Anda di halaman 1dari 40

KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI KEPUTUSAN-KEPUTUSAN

YANG MENGANDUNG KONSEKUENSI MORAL


Tugas Ini Ditujukan untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Tugas Mata
Kuliah Etika Administrasi Publik
Dosen Pengampu: Titi Stiawati, S.Sos., M.Si.

Disusun Oleh KELOMPOK 1:


Danang Prabowo (6661160070)
Elsa Trisniati (6661160067)
Fika Nur Fidiyanti (6661160028)
Gladys Anggriana (6661160066)
M. Dicky Somantri (6661160068)
Rangga Dwi Setya (6661160057)
Sofiatul Fitri (6661160078)
Suci Pebrianti (6661160016)

Kelas 4-B

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang karena anugerah dari-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang "KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI
KEPUTUSAN-KEPUTUSAN YANG MENGANDUNG KONSEKUENSI
MORAL" ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW. yang telah menunjukkan
kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan
menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.

Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi


tugas mata kuliah etika administrasi publik dengan judul "KEBIJAKAN PUBLIK
SEBAGAI KEPUTUSAN-KEPUTUSAN YANG MENGANDUNG
KONSEKUENSI MORAL". Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah
ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa


bermanfaat dan jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar
kedepannya dapat diperbaiki.

Serang, 22 April 2018

Penyusun

i
KETERANGAN STATUS ANGGOTA KELOMPOK DALAM PRESENTASI
1. Moderator dan Notulen : Elsa Trisniati
2. Penyaji Materi 1 : Gladys Anggriana
3. Penyaji Materi 2 : Rangga Dwi Setya
4. Penyaji Materi 3 : Suci Pebrianti
5. Penyaji Materi 4 : Fika
6. Penyaji Materi 5 : Danang Prabowo
7. Penyaji Materi 6 : Sofiatul Fitri
8. Penyaji Materi 7 : M. Dicky Somantri

ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i
KETERANGAN STATUS ANGGOTA KELOMPOK DALAM PRESENTASI ............. ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
BAB II................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 2
2.1 KEADILAN SOSIAL ......................................................................................... 2
2.2 PARTISIPASI DAN ASPIRASI WARGA NEGARA ....................................... 4
2.3 MASALAH-MASALAH LINGKUNGAN ........................................................ 9
2.4 PELAYANAN UMUM .................................................................................... 13
2.5 MORAL INDIVIDU ATAU MORAL KELOMPOK ..................................... 19
2.6 PERTANGGUNGJAWABAN ADMINISTRASI............................................ 26
2.7 ANALISIS ETIS ............................................................................................... 30
BAB III ............................................................................................................................. 35
PENUTUP ........................................................................................................................ 35
3.1 KESIMPULAN ................................................................................................. 35
3.2 SARAN ............................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 36

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Administrasi Publik (Inggris:Public Administration) atau
Administrasi Negara adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari
tiga elemen penting kehidupan bernegara yang meliputi lembaga legislatif,
yudikatif, dan eksekutif serta hal- hal yang berkaitan dengan publik yang
meliputi kebijakan publik, manajemen publik, administrasi pembangunan,
tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara.
Administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana
pengelolaan suatu organisasi publik, termasuk mengenai birokrasi;
penyusunan, pengimplementasian, dan pengevaluasian kebijakan publik;
administrasi pembangunan; kepemerintahan daerah; dan good governance.
Memahami pola perilaku aparat-aparat negara dalam
menerjemahkan kepentingan-kepentingan rakyat. Aktivitas-aktivitas
pokok yang ditelaah untuk maksud tersebut terangkum dalam pengertian
kebijakan publik. Kebijakan publik merupakan suatu kajian penting di
dalam Administrasi Publik karena kebijakan publik merupakan salah satu
materi pokok pada bahasan ilmu Administrasi Publik. Kebijakan publik
merupakan serangkaian kegiatan yang mengatur suatu hal yang menjadi
permasalahan di masyarakat banyak atau publik. Kebijakan publik
biasanya dikeluarkan oleh pihak legislatif atau pun eksekutif.
Banyak kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh para
pembuat kebijakan di Indonesia, namun apakah kebijakan-kebijakan
tersebut adalah keputusan-keputusan yang mengandung konsekuensi
moral? Pada makalah ini akan dibahas secara lebih rinci ukuran-ukuran
normatif yang terdapat dalam interaksi antara penguasa, penyelenggara,
atau administrator negara dengan rakyat atau masyarakat umum, serta
bagaimana seharusnya kebijakan-kebijakan publik itu dilaksanakan.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KEADILAN SOSIAL
Tolak ukur keberhasilan pranata publik yang harus diperhatikan
setelah bangsa kita mengalami peningkatan kemakmuran ekonomis yang
cukup besar ialah terwujudnya keadilan sosial. Keadilan sosial merujuk
kepada masyarakat (society) atau negara yang dapat berfungsi sebagai
subjek maupun objek. Mewajibkan negara untuk mewujudkan
kesejahteraan umum serta membagi beban dan manfaatnya kepada para
warga yang lemah, dan di lain pihak mewajibkan para warga untuk
membantu masyarakat atau negara guna mencapai tujuannya. 1 Jika
ditelusuri dari awal nilai keadilan sebermula muncul dari gagasan tentang
negara kesejahteraan (welfare state). Asas pokok negara kesejahteraan
ialah: (1) Setiap warga negara, semata-mata karena dia manusia, berhak
atas kesejahteraan dasar atau taraf hidup minimum; (2) Negara merupakan
persatuan orang-orang yang bertanggung jawab atas taraf hidup minimum
semua warganya; dan (3) penempatan pekerja secara penuh (full
employment) merupakan puncak tujuan sosial yang harus didukung oleh
kebijakan pemerintah. Bisa disimpulkan bahwa sistem negara
kesejahteraan ingin menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas
tertinggi.
Negara kesejahteraan juga merupakan cita-cita bangsa Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa pemerintah ditugaskan untuk
“memajukan kesejahteraan umum” serta “mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Di samping itu pasal-pasal UUD 1945
banyak menuangkan ketentuan-ketentuan mengenai pentingnya
kesejahteraan bagi setiap warga negara, antara lain: pasar 27 ayat 1 dan 2
(mengenai kedudukan dan hak warga negara); pasal 30 (mengenai
1
Untuk telaah filosofis mengenai pokok-masalah ini, lihat misalnya Kirdi Dipoyudo, Keadilan
Sosial, CV. Rajawali, 1985.

2
pertahanan negara); pasal 31 ayat 1 dan 2 (mengenai pendidikan); pasal 33
ayat 1,2, dan 3 (mengenai kesejahteraan sosial); pasal 34 (mengenai fakir
miskin dan anak-anak terlantar). Selanjutnya butir-butir tentang
kesejahteraan rakyat juga dapat dijumpai dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara yang menjadi salah satu Ketetapan MPR pada setiap periode
pemilihan umum, khususnya yang menyangkut demokrasi ekonomi.
Jelaslah bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang menuju
cita-cita kesejahteraan atau keadilan sosial merupakan kewajiban bagi
seluruh aparat negara di setiap jenjang.
Sesuai dengan prinsip keadilan distributif, keadilan sosial
mengandaikan adanya distribusi barang dan sumber-sumber daya secara
adil (the justice of distributing goods and resources). Kebijakan-kebijakan
publik harus menjamin pemerataan sumber-sumber daya yang terdapat di
suatu negara, dan yang lebih penting ialah bahwa ia harus menguntungkan
kelompok atau kelas yang paling tak beruntung yaitu kaum fakir dan
miskin. Para pengambil keputusan perlu menyadari bahwa di
tengah bergeloranya pembangunan yang dilancarkan ternyata masih
terdapat kelompok-kelompok yang sangat tertinggal dalam
mengembangkan dirinya, dan lebih celaka bagi mereka ini tidak punya
kemampuan untuk meneriakkan derita dan penindasan yang mereka alami.
Mereka adalah para penghuni permukiman kumuh, buruh tani, buruh
nelayan, dan para pemulung di kota-kota yang semakin sesak. Hardiman
dan Midgley, misalnya, menunjukkan tiga alur pokok dalam mengukur
kemiskinan di negara-negara berkembang.2 Pertama, tingkat kemiskinan
dapat diukur dari konsep garis-garis kemiskinan (poverty line). Standard
subsistensi digunakan sebagai patokan untuk menentukan taraf hidup
masyarakat. Sekalipun di negara kita ukuran kemiskinan absolute mungkin
tidak relevan lagi, bukan berarti bahwa tidak ada lagi kemiskinan. Kedua,

2
Margaret Hardiman & James Midgley, The Social Dimensions of Development, John Wiley &
Sons, 1982. Lihat juga Masri Singarimbun, Kemiskinan: Kasus Sariharjo, 1980; Dorodjatun
Kuntjoro Jakti, Kemiskinan di Indonesia, Yayasan Obor, 1986; D.H. Penny, Kemiskinan, Peranan
Sistem Pasar, UI Press, 1990.

3
ukuran yang berasal dari indicator taraf hidup (indicators of level of living)
yang lebih banyak menggunakan ukuran-ukuran sekunder. Inferensi
mengenai kemiskinan diambil dari angka Produk Domestik Bruto atau
berbagai macam development inder lainnya, dan juga welfare index
misalnya tingkat layanan medis, standard nutrisi, kondisi rumah dan
penghasilan, dan sebagainya. Ketiga, kemiskinan dinilai dari ukuran-
ukuran ketimpangan sosial (measures of inequality).
Teknik-teknik yang digunakan meliputi statistik deskriptif untuk
mengukur dan menunjukkan tingkat ketimpangan penghasilan serta
ketimpangan-ketimpangan lain dalam masyarakat. Di antara ukuran-
ukuran yang terkenal adalah kurva Lorentz dan koefisien Gini yang kedua-
duanya dilontarkan oleh ahli-ahli statistic. Kurva Lorentz merupakan
representase grafis dari persentase kumulatif sebaran penghasilan dalam
masyarakat sedangkan koefisien Gini merupakan indeks satuan yang
didasarkan pada bentuk distribusi tadi. Selain itu terdapat pula teori
stratifikasi atau marjinalitas dari para sosiolog.
Apapun ukurannya, yang jelas para pengambil keputusan harus
menggunakan penilaian-penilaian objektif dalam mengatasi kemiskinan di
negara kita, bukan hanya didasarkan pada kepentingan pribadi (vested
interest) elit penguasa. Bagaimanapun, kita tak dapat mengelak dari fakta
bahwa pembangunan yang telah kita upayakan dengan gigih ternyata tidak
dapat dinikmati oleh seluruh komponen masyarakat secara adil. Lebih
parah lagi, kelompok-kelompok yang seharusnya mendapat uluran tangan
dari penguasa lebih sering justru semakin tersingkir dan semakin
kehilangan pegangan atau modal yang selama ini mereka miliki.

2.2 PARTISIPASI DAN ASPIRASI WARGA NEGARA


Dalam proses pembangunan di segala sektor, aparat negara
acapkali mengambil kebijakan-kebijakan yang terwujudnya dalam
pelbagai keputusan yang mengikat masyarakat umum dengan tujuan demi
tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Keputusan-keputusan

4
semacam itu tidak jarang dapat membuka kemungkinan dilanggarnya hak-
hak asasi warga negara akibat adanya pendirian sementara pejabat yang
tidak rasioanl atau adanya program-program yang tidak
mempertimbangkan pendapat rakyat kecil. Bukan rahasia lagi bahwa di
negara kita ini pertimbangan-pertimbangan ekonomis, stabilitas, dan
security sering mengalahkan pertimbangan-pertimbangan mengenai
aspirasi masyarakat dan hak asasi mereka sebagai warga negara.
Sesungguhnya, sudah saatnya bagi kita untuk lebuh memperhatikan
kehendak rakyat yang sebenarnya sekaligus untuk mendidik mereka agar
terlihat dalam terlibat dalam gerak pembangunan dengan sepenuh hati.
Rakyat sudah semakin pintar dan tidak mudah lagi untuk dijejali dengan
janji-janji kosong atau dipaksa untuk ikut serta dalam program-program
yang bertentangan dengan cita-cita mereka. Biasanya para pejabat publik
sudah merasa melaksanakan kewajibannya untuk merangsang partisipasi
masyarakat jika para warga negara sudah mengikuti pemungutan suara
dengan tertib, ikut menghadiri rapat-rapat umum, atau bersikap
kompromis terhadap program-program yang direncanakan. Pendapat
seperti ini keliru karean tidak menunjukan hakikat dari partisipasi masssa
itu sendiri. Bentuk partisipasi masyarakat sebenarnya sangat beragam-
ragam, bukan sekedar berkumpulnya masyarakat di satu tempat tertentu
untuk mendengarkan penjelasan mengenai program-p rogram yang
dirancang dari atas. Secara umum corak partisipasi warga negara dapat
dibedakan menjadi empat macam yaitu sebagai berikut:
1. Partisipasi dalam pemilihan (electoral participation)
Ini merupakan corak partisipasi yang paling mudah dilihat karena
biasanya bersifat rasional. Aktivitas partisipasi massa dalam hal ini
ditunjukan untuk memilih wakil-wakil rakyat, mengangkat pemimpin,
atau menerapkan ideologi pembangunan tertentu. Oleh sebab itu,
aktivitas yang dilakukan antara lain kegiatan-kegiatan dalam partai,
kampanye, mengisi kotak suara, propaganda, atau menyumbangkan
uang pribadi untuk kegiatan fraksi tertentu. Di samping itu partisipasi

5
dapat mengambil bentuk keikutsertaan warga negara dalam voting
melalui koran, selebaran, atau media massa lainnya.
2. Partisipasi kelompok
Warga Negara bergabung dalam kelompok-kelompok tertentu
untuk menyuarakan aspirasi mereka. Kelompok ini dapat dimanfaatkan
sebagai sarana penengah (intermidiary medium) antara pejabat dan
waga negara. Ia sekaligus bisa berfungsi sebagai saluran untuk
mengomunisasikan kepentingan warga negara dengan pejabat-pejabat
yang berkompeten.
3. Kontak antara Warga Negara dan Pemerintah (citizen government
contacting).
Proses komunikasi dapat terjalin antara warga negara dengan
pemerintahanya dengan cara menulis surat, menelpon, atau pertemuan
secara pribadi. Kontak juga bisa berlangsung dalam pertemuan
pertemuan mulai tingkat desa hingga rapat akbar yang melibatkan
seluruh warga di sebuah kota, atau lokakarya dan konfrensi yag
membahas masalah-masalah khusus. Untuk mengetahui kadar
partisipasi warga negaraa, aparatur pemerintah mungkin ingin
mengadakan survei mengenai opini publik atas kebijakan tertentu.
Pranata ini merupakan wadah dari setiap pendapat dan keluhan
masyarakat atas kebijakan dan layanan yang dilaksanakan oleh
pemerintah.
4. Partipasi Warga Negara secara langsung di Lingkungan Pemerintahan.
Partisipasi seperti ini mensyaratan keterlibatan langsung seorang
warga negara di dalam pembuatan kebiajakan pemerintah. Misalnya
saja jika terdapat seorang tokoh masyarakat yang didudukan sebagai
wakil rakyat di lembaga-lembaga pembuat kebijakan..
Suatu kebjiakan mungkin pada dasarnya bertujuan mulai karena
jelas-jelas akan bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun, seiring
dilaksanakannya kebijakan tersebut dalam sistem birokrasi yang
berjenjang seringkali terjadi pula pergeseran dan penyimpangan arah

6
kebijakan tadi. Aspirasi masyarakat yang kondisinya sudah terjepit
terkadang justru diabaikan. Para pembuat kebijakan mestinya mulai sadar
bahwa informasi yang terbuka mengenai masalah-masalah yang
menyangkut hak-hak warga negara merupakan hal penting bagi aparat dan
terlebih lagi bagi warga negara itu sendiri.
Bagaimanapun juga kalau para birokrat tidak ingin kehilangan
wibawanya dalam melaksanakan kebijakan-kebjiakan publik, para bikrorat
harus senantiasa memperhatikan aspirasi-aspirasi masyarakat dan
mendukung partisipasi seluruh unsur kemasyrakatan secara wajar. Setidak-
tidaknya ada dua alasan mengapa sistem partisipatoris dibutuhkan dalam
negara demokratis. Pertama ialah bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah
yang paling paham mengenai kebutuhannya, seperti diungkapkan oleh
Kweit&Kweit.
“Citizens Know as well, or perhaps better, than bureaucrats what
constitute desibrale policy. This usually defended by arguing that
bureaucrats lost touch with reality. The people on the ither hand are
close to the problems, and are better to evaluate solutions.”

Karena sudah terbiasa dengan ancangan-ancangan formalistik,


birokrat seringkali gagal untuk meliha tmasalah-masalah publik secara
realistis. Sebaliknya masayarakat yang secara langsung menghayati dan
mengamali masalah yang dihadapinya dengan jelas akan lebih tahu tentang
kebutuhan mereka, dan pendapat merekalah yang harus didengar lebih
dahulu. Alasan kedua, bermula dari kenyataan bahwa pemerintahan yang
modern cenderung semakin luas dan kompleks, birokrasi tumbuh
membengkak di luar kendali. Oleh sebab itu, untuk menghindari alienasi
warga negara, para warga negara itu harus dirangsang dan dibantu dalam
membina hubungan dengan aparat pemerintah. Argumentasi yang hendak
dikemukakan di sini ialah bahwa membekaknya birokrasi telah
mengakibatkan para warga negara kehilangaan pemahaman mereka
tentang bagaimana caranya mempengaruhi pembuataan keputusan. Jika

7
kenyataaanya seperti ini semakin berlarut-larut, setiap kebijakan yang
diambil oleh aparatur sendiri akan menjadi tidak efektif. Rakyat akan
terasing dengan proses sosial yang terjadi di sekitaarnya dan tingkat
kepedulian mereka akan menurun.
Partispasi masyarakat dalam menentukan kebijakan-kebijakan
yang harus diambil oleh birokrasi dengan demikian merupakan prasyarat
mutlak demi terwujudnya suasana demokratis dan terciptanya dinamika
untuk menuju ke arah kemajuan. Memang harus diakui bahwa
pelasaksanaan kebijakan publik yang partisipatoris bukan meruapakan hal
yang mudah.
Pertama, aparat birokrasi sering menemukan bahwa harapan-
harapan yang dibebankan oleh warga negara memiliki keinginan yang
berbeda hingga sukar untuk memenuhi semuanya sekaligus. Kedua,
struktur partisipasi warga negara dalam sistem yang modern semakin
kompleks. Warga negara dapat menyalurkan aspirasi melalui dengar
pendapat (pbulic hearing), lembaga-lembaga konsultan, lembaga
perwakilan, jatingan telivisi, surat kabar, atau bahkan surat kaleng.
Keterbatasan birokrat untuk menyerap informasi-informasi faktual dari
masyarakat seringkali merupakan kendala baginya untuk menjawab
aspirasi para warga negara. Suara kaum pinggiran yang kekurangan
sumber-sumber daya dan dana terkadang tidak terwakili. Ketiga, birokrasi
kini dipenuhi oleh orang-orang yang sangat terspesialisasi. Pengotak-
ngotakan tugas mengakibatkan para aparatur terlambat dalam
melaksanakan permintaan warga negara yang lebih sering hanya
mengkehendaki hasil akhir tanpa merinci apa saja yang mereka butuhkan.
Akan tetapi, masalah-masalah seperti ini hendaknya tidak mengedorkan
semangat para administrator untuk melayani masyarakat dan tidak
sewenang-wenang mengabaikan pendapat dan partisipasi masyarakat. Hak
dan wewenang administrator untuk bertindak secara luas menuntut
tanggungjawab moral yang besar pula, sehingga hambatan hambatan tadi
mestinya jutsru merupakan tantangan baginya untuk meningkatkan

8
kualitas layannya dan membuka lebih lebar terhadap partipasi warga
negara.

2.3 MASALAH-MASALAH LINGKUNGAN


Kemajuan teknologi dan perkembangan fisik telah membawa
kemajuan peradaban manusia yang luar biasa. Setiap orang pasti dapat
merasakan bahwa dengan rekayasa dan teknologi maka gizi dan makanan
sehat terpenuhi, komunikasi berjalan lancar dan cepat, transportasi
semakin mudah, ilmu pengetahuan berkembang makin pesat, hiburan
mudah diperoleh, secara keseluruhan kesejahteraan manusi meningkat.
Namun, beberapa dasawarsa terakhir ini industrialisai dan pembangunan
yang kurang terecanana mulai menghasilkan berbagai kekhawatiran
berkenaan dengan masalah kelestarian alam dan lingkungan.
Meningkatnya taraf hidup manusia membawa tuntutan semakin tinggi atas
berbagai macam kebutuhan sementara daya dukung alam di bumi yang
kita diami ini tak kan pernah bertambah.
Untuk skala global terasa bahwa permasalahan antara
pembangunan dan lingkungan hidup itu sungguh mengerikan Jumlah
penduduk dunia pada tahun 1960 hanya sekitar tiga milyar jiwa, tetapi
pada awal abad ke-21 diperkirakan sudah mencapai enam milyar
Sementara itu, daya dukung alam semakin merosot Gurun Sahara
bertambah luas sebanyak 60.000 km per tahun. Pencemaran lingkungan
mengancam punahnya 25.000 enis tumbuhan dan 1.000 jenis binatang,
termasuk ikan Selan itu, lapisan pelindung atmosfir yaitu lapisan ozon di
atas wilayah kutub sudah berlubang dan n sementara daya dukung alam di
saja Jika lapisan ozon berlubang, berarti sinar ultraviolet dari bumi yang
kita diami ini tak kan pernah bertambah. Akibat yang akan terjadi adalah
timbuínya efek rumalh kaca (gret house cffercty,suhu buni semakin tinggı
dan penvakit kanker kulit akan meningkat. Diduga menipisnya lapisan
ozon daya yang tak dapat diperbarui seperti batu bara, minyak bumi,itu
disebabkan oleh polusi industri dan pemakaian senyaw freon-12 (CF₂,CI₂)

9
yang terdapat dalam aerosol yang disem protkan atau alat pendingin.
Sementara itu, menurut catatan WMO (World Meteorology Organization),
Indonesia adalah pencemar nomor 7 di dunia dengan emisi CO, sebanyak
110 juta ton per tahun (Tempo, 10 November 1990).
Selain masalah-masalah lingkungan yang tercemar kita juga masih
akan menghadapi masalah pertumbuhan penduduk. Angka kelahiran harus
ditekan terus karena peningkatan kesejahteraan ternyata mengakibatkan
turunnya angka kematian, sehingga angka pertumbuhan penduduk kita
masih tetap tinggi. Indonesia harus mengawali abad ke-21 nanti dengan
jumlah penduduk sebesar 212 juta sebagai perkiraan rendah atau 223 juta
penduduk sebagai perkiraan tinggi Meningkatnya jumlah penduduk tentu
saja membawa persoalan-persoalan permukiman, perencanaan tata ruang,
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan pendidikan. Pada saat yang
sama muncul pula masalah-masalah limbah, baik yang berasal dari rumah
tangga maupun industri dan penggunaan bahan bahan kimia, yang
kesemuanya membutuhkan penanganan serius. Tampak bahwa kebijakan
yang menyangkut lingkungan dan kualitas hidup mengharuskan adanya
strategi-strategi yang terpadu. Setidak-tidaknya ada lima aspek yang perlu
mendapat perhatian.
Pertama, dari sudut kependudukan pemerintah harus menyediakan
wilayah-wilayah permukiman yang sehat pembukaan lahan transmigrasi
tanpa mengganggu potensi sumber daya alami, atau memperbaiki kualitas
hidup di lingkungan kumuh perkotaan.
Kedua, masalah lingkungan dapat dilihat dari aspek pembangunan
sektoral. Pembangunan sektor pertanian yang mengharuskan
dipergunakannya pupuk kimiawi, pestisida atau herbisida terkadang
membawa efek merugikan bagi lingkungan. Karena itu penggunaannya
harus tepat dan mendapat pengawasan seperlunya. Ekspor kayu lapis yang
merupakan salah satu program sektor industri harus tetap memperhatikan
kelestarian hutan, satwa, tanah, air, dan udara. Para pemegang Hak
Penguasaan Hutan (HPH) harus menaati sistem Tebang Pilih Indonesia

10
(TPI) sehingga pembangunan dapat berjalan seiring dengan pelestarian.
Sektor pariwisata yang juga merupakan sumber devisa potensial
hendaknya dikembangkan sambil menjaga lingkungan hidup. Pantai-
pantai wisata jangan sampai tercemar oleh sampah dari para wisatawan.
Dengan demikian setiapsektor hendaknya punya kaitan yang erat dengan
antisipasi permasalahan lingkungan.
Ketiga, pendekatan masalah lingkungan dari aspek medin
lingkungan seperti tanah, air, atau ruang. Tata guna dari media yang
dipakai tersebut hendaknya direncanakan secara tepat dengan
mengindahkan pelestarian lingkungan. Contohnya proyek pengembangan
Daerah Aliran Sungai (DAS), pengaturan tata guna lahan, perencanaan
mintakat (zoning), atau penyusunan master plan dari pengembangan
sebuah kota, merupakan sebagian dari penerapan pendekatan ini.
Keempat, masalah lingkungan tidak lepas dari unsur-unsur
penunjang, misalnya pendidikan, pengembangan ilmu dan teknologi,
pengaturan aparatur, atau pembebanan biaya terhadap konservasi
lingkungan.
Kelima, dari sudut legalitas kita harus menerapkan peraturan
perundangan mengenai lingkungan secara tegas. Kita telah mempunyai
ketentuan-ketentuan formal dengan diundangkannya sejumlah peraturan,
nulai Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 29 th. 1986 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri No.49/MenKLH/6/
1987 tentang Pedoman Penentuan Dampak Penting, Kep. 51/
MenKLH/6/1987 tentang Batas Waktu Penyusunan Studi Evaluasi
Mengenai Dampak Lingkungan, Surat Edaran No.03/ SE/MenKLH/6/1987
tentang Prosedur Penanggulangan Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup,
hingga Kep. No.02/MenKLH/ I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku
untuk Lingkungan.
Sudah barang tentu para birokrat menanggung kewajiban moral
yang besar terhadap masalah-masalah lingkungan karena merekalah yang

11
memiliki kekuasaan untuk menentukan peng aturan proyek-proyek
industri, perizinan lokasi, atau memberi sanksi-sanksi yang dijatuhkan
bagi pencemar lingkungan Sayangnya, masih banyak para birokrat yang
kurang memperhatikan masalah lingkungan atau silau dengan pihak-pihalk
yang mengutamakan kepentingan-kepentingan komersial. Kasus-kasus
dampak negatif yang menimpa masyarakat akibat lingkungan yang
tercemar oleh industri mulai sering terdengar terutama di kota-kota besar.
Pada tahun 1987, misalnya, kurang lebih 1500 siswa Pendidikan Pusaka
Abadi beserta warga masyarakat sekitar Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta
Utara terancam penyakit gatal-gatal dan sesak napas akibat pence- maran
lingkungan dari Perusahaan Pemotongan Ayam (PPA) PDC I. Bau darah
ayam, kotoran ayam, air limbah maupun suara ayam yang akan dipotong
juga dirasa mengganggu, merekamengadu ke DPRD DKI Jakarta atas
masalah tersebut Sebenarnya SK Gubernur No. 809/1777 tanggal 21 April
1987 sudah melarang penggunaan lokasi itu sebagai tempat pemotongan,
penampungan, atau pemeliharaan ayam sebelum izinnya keluar. Akan
tetapi, entah bagaimana mulanya perusahaan itu nekat menjalankan
operasinya di tengah permukiman penduduk yang padat tersebut. Kasus ini
dicatat oleh LBH Jakarta.
Dari kasus di atas tampak bahwa kesadaran etis sangat penting bagi
para aparatur pemerintah supaya kepentingan rakyat benar-benar
terlindungi. Sudah sering terjadi bahwa di dalam memecahkan masalah-
masalah lingkungan tim peneliti tidak menyertakan wakil-wakil dari
korban pencemaran. Objektivitas penelitian sengaja dikorbankan demi
terpenu hinya kepentingan oknum-oknum tertentu atau pihak-pihak
perusahaan. Konspirasi yang tidak dilandasi iktikad baik antara pengusaha,
aparatur pemerintah, dan peneliti kerapkali terjadi, dan yang memikul
akibatnya selalu saja rakyat kecil yang takberdaya.
Konflik kepentingan juga sering menghambat dilaksanakannya
ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara adil.
Ketentuan perundang-undangan mengharuskan bahwa proyek-proyek yang

12
memerlukan AMDAL adalah: (1) prasarana jalan raya, pelabuhan,
lapangan terbang: (2). industri dan industrial estate; (3) pembangkit energi
dan distribusinya; (4) pertambangan (strip mining, lepas pantai) (5)
permukiman (transmigrasi, perencanaan kota baru, per luasan kota); (6)
perubahan bentang darat (landscape) seperti penebangan hutan; dan (7)
penggunaan bahan kimia. Dalam kenyataan dapat disaksikan bahwa belum
semua proyek menggunakan AMDAL. Alasan yang sering dikemukakan
ialah bahwa proyek yang bersangkutan terlalu kecil untuk mencemari
lingkungan atau harus menggunakan AMDAL. Agaknya perlu ditekankan
bahwa setiap proyek memiliki potensi sebagai pencemar. Proyek yang
tampaknya berskala kecil kalau menggunakan bahan-bahan berbahaya
sangat bisa jadi akarn menimbulkan akibat-akibat buruk yang luas bagi
masyarakat AMDAL itu sendiri terkadang dijadikan permainan tahu sama-
tahu antara pengusaha dan aparat birokrasi. Aparat yang kurang punya
kesadaran moral dan integritas akan mudah terbujuk untuk melakukan
penyelewengan. Di negara kita ini AMDAL sering dilakukan baru sesudah
pabrik atau suatu bangunan berdiri. Padahal AMDAL yang dilakukan
sesudah proyek dimulai jelas kurang objektif karena Inse line study-nya
Pemerintah dalam hal ini harus tegas dalam menerapkan peraturan-
peraturan yang ada. Masalah yang kita hadapi sudah tidak murni lagi.

2.4 PELAYANAN UMUM


Sadar atau tidak, setiap warga negara selalu berhubungan dengan
aktivitas birokrasi pemerintahan. Tidak henti-hentinya orang harus
berurusan dengan birokrasi, sejak berada dalam kandungan sampai
meninggal dunia. Dalam setiap sendi kehidupan kalau seseorang tinggal di
sebuah tempat dan melakukan interaksi sosial dengan orang lain serta
merasakan hidup bernegara, keberadaan birokrasi pemerintahan menjadi
suatu condition sine quanon yang tak bisa ditawar-tawar lagi dan ia akan
selalu menentukan aktivitas mereka. Kenyataan ini juga terjadi di
Indonesia. Betapa tidak, sewaktu masih dalam kandungan, kita sudah

13
diperiksakan ke Puskesmas yang tentunya memperoleh subsidi dari
pemerintah. Ketika lahir kita dirawat di rumah sakit (miliki swasta
maupun milik pemerintah) yang dokternya dididik atas biaya pemerintah.
Masuk sekolah juga milik pemerintah, mungkin ke SD, SMP, hingga ke
perguruan tinggi negeri. Sementara pada saat berangkat dewasa kita butuh
KTP yang dikeluarkan oleh aparatur pemerintah. Di samping itu kita
mungkin memerlukan jasa pelayanan air minum (PAM), listrik (PLN),
atau mungkin perumahan (KPR-BTN), dan telepon. Untuk usaha dagang,
misalnya kita mesti membayar pajak kepada negara. Lalu setelah
meninggal, keluarga juga harus mengurus surat kematian dari Kades atau
Lurah untuk memperoleh kapling di TPU (Tempat Pemakaman Umum).
Demikianlah, pelayanan umum akan menyangkut bidang pendidikan,
kesehatan, transportasi, perumahan, kesejahteraan sosial, gizi, listrik,
kebutuhan pangan pokok, dan masih banyak lagi.
Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan etis kembali muncul
sehubungan dengan kurangnya perhatian (concern) para aparatur birokrasi
terhadap kebutuhan warga negara tersebut. Untuk memperoleh pelayanan
yang sederhana saja, pengguna jasa sering dihadapkan dengan kesulitan-
kesulitan yang terkadang mengada-ada. Kita sering menyaksikan antrian
panjang orang-orang yang akan membayar rekening listrik PLN,
membayar pajak di kantor-kantor pajak, atau membayar angsuran rumah
kredit. Pemandangan yang sama juga terlihat di kantor SAMSAT untuk
urusan-urusan STNK dan SIM, di bank, di kantor-kantor pemerintah
daeraj, atau di rumah sakit. Manajemen kearsipan tampaknya masih
merupakan kendala bagi sebagaian besar kantor yang melayani jasa
umum, sehingga pelayanan kepada masyarakat tidak dapat terlaksana
secara cepat. Kecuali itu rutinitas tugas-tugas pelayanan dan penekanan
yang berlebihan kepada pertanggungjawaban formal telah mengakibatkan
adanya prosedur kerja tetapi lebih sering justru menolak adaya perubahan.
Etos kerja yang cenderung mempertahankan status quo ini telah
menumbuhkan persepsi masyarakat bahwa berhubungan dengan birokrasi

14
berarti berhadapan dengan berbagai prosedur yang berbelit-belit, makan
waktu, dan menyebalkan. Yang lebih parah prosedur yang mencekik itu
acapkali ditunggangi oleh kepentingan pribadi dan dijadikan komoditas
yang diperdagangkan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok.
Gaya manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas (task
oriented) juga membawa pengaruh tidak terpacunya pegawai kepada hasil
dan kualitas pelayanan umum. Akibatnya para pegawai menjadi takut
berbuat keliru dan cenderung meyesuaikan pekerjaan-pekerjaannya
dengan petunjuk pelaksanaan (Juklak)sedapatmungki, walaupun keadaan
yang ditemuinya dalam kenyataan snangat jauh berbeda dengan peraturan-
peraturan tersebut. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan
Sucherly makin memperkuat dugaan ini. Dengan berpihak pada teori
Maslow tentang tingkatan-tingkatan kebutuhan manusia, yang diberi skala
1 sampai 12, mereka mendapatkan bahwa di kalangan pegawai negeri
Indonesia “kebutuhan kan rasa aman” memperoleh skor tertinggi (8,31).
Kemudian berturut-turutperingkat selanjutnya adalah kebutuhan sosial
(6,77), kebutuhan dasar/fisiologis (6,34), kebutuhan aktualisasi diri (4,92).
Ini menunjukkan bahwa pada umumnya pegawai negeri mempunyai rasa
cemas yang tinggi terhadap kegagalan dan “ingin merasa aman” dalam
pekerjaannya. Perasaan takut gagal yang berlebihan pada akhirnya
membuat para pegawai takut mengambil risiko, takut bertindak, dan tidak
berani melakukan perubahan-perubahan yang sesungguhnya diperlukan
bagi perbaikan organisasi.
Hambatan-hambatan di atas tidak lepas dari sistem dan mekanisme
kerja yang diterapkan dalam birokrasi pemerintahan kita. Keharusan untuk
mencapai target waktu seringkali mengorbankan cara kerja serta tujuan
akhirnya. Ini tampak umpamanya dalam penerapan prosedur DIP ( Daftar
Isian Proyek). Sistem DIP menghendaki “kelancaran” pelaksanaan tugas
pemenuhan ketentuan-ketentuan yang bersifat procedural, ketepatan
waktu, ketaatan pada jalur-jalur kewenangan, dan pencapaian indikator-
indikator kuantitatif. Penerapan sistem ini memang membawa pengaruh

15
positif sebab dengan peraturan-peraturan yang ada efisiensi dapat
ditingkatkan dan volume proyek-proyek pembangunan yang diselesaikan
akan bertambah. Tetapi dampak negatifnya bukan tidak ada. Yang
langsung dapat diamati ialah kecenderungan bahwa kekuasaan dan
wewenang bergeser ke atas. Keleluasaan untuk bertindak (dictionary
latitude) pada akhirnya sangat terbatas berhubungan dengan struktur
keuangan pada tingkat yang lebih atas. Tugas-tugas dan pelaporan menjadi
terlalu formal dan atasan akan lebih percaya kepada laporan-laporan
tertulis yang tebal atau angka-angka meskipun itu fiktif semata. Budaya
ABS (Asal Bapak Senang) muncul di mana-mana dan para pembuat
kebijakan justru sulit mencari data yang benar-benar valid sesuai dengan
fakta. Keadaan seperti ini menjadi salah satu penyebab rapuhnya mental
para pegawai hingga mendorong berbagai bentuk penyimpangan dan
penyelewengan.
Kecenderungan lain yang melekat di dalam birokrasi adalah kurang
diperhatikannya asas keterjangkauan dan pemerataan dalam pelayanan.
Secara normatif birokrasi seharusnya memihak kepada golongan miskin
atau kelompok-kelompok pinggiran karena merekalah yang perlu dibantu
untuk ikut menikmati hasil-hasil pembangunan. Pelayanan yang mudah
dan murah merupakan hal yang esensial bagi mereka karena ditilik dari
kondisi ekonomis mereka tidak mungkin mendapatkan pelayanan
kesejahteraan sosial yang mahal. Sangat disayangkan bahwa dalam
kenyataan kita justru melihat bahwa aparatur-aparatur birokrasi cenderung
menghindari kelompok miskin karena mereka tidak ingin kehilangan
klientel-klientel atau konco-konco yang telah menguntungkan posisi
mereka. Dengan mengambil data dari empat sektor pelayanan, yaitu
pendidikan, kesehatan, listrik, dan air minum, Sofian Effendi
mengungkapkan bahwa tingkat kemudahan (accessibility) pelayanan bagi
masyarakat golongan menengah ke bawah ternyata masih sangat rendah.
Penelitian LEKNAS di Sulawesi Utara mengungkapkan bahwa terhadap
alienasi yang semakin melebar antara pejabat dan rakyat, sementara di

16
Jawa Timur hampir 80% penduduk merasa kurang mendapat manfaat dari
hasil pembangunan (Kompas, 1985; BP5; 1985). Jadi jelas bahwa ada
sesuatu yang tidak beres dalam sistem pelayanan yang diberikan oleh
birokrasi. Pelayanan dirumah sakit, di puskesmas, jasa angkutan,
perkreditan, sekolah-sekolah umum, ketenagakerjaan, dan sebagainya,
masih bias kepada orang-orang berduit. Sementara ornag-orang terlantar
dan miskin semakin terlupakan dan semakin jauh dari uluran tangan aparat
birokrasi. Dalam banyak hal ternyata birokrasi cenderung mempertajam
stratifikasi sosial yang terdapat dalam masyarakat sehingga jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin makin menganga.
Lebih dari itu masalah kekakuan prosedur juga melanda institusi-
institusi pemerintah yang seharusnya melaksanakan aktivitas secara
professional. Kita bisa melihat betapa kurang lincahnya manajemen PLN,
PTP, PJKA, atau Badan Usaha Milik Negara lainnya jika dibandingkan
dengan manajemen perusahaan-perusahaan swasta. Birokrasi seolah-olah
menjadi makhluk yang semakin gemuk tetapi pada saat yang sama
semakin lamban gerakannya. Dominasi birokrasi pada badan-badan usaha
yang monopolistic itu tidak ditunjang dengan sistem manajemen dan
efisiensi yang lebih baik, sehingga tidak heran jika terlontar banyak
ungkapan bahwa birokrasi kita merupakan sumber utama ekonomi biaya
tinggi (EBIT) yang mengurangi daya saing produk-produk kita. Ini antara
lain disebabkan karena kurang adanya manajemen yang berdasarkan
sasaran (management by obhective) serta kaburnya tolok-ukur untuk
menilai prestasi.
Oleh sebab itu, langkah debirokratisasi merupakan hal yang tidak
bisa ditunda-tunda lagi, dan pelaksanaannya pada jajaran aparat
pemerintahan hendaknya dijaga konsistensinya. Prosedur yang kaku
hendaknya dihapus sehingga suasana kerja akan mendukung
berkembangnya inovasi dan perubahan yang menuju peningkatan kualitas
pelayanan. Perizinan disederhanakan sampai ke tingkat yang benar-benar
diperlukan. Berbagai peraturan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan

17
kelancaran tugas harus dipotong dan pelayanan hendaknya diberikan
secara adil dan merata. Kalau perlu pelayanan yang sudah tidak terjangkau
lagi oleh jaring-jaring birokrasi pemerintahan dapat diserahkan kepada
pihak-pihak swasta. Dengan demikian, akan tercipta suasana persaingan
yang sehat bagi organisasi-organisasi pelayanan publik, dan masyarakat
akan dapat memperoleh kualitas pelayanan yang maksimal. Namun, perlu
juga diingat bahwa swawtanisasi sektor-sektor pelayanan publik itu bukan
berarti bahwa pemerintah harus lepas tangan dalam urusan-urusan
ekonomi dan kesejahteraan setiap warga negara dan dalam bidang-bidang
tertentu hanya pemerintahlah yang mampu memerankan tugas-tugas itu
dengan baik.
Bentuk organisasi birokrasi yang diharapkan memiliki daya
tanggap yang baik terhadap kepentingan-kepentingan umum adalah bentuk
organisasi adaptif. Ciri-ciri pokok yang terdapat dalam struktur yang
organis adaptif antara lain:
1. Berorientasi kepada kebutuhan para pemakai jasa;
2. Bersifat kreatif dan inovatif;
3. Menganggap sumber daya manusia sebagai modal tetap jangka
panjang (longterm fixed assets);
4. Kepemimpinan yang memiliki kemampuan mempersatukan berbagai
kepentingan dalam organisasi, sehingga dapat menumbuhkan
sinergisme.
Maka birokrasi yang adaptif mengandaikan adanya proses komunikasi
timbal balik antara manajer atau pimpinan dengan karyawan atau
bawahan. Garis pengambil keputusan vertikal tidak boleh terlalu panjang.
Konsep sinergisme diterapkan dengan asumsi bahwa pekerjaan yang
dilaksanakan dengan kerja sama dan pemikiran orang banyak akan
membawa hasil yang optimal. Sementara itu, para pegawai secara
individual harus lebih peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan
tidak membeda-bedakan pelayanan antara warga negara yang satu dengan
warga negara lainnya.

18
2.5 MORAL INDIVIDU ATAU MORAL KELOMPOK
Empat komponen permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan
publik telah diuraikan, yaitu permasalahan keadian sosial, partisipasi, dan
aspirasi masyarakat, lingkungan hidup, serta pelayanan umum. Semuanya
merupakan persoalan-persoalan yang cukup aktual di negara-negara
demokratis dan kita telah melengkapi pembahasan dalam konteks
Indonesia. Sekarang kita melihat bahwa aparatur negara yang merupakan
kepanjangan tangan pemerintah memiliki posisi penting dalam kaitannya
dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Kebijakan-kebijakan yang
diambil olehnya akan berdampak luas manakala keputusan itu bertalian
dengan hajat hidup masyarakat luas. Rasionalitas saja terkadang tidak
mampu untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan hakiki orang banyak dan
tidak jarang keputusan-keputusan yang baik harus menyertakan
pengalaman, intuisi, dan hati nurani. Bagaimanapun juga falsafah,
kearifan, dan niat baik akan menjadi penopang yang paling kokoh bagi
para administrator untuk menjaga kewibawaan dan kredibilitas mereka.
Lebih dari itu, dalam persoalan apapun sepanjang menyangkut hubungan
antardua atau lebih individu, pertanyaan-pertanyaan yang mengandung
nilai-nilai filosofis dan moral akan senantiasa relevan.
Mempelajari etika berarti memahami sifat dasar tindakan manusia,
pertentangan moral yang ada di batinnya, pertimbangan moral yang
mendasarinya, kesadaran moral (moral consciousness) yang menuntun
perilakunya, kewajiban-kewajiban moral mereka sebagai makhluk yang
paling sempurna, dan juga kelakuan moral (moral conduct) yang tampak
dalam kehidupan sehari-hari. Sudah barang tentu lingkup analisis yang
demikian luas ini masih dapat dipersempit dan dibatasi hanya pada

19
masalah-masalah khusus. Seperti telah kita lihat, persoalan-persoalan etis
ternyata selalu muncul di dalam hubungan antara negara, administrator,
birokrat, pihak-pihak swasta, ataupun masyarakat awam. Administrasi
yang bertalian dengan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara
tampaknya merupakan bidang kegiatan yang cukup rawan terhadap
berbagai penyalahgunaan kekuasaan, penyelewengan keuangan, dan
pemanfaatan jabatan untuk tujuan-tujuan yang tidak bermoral. Oleh karena
itu, etika administrasi ingin mengkaji lebih dalam makna filosofis yang
terdapat di belakang setiap tindakan pejabat negara dan sekaligus
merumuskan standar norma yang wajib diikuti oleh mereka yang
berkecimpung dalam tugas-tugas sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Sebagai ilmu etika terapan, etika administrasi tidak hanya berhenti kepada
pemahaman filosofis tetapi juga menawarkan pedoman-pedoman bagi
administrator dan birokrat dalam menghadapi dilema-dilema etis selama
menjalankan tugasnya. Bidang kajian ini untuk sebagian termasuk dalam
lingkup administrasi negara dan sebagian yang lain tercakup dalam
lingkup ilmu filsafat. Dengan demikian, mau tidak mau kita harus mondar-
mandir dari analisis yang filosofis ke analisis administratif, dari persoalan-
persoalan normatif ke persoalan-persoalan praktis, atau sebaliknya.
Dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditugaskan,
kebanyakan isu akan muncul bilamana seorang pegawai negeri tidak dapat
memuaskan setiap orang. Cara-cara seorang pejabat untuk membuat
keputusan, bahkan untuk hal-hal yang bersifat repetitif, cara-cara
menempatkan prioritas, menjawab pertanyaan-pertanyaan publik,
memeriksa faktur-faktur, melaksanakan jual-beli yang bersifat rutin, atau
hal-hal kecil lainnya, akan selalu disertai risiko bahwa ia mengecewakan
atau membuat marah sebagian warga negara dan sekaligus memuaskan
warga negara yang lain. Dengan demikian, ada dua sisi normatif yang
melekat dalam tindakan dan keputusan para pejabat negara.
1. Aspek lazim (pervasive aspect) yaitu cara-cara di mana kebijakan dan
praktik pelaksanaan tugas pegawai negeri mendukung sikap-sikap dan

20
titik-tinjauan yang memungkinkan tanggung jawab atas kinerja
(answerability for performance), memperhitungkan kepentingan
banyak pihak, pejabat-pejabat atasan, mandat legislatif, dan akhirnya
kesejahteraan publik yang akan menjadi kewajiban pegawai-pegawai
negeri serta memengaruhi perilaku mereka. Ini merupakan kaidah
normatif umum yang sudah pasti mencakup permasalahan
kemasyarakatan yang begitu luas.
2. Aspek terbatas (limited aspect) yaitu cara-cara di mana
pertanggungjawaban moral untuk kebijakan-kebijakan yang masuk
akal itu sendiri dilaksanakan, antara lain penjelasan mengenai siapa
yang bertanggung jawab atas segi-segi pekerjaan, motivasional,
developmental, dan fungsi-fungsi disiplin dalam organisasi. Kendali
normatif dalam hal ini berkenaan dengan seluruh staf dari jenjang
yang paling tinggi kepada yang paling rendah.
Singkat kata, jika norma yang melekat pada pejabat negara itu
dibedakan menurut lingkup organisatoris, mereka harus menaati kaidah-
kaidahnya secara internal maupun eksternal. Sebagai bagian dari
organisasi publik mereka wajib menaati aturan main yang terdapat di
dalamnya, dan sebagai anggota masyarakat mereka wajib mengusahakan
kesejahteraan untuk bagian terbesar masyarakat.
Jelas bahwa birokrasi negara hendaknya tidak diisi dengan orang-
orang yang lemah, baik secara rasional maupun secara etis. Sekali lagi kita
harus melihat kenyataan bahwa masyarakat seringkali tidak membedakan
antara masalah-masalah yang mekanistis dan rasionalistis dengan masalah-
masalah yang menyangkut integritas dan moralitas individu yang
melaksanakannya. Sebuah pendapat dari seorang penulis yang mantan
eksekutif mengatakan sebagai berikut:
” Kebobrokan korupsi tidak terbatas pada tindakan berbohong, mencuri,
dan menganiaya. Ini meluas ke pelanggaran prinsip tidak membuang-
buang sumber daya yang langka — atau bisa juga, jika seseorang memilih
untuk memaksakan prinsip ekonomi bahwa sumber daya harus ditugaskan

21
untuk penggunaannya yang "tertinggi dan terbaik". Di bawah prinsip ini
korup untuk terlibat dalam pemeliharaan jalan raya yang tidak kompeten
dan operasi sekolah yang tidak kompeten. Juga korup untuk terlibat dalam
proyek-proyek untuk menciptakan lapangan kerja dan mendistribusikan
kekayaan ketika semua bukti menunjukkan bahwa rencana tersebut terlalu
rumit dan terlalu rapuh untuk sukses .... dalam praktiknya, garis antara
korupsi sebagai prinsip moral yang menjorok, dan korupsi sebagai
kekurangan integritas dalam pelaksanaan sistem aksi, cenderung kabur.”
Jika kalau diresapi masalah-masalah moral yang melingkupi pola
kebijakan dan tingkah laku birokrat, akan tak terbatas. Seorang perencana
tata kota yang merancang suatu proyek besar, sedangkan dia tahu bahwa
proyek itu perlu biaya sangat tinggi dan besar kemungkinan akan gagal,
adalah termasuk perencana yang melanggar norma etika. Seorang Bupati
yang mengizinkan pendirian supermarket sedangkan dia tahu bahwa itu
akan mematikan usaha pedagang-pedagang kecil, berarti telah melanggar
nilai-nilai moral. Seorang akuntan publik yang keliru menghitung angka
depresiasi dan kemudian kekeliruan itu dimanfaatkan oknum tertentu
untuk kepentingan pribadi, juga akan termasuk pejabat negara yang
melanggar etika administrasi publik. Pengabaian atas fakta-fakta yang
bermanfaat bagi suatu kebijakan, kebodohan (stupidity) dalam
memecahkan masalah, atau kelemahan integritas, mungkin dapat juga
dimasukkan sebagai pelanggaran moral. Oleh karena itu, untuk menjaga
keutuhan nilai moral dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, pejabat publik
mesti mempunyai ketegasan sikap dan dituntut untuk peka terhadap
maksud-maksud tersembunyi yang terdapat di belakang interaksi
antarpejabat atau kelompok masyarakat tertentu. Masalah-masalah publik
selalu kait-mengait dan hanya dengan wawasan yang jernih aparatur
negara dapat mengatasinya dengan baik. Sebagai contoh kita akan
ketengahkan persoalan tanah yang senantiasa mengundang kontroversi
dari banyak pihak.

22
Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960) disahkan
dengan maksud supaya penguasaan atas tanah di republik ini akan berjalan
lebih adil. Sayangnya, UUPA tidak dilengkapi dengan peraturan
pelaksanaannya sehingga para calo tanah dan pengusaha besar masih
punya kesempatan untuk menguasai tanah secara besar-besaran. Untuk
membangun real estate yang bermodal milyaran rupiah, tidak segan-segan
mereka membeli tanah rakyat jauh di bawah harga pasar. Bahkan dengan
alasan untuk kepentingan umum, pembebasan tanah dilakukan untuk
menciptakan kantong-kantong (enclaves) eksklusif sebagai tempat
bermukim orang-orang kaya. Kasus konsentrasi penguasaan tanah sebagai
faktor produksi juga banyak menimpa para petani pengikut program TRI
(Tebu Rakyat Intensifikasi). Salah satu penyebabnya adalah kemudahan
paket kredit dalam program TRI. Dengan kredit ini para pelepas uang yang
menguasai tanah tidak lagi membutuhkan modal kerja. Kecuali itu, sewa
tanah itu sendiri bisa ditutup dengan sebagian paket kredit tersebut. Maka
muncullah para cukong yang mampu menguasai tanah begitu luas,
sementara cita-cita Inpres No. 9/1975 untuk menempatkan petani sebagai
tuan di atas tanahnya sendiri melalui program TRI tidak berhasil. Di Jepara
masih terdapat pemilik uang yang menguasai tanah rata-rata 50 hektar,
bahkan di Pati dan Malang terdapat orang yang bisa menguasai lebih dari
400 hektar. Jika dicermati, penyelewengan-penyelewengan tanah seperti
ini tentunya tidak hanya melibatkan satu dua orang saja. Penyelewengan
seolah-olah membudaya di lingkungan tertentu karena para pejabat sudah
tidak lagi memiliki “filter” moral dan integritas jabatan dalam
melaksanakan kewajibannya. Rayuan para investor, desakan untuk hidup
mewah, atau arus penyimpangan demi penyimpangan yang dilakukan
rekan sekerja seringkali menjadi penyebab lunturnya hati nurani.
Masalah yang sama juga dapat kita telaah dari sudut legalitas.
Dalam Permendagri No. 2/1984 antara lain terdapat kata-kata bahwa
Gubernur, Bupati, atau Walikota dalam memberi izin lokasi harus
menghindari pemindahan penduduk. Akan tetapi, dalam Permendagri No.

23
3/1987, yang juga mengatur soal pendirian perumahan rakyat, butir ini
justru dihilangkan. Penghapusan ketentuan ini sama saja artinya
dengan mengesahkan adanya tindakan yang kurang etis dari sekelompok
pejabat yang melakukan penggusuran permukiman kaum miskin secara
“paksa”. Bila peraturan sebelumnya bisa dijadikan senjata untuk
menghindari penggusuran sewenang-wenang, peraturan yang baru justru
sebaliknya (merdeka, 2 Desember 1988). Tampak di sini bahwa norma
etika pun bisa berperan pada saat seorang pejabat akan menetapkan
peraturan yang berpengaruh bagi kepentingan khalayak. Pertimbangan-
pertimbangan yang kurang lengkap dalam merumuskan kaidah hukum
dapat menjadi sumber pelanggaran kaidah moral yang paling essensial.
Itulah sebabnya pejabat negara harus sangat hati-hati dalam melaksanakan
fungsi legislatif, eksekutif, judikatif, maupun dalam menjalankan hal-hal
yang bersifat prosedural.
Citra pegawai negeri di Indonesia masih belum sebaik yang
diharapkan. Cakupan tugas pegawai negeri memang begitu luas sehingga
mudah dimengerti bila sikap dan tindakan mereka sering menjadi bulan-
bulanan dari proses, kritik, dan ketidakpuasan masyarakat. Kebanyakan
orang melihat cara kerja pejabat negara dengan skala tidak berkompeten
sampai cukup berkompeten. Lebih sering mereka dicemooh sebagai
pegawai-pegawai yang kurang bersemangat, hanya mengejar kedudukan,
tidak giat bekerja, dan angkuh. Birokrasi pemerintahan dianggap sebagai
sumber pemborosan saja sehingga banyak yang berpendapat bahwa semua
pelayanan publik harus dialihkan swasta. Suatu pendapat yang sudah
berlebihan dan tidak realistis.
Barangkali masyarakat tidak akan terburu-buru untuk memberikan
penilaian negatif kepada korps pejabat negara kalau saja semua orang tahu
betapa sulit posisinya di tengah masyarakat maupun dalam organisasi.
Telah diuraikan bahwa konflik loyalitas selalu mengiringi perilakunya
dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan, seperti dikatakan oleh Rosen:

24
” Kesetiaan yang saling bertentangan, yang menghasilkan satu alasan
yang kurang sehat untuk menang atas yang lain, berbohong untuk
meminimalkan kerusakan pada aktivitas yang sangat penting bagi publik
— semua menghasilkan dilema etika dan membebani sistem nilai pribadi
dari administrator.”
Disamping dilema etis yang dihadapi sehubungan dengan
kedudukannya dalam masyarakat, pegawai negara juga harus menghadapi
dilema yang berkenaan dengan aturan dan prosedur dalam organisasi.
Aturan, standar, dan prosedur ditetapkan dengan maksud untuk menjaga
keadilan, keterbukaan, kedalaman analisis, dan tanggung jawab dalam
urusan-urusan publik. Mereka yang sering menerobos atau mengambil
jalan pintas berarti melanggar satu aspek legalitas uang paling berharga:
aturan hukum (the rule of law). Celakanya, meskipun prosedur bisa
menjadi sarana dalam menentukan keputusan dan menjaga keteraturan, ia
juga bisa menjadi penghambat kemajuan dan arus tindakan. Dalam
kaitannya dengan prosedur, orang yang terlalu sering menyimpang berarti
bertindak subversif, orang yang tak pernah menyimpang sama sekali
berarti akan gagal, dan orang yang tidak memahami prosedur tanpa
mengetahui konsekuensinya berarti akan konyol. Maka fleksibilitas
prosedural dalam urusan publik hanya dapat dicapai dengan tindakan dan
keputusan yang optimistis, berani, dan adil yang ditunjang dengan iktikad
baik.
Dari semua contoh kasus dan telaah yang telah diutarakan di atas,
pertanyaan yang sesungguhnya hendak dijawab pada bagian ini ialah
menyangkut posisi normatif yang harus diikuti oleh setiap aparatur negara.
Apakah corak moralitas seperti ini merupakan nilai moral individu atau
kolektif? Moral individu mensyaratkan bahwa dalam hubungannya dengan
orang lain seseorang harus mengikuti norma-norma etis dan melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagai pertanggungjawaban antarmanusia.
Sementara itu, moral kolektif terbentuk karena tergabungnya
pertanggungjawaban di dalam suatu kelompok sehingga proses tindakan-

25
tindakan etis yang terwujud itu terbentuk karena persetujuan di antara
individu-individu yang terdapat di dalamnya. Bagi orang-orang yang
menjalankan tugas-tugas negara, telah kita lihat bahwa mereka memikul
kewajiban moral dari orang-orang yang mendelegasikan kewenangannya,
dan juga dari orang-orang yang akan terpengaruh oleh keputusan-
keputusan yang diambilnya. Ini berarti bahwa mereka memiliki kewajiban
yang berasal dari tiga macam otoritas yang berbeda-beda: individu atau
kelompok yang terpengaruh oleh aktivitas-aktivitas mereka; sumber-
sumber yang mendelegasikan wewenang kepadanya; dan perumus
kerangka konstitusional di mana aktivitas-aktivitas negara berjalan.
Jelaslah bahwa seorang birokrat secara individual punya kewajiban moral
terhadap setiap warga negara untuk memberikan pelayanan publik sebaik-
baiknya. Sementara itu, secara kolektif dia punya kewajiban moral yang
bersifat prosedural kepada atasan atau kepada negara dan sekaligus para
perancang undang-undang.

2.6 PERTANGGUNGJAWABAN ADMINISTRASI


Pertanggungjawaban yang harus ditaati oleh aparatur negara
dengan demikian meliputi berbagai corak organisasi dan kelompok
masyarakat dalam administrasi publik pertanggungjawaban mengandung
berikut ini:
 Pertanggungjawaban Sebagai Akuntabilitas (accountability)
Akuntabilitas di sini berperan jika suatu lembaga (agency harus
bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan (policies) tertentu.
 Pertanggungjawaban sebagai sebab-Akibat (cause) Jenis
pertanggungjawaban ini muncul bila orang mengata kan bahwa
suatu lembaga diharuskan untuk mempertang gungjawabkan
jalannya suatu urusan (the conduct of some affairs).
 Pertanggungjawaban sebagai Kewajiban (obligation) Apabila
seseorang bertanggung jawab dalam artian kewajiban untuk
melakukan sesuatu, itu berarti bahwa: 1) dia harus menggunakan

26
kapasitas untuk melakukan pertanggungjawaban kausal kepada
orang yang membe rinya delegasi, dalam rangka menyempurnakan
hal-hal yang dipertanggungjawabkan tersebut; 2) dia harus
melaksanakan setiap tahapan dari kontribusi kausalnya secara
eksplisit.
Oleh karena itu, secara luas pertanggungjawaban mengandung arti
yang bermacam-macam, tergantung dari aspek mana kita melihatnya.
Pertanggungjawaban etis tentunya berbeda dengan pertanggungjawaban
rasional. Jika pertanggungjawaban rasional dapat diangkat dari tindakan-
tindakan nyata dan sanksi-sanksi yang diterapkan dapat dipaksakan oleh
orang lain, sebaliknya pertanggungjawaban etis sifatnya lebih abstrak dan
sanksi-sanksi yang mengiringi hendak menyentuh langsung nurani
manusia yang mewujudkan sikap, tindakan, dan keputusan tertentu.
Pertanggungjawaban juga dapat dibedakan menurut jenjangnya.
Tanggung jawab yang ada di pundak setiap pejabat negara berasal
dari otoritas, bidang, arah, dan jenjang yang berbeda- beda. Kita tidak
dapat menuntut tanggung jawab itu hanya dengan hukum dan aturan
yang berlaku karena terkadang kodifikasi aturan tersebut tidak mampu
menampung masalah. masalah kemasyarakatan yang begitu luas. Namun,
pertanggungjawaban internal saja juga tidak cukup. Ada saat di mana
aparatur negara tidak tahu keputusan apa yang harus dipilihnya meskipun
ia punya komitmen yang kuat terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, dalam pembahasan ini sengaja topik pertanggungjawaban
administrasi saya kemukakan dari sudut internal maupun ekstern
Betapapun masalah-masalah filosofis dalam kenegaraan tidak akan lepas
dari kaitannya dengan masalah-masalah taktis yang berlangsung dalam
lingkup negara, begitu pula sebaliknya.
Salah satu cara untuk membedakan hak seseorang atas orang lain
adalah dengan melihat "sisi lain" dari hak itu sendiri. Dari gagasan ini
kita memiliki empat macam hak.
1. Hak menuntut

27
Suatu hak bisa bersumber dari adanya tugas, duty atau kewajiban
seseorang terhadap orang lain.
2. Kebebasan (liberties)
Adakalanya hak tertentu tidak mengandung kewajiban buat orang
lain.
3. Kekuasaan (pouer)
Jenis hak yang ketiga adalah kekuasaan. Bila Anda punya hak
untuk berkehendak, itu berarti bahwa Anda punya kekuasaan
untuk mengubah sebagian dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban
orang lain di sekitar Anda.
4. Kekebalan
Kekebalan merupakan jenis hak yang keempat. Sisi lain dari
kekebalan adalah ketidakmampuan atau kurangnya kekuasaan
Jika Anda punya hak untuk tetap diam, itu berarti saya tidak
punya kekuasaan untuk membuat Anda berbicara.
Tentu saja dalam kenyataan kita akan sering menjumpai bahwa
hak-hak seseorang berasal dari dua atau lebih corak pembedaan di atas.
Namun, untuk mencapai kemajuan dalam mengemukakan argumentasi
argumentasi moral.
Pertanggungjawaban administrasi negara melibatkan sarana-sarana
yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga publik beserta pegawai-
pegawainya untuk mengelola kehendak yang berlain-lainan dari dalam
maupun dari luar organisasi. Dilihat sebagai suatu strategi untuk
mengelola kehendak (expectation), pertanggungjawaban administrasi
negara mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Fokus pembahasan
di sini kita arahkan kepada empat sistem alternatif pertanggungjawaban
publik, yang masing-masing berlandaskan pada variasi dalam dua faktor
penting: (1) apakah kemampuan untuk merumuskan dan mengontrol
kehendak-kehendak tersebut dipegang oleh kesatuan (entitas) tertentu di
dalam atau di luar lembaga, dan (2) derajat pengawasan/kontrol yang

28
diberikan atas entitas tersebut untuk merumuskan kehendak-kehendak
lembaga itu.
Pertanggungjawaban birokratis (sel 1) adalah mekanisme yang
secara luas dipakai untuk mengelola kehendak kehendak lembaga negara.
Dengan ancangan ini, kehendak-kehendak administrator publik dikelola
melalui pemusatan perhatian kepada prioritas orang-orang yang berada
pada puncak hierarki birokrasi.
Pertanggung jawaban legal (sel 2) mirip dengan bentuk birokratis
karena ia juga melibatkan penerapan kontrol yang terus-menerus atas
aktivitas administrasi negara. Namun berbeda dengan pertanggung-
jawaban birokratis, pertang- pengawasan legal berlandaskan pada
keterkaitan antara pihak-pihak di luar lembaga dengan anggota anggota
organisasi.
Pertanggungjawaban profesional (sel 3) semakin diperlukan seiring
dengan semakin banyak dan kompleksnya persoalan- persoalan teknis
dalam pemerintahan. Dalam keadaan seperti ini, para pejabat publik
harus punya landasan keterampilan tertentu dan lembaga-lembaga negara
itu sendiri mesti punya pegawai-pegawai yang ahli untuk melaksanakan
solusi atas setiap permasalahan dengan tepat.
Pertanggungjawaban politis (sel 4) merupakan sistema
pertanggungjawaban yang sangat dibutuhkan bagi para administrator di
negara-negara demokratis. Jika "pengakuan' (deference) terhadap
kemampuan pakar merupakan karakteristik pertanggungjawaban
profesional, daya tanggap (responsiveness terhadap kepentingan publik
merupakan karakteristik sistem pertanggungjawaban politis. Kaitan
pokok dalam sistem seperti ini menggambarkan bahwa antara seorang
wakil rakyat (dalam hal ini administrator publik dengan warga pemilih
(mereka yang merupakan muara pertanggungjawaban).
Segi-segi pokok yang terdapat dalam tipe tipe sistem pertanggung-
jawaban itu terangkum dalam sistem birokratis, kehendak dan harapan

29
dikelola melalui suatu tatanan hierarkis yang berlandaskan pada
keterkaitan supervisial, sistem pertanggungjawaban legal mengelola.

2.7 ANALISIS ETIS


Tidak mudah untuk menilai tindakan-tindakan seseorang, apakah
sudah sesuai dengan norma etika atau belum. Pada umumnya seseorang
akan mengatakan bahwa suatu tindakan atau perilaku disebut bermoral
sejauh itu tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun, apakah
dalam contoh ini kita akan mengatakan bahwa tindakan seperti itu salah?
Sudah pasti tidak. Tampak bahwa tindakan yang merusak /merugikan
tidak selalu merupakan tindakan yang salah. Sekarang kalimat di atas
mungkin dapat kita balik, bahwa setiap perbuatan yang salah adalah
merusak. Agaknya sebagian besar tindakan yang salah memang merusak,
ambil contoh misalnya perkosaan, penganiayaan, atau pembunuhan.
Namun, ddemikian tenyata logika keyakinan seperti ini (keyakinan bahwa
semua hal akan dapat ditunjau dari sudut yang sama) juga bisa keliru.
Sebagian besar orang pasti tetap berpendirian bahwa membaca atau
melihat buku porno, melakukan hubugan seks dengan keluarga), menghina
tuhan, atau hal-hal semacam yang tidak merugikan oang lain adalah
tindakan yang salah. Tindakan-tindakan yang dianggap salah ini disebut
sebagai tindakan yang secara intrinsik salah. Tindakan atai prilaku seperti
itu lepas dari ada atau tidaknya pengaruh buruk atau hal –hal merugikan,
yang menetukan salah atau tidaknya adalah nurani atau martabat manusia.
Sampai di sini kita telah memahami pengertian moralisme legal.
Konsep moralisme legal dapat dirumuskan dari dua sisi tuntan yang
menyangkut tindakan manusia, yaitu:
1. Sisi moralis, bahwa tindakan-tindakan tertentu memang secara
intrinsik dapat disebut salah.
2. Sisi legal, bahwa tindakan-tindakan yang salah adalah tindakan-
tindakan yang ilegal atau melawan hukum.

30
Maka salah satu kekuatan pokok dari aturan-aturan yang terdapat
dalam etika dan moral adalah kemampuan untuk menemukan kaidah-
kaidah penting di luar aturan-aturan atau hukum yang berlaku. Urusan-
urusan publik akan dapat mencapai tujuannya apabila konsep moralitas
legal mendasari tindakan dan keputusan yang diambil oleh para pejabat.
Kita akan membahasnya secara singkat karena agaknya tipe-tipe
pelanggaran permasalahan yang dikemukakannya cukup tepat dan
bermanfaat.
1. Ketidak Jujuran (dishonestly)
Para pejabat selalu punya peluang untuk melakukan tindakan-
tindakan yang tidak jujur . berbagaipungutan liar atau penggelapan
(embezzlemet) merupakan contoh yang pal,ing nyata. Petugas yang
mencari kesalahn untuk menarik”denda”, penarik retontribusi dan
pajak yang mengantongi uang dan kwitansi, penarikan “komisi”yang
setengah memaksa, termasuk kedalam bentuk-bentuk ketidak jujuran
tersebut. Tidakan-tindakan semacam ini dapat disebut sebagai
penjurian terselubung.
2. Perilaku Yang Buruk
Dalam pertauran-peraturan seringkali terdapat celah-celah yang
menungkinkan para pejabat yang kurang punyta dasar moral
melakukan penyimpangan. Tindakan penyuapan(bribery),
pemeberian uang sogok ,suap, atau uang semir merupakan contoh
yang buruk. Tuindakan ini dapat diibaratkan dengan orang yang
seharusnya masuk rumah melalui pintu depan, tetapin sengaja
menelusup disela-sela pagar karena punya maksed-maksud tertentu..
3. Konflik Kepentingan
Pejabat publik sering dihadapkan pada posisi yang dipenuhi oleh
konflik kepentingan. Dalam situasi seperti ini, hukum kadangkala
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pembayaran uang jasa
oleh para kontraktor kepadapejabat pemerintah mungkin dijawab
wajar kalau itu dilakukan secara sukarela. Akan tetapi, jelas ada

31
perbedaan normatif jika pemebrian itu dimaksudkan untuk
mempengaruhi keputusan yang hendak diambil oleh pejabat tersebut.
Dilain pihak, seorang pejabat mungkin tidak menerima uang pelicin
secara langsung, tetapi terkadang ia membuat keputusan-keputusan
yang hanya menguntungkan pribadi, kelompok , dan kliknya sendiri.
4. Melanggar Peraturan Perundangan
Seorang pejabat mungkin tidak pernah menerimauang sogok, uang
pelicin, dan semacamnya. Akan tetapi, sanagt boleh jadi bahwa
tanpa sadar ia telah bertindak tanpa wewenang yang sah. Dia tidak
melakukan tindakan-tindakan yang buruk tetapi telah melanggar
peraturan perundangan yang berlaku.
5. Perlakuan yang Tidak Adil Terhadap Bawahan
Seorang pegawai kerap kali diberhentikan oleh atasannya dengan
alasan yang tidak berhubungan dengan tindakan yang tidak efisien
atau kesalahan lainnya. Mungkin pejabat yang berwenang itu
memiliki alasan-alasan yang kuat untuk memberhentikan, tetapi
bawahan yang bersangkutan m,engetahui alasan-alasan tersebut
setelah ia diberhentikan, bukan sebelumnya. Disini pejabat tersebut
telah menghapus peluang bawahan untuk memperbaiki diri, bahkan
rasa suka atau tidak suka turut mempengaruhi tindakan
pemberhentian tersebut. Kritik terhadap pimpinan (walau itu
membangun), dan pendapat atau tulisan di koran yang dimaksudkan
untuk memperbaiki sistem pemerintahan, masih sering di tafsirkan
secara keliru oleh pejabat-pejabat yang berkuasa sehingga mereka
main bentak atau main pecat saja.
6. Pelanggaran Terhadap Prosedur
Prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah kadang-kadang tidak
tertulis dalam perundangan, tetapi sesungguhnya prosedur itu punya
kekuatan seperti peraturan perundangan dan karena itu setiap
instansi akan lebih baik jika melaksanakannya secara konsisten.
Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang berlaku berarti

32
merongrong kewibawaan pemerintah dan akan memungkinkan
terjadinya pelanggaran lebih lanjut.
7. Tidak Menghormati Kehendak Pembuat Peraturan Perundangan
Pejabat-pejabat negara dalam tindakanya telah sesuai dengan
peraturan perundangan dan prosedur yang berlaku. Meskipun
demikian bukan tidak mungkin bahwa mereka sebenarnya gagal
dalam mengikuti kehendak pembuat peraturan. Peraturan undang-
undang dimaksudkan untuk memelihara kepentingan umum. Inilah
yang mesti dipegang. Apabila stasiun TV milik pemerintah
senantiasa mengiklankan produk perusahaan tertentu berulangkali,
sedangkan pihaknya tidak tahu sejauh mana kualitas produk tersebut
yang sebenarnya, berarti ia telah menipu masyarahat yang
jugaberarti mengabaikan kepentingan umum. Fungsi antara TV
pemerintah dan TV swasta harus dibedakan.

8. Inefisiensi atau Pemborosan


Inventaris dinas adalah milik negara yang juga berarti milik
masyarakat luas. Oleh karena itu, pemborosan dana, waktu, barang,
atau sumber-sumber daya milik organisasi tanpa alasan yang dapat
dipertanggujawabkan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
Pemborosan yang diakibatkan oleh kekhilafan yang tidak disengaja,
sampai batas-batas tertentu masih bisa dimaafkan. Namun,
pemborosan yang berulang-ulang dan jumlahnya besar tidak boleh
dibiarkan.
9. Menutup-Nutupi Kesalahan
Sementara itu, pejabat publik seringkali menolak untuk
memberikan keterangan yang sesungguhnya kepada badan-badan
legislatif. Sikap-sikap nonkooperatif seperti ini biasanya terjadi
karena pejabat merasa bahwa penyimpangan-penyimpangan dalam
organisasinya adalah tanggungjawabnya sendiri, sehingga badan
legislatif kemudian diabaikan. Selain itu, dalam organisasi mungkin

33
telah terjadi penyelewengan-penyelewengan berat, tetapi pejabat bisa
saja menutup mata dari penyelewengan tersebut. Jelas ini merupakan
tindakan yang melanggar norma etis.
10. Kegagalan Mengambil Prakarsa
Pejabat-pejabat sering gagal dalam membuat keputusan yang
positif dalam melaksanakan kewenangan menurut hukum. Mereka
bukan saja enggan bertindak, tetapi juga gagal dalam mengambil
prakarsa. Tidak adanya prakarsa dapat disebabkan oleh:
 Ketakutan terhadap kritik yang mungkin terlontar meskipun
organisasi sangat memerlukan perbaikan;
 Perasaan tidak aman untuk berbuat karena enggan
mengambil resiko;
 Perasaan bahwa mengambil prakarsa berarti menambah
pekerjaan.
Untuk seorang pejabat publik yang baik, alasan-alasan di atas
seharusnya tidak menjadi halangan. Betapapun, organisasi-organisasi
memerlukan perbaikan secara berkesinambungan dan itu membutuhkan
prakarsa-prakarsa yang kreatif.
Di samping tertuju kepada tindakan dan prilaku pejabat pada tingkat
manajemen puncak atau menengah, analisis etis juga dapat diterapkan
kepada tindakan dan prilaku pejabat. Rohr menyebut telaah etis ini
dengan istilah jalur rendah karena terutama diarahkan kepada isu-isu etis
yang berkaitan dengan aturan-aturan lembaga publik tertentu. Analisis ini
dimulai dengan serangkaian simulasi dan pengajuan pertanyaan kepada
sekelompok pegawai negeri. Mereka dibagi menjadi kelompok-kelompok
kecil lalu diharuskan untuk menjawab sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-
pertanyaan itu sendiri terdiri dari dua macam.

34
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan yang mengandung
konsekuensi moral harus dapat mencegah timbulnya distribusi yang tidak
adil dari sumber-sumber politis, sosial, maupun ekonomis agar dapat
terselenggara administrasi negara yang berwibawa.
Partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan-kebijakan
yang harus diambil oleh birokrasi merupakan prasyarat mutlak demi
terwujudnya suasana demokratis dan terciptanya dinamika untuk menuju
ke arah kemajuan.
Moral dan etika merupakan hal yang penting dalam menerapkan
kebijakan-kebijakan pemerintah baik pada saat pelaksanaan administrasi
negara, pemberian pelayanan umum, dan kegiatan-kegiatan lain yang
melibatkan internal maupun eksternal dari birokrasi itu sendiri. Kebijakan
sebagai keputusan yang mengandung konsekuensi moral dapat mencegah
dan memperkecil peluang hadirnya masalah-masalah baik masalah
lingkungan maupun masalah yang timbul dari individu atau kelompok.

3.2 SARAN
Adapun saran dari kelompok kami yakni diharapkan pemerintah
atau para pembuat kebijakan memerhatikan nilai konsekuensi moral dalam
membuat kebijakan-kebijakan publik di Indonesia.

35
DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. Administrasi Publik. Diakses dari


https://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik Minggu, 22 April 2018. Pukul
22.50 WIB.

Kumorotomo, Wahyudi. 2015. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

36

Anda mungkin juga menyukai