Anda di halaman 1dari 17

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : KRISTINA EKA SHINTA

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 022030493

Kode/Nama Mata Kuliah : MKWU4371/PENDIDIKAN AGAMA KATHOLIK

Kode/Nama UPBJJ : 048/PALANGKA RAYA

Masa Ujian : 2022/23.1 (2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban

1. Jawab :
a. Mengklasifikasikan bentuk-bentuk kepedulian Gereja terhadap
pembangunan dan Ekologi

Pembangunan Manusia Seutuhnya

Pembangunan merupakan upaya sistematis dan strategis dari setiap komunitas masyarakat (Negara)
sebagai satu-satunya jalan menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Dalam masyarakat
manapun pembangunan merupakan inti dari seluruh aktivitas dan hidup bermasyarakat. Dua
komponen utama pelaku pembangunan adalah masyarakat (rakyat) dan pemerintah. Keduanya
menjalankan peran dan fungsi berbeda untuk tujuan yang satu dan sama. Untuk konteks masyarakat
Indonesia tujuan yang mau dicapai dalam pembangunan adalah keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia (sila kelima).

1.1. GBHN 1978 dan Populorum Progressio


Dalam konteks pembangunan di Negara Indonesia, tujuan pembangunan itu tidak bisa dipisahkan
dari nilai-nilai lain yang merupakan satu kesatuan fundasi bangsa, yakni nilai spiritual (sila
pertama), kemanusiaan (sila kedua) , kesatuan (sila ketiga), serta demokrasi politik (sila keempat).
Mengapa demikian? Karena pembangunan yang mengena pada manusia sebagai tujuan utamanya,
mesti mengintegrasikan pelbagai dimensi manusiawi lainnya, sebagai satu-kesatuan utuh. Manusia
tidak dapat diperhatikan hanya dari salah satu dimensinya saja, tetapi sebagai suatu keutuhan.
Kelima sila Pancasila merumuskan dengan apik dan utuh pelbagai nilai yang membingkai satu
kesatuan utuh manusia sebagai pribadi.

Dalam visi pembangunan Indonesia, kita terbiasa dengan frase “pembangunan manusia yang
seutuhnya”. Tap MPR No 4/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, menyatakan:
“Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang
merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan
bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang
merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

Berdasarkan pokok pikiran bahwa hakekat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia
Indonesia seutuhnya dan Pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan
Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945”.

Menarik sekali bahwa rumusan mengenai tujuan dan landasan (asas) pembangunan yang ditemukan
dalam GBHN kita amat sejalan, dengan apa yang dikatakan dalam ASG tentang pembangunan dan
kesejahteraan umum. Bila kita mencermati lebih mendalam maka rumsan GBHN menegaskan
sekurang-kurangnya dua hal pokok, yakni asas (fundasi etis-moral) pembangunan dan tujuannya
yakni kesejahteraan umum.

Asas pembangunan kita adalah martabat pribadi manusia (Indonesia) dalam segala aspek dan dalam
keutuhannya sebagai pribadi. Sedangkan yang ingin dicapai adalah kesejahteraan umum
sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembangunan. Rumusan-rumusan di atas tentu amat
diwarnai oleh konteks social dan politik Indonesia sebagai suatu Negara, namun nilai-nilai (isi)
yang terkandung di dalamnya sejalan dengan apa yang dikatakan dalam ASG, sebagaimana kita
baca dalam teks berikut.

“Perkembangan yang dibicarakan di sini tidak dapat dibatasi pada pertumbuhan ekonomi melulu.
Supaya otentik perkembangan harus menyeluruh; harus memupuk perkembangan tiap manusia dan
manusia seutuhnya. Seorang pakar ulung di bidang ini dengan tepat mengatakan, “Jangan kita
biarkan ekonomi diceraikan dari kenyataan-kenyataan manusiawi, atau perkembangan dari
peradaban yang menjadi gelanggangnya. Yang bagi kita penting ialah manusia – tiap manusia
perorangan, tiap kelompok manusiawi, dan umat manusia secara keseluruhan” (Populorum
Progressio 14) .

“Akan tetapi …. faham pengembangan ekonomi sendiri mengalami krisis. Kenyataan sekarang: ada
pengertian yang lebih jelas, bahwa penimbunan harta-milik maupun jasa-jasa semata-mata, bahkan
kalau menguntungkan mayoritas masyarakat pun, tidak cukup untuk mewujudkan kebahagiaan
manusia” (SRS 28). “Ciri-ciri pembangunan sepenuhnya, yakni yang bersifat lebih manusiawi, dan
mampu mewujudkan diri pada taraf panggilan manusiawi sejati tanpa mengingkari tuntutan-
tuntutan ekonomis…” (SRS 28).

“Berdasarkan ajaran itu pengembangan tidak hanya berarti penggunaan, penguasaan dan pemilikan
hal-hal tercipta maupun produk-produk kerajinan manusia sesuka hatinya. Tetapi pengembangan
berarti terbawahnya pemilikan, penguasaan dan penggunaan semuanya itu kepada manusia selaku
citra Allah, kepada panggilannya untuk hidup abadi. Itulah kenyataan manusia yang mengatasi
segala ciptaan lainnya. Kenyataan itu sejak semula dimiliki bersama oleh sepasang manusia, pria
dan wanita (bdk. Kej.1:27); maka pada dasarnya bersifat social” (SRS 29).

Teks-teks ASG ini senada maknanya dengan landasan pembangunan kita (Indonesia), yang melihat
manusia secara utuh dalam kekayaan dimensinya. Manusia tidak bisa hanya dilihat hanya dari satu
aspek (dimensi) saja, tetapi secara utuh serta seimbang. Kekayaan dimensi manusia merangkum
pelbagai aspek seperti social, ekonomi, fisik (jasmani), rohani, politik, natural, kultural (seni dan
budaya), dll.
Dengan demikian jika ingin merumuskan apa yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum,
maka semua aspek itu mesti tercakup, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembangunan dalam
GBHN di atas. ASG pun merumuskan kesejahteraan umum dalam konsep yang utuh dan
menyeluruh, sebagaimana bisa kita cermati dari dokumen-dokumen ASG berikut:

Baca Juga: Kependudukan dan Ajaran Sosial Gereja

“Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah keseluruhan kondisi-kondisi hidup


kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota
perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri.
Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-
kelompok lain secara wajar, bahkan kesejahteraan umum umat manusia” (GS 26).

“Supaya tujuan tercapai para pejabat pemerintah harus secara konkret berpedoman pada pandangan
yang cermat tentang kepentingan umum. Mereka harus memperhitungkan semua kondisi social
yang mendukung perkembangan pribadi manusia seutuhnya” (MM 65). Adalah tugas Negara untuk
menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan tercapainya kesejahteraan umum. “Maka Negara
ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya
dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya. Kesejahteraan
umum mencakup keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan social, yang memungkinkan orang-orang,
keluarga-keluarga dan perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih
penuh dan lebih mudah” (GS 74)

1.2. Kesejahteraan Umum


Pandangan ASG amat jelas, baik menyangkut kesejahteraan umum maupun legitimasi kekuasaan
(pemerintahan). Bahkan, ASG menegaskan bahwa dasar adanya Negara adalah demi kesejahteraan
umum (bdk. GS 74). Untuk itu maka etika politik atau moralitas kekuasaan menjadi amat penting,
mengingat adanya Negara didasarkan pada kodrat social manusia serta kesejahteraan umum. GS
amat jelas menegaskan hal itu, “pelaksanaan kekuasaan politik baik dalam masyarakat sendiri,
maupun di lembaga-lembaga yang mewakili Negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas
tata-moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata-
perundangan-undangan yang telah dan harus ditetapkan dengan sah” (GS 74).

Karena Negara ada untuk kesejahteraan umum, maka masyarakat tidak saja dituntut untuk
berpartisipasi, tetapi juga melakukan kontrol dan koreksi terhadap praktek kekuasaan Negara yang
melenceng dari prinsip-prinsip dan tujuannya. Martabat dan kewibawaan pemerintah terletak pada
kapasitasnya mewujudkan kesejahteraan umum, bukan pada fakta berkuasa atas rakyatnya. Selain
dituntut untuk berpartisipasi dan taat pada kebijakan pemerintah demi kesejahteraan umum,
masyarakat berkuasa untuk mengganti pemerintahnya (demokrasi).
Apa yang dapat disimpulkan sampai di sini adalah bahwa ASG memberikan gagasan serta konsep
bagi politik pembangunan yang terarah dan tertuju pada perwujudan kesejahteraan umum. Tak
sepatutnya Gereja cuci-tangan dari pelbagai upaya sehat dan bermartabat demi pencapaian
kesejahteraan umum. Bahkan harus dikatakan bahwa mewujudkan kesejahteraan umum merupakan
bagian utuh dari peran dan tugas Gereja, yang lahir dari tugas perutusannya untuk mewartakan
Kerajaan Allah.

“Setiap orang juga anggota masyarakat. Maka ia termasuk persekutuan manusia. Bukan hanya
orang-orang tertentu saja, melainkan semua orang dipanggil untuk memajukan perkembangan
masyarakat manusia secara keseluruhan. …. Kita mempunyai kewajiban terhadap semua orang.
Oleh karena itu, kita tidak dapat mengabaikan kesejahteraan mereka yang akan menyusul kita untuk
menumbuhkan bangsa manusia. Kenyataan solidaritas manusia tidak hanya membawa keuntungan,
tetapi juga kewajiban” (PP 17).

1.3. Pewartaan Injil dan Pembangunan


Gereja mengajarkan bahwa kepedulian dan keterlibatannya untuk membangun masyarakat demi
pencapaian kesejahteraan umum lahir dari iman akan Yesus Kristus dan tugasnya mewartakan serta
menegakkan Kerajaan Allah di bumi. “Iman akan Kristus Penebus menjelaskan makna
pengembangan sendiri, sekaligus menuntun kita dalam tugas kerjasama. … Selanjutnya pengertian
iman dengan jelas menerangkan alasan-alasan yang mendorong Gereja untuk menggumuli masalah-
masalah pengembangan, untuk memandangnya kewajiban pelayanan pastoral, dan untuk mendesak
semua orang supaya memikirkan makna serta ciri-ciri pengembangan manusiawi yang sejati” (SRS
31).

Jadi ada hubungan tak terpisahkan antara tugas Gereja mewartakan Kerajaan Allah, atau
mewartakan khabar gembira Injil dengan kepedulian dan keterlibatan nyata dalam pembangunan
masyarakat demi mencapai pembangunan manusia yang sejati dan utuh. Paus Paulus VI
mengatakan, “Mustahillah menerima bahwa dalam pewaraan Injil orang dapat atau harus tidak mau
tahu menahu tentang pentingnya masalah-persoalan yang sekarang ini begitu banyak diperdebatkan
tentang keadilan, pembebasan, perkembangan dan perdamaian dunia. Andaikata begitu, itu berarti
melupakan pelajaran yang kita terima dari Injil tentang cinta kasih terhadap sesama yang sedang
mendnerita dan serba kekurangan” (EN 31).

Konstitusi Pastoral Gereja juga menggariskan bahwa keterlibatan pada pembangunan dunia yang
lebih manusiawi adalah konsekuensi atau implikasi praktis dari pewartaan Injil: “Ada pun misi
khusus, yang oleh Kristus telah dipercayakan kepada Gereja-Nya, tidak terletak dalam bidang
politik, ekonomi atau social, sebab tujuan yang telah ditetapkannya untuk Gereja bersifat
keagamaan. Tentu saja dari misi keagamaan itu sendiri muncullah tugas, terang dan daya kekuatan,
yang dapat melayani pembentukan dan peneguhan masyarakat manusia menurut Hukum Ilahi” (GS
43). Tak ada keterpisahan antara tugas mewartakan Injil dan mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan umum, “Kegiatan demi keadilan dan partisipasi dalam perombakan dunia bagi kami
nampak sepenuhnya sebagai dimensi hakiki pewartaan Injil, atau, dengan kata lain, perutusan gereja
demi penebusan umat manusia serta pembebasannya dari tiap situasi penindasan” (CU 6).

ASG memberikan visi, konsep, inspirasi dan motivasi bagi warga Gereja untuk terlibat membangun
dunia. Dalam hal ini, kaum awamlah yang menjadi ujung tombak Gereja yang terlibat dalam
membangun dunia menuju masyarakat adil, damai dan sejahtera. Orang Katolik tidak boleh
melupakan bahwa mereka diutus ke dunia untuk memberi kesaksian tentang nilai dan perwujudan
Kerajaan Allah di dunia. Tujuan akhir mereka adalah Kerajaan Allah, dan karena tujuan itu, maka
mereka harus terlibat aktif membangun dunia; dan dengan terlibat aktif membangun dunia mereka
akan semakin terdorong untuk mengarahkan hidup dan kegiatannya menuju perwujudan Kerajaan
Allah, yang akan mencapai kesempurnaannya kelak di akhir zaman (GS 43). Adalah tugas kaum
awam untuk membangun dunia dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai kerajaan Allah: keadilan,
kasih, damai sejahtera, persaudaraan dan kesatuan (AA 7).

Gereja dan Negara memang memiliki peran berbeda serta perutusan yang tak sama, tetapi keduanya
“kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan social orang-orang yang sama.
Pelayanan itu akan semakin efektif dijalankan keduanya demi kesejahteran umum …. Gereja …
menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa
makin luaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari
semua bidang kegiatan manusia melalui ajarannya dan melalui kesaksian umat Kristen, Gereja juga
menghormati dan mengembangkan kebebasan, serta tanggungjawab politik para warga Negara” (GS
76).

2. Ekologi
Sebagaimana sudah dikatakan di atas, pembangunan mengena terutama pada manusia (tujuan) dan
bumi atau alam ciptaan (obyek). Adalah keyakinan umum bahwa demi mencapai kesejahteraan
umum maka bumi mesti juga diolah. Mengolah bumi untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia,
selaras dengan mandat awali penciptaan yakni: menguasai dan menaklukkan bumi (bdk. Kej.1:28);
mengelola dan mengusahakan bumi (bdk. Kej.2:15).

2.1. Mendorong Teknologi


Sepanjang sejarah, Gereja tidak saja mendukung, tetapi malah memelopori implementasi mandat
awali penciptaan ini. Kehidupan monastic tidak terpisahkan dari tugas mengolah bumi. Prinsip
hidup “ora et labora” (berdoa dan bekerja) lahir dari haribaan kehidupan monatik Gereja Katolik.
Gereja bahkan terus menerus mendorong manusia untuk mengolah bumi yang merupakan sumber
kehidupan bagi manusia. Mengolah bumi adalah sumber harta milik. ASG mengakui adanya hak
milik pada setiap orang, namun tetap mengingatkan ciri social dari harta milik. Sejak St. Ambrosius
(abad 4) sampai ASG mutakhir ciri sosial harta benda tetap ditegaskan oleh Gereja.
Dalam arti itu, Gereja mendorong upaya pembangunan dengan mengoptimalkan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber-sumber alam demi kehidupan manusia. Gereja mendorong kemajuan teknologi
yang semakin menolong manusia memperoleh hasil optimal dalam pengelolaan alam ciptaan.
“Tetapi zaman sekarang ini, terutama berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, ia telah dan tetap
masih memperluas kedaulatannya atas alam semesta. … Dengan demikian banyak harta nilai, yang
dulu oleh manusia terutama di harapkan dari kekuatan-kekuatan atas bumi, sekarang sudah
diusahakannya melalui kegiatannya sendiri” (GS 33). Konsili Vatikan II memuji kemajuan IPTEK
yang semakin memampukan manusia mengusai bumi demi pemenuhan kebutuhan
kesejahteraannya.

Gereja menilai bahwa penguasaan alam bermakna positif untuk memenuhi kebutuhan sesama
manusia dan tanda nyata keterlibatan Gereja dalam membangun dunia. “Maka jelaslah pewartaan
kristiani tidak menjauhkan orang-orang dari usaha membangun dunia, pun tidak mendorong mereka
untuk mengabaikan kesejahteraan bersama; melainkan mereka justru semakin terikat tugas untuk
melaksanakan itu” (GS 34).

Sebenarnya persoalan lingkungan hidup sudah mulai disuarakan menjelang Konsili Vatikan II.
Rachel Karson menerbitkan bukunya Silent Spring tahun 1962, di dalamnya dia menyuarakan
persoalan lingkungan hidup yang timbul akibat revolusi hijau, terutama penggunaan pestisida yang
membawa kematian banyak spesies hidup, terutama burung-burung . Carson menunjukkan bahwa
bumi ini amat rentan dan tak digdaya menghadapi campur tangan berlebihan dari manusia. Carson
sudah menulis saat itu bahwa pestisida (DDT) tidak saja berbahaya bagi lingkungan ciptaan tetapi
juga mnenyebabkan penyakit pada manusia.

Seruan Carson belum bergema luas dan tidak terdengar dalam ruang-ruang di mana Konsili Vatikan
II berlangsung. Mater et Magistra sudah sedikit menyinggung tentang bumi, tetapi lebih dalam
konteks pemanfaatannya untuk hidup manusia (MM 196), dan mengingatkan agar kekuatan
teknologi jangan sampai menghancurkan alam (MM 197). Demikian juga dalam dokumen tentang
pembangunan (PP), perhatian terutama dicurahkan pada upaya untuk membangun demi
kesejahteraan umum dan manusia seutuhnya, tanpa menyinggung tentang persoalan lingkungan
hidup, yang dapat timbul karenanya.

2.2. Kritis tehadap Teknologi


Barulah pada tahun 1971, Gereja secara resmi menyatakan sikapnya terhadap persoalan lingkungan
hidup yang merupakan dampak langsung dari pembangunan. Gereja mulai menyadari bahwa upaya
pembangunan yang acak-acak dan tidak komprehensif serta tidak integrative justru dapat
mengancam keberlangsungan kehidupan, bukan hanya manusia tetapi bumi seluruhnya (Bdk. OA
21). Sikap Gereja ini kemudian disampaikan dalam Konfrensi Lingkungan Hidup Pertama di
Stolkholm(1972). Pernyataan Gereja Katolik di Stolkholm 1972 memperlihatkan keprihatinan
terhadap degradasi lingkungan hidup akibat pembangunan yang menyebabkan bahwa bumi tidak
bisa lagi menjadi rumah yang ramah bagi generasi masa depan. Sikap kritis terhadap teknologi
disampaikan sambil mengingatkan bahwa pemanfaatan teknologi mesti disertai kesadaran moral
agar teknologi tidak menghancurkan, Untuk itu diperlukan perubahan mental secara radikal.

ASG selanjutnya terus menerus mengingatkan manusia, agar memanfaatkan teknologi secara etis
dan bertanggungjawab tidak saja untuk kehidupan manusia masa kini, tetapi juga di masa depan.
Yohanes Paulus II (1979) mengingatkan bahwa kemajuan teknologi yang dicapai manusia justru
membawa kepada “kesia-siaan” karena menjadi ancaman terhadap manusia dan membawa
kehancuran kepada alam ciptaan. “Tidakkah kemajuan amat besar yang sebelum ini tak dikenal –
dan berlangsung khususnya abad ini – di bidang kedaulatan manusia atas bumi sendiri
menyingkapkan penaklukan ganda kepada kesia-siaan itu. Cukuplah mengingatkan akan kendala-
kendala tertentu, misalnya ancaman pencemaran lingkungan alam di kawasan-kawasan
industrialisasi yang pesat, atau konflik-konflik bersenjata yang setiap kali pecah lagi, atau
prapandangan-prapandangan penghancuran diri dengan penggunaan senjata-senjata nuklir, zat air
(hydrogen), neutron dan sebagianya….” (RH 8). Beliau mengingatkan bahwa kemajuan pesat yang
dicapai manusia menuntut “perkembangan moralitas dan etika yang sepadan” (RH 15).

Teknologi semakin mempercepat pengambilan sumber-sumber alam untuk hidup manusia. Bahkan
kecenderungan untuk mengeruk sumber daya alam secara tak terbatas seolah-olah menjadi kaidah
dari sikap serta perilaku manusia terhadap alam. Gereja mengingatkan perlunya kesadaran dan
praksis keugaharian, karena ketersediaan sumber-sumber alam bukannya tidak terbatas (SRS 26).
Pembangunan tidak bisa direduksi hanya pada ekonomi (ekonomisentris). Pembangunan harus
merupakan wujud tanggungjawab manusia terhadap karunia dan panggilan Allah. dengan
pembangunan alam ciptaan harus dipelihara dan dijaga, karena pembangunan sejati berarti
memanfaatkan ciptaan sebagai citra Allah, yang mengabdi kepada hidup abadi, bukan hidup fana.
Harta bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk kesejahteraan bersama (SRS 29). Karena itu
pembangunan harus juga berarti meningkatkan perhormatan manusia terhadap ciptaan (SRS 34).

2.3. Perubahan Gaya Hidup


Perkembangan baru dalam dunia ekonomi, membawa serta bukan saja kemajuan ekonomi, tetapi
juga kehancuran dan kerusakan lingkungan hidup. Pembangunan direduksi hanya pada ekonomi.
Demi keuntungan ekonomi teknologi dimanfaatkan untuk mengexploitasi alam secara sembrono.
Kemajuan ekonomi menghasilkan akumulasi harta dan manusia jatuh ke dalam bahaya
konsumerisme. “Dari pilihan-pilihan pelbagai hasil produksi dan barang-barang konsumsi
nampaklah kebudayaan tertentu, yang mencerminkan visinya tentang keseluruhan hidup. Dari
situlah muncul gejala konsumerisme. …bila yang langsung dianut ialah selera-selaranya sendiri,
sedangkan kenyataan pribadi yang berakal budi dan bebas tidak dihiraukan. Dapat muncul sikap-
sikap konsumeristis dan corak-corak hidup yang secara obyektif tidak pantas atau merugikan
kesehatan jiwa-raga” (CA 36).
ASG mensinyalir bahwa di balik hasrat manusia mengeruk sumber-sumber alam, akibat dorongan
konsumerisme, tersembunyi kemerosotan manusiawi menyangkut akal sehat (budi) dan etika
(moral) serta kesadaran religious (spiritual). Manusia dengan pongah mengangkat dirinya sebagai
tuan atas ciptaan dan karena itu “mengira boleh semaunya sendiri mendaya-gunakan bumi dan
menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah
bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah, …
Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan
mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan
alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya” (CA 37; SRS 34).

Dalam Pesan Perdamaian (1 Januari 1990) Yohanes Paulus II secara khusus mengangkat tema
ekologi, di mana beliau mengaitkan sikap hidup spiritual dengan sikap terhadap alam ciptaan:
“Berdamai dengan Allah Pencipta, Berdamai dengan seluruh Alam Ciptaan”. Ada empat pokok
yang beliau ajukan dalam dokumen itu. Pertama, alam ciptaan diciptakan Allah baik adanya. Alam
diserahkan kepada pemeliharaan dan tanggungjawab manusia. Kerusakan alam sekarang ini adalah
bukti nyata ketidaksetiaan dan ketidaktaatan manusia kepada mandat awal penciptaan. Kedua,
kerusakan alam sekarang ini adalah bukti nyata kemerosotan moral manusia masa kini.
Kemerosotan moral terindikasi nyata dalam memudarnya sikap hormat terhadap kehidupan dan
hilangnya tanggungjawab untuk merawat alam yang berakibat hilang pulalah tanggungjawab
terhadap sesama manusia. Ketiga, Paus menawarkan pemikiran jalan keluar dengan mempelajari
kembali tatanan alam agar manusia menyesuaikan sikap dan perilakunya dengan tatanan alam,
sambil meningkatkan tanggungjawab terhadap keadilan, karena semua manusia berhak untuk
dihidupi oleh sumber hidup yang berasal dari alam. Keempat, dibutuhkan solidaritas baru, yang
mencakup segenap bangsa serta perubahan gaya hidup (konsumerisme), serta konsep pembangunan
yang terintegrasi dengan lingkungan (sustainable development). Kelima, tanggungjawab
memulihkan dan merawat alam adalah tanggungjawab seluruh umat manusia.

2.4. Tanggungjawab Bersama: Ekologi dan Orang Miskin


Paus Benediktus XVI juga mengangkat tema ekologi dalam Pesan Perdamaian Dunia (1 Januari
2009). Beliau menegaskan bahwa dunia yang damai baru akan terwujud jika manusia juga
“berdamai” dengan ciptaan. Sikap manusia yang dikritik adalah konsumerisme yang melahirkan
eksploitasi alam serta konflik dan ketidakadilan. Benediktus XVU juga berbicara tentang
ketidakadilan terhadap generasi yang akan datang. Perebutan sumber-sumber alam menjadi
penyebab utama dari pelbagai konflik pada masa kini, baik pada level lokal-nasional, maupun
internasional. Beliau mengingatkan kembali bahwa “melindungi lingkungan dan membangun bumi
yang damai merupakan tugas semua orang” (no. 14).

Dalam ensiklik Caritas in Veritate (2009) Benediktus XVI juga menegaskan konsernnya pada
lingkungan hidup, beliau menyampikan sejumlah hal: (1) manusia perlu mencermati “gramatika”
lingkungan hidup, karena dengan memahaminya manusia dapat menyesuaikan diri dan hidupnya
selaras dengan gramatika alam. Namun beliau juga mengingatkan agar alam dan manusia dilihat
sebagai satu kesatuan ciptaan, di mana manusia memiliki tempat khas dan bahwa alam tidaklah
lebih utama dari manusia (CIV 11). (2) Manusia diminta untuk menjadi pemelihara alam, agar
menikmati hasilnya dan mengolahnya dengan cara-cara baru yang berkelanjutan (CIV 12). (3)
Untuk itu amat dibutuhkan perubahan gaya hidup yang mesti lahir dari perubahan mental (CIV 13).
(4) Ada sejumlah hal penting lain yang diangkat Benediktus XVI, yakni: keadilan antar-generasi
(CIV 14); solidaritas internasional dan solidiaritas yang mencakup ruang dan waktu (CIV 15).

Dengan memilih nama Fransiskus, Paus sudah mengisyaratkan bahwa lingkungan hidup akan
menjadi salah satu tema pokok dalam masa kepausannya. Tiga hari setelah terpilih (16 Maret 2013)
beliau menjelaskan sosok Fransiskus Assisi sebagai “pencinta orang miskin. pelindung dan pencinta
alam ciptaan”. Beliau menghubungkan perlindungan terhadap manusia dan perlindungan terhadap
ciptaan, sebagai dua hal tak terpisahkan. “Segala sesuatu dipercayakan kepada kita untuk dilindungi
dan itulah tanggungjawab kita bersama”. 5 Juni 2013 dalam peringatan hari Lingkungan Hidup,
beliau mengeritik konsumerisme dan budaya pemborosan. Ia menyerukan agar dibangun semangat
solidaritas yang menjadi landasan bagi tanggungjawab bersama untuk bumi dan semua manusia
dalam keluarga manusiawi. Dalam kotbah Minggu Paskah 2013 beliau mengingatkan bahwa
manusia adalah sarana yang dengannya Allah menyirami bumi, melindungi semua ciptaan,
melakukan keadilan dan menumbuhkan perdamaian. Ia mendesak Gereja Amerika Latin untuk
memperhatikan kondisi lingkungan Amazon dan warga suku asli Indian di sana.

Dalam Surat Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium beliau mengingatkan perlunya perhatian dan
tanggungjawab terhadap bumi yang ringkih, di mana kita semua hidup, demikian juga makhluk
ciptaan lainnya. Beliau mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan hidup membawa derita lebih
besar kepada orang-orang miskin. Bahaya konsumerisme dikecam dan berhala uang yang menjadi
spirit manusia masa kini harus dibayar mahal oleh manusia masa kini dan masa depan, yakni
kerusakan alam yang makin sulit dipulihkan. Ketidakadilan, akumulasi harta, marjinalisasi dan
pemiskinan membawa serta persoalan lingkungan, baik untuk manusia masa kini maupun di masa
depan. Dalam EG beliau membahas isyu lingkungan hidup secara terbatas, karena kemudian beliau
secara khusus menerbitkan ensiklik tentang lingkungan hidup Laudato Si (24 Mei 2015).

Dibutuhkan kesempatan khusus untuk membahas ensiklik Laudato Si, yang penting ini. Namun
beberapa hal dapat disampaikan di sini, yakni hal-hal yang relevan dengan topik pembahasan
tentang pembangunan dan ekologi. Pertama, diingatkan bahwa ada yang salah pada manusia
(pemahaman tentang diri dan tindakannya, serta konsep (ideology) pembangunan yang ternyata
lebih membawa mudarat daripada manfaat, terutama kerusakan dan dis-integrasi lingkungan hidup,
yang melahirkan masalah: polusi dan perubahan iklim, masalah air, hilangnya keanekaragaman
hayati, penurunan kualitas hidup manusia dan social serta ketimpangan global. Kedua, kerusakan
alam disebabkan oleh manusia yang tidak peduli pada kehendak Allah (Pencipta), tidak mencermati
misteri atau rahasia serta hukum-hukum alam, ekosistem, kesatuan universal ciptaan, ciri social
harta benda serta sentralitas Yesus dalam seluruh ciptaan. Ketiga, hal itu terutama dipicu oleh
antroposentrisme, teknologi nir-nilai (etis-moral), globalisasi ekonomi (neoliberalisme) yang
mendorong eksploitasi alam. Keempat, ada keterkaitan (kesatuan) antara alam ciptaan dan manusia.
Kelima, sejumlah pedoman yang dapat mengantar manusia keluar dari krisis ekologi. Keenam
adalah perlunya pendidikan dan spiritualitas ekologis.

b. Memberikan contoh sikap Gereja dalam menyikapi krisis ekologis seperti air berkualitas dan
pengggunaan plastik : Paroki Santo Yusup Baturetno merupakan salah satu dari beberapa
Paroki yang berada di bawah naungan Keuskupan Agung Semarang yang menyadari pentingnya
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup demimasa yang akan datang. Berdasarkan pengamatan
penulis dan wawancaralangsung dengan rama paroki, gerakan ekologis yang telah dilaksanakan di
Paroki Santo Yusup Baturetno kurang lebih sudah berjalan selama tujuhtahun yang dipelopori oleh
Rm. J. Muji Santara, SJ yang menganggappentingnya memperhatikan tempat tinggal saat ini dan
memikirkan masa yang akan datang. Gereja menanggapi baik gerakan ini dan dijadikan sebagai
salah satu program dewan paroki dalam naungan bidang pewartaan. Oleh karena itu, gerakan
ekologis dilakukan untuk membantu umat menyadari pentingnyamenjaga dan melestarikan alam
ciptaan dengan penuh tanggung jawab.Menyadari kehadiran Kristus di dalam lingkungan hidup
manusia merupakan salah satu bentuk perwujudan iman. Maka, katekese ekologi diartikan sebagai
kegiatan pembinaan iman yang dilakukan oleh seluruh umat untuk menyadari dan menanggapi
kehadiran Kristus melalui alam ciptaan yang pada akhirnya menjadikan manusia berperilaku baik
dan peduli terhadap bumi beserta isinya sebagai tempat tinggalnya.

Krisis lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia. Ini termasuk salah
satu dampak ulah manusia. Ternyata, pengelolaan lingkungan hidup secara bertanggung jawab
belum membudaya. Tanpa penghargaan dan penghormatan terhadap hak hidup makhluk ciptaan
lain, manusia berlomba-lomba menguras isi perut bumi demi kepentingan hidupnya. Krisis ini
menuntut keseriusan berpikir dan bertindak demi masa depan yang lebih baik dan luput dari
bencana-bencana yang memprihatinkan. Maka, manusia perlu memahami hakikat alam ciptaan itu
sendiri. Dalam hal ini, penulis memperdalam tentang beberapa contoh persoalan krisis lingkungan
hidup, cahaya Kitab Suci atas ekologi, kesadaran manusia, tanggung jawab Gereja terhadap
lingkungan hidup, serta merumuskan tanggung jawab iman dan keberpihakan pada lingkungan
hidup.

Pencemaran lingkungan hidup atau seringkali dikenal dengan polusi dibedakan menjadi lima
macam yaitu pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran laut, dan sampah
(Sony Keraf, 2010:38-46). Pencemaran udara berasal dari sumber tidak bergerak maupun sumber
bergerak. Sumber tidak bergerak yaitu berasal dari aktivitas industri, kebakaran hutan, dan sampah.
Sedangkan sumber bergerak yaitu berasal darinoda transportasi, sisa gas buang kendaraan bermotor
(khususnya yangmenggunakan sumber energi fosil). Pencemaran udara ini akan mengakibatkan
gangguan kesehatan yang kronis seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma, penurunan
IQ dan gangguan saraf serta impotensi. Lebih dari itu, dampak pencemaran udara yang hangat-
hangatnya dibicarakan di zaman modern ini sekaligus mendapat perhatian secara serius yaitu
pemanasan global dan perubahan iklim. Selain pencemaran udara, pencemaran air merupakan krisis
lingkungan hidup global yang sangat membahayakan lingkungan hidup.Pencemaran air disebabkan
karena pembuangan limbah, termasuk limbah yang beracun dan berbahaya (B3), maupun karena
erosi dan pendangkalan sungai serta danau yang terjadi akibat kerusakan hutan. Fenomena modern
yang menarik dalam kaitannya dengan pencemaran air ialah bahwa hampir seluruh umat manusia di
dunia sekarang ini tidak berani lagi mengonsumsi air alamiah dari sumber-sumber alamiahnya.
Salah satu alasan utama adalah karena sumber mata air untuk kebutuhan air minum tidak lagi bebas
dari pencemaran terlebih dari segi kesehatan tidak layak untuk dikonsumsi.Pencemaran laut
merupakan aspek lain yang perlu mendapatkan perhatian serius. Pencemaran laut terjadi karena
pembuangan limbah cair berupa minyak dari pertambangan di lepas pantai. Daerah yang paling
tercemar biasanya di kawasan sekitar pelabuhan-pelabuhan bongkar muat danpenumpang. Selain itu
pencemaran laut juga terjadi akibat pembuangan limbah cair dari proses produksi dan limbah padat
berupa sampah dari wilayah perkotaan. Dampak yang terjadi dari pencemaran laut adalah
punahnya biota laut serta rusaknya terumbu karang sebagai habitatberkembang biaknya berbagai
biota laut. Pencemaran lingkungan hidup yang paling serius yaitu sampah rumah tangga khususnya
di kota-kota besar. Akibat kemajuan industri dan perubahan gaya hidup manusia modern, manusia
memproduksi banyak sekali sampah. Plastik adalah salah satu fenomena konsumsi masyarakat
modern yang serba instan dan praktis. Sekaligus plastik merupakan sampah yang mengganggu
kehidupan. Sampah menjadi persoalan besar bagi setiap penduduk khususnya di kota-kota besar
karena menimbulkan berbagai macam pencemaran udara, air, dan membutuhkan teknologi yang
mahal dalam pengelolaan dan pengolahannya. Sementara itu, budaya masyarakat yang membuang
sampah sembarangan menjadi faktor utama yang semakin memperparah pencemaran sampah ini.
Sebagaimana halnya dalam kaitan dengan kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan
hidup berbagai pihak baik negara dan seluruh elemen masyarakat telah bekerjasama
untuk mengatasi pencemaran lingkungan hidup tersebut. Kepunahan sumber mata air adalah sebuah
krisis lingkungan hidup global yang cukup serius. Air merupakan sumber kehidupan yang sangat
penting dan bermanfaat, antaralain untuk minum maupun untuk aktivitasproduktif pertanian dan
industri juga untuk kepentingan sanitasi dan kesehatan. Tanpa air tidak akan ada kehidupan. Bank
Dunia memprediksi pada tahun 2025 dua pertiga penduduk dunia akan kesulitan memperoleh air
bersih dan air minum. Hilangnya sumber mata air ini diakibatkan karena kerusakan hutan sebagai
tempat penyimpanan air. Selain itu juga disebabkan karena berbagai gunung kapur atau kars yang
menjadi tempat penampungan air telah dieksploitasi habis untuk kepentingan industri semen dan
industri terkait lainnya. Perubahan iklim karena meningkatnya suhu bumi jugamenjadi faktor
penyebab berkurangnya pasokan sumber mata air. Krisis air baik karena kekurangan sumber mata
air, pencemaran, kekeringan, dan banjir diprediksi akan menjadi salah satu sumber pertikaian
dan konflik sosial di masa yang akan datang. Krisis air pada gilirannya jugaakan bermuara pada
krisis pangan. Hal ini terjadi karena semakin banyak lahan pertanian yang kekurangan pasokan air
yang memadai. Oleh karenanya hal ini akan memicu terjadinya konflik anatara berbagai pihak yang
sama-sama membutuhkan air untuk kegiatan produktifnya. keadaan bumi dan lingkungan tempat
tinggal sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat tinggal bagi manusia. Oleh karena itu, ada
beberapa upaya yang dilakukan gereja untuk mencari jalan keluar dari masalah yang berdampak
untuk semua makhluk hidup di bumi ini. Beberapa tindakan nyata yang dapat dikembangkan dan
dipraktikkan oleh gereja sebagai wujudtanggung jawabnya terhadap bumi ciptaan Allah dapat
dilihat pada uraian berikut : ( Pasang, 2011:248-249). Mendukung program-program pemerintah
dalam bidang lingkungan hidup Penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% hingga tahun 2020.
Program ini dapat didukung antara lain dengan pentahapan penggunaan energi terbarukan, misalnya
tenaga matahari atau angin. Dapat pula dilakukan melalui program efisiensi energi, misalnya dengan
menata ulang sistem pencahayaan di ruang gereja, menggunakan bohlam hemat energi, dan
mengaudit ulang semua peralatan yang menggunakan listrik. Penanaman pohon untuk meng-offset
emisi kegiatan gereja dan anggota jemaat adalah program lain yang dapat diperkenalkan. Selain itu
gereja juga mendukung penanaman sejuta pohon di seluruh pelosok tanah air.

2. Jawab :

a. Uraian penjelasan bentuk keterlibatan Gereja Katolik dalam bidang politik Indonsia berkaitan
dengan Pancasila, Pemilu dan Politik : Di tahun-tahun sekitar pergantian abad ini, umat Katolik
bersama seluruh rakyat merasakan adanya beberapa produk undang-undang yang menunjukkan
perubahan sarana hidup politik. Ada tradisi politik yang baru, ada undang-undang yang
mencoba menyederhanakan hidup politis. Bertahun-tahun negara kita cukup tenang walaupun
akhir-akhir ini mulai muncul gejolak di sana sini. Nota Pastoral KWI 2003 tentang ”Keadilan
Sosial bagi Semua” menegaskan bahwa ”hancurnya keadaban di Indonesia, lebih khusus lagi
hancurnya keadaban politik. Berbagai masalah yang timbul di bidang ekonomi, agama, hukum,
kebudayaan, pendidikan, lingkungan hidup alami dan manusiawi dilihat sebagai akibat dari
keburaman dunia politik bangsa. Hal yang diharapkan pada awal Orde Reformasi ternyata tidak
terpenuhi, meskipun harus diakui bahwa ada beberapa perubahan. Ada kebebasan pers,
kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan berserikat. Akan tetapi, banyak masalah
justru menjadi semakin parah. Salah satu yang amat mencolok adalah hilangnya cita rasa dan
perilaku politik yang benar dan baik (NP.KWI. 2003 No. 5). Politik merupakan tugas luhur
untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Tugas dan tanggung jawab itu
dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia,
kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, fairness, demokrasi, kesetaraan dan cita rasa
tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi, dalam
banyak bidang prinsip-prinsip itu makin diabaikan bahkan ditinggalkan oleh banyak orang,
termasuk oleh para politisi, pelaku bisnis, dan pihak-pihak yang punya sumber daya serta
berpengaruh di negeri ini. Berlangsung sekarang, politik hanya dipahami sebagai sarana untuk
mencapai dan mempertahankan kekuasaan, atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan
perjuangan untuk memenangkan kepentingan kelompok. Kepentingan ekonomi atau
keuntungan finansial bagi pribadi dan kelompok menjadi tujuan utama. Rakyat sering kali
hanya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan dan
kekuasaan tersebut. Terkesan tidak ada upaya serius untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Bukan kepentingan bangsa yang diutamakan, melainkan kepentingan kelompok, dengan
mengabaikan cita-cita dan kehendak kelompok lain. Dalam konteks ini, agama menjadi rentan
terhadap kekerasan. Simbol-simbol agama pun dijadikan alat untuk mencapai kepentingan
politik. Kecenderungan membangun sekat-sekat menjadi semakin nyata. Dengan demikian,
pertimbangan kebijakan politik tidak terarah pada warga negara sebagai subjek hukum. Bangsa
hanya dianggap sebagai kelompok-kelompok kepentingan itu. Politik terasa semakin
menyengsarakan rakyat, membuat banyak orang tidak percaya lagi terhadap mereka yang
memegang kendali pemerintahan serta sumber daya ekonomi dan mengikis rasa saling percaya
di antara warga terhadap sesamanya. Hasilnya adalah sikap masa bodoh pada banyak orang
terutama kaum muda dan kelompok terpelajar (NP. KWI. 2003 No. 6). Politik kekuasaan
semacam itu dengan sendirinya akan mengorbankan tujuan utama, yakni kesejahteraan bersama
yang mengandaikan kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum juga terabaikan. Akibatnya,
kasus-kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak ditangani secara serius, bahkan
makin merajalela di berbagai wilayah, lebih-lebih sejak pelaksanaan program otonomi daerah.
Otonomi daerah yang dimaksudkan sebagai desentralisasi kekuasaan, kekayaan, fasilitas, dan
pelayanan ternyata menjadi desentralisasi KKN, antara lain karena kurang tepat saat, laju dan
cakupannya. Politik kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari politik uang. Politik uang yang
sebetulnya merupakan bentuk kejahatan, dijadikan alat utama untuk mencapai dan
mempertahankan kekuasaan. Dengan politik uang itu rakyat ditipu, kepercayaan rakyat
dikhianati, justru oleh orang-orang yang mempunyai otoritas politik dan ekonomi untuk
memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukankah dengan demikian martabat bangsa tidak
dihormati dan kedaulatan rakyat dirampas untuk menjamin kepentingan pribadi atau kelompok?
Bukankah dengan demikian kedaulatan rakyat diganti dengan kekuasaan uang? Uang
menentukan segala-galanya dan mem-busukkan politik. Peraturan perundang-undangan dan
aparat penegak hukum dengan mudah ditaklukkan oleh mereka yang menguasai uang.
Akibatnya, upaya untuk menegakkan tatanan hukum yang adil dan pemerintah yang bersih tak
terwujud. Ketidakadilan semakin dirasakan oleh kelompok-kelompok yang secara struktural
sudah dalam posisi lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, orang cacat, kaum
miskin. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap martabat perempuan dalam bentuk diskriminasi,
kekerasan, pelecehan terus berlangsung di banyak tempat, dan terus terjadi tanpa sanksi hukum.
Selain itu, penipuan terhadap rakyat kecil banyak sekali dilakukan justru oleh orang-orang yang
memahami hukum dan bertanggung jawab untuk menegakkannya (NP-KWI 2003 No. 7).
Dengan demikian, suasana persaingan antarkelompok dan antarpribadi menjadi semakin tajam.
Suasana itu menumbuhkan perasaan tidak adil, terutama ketika berhadapan dengan perpecahan
masyarakat dalam pengelompokan kelas ekonomi. Perasaan diperlakukan tidak adil itu
menyuburkan sikap tertutup dan perasaan tidak aman bagi setiap orang. Orang lain atau
kelompok lain akan dianggap sebagai ancaman yang akan mencelakakan dirinya atau
kelompoknya. Perasaan terancam ini diperparah dengan sistem ekonomi yang tidak mampu
menciptakan lapangan kerja baru. Kinerja ekonomi selalu menuntut pembaharuan.
Pembaharuan terus-menerus menuntut orang menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru
yang tidak selalu mengungkapkan nilai-nilai keadilan. Mereka yang tidak memenuhi tuntutan
struktur ekonomi baru akan terlempar dari pekerjaan karena tidak mampu memenuhi standar
baru tersebut. Angka pengangguran semakin tinggi karena rendahnya investasi di sektor
ekonomi riil yang mengakibatkan tidak terciptanya lapangan kerja. Pengangguran tidak hanya
mengakibatkan tak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, melainkan juga memukul harga diri dan
dengan mudah membuat orang yang bersangkutan kehilangan harga diri (NP-KWI 2003 No. 8).

Tatanan ekonomi yang berjalan di Indonesia mendorong terjadinya kolusi kepentingan antara
para pemilik modal dan pejabat untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan oleh mereka yang hanya mencari keuntungan sesaat
bersama dengan para politisi yang mempunyai kepentingan untuk mendapatkan uang dengan
mudah. Akibatnya antara lain pengurasan dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan
malapetaka. Penggusuran yang tidak manusiawi dan menimbulkan banyak penderitaan juga
tidak lepas dari bertemunya kedua kepentingan tersebut (NP-KWI. 2003 No. 9). Akar yang
terdalam ialah bahwa iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata.
Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan.
Dengan demikian, kehidupan politik di Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu
akibatnya ialah lemahnya pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan di bibir, tetapi tidak
dilaksanakan secara konkret. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai
atau jalan bagi pencapaian kesejahteraan bersama. Maka diperlukan pertobatan, yaitu perubahan
dan pembaharuan hati serta budi, seperti diserukan para Nabi dan Yesus sendiri. (NP-KWI.
2003 No. 11). Kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan ini menjadi daya pendorong politik
kepentingan yang amat mempersempit ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang
peran serta warga negara sebagai subjek. Ruang publik disamakan dengan pasar. Hal yang
dianggap paling penting adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi. Manusia hanya diperalat
sehingga cenderung diterapkan diskriminasi dan kemajemukan pun diabaikan. Dengan kata lain,
manusia hanya dihargai dari manfaatnya, terutama sejauh manfaat ekonomisnya. Maka dengan
mudah mereka yang lemah, yang miskin, yang kumuh dianggap tidak berguna dan tidak
mendapat tempat. Tekanan pada nilai kegunaan ini tidak hanya bertentangan dengan martabat
manusia, melainkan juga mengikis solidaritas. Hal yang berbeda – entah berbeda agama, suku
atau perbedaan yang lain – dianggap menjadi halangan bagi tujuan kelompok. Penyelenggaraan
negara dimiskinkan hanya menjadi manajemen kepentingan kelompok-kelompok. Politik
dagang sapi menjadi bagian manajemen itu dengan akibat melemahnya kehendak politik dalam
penegakan hukum. (NP-KWI. 2003 No. 12). Nafsu untuk mengejar kepentingan
sendiri/kelompok bahkan dengan mengabaikan kebenaran. Meluasnya praktek korupsi tidak
lepas dari upaya memenangkan kepentingan diri dan kelompok. Ini mendorong terjadinya
pemusatan kekuasaan dan lemahnya daya tawar politik berhadapan dengan kepentingan-
kepentingan pihak yang menguasai sumber daya keuangan, terutama sektor bisnis. Akibatnya,
bukan proses politik bagi kebaikan bersama dan mengelola cita-cita hidup bersama yang
berkembang. Sebaliknya, kekuatan finansial yang mendikte proses politik. Lembaga pengawas
yang diharapkan menjadi penengah dalam perbedaan kepentingan ini, justru merupakan bagian
dari sistem yang juga korup ini. Akibatnya politik pun menjadi tidak mandiri lagi. Politik ada di
bawah tekanan kepentingan mereka yang menguasai dan mengendalikan operasi-operasi pasar.
Apalagi partai-partai politik membutuhkan dana besar untuk memenangkan Pemilihan Umum.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa para politisi partai banyak yang berpaling kepada para
pengusaha untuk meraih dukungan keuangan. Akibatnya, hukum pasar, sekali lagi menjadi
penentunya. Etika politik seperti tidak berdaya, dicekik oleh nilai-nilai pasar, persaingan yang
tidak terkendali dan janji keuntungan ekonomi. (NP-KWI. 2003 No. 13). Cara bertindak
berdasarkan dalil tujuan menghalalkan segala cara. Ketika tujuan menghalalkan cara, terjadilah
kerancuan besar karena apa yang merupakan cara diperlakukan sebagai tujuan. Dalam logika
ini, ukuran adalah hasil. Intimidasi, kekerasan, politik uang, politik pengerahan massa, teror dan
cara-cara imoral lainnya dihalalkan karena memberi hasil yang diharapkan. Kriminalisasi politik
menghasilkan politisasi kriminalitas. Akibatnya tidak sedikit pelaku kejahatan politik,
provokator dan koruptor menikmati tiadanya sanksi hukum. Lemahnya penegakan hukum
mengaburkan pemahaman nilai baik dan buruk yang pada gilirannya menumpulkan kesadaran
moral dan perasaan bersalah. Kalau hal-hal itu tidak disadari, orang menjadi tidak peka dan
menganggap semua itu wajar saja. Kerusakan hidup bersama juga disebabkan dan sekaligus
menghasilkan penumpulan hati nurani. Bertitik tolak pada keprihatinan-keprihatinan tersebut
maka kita perlu mempertahankan sejumlah sarana formil politik, sejauh sesuai dengan cita-cita
proklamasi kemerdekaan 1945. Namun, peletakan landasan formal dan retorika politis itu belum
menjamin pelaksanaannya. Mungkin oleh kebijaksanaan dan pola laku sejumlah penguasa
negara kita masih terkesan sebagai negara kekuasaan dan bukan negara kedaulatan rakyat dan
negara hukum. Suasana represif kadang-kadang sangat dirasakan. Pada masa mendatang akan
semakin meningkat tuntutan mengaktuali-sasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan
setia. Setiap Undang-undang harus mendukung penghayatan dan pencerminan pengamalan
Pancasila. Masih diharapkan adanya strategi yang tepat, agar aneka perundangan sungguh
berkaitan secara padu. Kita memandang para pelaku politik sebagai warga negara yang
mengemban kedaulatan rakyat. Orientasi pengabdian mereka seyogianya sungguh-sungguh
keselamatan seluruh rakyat. Para warga negara yang bertanggung jawab perlu bersikap proaktif
dalam mewujudkan nilai-nilai luhur bangsa kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
b. Bidang politik sebagai medan perwujudan iman bagi kaum awam sudah lama menjadi perhatian
Gereja di Indonesia. Sudah sejak lama, KWI berupaya mengajak segenap umat Katolik,
khususnya kaum awam untuk meningkatkan partisipasinya dalam seluruh bidang kehidupan,
termasuk bidang politik. Demikian pula di dalam tingkat Gereja lokal, Gereja Keuskupan
Agung Semarang berupaya untuk terus mewujudkan Gereja yang memasyarakat.59 Kaum
awam didorong untuk mengembangkan semangat pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan
negara. Dengan cara demikian, semakin nyatalah upaya untuk mengikuti Yesus Kristus yang
mewartakan Kerajaan Allah. Adanya keinginan dari para uskup untuk memelihara dan
meningkatkan kerukunan antar umat beragama dan umat beragama dengan pemerintah menjadi
alasan diterbitkannya dokumen “Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila;
Hubungan Gereja dan Negara; Pedoman MAWI Bagi Umat Katolik” pada tahun 1985.60 Para
Uskup Indonesia juga menyerukan kepada kaum awam untuk membina
rasa cinta kepada tanah air, sekaligus mengarahkan hati kepada kepentingan seluruh manusia.
Para uskup juga menegaskan bahwa kaum awam merupakan bagian integral bangsa Indonesia.
Oleh karena itu mereka perlu terlibat aktif dalam membangun kesejahteraan umum dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.61 Berpolitik merupakan sebuah usaha
yang luhur. Berpolitik berarti mengusahakan kesejahteraan masyarakat umum, demi kemajuan
hidup bangsa sesuai dengan harkat kemanusiannya dan demi persahabatan dan perdamaian antar
bangsa.62 Para uskup kembali menyerukan Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa.
Pancasila menjadi dasar keterlibatan di tengah kehidupan
berbangsa. Gereja-gereja lokal dalam hal ini Keuskupan juga berupaya menaruh perhatian
terhadap bidang politik. Keterlibatan politik dilihat dalam perspektif sejarah keselamatan.63
Terhadap masalah-masalah bangsa, umat beriman tidak bisa dengan mudah cuci tangan.64
Dalam konteks masyarakat Indoensia yang sedang berjuang mengatasi korupsi, kekerasan dan
kerusakan lingkungan hidup, umat Keuskupan Agung Semarang diajak untuk terlibat secara
aktif mengembangkan habitus baru berdasarkan
semangat Injl (Bdk. Mat 5-7); dalam keluarga dengan menjadikan basis hidup beriman; dalam
diri anak, remaja dan kaum muda dengan melibatkan mereka untuk pengembangan umat; dalam
diri yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir dengan memberdayakannya.65 Relasi yang akrab
dengan Allah diwujudkan oleh Umat Keuskupan Agung Semarang dengan keterlibatan dalam
mewujudkan kesejahteraan umum. Di dalam mewujudkan cita-cita ini, kaum awam diharapkan
semakin berperan dan berinisiatif di dalam kehidupan bersama. Salah satu bidang yang dapat
dijadikan medan pengembangan habitus baru66 adalah sosial-politik. Keterlibatan kaum awam
di bidang pemerintahan desa, baik sebagai kepala desa maupun Kepala Dukuh, merupakan
bagian dari keikutsertaan di bidang politik. Suatu tindakan Vol. 03, No. 01, Mei 2014, hlm 37-
49 politik tidak perlu diidentikkan dengan kegiatan di partai politik yang kemudian bermuara
sebagai wakil rakyat di DPR atau DPRD. Keterlibatan politik tersebut merupakan bagian dari
tindakan yang memunculkan pencerahan bagi usaha-usaha mewujudkan kepentingan bersama.

Anda mungkin juga menyukai