..................................................................................(40)
  1+0,012×𝐴0,7
𝑋= ..............................................................................(41)
1+0,075×𝐴0,7

1 𝑡+3,7×10−0,4𝑡 𝐴0,75
=1+ × .............................................................(42)
 𝑡 2 +15 12

𝑡 = 0,10 × 𝐿0,8 × 𝑖 −0,3 ....................................................................(43)


Keterangan :
Q = Debit banjir rencana periode ulang T tahun
X = Koefisien run off
 = Koefisien reduksi
I = Intensitas hujan yang diperlukan
A = Luas DAS
t = Waktu konsentrasi
L = Panjang sungai
i = Kemiringan dasar sungai
D. Hidrograf Satuan Sintetik
Hidrograf Satuan merupakan grafik yang menggambarkan
hubungan antara unsur-unsur aliran (tinggi dan debit) dengan waktu.
Grafik hidrograf satuan memberi gambaran mengenai berbagai kondisi
yang ada di suatu daerah pada waktu yang bersamaan. Salah satu
metode hidrograf sintetik yaitu Metode Hidrograf Satuan Sintetis
Nakayasu. Pada Metode Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu
persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

 
  II-35

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
- Persamaan Parameter Hidrograf
 
Nilai 𝑇𝑔 didapat dengan ketentuan sebagai berikut :
 
- Panjang Sungai (L) < 15 km :
  𝑇𝑔 = 0,21 + 𝐿0,7 .............................................................................(44)
  - Panjang Sungai (L) > 15 km :

 
𝑇𝑔 = 0, + (0,0 8𝐿) ......................................................................(45)
Nilai 𝑇𝑟 didapat dengan persamaan sebagai berikut :
 
𝑇𝑟 = (0, 𝑠. 𝑑 1)𝑇𝑔.........................................................................(46)
 
Nila 𝑇𝑝 didapat dengan persamaan sebagai berikut :
  𝑇𝑝 = 𝑇𝑔 + 0,8𝑇𝑟.............................................................................(47)
𝑇0,3 = 𝛼𝑇𝑔.......................................................................................(48)
𝐴×𝑅𝑜
𝑄𝑝 = .......................................................................(49)
3,6𝑥(0,3∗𝑇𝑝 +𝑇0,3 )

Keterangan :
𝑄𝑝 = Debit Puncak Banjir (m3/det)
𝐴 = Luas Daerah Aliran Sungai (km2)
𝑅𝑜 = Curah Hujan Efektif (1 mm)
𝑇𝑝 = Tenggang waktu dari awal hujan sampai puncak banjir (jam)
𝑇𝑔 = Waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam)
𝑇𝑟 = Satuan dari curah hujan (Jam)
𝑇0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit dari debit puncak
sampai debit menjadi 30% dari debit puncak (Jam)
𝛼 = Koefisien Karakteristik DAS (1,5 s.d 3,5)
- Mencari Ordinat Hidrograf
Lengkung Naik :
𝑡 2,4
𝑄𝑎 = 𝑄𝑚𝑎𝑘𝑠 (𝑇𝑝) .......................................................................(50)

Lengkung Turun Tahap :


𝑡−𝑇𝑝
𝑇0,3
𝑄𝑑1 = 𝑄𝑚𝑎𝑘𝑠 (0,3) ......................................................................(51)
Lengkung Turun Tahap :

 
  II-36

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
(𝑡−𝑇𝑝)+0,5 𝑇0,3
(0,3) 1,5 𝑇0,3
  𝑄𝑑1 = 𝑄𝑚𝑎𝑘𝑠 .........................................................(52)

  Lengkung Turun Tahap :


(𝑡−𝑇𝑝)+0,5 𝑇0,3
(0,3) 2 𝑇0,3
  𝑄𝑑1 = 𝑄𝑚𝑎𝑘𝑠 .........................................................(53)

  - Debit Banjir Rencana


𝑄 = 𝑈𝐻 × 𝐷𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑠𝑖 𝐻𝑢𝑗𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑚 𝑘𝑒 − 𝑡 ...............................................(54)
 
Di bawah ini adalah bentuk dan sketsa dari hidrograf satuan metode
 
Nakayasu :
 

Gambar II. 4 Sketsa Hidrograf Satuan Metode Nakayasu


Sumber : Arif Bachrul Ulum dkk, 2012
2.7 Analisis Hidrolika
Analisis Hidrolika dilakukan untuk mengetahui dimensi kolam detensi yang
tepat untuk menampung debit banjir tertentu. Analisis hidrolika dilakukan dengan
menggunakan bantuan software HEC-RAS.
2.7.1 Penjelasan Umum
Software HEC-RAS dapat mempermudah dalam melakukan
perhitungan profil muka air, kecepatan aliran air, dan limpasan air. HEC-RAS
mempunyai kemampuan untuk menganalisis perhitungan aliran tunak (steady
flow) maupun aliran tidak tunak (unsteady flow).
2.7.2 Starting HEC-RAS
Terdapat langkah-langkah utama untuk pembuatan model hidrolika
dalam mengguakan software HEC-RAS, yaitu:
1. Pembuatan nama pekerjaan
2. Memasukan data geometri

 
  II-37

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
3. Memasukan data debit (steady flow , unsteady flow) dan kondisi
 
batas
 
4. Running steady flow dan unsteady flow
  5. Hasil akhir
 

 
Gambar II. 5 Tampilan Awal HEC-RAS
Sumber : Software HEC-RAS

2.7.3 Data Geometri


Data yang dibutuhkan untuk melalukan analisis sungai di
software HEC-RAS diantaranya adalah data potongan memanjang
sungai (long section), data potongan melintang sungau (cross
section), koefisien kekasaran Manning, skema sungai dan datalain
yang mendukung.
Tabel II. 11 Koefisien Kekasaran Manning

 
  II-38

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

Sumber : Chow, 1959

2.7.4 Data Aliran Tetap (steady flow)


Data aliran ini dibutuhkan untuk menampilkan perhitugan profil dari
muka air. Data aliran ini terdiri dari kondisi batas dan informasi debit
puncak
 Kondisi Batas
Kondisi batas diperlukan unuk menetapkan permukaan air pada
akhir dari system sungai (bagian hilir). Terdapat empat macam
kondisi batas:
1. Elevasi muka air yang diketahui
Kondisi batasnya meruakan elevasi muka ai yang diketahui
untuk setiap potongan melintang yang akan dihitung.
2. Kedalaman kritis (critical depth)

 
  II-39

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
Kondisi ini dipilih untuk meghitung kedalaman kritis untuk
 
setiap potongan melintang dan akan menggunakanya
 
sebagai kondisi batas.
  3. Kedalaman normal (normal depth)
  Untuk kondisi ini, harus diketahui energi kemiringan yang
akan digunakan pada perhitungan kedalaman kritis. Pada
 
umumnya energi kemiringan didapat dengan pendekatan
 
rata-rata keiringan saluran atau rata-rat kemiringan muka
  air pada potongan penampang melintang.
  4. Rating curve
Kondisi batas yang digunakan adalah kurva hubungan
antara debit dan elevasi. Untuk setiap penampang
melintang, elevasi diperoleh dengancara menginterpolasi
dari rating curve dengan memasukan besarnya debit.
 Informasi Debit
Informasi debit ini digunakan untuk menghitung profil muka
air. Data debit yang dimasukan mulaidari daerah hulu sampai daerah
hilir untuk etiap jangkauan. nilai debit yang dimasukkan pada bagian
hulu,diasumskan akan konstan unuk penampang berikutnya kecuali
nilai debit berubah untuk penampang tertentu.
2.7.5 Data Aliran Tak Tetap (Unsteady Flow)
Data aliran ini diberikan untuk menampilkan perhitungan profil
muka air. Data aliran tak tetap ini terdiri dari : kondisi batas (boundary
conditions) dan kondisi awal (initial conditions).
 Kondisi Batas (boundary conditions)
Kondisi batas diperlukan untuk menetapkan permukaan air pada
akhir dari system sungai (bagian hilir). Terdapat beberapa
macam kondisi yang akan digunakan dalam Analisa yaitu :
1. Flow Hydrograph

 
  II-40

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 
Kondisi batas ini dapat digunakan untuk dua kondisi yaitu
 
baik batas hulu maupun batas hilir. Akan tetapi biasanya
 
digunakan untuk kondisi batas hulu. Data yang dimasukan
  berupa data debit.
  2. Stage Hydrograph
Kondsi batas ini dapat digunakan untuk dua kondisi yaitu
 
baik batas hulu maupun batas hilir. Data yang digunakan
 
adalah data tinggi muka air terhadap waktu.
  3. Rating Curve
  Rating curve merupakan garfik yang menunjukan
hubungan antara debit dan tinggi muka air (elevasi).
 Kondisi Awal (Initial Conditions)
Dalam menetapkan kondisi batas, harus memasukan
kondisi awal dari system pada saat akan memulai simulasi
perhitungan unsteady flow. Kondisi awal terdiri atas informasi
data aliran dan dalam versi ini hanya memasukan satu aliran
unuk semua jangkauan (reach).
2.7.6 Running Data
Pada tahap ini akan dihasilkan output dari analisis hidrolika yang
dilakukan pada setiap eksisting satu dimensi dan eksisting 2 dimensi.

(a)

 
  II-41

 
D3 TEKNIK KONSTRUKSI SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
 

(b)
Gambar II. 6 Running Data 2D
Sumber : Software HEC-RAS
2.8 Optimalisasi
Optimalisasi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan efektifitas dari
suatu hal. Dalam hal ini, optimalisasi dilakukan untuk kolam detensi Cieunteung
agar lebih efektif dalam mengurangi intensitas banjir di Kecamatan Baleendah.
Optimalisasi yang dilakukan untuk mengurangi intensitas banjir dapat dilakukan
dengan berbagai cara tergantung dari penyebab banjirnya dan kondisi
lingkungannya, seperti berikut ini :
 Perubahan dimensi kolam ditensi/retensi
 Penambahan jumlah kolam detensi/retensi
 Normalisasi sungai yang mempengaruhi limpasan
 Pembangunan proyek lainnya yang menunjang proyek yang sudah ada
seperti terowongan air, dll.
Pada tugas akhir ini, fokus yang diambil adalah optimalisasi dengan cara
menambah jumlah kolam detensi. Hasil dari optimalisasi ini berupa pemodelan
aliran sungai setelah diterapkan cara pengoptimalan yang dipilih, serta design dan
layout.

Anda mungkin juga menyukai