Anda di halaman 1dari 29

BAB II

Landasan Teori

A. Ideologi Pendidikan Indonesia Ditinjau Menurut Undang-Undang


Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Undang-Undang sebagai sebuah instrumen peraturan perundangan
idealnya tunduk, tertata dangan tertib, tersistematis sesuai dengan hierarki
peraturan perundang-perundangan. Perihal permasalahan ini sesungguhnya
telah dibahas tuntas oleh Hans Nawiasky dalam “die Theorie vom
Stufenordnung der Recthsnorten”. Dalam teorinya tersebut Nawiasky
berpendapat bahwa sebuah instrumen hukum berasal dan lahir dari instrumen
hukum yang lebih tinggi, karenannya Undang-Undang (Formell Gesetz)
haruslah tunduk dan bersumber kepada instrumen-instrumen hukum yang
secara hierarkis membawahinya. Instrumen-Instrumen yang dimaksud oleh
Nawiasky adalah Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
“staatsgrundgesetz” serta Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
“staatsfundamentalnorm” yang didalamnya terdapat Pacasila yang
merupakan “philosofische grondslag”, sebagai ”weltanschauung” –
pandangan hidup dan filosofis bagi Indonesia. Karenannya sebuah undang-
undang haruslah selalu sejalan dengan Konstitusi dan Pancasila, serta tidak
boleh menyalahi atau saling berbenturan.
Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU PT) seyogyanya sejalan
dengan prinsip-prinsip yang telah dijelaskan di atas, ia tidak boleh
menyimpang, berbenturan atau menyalahi semangat konstitusi. Terlebih UU
Pendidikan Tinggi merupakan suatu Undang-Undang yang memiliki
substansi muatan penting dan krusial yaitu mengenai pendidikan tinggi,
khususnya Perguruan Tinggi yang merupakan jentera bagi peradaban bangsa.
Pemahaman soal pendidikan dalam undang-undang ini haruslah sejalan,
linear dan sewarna dengan bagaimana kosepsi pendidikan dimaknai oleh
konstitusi. Secara lebih rinci dalam Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 31 ayat
(1) disebutkan : “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.

Pendidikan oleh UUD 1945 dipandang sebagai sebuah hak asasi yang
melekat serta harus diperoleh setiap warga negara.
Hak atas Pendidikan merupakan hak positif yang tidak dapat
terpenuhi dengan sendirinya. Pemenuhan hak positif memerlukan usaha dari
pihak ketiga untuk memenuhi hak tersebut. Oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat
(3), tanggung jawab memenuhi hak atas pendidikan untuk seluruh warga
negara “dibebankan” kepada pemerintah. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD
1945 dinyatakan bahwa pemerintahlah yang diberikan tugas untuk
“mengusahakan dan menyelenggarakan” sistem pendidikan nasional. Selain
itu di ayat selanjutnya, UUD 1945 menugaskan kepada negara
memprioritaskan 20% APBN guna membiayai dan menyelengarakan tugas
memenuhi hak atas pendidikan tadi.
Satu sistem dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu kesatuan
sistem yang terintegrasi, sejalan dan tidak saling bertentangan satu sama lain.
Amanah UUD 1945 untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sebuah
sistem Pendidikan Nasional tersebut diejawantahkan oleh otoritas pembuat
Undang-Undang dengan membuat UU Sisdiknas. UU Sisdiknas ini dibuat
dengan maksud sebagai sebuah “master plan” Pendidikan Nasional yang
terencana, terarah dan berkesinambungan, yang ruang lingkup
pengaturannya ialah pendidikan formal secara luas sebagai sebuah sistem
sebagai sebuah sistem, dari tingkat pra-sekolah hingga perguruan tinggi.
Indonesia Sebagai Pengusung Konsep Welfare State Dan Kaitannya
Dengan Pendidikan
Pencetus teori welfare state adalah Mr. R. Kranenburg yang
menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan,
bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan
seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.
pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna:1

1
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Demokrasi, konstitusi pers, Jakarta, hlm.124
1. sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya
menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare)
sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-
material.Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan
manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat
dipenuhi, serta manakala manusia memperoleh perlindungan
dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.
2. sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia
Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk,
yakni jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan,
pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal
(personal social services).

3. sebagai tunjangan sosial. Khususnya di Amerika Serikat (AS),


diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar
penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat,
penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi
negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan,
kemalasan, ketergantungan.
4. sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh
perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun
badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan
sosial (pengertian ke dua) dan tunjangan sosial (pengertian
ketiga).
Jadi dari tiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konsep welfare
state berarti Negara punya andil dan tanggung jawab dalam usaha
definisi di atas, di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif
terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya
ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin.
Negara Indonesia sendiri mengusung konsep welfare state. Hal ini
dapat dilihat Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang menyatakan “...dan
untuk memajukan kesejahteraan umum..” yang kemudian dituangkan dalam
pasal-pasal di UUD 1945. Tujuan negara ini berkaitan dengan tujuan besar
pendidikan Indonesia yang juga tercantum pada Pembukaan UUD 1945
alinea ke IV yaitu “..mencerdaskan kehidupan bangsa..”. Pendidikan
merupakan sarana untuk mengangkat harkat dan martabat manusia,
memanusiakan manusia, dan menggali potensi tiap orangnya agar menjadi
sebaik-baik manusia yang bermanfaat untuk orang lain, bangsa, dan dunia.
Salah satu sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan
adanya Wajib Belajar 9 Tahun yang diusung oleh Pemerintah dimana
tujuannya adalah agar semua orang dapat menikmati bangku pendidikan.
Peran negara untuk memenuhi kebutuhan pendidikan tidak hanya terbatas
sampai pada pendidikan sembilan tahun saja, melainkan juga pendidikan
tinggi. Pentingnya pendidikan tinggi untuk meningkat kualitas SDM bangsa
Indonesia dapat dilihat dari kebutuhan negara untuk memproteksi diri,
meningkat kualitas diri, serta menjawab tantangan global terhadap Indonesia.
Seperti telah disebut sebelumnya, bahwa pendidikan tinggi dalam
peningkatan kualitas intelektualitas dan moral dari SDM bangsa Indonesia
merupakan pondasi untuk mewujudkan welfare state.
Teori Welfare State Menurut Mr.R.Kranenburg

Negara modern adalah personafikasi dari tata hukum, artinya negara


dalam segala aktifitasnya senantiasa di dasarkan pada hukum. Negara dalam
konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum, dalam perkembangan
pemikiran mengenai negara hukum dikenal dua kelompok negara hukum,
yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum
matreiil ini juga dikenal dalam istilah welfare state atau negara
kesejahteraan.
Kegagalan implementasi nachtwachtersstaat memunculkan gagasan
yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyatnya yaitu welfare state. Ciri utama negara ini adalah
munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum
bagi warganya. Dengan kata lain ajaran welfare state merupakan bentuk
konkret dari peralihan prinsip staatsonthouding yang membatasai peran
negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan
pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan sosial masyarakat, sebagai
langkah untuk mewujudkan kesejahteraan disamping menjaga ketertiban dan
keamanan. Menurut Kranenburg, sejak negara turut serta aktif dalam
pergaulan kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah semakin
luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan
kesejahteraan umum (bestuurszorg).2 Diberinya tugas “bestuurszorg” itu
membawa bagi administrasi negaraa suatu konsekuensi yang khusus. Agar
dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat,
menyelenggarakan pengajaran bagi semua warga negara dan sebagainya
secara baik, maka administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat
bertindak atas inisiatif sendiri.
Hukum administrasi negara merupakan ilmu hukum yang tidak statis,
akan tetapi berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan dalam
masyarakat. Hukum administrasi negara merupakan instrumen dari alat
administrasi negara dalam menjalankan tugasnya selaku pelayan publik
untuk mensejahterakan warga negara di dalam negara yang menganut paham
welfare state. Hukum administrasi negara diperlukan mengingat bahwa
perkembangan masyarakat di negara-negara yang menganut paham welfare
state, menuntut campur tangan pemerintah dalam semua aspek kehidupan
masyarakat sudah demikian luasnya, sehingga dikhawatirkan apabila

2
M.Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:Rajawali, 1988,hlm.15.
pelaksanaan tugas pemerintah dalam melayani warga masyarakat tidak
dilakukan dengan hati-hati dan mengindahkan aturan hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis akan berpotensi merugikan masyarakat yang dilayani.
Dalam negara hukum modern yang menganut paham welfare state
atau negara kesejahteraan, tugas alat administrasi negara sangat luas sekali
mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, untuk hal ini Frans Magnis
Suseno3 menjelaskan bahwa negara memang tidak dapat menciptakan
kesejahteraan. Kesejahteraan adalah sesuatu yang hanya dapat terwujud
dalam perasaan masing-masing orang. Setiap orang dalam dan bersama
lingkungan sosial yang akrab harus mewujudkan kesejahteraannya. Tetapi
agar hal itu mungkin, perlu tersedia prasarana dan sarana dan negara yang
bertugas untuk melaksanakannya. Dalam hal ini negara sebetulnya secara
tidak langsung mensejahterakan atau membahagiakan masyarakat.
Konsep Akuntabilitas Dan Transparansi

1. Konsep Akuntabilitas

Konsep akuntabilitas berawal dari konsep pertanggungjawaban, konsep


pertanggungjawaban sendiri dapat dijelaskan dari adanya wewenang.
Wewenang yaitu kekuasaan yang sah, dalam perkembangannya muncul
konsep baru tentang wewenang yang bermuara pada prinsip bahwa
3
Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm.39
penggunaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan. Konsep
pertanggungjawabkan dibagi menjadi tiga yaitu akuntabilitas
(accountability), responsibilitas (responsibility) dan responsivitas
(responsivenees). Akuntabilitas menunjuk pada instansi tentang “chek and
balance” dalam sistem administrasi.4 Akuntabilitas juga dapat diliha
dalam arti sempit dan arti luas, akuntabilitas dalam arti sempit dapat
dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu pada siapa
instansi (atau pekerja individu) bertanggungjawab dan untuk apa instansi
bertanggungjawab. Sedangkan pengertian akuntabilitas dalam arti luas
dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang tanggung jawab untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi
tanggungjawabnya kepada pihak pemberi tanggungjawab yang memiliki
hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan penjelasan
atas apa yang telah dilakukan. Dengan demikian akuntabilitas merupakan
kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan
menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan
suatu instansi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk
meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

4
Joko Widodo,Op.Cit,hal 148
Miram Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai
pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah,
kepada yang memberi mereka mandat akuntabilitas bermakna
pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi
kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi
penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling
mengawasi.5 Hal yang sama dikemukakan Sedarmayanti, bahwa
akuntabilitas sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.6
Akuntabilitas dibedakan dalam tiga bentuk yaitu :7

1) akuntabilitas administratif

Adalah pertanggungjawaban antara pejabat yang berwenang


dengan unit bawahannya.
2) Akuntabitas profesional

Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan kinerja dan tindakan


berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang profesi yang

5
Miriam Budiarjo, Menggapai Kedaulatan Rakyat, Mizan,Jakarta 1998, hlm.78

6
Sedarmayanti, Good Governance(Kepemerintahan Yang Baik, Bandung 2003, hlm.23

7
Anderson J A, Akuntabilitas Dan Good Governance, Jakarta 2000, hlm.84
sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek kualitas
kerja dan tindakan.
3) Akuntabilitas moral

Akuntabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di


kalangan masyarakat. Hal ini lebih banyak berbicara tentang baik
atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan oleh
seorang/badan hukum berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku.

2. Konsep Transparansi

Transparansi berarti keterbukaan (opennsess), pimpinan dalam


memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan
sumberdaya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.
Pimpinan berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi
lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak-
pihak yang berkepentingan. Transparansi pada akhirnya akan
menciptakan horizontal accountability antara pimpinan dan stakeholder
lainnya sehingga tercipta pemerintahan yang bersih, efektif, efisien,
akuntabel dan responsif.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan
bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan
pemerintahan. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi
pengawasan, sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah
mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik.
Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaiangan yang
sehat, toleran dan kebijakan dibuat berdasarkan preferensi publik.8

B. Konsep Good Governance

Good dalam good governance mengandung dua pengertian yaitu:


Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan
nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan
(nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam
pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan. Tata pemerintahan yang baik
merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara teratur
dalam ilmu politik, terutama ilmu pemerintahan dan administrasi publik.
Konsep itu lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi,
masyarakat madani (civil society), partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan
pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.
Prinsip-prinsip good governance. Kunci utama memahami good
governance yaitu pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari

8
Meutiah Ganie Rahman, Good Governance “Prinsip dan Penerapannya, Jakarta 2000, hlm.151
prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan.
Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan
semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya
masalah ini, prinsip-prinsip good governance menurut UNDP9 sebagaimana
tertera berikut ini :Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum,
Transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus,
kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, visi strategis.
Sejak adanya gerakan reformasi tahun 1998, paradigma yang berkembang
dalam administrasi publik adalah tuntutan pelayanan yang lebih baik dari
sebelumnya. Tuntutan akan pelayanan yang lebih baik dan memuaskan
kepada publik menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh instansi
pemerintah penyelenggara pelayanan publik. Tuntutan tersebut muncul
seiring dengan berkembanagnya era reformasi dan otonomi daerah dan sejak
tumbangnya kekuasaan rezim orde baru10. Setelah delapan tahun berlalu,
gaung tuntutan tersebut masih terus menggema, bahkan berbagai pelaung
yang ada diperhitungkan agar terwujudnya kondisi kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik lagi. Pendek kata, seluruh elemen bangsa telah
sepakat agar kondisi masa lalu yang kurang dan tidak baik tidak terulang
lagi. Karenanya muncul istilah-istilah, seperti e-government dan good

9
Dwiyanto Agus, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Jakarta 2004, hlm.97

10
Sedarmayanti, Good Governance (Pemerintahan yang Baik), Bandung 2004, hlm.32
governance. Istilah ini muncul dalam rangka mewujudkan kehidupan yang
lebih baik.
Dari sekian banyak tuntutan yang ada, satu di antaranya adalah
meningkatkan pelayanan publik melalui penciptaan tata pemerintahan yang
bersih dan berwibawa. Agenda tersebut memrupakan upaya untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain melalui keterbukaan,
akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum,
dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran,
keserasian, dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang
terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas
sumberdaya manusia aparatur; dan sistem pengawasan yang efektif.
Tujuan pokok good governance adalah tercapainya kondisi
pemerintahan yang dapat menjamin kepentingan pelayanan publik secara
seimbang dengan melibatkan kerjasama antar semua komponen pelaku
(negara, masyarakat madani, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak
swasta). Salah satu wujud tata kepemerintahan yang baik (good governance)
adalah terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis. Paradigma tata
kepemerintahan yang baik menekankan arti penting kesejajaran hubungan
antara institusi negara, pasar dan masyarakat. Semua pelaku harus saling
mengetahui apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya serta membuka ruang
dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di antara
mereka. Melalui proses tersebut diharapkan akan tumbuh konsensus dan
sinergi dalam penerapan program-program tata kepemerintahan yang baik di
masyarakat. Pelaku-pelaku tersebut merupakan elemen governance yang
terkait dan tidak terpisahkan dalam satu sistem negara, pelaku bisnis, dan
masyarakat. Masing-masing memiliki karakter tersendiri tetapi ketiganya
tidak akan mampu berdiri dan berkembang sendiri-sendiri. Mereka mengarah
kepada satu tujuan yaitu kehidupan yang lebih baik bagi setiap lapisan
masyarakat luas.
Pada dasarnya, setiap pembaruan dan perubahan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, dimaksudkan dalam rangka menuju terwujudnya
pemerintahan yang demokratis guna terwujudnya sistem pemerintahan yang
lebih baik (good governance). Salah satu ciri good governance adalah
transparansi yang dibangun atas dasar arus informasi yang bebas, dimana
seluruh proses pemerintahan dan informasinya dapat diakses oleh semua
pihak yang berkepentingan. Untuk kepentingan transparansi informasi
sebagaimana dimaksud, diperlukan sarana komunikasi yang menjamin
kelancaran informasi antara pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha,
dan tentunya komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Menyadari betapa pentingnya arti mewujudkan kepemerintahan yang baik,
maka aparatur negara dituntut harus mampu meningkatkan kinerja. Sasaran
yang menjadi prioritas adalah mewujudkan pelayanan masyarakat yang
efisien dan berkualitas, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
dan meningkatkan daya saing. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan
perhatian pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan secara
signifikan melalui manajemen perubahan menuju ke arah penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik.
Salah satu upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik
adalah mempercepat proses kerja serta modernisasi administrasi melalui
otomatisasi di bidang administrasi perkantoran, modernisasi
penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat melalui e-government
sebagai salah satu aplikasi dari teknologi informasi. Masalah utama yang
dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah terbatasnya sarana dan
prasarana komunikasi informasi untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada masyarakat, agar proses
penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat dapat menjadi lebih efektif, efisien, transparan,
dana kuntabel.
Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan menuju good
governance serta dalam rangka mengakselerasi penyelenggaraan otonomi
daerah, maka pengembangan dan implementasi e-government merupakan
alternatif yang strategis dalam rangka mengkomunikasikan informasi secara
dua arah antara Pemerintah dengan Masyarakat dan Dunia Usaha dan antar
Pemerintah itu sendiri.
Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki
arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi,
lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang
diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan
dalam suatu negara. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam
literatur administrasi dan ilmu politik sejak Woodrow Wilson
memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi
selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan
organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi.11
Wacana tentang “governance yang diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau
pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini,
terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional
mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai program bantuannya.
Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, terminologi

11
Widodo J, Good Governance:Telaah Dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi,Surabaya
2001, hlm.109
“good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan
pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo),12 tatapemerintahan
yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan
bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit
sebagai pemerintahan yang bersih. Perbedaan paling pokok antara konsep
“government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara
penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam
pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi
peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai
otoritas tadi. Sedangkan governance mengandung makna bagaimana cara
suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan
berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Sejatinya, konsep governance
harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi.
Governance juga menunjukkan inklusivitas. Kalau government dilihat
sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”.
Menurut Leach & Percy-Smith13 government mengandung pengertian
seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu,
memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang

12
Hadjon Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta 2008, hlm30

13
Lukman Sampara ,Manajemen Kualitas Pelayanan, Jakarta 2000, hlm.57
pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan
“yang diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance.
ada hakekatnya penyelenggaraan pelayanan publik merupakan
amanat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara (ekskutif dan
legislatif) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan
kesejahteraan ini dilakukan dengan memprioritaskan pelayanan-pelayanan
dasar bagi masyarakat. Dalam kenyataannya, masih sedikit dari masyarakat
yang bisa memahami pekayanan publik sebagai hak dan bukan pemberian
pemerintah, apalagi seluk beluk permasalahan yang ada dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagian masyarakat masih
menyederhanakan pemahaman tentang pelayanan publik yang diartikan
sebagai pemberian pemerintah. Dengan pemahaman yang sederhana itu,
ketika sebagian rakyat memahami pelayanan public sebagai pemberian dari
pemerintah, masyarakat memahami pelayanan publik sebagai aktivitas
belanja yang menggunakan uang pemerintah. Pemahaman yang demikian
akan membawa akibat masyarakat akan menyerahkan sepenuhnya
pengelolaan pelayanan publik itu kepada pemerintahan, karena dalam
pandangan masyarakat tersebut uang yang dibelanjakan untuk pelayanan
publik itu milik pemerintah. Masyarakat merasa tidak memiliki hak
mencampuri pengelolaan pelayanan publik.
Good University Governance

Pendidikan merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur


bagaimana suatu negara dapat dikatakan berkembang, maju atau bahkan
negara yang tertinggal dengan negara-negara lainnya. Pendidikan juga
merupakan sarana untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia
yang ada di dalamnya yang dapat memberikan dampak positif untuk negara
tersebut.
Pada awalnya, konsep good governance memang muncul dalam
tataran korporasi dan institusi perguruan tinggi. Akan tetapi, perkembangan
konsep good governance dalam dekade terakhir telah ditumbuhkan menjadi
sebuah konsep untuk dapat dipahami dalam konteks yang luas dan dijadikan
dasar dalam menyusun konsep-konsep baru untuk institusi-institusi tertentu
dengan mengadopsi prinsip-prinsip dasarnya. Konsep-konsep turunan
tersebut kemudian salah satunya bahkan menyangkut penyelenggaraan
korporasi, yaitu good coorporate governance, yang sebenarnya merupakan
perbaikan dari prinsip-prinsip governance korporasi tradisional yang pada
hakikatnya justru merupakan inspirator dari konsep good governance.
Adapun yang perlu kita pahami adalah munculnya dua konsep tadi,
good governance dan good coorporate governance, dilatarbelakangi oleh
kesadaran bahwa pengelolaan sebuah negara tidak dapat disamakan dengan
penyelenggaraan sebuah korporasi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
sifat dan tujuan dasar pembentukan kedua institusi tadi, dimana pengelolaan
sebuah negara ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik sementara
sebuah korporasi dibentuk untuk meraup keuntungan. Perbedaan sifat ini
tidak mungkin dipungkiri. Akan tetapi, ada prinsip-prinsip yang dapat
diterapkan dalam penyelenggaraan keduanya, dengan modifikasi-modifikasi
tertentu untuk mengakomodasi sifat-sifat dan tujuan dasarnya masing-
masing. Prinsip-prinsip itu diantaranya akuntabilitas, transparansi, rule of
law, dan sebagainya. Apakah penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi
dapat disamakan dengan penyelenggaraan sebuah negara atau korporasi?.
Apabila kita lihat sifat dan tujuan dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi
di suatu negara, kita bisa dengan cukup tegas mengatakan tidak.
Pada dasarnya, pendidikan tinggi yang pada praktiknya dijalankan
oleh institusi perguruan tinggi dimaksudkan untuk dapat menjadi komunitas
kaum intelektual suatu bangsa. Komunitas intelektual ini kemudian
diharapkan untuk menjadi komunitas yang mampu menelurkan inovasi-
inovasi dan pemikiran-pemikiran dalam menghadapi permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa itu. Komunitas pendidikan tinggi juga dijadikan sebuah
garda moral dan penjaga nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu bangsa,
termasuk budaya, adat istiadat dan sebagainya. Dengan peranan dan harapan
yang besar inilah kemudian anggota komunitas pendidikan tinggi kemudian
mendapat posisi yang terhormat di tengah masyarakat. Gelar sebagai seorang
sarjana merupakan gelar yang dipandang terhormat di tengah masyarakat.
Inilah arti pendidikan tinggi di tengah masyarakat tradisional. Contohnya
dapat kita lihat pada tatanan kehidupan bangsa Cina dan Mesir pada zaman
dahulu, dimana gelar keserjanaan merupakan gelar yang mendapat posisi
tinggi di tengah masyarakat. Di kedua bangsa itu, kita juga melihat
perguruan tinggi menjadi basis pengembangan kebudayaan dan teknologi.
Secara tradisional, peranan institusi perguruan tinggi berfokus pada
transfer atau konservasi ilmu pengetahuan (knowledge) dan diharapkan untuk
menjadi komunitas yang memegang teguh nilai-nilai (values) yang dianggap
ideal atau dijunjung tinggi suatu bangsa. Ia diharapkan menjadi sebuah
komunitas yang mampu melindungi dirinya dari kooptasi nilai-nilai
lingkungan diluarnya yang mungkin korup atau mengandung keburukan.
Inilah yang mendasari perlunya status independensi atau otonomi perguruan
tinggi. Selain itu, sebuah kebebasan atau independensi juga diperlukan untuk
mendukung terwujudnya inovasi atau perkembangan pemikiran dan ilmu
pengetahuan. Kebebasan itu juga kemudian menyentuh individu-individu
yang tercakup dalam komunitas tersebut, karena pada hakikatnya, inovasi
dan pemikiran itu bukan dihasilkan oleh institusi, melainkan individu-
individu didalamnya.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, peranan tradisional ini dianggap
justru terlalu menempatkan institusi perguruan tinggi seperti sebuah menara
gading yang terpisah, eksklusif dari masyarakat. Dalam paham yang lebih
modern, peranan perguruan tinggi mengalami penambahan dalam hal
peranan dan posisi sosialnya di tengah masyarakat. Menghadapi transformasi
ekonomi, teknologi dan kondisi sosial yang sangat cepat, pendidikan tinggi
dituntut untuk lebih menyeimbangkan peranannya sebagai pusat intelektual
sekaligus menjaga agar tetap relevan dengan kondisi sosial di sekitarnya atau
kondisi sosial bangsa yang menaunginya. Output dari perguruan tinggi
diharapkan bukan hanya sumber daya manusia yang berkualitas dan siap
kerja, tapi lebih dari itu, menjadi agen-agen bangsa yang sanggup mengelola
dan mengarahkan perubahan di bangsa itu.
Dengan dasar tujuan demikian, maka pengelolaan sebuah institusi
perguruan tinggi tidak mungkin disamakan dengan pengelolaan sebuah
negara maupun korporasi. Ada koridor-koridor tertentu yang berkaitan
dengan nilai-nilai luhur (values), baik dalam hal akademik maupun social
values yang harus dijaga didalamnya. Sementara hal-hal lain dalam
penyelenggaraannya harus ditempatkan sebagai means atau alat untuk
mendukung pencapaian tujuan dasar tersebut.
Inilah yang menjadi dasar munculnya wacana good university
governance dalam penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi.
Secara sederhana, good university governance dapat kita pandang sebagai
penerapan prinsip-prinsip dasar konsep “good governance” dalam sistem dan
proses governance pada institusi perguruan tinggi, melalui berbagai
penyesuaian yang dilakukan berdasarkan nilai-nilai yang harus dijunjung
tinggi dalam penyelenggaraan perguruan tinggi secara khusus dan
pendidikan secara umum. Basis pada tujuan pengembangan pendidikan dan
keilmuan akademik, pengembangan manusia seutuhnya. Yang lain
ditempatkan sebagai alat atau means, bukan tujuan dasar.
Welfare State Dalam Kaitannya Dengan Good University Governace

pada STAKPN.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Welfare State merupakan konsep


dari negara kesejahteraan, dimana negara harus secara aktif mengupayakan
kesejahteraan sehingga dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat secara
merata. Kesejahteraan bukan hanya meliputi negara pada umumnya,
melainkan kesejahteraan juga mencakup dalam bidang pendidikan. STAKPN
yang merupakan perguruan tinggi pemerintah dituntut untuk melakukan
peran dan fungsi yang sebaik mungkin. Penerapan Good University
Governance pada STAKPN menjadikan Perguruan Tinggi berupaya
semaksimal mewujudkan kesejahteraan dan kualitas pendidikan, sehingga
dalam pembuatan dan pelaksanaan seluruh peraturan yang terdapat pada
STAKPN merupakan implementasi AUPB, yang di dalamnya: Kepastian
Hukum, Transparansi, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung jawab,
Akuntabilitas dan tidak menyalahgunakan wewenang. Prinsip-prinsip yang
melatarbelakangi pembuatan peraturan menegaskan bahwa semua peraturan
yang di buat berdasarkan tugas dan tanggung jawab dari masing-masing
stakeholder, dan tidak mengedepankan kepentingan individu atau golongan
tertentu. Terkait dengan perturan yang ada, peran serta atau hubungan
stakeholder pun tidak dapat dipisahkan. Stakeholder yang diartikan sebagai
orang atau kelompok yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support
terhadap pendidikan maupun lembaga pendidikan, dan yang mempunyai
kepentingan terhadap lembaga pendidikan. Oleh karena itu hubungan
stakeholder dengan lembaga pendidikan tinggi STAKPN juga
mempengaruhi penerapan Good University Governance, dimana dalam
setiap peraturan yang disusun melibatkan pihak-pihak (stakeholder), artinya
peran serta tugas dan tanggung jawab dari stakeholder sangat berpengaruh
pada kemajuan lembaga. Untuk itulah welfare state hadir bukan saja di
artikan sebagai konsep negara kesejahteraan, namun bagaimana sejahtera
yang sebenarnya juga dapat meliputi dalam bidang pendidikan. Pelaksanaan
pendidikan tinggi STAKPN bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM,
pendidikan tinggi dalam peningkatan kualitas intelektualitas dan moral dari
SDM merupakan pondasi untuk mewujudkan welfare state.

Implementasi Good University Governance

Dalam implementasinya, prinsip-prinsip atau karakteristik dasar dari


good governance masih relevan untuk diterapkan dalam konsep good
university governance. Dalam penyelenggaraannya, sebuah institusi
perguruan tinggi harus memenuhi prinsip-prinsip partisipasi, orientasi pada
konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, equity
(persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Yang
berbeda adalah nilai dan tujuan yang menjiwainya. Prinsip-prinsip
manajerial tersebut hendaknya diterapkan untuk mendukung fungsi-fungsi
dan tujun dasar pendidikan tinggi. Selain itu, perbedaan lain adalah dalam
hal stakeholder yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dan
perguruan tinggi.
Keistimewaan institusi perguruan tinggi dibanding institusi lain
terletak pada fungsi dasarnya, yaitu dalam hal pendidikan, pengajaran dan
usaha penemuan atau inovasi (riset). Fungsi-fungsi inilah yang kemudian
mendefinisikan peranan perguruan tinggi dalam masyarakat. Wacana yang
kemudian sering mengemuka dalam penyelenggaraan perguruan tinggi
kemudian adalah mengenai academic excellence dan manajemen perguruan
tinggi, termasuk dalam hal pembiayaan. Jawaban dari kedua wacana ini
kemudian bergantung pada bagaimana pemahaman suatu negara dalam
penerapan good university governance.
Good university governance sendiri sebenarnya bukan merupakan
sebuah konsep yang baku dalam penerapannya, kecuali dalam hal prinsip-
prinsip dasar manajerialnya. Penerapan ini dapat berbeda-beda, disesuaikan
dengan kondisi dan paham yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat.
Contohnya, good university governance di Amerika Serikat biasanya
diterapkan dengan memberikan otonomi penuh, baik dalam hal akademik
maupun manajerial dan pembiayaan, terhadap institusi perguruan tinggi
selama masih dapat dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya, pengaruh
pemerintah relatif lemah dan sebaliknya, kewenangan manajer eksekutif dan
dewan suatu perguruan tinggi menjadi kuat. Hal ini berbeda dengan sebagian
besar negara-negara eropa, dimana good university governance diterapkan
dengan pemberian otonomi dalam hal akademik tetapi tidak sepenuhnya
dalam hal manajerial dan pembiayaan, sehingga pengaruh negara dalam hal
manajerial menjadi cukup besar. Beberapa negara seperti Austria bahkan
menanggung penuh biaya pendidikan tinggi sehingga mahasiswa suatu
perguruan tinggi tidak perlu membayar biaya pendidikan. Sementara negara-
negara Asia Tenggara umumnya masih mencari bentuk terbaik dan berkutat
diantara kedua ekstrim tadi.
Nampaknya ada sebuah kesepahaman atau kesetujuan umum
mengenai pentingnya otonomi dalam usaha pencapaian academic excellence
(yaitu dalam hal pengajaran dan riset) untuk perguruan tinggi, akan tetapi hal
yang sama belum berlaku dalam hal manajerial dan pembiayaan. Perbedaan
pandangan ini biasanya terkait dengan pentingnya fungsi perguruan tinggi
bagi masyarakat dan mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Kecenderungan saat ini, tingginya biaya pendidikan tinggi biasanya
dianggap dapat membebani negara dan masyarakat, sehingga perguruan
tinggi dianggap lebih baik berusaha mencari sumber-sumber pembiayaan
mandiri.
C. MODEL GOOD UNIVERSITY GOVERNANCE STAKPN

PERATURAN

STATUTA
PERATURAN AKADEMIK
STAKPN SK Ketua STAKPN Tentang Pembentukan Tim Pemeriksa Terhadap Pelanggaran Disi

Prinsip Good University


Governance STAKPN:

Kepastian Hukum
Transparansi
Berkeadilan
Efektif&efisien
Tanggung Jawab
Akuntabilitas
Tidak Menyalahgunakan

Analisis merupakan pengklasifikasianaturan-


aturan pada STAKPN berdasarkan prinsip Good University Governance.

Anda mungkin juga menyukai