TUGAS 3
A. Uraian penjelasan bentuk keterlibatan Gereja Katolik dalam bidang politik Indonesia berkaitan
dengan Pancasila, Pemilu dan Politik.
B. Uraikanla penjelasan bentuk keterlibatan kaum awam dalam bidang politik Indonesia.
Gereja tidak menuntut umatnya meninggalkan nilai-nilai luhur adat istiadat dan kebudayaan
bangsa. Sebaliknya, Gereja mengajarkan bahwa apa saja yang baik dan luhur harus dipelihara dan
dikembangkan. Malah harta dan penemuan berbagai kebudayaan sebaiknya digunakan “untuk
menyebarkan dan menjelaskan berita Kristus dalam pewartaannya” (JR hal. 543). Iman dapat
diungkapkan dengan pola budaya bangsa yang bersangkutan. Bangsa Indonesia memiliki Pancasila
bukan saja sebagai dasar negara melainkan sebagai warisan budaya dan pandangan hidup bangsa.
Apabila dikaji dengan baik, nampak bahwa kelima sila mengandung makna kemanusiaan yang
sejalan dengan cita-cita luhur umat Katolik berdasarkan imannya. Pengembangan kelima sila di
dalam dokumen-dokumen resmi yang menjadi konsensus nasional pun mengandung banyak paham
dan nilai yang sepenuhnya sejalan dengan aspirasi iman Katolik mengenai manusia dan kehidupan
bersama di dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, pimpinan umat Katolik dan seluruh jajaran umat Katolik bersyukur karena
negara didasarkan atas Pancasila sebagai landasan dalam satu tatanan yang kukuh untuk
mengusahakan satu negara yang adil dan makmur. Kebudayaan dan pandangan hidup pancasila ingin
didukung dan dikembangkan di dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan oleh seluruh
pimpinan dan umat Katolik Indonesia (Pedoman Kerja Umat Katolik tahun 1970 No. 1) maupun di
dalam Kesepakatan Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia (1984 No. 43). Hal ini secara jelas
ditegaskan, penegasan dilakukan terutama karena kesamaan aspirasi yang terungkap dalam Pancasila
dan dalam pemahaman mengenai manusia dan masyarakat yang dianut umat Katolik.
A. Sila pertama mencanangkan takwa, toleransi, kerukunan dan kebebasan beragama. Hal ini
sejalan dengan hukum Kristen mengenai taat kepada Tuhan dan dengan ajaran Konsili
Vatikan II tentang kebebasan beragama, (Dignitatis Humanae No. 6). Peran serta umat
Katolik di dalam kehidupan masyarakat bertumpuh pada keyakinan iman dan keyakinan
kewarganegaraannya terhadap kedaulatan Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai orang beriman
tiap orang Katolik merasa bertanggung jawab terhadap pengamalan kewajiban-kewajiban
agamanya. Sebagai warga negara ia sadar bahwa untuk itu negara memberikan kesempatan
dan peluang baginya, malah mendorongnya. Namun, ia sadar pula bahwa di dalam
masyarakat terdapat sekian banyak pribadi-pribadi dan kelompok yang mau mengamalkan
tugas-tugas keagamaannya tanpa hambatan. Oleh karena itu, tiap orang Katolik berusaha:
- Taat dan mengamalkan ajaran agamanya di dalam masyarakat.
- Menjunjung tinggi kebebasan beragama semua warga.
- Membina semangat toleransi terhadap orang/kelompok yang beragama lain. Malah
memupuk kerukunan, komunikasi dan kerja sama dalam suasana kekeluargaan dan
persaudaraan dengan semua golongan di dalam masyarakat.
B. Sila kedua menghendaki agar manusia “diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak
dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit. Karena itu, dikembangkanlah
sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan tepo selira, serta sikap tidak
semena-mena terhadap orang lain” (P4 ad Sila II). Anjuran Sila II sangat mendukung aspirasi
hukum Kristen tentang cinta kepada sesama (lihat Mt 22:36-39) dan tekad untuk
menghilangkan segala bentuk diskriminasi seperti yang terdapat dalam ucapan Kristus (lihat
Mt 5:45-47) dan dalam surat Yakobus (Yak 2:1-4). Cinta kasih kepada Tuhan tidak dapat
dipisahkan dengan cinta kasih kepada sesama. Penjelasan UUD’45 menegaskan bahwa
“Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam pembukaan ialah negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Di sini
pun nampak seolah-olah sila Ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan yang adil
dan beradab.
C. Sila ketiga mengamanatkan semua warga agar menempatkan persatuan, kesatuan serta
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Manusia Indonesia diharapkan “sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan Negara dan
Bangsa apabila diperlukan”. “Ajakan untuk mengembangkan cinta kepada Tanah Air dan
Bangsa” tanpa lalai “memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial” (P4 ad Sila III). Amanat ini senada dengan hukum ke-
4 dan senafas dengan paham masyarakat negara yang diulas di dalam Konstitusi Pastoral
tentang Gereja di dalam dunia dewasa ini. (lihat G.S No. 73-76).
D. Sila keempat menempatkan manusia Indonesia sebagai warga negara dalam “kedudukan, hak
dan kewajiban yang sama” (P4 ad Sila IV). Tidak boleh “ada suatu kehendak yang
dipaksakan kepada pihak lain”. Semua dimusyawarahkan dalam semangat kekeluargaan dan
persaudaraan. Keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan
dilaksanakan dengan penuh perasaan tanggung jawab. Persamaan hak dan kewajiban antara
para warga, semangat persaudaraan dalam memusyawarahkan kepentingan bersama,
moralitas dalam mengambil keputusan merupakan hal-hal yang diinginkan dalam penataan
kehidupan bersama yang benar-benar manusiawi sifatnya.
E. Sila kelima menyadarkan para warga akan “Hak dan kewajiban yang sama untuk
menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia”. Untuk itu P4
menganjurkan kita mengembangkan “sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain”. Pemerataan dalam turut
merencanakan dan melaksanakan pembangunan demikian pula pemerataan dalam menikmati
hasil-hasil pembangunan juga dicanangkan oleh sila kelima ini. Keadilan di dalam
masyarakat sudah sejak dini diusahakan Gereja. Ajaran-ajaran sosial Gereja yang
dikemukakan para Paus belakangan ini dan oleh Vatikan II juga mendorong seluruh umat
untuk lebih mengikhtiarkan keadilan sosial, yang merupakan salah satu aspek kehidupan
masyarakat yang benar-benar manusiawi. Dalam rangka pemerataan keadilan kita hendaknya
mengarahkan pelayanan kita kepada kelompok-kelompok yang sering diperlakukan secara
tidak adil. Pelayanan merupakan kesaksian umat Katolik di mana saja. Akan tetapi pelayanan
kepada kelompok masyarakat yang miskin, yang tertindas yang tidak mempunyai hak apapun,
yang selalu terpojok dan dipojokkan merupakan kesaksian yang lebih menampilkan wajah
Kristus yang sejati. Kristus di utus untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang
miskin untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tertindas” (Luk. 4:18) Di dalam
masyarakat kita cukup banyak terdapat kelompok yang sering disebut “akar rumput” karena
selalu diinjak dan dipijak orang.
Umat Katolik Indonesia hidup di tengah dan bersama bangsa Indonesia yang sedang membangun
di segala bidang. Pembangunan ini dilihat sebagai langkah-langkah konkret menuju cita-cita: negara
adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan baik di bidang ideologi maupun di
bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam harus merupakan realisasi cita-cita yang
terkandung di dalam Pancasila. Berdasarkan cinta kasih dan solidaritas terhadap sesama bangsa,
berdasarkan paham bahwa kita memang menuju ”ke kota abadi, tetapi toh harus melaksanakan tugas-
tugas kita di kota dunia ini “(bdk. kegembiraan dan harapan: GS No. 43) maka kita wajib turut
membangun di segala bidang hidup, masing-masing menurut kemampuan dan posisinya.
Politik merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama.
Tugas dan tanggung jawab itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap
martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, fairness, demokrasi, kesetaraan dan
cita rasa tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi, dalam
banyak bidang prinsip-prinsip itu makin diabaikan bahkan ditinggalkan oleh banyak orang, termasuk
oleh para politisi, pelaku bisnis, dan pihak-pihak yang punya sumber daya serta berpengaruh di
negeri ini. Berlangsung sekarang, politik hanya dipahami sebagai sarana untuk mencapai dan
mempertahankan kekuasaan, atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk
memenangkan kepentingan kelompok. Kepentingan ekonomi atau keuntungan finansial bagi pribadi
dan kelompok menjadi tujuan utama. Rakyat sering kali hanya digunakan sebagai sarana untuk
mendapatkan dan mempertahankan kepentingan dan kekuasaan tersebut. Terkesan tidak ada upaya
serius untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang diutamakan,
melainkan kepentingan kelompok, dengan mengabaikan cita-cita dan kehendak kelompok lain.
Dalam konteks ini, agama menjadi rentan terhadap kekerasan. Simbol-simbol agama pun dijadikan
alat untuk mencapai kepentingan politik. Kecenderungan membangun sekat-sekat menjadi semakin
nyata. Dengan demikian, pertimbangan kebijakan politik tidak terarah pada warga negara sebagai
subjek hukum. Bangsa hanya dianggap sebagai kelompok-kelompok kepentingan itu. Politik terasa
semakin menyengsarakan rakyat, membuat banyak orang tidak percaya lagi terhadap mereka yang
memegang kendali pemerintahan serta sumber daya ekonomi dan mengikis rasa saling percaya di
antara warga terhadap sesamanya. Hasilnya adalah sikap masa bodoh pada banyak orang terutama
kaum muda dan kelompok terpelajar (NP. KWI. 2003 No. 6).
Politik merupakan medan perutusan kaum awam, maka mereka diajak untuk ikut berperan di
dalam politik. Pada bidang itulah kaum awam memiliki peranan yang sangat khas. Mereka memiliki
hak dan kewajiban seperti warga lainnya. Mereka juga memiliki hak-kewajiban di bidang politik
guna memperjuangkan kesejahteraan di masyarakat. Keterlibatan sebagai pengurus dukuh dan desa
adalah bagian dari keterlibatan awam di bidang ini. Merekalah yang secara langsung bersinggungan
dengan masyarakat. Dektrit tentang Kerasulan awam menegaskan bahwa penggilan kristiani pada
hakekatnya adalah panggilan untuk merasul. Kerasulan di bidang politik lebih leluasa dilaksanakan
oleh kaum awam dibandingkan dengan hirarki karena panggilan khas kaum awam adalah terlibat
secara langsung dengan masyarakat. Secara konkrit keterlibatan kaum awam dalam dunia politik
adalah keterlibatan dalam kehidupan bermasyarakat yaitu sebagai ragi ragi yang dijiwai semangat
kristiani ikut serta mengembangkan masyarakat.
Gereja Katolik Indonesia melalui Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) berupaya mengajak
segenap umat Katolik, khususnya kaum awam untuk meningkatkan partisipasiya dalam seluruh
bidang kehidupan, termasuk bidang politik. Kaum awam didorong untuk mengembangkan semangat
pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara agar semakin nyata upaya untuk mengikuti
Kristus yang mewartakan Kerajaan Allah. Untuk menciptakan tata kehidupan bemasyarakat yang
bermartabat, seluruh umat diajak untuk terjun di dalam kehidupan nyata di lingkungan. Kaum awam
yang dalam kehidupan sehari-hari menyatu dengan masyarakat diharapkan mengambil bagian dalam
setiap kesempatan sosial dan politik yang terbuka, misalnya terlibat dalam organisisasi RT dan RW,
desa, keluruhahan dan organisasi kemasyarakatan lain, bahkan dalam organisasi partai politik. Umat
beriman harus merasa dirinya bertanggungjawab untuk memajukan kesejaheraan umum karena
terdorong oleh panggilan sebagai garam dan terang serta sebagai warga negara dan masyarakat.
Sumber Referensi
https://id.wikipedia.org/wiki/Gaudium_et_Spes diakses pada 20 November, pukul 13.05
https://www.kompasiana.com/wahyusiregar/5774d21362afbd9c1c21a420/sikap-gereja-dalam-
menyikapi-krisis-ekologis-memihak-atau-menolak diakses pada 20 November, pukul 13.30
https://jpicofmindonesia.org/2016/02/ajaran-sosial-gereja-untuk-pembangunan-dan-ekologi/ diakses
pada 20 November, pukul 13.40
file:///C:/Users/hp/Downloads/450-1070-1-SM.pdf diakses pada 20 November, pukul 15.00
https://media.neliti.com/media/publications/102352-turut-membina-indonesia-sebagai-rumah-be-
e6addb42.pdf diakses pada 20 November, pukul 15.25