1
Marilang, “Ideologi Welfare State Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas Barang
Tambang,” Jurnal Konstitusi 9, no. 2 (2012): 267.
2
V Hadiyono, “Indonesia Dalam Menjawab Konsep Negara Welfare State Dan
Tantangannya,” Jurnal Hukum Politik Dan Kekuasaan 1, no. 1 (2020): 23–32.
3
Alexander. Petring and Penerjemah Ivan A. Hadar, Lesebuch Der Sozialen Demokratie
3: Sozialstaat Und Soziale Demokratie. Terj. Buku Bacaan Sosial Demokrasi 3: Negara
Kesejahteraan Dan Sosial Demokrasi (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung Kantor Perwakilan
Indonesia, 2013). h. 11
Webster mendefinisikan negara kesejahteraan sebagai negara yang kesejahteraan
warga negaranya didukung oleh pemerintah daripada oleh institusi privat.4
Dalam kata lain, negara kesejahteraan adalah negara yang menjamin
penghidupan pokok untuk individu dan kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya.
Negara kesejahteraan menjadi sebuah konsep negara yang terdiri atas kebijakan
sosial secara kolektif guna menjamin masalah-masalah seperti kesehatan
masyarakat, ketenagakerjaan, jaminan hak bagi warga lanjut usia, dan kemiskinan
yang sumber pembiayaannya berasal dari pajak dan peran serta masyarakat.
Menurut Ramesh Mishra, negara kesejahteraan dititikberatkan pada tanggung
jawab negara dalam memenuhi kebutuhan pokok untuk menunjang kesejahteraan
warganya. Negara dalam melaksanakan tanggung jawabnya juga berhak untuk
membuat kebijakan terkait intervensi pasar, kebijakan ketenagakerjaan, dan
pelayanan kesejahteraan masyarakat. Dalam melaksanakan itu semua, maka
diperlukan suatu lembaga publik yang bertanggung jawab pada negara.5
Negara kesejahteraan (welfare state), mengantarkan pada aksi
perlindungan negara terhadap masyarakat terutama kelompok lemah, seperti orang
miskin, cacat, dan pengangguran. Berkaitan dengan konsep kesejahteraan yang
merupakan revisi konsep dari negara pasif. Konsep negara kesejahteraan, negara
dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial
ekonomi yang dihadapi rakyat. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi
bagi negara intervensionis abad ke-20. Negara justru perlu dan bahkan harus
melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk
menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat.6
Lawrence M. Friedman juga menegaskan bahwa dalam negara
kesejahteraan, negara bertanggung jawab secara luas hingga menjangkau
intervensi pasar maupun terhadap sektor keuangan, telekomunikasi, dan
transportasi. Tanggung jawab negara tersebut tidak sekadar dipandang sebagai hak
politik dan ekonomi, namun juga melingkupi aspek hukum. Dengan ruang lingkup
4
Petring and Penerjemah Ivan A. Hadar. h. 13
5
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategi Pembangunan
Kesejahteraan Sosial Dan Pekerjaan Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2005). h. 25
6
Suharto. h. 27
yang luas, maka sarana hukum dan institusi negara untuk mewujudkan
kesejahteraan negara menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara. Sementara
itu, Jan M. Boeckman mengartikan negara kesejahteraan sebagai integrasi
keadaan ekonomi dengan konsep dasar mengenai keadilan. Dalam hal tersebut,
Boeckman menjelaskan bahwa diperlukannya eksistensi dan fungsi hukum dalam
semua aspek kehidupan sehingga kemudian tujuan akhir dari konsep negara
kesejahteraan haruslah keadilan itu sendiri. Asal muasal lahirnya negara
kesejahteraan berawal dari program bantuan sosial guna membantu masyarakat
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Program ini kemudian
berkembang menjadi program jaminan sosial yang lebih besar lingkupnya.7
Konsep negara kesejahteraan merupakan konsep yang terhitung baru,
namun tidak dengan kebijakan dan bantuan sosial. Sehingga, konsep negara
kesejahteraan dapat dikatakan sebagai perkembangan dari kebijakan dan program
bantuan sosial yang dibuat oleh negara. “Poor Law Act” pada 1601 dikenal
sebagai awal dari kebijakan sosial yang dibuat di Britania Raya dan kemudian
juga berkembang di Amerika Serikat. Secara historis, konsep negara kesejahteraan
muncul sebagai reaksi dari berkembangnya kapitalisme di Eropa. Pembatasan
peran negara dalam kehidupan masyarakatnya semakin memperkuat pengaruh
kapitalisme dalam masyarakat. Pada abad ke-19, negara dianggap harus memiliki
peranan yang terbatas untuk mencegah kesewenang-wenangan raja sehingga
muncul ungkapan bahwa “the least government is the best government”. Maka
dari itu, negara kemudian hanya berperan sebagai penjaga malam
(Nachtwachterstaat) karena negara hanya perlu menjaga pertahanan dan
keamanan masyarakat dan terhadap sisanya masyarakat bebas untuk melakukan
apa saja. Melalui kapitalisme, masyarakat memiliki kebebasan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya tanpa intervensi dari negara. Namun sebaliknya, kapitalisme
malah menyebabkan kemiskinan di masyarakat. Ketimpangan sosial dan ekonomi
mendorong negara untuk terlibat dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dengan
timbulnya kantong-kantong kemiskinan yang semakin meluas, negara kemudian
7
Muhtadi, Negara Hukum Kesejahteraan (Bandar Lampung: Pusat Kajian Konstitusi dan Peraturan
Perundang-Undangan Fakultas Hukum (PKPPU), 2013).
dianggap harus turut ikut andil dalam menjamin agar sumbersumber kemakmuran
tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang dalam rangka menangani dan mengatasi
ketimpangan ekonomi. Konsep negara kesejahteraan semakin pesat berkembang
pasca Perang Dunia Kedua di negara-negara barat yang tergolong sebagai negara
maju. Konsep tersebut kemudian turut berkembang ke negara-negara lainnya
secara universal.8
Perwujudan negara kesejahteraan di Indonesia sejatinya telah termuat
dalam UUD NRI 1945. Dalam Pembukaan UUD NRI 1945, dikatakan bahwa
salah satu tujuan dibentuknya konstitusi yaitu untuk memajukan kesejahteraan
umum. Kemudian, dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945 juga berusaha
mengimplementasikan negara kesejahteraan sebagaimana diatur dalam Bab XIV
tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, terutama dalam Pasal
33 dan Pasal 34, yang pada pokoknya mengatur bahwa negara menguasai dan
mempergunakan seluruh sumber dayanya semata-mata untuk kemakmuran rakyat
serta negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam
pemenuhan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, perwujudan negara
kesejahteraan membutuhkan peranan negara dengan melalui pembentukan
lembaga dan instrumen hukum sebagaimana dipaparkan oleh Lawrence M.
Friedman. Apabila dikaitkan dalam konteks PPHN, maka PPHN merupakan salah
satu contoh dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan karena
haluan negara ditujukan dan dibuat oleh rakyat itu sendiri melalui keterwakilan
dalam lembaga legislatif.9
Mac Iver, mengemukakan fungsi-fungsi dan tujuan negara dalam bukunya
The Modern State: pemeliharaan ketertiban, protection (perlindungan)
concervation (pemeliharaan) dan development (pembangunan). Fungsi negara
adalah fungsi kultural dan penyelenggaraan kesejahteraan umum. Negara yang
hanya berfungsi dan bertujuan untuk memelihara ketertiban dan ketentraman
masyarakat adalah negara penjaga malam (nacht wakerstaat), dan menurut
8
Petring and Penerjemah Ivan A. Hadar, Lesebuch Der Sozialen Demokratie 3:
Sozialstaat Und Soziale Demokratie. Terj. Buku Bacaan Sosial Demokrasi 3: Negara
Kesejahteraan Dan Sosial Demokrasi. h. 16
9
Agus Riwanto, Politik Hukum Negara Kesejahteraan Indonesia Pasca Reformasi
(Sukoharjo: Oase Pustaka, 2018). h. 12
Ferdinant Lassale yang semata-mata bersifat negatif dan mencegah kekacauan,
dan hanya bersumber pada kekuasaan sebagaimana halnya dalam pemerintahan
raja yang mutlak.10
Masalah kesejahteraan rakyat sangat terkait dengan pengaturan
perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat. Hal ini karena aktivitas
ekonomilah yang pada akhirnya menentukan bagaimana model jaminan
kesejahteraan sosial akan diberikan oleh negara, apakah negara berperan secara
total, berperan secara terbatas, atau tidak memiliki peran sama sekali dan
sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Oleh karena itulah ketentuan
tentang perekonomian dan kesejahteraan rakyat diatur dalam konstitusi.
2. Teori Kepastian Hukum
10
Riwanto. 5-6
11
Bernard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak, and Markus Y.Hage, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi (Yogyakarta: GENTA Publising, 2013).
negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.12 Kepastian hukum
menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang
dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu
memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.13
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa
hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya
dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya
dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat
umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan
bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.14
Nurhasanah Ismail15 berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum
dalam peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan
dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri. Persyaratan internal
tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, kejelasan konsep yang digunakan.
Norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku tertentu yang kemudian
disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua, kejelasan hirarki kewenangan
dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini
penting karena menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan
perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberi arahan
pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu
peraturan perundang-undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma hukum
perundang-undangan. Artinya ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan satu subyek tertentu tidak saling
bertentangan antara satu dengan yang lain.
12
Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan, Dan Kemanfaatan Dalam
Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga,” Jurnal Dinamika Hukum 14, no. 2
(2014): 216–26.
13
Wijayanta.
14
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Liberty,
1999).
15
Nurhasanah Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan: Pendekatan Ekonomi Politik
(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2007). h. 39
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang
didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung
melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut
pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,
tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya
membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan
hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan
atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian hukum.16
Pada dasarnya kepastian hukum akan memberikan suatu dasar, apa yang
boleh dan tidak boleh diperbuat oleh masyarakat, serta perlindungan bagi setiap
individu masyrakat dari tindakan otoriter negara. Namun yang tak kalah penting
adalah bahwa nilai kepastian hukum tidak hanya berbentuk pasal-pasal dalam
peraturan perundangudangan, melainkan adanya korelasi antara aturan hukum
yang satu dengan aturan hukum yang lain baik secara hierarkis maupun secara
subtansif. Artinya suatu aturan hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh
tumpang tindih dan bertentangan antara yang umum dengan khusus baik secara
hierarkis maupun subtansi dalam aturan tersebut, sehingga dapat menimbulkan
suatu kepastian hukum dalam implementasinya.17
3. Teori Landreform
Landreform merupakan suatu skim yang dihadirkan oleh pemerintah
dengan tujuan untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani,
terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan
makmur. Pemerintah menetapkan ketentuan luas minimum pemilikan tanah
pertanian dimaksudkan agar setiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup
untuk mencapai taraf penghidupan yang layak. Pemilikan dan penguasaan tanah
16
R. Tony Prayogo, “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materil Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang,” Jurnal
Legislasi Indonesia 13 (2016): 193.
17
R Tony Prayogo, h. 191–202.
mempunyai implikasi ekonomi, dimana pemilikan tanah yang sempit
menyebabkan petani tidak dapat menyadap manfaat ekonomi akibat perluasan
skala ekonomi.
Pengertian yang lain Landreform berarti mengubah dan menyusun kembali
tatanan dan prosedur-prosedur dalam usaha untuk membuat sistem penguasaan
tanah itu konsisten dengan persyaratan-persyaratan secara keseluruhan dari
pembangunan ekonomi. Pandangan ini didasari oleh suatu pemikiran bahwa
tatanan yang berlaku (dalam sistem penguasaan tanah) pada suatu kondisi tertentu
ditinjau dari perspektif pembangunan ekonomi sudah tidak memungkinkan lagi.
Oleh karena itu perlu dilakukan perombakan atau reformasi. Pandangan ini tentu
saja melihat Landreform lebih berorientasi pada aspek ekonomi. Adapun
pengertian Landreform bisa berarti luas bisa berarti sempit. Adi Putra
Parlindungan menyatakan bahwa Landreform bertujuan luas dan di kalangan
dunia internasional Landreform itu bermakna :
1. Perubahan hubungan antara manusia dengan tanah, contohnya ialah
bahwa petani itu berhak mempunyai tanah sendiri dan dikembangkan
agar petani itu mempunyai hak milik.
2. Perubahan dan perlindungan petani penggarap dari tuan tanah atau
penghapusan pertuantanahan misalnya dengan menentukan suatu
bagian tertentu yang harus diberikan kepada tuan tanah dalam bagi
hasil.
3. Larangan memiliki tanah yang luas, disebut juga dengan larangan
latifundia.
4. Larangan absenteeisme atau guntai yang berarti bahwa tidak
diperkenankan orang mempunyai tanah pertanian jika tidak digarap
sendiri, d ia bertempat tinggal di luar lokasi tanah pertanian atau sama
sekali tidak mengerjakan tanah itu dan menyewakannya atau
menyuruh orang lain untuk mengerjakannya.
5. Penetapan suatu ceiling bagi kepemilikan yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya latifundia atau mencegah penumpukan tanah
dengan 1 orang yaitu land lord.
Tujuan Landreform yaitu untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup
para petani terutama petani kecil dan petani penggarap, sebagai landasan atau
persyaratan untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dengan berlandaskan pada tujuan
secara umum di atas, maka secara khusus Landreform di Indonesia diarahkan agar
dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus, yaitu:
1. Tujuan Sosial Ekonomis: a. Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat
dengan memperkuat hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial pada
Hak Milik. b. Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian
guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
2. Tujuan Sosial Politis: a. Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan
pemilikan tanah yang luas. II-7 b. Mengadakan pembagian yang adil atas
sumber-sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud ada
pembagian yang adil pula.
3. Tujuan Mental Psikologis: yaitu Meningkatkan kegairahan kerja bagi para
petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai
pemilikan tanah. Dan memperbaiki hubungan kerja petani dan
penggarapnya.
Jelaslah kiranya bahwa tujuan Landrefom yang diselenggarakan di Indonesia
adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutama
petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. A.P.Parlindungan berpendapat bahwa tujuan
UUPA, sebagai berikut: