Pendahuluan
Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan bentuk interaksi atmosfer-laut tropis lain
selain El Niño dan La Niña (Saji et al., 1999; Webster et al., 1999; Behera et al., 1999;
Vinayachandran et al., 1999; Murtugudde et al., 2000; Rao et al., 2002). IOD bisa muncul
secara dominan terpisah dari ENSO atau bersama-sama dengan ENSO. Behera et al.
(1999) menyatakan bahwa IOD sebenarnya bukan peristiwa baru. Sedangkan menurut
Kailaku (2009) IOD adalah Gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi
laut dan atmosfer di Samudera Hindia di sekitar kathulistiwa. Interaksi tersebut
menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian Timur (bagian Selatan Jawa dan
Barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke Barat.
Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air
dari bawah ke permukaan. Kejadian IOD direpresentasikan dengan satu indeks yang
diberi nama Dipole Mode Index (DMI), yaitu perbedaan SPL di bagian barat Samudera
Hindia (50o - 70oBT, 10oLS - 10oLU) dan SPL di bagian timur Samudera Hindia (90o -
110o, 10oLS - ekuator) (Kailaku 2009).
Pada awalnya dampak IOD dianggap hanya terbatas di Lautan Hindia, namun
ternyata IOD mempengaruhi osilasi selatan (Allan et al., 2001; Dommenget dan Latif,
2002), curah hujan monsunal (Ashok et al., 2001) dan bahkan kondisi iklim musim panas
di Asia (Yamagata et al., 2002). Menurut Rafi (2013) IOD dan El Nino/Southern
Osillation (ENSO) adalah dua fenomena global yang diperkirakan cukup mempengaruhi
variabilitas interannual di Indonesia. Menurut Boer dkk. (2004) IOD dapat
mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia yang dapat mengakibatkan perubahan suhu
muka laut di kawasan laut India, yang mirip dengan di kawasan Pasifik (fenomena El-
Nino). Pengaruh IOD dan ENSO pada wilayah tipe hujan Monsunal lebih tinggi
dibandingkan dengan wilayah tipe hujan Equatorial. Argumen Boer Dkk. (2004) tersebut
diperkuat dengan pernyataan Kalaku (2009) bahwa IOD dapat berpengaruh terhadap
Suhu Permukaan Laut (SPL) di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra
akan mengalami penurunan yang cukup drastis, sementara di dekat pantai timur Afrika
tejadi kenaikan SPL.
Gambar 1 Grafik time series rata-rata SST wilayah Barat Samudera Hindia
tahun 1982-2002
1
Grafik time series dari tahun 1982 hingga tahun 2002 (gambar 1) menunjukan
suhu tertinggi yaitu pada bulan Juli tahun 1998 dengan suhu mencapai 30,206⁰C dan
terendah mencapai 26,510⁰C pada bulan Juli tahun 1984. Pola yang terbentuk yaitu
Gambar 2 Grafik time series rata-rata SST wilayah Timur Samudera Hindia
tahun 1982-2002
Grafik time series rata-rata SST dari tahun 1982 hingga tahun 2002 (gambar 2)
menunjukan suhu tertinggi yaitu pada pertengahan tahun 1998 dengan suhu mencapai
30,130⁰C dan terendah mencapai 27,174⁰C pada pertengahan tahun 1994. Pola grafik
yang terbentu yaitu secara umum hampir mencapai puncak maksimum (amplitude
maksimum) di pertengahan tahunsedangkan akan memiliki suhu minimum di setiap akhir
tahun. Peristiwa ini ternyata menunjukan bahwa pada bulan pertengahan tahun matahari
sangat intensif shingga suhu maksimum sedangkan pada bulan di akhir tahun dominan
sedang musim penghujan sehingga menghasilkan suhu yang relatif lebih rendah
dibandingkan bulan di pertengahan tahun.
Pada praktikum dilakukan analisis antara anomli SST di Barat Hindia dengan
wilayah di Indonesia, Asia dan di Australia. Jika anomali SST di Samudera Hindia bagian
barat lebih besar daripada di bagian timurnya, maka akan terjadi peningkatan curah hujan
dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di
Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan
kekeringan, kejadian ini biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif (DM +).
Fenomena yang berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai DM (-) (Ashok et al.
2001).
2
nilai korelasi positif antara 0 hingga 0,4. Hal ini berarti di wilayah tersebut terjadi musim
kemarau. Nilai positif juga terdapat di wilayah Lampung, Aceh, sebagian besar pulau
Kalimantan dan Papua dengan rentang nilai yang sama. Sedangkan hampir sebagian besar
di Sumatera Barat dan sebagian besar pulau Sulawesi memiliki nilai negatif dengan
rentang nilai korelasi antara -,02 hingga -0,4. Menurut Afifah (2008) dipole mode positif
menghasilkan curah hujan diatas normal, sedangkan di wilayah Sumatera terjadi
kekeringan, begitu sebaliknya dengan dipole mode negatif. Korelasi yang negatif juga
menunjukan bahwa IOD tidak mempengaruhi wilayah tersebut. Indeks bernilai positif
selama tahun IOD positif dan bernilai negatif selama tahun IOD negatif. Korelasi negatif
menandakan bahwa di daerah tersebut terjadi musim hujan (Fadholi 2013).
Wilayah australia memiliki nilai korelasi antara -0,8 hingga 0,8. Nilai korelasi
tersebut tersebar acak di berbagai negara . untuk daerah utara sangat jelas dan hampir
merata dengan nilai korelasi positif antara 0,2 hingga 0,8. Daerah barat samudera Hindia
pun memiliki korelasi positif. Artinya bahwa daerah-daerah yang memiliki korelasi
positif mengalami musim kemarau akibat dari effek IOD. Selama fenomena IOD positif ,
suhu permukaan laut secara anomali menghangat di Samudera Hindia barat, sedangkan di
bagian timur lebih dingin dari normalnya (Saji et al. 1999; Yamagata et al. 2004).
Tahun-tahun yang merupakan tahu terjadinya IOD positif antara lain tahun 1982-
1983, 1994-1995, 1997-1998 dan 2006-2007. Selain itu juga tahun 2007-2008 yang yang
di mana La Nina berbarengan dengan IOD positif di mana La Nina berbarengan dengan
IOD positif (BoM 2012)
Nilai korelasi wilayah Australia secara umum antara -0,2 hingga 0,5. Hampir
seluruh wilayah Australia memiliki nilai korelasi yang positif. Korelasi positif tersebut
3
menunjukan korelasi yang tinggi dan terjadi musim kemarau di daerah tersebut. Nilai
positif juga menunjukan bahwa IOD mempengaruhi wilayah Australia.
4
3
2
1
DMI
Jan-90
Jan-01
Jan-82
Jan-83
Jan-84
Jan-85
Jan-86
Jan-87
Jan-88
Jan-89
Jan-91
Jan-92
Jan-93
Jan-94
Jan-95
Jan-96
Jan-97
Jan-98
Jan-99
Jan-00
Jan-02
-1
-2
-3
Waktu
Kesimpulan
Wilayah Indonesia, Asia dan Australia hampir berkorelasi positif. Korelasi
antara Hindia dengan Indonesia menunjukan bahwa dampak IOD terlihat di wilayah
Sumatera dan karena berkorelasi positif maka di daerah sumatera terjadi kekeringan.
Korelasi yang negatif menunjukan bahwa IOD tidak mempengaruhi wilayah tersebut. Di
Australia hampir seluruhnya mendapatkan dampak dari IOD dan di Asia bagian Barat
pun mengalami hal yang serupa. Pola pembentukan DMI berdasarkan garfik yaitu secara
umum pada pertengahan tahun dan berakhir di peryengahan tahu.
DAFTAR PUSTAKA
4
Ashok, K., Z. Guan, and T. Yamagata, 2001: Impact of the Indian Ocean Dipole on the
Decadal relationship between the Indian monsoon rainfall and ENSO. Geophys.
Res. Lett., 28, 4499-4502.
Behera, S.K., R. Krishnan, and T. Yamagata, 1999: Unusual ocean-atmosphere
conditions in the tropical Indian Ocean during 1994. Geophys. Res. Lett., 26,
3001-3004.
Boer, R., I. Wahab., and Perdinan. 2004. The use of global climate forcing for rainfall and yield
prediction in Indonesia: Case study at Bandung District. Dept. Of Geophysics and
Meteorology, Bogor Agriculture Univ. Mimeograph.
Dommenget, D., and M. Latif, 2002: A cautionary note on the interpretation of EOFs. J.
Climate, 15, 216-225.
Fadholi, Akhmad. 2013. Studi dampak el nino dan indian ocean dipole (iod) terhadap
curah hujan di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol. 11:43-50
Kailaku, T. E. 2009. Pengaruh Enso (El Nino-Southern Oscillation) dan Iod (Indian
Ocean Dipole) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Wilayah Tipe Hujan
Equatorial dan Monsunal (Studi Kasus Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera
Barat dan Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Skripsi. Institut Pertanian Bogor
Murtugudde, R.G., J.P. McCreary, and A.J. Busalacchi, 2000: Oceanic processes
associated with anomalous events in the Indian Ocean with relevance to 1997-
1998. J. Geophys. Res., 105, 3295-3306.
Raffi, Ahmad. 2013. Analisis Respon Tipe Hujan di Wilayah Papua terhadap Fenomena
ENSO. Paper. ITB
Rao, S.A., S.K. Behera, Y. Masumoto, and T. Yamagata, 2002: Interannual variability in
the subsurface tropical Indian Ocean. Deep-Sea Res. II, 49, 1549-1572.
Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata, 1999: A dipole mode
in the tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363.
Vinayachandran, P.N., N.H. Saji, and T. Yamagata, 1999: Response of the equatorial
Indian Ocean to an anomalous wind event during 1994. Geophys. Res. Lett., 26,
1613-1616.
Webster, P.J., A.M. Moore, J.P. Loschnigg, and R.R. Leben, 1999: Coupled ocean-
atmosphere dynamics in the Indian Ocean during 1997-98. Nature, 401, 356-
360.
Yamagata, T, Swadhin K. Behera, Suryachandra A. Rao, Zhaoyong Guan, Karumuri
Ashok and Hameed N. Saji, 2002: The Indian Ocean Dipole: a Physical entity.
Exchanges No. 24.