Anda di halaman 1dari 8

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : DODIYONO

Nomor Induk Mahasiswa / NIM : 030323719

Kode/Nama Mata Kuliah : MKWU4102 / Pendidikan Agama Khatolik

Kode/Nama UPBJJ : 48 / PALANGKA RAYA

Masa Ujian : 2022/23.1 (2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS TERBUKA
1.a. klasifikasi bentuk-bentuk kepedulian Gereja terhadap pembangunan dan Ekologi

a. pembangunan manusia seutuhnya


Pembangunan merupakan upaya sistematis dan strategis dari setiap komunitas masyarakat
(Negara) sebagai satu-satunya jalan menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Dalam
masyarakat manapun pembangunan merupakan inti dari seluruh aktivitas dan hidup
bermasyarakat. Dua komponen utama pelaku pembangunan adalah masyarakat (rakyat) dan
pemerintah. Keduanya menjalankan peran dan fungsi berbeda untuk tujuan yang satu dan sama.
Untuk konteks masyarakat Indonesia tujuan yang mau dicapai dalam pembangunan adalah
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima).
a.1. GBHN 1978 dan Populorum Progressio
Dalam konteks pembangunan di Negara Indonesia, tujuan pembangunan itu
tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai lain yang merupakan satu kesatuan fundasi
bangsa, yakni nilai spiritual (sila pertama), kemanusiaan (sila kedua) , kesatuan (sila
ketiga), serta demokrasi politik (sila keempat). Mengapa demikian? Karena
pembangunan yang mengena pada manusia sebagai tujuan utamanya, mesti
mengintegrasikan pelbagai dimensi manusiawi lainnya, sebagai satu-kesatuan utuh.
Manusia tidak dapat diperhatikan hanya dari salah satu dimensinya saja, tetapi sebagai
suatu keutuhan. Kelima sila Pancasila merumuskan dengan apik dan utuh pelbagai
nilai yang membingkai satu kesatuan utuh manusia sebagai pribadi. Dalam visi
pembangunan Indonesia, kita terbiasa dengan frase “pembangunan manusia yang
seutuhnya”. Tap MPR No 4/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara,
menyatakan “Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan
berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib
dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib
dan damai. Berdasarkan pokok pikiran bahwa hakekat Pembangunan Nasional adalah
Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan Pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia, maka landasan pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945”.
Asas pembangunan kita adalah martabat pribadi manusia (Indonesia) dalam
segala aspek dan dalam keutuhannya sebagai pribadi. Sedangkan yang ingin dicapai
adalah kesejahteraan umum sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembangunan.
Rumusan-rumusan di atas tentu amat diwarnai oleh konteks social dan politik
Indonesia sebagai suatu Negara, namun nilai-nilai (isi) yang terkandung di dalamnya
sejalan dengan apa yang dikatakan dalam ASG, sebagaimana kita baca dalam teks
berikut. “Perkembangan yang dibicarakan di sini tidak dapat dibatasi pada
pertumbuhan ekonomi melulu. Supaya otentik perkembangan harus menyeluruh;
harus memupuk perkembangan tiap manusia dan manusia seutuhnya. Seorang pakar
ulung di bidang ini dengan tepat mengatakan, “Jangan kita biarkan ekonomi
diceraikan dari kenyataan-kenyataan manusiawi, atau perkembangan dari peradaban
yang menjadi gelanggangnya. Yang bagi kita penting ialah manusia – tiap manusia
perorangan, tiap kelompok manusiawi, dan umat manusia secara keseluruhan”
(Populorum Progressio 14) . “Akan tetapi …. faham pengembangan ekonomi sendiri
mengalami krisis. Kenyataan sekarang: ada pengertian yang lebih jelas, bahwa
penimbunan harta-milik maupun jasa-jasa semata-mata, bahkan kalau menguntungkan
mayoritas masyarakat pun, tidak cukup untuk mewujudkan kebahagiaan manusia”
(SRS 28). “Ciri-ciri pembangunan sepenuhnya, yakni yang bersifat lebih manusiawi,
dan mampu mewujudkan diri pada taraf panggilan manusiawi sejati tanpa
mengingkari tuntutan-tuntutan ekonomis…” (SRS 28).
“Berdasarkan ajaran itu pengembangan tidak hanya berarti penggunaan,
penguasaan dan pemilikan hal-hal tercipta maupun produk-produk kerajinan manusia
sesuka hatinya. Tetapi pengembangan berarti terbawahnya pemilikan, penguasaan dan
penggunaan semuanya itu kepada manusia selaku citra Allah, kepada panggilannya
untuk hidup abadi. Itulah kenyataan manusia yang mengatasi segala ciptaan lainnya.
Kenyataan itu sejak semula dimiliki bersama oleh sepasang manusia, pria dan wanita
(bdk. Kej.1:27); maka pada dasarnya bersifat social” (SRS 29). Teks-teks ASG ini
senada maknanya dengan landasan pembangunan kita (Indonesia), yang melihat
manusia secara utuh dalam kekayaan dimensinya. Manusia tidak bisa hanya dilihat
hanya dari satu aspek (dimensi) saja, tetapi secara utuh serta seimbang. Kekayaan
dimensi manusia merangkum pelbagai aspek seperti social, ekonomi, fisik (jasmani),
rohani, politik, natural, kultural (seni dan budaya), dll. Dengan demikian jika ingin
merumuskan apa yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum, maka semua aspek
itu mesti tercakup, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembangunan dalam
GBHN di atas. ASG pun merumuskan kesejahteraan umum dalam konsep yang utuh
dan menyeluruh, sebagaimana bisa kita cermati dari dokumen-dokumen ASG berikut:
“Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah keseluruhan kondisi-kondisi
hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun
anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai
kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-
kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain secara wajar, bahkan
kesejahteraan umum umat manusia” (GS 26).
“Supaya tujuan tercapai para pejabat pemerintah harus secara konkret
berpedoman pada pandangan yang cermat tentang kepentingan umum. Mereka harus
memperhitungkan semua kondisi social yang mendukung perkembangan pribadi
manusia seutuhnya” (MM 65). Adalah tugas Negara untuk menciptakan kondisi-
kondisi yang memungkinkan tercapainya kesejahteraan umum. “Maka Negara ada
demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta
maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang
otentik padanya. Kesejahteraan umum mencakup keseluruhan kondisi-kondisi
kehidupan social, yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan
perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan
lebih mudah” (GS 74).
a.2. kesejahteraan umum
Pandangan ASG amat jelas, baik menyangkut kesejahteraan umum maupun
legitimasi kekuasaan (pemerintahan). Bahkan, ASG menegaskan bahwa dasar adanya
Negara adalah demi kesejahteraan umum (bdk. GS 74). Untuk itu maka etika politik
atau moralitas kekuasaan menjadi amat penting, mengingat adanya Negara didasarkan
pada kodrat social manusia serta kesejahteraan umum. GS amat jelas menegaskan hal
itu, “pelaksanaan kekuasaan politik baik dalam masyarakat sendiri, maupun di
lembaga-lembaga yang mewakili Negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas
tata-moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis,
menurut tata-perundangan-undangan yang telah dan harus ditetapkan dengan sah”
(GS 74). Karena Negara ada untuk kesejahteraan umum, maka masyarakat tidak saja
dituntut untuk berpartisipasi, tetapi juga melakukan kontrol dan koreksi terhadap
praktek kekuasaan Negara yang melenceng dari prinsip-prinsip dan tujuannya.
Martabat dan kewibawaan pemerintah terletak pada kapasitasnya mewujudkan
kesejahteraan umum, bukan pada fakta berkuasa atas rakyatnya. Selain dituntut untuk
berpartisipasi dan taat pada kebijakan pemerintah demi kesejahteraan umum,
masyarakat berkuasa untuk mengganti pemerintahnya (demokrasi). Apa yang dapat
disimpulkan sampai di sini adalah bahwa ASG memberikan gagasan serta konsep bagi
politik pembangunan yang terarah dan tertuju pada perwujudan kesejahteraan umum.
Tak sepatutnya Gereja cuci-tangan dari pelbagai upaya sehat dan bermartabat demi
pencapaian kesejahteraan umum. Bahkan harus dikatakan bahwa mewujudkan
kesejahteraan umum merupakan bagian utuh dari peran dan tugas Gereja, yang lahir
dari tugas perutusannya untuk mewartakan Kerajaan Allah. “Setiap orang juga
anggota masyarakat. Maka ia termasuk persekutuan manusia. Bukan hanya orang-
orang tertentu saja, melainkan semua orang dipanggil untuk memajukan
perkembangan masyarakat manusia secara keseluruhan. …. Kita mempunyai
kewajiban terhadap semua orang. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengabaikan
kesejahteraan mereka yang akan menyusul kita untuk menumbuhkan bangsa manusia.
Kenyataan solidaritas manusia tidak hanya membawa keuntungan, tetapi juga
kewajiban” (PP 17).
a.3. pewartaan injil dan pembangunan
Gereja mengajarkan bahwa kepedulian dan keterlibatannya untuk membangun
masyarakat demi pencapaian kesejahteraan umum lahir dari iman akan Yesus Kristus
dan tugasnya mewartakan serta menegakkan Kerajaan Allah di bumi. “Iman akan
Kristus Penebus menjelaskan makna pengembangan sendiri, sekaligus menuntun kita
dalam tugas kerjasama. … Selanjutnya pengertian iman dengan jelas menerangkan
alasan-alasan yang mendorong Gereja untuk menggumuli masalah-masalah
pengembangan, untuk memandangnya kewajiban pelayanan pastoral, dan untuk
mendesak semua orang supaya memikirkan makna serta ciri-ciri pengembangan
manusiawi yang sejati” (SRS 31). Jadi ada hubungan tak terpisahkan antara tugas
Gereja mewartakan Kerajaan Allah, atau mewartakan khabar gembira Injil dengan
kepedulian dan keterlibatan nyata dalam pembangunan masyarakat demi mencapai
pembangunan manusia yang sejati dan utuh. Paus Paulus VI mengatakan,
“Mustahillah menerima bahwa dalam pewaraan Injil orang dapat atau harus tidak mau
tahu menahu tentang pentingnya masalah-persoalan yang sekarang ini begitu banyak
diperdebatkan tentang keadilan, pembebasan, perkembangan dan perdamaian dunia.
Andaikata begitu, itu berarti melupakan pelajaran yang kita terima dari Injil tentang
cinta kasih terhadap sesama yang sedang mendnerita dan serba kekurangan” (EN 31).
Konstitusi Pastoral Gereja juga menggariskan bahwa keterlibatan pada
pembangunan dunia yang lebih manusiawi adalah konsekuensi atau implikasi praktis
dari pewartaan Injil: “Ada pun misi khusus, yang oleh Kristus telah dipercayakan
kepada Gereja-Nya, tidak terletak dalam bidang politik, ekonomi atau social, sebab
tujuan yang telah ditetapkannya untuk Gereja bersifat keagamaan. Tentu saja dari misi
keagamaan itu sendiri muncullah tugas, terang dan daya kekuatan, yang dapat
melayani pembentukan dan peneguhan masyarakat manusia menurut Hukum Ilahi”
(GS 43). Tak ada keterpisahan antara tugas mewartakan Injil dan mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan umum, “Kegiatan demi keadilan dan partisipasi dalam
perombakan dunia bagi kami nampak sepenuhnya sebagai dimensi hakiki pewartaan
Injil, atau, dengan kata lain, perutusan gereja demi penebusan umat manusia serta
pembebasannya dari tiap situasi penindasan” (CU 6).

b. ekologi
Sebagaimana sudah dikatakan di atas, pembangunan mengena terutama pada
manusia (tujuan) dan bumi atau alam ciptaan (obyek). Adalah keyakinan umum bahwa
demi mencapai kesejahteraan umum maka bumi mesti juga diolah. Mengolah bumi untuk
kehidupan dan kesejahteraan manusia, selaras dengan mandat awali penciptaan yakni:
menguasai dan menaklukkan bumi (bdk. Kej.1:28); mengelola dan mengusahakan bumi
(bdk. Kej.2:15).
b.1 mendorong teknologi
Sepanjang sejarah, Gereja tidak saja mendukung, tetapi malah memelopori
implementasi mandat awali penciptaan ini. Kehidupan monastic tidak terpisahkan dari
tugas mengolah bumi. Prinsip hidup “ora et labora” (berdoa dan bekerja) lahir dari
haribaan kehidupan monatik Gereja Katolik. Gereja bahkan terus menerus mendorong
manusia untuk mengolah bumi yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia.
Mengolah bumi adalah sumber harta milik. ASG mengakui adanya hak milik pada
setiap orang, namun tetap mengingatkan ciri social dari harta milik. Sejak St.
Ambrosius (abad 4) sampai ASG mutakhir ciri sosial harta benda tetap ditegaskan
oleh Gereja. Dalam arti itu, Gereja mendorong upaya pembangunan dengan
mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam demi kehidupan
manusia. Gereja mendorong kemajuan teknologi yang semakin menolong manusia
memperoleh hasil optimal dalam pengelolaan alam ciptaan. “Tetapi zaman sekarang
ini, terutama berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, ia telah dan tetap masih
memperluas kedaulatannya atas alam semesta. … Dengan demikian banyak harta
nilai, yang dulu oleh manusia terutama di harapkan dari kekuatan-kekuatan atas bumi,
sekarang sudah diusahakannya melalui kegiatannya sendiri” (GS 33). Konsili Vatikan
II memuji kemajuan IPTEK yang semakin memampukan manusia mengusai bumi
demi pemenuhan kebutuhan kesejahteraannya.
b.2 kritis terhadap teknologi
Barulah pada tahun 1971, Gereja secara resmi menyatakan sikapnya terhadap
persoalan lingkungan hidup yang merupakan dampak langsung dari pembangunan.
Gereja mulai menyadari bahwa upaya pembangunan yang acak-acak dan tidak
komprehensif serta tidak integrative justru dapat mengancam keberlangsungan
kehidupan, bukan hanya manusia tetapi bumi seluruhnya (Bdk. OA 21). Sikap Gereja
ini kemudian disampaikan dalam Konfrensi Lingkungan Hidup Pertama di
Stolkholm(1972). Pernyataan Gereja Katolik di Stolkholm 1972 memperlihatkan
keprihatinan terhadap degradasi lingkungan hidup akibat pembangunan yang
menyebabkan bahwa bumi tidak bisa lagi menjadi rumah yang ramah bagi generasi
masa depan. Sikap kritis terhadap teknologi disampaikan sambil mengingatkan bahwa
pemanfaatan teknologi mesti disertai kesadaran moral agar teknologi tidak
menghancurkan, Untuk itu diperlukan perubahan mental secara radikal.
ASG selanjutnya terus menerus mengingatkan manusia, agar memanfaatkan
teknologi secara etis dan bertanggungjawab tidak saja untuk kehidupan manusia masa
kini, tetapi juga di masa depan. Yohanes Paulus II (1979) mengingatkan bahwa
kemajuan teknologi yang dicapai manusia justru membawa kepada “kesia-siaan”
karena menjadi ancaman terhadap manusia dan membawa kehancuran kepada alam
ciptaan. “Tidakkah kemajuan amat besar yang sebelum ini tak dikenal – dan
berlangsung khususnya abad ini – di bidang kedaulatan manusia atas bumi sendiri
menyingkapkan penaklukan ganda kepada kesia-siaan itu. Cukuplah mengingatkan
akan kendala-kendala tertentu, misalnya ancaman pencemaran lingkungan alam di
kawasan-kawasan industrialisasi yang pesat, atau konflik-konflik bersenjata yang
setiap kali pecah lagi, atau prapandangan-prapandangan penghancuran diri dengan
penggunaan senjata-senjata nuklir, zat air (hydrogen), neutron dan sebagianya….”
(RH 8). Beliau mengingatkan bahwa kemajuan pesat yang dicapai manusia menuntut
“perkembangan moralitas dan etika yang sepadan” (RH 15).
b.3. Perubahan Gaya Hidup
Perkembangan baru dalam dunia ekonomi, membawa serta bukan saja kemajuan
ekonomi, tetapi juga kehancuran dan kerusakan lingkungan hidup. Pembangunan
direduksi hanya pada ekonomi. Demi keuntungan ekonomi teknologi dimanfaatkan
untuk mengexploitasi alam secara sembrono. Kemajuan ekonomi menghasilkan
akumulasi harta dan manusia jatuh ke dalam bahaya konsumerisme. “Dari pilihan-
pilihan pelbagai hasil produksi dan barang-barang konsumsi nampaklah kebudayaan
tertentu, yang mencerminkan visinya tentang keseluruhan hidup. Dari situlah muncul
gejala konsumerisme. …bila yang langsung dianut ialah selera-selaranya sendiri,
sedangkan kenyataan pribadi yang berakal budi dan bebas tidak dihiraukan. Dapat
muncul sikap-sikap konsumeristis dan corak-corak hidup yang secara obyektif tidak
pantas atau merugikan kesehatan jiwa-raga” (CA 36).

ASG mensinyalir bahwa di balik hasrat manusia mengeruk sumber-sumber alam,


akibat dorongan konsumerisme, tersembunyi kemerosotan manusiawi menyangkut
akal sehat (budi) dan etika (moral) serta kesadaran religious (spiritual). Manusia
dengan pongah mengangkat dirinya sebagai tuan atas ciptaan dan karena itu “mengira
boleh semaunya sendiri mendaya-gunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan
menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak
mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah, …
Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia
justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya
membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya”
(CA 37; SRS 34).

1.b. sikap Gereja dalam menyikapi krisis ekologis seperti air berkualitas dan pengggunaan
plastik
Seperti kita ketahui bersama bahwa bumi sedang berada dalam situasi krisis. Banyak
keprihatinan yang terjadi misalnya polusi dan perubahan iklim, masalah air, hilangnya
keanekaragaman hayati, penurunan dan kemerosotan kualitas hidup manusia secara
global, dan sebagainya. Situasi krisis yang memprihatinkan itu tentu tidak hanya
disebabkan oleh faktor alamiah saja, tetapi justru terutama disebabkan oleh intervensi
yang berlebihan dari manusia. Paus Fransiskus mengangkat dua persoalan pokok sebagai
akar atau penyebab dari krisis ekologi global dewasa ini. Penyebab Pertama adalah
dominasi paradigma teknokratis.paus Fransiskus menegaskan bahwa “ilmu pengetahuna
dan teknologi adalah hasil yang indah dari kreativitas manusia yang diberikan Allah”
kepada manusia. Paus juga mengingatkan bahwa teknologi telah membantu manusia
dalam mengatasi keterbatasannya, terutama dibidang kedokteran. Teknik dan
komunikasi. Dan banyak juga upaya dari para ilmuan dan teknisi yang telah
menghasilkan pelbagai alternatif untuk pembangunan berkelanjutan (LS 102). Selain itu
hasil- hasil teknologi juga membangkitkan suatu cita rasa akan keindahan, antara lain
dalam ketakjuban akan keindahan pesawat terbang, bangunan bertingkat dan sederetan
karya seni (LS 103).
Penyebab kedua dari krisis ekologis global dewasa ini ialah penerimaan paham
antroposentrisme modern. Paham antroposentrisme modern yang dimaksudkan oleh Paus
Fransiskus ini bertolak belakang dengan paham antropologi kristiani tentang relasi
manusia dengan alam. Antroposentrisme modern menaruh pola pikir teknis di atas
realitas alam yang sebenarnya, dimana manusia melihat alam sebagai objek kegunaan
semata, sebagai ruang dan bahan untuk dieksploitasi. Kodrat alam sebagai ciptaan disini
tidak dihargai. Alam dipandang hanya sebagai barang mati, sementara yang hidup
hanyalah manusia yang berakal budi, kehendak bebas dan hati nuraninya, manusia
mestinya mengolah alam dengan penuh hormat.

2.a. bentuk keterlibatan Gereja Katolik dalam bidang politik Indonsia berkaitan dengan
Pancasila, Pemilu dan Politik.
Gereja Katolik tidak terikat pada suatu bentuk pemerintahan tertentu. Tetapi semakin
pola suatu pemerintahan sesuai dengan prinsip “kemanusiaan yang adil dan beradap”
maka Gereja Katolik semakin mendukung pola pemerintahan ini. Pada abad ke-21 ini
pemerintahan yang paling manusiawi adalah yang menjamin kebebasan, pengikutsertaan
dan kemakmuran seluruh rakyatnya. Dengan kata lain, bentuk pemerintahan Negara
Republik Indonesia adalah Demokrasi, pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Gereja Katolik Indonesia dengan senang hati mendukung
Pancasila, sebab di anggap baik dan merangkum beberapa nilai manusiawi dan Kristiani.
Maka Gereja Menunjang semua usaha dan upaya untuk mempertahankan Pancasila demi
uthnya martabat manusia, demi tegaknya hak- hak asasinya, dan demi kesatuan seluruh
rakyat Indonesia. Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari segi
keagamaan, sila ini yang paling penting, walaupun selalu dipandang dalam kesatuannya
dengan keempat sila yang lain. Mengapa paling penting? Sebab keTuhanan menjamin
kebebasan agama dan beragama/ berkepercayaan setiap warga negara. Sila ini mencegah
negara atau pemerintah mencampuri atau mengatur urusan intern (syariah atau ibadah
suatu agama) serta membatu usaha suatu umat beragama untuk lebih meningkatkan
hidup keagamaannya. Oleh karena itu Gereja Katolik memandang sila pertama sebagai
rumusan yang tepat dan bijaksana.
Secara hakiki Gereja Katolik terlibat dalam urusan dunia, yang dijalankan oleh kaum
awam Katolik dan tidak oleh hirarki Gereja Katolik karena fungsi dan tugas utamanya
yang berbeda. Keterlibatan kaum awam katolik merupakan salah satu bagian dari
keterlibatan Gereja Katolik Indonesia terhadap negara dan bangsanya. Berlandaskan
pada amanat Kitab Suci dalam Lukas 20:25, berikanlah kepada kaisar apa yang wajib
kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada
Allah. Kiranya tidak hanya dipahami sebagai tanggung jawab Gereja Katolik dalam
memberikan pajak kepada negara, tetapi konteks keseluruhan dapat dipahami sebagai
keterlibatan Gereja Katolik terhadap negara dan bangsanya, salah satunya adalah bidang
politik. Karena itu semua anggota Gereja Katolik, baik kaum Klerus, Hidup Bakti dan
terlebih kaum Awam, terpanggil kewajibannya untuk peduli terhadap negara dan
bangsanya dalam batas tugas dan fungsinya terhadap bidang politik yang dibahas dalam
materi ini. Kesadaran gereja Katolik terhadap tugas dasarnya dalam bidang politik
dewasa ini tidak lepas dari pengaruh Konsili Vatikan II. Kesadaran tersebut ditentukan
oleh tiga perkembangan. Pertama, Gereja Katolik mengkooptasi paham hak- hak asasi
manusia (dalam ensiklik Pacem in terris). Kedua, Gereja Katolik secara resmi dan hati-
hati menerima keanekaragaman masyarakat modern. Kedua posisi teologis tersebut di
satu pihak dapat memampukan Gereja untuk berperan dalam masyarakat majemuk,
namun di lain pihak gereja Katolik memperoleh pedoman etis yang jelas tentang apa
yang benar dan salah dalam berpolitik.
Berkaitan dengan Pancasila umat Katolik menerima Pancasila sebagai satu- satunya
asas kehidupan bernegara dan bermasyarakat bagi setiap warga dan setiap organisasi
yang bergerak dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Atas dasar Pancasila itu,
pluralitas suku, budaya, agama dan sosial masyarakat seluruh nusantara sepakat untuk
bersatu dalam perbedaan. Berkaitan dengan pemilihan umum, hendaknya masing-
masing umat Katolik bertindak sebagai warga negara,berpikir demi kepentingan negara,
dan memilih sesuai dengan keyakinan sebagai orang Katolik. Pemilihan Umum
merupakan sebuah kesempatan untuk memperbaiki mutu kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam memilih suatu partai atau kelompok tertentu sebaiknya didasari oleh
pertimbangan bahwa partai atau kelompok tersebut akan mau dan sanggup
memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Pemahaman tersebut penting bagi umat Katolik
dalam usaha keterlibatannya dalam hidup politik.
Masih terkait dengan politik, umat Katolik hendaknya merasa wajib menjadi warga
negara yang aktif. Tetapi politik para tokoh dan kelompok atau Partai Katolik tidak boleh
hanya memperjuangkan kepentingan umat Katolik, melainkan yang utama iyalah
kesejahteraan bersama.

b. keterlibatan kaum awam dalam bidang politik Indonesia.


Umat awam mewujudkan tugas perutusannya di tengah masyarakat majemuk dengan
terlibat secara langsung dalam kegiatan politik praktis. Dalam menjalankan tugas
tersebut, umat awam memerlukan dukungan secara khusus dalam mewartakan sekaligus
mengaplikasikan asas- asas moral kristiani dalam setiap diskursus hidup bersama dan
perwujudan tanggung jawab moral- moral.
Umat awam hendaknya selalu berperan aktif dalam kehidupan umum. Misalnya
terlibat dalam bidang ekonomi, sosial, legislatif, administratif dan kebudayaan yang
beraneka ragam demi kesejahteraan umum. Berdasarkan suara hatinya umat awam
memenuhi kewajiban sebagai warga negara dengan melaksanakan tugas yang tepat
memasuki tatanan duniawi dengan nilai- nilai kristiani. Kaum awam Katolik juga
menghormati hakekat dan otonomi sepenuhnya dari tatanan itu dan bekerja sama dengan
warga negara lain menurut kompetensi dan tanggung jawab khusus mereka. Usaha ini
antara lain dengan terlibat pada peningkatan dan pertahanan kebaikan- kebaikan seperti
tatanan umum dan perdamaian, kebebasan dan kesamaan, hormat terhadap hidup
manusia dan lingkungan, keadilan dan solidaritas. Dengan keterlibatan ini, umat awam
katolik menampilkan wajah Gereja Katolik yang peduli akan kehidupan sosial politik.

Anda mungkin juga menyukai