Anda di halaman 1dari 23

TANTANGAN PANCASILA DALAM SISTEM ETIKA

OLEH :

Nama : Elsa Surya Putri

NPM : B1A021263

Kelas : C

Dosen Pengampu : Amirizal, Dr., S.H, M.Hum

Asisten Dosen : Nella Artika Sari

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
TAHUN 2021/2022

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugrah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan Makalah ini selain untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen pengajar, juga untuk lebih
memperluas pengetahuan para mahasiswa khususnya bagi penulis.

Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun Makalah ini dengan baik, namun
penulis pun menyadari bahwa kami memiliki akan adanya keterbatasan kami
sebagai manusia biasa. Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-kesalahan
baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi, maka kami memohon maaf dan
kritik serta saran dari dosen pengajar bahkan semua pembaca sangat diharapkan
oleh kami untuk dapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam
pengetahuan kita bersama.

Penulis

Elsa Surya Putri

iii
DAFTAR ISI

Sampul Halaman......................................................................................................... I
Kata Pengantar ............................................................................................................ II
Daftar Isi..................................................................................................................... III
Bab 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
Bab 2 Kajian Teori
2.1. Makna Kemiskinan ..................................................................................... 4
2.2. Makna Sila Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” .................... 5
Bab 4 Pembahasan
3.1. Hasil Wawancara......................................................................................... 9
3.2. Analisis ....................................................................................................... 12
Bab 3 Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan ................................................................................................. 17
4.2. Saran ........................................................................................................... 17
Referensi .................................................................................................................... 19

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Tujuan didirikannya negara Republik Indonesia adalah untuk


mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hal tersebut tertera dalam alinea keempat Pembukaan
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disingkat UUD 1945). Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan
tujuan nasional yaitu (I) mel indungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3)
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Jika mencermati tujuan nasional tersebut sesungguhnya dijiwai oleh sila-


sila Pancasila sebagai dasar negara, khususnya sila kelima dan kedua yaitu
"keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" dan "kemanusiaan yang adil
dan beradab". Sila kelima Pancasila itu mencerminkan bahwa Indonesia
adalah negara kesejahteraan yang bercita-cita untuk mewujudkan
kesejahteraan umum. Di samping itu, di dalam Pancasila itu juga sudah
terkandung jaminan akan hak asasi manusia (HAM) khususnya untuk
diperlakukan secara adil dan manusiawi (beradab) atau yang dikenal dengan
sila kedua Paneasila yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab".
Pengukuhan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi
negara telah membuka peluang penyelenggaraan negara yang sedapat
mungkin memprioritaskan kesejahteraan umum (Riyanto, 2017). Dalam
perjalanan UUD 1945 sejauh ini kesejahteraan umum belum menjadi
kenyataan, masih terlalu ban yak warga negara yang dikategorikan miskin
(Zulfikar, 2020).

Penyelenggara negara menyadari kondisi terse but yang kemudian


mengambil langkah strategis dengan melakukan amandemen UUD 1945
dengan tujuan akhir adalah agar tereipta kesejahteraan umum. Pembangunan
nasional terutama pembangunan bidang hukum dan ekonomi dengan

1
dukungan bidang-bidang lainnya, harus berorientasi kepada kesejahteraan
umum. Hal tersebut harus dimulai dengan memahami dengan baik seman gat
pembangunan nasional itu yang telah tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 baik pembangunan di bidang hukum maupun pembangunan di
bidang ekonomi. Kemudian pemerintah mempertegasnya dalam Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, bahwa
keberhasilan pembangunan nasional dalam mewujudkan visi Indonesia
yang mandiri, maju, adil, dan makmllf perlu didukung oleh (I) komitmen
dari kepemimpinan nasional yang kuat dan demokratis; (2) konsistensi
kebijakan pemerintah; (3) keberpihakan kepada rakyal; dan (4) peran serta
masyarakat dan dunia usaha secara aktif. Dalam konteks diskursus ini,
butir ketiga itulah yang seyogianya menjadi fokus perhatian pemerintah
dalam berbagai kebijakan implementatif demi terwujudnya kesejahteraan
umum (Risladiba, 2021).

Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang


atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat
(Suhariyanto, 2019). Hanya satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas
sehingga bisa mengundang perdebatan panjang. Contohnya, apa yang
dimaksud dengan kehidupan bermartabat. Apa pula yang termasuk hak-hak
dasar ? Apalagi, tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, seperti rasa
aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpatisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Dari definisi itu terlihat bahwa
kemiskinan merupakan masalah multidemensi. Sulit mengukurnya sehingga
perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai. Salah satu konsep
perhitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak Negara, termasuk
Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan
konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan
makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
(Lindawati, 2016).

2
Negara dalam hal ini pemerintah, memiliki peran sentral dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial terutama karena selain Negara
memiliki kewajiban memenuhi hak-hak dasar publik sebagai konstituennya,
Negara juga memiliki peran utama sebagai regulator pembuat kebijakan
publik dan fasilitator penyediaan dan pengelolaan anggaran publik bagi
usaha kesejahteraan sosial (ITANG, 2018). Pemerintah yang responsif
dalam mengelola dan mengorganisasikan kinerjanya diharapkan mampu
menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menjamin pelayanan
kesejahteraan sosial dalam tingkat tertentu bagi warganya termasuk
komunitas di wilayah perbatasan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya
pemerintah juga memiliki keterbatasan sehingga partisipasi masyarakat
sebagai pilar usaha kesejahteraan sosial, yang mencakup Negara pemerintah
daerah, masyarakat madani (civil society), sektor swasta, dan lembaga-
lembaga kemanusiaan internasional dirasakan sangat perlu. Namun
demikian, pemerintah belum dapat sepenuhnya memenuhi kewajibannya
dalam penyediaan pelayanan sosial. Oleh karena itulah maka partisipasi
masyarakat menjadi penting dalam pembangunan khususnya dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana peranan sila Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
terhadap kasus kemiskinan di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peranan sila Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab” terhadap kasus kemiskinan di Indonesia

3
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Makna Kemiskinan

Kemiskinan menjadi masalah yang cukup pelik dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara. Dan masalah ini bukan menjadi masalah baru bagi
bangsa Indonesia. Kemiskinan menurut World Bank adalah kehilangan
kesejahteraan (depivation of well being). Dan kemiskinan memiliki inti
permasalahan yaitu batasan-batasan tentang kesejahteraan itu sendiri.
Bangsa Indonesia sendiri memiliki tujuan memajukan kesejahteraan
umum. Dan tujuan ini juga berbanding lurus dengan pilar utama negara kita,
yaitu Pancasila. Karena dalam Pancasila pada sila kelima berisikan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu setiap pembangunan yang dilakukan pemerintah


Indonesia harus memiliki visi dengan arah seperti ini. Pembangunan
yang dilakukan harus menjadi upaya untuk proses perubahan menuju arah
yang lebih baik. Transformasi ini juga harus berlangsung secara terus
menerus hingga tercapailah keadilan sosial dan kesejahteraan yang dirasakan
setiap manusia di bumi Indonesia. Maka dari itu salah satu indikator utama
keberhasilan pembangunan nasional adalah turunnya tingkat kemiskinan.
Namun indikator ini masih menjadi masalah sulit yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi setiap
negara dimuka bumi, terutama negara bagian ketiga atau lebih terkenal
dengan nama negara sedang berkembang. Indonesia merupakan negara yang
masuk dalam negara sedang berkembang, dan seperti halnya negara
sedang berkembang lainnya (Zahra, 2019).

Kemiskinan masih menjadi permasalahan yang sering dikeluhkan


rakyat dan tentunya dijanjikan pemberantasannya oleh setiap calon-calon
pemimpin dalam pemilihan umum. Karena memang Bapak Ekonomi
yaitu Adam Smith pernah berkata tidak ada masyarakat yang makmur dan
bahagia, jika sebagian besar penduduknya berada dalam kemiskinan dan

4
kesengsaraan. Dan menariknya kemiskinan adalah masalah yang sulit
diselesaikan dan sangat kompleks. Ia dipengaruhi banyak faktor, antara
lain tingkat pendapatan masyarakat, pengangguran, kesehatan, pendidikan,
akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografi, gender, dan lokasi
lingkungan. Karena dipengaruhi banyak faktor, kemiskinan juga dapat
menjadi pangkal masalah dari berbagai masalah pelik di suatu negara,
seperti kekurangan gizi, faktor lingkungan, kriminal dan berbagai yang pada
dasarnya bisa saling menjadi sebab akibat. Kemiskinan banyak dikatakan
bermuara pada lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty) dari
Nurkse.

Ketertinggalan sumberdaya manusia, ketidak sempurnaan pasar, dan


kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya
produktifitas ini juga berdampak akan banyak hal, diantaranya
mengakibatkan rendahnya pendapatan yang didapatkan. Rendahnya
pendapatan ini memiliki dampak menjadikan tabungan dan investasi
berkurang. Investasi yang berkurang ini berimplikasi kepada akumulasi
modal yang tersendat. Sehingga menyebabkan lapangan kerja yang
menurun. Dan ini akan terus berputar hingga lingkaran kemiskinan ini
terus berlanjut.

2.2 Makna Sila Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan beradab”


Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan
perbuatan manusia yang di dasarkan kepada potensi budi nurani manusia
dalam hubungan dengan norma – norma kebudayaan pada umumnya. Dalam
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab adalah nilai yang merupakan
refleksi dari martabat manusia yang memiliki potensi kultural. Potensi ini di
hayati sebagai hal yang bersilat umum dan di punyai oleh semua bangsa.
Menurut sila kemanusiaan yang adil dan beradab setip manusia Indonesia
adalah bagian dari warga dunia yang meyakini adanya prinsip persamaan
harkat dan martabat sebagai hamba Tuhan. Dalam sila kemanusiaan yang adil
dan beradab ini tercakup nilai – nilai yang menyangkut hak dan kewajiban
asasi warga negara manusia Indonesia. Setiap warga negara Jamin hak serta

5
kebebasannya yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan
masyarakat dan lingkungan (Asyafiq, (2018).

Menurut Nurdiaman dan Setijo, Kemanusiaan yang adil dan beradab


mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia diakui dan diperlakukan
sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku mahluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa, yang sama derajatnya, sama hak dan kewajibannya, tanpa
membeda-bedakan agama, suku, ras, dan keturunan. NKRI merupakan negara
yang menjungjung tinggi hak asasi manusia (HAM), negara yang memiliki
hukum yang adil dan negara berbudaya yang beradab. Negara ingin
menerapkan hukum secara adl berdasarkan supremasi hukum serta ingin
mengusahakan pemerintah yang bersih dan berwibawa, di samping
mengembangkan budaya IPTEK berdasarkan adab cipta, karsa, dan rasa serta
karya yang berguna bagi nusa dan bangsa, tanpa melahirkan primordial dalam
budaya.

Keanekaragaman masyarakat Indonesia selain dapat menjadi kebanggaan


namun dapat pula menjadi suatu ancaman serius bagi bangsa Indonesia.
Adanya keanekaragaman memungkinkan suatu komunitas masyarakat dapat
memilih untuk hidup berkelompok dengan orang lain yang mungkin saja
berbeda dengan ras, suku, budaya atau bahasa yang dimiliki. Namun adanya
keberagaman ini kondusif pula menjadikan kelompok-kelompok tersebut
saling membeci berdasarkan perbedaan yang ada di antara mereka.

Menghadapi tantangan ke depan, bangsa Indonesia harus waspada dan


siap dalam menghadapi era globalisasi seperti di bidang ekonomi, kemudian
ancaman bahaya laten terorisme, komunisme dan fundamentalisme. Hal-hal
tersebut menjadi suatu tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia, yang
bilamana kita sebagai suatu bangsa tidak bisa bersatu alias dalam kondisi
terpecah belah, maka besar kemungkinan bangsa kita akan gagal dalam
menghadapi tantangan-tantangan tersebut (Dedihasriadi, 2020)

6
Sila kedua yakni “kemanusiaan yang adil dan beradab” sangatlah penting
pada situasi seperti ini. Bila masyarakat Indonesia menerapkan sila kedua
secara baik, maka Indonesia mempunyai kemungkinan yang kokoh dalam
menghadapi tantangan-tantangan dunia pada saat ini. Jadi sila kedua dapat
dikatakan sebagai salah satu jaring pengaman atas permasalahan yang
ditimbulkan arus globalisasi.

Pada saat ini masih penerapan sila kedua dari Pancasila di negara kita
masih sangat kurang Hal tersebut tercermin dari masih banyaknya kejahatan
di bidang hak azasi manusia (HAM) dan suasana yang berbau SARA, seperti
kampanye dari kubu-kubu tertentu yang menggunakan isu-isu SARA.
Kasus pelanggaran HAM merupakan hal yang sangat erat dengan
penyelewengan sila kedua dari Pancasila. Kalau kita simak, kasus
pelanggaran HAM berdasarkan sifatnya sebenarnya dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu kasus pelanggaran HAM berat seperti genosida, pembunuhan
sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, dan
perbudakan, sementara kasus pelanggaran HAM biasa antara lain berupa
pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik, menghalangi orang dalam
mengekspresikan pendapatnya, dan menghilangkan nyawa orang lain.
Beberapa contoh kasus-kasus besar pelanggaran HAM dan isu SARA,
antara lain kasus peristiwa G30S/PKI tahun 1965, tragedi 1998, bom Bali,
kasus Salim Kancil, dan kerusuhan di kota Tanjungbalai, serta masih banyak
lagi kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang sampai saat ini masih marak
terjadi.

Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”


mengandung pengertian bahwa manusia Indonesia seharusnya diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku mahluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa, yang memliki derajat yang sama, mempunyai hak
dan kewajiban yang sama, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, dan
keturunan (Anggono, 2021).

7
Sila kedua dibutuhkan guna menangkal berbagai ancaman kemanusiaan
serta untuk menegakkan nilai-nilai universal kemanusiaan di negara ini.
Selain itu sila ini juga harus mampu menjamin hukum yang adil bagi
masyarakat secara keseluruhan, utamanya demi penegakan HAM yang
bermartabat.

8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.Hasil Wawancara

Didi Mulyadi adalah pedagang berusia 37 tahun , berlatar pendidikan


dengan tamatan SMP, informan berprofesi sebagai pedagang kaki lima
selama 3 tahun. Sebelumnya ia bekerja sebagai penjual barang kredit rumah
tangga, karena kondisi ekonominya kian menurun ditambah jumlah-jumlah
barang yang kian melonjak, ia pun beralih profesi menjadi pedagang kaki
lima.

Didi Mulyadi adalah pedagang makanan yang mempunyai istri dan 3


orang anak. Anaknya 2 orang sedang menempuh pendidikan di pesantren.
Informan adalah penduduk yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima di
kawasan Kel. Bantargebang Kota Bekasi dengan memiliki rumah sendiri
yang tidak jauh dari tempat Ia berdagang. Dengan pendapatan perhari Rp.
400.000 menurun yang sebelum adanya pandemic ia biasa memperoleh
pendapatan hingga Rp. 1.000.000,- /harinya. Dengan anaknya yang duduk
dibangku sekolah semua, membuat ia mencari penghasilan lain dengan
menjual anak panah.

Gambar 1. Wawancara dengan Informan

Adapun ketika peneliti memepertanyakan terkait pendapatannya


selama pandemi, informan menjawab:

9
“Penghasilan saya menurun semenjak pandemi covid-19, perhari
cuma Rp. 400.000.- perhari, sebelum pandemi mencapai Rp. 1.000.000,-..
Rumah saya di jalan Narogong tidak jauh dari sini rumah kontrakan rumah
batu. Sudah 3 tahun saya menjual di sini jadi sudah lama, anak saya 2
orang sedag di pesantren, dan satunya lagi masih kecil. Maka dari itu saya
menambah penghasilan pada saat pandemi ini dengan menjual panah ”.

Informan adalah salah satu pedagang yang berdagang di arus Kel.


Bantargebang, Kota Bekasi. Informan berasal dari Jawa dan asli suku
Sunda. Ketika pandemi, informan mengeluh kehilangan pelanggan yang
biasanya adalah anak-anak sekolah.

Menurut Informan pendapatannya menurun dikarenakan pandemi,


berikut penuturannya:

“Pandemi sangat mempengaruhi pendapatan saya , yang biasanya


saya mendapat Rp.1.000.000 sekarang menjadi Rp. 400.000”

Hal ini membuat informan kurang bisa memenuhi kebutuhan


hidupnya, seperti penuturannya:

“Jelas sangat kurang apalagi anak saya 2 orang sedang di pesantren,


2 nya lagi sedang duduk di bangku sekolah, yang 1 lagi masih kecil, untung
saya ada sedikit sampingan berjulan anak panah online, ya kalau tidak
berjualan, tidak berpenghasilan, ya berserah diri aja sama Allah”.

Kemudian peneliti juga menanyakan kepada informan terkait kendala


yang dirasakan informan selama pandemi, informan menjawab:

“Ya pelanggan tidak ada, biasanya anak-anak sekolah, atau ibu-ibu


disekitar sekolahan”.

Dengan adanya kebijakan pemerintah yang memberlakukan social


distancing, sangat mempengaruhi dagangannya seperti penuturannya:

“Peminatnya menjadi sedikit, ya terkadang ada pelanggan yang tidak


mau membeli dagangan saya jika saya tidak menggunakan masker”.

10
Walaupun ia memiliki pelanggan tetap, hal itu saja tak dapat membuat
kestabilan pendapatannya, berikut penuturannya:

“Ada, tetapi pandemi kan menimpa semua orang, jadi mereka


mengurangi pembelian yang baisanya setiap hari jadi seminggu sekali”.

Kemudian peneliti pun menayakan dengan situasi sekarang ini adakah


niatnya untuk beralih profesi, informan menjawab:

“Saya masih mencoba untuk berdagang ini saja, karena saya sudah
merasakan berdagang sebelum adanya pandemi, jadi sudah nyaman. Saya
pun mau beralih profesi tapi keadannya sekarang begini”.

Peneliti juga menanyakan apakah kebutuhannya terpenuhi dengan


penghasilan sekarang dan hal apa yang dapat dilakukannya, informan
menjawab:

“Tidak, hanya untuk makan di rumah saja. Yaa menghemat


pengeluaran, banyak biaya yang di pangkas. Biasanya saya mengurangi
makanan yg didagangkan”.

Peneliti juga menanyakan bagaimana status tempat tinggal dan


informan menjawab:

“Saya, tinggal dirumah milik sendiri dan sisanya memikirkan biaya


uang listrik dan sebagainya”.

Peneliti juga menanyakan berapa biaya yang dikeluarkan dalam


sebulannya, informan menjawab:

“Tidak menentu, paling banyak untuk mengirimi anak saya yang


sedang mondok di pesantren”

Peneliti juga menanyakan apakah ada pajak retribusi yang dipungut


pemerintah dan berapa pajak yang harus dibayar, informan menjawab:

“Tidak ada, ahanya saja saya tiap harinya harus membayar uang
keamanan biasa dikutip oleh warga sekitar”

11
Peneliti juga menanyakan dari dari jam berapa mulai berdagang dan
menutup aktivitas dagangannya, informan menjawab:

“Saya keluar dari siang, sampai sore terkadang sudah habis, kalau
sedang laris jam 3 juga saya sudah pulang”.

Peneliti juga menanyakan bagaimana keadaan pembeli dagangannya,


informan menjawab:

“Mereka terkadang memakai masker, ada beberapa juga yang tidak,


kemudian beberapa pembeli mengingatkan pedagang untuk memakai
masker”.

3.2. Analisis
Pedagang kaki lima adalah pelaku usaha yang melakukan usaha
perdagangan dengan menggunakan sarana bergerak maupun tidak bergerak,
menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, jalan dan
bangunan milik pemerintah atau swasta yang bersifat sementara atau tidak
menetap. Ukuran-ukuran kesejahteraan sosial adalah dengan melihat
kualitas hidup dari segi materi seperti keadaan rumah, sandang, pangan, dan
papan, dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik seperti kesehatan tubuh,
lingkungan alam. Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual seperti
moral keserasian, penyesuaian dan sebagainya. Faktor yang menyebabkan
para pedagang kaki lima mempertahankan usahanya meliputi kebutuhan
hidup baik sandang, pangan, dan papan, pendidikan yang rendah,
keterampilan yang tidak memenuhi, kemudahan dalam memasuki sektor
informal, dan memiliki modal yang kecil.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Noviyuanda (2018)
alasan pedagang kaki lima bertahan adalah karena faktor ekonomi, dalam
hal ini untuk mencari rezeki, memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan
keluarga, sehingga dapat mencukupi biaya pendidikan anak-anaknya, biaya
kontrakan, biaya kesehatan, dan biaya tak terduga selama mereka tinggal.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kondisi sosial ekonomi pedagang kaki
lima terhadap Kebijakan Pemerintah terkait adanya social distancing,

12
menyebabkan penurunan jumlah pelanggan sehingga pendapatan pedagang
kaki lima mengalami penurunan setelah adanya pandemi covid-19 disertai
kebijakan pemerintah yaitu social distancing. Adapun pedagang kaki
limayang mengatakan “setuju” terhadap kebijakan Pemerintah, mereka
mengatakan hanya bisa mengikuti apa yang di terapkan Pemerintah karena
tidak ada pilihan lain meskipun pendapatan mereka mengalami penurunan.

Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan antara kelompok masyarakat


berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah serta
tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis
kemiskinan merupakan dua masalah besar dibanyak negara berkembang,
tidak terkecuali Indonesia. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan ,
pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat
disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun
sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan
evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah
mapan.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya


meliputi: Pertama, gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup
kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar. Kedua, gambaran tentang kebutuhan
sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan
untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan
informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena
hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi
pada bidang ekonomi. Ketiga, gambaran tentang kurangnya penghasilan dan
kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda
melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia..

13
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum
sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara
operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari
pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut
tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di
tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan
makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh
data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang
dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem
statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya
keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga. Strategi
pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan
merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara
sedang berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi
tersebut, pinjaman luar negeri telah memainkan peran besar sebagai sumber
pembiayaan. Padahal, sering terjadi adanya ketidaksesuaian antara paket
pembangunan yang dianjurkan donor dengan kebutuhan riil masyarakat.
Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak pro kaum miskin, pengelolaan
sumber daya alam kurang hati-hati dan tidak bertanggung jawab,
perencanaan pembangunan bersifat top-down, pelaksanaan program
berorientasi keproyekan, misleading industrialisasi, liberalisasi
perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang memadai untuk melindungi
kemungkinan terpinggirkannya kelompok-kelompok miskin di dalam
masyarakat.

Dengan perubahan struktur sebagai langkah operasional dan manusia


sebagai sasaran, maka strategi penanggulangan kemiskinan yang paling
tepat adalah pemberdayaan masyarakat. Makna pemberdayaan masyarakat
adalah suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dan yang tersedia di lingkungan
sekitarnya untuk meningkatkan kesejahteraan. Penanggulangan kemiskinan
melalui strategi pemberdayaan secara terfokus sekaligus dapat menghindari
penggunaan dana pemerintah untuk kegiatan yang tidak produktif. Sasaran

14
yang menjadi focus penanggulangan kemiskinan melalui strategi
pemberdayaan adalah penduduk miskin yang berusia produktif, yaitu
berkisar antara 15 tahun hingga 55 tahun.Penduduk miskin pada kisaran ini
yang sehat sacera jasmani maupun rohani merupakan sumber daya manusia
yang memiliki potensi besar untuk menjadi pelaku aktif dalam
pembangunan. Disamping itu, penduduk berusia produktif juga merupakan
individu yang berada pada fase berumah tangga,sehingga apabila tidak
ditangani dengan baik, dapat menciptakan penduduk miskin baru (Zahra,
2019).

Sila ke-2 Pancasila merupakan cerminan watak bangsa Indonesia


secara intrapersonal (individu masing-masing) yang diterapkan secara lebih
luas dalam praktik kehidupan bangsa, termasuk oleh para penyelenggara
negara. Secara umum nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keadaban itu
saya yakin masih melekat dalam benak bangsa Indonesia. Meskipun fakta di
lapangan, ketiga unsur di atas sulit untuk diterapkan sepenuhnya. Manusia
Indonesia banyak yang sudah kehilangan kemanusiaannya, diwakili dengan
banyaknya angka kejahatan kejam yang terjadi. Hakim dan jaksa banyak
yang berpihak pada mereka yang bersedia membayar, nilai-nilai kesopanan
dan akhlak pun banyak yang mulai memudar.

Karena sangat terkait dengan masalah watak individu masing-masing


orang, maka terlalu banyak contoh kasus untuk menjelaskan hal ini.
Barangkali, yang paling banyak disorot adalah masalah penegakan hukum
yang lamban, serta hakim dan jaksa yang acapkali terlibat kasus suap-
menyuap, hingga keputusannya cenderung tidak adil dan terkesan tebang
pilih.

Sedangkan dampak dari kemiskinan sangan bertalian erat dengan sila


kemanusiaan yang adil dan beradab sebab kemiskinan bukan hanya
memberikan dampak pada ekonomi semata, melainkan pada bidang lainnya
seperti pendidikan, sosial budaya, politik, dan lain sebagainya yang tentunya
memberikan dampak pula pada pribadi individunya yang mengalami
mesalah kemiskinan ataupun yang berada di lingkungan tersebut.

15
16
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan

Kemiskinan bukan lah permasalahan yang baru bagi negara Indonesia


karena kemiskinan merupakan salah satu permasalah yang dihadapi oleh
hampir seluruh negara berkembang serta dampaknya bukan hanya pada satu
bidang (bidang ekonomi). Kemiskinan merupakan masalah yang serius dan
sudah seharusnya ditanggulangi secara bersama-sama. Dalam Pancasila itu
sudah terkandung jaminan akan hak asasi manusia (HAM) khususnya
untuk diperlakukan secara adil dan manusiawi (beradab) atau yang dikenal
dengan sila kedua Paneasila yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab".
Pengukuhan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi
negara telah membuka peluang penyelenggaraan negara yang sedapat
mungkin memprioritaskan kesejahteraan umum utamanya dalam hal
memerangi kemiskinan.

4.2. Saran
1. Disarankan agar pedagang kaki lima dapat beradaptasi dengan
kondisi sekarang ditengah pandemic covid-19 ini, tetap mematuhi
protokol kesehatan seperti menjaga jarak dan memakai masker.
2. Disarankan kepada keluarga pedagang kaki lima agar dapat
membantu meringankan pedagang kaki lima dalam hal ini mencari
nafkah di masa pandemi covid-19 ini dengan sama-sama bekerja
dan tidak bertumpu seluruhnya kepada pedagang kaki lima.
3. Pedagang kaki lima juga harus melakukan evaluasi penjualan
setiap bulannya. Evaluasi berguna untuk melihat sejauh mana
penjualan yang dilakukan dan dapat melakukan perubahan-
perubahan dalam strategi.
4. Perlu adanya koordinasi kebijakan pengentasan kemiskinan antara
pusat dan daerah, mengingat masih tingginya tingkat kemiskinan

17
DAFTAR PUSTAKA

Riyanto, A. (2017). PANCASILA DASAR NEGARA INDONESIA. Jurnal


Hukum & Pembangunan, 37(3), 457.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol37.no3.151

Zulfikar, I., & Al-Barbasy, M. M. (2020). PANCASILA SEBAGAI DARUL


AHDI WA SYAHADAH DALAM HIMPITAN AMBIGUITAS POLITIK
DAN URGENSI USWAH POLITIK. Jurnal Sosial Dan Humaniora, 4(8).
https://doi.org/10.47313/ppl.v4i8.696

Risladiba, R., & Ramdhani, S. (2021). PANCASILA DAN


MULTIKULTURALISME. Edueksos : Jurnal Pendidikan Sosial &
Ekonomi, 10(1). https://doi.org/10.24235/edueksos.v10i1.8402

Triwahyuningsih, S., & Yusti, H. (2020). MASIFIKASI PENDIDIKAN


PANCASILA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TERORISME DI
INDONESIA. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL, 4(2), 221.
https://doi.org/10.33474/multikultural.v4i2.8046

Lindawati, L., & Saptanto, S. (2016). ANALISIS TINGKAT KEMISKINAN


DAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN TINGKAT
PENGELUARAN KONSUMSI PADA RUMAH TANGGA
PEMBUDIDAYA IKAN (Studi Kasus Di Desa Sumur Gintung, Kabupaten
Subang, Jawa Barat). Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 9(2),
195. https://doi.org/10.15578/jsekp.v9i2.1221

ITANG, I. (2018). PENYEBAB KEMISKINAN DAN CARA


MENANGGULANGINYA. ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi
Islam, 4(1). https://doi.org/10.32678/ijei.v4i1.8

Zahra, A., Fatin A, A., Afuwu, H., & Auliyah R, R. (2019). Struktur Kemiskinan
Indonesia: Berapa Besar Pengaruh Kesehatan, Pendidikan dan Kelayakan
Hunian? Jurnal Inovasi Ekonomi, 4(02).
https://doi.org/10.22219/jiko.v4i2.9856

Asyafiq, S. (2018). PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM


MEMBANGUN WARGA NEGARA GLOBAL. Citizenship Jurnal
Pancasila Dan Kewarganegaraan, 6(1), 41.
https://doi.org/10.25273/citizenship.v6i1.1880

Dedihasriadi, L. O., & Nurcahyo, E. (2020). Pancasila Sebagai Volkgeist:


Pedoman Penegak Hukum dalam Mewujudkan Integritas Diri dan
Keadilan. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law
Journal), 9(1), 142. https://doi.org/10.24843/jmhu.2020.v09.i01.p10

18
Anggono, B. D., & Damaitu, E. R. (2021). PENGUATAN NILAI-NILAI
PANCASILA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL MENUJU
INDONESIA EMAS. Pancasila: Jurnal Keindonesiaan, 34–44.
https://doi.org/10.52738/pjk.v1i1.22

19

Anda mungkin juga menyukai